Anda di halaman 1dari 10

PENGEMBANGAN MADRASAH DI LINGKUNGAN

PONDOK PESANTREN.

Drs. H. Suhaji , M.Si

Kepala Seksi Pendidikan Keagamaan pada


Bidang Pekapontren
Kantor Wilayah Kementerian Agama Prov. Jawa Timur
TAHUN 2010
PENGEMBANGAN MADRASAH DI LINGKUNGAN PESANTREN

A. Pendahuluan
Pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia,didirikan karena
adanya tuntutan dan kebutuhan zaman . Hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, dimana bila
dirunut kembali sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah, Islamiyah,
yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau
da’i
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “ tempat belajar para santri “. Sedang
pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bamboo. Disamping itu kata ”
pondok ” mungkin juga berasal dari bahasa Arab ” funduq ” yang berarti hotel atau asrama.
Pesantren yang tumbuh subur dan berkembang di Indonesia, sejak zaman Majapahit hingga
kini, merupakan warisan sistem pendidikan nasional yang paling merakyat. Dimasa penjajahan
Belanda, pesantren merupakan pendidikan swasta nasional yang setiap saat mengilhami jiwa
patriotisme yang sewaktu-waktu membakar semangat perlawanan menghadapi kedlaliman
pemerintah kolonial Belanda. Sejarah mencatat sejak pemerintah Trunojoyo hingga pemberontakan
Pangeran Sambernyowo dan Pangeran Diponegoro diilhami oleh pesantren, karena di pesantren-
pesantren terdapat sejumlah besar para santri yang ditempa semangat anti kedlaliman dan
penjajahan yang setiap saat bisa dikomandoi untuk berjihad oleh para kiai yang punya kharisma
tinggi di kalangan para santrinya.
Tradisi pesantren memiliki sejarah yang sangat panjang oleh karena itu, situasi dan peranan
lembaga-lembaga pesantren dewasa ini harus dilihat dalam hubungannya dengan perkembangan
Islam jangka panjang, baik di Indonesia, maupun di negara-negara Islam pada umumnya.
Perkembangan pesantren di Indonesia sendiri sangat pesat, karena Indonesia merupakan tempat
konsentrasi umat Islam yang terbesar di dunia, dan memiliki potensi yang menentukan arah
perkembangan Islam di seluruh dunia.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, sistem dan metodologi pengajaran yang diterapkan di
pesantren sangat unik. Sang kiai yang biasanya adalah pendiri, pemilik, dan sekaligus pembina
pesantren, menyampaikan pengajaran dengan cara membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan
klasik berbahasa Arab, yang dikenal dengan sebutan ”kitab kuning ”, sementara para santri
mendengarkan sambil memberi catatan (ngesahi,maknani-jawa) pada kitab yang dikaji. Dalam
lingkungan pesantren, metode pengajaran seperti ini sering disebut dengan bandongan atau layanan
kolektif (collective learning process). Selain itu di lingkungan pesantren dikenal pula metode
pengajaran yang bernama sorongan atau layanan individual (individual learning process). Dalam
metode pendidikan ini santri ditugaskan untuk membaca kitab, sementara Sang Kiai atau ustadz
senior menyimak sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaan Sang santri untuk mengetahui
performance-nya.
Metode ini sebenarnya cukup efektif untuk meningkatkan performance santri dalam
menguasai manuskrip-manuskrip keagamaan klasik (kitab-kuning), namun jarang sekali santri yang
memilih metode ini, karena membutuhkan konsentrasi dan usaha yang cukup berat. Para santri
harus menela’ah dan mengkaji secara mendalam materi ” kitab kuning ” sebelum ia membacanya di
hadapan Sang Kiai (ustadz). Tapi hasilnyapun biasanya cukup memuaskan ; santri yang biasa
memilih metode sorogan ini , lebih bagus penguasaannya dalam ” kitab kuning ”, dibandingkan
dengan para santri yang hanya bergelut dengan metode bandongan (collective learning process)

B. PEMBINAAN PONDOK PESANTREN :

Secara garis besar pembinaan pondok pesantren terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
1.Pondok Pesantren Salafi/Salafiah (Tradisional)
Pondok pesantren salafiah merupakan pondok pesantren yang hanya menyelenggarakan kitab
klasik dan pengajaran Agama Islam. Umumnya, lebih
mendahulukan dan mempertahankan hal-hal yang bersifat tradisional dalam sistem
pendidikan maupun perilaku kehidupannya, serta sangat selektif terhadap segala bentuk
pembaharuan, termasuk kurikulum pengajarannya.

