Anda di halaman 1dari 76

BAB III

INTEGRASI ILMU DI PESANTREN

Pandangan dikotomis ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum


di kalangan komunitas pondok pesantren merupakan arus besar
yang sudah mengakar. Hal ini disebabkan cara pandang mereka
bahwa belajar di pesantren adalah tafaqquh fī al-dīn1 dalam
pengertian terbatas ilmu-ilmu agama saja. Oleh karena itu, wacana
integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sebagai satu
kesatuan yang utuh menjadi diskursus yang melahirkan pro dan
kontra. Pada bab ini akan dipaparkan berbagai hal terkait dengan
persoalan tersebut, yang meliputi paradigma keilmuan dalam
perspektif pesantren2 baik Pesantren Tradisional Plus3 maupun

1 Dalam pandangan Nurcholish Madjid, tafaqquh fī al-dīn berarti


memahami dan meliputi seluruh aspek dalam arti yang seluas-luasnya; seperti
halnya syari‘ah meliputi segala aspeknya, tidak hanya terbatas pada hukum Islam.
Menurutnya, menjadi ulama yang tafaqquh fī al-dīn adalah agar mampu menjadi
penjaga moral masyarakat. Baca Nurcholish Madjid, “Metodologi dan Orientasi
Studi Islam masa Depan”, Jauhar, Jurnal Pemikiran dan Islam Konstekstual, Vol. 1.
Desember 2000, 4.
2 Pondok Pesantren Tradisional Plus biasanya lebih mengutamakan

pengajaran kitab-kitab klasik Islam (kitab-kitab kuning). Sedangkan Pondok


Pesantren Modern telah berkembang mengajarkan kitab-kitab kontemporer,
sementara kitab-kitab klasik lebih dipandang sebagai komplemen. Lihat Qodri
Azizy, Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia (Dirjen Pkpontren: Dirjen
kelembagaan Agama Islam, Depag RI, 2003), 8.
3 Pondok Pesantren Tradisional Plus “Sirojul Mukhlasin II” berdiri sejak

tahun 1993, sebagai wujud keprihatinan pendiri (K.H. Minanurrahman Anshari)


terhadap masa depan Madrasah Aliyah Yajri yang berdiri sejak 1982, yang dulunya
adalah Madrasah Mu’allimin. Pondok pesantren ini berlokasi di Jl. Kalibening, Desa
Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Antara pesantren dan
madrasah menyatu padu (integral), sehingga sulit dipisahkan antara keduanya.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 75


Pesantren Modern,4 upaya integrasi dalam kurikulum pesantren, dan
upaya integrasi dalam strategi dan pendekatan yang digunakan.

A. Paradigma Keilmuan dalam Perspektif Pesantren


Sekarang hampir tidak ada lagi Pondok Pesantren Tradisional
seperti yang terjadi pada tahun 1960/1970-an, sebagaimana
dikatakan Azyumardi Azra. Menurutnya, pesantren zaman sekarang
lebih bersifat sebagai holding, seperti perusahaan induk yang di
dalamnya terdapat banyak lembaga pendidikan, baik madrasah

Madrasah ya pondok, pondok ya madrasah. Pondok pesantren ini dikelola oleh


Yayasan Amal Jariyah (YAJRI) yang diketuai oleh K.H. Asyhari. Bertindak sebagai
pengasuh/pimpinan pondok pesantren adalah K.H. Minanurrahman Anshari. Hasil
observasi peneliti pada pesantren tersebut, pada Desember 2009, Januari dan awal
Februari 2010, dan waktu lain saat dirasa masih membutuhkan kelengkapan data.
4 Pondok Pesantren Modern Pabelan didirikan pada tahun 1965 oleh K.H.

Haman Dja’far. Sejak awal berdirinya pesantren ini telah menggunakan kurikulum
Kulliyat al-Mu‘allimīn al-Islāmiyah (KMI). Salah satu alumni pesantren (angkatan
pertama dari 25 orang) adalah Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. yang saat ini
menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Wawancara pribadi
dengan K.H. Ahmad Mustofa pada 16 Januari 2010. Lihat pula Profil Madrasah
Aliyah, The Reformulation Science and Teknology Equity Program Phase Two (STEP-
2 IDB) (Jakarta: Dirjen Pendidikan Madrasah, Dirjen Pendidikan Islam, 2009), 107-
114. Pondok ini menerapkan sistem kepemimpinan kolektif, yaitu sejak tahun
1993 hingga sekarang pondok ini dipimpin oleh K.H. Ahmad Musthafa, K.H. Ahmad
Najib Hamam, dan K.H. Muhammad Balya. Baca Faiqah, et.al, Direktori Pondok
Pesantren, (Jakarta Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, 2000), 289. Beberapa prestasi
pondok pesantren Pabelan dibuktikan dengan adanya beberapa penghargaan yang
diterima pondok ini baik tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat
nasional pesantren memperoleh penghargaan “Kalpataru” dari presiden Suharto
pada tahun 1982. Sedangkan di tingkat internasional mendapat penghargaan “The
Agha Khan Award for Architecture” pada Oktober 1980. Karena prestasi inilah
Khamla Bashin (aktivis L.S.M. Hongkong) menyebut pesantren ini “The Islamic
Learning Sociaty”. Sementara Ivan Ilih, pastur sekaligus tokoh pendidikan Amerika
yang pernah berkunjung ke pondok ini pada tahun 1970-an, mengatakan bahwa
pondok seperti Pabelan inilah yang ia maksudkan sebagai “Deschooling Society”.
Lihat Jajat Burhanuddin-Ahmad Baidowi, Tranformasi Otoritas Keagamaan;
Pengalaman Islam di Indonesia (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), 175-
176.

76 | Drs. Asnawi, MA
maupun sekolah umum.5 Bagi pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal, tidak ada lagi persoalan dikotomis di dalamnya.
Artinya, ilmu yang berkembang di dalamnya sudah terintegrasi,6
walaupun pelajaran agama dipandang kalangan pesantren sendiri
belumlah memadai. Karena itu, masih ada suplemen lagi bagi para
peserta yang bermukim di pesantren untuk mempelajari bahasa
Arab, kitab kuning, dan semacamnya di luar jadwal persekolahan. 7
Kenyataan membuktikan bahwa pondok pesantren 8 di
Kabupaten Magelang yang menyelenggarakan pendidikan
sebagaimana dimaksud di atas baru ada tujuh pondok pesantren,9
selebihnya masih berstatus sebagai Pondok Pesantren Salafiyah
(tradisional)10 yang memfokuskan pada pendalaman ilmu agama

5 Mastuhu mencatat sejak 20-30 tahun yang lalu (dari 1994) bahwa akibat

dari tantangan yang semakin gencar dari perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, di dalam pesantren telah diselenggarakan jenis
pendidikan formal, yaitu madrasah dan sekolah umum. Baca Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 149. Bandingkan dengan Robert
W. Hefner dan Muhammad Qasim Zaman, Schooling Islam; The Culture and Politic
of Modern Muslim Education ( Princenton an Oxford, Princenton University Press,
2007), 177-178.
6 Wawancara pribadi dengan Azyumardi Azra, Puri Laras-Ciputat, 2 April

2010.
7 Azyumardi Azra, Pergulatan Pesantren (Resonansi) (Jakarta: Republika,

Kamis 22 April 2010/ 7 Jumadil Awal 1431), 4.