2.Pondok Pesantren Khalafi/Khalfiah (Modern).


Pondok pesantren khalfiah/ashriyah adalah pondok pesantren yang selain menyelenggarakan
kegiatan tersebut di atas, juga menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah atau formal, baik
sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan SMK) maupun sekolah berciri khas Agama Islam (MI,
MTs, MA atau MAK). Dalam implementasi proses belajar mengajar, akomodatif terhadap
perkembangan modern, metodologi penerapan kurikulum melibatkan perangkat modern,
mengajarkan sejumlah keterampilan pengetahuan umum lainnya, termasuk kesehatan.
3. Pondok Pesantren Salafi-Khalafi (Perpaduan Tradisional dan Modern)
Pondok pesantren salafi-khalafi merupakan perpaduan pondok pesantren, yang dalam
kegiatannya memadukan metoda salafi dan khalafi, memelihara nilai tradisional yang baik
dan akomodatif terhadap perkembangan yang bersifat modern.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH DILINGKUNGAN PESANTREN

SKB 3 Menteri tahun 1975 (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri)
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah agar tingkat mata pelajaran umum di
madrasah sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum. SKB itu menetapkan tiga
hal penting; (1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah dari sekolah umum
setingkat, (2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang sekolah umum jenjang atasnya, dan
(3) siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum.

Untuk mencapai tingkat standar mata pelajaran umum seperti yang ada di sekolah umum, pelajaran
umum di madrasah disamakan dengan yang diajarkan di sekolah umum. Proporsi pelajaran di
madrasah dirubah menjadi 70% untuk pelajaran umum dan 30% untuk mata pelajaran agama.
Sebagai implementasi dari SKB 3 Menteri tahun 1975 tersebut, pemerintah kemudian
memberlakukan kurikulum madrasah tahun 1976 dan juga mendirikan Madrasah Negeri di berbagai
tempat.

Terhadap perubahan ini, tidak semua masyarakat Muslim, khususnya dari kalangan Muslim
tradisionalis, menyambut dengan gembira. Kalangan Muslim tradisionalis, pada waktu itu masih
memandang madrasah semata-mata sebagai lembaga pendidikan tempat mencari ilmu agama.

Zakiyah Daradjat dalam kata pengantarnya di buku Maksum (1999: xi) mencatat, ada dua
pendapat menanggapi perkembangan madrasah saat itu. Pertama, kalangan yang menilainya sebagi
tonggak penting integrasi madrasah ke dalam pendidikan nasional. Kedua, kalangan yang
memandang perubahan itu sebagai sikap akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan
pendidikan modern yang sekuler, yang dikhawatirkan akan mencabut madrasah dari nilai-nilai
keislaman dan melunturkan nilai-nilai keberagamaan siswa. Porsi pengetahuan umum yang semakin
besar itu, dikhawatirkan akan menggeser pengetahuan agama yang menjadi spesialisasi madrasah
sejak lama.

Oleh karenanya, madrasah-madrasah swasta waktu itu tidak serta merta mengikuti ketentuan
pemerintah. Ada tarik-menarik yang terjadi di dunia madrasah antara menjadi lembaga pendidikan
modern di satu sisi, dan mempertahankan perannya sebagai lembaga pendidikan keagamaan
sebagaimana dilakukannya di masa lalu. Tarik-menarik itu kemudian memunculkan pergeseran dan
penyesuaian yang dinamis.

Tarik menarik yang cukup hebat terjadi pada madrasah yang berasosiasi dengan pesantren atau,
lebih singkatnya disebut Madrasah Pesantren. Madrasah ini didirikan dan dikelola oleh suatu
pesantren sebagai ekstensi dari sistem pendidikan pesantren. Munculnya madrasah semacam ini,
menurut Manfred Ziemek (1986: 104-108) merupakan bagian dari perkembangan pesantren yang
berawal dari pengajian sederhana di masjid. Lalu karena ada santri yang berasal dari jauh,
dibangunlah pondokan. Perkembangan selanjutnya, didirikanlah madrasah. Pesantren-pesantren
tertentu kemudian ada yang sampai mendirikan universitas.

Karel A. Steenbrink (1994: 220) mencatat, berdirinya madrasah di lingkungan pesantren, tidak
serta merta menghapus tradisi pesantren. Justru tradisi-tradisi keilmuan, keagamaan dan
kepemimpinanannya mengadopsi pola pesantren. Dalam tradisi keilmuan, sebagai contoh,
Madrasah Pesantren mengajarkan kitab kuning dengan berbagai metode khas pesantrennya.
Sehingga madrasah pesantren ini sebenarnya merupakan klassikalisasi dari pesantren. Orientasi
awal dari madrasah ini adalah sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Maka wajar saja jika mata
pelajarannya adalah mata pelajaran agama sebagaimana pesantren.

Pemerintah mengambil kebijakan dengan hanya mengakui madrasah yang menggunakan kurikulum
pemerintah. Pengakuan ini berimplikasi pada kesempatan siswanya untuk mengikuti Ujian Negara,
bantuan guru-guru negeri dan bantuan keuangan untuk merehabilitasi gedung. Hanya madrasah
yang mengikuti Kurikulum Negara yang akan mendapatkan kesempatan dan bantuan seperti ini.
Kebijakan ini ternyata membawa dampak yang cukup luas. Banyak madrasah swasta yang
kemudian mengikuti Kurikulum Negara, akan tetapi tidak selalu persis sama.
Dalam konteks ini, menurut Maksum (Ibid: 5) madrasah yang ada bervariasi dari madrasah “batas
minimal” sampai madrasah “batas maksimal”. Madrasah “batas minimal” adalah madrasah yang
menerapkan apa adanya Kurikulum Negara yang memuat 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran
agama. Yang termasuk madrasah jenis ini adalah Madrasah Negeri (minus MAK) atau madrasah
swasta yang mengikuti apa adanya Kurikulum Negara.

Sedangkan madrasah “batas maksimal” adalah madrasah-madrasah pesantren yang menolak


Kurikulum Negara dan memakai kurikulum sendiri yang 100% materinya adalah mata pelajaran
agama. Madrasah ini memang tidak mau mengubah orientasinya sebagai lembaga pendidikan
“murni” keagamaan, yang hanya mengajarkan materi-materi keagamaan dengan sumber utama kitab
kuning. Sejak awal mereka tidak ingin mengikuti Ujian Negara dan tidak mengharap bantuan guru
dan keuangan dari pemerintah.

Madrasah Pesantren sebagian besar menerima dan mengimplementasikan Kurikulum Negara


sebagaimana Madrasah Negeri, akan tetapi Madrasah ini tetap mempertahankan Kurikulum Lokal
Pesantren dengan materi utama kitab kuning berbahasa Arab. Alasan pokok mempertahankan
Kurikulum Lokal itu adalah, kekhawatiran akan menurunnya kualitas ilmu agama siswa jika hanya
mengajarkan materi pelajaran agama dari Depag saja. Dengan penambahan materi ilmu agama dari
kitab kuning diyakini akan semakin menambah kemampuan ilmu agama siswa sekaligus mengasah
kemampuan Bahasa Arab, berhubung kitab kuning itu berbahasa Arab.

Hampir semua Madrasah Pesantren yang cukup berpengaruh dan mempunyai nama besar di Pesisir
Utara Jateng dan di seluruh Jatim, menganut pola semacam ini. Pola yang sama juga dianut oleh
Madrasah Swasta yang bukan milik pesantren di kawasan ini yang sebagian besar mempunyai
keterikatan kultural dengan pesantren karena pengelolanya rata-rata alumnus pesantren.

Di Jawa Tengah seperti di Rembang, Lasem, Pati, Kudus, Demak, Kendal, dan Pekalongan serta
sebagian besar Pesantren Jawa Timur, pola yang diikuti adalah dengan membuka jurusan
sebagaimana Madrasah Negeri semisal jurusan IPS atau IPA, lantas ditambah dengan materi Kitab
Kuning.