8 Di Kabupaten Magelang terdapat 202 pondok Pesantren. Dari 202

Pondok Pesantren tersebut, ada lima pondok pesantren jenis pesantren


Khalafiyah/Modern. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Pabelan. Lihat Daftar
Nama dan Alamat Pondok Pesantren Kabupaten Magelang (Magelang: Kantor
Departemen Agama, tahun 2009).
9 Tujuh pondok pesantren tersebut adalah Pondok Pesantren Pabelan,

Sirojul Mukhlasin Payaman, Al-Iman Patosan Muntilan, Gontor 6 Sawangan, al-


Husain Krakitan (tahfiz al-Qur’an), Tarbiyah al-Mukmin, dan Nur al-Qur’an
Jumoyo. Wawancara Pribadi dengan K.H. Mahyat, sekretaris Persatuan Pengasuh
Pondok Pesantren Salafiyah se-Eks Karesidenan Kedu (P4 SK), tanggal 3 April
2010.
10 Tipologi Pondok Pesantren menurut peraturan Menteri Agama Tahun

1979 terdiri dari empat macam. 1) Pondok Pesantren Tradisional. 2) Pondok


Pesantren dengan sistem madras (klasikal) dan pengajaran kiai bersifat aplikasi

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 77


(tafaqquh fī al-dīn)11 dengan kegiatan pokoknya berupa pengkajian
kitab-kitab kuning dengan menggunakan sistem klasikal, ditambah

dan diberikan pada waktu-waktu tertentu. Para santri tinggal di asrama di


lingkungan pesantren. 3) Pondok Pesantren yang hanya merupakan asrama,
sedangkan para santri berada di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kiai
hanya merupakan pengawas dan pembina mental para santri tersebut. 4) Pondok
Pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem
sekolah atau madrasah. Qodri Azizy, Pola Pengembangan Pondok Pesantren
(Jakarta Dirjen Bimbaga Islam-Dirpkpontren, 2003), 24-25. Saat ini, tipologi
pesantren jauh lebih banyak lagi dan lebih bervariasi. Seperti Pesantren
Takhassus, Pesantren Mu‘adalah, dan Ma‘had ‘Aly, yang masing-masing
mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Lihat Pedoman Penyelenggaraan Pesantren
Takhassus, Mu‘adalah, dan Ma‘had ‘Aly. Dirjen Pendis, Direktorat Pendidikan
Diniyah dan Pesantren Tahun 2009. Manfred Ziemek mengatakan bahwa tipe
pendidikan pondok pesantren masa kontemporer dapat dilihat dari beberapa segi.
Pertama, mereka yang memiliki ajaran terekat tertentu. Kedua, mereka yang
berkonsentrasi pada pengajaran agama saja. Ketiga, mereka yang menambahkan
materi non-agama ke dalam kurikulum atau silabi. Keempat, mereka yang hanya
menggunakan metode pengajaran tradisional saja. Kelima, mereka yang
mempertimbangkan adanya pendidikan formal dan nonformal sebagai
kegiatannya. Keenam, mereka yang melihat dirinya sebagai pusat pembelajaran
masyarakat dan lembaga pengembangan kelompok Islam tingkat desa dan mereka
yang bebas menyalurkan aspirasi politiknya pada era orde baru. Lihat Manfred
Ziemek, “Contemporary Character Function of Pesantren”, Manfred Ziemek ed. The
Impact of Pesantren in Educatio an community Developmen in Indonesia (Berlin:
Fredrich Nauman Stiftung Indonesian Society for Pesantren and Community
Development [ P3M] Technical Universiti Berlin, 1988), 96.
11 Akhir-akhir ini muncul keprihatinan di kalangan cendekiawan muslim.

Di antara mereka adalah Azyumardi Azra, yang menyesalkan dihapusnya


Madrasah Program Khusus Keagamaan (MAPK). Wawancara pribadi dengan
Azyumardi Azra, 2 April 2010. Begitu pula Suryadarma Ali (Menteri Agama RI),
K.H. Ma‘ruf Amin (MUI), dan K.H. Didin Hafiduddin (Pimpinan Badan Kerjasama
Pondok Pesantren Indonesia/BKSPPI). Menurut Suryadarma, ponpes belum
mampu melahirkan ulama-ulama kharismatik untuk menggantikan sejumlah
ulama yang telah wafat. Hal ini diakui pula oleh K.H. Ma’ruf Amin, bahwa saat ini
jumlah ulama kharismatik semakin berkurang. Menurutnya, hal ini dikarenakan
banyaknya ulama kharismatik yang sudah semakin tua dan meninggal dunia,
sedangkan ulama-ulama muda yang baru bermunculan belum bisa menandingi
kharisma mereka yang telah meninggal. Amin menambahkan, di era modern ini
seorang ulama baru diakui memiliki kharisma apabila mempunyai kedalaman
ilmu, menguasai wawasan ilmu pengetahuan yang luas, berkemampuan tinggi,
berakhlak mulia dan mengikuti perkembangan zaman modern. Sedangkan K.H.

78 | Drs. Asnawi, MA
kegiatan-kegiatan lainnya yang diharapkan dapat melahirkan calon-
calon ulama.12 Sedangkan madrasah yang ada kebanyakan berada di
luar pesantren dan didirikan oleh masyarakat atau pemerintah.13
Terkait dengan persoalan ontologis, komunitas Pesantren
Tradisional Plus,14 pada umumnya memandang ilmu itu integral,

Didin Hafiduddin menilai bahwa berkurangnya jumlah ulama kharismatik di tanah


air disebabkan beberapa factor. Pertama, sebagian pesantren cenderung seperti
sekolah biasa. Kedua, sekarang ini hampir tidak ada kaderisasi ulama. Ketiga,
pesantren kurang menekankan para santrinya untuk shalat malam dan berbagai
amalan sunnah di samping banyaknya ulama yang terlibat dalam politik praktis.
Lihat Diyah Ratna Metha Novia, “Ulama Kharismatik Kian Langka”, Republika,
Senin, 26 April 2010, 12.
12 Sabda Nabi, “Ulama itu pewaris para Nabi”. Lihat Imam Abū Dāwūd,

Sunan Abī Dāwūd, Juz 11, 34, (Maktabah Syamilah). Lihat pula al-Mawardi, Adab al-
Dunyā wa al-Dīn (Singapur-Jiddah-Indonesia, Al-Ḥaramayn, 1421), 47. Lihat Pula
al-Imam Jalal al-Dīn Abd al-Raḥmān Abī Bakar al-Suyūṭī, al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr
(Bandung: Shirkat al-Ma‘ārif), 69. Baca Abu Abd Allah al-Bukhārī al-Ja‘fi Ṣaḥīh al-
Bukhārī (Bayrut: Dār Ibn Kathīr, 1987), Juz 1, 37. Lihat pula Abu ‘Isa al-Tirmidzi al-
Sulamy, Sunan al-Tirmidhi (Bayrut: Dār Iḥyā’ al-Turath al-‘Arabī, TTP), juz 3, 48.
Lihat pula Abu Abd Allah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah (Bayrut: Dār al-Fikr, TTP),
juz 1. 81.
13 Di Kabupaten Magelang ada sebanyak 67 Madrasah Tsanawiyah (MTs),

dengan rincian 5 MTs Negeri dan 62 MTs Swasta; dan 18 Madrasah Aliyah (MA),
dengan rincian 2 MA Negeri dan 16 MA Swasta. Dua dari Madrasah yang
diselenggarakan di pesantren adalah Madrasah Aliyah (MA) Yajri Pesantren
“Sirojul Mukhlasin” Payaman dan Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pesantren
Pabelan. Wawancara pribadi dengan Mahmud R. Mapenda Islam, Kantor
Departemen Agama (Depag) Kabupaten Magelang, 3 April 2010.
14 Untuk menggali informasi terkait permasalahan bagaimana pandangan

komunitas pesantren terhadap keilmuan yang berkembang selama ini, upaya-


upaya apa saja yang telah dilakukan pesantren, baik melalui aspek kurikulum
maupun upaya integrasi melalui pendekatan dan strategi yang telah ditempuh
pesantren, peneliti telah melakukan observasi, interview dengan pimpinan
pesantren, kepala madrasah, guru maupun terhadap siswa dan juga studi
dokumentasi selama kurang lebih tiga bulan di dua pesantren, yaitu sejak
pertengahan Januari hingga pertengahan Maret 2010. Dan sebelumnya peneliti
juga telah melakukan penelitian pendahuluan. Komunitas Pesantren Tradisional
Plus Sirojul Mukhlasin II Yajri Payaman sebagai informan dalam penelitian ini
sebanyak 13 orang. Mereka antara lain K.H. Minanurrahman Anshari (pimpinan
dan pengasuh pondok pesantren “Sirojul Mukhlasin” Payaman), K.H. Muhammad
Nur Abdul Majid (pimpinan Yayasan Amal Jariyah [Yajri] Pesantren Payaman), K.H.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 79


yakni antara ilmu agama dan ilmu umum terdapat kaitan yang serasi
dan harmonis, karena pada hakikatnya ilmu itu hikmah dari Allah
SWT. Pendapat seperti itu disampaikan K.H. Minanurrahman
Anshari, K.H. Muhammad Nur Abdul Madjid, K.H. Asyhari, kepala
Madrasah, dan para guru.15 Sementara komunitas Pesantren Modern
berpandangan bahwa ilmu itu satu, tidak ada ilmu agama atau ilmu
umum. Bahkan di antara mereka menganggap ilmu umum pun pada
hakikatnnya adalah ilmu agama, dan ilmu itu utuh. Pendapat seperti
ini disampaikan K.H. Ahmad Musthofa, K.H. Najib Hamam, K.H.
Mahfudh Mudzakir, dan para guru.16 Menurut K.H. Ahmad Musthofa
bahwa semua ilmu itu dari Allah. Adanya ilmu agama dan ilmu
umum lebih disebabkan karena faktor manusia, dan bahkan ilmu
umum itu menjadi ilmu agama.17
Sekalipun demikian, di kalangan Pesantren Tradisional Plus,
masih ada di antara mereka yang beranggapan bahwa ilmu itu dibagi
ke dalam al-‘ulūm al-shar‘iyah (ilmu-ilmu agama) yang hukumnya
farḍu ‘ayn dan al-‘ulūm ghayr shar‘iyah (ilmu-ilmu non-agama) yang
hukumnya farḍu kifāyah, sebagaimana disampaikan K.H. Asyhari.
Menurutnya, dalam Islam, ilmu itu dibagi menjadi dua, yaitu al-‘ulūm
al-shar‘iyah dan al-‘ulūm ghayr shar‘iyah. Al-‘ulūm al-shar‘iyah
meliputi al-Qur’an, Hadis, dan kelengkapannya. Ilmu-ilmu inilah yang
dikembangkan di Pondok Pesantren Tradisional, sementara al-‘ulūm

Asyahari (Ketua Umum YAJRI), Sitah Ahmad Zaenuri (Kepala Madrasah Aliyah
Yajri), Ahmad Mustanir (waka-Kurikulum Madrasah Aliyah Yajri), dan beberapa
guru IPA dan Guru IPS.
15 Data tentang hal yang terkait dengan permasalahan ontologi keilmuan

di pesantren, diperoleh melalui wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 12,
13, 16, 28 Januari, dan 2 Februari 2010, serta waktu lain yang memang dipandang
perlu untuk melengkapi data tersebut.
16 Data hasil penelitian melalui wawancara kepada mereka pada tanggal

14, 16, 18,19, 20, dan 25 Januari 2010.


17 Wawancara pribadi dengan K.H. Ahmad Musthofa, 16 Januari 2010.

80 | Drs. Asnawi, MA
ghayr shar‘iyah meliputi ilmu-ilmu umum. Namun, ia mengakui
bahwa ilmu itu satu dan datangnya dari Allah SWT.18
Walaupun masih terdapat pandangan dikotomis terhadap
keilmuan seperti di atas, namun tidak sampai menolak atau bahkan
meniadakan validitas kedua keilmuan tersebut. Ia masih mengakui
validitas masing-masing keilmuan, dan menurutnya keduanya wajib
dipelajari. Pendapat ini selaras dengan pendapat Quthb al-Dīn dalam
Durrat al-Tāj sebagaimana dikutip oleh Osman Bakar, yang membagi
ilmu menjadi dua bagian besar, al-‘ulūm al-ḥikmī (ilmu-ilmu filosofis)
dan al-‘ulūm ghayr al-ḥikmī (ilmu-ilmu non-filosofis). Ilmu bagian
kedua ia bagi lagi menjadi dua, yaitu ‘ulūm al-dīn (ilmu-ilmu religius)
dan al-‘ulūm ghayr al-dīn (ilmu-ilmu non religious).19
Azyumardi Azra (pengantar) dalam Stanton mengatakan
bahwa para ilmuwan Muslim pada masa-masa awal membagi ilmu
itu menjadi dua bagian yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi dari
mata uang koin. Pertama, al-‘ulūm al-naqliyah, yakni ilmu-ilmu yang
disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi tetap melibatkan
penggunaan akal. Kedua, al-‘ulūm al-‘aqliyah, yakni ilmu-ilmu intelek
yang diperoleh hampir sepenuhnya melalui penggunaan akal dan
pengalaman empiris.20

18 Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, 2 Februari 2010. Hal ini juga
diakui oleh K. Alfan Al-Muhasibi, Pengasuh Pesantren “Nailul Muna” Randu Kuning
Muntilan, Magelang. Wawancara pribadi, 12 April 2010. Bandingkan dengan Syafiq
Muhammad Za‘uri yang membagi ilmu ke dalam ‘ilmu shar‘iy dan ‘ilmu ghayru
shar‘iy. ‘ilmu shar‘iy dibagi ke dalam tiga macam ilmu, yaitu ilmu tafsir, hadis, dan
fiqh, serta membaginya kepada fadlu ‘ayn dan fardlu kifayah. Adapun ‘ilmu ghayru
shar‘iy dibaginya kepada ilmu yang boleh dipelajari, makruh, dan haram untuk
dipelajari. Baca Safiq Muhammad Za‘uri, Al-Fikr al-Tarbawy ‘ind al-Ulamāwī
(Bayrut: Dār Iqra’, 1986/1406), 15-19.
19 Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu

(Bandung: Mizan, 1997), 279.


20 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi, xi. Kashf (melihat dengan

hati) atau ilhām, dan ma‘rifah secara harfiah artinya sama, yaitu pengetahuan. Ibnu
Manzur dalam Lisān al-‘Arab mengartikannya sebagai ilmu (al-‘ilm). Lihat Abdul
Aziz Dahlan et al, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar baru-Van Hoeve, 1996), 24.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 81