Pola yang agak berbeda bisa ditemukan di Pesantren Tambak Beras Jombang, Pesantren Tebu Ireng
Jombang dan Pesantren Blok Agung Banyuwangi. Pesantren Tambak Beras membuka dua alternatif
madrasah. Jenis pertama adalah Madrasah Negeri (MTsN/MAN) dengan kurikulum Negara yang
ditambah sedikit dengan kitab kuning. Dan jenis kedua adalah Madrasah Mu’allimin/Mu’allimat
dengan alokasi waktu yang cukup bunyak untuk mata pelajaran agama berupa kitab kuning. Siswa
madrasah jenis kedua tidak perlu khawatir dengan Ijasah Negara, karena dalam ujian Negara
mereka diikutkan sebagai siswa MAN jurusan IPS.

Pesantren Tebu Ireng Jombang membuka MAK, MA-IPS, dan MA-IPA yang memakai Kurikulum
Negara ditambah sedikit kitab kuning, dan “MA Salaf”, yang secara formal dimasukkan program
IPS akan tetapi mata pelajarannya banyak terdiri dari muatan lokal berupa kitab kuning. Untuk
MAK dan “MA Salaf” rekruitmen siswanya melewati seleksi yang ketat. Ada tes bahasa Arab,
Bahasa Inggris dan membaca kitab gundul. Lulusan “MA Salaf” diorientasikan mampu membaca
dan menguasai kitab kuning sehingga mampu meneruskan tradisi keulamaan tradisional.

Pesantren Blok Agung Banyuwangi mengambil cara yang berbeda. Pengajaran dilakukan pada pagi
hari dan pada siang sampai sore hari. Pada pagi hari menggunakan Kurikulum Negara, Sedang pada
siang sampai sore hari para siswa mendapatkan materi Kurikulum Lokal berupa kitab kuning.

Tentu saja, siswa yang ingin memasuki Madrasah Pesantren harus sudah mempunyai kemampuan
mengenai bahasa Arab dan kitab kuning. Anak yang berasal dari sekolah umum (SD-SMP), dari
Madrasah Negeri atau dari madrasah yang tidak mengajarkan kitab kuning, akan kesulitan untuk
mengikuti pelajaran jika masuk di Madrasah Pesantren. Maka, Madrasah Pesantren menyediakan
sekolah persiapan (I’dad) berupa Madrasah Diniyah selama satu atau dua tahun. Di sekolah
persiapan ini para calon siswa digembleng dengan pelajaran agama dan kitab kuning. Baik siswa
maupun orangtuanya dari awal sudah menyadari bahwa masa sekolah mereka akan molor satu atau
dua tahun.

Madrasah pesantren dengan kreativitas kurikulum sebagaimana di atas, sampai sekarang masih
bertahan dan cukup mendapatkan peminat. Bahkan di daerah yang cukup kental keagamaannya,
madrasah seperti ini lebih diminati dibanding Madarsah Negeri, karena dianggap memberikan ilmu
agama yang lebih baik.

Secara akademis, Madrasah Pesantren menjadi feeder institution yang cukup baik bagi IAIN, yang
mensuplai input dengan kemampuan yang mencukupi dalam Bahasa Arab dan Ilmu Agama.
Sementara input dari MAN (non-MAK) rata-rata kurang baik dalam Bahasa Arab dan Ilmu Agama.
Begitu pula dalam pergulatan pemikiran keislaman baik semasa di bangku kuliah maupun selepas
lulus dari IAIN, lulusan Madrasah Pesantren lebih dominan dibanding Madrasah Negeri.

Karena di bidang pelajaran agama output dan outcome madrasah pesantren relatif lebih baik, sudah
selayaknya depag mengapresiasi dan mengakuinya sebagai satu realitas tersendiri dari keragaman
madrasah. Tidak ada salahnya Depag menjadikan Madrasah Pesantren ini sebagai satu varian
pengembangan Madrasah.