Kalangan Pesantren Modern secara tegas mengatakan bahwa
ilmu itu integral, tidak boleh dipisah-pisahkan antara ilmu agama
dan ilmu umum.21 Sebagaimana dikatakan K.H. Najib Hamam yang
ditegaskan pula K.H. Muhammad Balya, bahwa apakah mungkin
antara yang umum dan agama, atau antara sesuatu yang bersifat
duniawi dan ukhrawi itu terpisah. Menurutnya, dalam Islam, hal ini
tidak terpisah. Hal ini dibuktikan pula dengan pengakuan kita saat
membaca doa iftitah.22 Islam mengajarkan adanya prinsip-prinsip
keseimbangan23 segala hal dalam kehidupan manusia yang tidak
mungkin dipisahkan.24
Pernyataan di atas diperkuat oleh K.H. Mahfudh Masduki yang
mengatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu dari Allah. Tidak ada
ilmu yang datang dari selain Allah. Semua ilmu adalah ilmu agama,
walaupun disebut ilmu umum. Pabelan tidak mendikotomikan ilmu.
Semua ilmu yang diajarkan berbobot agama kalau di-nawaytu-kan
sebagai agama, yakni diniatkan karena Allah SWT. Contohnya,
walaupun ilmu hitung disebut dengan ilmu umum, namun ketika
dipakai untuk menentukan hisab, nisab zakat, dan lain-lain jadi ia
sebagai ilmu agama. Jadi, Pondok Pesantren Pabelan tidak mengenal
dikotomi keilmuan. Orang belajar ilmu apa pun kuncinya adalah
Innamā al-a‘māl bi al-niyyāt.25 Bahkan, sebagaimana dikatakan
Komaruddin Hidayat, di Pondok Pabelan ini ia diajarkan bahwa
Islam adalah kehidupan, sehingga ia tidak terbiasa berpikir

21 Wawancara pribadi dengan K.H. Ahmad Najib, 27 Januari 2010.


22 QS. Al-An’ām [6]: 163, yang artinya: “Katakanlah sesungguhnya salatku,
ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam.”
23 QS. Al Qaṣaṣ [28]: 77, yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah

dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu


melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berbuat kerusakan.”
24 Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
25 Wawancara pribadi dengan K.H. Mahfudh Masduki, 20 Januari 2010.

82 | Drs. Asnawi, MA
dikomotis. Jika kamu mengantuk, kamu tidur; itu Islam. Kalau kamu
tidak tahu, kamu bertanya; itu Islam. Kalau kamu pandai, kamu
mengajar; itu Islam. Kalau kamu lapar, kamu makan; itu Islam.
Karena ini semua dalam rangka mengikuti hukum-hukum Tuhan,
sebagaimana arti Islam itu sendiri, yaitu berserah diri kepada
Tuhan.26
Pendapat di atas dikuatkan pula oleh Khudlori, yang
mengatakan bahwa ilmu itu sama; tidak ada perbedaan antara ilmu
umum dan ilmu agama. Ilmu agama berhubungan dengan ilmu
umum, dan ilmu umum berhubungan dengan agama. Kalau agama
kebenarannya mutlak dari Allah SWT, sedangkan ilmu umum
kebenarannya tidak mutlak. Al-Qur’an telah mengisyaratkan
manusia agar ṭalab al-‘ilmi, begitu juga dengan hadis Nabi. Artinya,
untuk meraih kesuksesan hidup dengan ilmu. Seperti memahami al-
Qur’an, ada ilmunya, ada kunci-kuncinya. Di antara kuncinya adalah
paham Bahasa Arab, asbāb al-nuzūl, sejarah, dan sebagainya. Begitu
pula ilmu-ilmu umum yang berhubungan dengan ayat-ayat
kawninyah, dibutuhkan kunci berupa ilmu fisika, biologi, dan
sebagainya.27
Secara eksplisit, kalangan Pesantren Tradisional Plus Memang
tidak mengatakan akan basis ontologis ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum, namun pada dasarnya mereka mengakui adanya objek
kajian ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum tersebut. Hal ini
dapat dibuktikan dari penyataan mereka. Menurut K.H.
Minanurrahman Anshari, ilmu itu semuanya adalah hikmah.28 Kita

26Wawancara pribadi Komaruddin Hidayat, 15 April 2010.


27Wawancara pribadi dengan Khudlori, Waka Kurikulum Madrasah Aliyah
(MA) Pondok Pabelan, 19 Januari 2010.
28 Ḥikmah (kebijaksanaan) menurut Qutb al-Dīn adalah bentuk

pengetahuan tertinggi dan termulia yang dianut oleh kaum Muslimin. Lihat Osman
Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menuju Islamisasi
Ilmu (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), 280. Baca pula Q.S. 2: 296. Lihat pula Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam The Concept of Religion and The Foundation of

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 83


tahu bahwa pasir ini bisa menjadi gelas, ini menjadi hikmah dan
sebagainya. Allah SWT yang menciptakan ini semua. Ilmu apa pun,
pada saat telah menjadi suatu disiplin, mempelajarinya berarti sama
dengan mempelajari satu sisi dari hikmah Allah SWT.29 Seperti
halnya seseorang mempelajari ilmu kimia, pada dasarnya ia sedang
mempelajari satu hikmah Allah yang berkaitan dengan kejadian-
kejadian kimiawi. Begitu pula ilmu fisika dan lainnya. Jadi, semuanya
kembali kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pendapat Seyyed
Hossein Nasr yang mengatakan bahwa berbagai ilmu dan perspektif
intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai
hierarki, tetapi hierarki ini akhirnya bermuara pada pengetahuan
tentang “Yang Maha Tunggal”, substansi dari segenap ilmu. 30
Begitu pula yang terjadi di Pesantren Modern, selain
mengakui akan adanya objek-objek yang bersifat nonfisik (ayat-ayat
qawliyah), mereka juga tidak menafikan adanya objek-objek ilmu
bersifat fisik yang berupa alam (ayat-ayat kawniyah). Pernyataan ini
diperkuat dengan adanya laboratorium IPA dan STEP-2 (Science
Technology Equality Program-2)31 di Pondok Pesantren Pabelan, juga
mata pelajaran yang diajarkan di pondok ini, hingga budaya luar

Ethics and Morality (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Penidikan Malaysia, 1992), 28.
29 Wawancara pribadi K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari 2010.
30 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrates Study (London:

1976), 13-14.
31 STEP-2 merupakan program lanjutan Departemen Agama. Beberapa

program yang telah dilakukan Departemen Agama sebelumnya antara lain proyek
Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (Basic Education Project-BEP) dan Proyek
pengembangan Madrasah Aliyah (Development of Madrasah Aliyahs Project-DMAP)
dari Asian Development Bank, juga STEP-1 pada tahun 1995 yang telah melahirkan
SMU Unggulan (sekarang MAN) Insan Cendekia di Serpong dan Gorontalo. Science
Technology Equity Program Phase Two (STEP-2) sebagai program penguatan Sains
dan Teknologi Madrasah Aliyah di 29 Madrasah Aliyah di seluruh Indonesia
dengan bantuan dana IDB (Islam Development Bank). STEP-2 ini diharapkan dapat
menjadi salah satu batu loncatan (step ping stone) menuju madrasah yang lebih
baik. Baca “Tentang STEP-2”. Dialog Jumat, Tabloid Republika, 1 Februari 2008, 2.

84 | Drs. Asnawi, MA
yang masuk ke dalam pesantren. Kata kunci mereka ada pada
niatnya. Niat dalam mempelajari ilmu ini menjadi titik tolak dalam
segala kegiatan.
Menentukan basis ontologis keilmuan ini sangat penting,
karena sebagaimana dikatakan Mulyadhi Kartanegara bahwa
kepercayaan pada status ontologis atau keberadaan objek-objek
basis ontologis ilmu pengetahuan ini akan menjadi basis ontologis
dari epistemologi yang akan dibangunnya. Menurutnya, basis
ontologis mana yang ia pilih akan sangat memengaruhi bahkan
menentukan corak epistemologis yang dibangunnya.32 Oleh karena
itu, terkait dengan basis ontologis ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum, dia menjelaskan baik ilmu agama maupun ilmu umum
sebenarnya adalah ayat-ayat Allah. Ilmu agama adalah ayat-ayat
Allah yang bersifat qawliyah (al-Qur’an dan Hadis), sedangkan ilmu
umum adalah ayat-ayat Allah yang bersifat kawniyah (berupa alam).
Dalam konsep Islam, al-Qur’an dan alam adalah ayat Allah; yang satu
berupa ayat qawliyah dan yang lain berupa ayat kawniyah. Integrasi
ilmu akan terjadi apabila kita membaca objek ilmu baik al-Qur’an
maupun alam sebagai ayat Allah SWT.33
Selain itu, dia juga membagi objek penelitian ilmu menjadi
dua. Pertama, objek penelitian telah “hadir” pada diri seseorang,
sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut ilmu ḥuḍūrī
(knowledge by presence). Kedua, objek penelitian diperoleh tidak
secara langsung, tetapi melalui representasi, baik berupa simbol atau
konsep, sehingga modus pengenalan seperti ini disebut dengan ilmu
ḥuṣūlī (acquired knowledge).34

32 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Arasy PT Mizan Pustaka bekerja sama dengan UIN Jakarta Press, 2005),
209.
33 Wawancara pribadi dengan Mulyadhi Kartanegara, 1 April 2010.
34 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat

Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 45. Lihat Muhammad Yasin dalam Michael S.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 85


Para filsuf telah membuat klasifikasi ilmu, di antara mereka
adalah al-Ghazali (1058-1111). Ia membagi ilmu ke dalam empat
sistem klasifikasi. Pertama, ilmu-ilmu teoretis dan praktis. Kedua,
ilmu-ilmu pengetahuan yang dihadirkan (ḥuḍūrī) dan pengetahuan
yang dicapai (ḥuṣūlī).35 Ketiga, ilmu-ilmu religius (shar‘iyah) dan
intelektual (‘aqliyah). Keempat, ilmu-ilmu farḍu ‘ayn (wajib atas
individu) dan farḍu kifāyah (wajib atas umat).36
Untuk membahas persoalan ontologis objek-objek ilmu ini,
konsep waḥdat al-wujūd37 Mulla Shadra, sebagaimana dikutip
Mulyadhi Kartanegara, dapat dijadikan sebagai penguatan
(affirmation) status ontologis objek-objek ilmu yang dalam tradisi
ilmiah Barat hanya dibatasi objek-objek fisik atau empiris, dengan
alasan bahwa hanya objek-objek fisiklah yang status ontologisnya
tidak bisa diragukan lagi karena bisa ditangkap oleh indra (tangible),
sedangkan objek-objek lainnya yang nonfisik diragukan status
ontologisnya karena tidak bisa ditangkap oleh indra. Dengan
menyatakan bahwa semua wujud yang ada di alam semesta ini pada

Merry juga menyatakan bahwa Pendidikan Islam mengakui adanya dua tipe ilmu
pengatahuan (knowledge), yaitu acquired knowledge (taḥṣīlī) dan revealed
knowledge (waḥyī). Baca Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling:
A Philosophical Approach (United States of America: Palgrave Macmillan , 2007),
54.
35 ‘Ilmu ḥuḍūrī adalah ilmu yang tidak membutuhkan eksistensi luar, akan

tetapi merupakan pengalaman langsung yang dialami seseorang, sedangkan ‘ilmu


ḥuṣūlī adalah ilmu yang diperoleh dengan bantuan eksistensi luar atau dengan kata
lain adalah ilmu yang diperoleh melalui proses mencari atau belajar. Lihat Syed
Muhammad Husain al-Taba Taba‘i, Bidāyāt al-Ḥikmah, (TTP), 138-139.
36 Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 231.
37 Waḥdat al-wujūd (the transcendent unity being) dalam pandangan

Hossein Nasr merupakan doktrin yang paling utama dalam Islam sebagai
konsekuensi dari kalimat Syahadat, bukan sebagai Pantheisme, Pan-entheisme
atau Natural Myticism sebagaimana pandangan orientalis Barat. Baca Seyyed
Hossein Nasr, Ideals and Ralities of Islam (London: George allen & Unwin LTD,
1972), 137.

86 | Drs. Asnawi, MA
dasarnya satu dan sama, maka status ontologis objek-objek ilmu baik
yang fisik maupun yang nonfisik adalah sama.38
Sebenarnya al-Qur’an, sebagaimana dikatakan Ali Masrur,
telah mengajarkan adanya tiga macam objek kajian ilmu, dan
ketiganya merupakan satu kesatuan. Pertama, ayat-ayat Tuhan yang
terdapat dalam alam semesta. Kedua, ayat-ayat Tuhan yang ada
dalam diri manusia dan sejarah. Ketiga, ayat-ayat Tuhan yang
tersurat dalam kitab suci al-Qur’an.39 Hal ini telah dinyatakan Allah
melalui firman-Nya dalam QS. Ḥāmīm Sajdah [41]: 53.40
Terkait dengan persoalan epistemologis, pendapat komunitas
Pesantren Tradisional Plus, dapat dikategorikan ke dalam dua
sumber ilmu, yaitu diantara mereka berpendapat bahwa semua ilmu
itu sumbernya dari Allah SWT,41 sementara lainnya berpendapat
bahwa semua ilmu itu sumbernya al-Qur’an.42 Hal ini seperti
dikemukakan oleh K.H. Asyhari bahwa ilmu, baik ilmu agama
maupun ilmu umum itu sumbernya al-Qur’an. Menurutnya, apa saja

38 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 37.


39 Ali Masrur, “Prinsip Epistemologi Qur’ani (Upaya Reintegrasi Ilmu-Ilmu
Agama dan Umum”, dalam http://alimasrur/blogspot.com/2008/20/prinsip-
Epistemologi-qur’ani-upaya.html diakses 26 Oktober 2009.
40 QS. Ḥāmīm Sajdah [41]: 53, yang artinya: “Kami akan memperlihatkan

kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu.”
41 Pernyataan seperti di atas dinyatakan oleh K.H. Asyhari. Menurutnya,

ilmu itu satu dan datangnya dari Allah. Dalam Islam, ilmu itu dibagi menjadi dua,
yaitu al-‘ulūm al-shar’iyah dan al-‘ulūm ghayr shar‘iyah. Al-‘ulūm al-shar’iyah
meliputi Al-Qur’an, Hadis, dan kelengkapannya merupakan ilmu yang
dikembangkan di Pondok Pesantren Tradisional Plus. Sementara al-‘ulūm ghayr
shar‘iyah merupakan ilmu-ilmu umum yang termasuk ke dalam fardlu kifayah.
Ilmu-ilmu fardlu kifayah adalah ilmu-ilmu yang menjadi syarat terwujudnya
keteraturan kehidupan masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, dan
kesehatan. Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, l2 Februari, 2010.
42 Wawancara pribadi dengan Mustanir, Waka-Kurikulum MA Yajri, 16

Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 87


ada dalam al-Qur’an, hanya saja orang-orang belum mau
mempelajarinya hingga hal-hal yang kecil.43
Sekalipun mereka tidak secara jelas berpendapat bahwa
sumber ilmu itu adalah wahyu dan alam semesta, namun secara
tersirat mereka mengakui adanya kedua sumber tersebut. Maka
dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa apabila yang dimaksud sumber
semua ilmu adalah Allah, maka dapat dipahami bahwa Allah
mengajarkan ilmunya kepada manusia melalui dua saluran, yaitu
jalur wahyu (ayat-ayat qawliyah) dan jalur alam semesta (ayat-ayat
kawniyah),44 yakni melalui pengamatan dengan menggunakan
pancaindra dan akal manusia.
Hal ini sesuai dengan al-Attas yang telah membagi ilmu ke
dalam dua macam, yaitu ilmu yang berasal dari Allah (given by God to
man/’ilmu ḥuḍūrī ) dan ilmu yang diperoleh oleh manusia (acquired
by man/’ilmu ḥuṣūlī) dengan bantuan kemampuan akalnya
berdasarkan pengalaman dan observasi.45 Masruri menguatkan
pendapat al-Attas tersebut dengan mengatakan bahwa pengertian
ilmu dalam al-Qur’an secara garis besar dibagi menjadi dua. Pertama,
ilmu yang diajarkan langsung oleh Allah kepada manusia melalui
wahyu bagi para nabi dan melalui ilham bagi orang saleh selain nabi,
yang disebut al-‘ilm ladunnī. Kedua, ilmu yang mencakup segala
pengetahuan di alam semesta yang dapat dijangkau oleh manusia

43 Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, Ketua Yayasan Amal Jariyah

Payaman, 2 Februari 2010.