D. Menyongsong Madrasah Diniyah menuju pendidikan Formal

1.Kurikulum disusun sesuai jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan RI dan
pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
2.Kurikulum pendidikan Diniyah dasar Awaliyah dan Wustha wajib memasukkan muatan
pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Bahasa Inggris untuk Wustha dalam rangka pelaksanaan program
wajib belajar
3.Kurikulum Pendidikan Diniyah Menengah/Ulya wajib memasukkan muatan pendidikan
kewarganegaraan, bahasa indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan
sosial, bahasa inggris, seni dan budaya.

Peserta Didik
1.Peserta didik ditentukan berdasarkan jalur jenjang pendidikan dasar, pendidikan dasar menengah,
dan pendidikan menengah.
2.Peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik se
agama.
3.Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar marhalah awaliyah harus
berusia sekurang-kurangnya 7 tahun.
4.Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama marhalah
wustha harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat
5.Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas marhalah ulya
harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
6.Peserta didik pendidikan formal yang memperoleh ijazah marhalah masing-masing dapat
melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan lainnya.

Pendidik, Guru dan Tenaga Kependidikan Diniyah

1.Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,


pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan
pendidikan.
2.Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi;
3.Kualifikasi pendidik yang disebut guru wajib memiliki budi pekerti akhlaqul karimah, kualifikasi
akademik, dan kompetensi meliputi kopetensi pedagogis, kopetensi kepribadian, kopetensi
sosial, dan kopetensi propfesional;
4.Pendidik diniyah formal harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan
jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
5. Pendidik untuk pendidikan diniyah formal pada jenjang pendidikan dasar, pendidkan
menengah harus memenuhi kualifikasi ditentukan dengan ijazah dari Ma’had Aliy, perguruan
tinggi agama terakreditasi, dan/atau perguruan tinggi umum terakreditasi,
6.Pendidik diniyah formal harus memiliki kualifikasi pendidikan serendah-rendahnya jenjang (D
IV) atau (S1) untuk pendidikan diniyah marhalah awaliyah dan wustha, serendah-rendahnya
jenjang (S1) untuk jenjang diniyah marhalah ulya, dan/atau perguruan tinggi dalam keilmuan
yang sama dan terakreditasi;
7. Pendidik diniyah nonformal serendah-rendahnya lulusan pendidikan diniyah menengah atas
atau sederajat, dapat membaca Al Qur’an dengan tartil menguasai metode mengaja Al Qur’an,
hafal Al Qur’an lengkap 30 juz secara tartil
8.Pendidik yang memiliki kualifikasi pendidikan pesantren yang diakui dan/atau terakreditasi yang
tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/dirasah
pendidikan agama di semua jalur dan jenjang pendidikan diniyah formal dan/atau diniyah
formal

Evaluasi Pendidikan Diniyah Formal


1.Evaluasi pendidikan diniyah formal dilaksanakan dalam kerangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan;
2.Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang
dan jenis pendidikan;
3.Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal
dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan;
4.Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,kemajuan,
dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkelanjutan melalui ujian lokal dan/atau
internal dengan berpedoman kepada standar nasional pendidikan;
5.Ujian akhir masing-masing marhalah awaliyah, wustha, dan ulya dilaksanakan melalui evaluasi
ujian akhir pendidikan untuk menentukan kualifikasi standar kelulusan sesuai dengan jenjang;
6.Ujian nasional pendidikan diniyah marhalah awaliyah, wustha, dan ulya diselenggarakan untuk
menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari
ajaran islam;

Satuan Penyelenggaraan Sarana Prasarana dan Dana Operasional


1.Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasar standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah;
2.Pengelolaan satuan pendidikan diniyah formal dan nonformal dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat;
3.Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan;
4.Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan diniyah berbasis masyarakat pada pendidikan
diniyah formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya
untuk kepentinga masyarakat;
5.Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum
dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar
pendidikan;
6.Dana penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara,
masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan
dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
7.Lembaga Pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan
sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
8.Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum
dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaanya sesuai dengan standar
pendidikan;
9.Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan
diniyah;
10. Setiap satuan pendidikan diniyah formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana
yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik;
11. Syarat kelembagaan satuan pendidikan Diniyah formal harus dibina oleh seorang Ulama (Pai)
Pengasuh Pesantren, Kiai/Ulama sedikitnya 2 (dua) orang;
12. Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau progam pendidikan
pada jalur formal, nonformal, informal.