44 Ayat qawliyah/ayat qur’āniyah adalah ayat-ayat dalam al-Qur’an yang

secara verbal dan tersurat diwahyukan Allah SWT. Sementara ayat kawniyah
adalah ayat realitas yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya. Baca Abu
Yazid, Nalar Wahyu; Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari‘at (Jakarta:
Erlangga, 2007), 6. Dalam pengembangan ilmu, al-Qur’an diposisikan sebagai
sumber ayat-ayat qawliyah, sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran
logis diposisikan sebagai ayat-ayat kawniyah. Lihat Imam Suprayogo, Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang (Malang: UIN Press, 2006),
30.
45 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam The Concept of Religion, 28.

88 | Drs. Asnawi, MA
(empiris) melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan, dan
investigasi (al-‘ilm al-kasb/‘ulūm al- muktasabah).46
Apabila yang dimaksud dengan sumber segala ilmu adalah al-
Qur’an, berarti menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma. Hal ini
sebagaimana dikehendaki oleh Kuntowijoyo yang mengatakan
bahwa suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita
memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.
Menurutnya, bahwa dengan konstruksi pengetahuan tersebut kita
dapat memperoleh “ḥikmah” yang menjadi dasar pembentukan
perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada
level moral maupun sosial dalam menjelaskan ayat-ayatnya kepada
manusia.47 Bila dikaji lebih luas lagi, ternyata pendapat di atas
menunjukkan adanya kemungkinan dilakukan penelitian terhadap
fenomena alam. Sehingga dapat dipahami bahwa sumber ilmu dalam
pandangan komunitas Pesantren Tradisional Plus bukan hanya
wahyu (Allah), melainkan juga melalui indra maupun akal, yakni
dengan observasi terhadap fenomena-fenomena alam atau melalui
laboratorium.
Sementara komunitas Pesantren Modern, pendapatnya dapat
dikategorikan kepada dua sumber ilmu sebagaimana pandangan
komunitas Pesantren Tradisional Plus di atas, bahkan cenderung
lebih bersifat apologetik. Mereka berpandangan bahwa semua ilmu
itu dari Allah, segala sumber ilmu adalah al-Qur’an, adanya ilmu
agama dan ilmu umum, karena faktor manusia, bahkan ilmu umum
menjadi ilmu agama. Di antara mereka adalah K.H. Ahmad Mustofa,
K.H. Najib Hamam, K.H. Mahfudh, K.H. Muhammad Balya, Mudzakir,

46 M. Hadi Masruri et al, Filsafat Sains dalam al-Qur’an: Melacak Kerangka


Dasar Integrasi Ilmu dan Agama (Malang: UIN Malang Press, 2007), 37.
47 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Cet VIII, AE

Priyono ed. (Bandung: Mizan, 1998), 32.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 89


Khudhori, dan guru lainnya.48 K.H. Ahmad Najib mengatakan bahwa
segala sumber ilmu adalah al-Qur’an. Menurutnya, semua ilmu
umum sumbernya pasti juga ada di agama. 49
Sesuai dengan keyakinan tentang basis ontologis
sebagaimana di atas, maka dalam aspek epistemologisnya mereka
berpandangan bahwa sumber ilmu adalah al-Qur’an. Al-Qur’an inilah
sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sumber kebenaran.50
Menurut al-Qur’an, ada tiga daya yang dapat dipakai sebagai sarana
untuk memahami kebenaran. Tiga daya itu adalah pikiran (al-fikr),
akal (al-‘aql), dan nurani (al-qalb, al-af-`idah). Ketiga daya ini dipakai
dalam konteks dan kapasitas yang berbeda, tetapi saling melengkapi
dan dapat mengarah ke transendensi. 51 Bahkan bukan hanya itu,
sebagaimana dikatakan Daud, bahwa ilmu pengetahuan tiba melalui
pelbagai saluran, yaitu pancaindra (al-ḥawas al-khamsah), akal
pikiran sehat (al-‘aql al-sālim), berita yang benar (al-khabar al-
ṣādiq), dan intuisi (ilhām).52

48 Data hasil penelitian penulis melalui wawancara kepada mereka pada


tanggal 14, 16, 18,19, 20, dan 25 Januari 2010.
49 Wawancara pribadi dengan K. Ahmad Najib, 27 Januari 2010.
50 QS. al-Baqarah [2]:31, yang artinya: “Dia (Allah) mengajarkan kepada

Adam nama- nama semuanya.”


51 Proses pemahaman dengan menggunakan daya pikiran (al-fikr)

terdapat dalam kurang lebih 16 ayat al-Qur’an yang kesemuanya dipakai dalam
konteks alam dan manusia dalam dimensi fisiknya. Sedangkan yang memakai kata
‘aql terdapat dalam kurang lebih 49 ayat, yang digunakan dalam konteks yang
lebih luas dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat konkret, material, spiritual,
maupun yang bersifat ghaib. Adapun yang memakai kata al-qalb terdapat dalam
kurang lebih 101 ayat yang pada umumnya dipakai dalam kaitannya dengan hal-
hal ghaib dan spiritual saja. Lihat Ali Masrur, “Prinsip Epistemologi Qur’ani (Upaya
Reintegrasi Ilmu-Ilmu Agama dan Umum”, dalam http://
alimasrur/blogspot.com/2008/20/prinsip-Epistemologi-qur’ani-upaya.html diakses
pada 26 Oktober 2009.
52 Wan Mohd Nor Wan Daud, Masyarakat Islam Hadlari: Suatu Tinjuan

Epistemologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa (Kuala


Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), 62.

90 | Drs. Asnawi, MA
Terkait dengan sumber ilmu ini, M. Quraish Shihab
menjelaskan tiga hal penting. Pertama, sumber ilmu adalah Allah,
karena itu segala yang bersumber dari-Nya pastilah benar, karena
ilmu adalah kebenaran. Kedua, ilmu adalah anugerah. Ia bukan
sesuatu yang dirampas oleh manusia dari dewa sebagaimana
terdapat dalam metodologi Yunani Kuno. Ini berarti semakin dekat
kepada-Nya semakin besar potensinya untuk memperoleh limpahan
ilmu dengan berbagai cara yang ditetapkan Allah. Ketiga, dalam
konteks pendekatan diri, berbagai cara ditetapkan-Nya guna meraih
ilmu, antara lain bersikap kritis dan tidak terpaku pada pendapat
satu seorang (QS. Ali Imran [3]: 144), tidak angkuh (QS. al-A’raf
[7]:146), banyak bertanya kepada orang yang mengetahui (QS. al-
Nahl [16]:43), dan lain-lain.53
Begitu pula dalam aspek aksiologis, komunitas Pesantren
Tradisional Plus beranggapan bahwa karena semua ilmu itu dari
Allah SWT maka penggunaannya adalah untuk kemaslahatan umat
manusia, bahkan lebih dari itu untuk kejayaan Islam dan kaum
Muslimin. Hal ini sebagaimana dinyatakan K.H. Minanurrahman
Anshari, bahwa dalam kenyataannya manusia hidup di atas
rangkaian banyak disiplin ilmu. Menurutnya, dalam rangka
pemanfaatan ilmu ada lima aspek yang harus terintegrasi. Kelima
aspek tersebut adsalah aspek tauhid, aspek hukum, aspek moral
(akhlak), orientasi, dan agama.
Sebagai contoh pemanfaatan Biokimia, mungkin bisa menjadi
Bom Nuklir. Apabila pembuatan bom nuklir itu tanpa didasari moral
maka akan berbahaya. Bahkan, andai dilandasi moral pun tetapi

53 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi (Al-Qur’an dan Dinamika

Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 101-102. Menurutnya, al-


Qur’an selain menganjurkan observasi dan eksperimen (QS 29:20) juga
menganjurkan menggunakan akal dan intuisi (antara lain, QS 16: 78). Lihat pula M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 63.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 91


tidak memiliki tujuan agama maka Allah tidak akan rela. Seperti
Palestina membuat bom nuklir dengan tujuan agama, walaupun
bangsa lain tidak merelakan, akan tetapi agama merelakan. Kita
disuruh untuk menggunakan peralatan-peralatan supaya orang kafir
respect terhadap Islam, supaya orang Islam ini tidak dicampakkan.
Dengan kata lain, penggunaan peralatan/ilmu pengetahuan tersebut
demi kewibawaan kita sebagai Muslim. Kita merasa inferior karena
tidak mempunnyai ilmu pengetahuan,54 tentunya hal ini tidak sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Nabi saw.55
Menurutnya, bahwa Allah SWT memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memanfaatkan ilmu tersebut bagi kehidupan
manusia, akan tetapi supaya kembali kepada Allah SWT.56 Dengan
penguasaan ilmu pengetahuan, Islam akan menjadikan umatnya
terhormat di muka bumi sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah
pada masa keemasan Islam.57 Oleh karena itu, orientasi keilmuan di
kalangan madrasah diupayakan belajar untuk untuk mencari dan
menuju Tuhan (science for the search of God).58

54 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman, 12 Januari 2010.


55 Sabda Nabi terkait dengan penggunaan ilmu pengetahuan ini adalah
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Lihat Shodiq Ibn Hassan al Quluji,
Abjād al-‘ulūm (Bayrut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1978), Juz 2, 39.
56 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman, 12 Januari 2010.
57 Tokoh-tokoh dan ilmuwan semisal Al-Biruni (w.1041) seorang

Ensiklopedis Muslim, Ibn Sina (980-1037) seorang ahli Filsafat dan kedokteran,
Ibn Haitham (w.1039) seorang fisikawan, Ibn Khaldun, Ibn al-Nafis Hayyan, al-
Khawarizmi, dan juga Mahmud al-Kasghari (abad 11) adalah bukti sejarah akan
keberhasilan mereka dalam penguasaan ilmu pengetahuan di samping ilmu agama.
Lihat Amin Abdullah, Islam Studies, dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi
(Sebuah Antologi) (Yogyakarta: UIN Suka Press, 2007), 27. Lihat pula Republika,
Jumat, 4 Desember 2009, 21.
58 Ali Masrur, “Prinsip Epistemologi Qur’ani (Upaya Reintegrasi Ilmu-Ilmu

Agama dan Umum”, dalam http://alimasrur/blogspot.com/2008/20/prinsip-


Epistemologi-qur’ani-upaya.html. diakses 26 Oktober 2009. Lihat pula M. Hadi
Masruri et. al., Filsafat Sains dalam al-Quran, 7.

92 | Drs. Asnawi, MA
Sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh kaum
Muslimin, seperti dinyatakan Turner, memberi manfaat langsung
terhadap farmakologi dan farmasi yang berkembang di seluruh
dunia Islam dalam skala yang tak terduga. 59 Dedi Jamaluddin
menguatkan pendapat di atas dengan menyatakan bahwa ilmu itu
berasal dari Tuhan dan harus digunakan dalam semangat mengabdi
kepada-Nya,60 menambah seseorang lebih dekat kepada Allah dan
mencapai ma’rifat kepada-Nya.61
Komunitas Pesantren Modern beranggapan bahwa karena
ilmu itu bersumber dari Allah maka penggunaannya adalah untuk
kemaslahatan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh K.H. Makhfudh
Masduki. Menurutnya, semua ilmu harus diorientasikan untuk
kemaslahatan, untuk kebaikan, untuk dakwah. Sembari mengutip
pendapat Mukti Ali yang mengatakan sebagai orang Islam
mempelajarai agama li al-da‘wah. Semua ilmu itu harus bernapaskan
semangat lillāhi ta‘ālā. Ilmu untuk ilmu itu naïf sekali, sia-sia sebagai
orang Islam mempelajari ilmu untuk ilmu, ilmu bebas nilai. Ilmu
harus untuk dakwah, untuk ibadah dengan mendasarkan niatnya
untuk pengabdian kepada Allah SWT.62

59 Howard Turner, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction


(Austin: University of Texas Press, 1997), Terj. Zulfahmi Andri (Bandung: Yayasan
Nuansa Cendekia, 2004), 176.
60 Dedi Djamaluddin Malik et. al. Zaman Baru Islam, 186.
61 Abdul Munir Mulkhan, “Spiritualisasi Iptek dalam Perkembangan

Pendidikan Islam dalam Kusmana”, JM Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan,


Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PIC
UIN, 2008), 175.
62 Wawancara pribadi dengan K.H. Makhfudh Masduki, 20 Januari 2010.

Hakikat ibadah atau pengabdian, menurut M. Quraish Shihab, tercermin dalam tiga
hal. Pertama, sang pengabdi tidak menganggap apa yang ada dalam genggamannya
sebagai milik pribadinya, akan tetapi menjadi hak tuannya (Allah). Kedua, segala
usaha hanya berkisar pada melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya, ia
mengabdi atau menjauhi larangan-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk
dilaksanakan, kecuali mengaitkannya dengan izin yang kepada-Nya ia mengabdi.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 93


Terkait dengan permasalahan apakah ilmu itu bebas nilai atau
tidak bebas nilai, komunitas Pesantren Tradisional Plus berpendapat
bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Hal ini seperti dikatakan K.H
Minanurrahman bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Menurutnya kalau
ilmu itu bebas nilai, apabila paham seperti ini tidak dikendalikan,
akan mengarah pada liberal, karena mereka memandang ilmu
sebagai ilmu tanpa adanya peranan Allah SWT dalam ilmu itu
sendiri. Baginya ilmu dipandang sebagai karunia, hikmah Allah SWT,
di situ ada nilai, dan dalam filsafat sendiri ada filsafat estetika.
Sebagai contoh dalam minum, ada aturannya, tidak boleh terlalu
kenyang, diawali dengan membaca bismillah dan diakhiri dengan
hamdalah.63
K.H. Asyhari memperkuat pendapat K.H. Minanurrahman
Anshari dengan menyatakan bahwa ilmu yang diajarkan hendaklah
yang baik-baik saja, yang sesuai dengan ajaran Islam, karena hal ini
merupakan proses penanaman, pemahaman, dan pemantapan ilmu.
Menurutnya, guru perlu meluruskan apabila ada teori dan istilah-
isitilah yang berbau sekuler atau bertentangan dengan syariat
Islam.64
Pendapat komunitas Pesantren Tradisional Plus di atas
paralel dengan pendapat Mastuhu yang mengatakan bahwa ilmu itu
tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik. 65 Juga dikuatkan
oleh Mahdi Gulsyani bahwa ilmu itu sarat nilai, terutama pada
asumsi-asumsi dasarnya. Untuk itu, dia menawarkan sains Islam

Baca M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi: Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati,
1997), 29-30.
63 Doa Nabi setelah minum: “Segala puji bagi Allah yang menjadikan air itu

tawar dengan rahmatnya dan tidak menjadikannya terasa asin disebabkan karena
dosa kita”. Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari
2010. Baca al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn Juz II (Kairo: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-
‘Arabiyah, TTP), 6.
64 Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, 2 Februari 2010.
65 Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, 10.