Syarat dan Ketentuan Pendirian Madin


1.Setiap satuan pendidikan diniyah formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin
Pemerintah atau pemerintah daerah;
2. Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi sisi pendidikan, jumlah dan kualifikasi
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan,
sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan;
3. Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan
sesuai dengan peraturan Perundang –undangan yang berlaku.
4.Memiliki tenaga kependidikan yang bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pelaksanaan
pendidikan pada satuan pendidikan diniyah;
5.Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
6.Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan diniyah yang diselenggarakan oleh
masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangakutan;
7.Syarat sarana dan prasarana pendidikan diniyah formal untuk masing-masing Marhalah Awaliyah,
Wustha dan Ulyah ditentukan sebagai berikut:
a. Wajib memiliki perabotan, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku/kitab dan
sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, dan perlengkapan lain yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan;
b. Wajib memiliki prasarana yang terdiri atas lahan luas sedikitnya 2500 M2, sedikitnya 10
ruang kelas pembelajaran dengan kapasitas setiap kelas 20 s/d 30 siswa, ruang pimpinan
satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang
laboratorium, kantin siswa/thawalib, ruang kesehatan, ruang tempat beribadah, area
olahraga, tempat rekreasi dan bermain, dan ruang/tempat lainj yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan;
c. Jumlah sarana dan peralatan wajib disesuaikan dengan jumlah siswa/thawalib dan
dinyatakan dalam rasio minimal;
d. Wajib memiliki kecukupan jumlah judul buku sesuai dengan jumlah siswa/thawalib dan
dinyatakan dalam rasio minimal, dan standar buku teks pelajaran/kitab turats di
perpustakaan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah buku teks/kitab turats untuk
masing-masing mata pelajaran/dirasat di perpustakaan satuan pendidikan untuk setiap
peserta didik;
e. Wajib mengadakan tempat pemondokan/asrama untuk siswa/thawalib mukimin.

8. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah


daerah, dan masyarakat, Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan
anggaran pendidikan sesuai dengan peraturan yang disebut dalam anggaran pendidikan;
9. Lembaga penyelenggara pendidik diniyah marhalah awaliyah, wustha, dan ulya wajib memiliki
kecukupan dana operasional untuk setiap marhalah minimum 1 (satu) tahun berikutnya yang
ditujukan melalui rekening bank;
10. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberanjuran;
11. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggaraan Pengawasan
1.Pemerintah, pemerintah daerah dewan pendidikan melakukan pengawasan atas penyelenggraaan
pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-
masing;
2.Pengawasan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
3.Pengawasan satuan pendidikan meliputi pemantuan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak
lanjut hasil pengawasan
4.Pemantauan dilakukan oleh satuan pendidikan dan komite pendidikan diniyah atau bentuk lain
dari Lembaga Perwakilan pihak-pihak yang berkepentingan secara teratur dan
berkesinambungan untuk menilai efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan
5.Pendidikan diniyah dasar menengah laporan oleh pengawas satuan pendidikan ditujukan kepada
kantor kementerian agama kabupaten/kota dan satuan pendidikan yang bersangkutan
6.Satuan pendidikan diniyah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dikenakan sanksi administratif berupa peringatan samapi dengan penutupan setelah diadakan
pembinaan/bimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
7. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud untuk pendidikan diniyah dasar dan menengah
dilakukan oleh bupati/walikota setelah memperoleh pertimbangan dari kepala kantor
kementerian agama kabupaten/kota.

E. Mata Pelajaran/Kurikulum Madrasah Diniyah Formal keseluruhannya meliputi:

a). Kurikulum wajib pendidikan Diniyah formal Marhala Awaliyah mencakup mata
pelajaran/dirasa :
1. Pendidikan Kewarganegaraan
2. Bahasa Indonesia

3. Matematika
4. Ilmu Alamiah
5. Pendidikan Sejarah Pergerakan Nasional
6. Pendidikan Manusia dan Lingkungan Hidup
7. Pendidikan Jasmani/Olah Raga Kesehatan
8. Bahasa Arab
9 Muthala’ah
10 Sharaf
11 Nahwu
12 Tajwid
13 Akhlaq Ubudiyah
14 Aqa’id
15 Tarikh Sirah Nabawi
16 Fiqih Ubudiyah
17 Hadis Ma’tsurat
18 Tartil Al Qur’an
19 Muraqabat

b) Kurikulum wajib pendidikan Diniyah formal marhalah Wustha mencakup mata


pelajaran/dirasah
1. Pendidikan Kewarganegaraan
2. Bahasa Indonesia
3. Matematika
4. Bahasa Inggris
5. Ilmu Pengetahuan Alam
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
7. Seni dan Kebudayaan
8. Pendidikan Sejarah Pergerakan Nasional
9. Pendidikan Jasmani/Olah Raga Kesehatan
10. Bahasa Arab
11. Muthala’ah
12. Insya’
13. Ilmu Nahwu
14. Balaghah
15. Ilmu Mantiq
16. Ilmu Fiqh
17. Usul Fiqh
18. Musthalah Hadis
19. Ilmu Tafsir
20. Fraidl
21. Fiqih
22. Hadis
23. Tafsir
24. Tauhid
25. Tahdzibul Akhlaq
26. Falak
27. Tarikh Islam
28. Tahfidzul Qur’an
29. Muraqabah

c). Kurikulum wajib pendidikan Diniyah formal marhalah Ulya mencakup mata pelajaran/dirasa :
1. Pendidikan Kewarganegaraan
2. Bahasa Indonesia
3. Matematika
4. Bahasa Inggris
5. Ilmu Pengetahuan Alam
6. Ilmu Jughrafiyat/Ilmu Geografi
7. Seni dan Kebudayaan
8. Pendidikan Sejarah Dunia
9. Pendidikan Jasmani/Olah Raga Kesehatan
10. Bahasa Arab
11. Qawa’idul Lughah
12. Muthala’ah
13. Bahtsul Kutub
14. Balaghah
15. Ilmu Mantiq/Logika
16. Ulumu Hadis
17. Ulumu Qur’an
18. Usul Fiqh
19. Quwa’idul Fiqh
20. Ilmu Mawaris
21. Fiqih
22. Hadis Al Jami’
23. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim
24. Tasawuf
25. Ilmu Kalam
26. Ilmu Falak
27. Tarikh Tamadun
28. Tahfidzul Qur’an
29. Bahtsul Masail Diniyah
30. Muraqabah
F. DATA PONDOK PESANTREN, MADRASAH DINIYAH DAN SANTRI
SE JAWA TIMUR TAHUN 2010

1. Jumlah Pondok Pesantren : 6. 261 buah


Jumlah santri laki – laki : 470. 959 orang
Perempuan : 417. 252 orang

Jumlah : 888. 211 orang

2. Jumlah Madrasah Diniyah Tk. Ula : 15. 963 buah


Tk. Wustho : 4. 560 buah
Tk. Ulya : 1. 042 buah

Jumlah : 21. 563 buah


Jumlah santri : 1. 529. 506 buah

3. Jumlah PP. Wajar Dikdas :


Tk. Ula : 770 lembaga : 55. 514 buah
Tk. Wustho : 1. 146 lembaga : 85. 881 buah

1. 916 lembaga : 145. 395 buah

4. Jumlah Pondok Pesantren Muadalah : 12 Kabupaten / Kota


Terdiri : 15 Pondok Pesantren
Jumlah Ustadz / ustadzah : 3. 053 orang
Jumlah santri : 21.491 orang

5. Jumlah penerima BOSDA Tahun 2010 Madrasah Diniyah


Tk. Ula : 752.168 santri
Tk. Wustho : 106. 244 santri

6. Penerima BOS Wajar Dikdas


Tk. Ula : 59. 514 santri
Tk. Wustho : 85. 881 santri

7. Jumlah penerima BOSDA Tahun 2010 ( Paket A dan B )


Pakat A : 5. 457
Paket B : 11. 945
Jumlah Paket A dan B : 17. 302.

Surabaya, 16 Agustus 2010

Anda mungkin juga menyukai