94 | Drs. Asnawi, MA
sebagai sains yang berlandaskan nilai-nilai universal Islam, yaitu
dengan memberi kerangka metafisis yang Islami atas sains yang
berkembang dewasa ini. Menurutnya, bahwa sains adalah aktivitas
yang tidak bebas nilai, dan nilai-nilai Islam mempunyai hak yang
sama untuk melibatkan sebagaimana halnya nilai-nilai ateis.
Pelibatan nilai-nilai Islam itulah yang menghasilkan sains Islam.66
Sains Islam menurut Nasr adalah sains yang dikembangkan
oleh kaum Muslim sejak abad kedua Islam. Selama kurang lebih
tujuh ratus tahun, sejak abad kedua Islam hingga kesembilan,
peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling
produktif dibandingkan dengan peradaban mana pun di wilayah
sains, dan sains Islam berada di garda paling depan berbagai
kegiatan keilmuan mulai dari kedokteran sampai astronomi. 67
Namun demikian, di kalangan guru Madrasah Aliyah Yajri
Payaman, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa ilmu itu
bebas nilai. Pendapat seperti ini disampaikan oleh Atik Najiyah.
Menurutnya, ilmu itu bebas nilai, tergantung pada pembawanya,
dengan mencontohkan penggunaan komputer. Komputer di tangan
orang yang baik akan memberikan manfaat, namun di tangan orang
yang jahat akan membahayakan.68
Sekalipun demikian, jika pendapat itu dikaji bahwa ilmu itu
terdiri dari dua aspek, aspek fakta dan penjelasan. Komputer
merupakan fakta, hasil teknologi yang masih membutuhkan
penjelasan. Dalam menjelaskan fakta tidak mustahil ideologi ataupun
misi penjelas (guru) atau pembawanya akan dapat memengaruhi

66 Hasan Basri, Konsep Ilmu, 14.


67 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Bimbingan untuk Kaum
Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1994), 93.
68 Wawancara pribadi dengan Atik Najiyah, guru Fisika Madrasah Aliyah

(MA) Yajri Payaman, 25 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 95


penjelasan tersebut.69 Dengan demikian, pandangan guru fisika
tersebut berarti bahwa ilmu itu tidak bebas nilai.
Sementara dalam komunitas Pesantren Modern terdapat dua
kelompok. Pertama, bahwa ilmu itu bebas nilai. Kedua, ilmu itu tidak
bebas nilai. Mereka yang tergabung dalam kelompok pertama adalah
K. Najib Hamam. K. Muhammad Balya, dan Mudzakir. Sementara
mereka yang tergabung dalam kelompok kedua adalah Jumari, K.
Hanafi, dan guru lainnya.70
Menurut kelompok pertama, bahwa ilmu itu bebas nilai, hal
ini sebagaimana disampaikan oleh K.H. Muhammad Balya dengan
mengatakan bahwa sains atau ilmu pengetahuan pada dasarnya
netral. Menurutnya, kenetralan ilmu itu laksana sebilah pisau, mau
digunakan untuk keperluan apa tergantung yang menggunakannya.
Karena itu, agama berfungsi sebagai pendorong ilmu pengetahuan
sekaligus pengendalinya.71 Pendapat ini dikuatkan oleh K.H. Najib
Hamam terkait dengan kenetralan ilmu laksana pisau tersebut
dengan mengatakan bahwa pisau kalau dipakai orang untuk
membunuh, ini kejahatan. Akan tetapi, kalau dibawa ke dapur untuk
memotog daging atau lainnya, jadilah ia bermanfaat bagi manusia. 72
Lebih dari itu, secara filosofis ilmu itu umum dan bebas nilai,
demikian pendapat Mudzakir, selaku Direktur KMI. Menurutnya,
ilmu itu umum dan bebas nilai. Ilmu itu bisa menjadi baik ketika
digunakan untuk kebaikan. Sebaliknya, ketika ilmu digunakan oleh
mereka yang tidak beriman untuk kejahatan, maka ilmu itu menjadi

69 Diambilkan dari penjelasan Mulyadhi Kartanegara, dalam Kuliah

Filsafat, 10 April 2010.


70 Kartu data penelitian Pesantren Modern Pabelan, tanggal 14, 16, 18,19,

20, dan 25 Januari 2010.


71 Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 20 Januari 2010.
72 Wawancara pribadi dengan K.H. Ahmad Najib, 27 Januari 2010.

96 | Drs. Asnawi, MA
tidak baik. Oleh karena itu, ilmu itu bebas nilai, tergantung pada
siapa yang menggunakan.73
Melihat kelompok pertama dari komunitas Pesantren Modern
yang beranggapan bahwa ilmu itu netral (values free) atau bebas
nilai (values bound), tampaknya pendapat ini paralel dengan
pendapat Muhammad Arkoun, Aziz al-Ahmed, Fazlur Rahman, dan
Harun Nasution, yang mengatakan bahwa ilmu itu bebas nilai dan
baku, kecuali penggunaannya dalam tahap rekayasa. 74 Pendapat ini
didukung oleh pendapat Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun yang sosial, adalah
bersifat netral yang tidak mengandung nilai-nilai kebaikan atau
kejahatan pada dirinya.75 Karena ilmu itu bebas nilai maka kiranya
tepat pendapat Muhammad Abdus Salam yang mengatakan bahwa
tidak ada yang disebut sains Islam, sebagaimana tidak ada pula sains
Hindu, sains Yahudi, sains Konghucu, serta sain Kristen. 76
Pandangan para tokoh terkait dengan kenetralan ilmu di atas
diperkuat oleh Hoodbhoy, yang mengatakan bahwa tidak ada sains
Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam
merupakan pekerjaan yang sia-sia. Untuk mendukung pendapatnya,
dia mengemukakan tiga alasan. Pertama, semua usaha yang pernah
dilakukan untuk menciptakan sains Islam telah gagal. Kedua,
menjelaskan sekumpulan prinsip-prinsip moral dan teologi
betatapun tingginya tidak memungkinkan seseorang menciptakan
sains baru dan permulaan. Ketiga, belum pernah ada, dan sampai
73 Wawancara pribadi dengan Mudzakir, 14 Januari 2010.
74 Hajam, “Rekonstruksi Epistemologi untuk Pendidikan Integralistik”,
Lektur, Vol. 13. No. 2 Desember 2007, 281.
75 Nurcholish Madjid, “Masalah Teknologi dan Kemungkinan
Pertimbangan Keimanan Islam dalam Ikutserta Mengatasi Ekses Negatif
Penggunaannya”, makalah KKA Paramadina No. 31/Thn/1989, 6. Lihat pula Dedi
Djamaluddin Malik et. al. Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik
(Bandung: Zaman Wacana Muda, 1998), 186.
76 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science Religious Ortodoxy and The Battle

for Rationality (London: Zed Books Ltd, 1991), ix.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 97


kini belum ada definisi sains Islam yang dapat diterima semua kaum
Muslim.77
Selain pendapat di atas, berkembang pula pemikiran cerdas di
kalangan komunitas Pesantren Modern, yang terkait dengan
aksiologi keilmuan yang mengandung nilai filosofi yang sangat tinggi,
yaitu “mengislamkan batu kali”. 78 Menurut K.H. Hamam Dja’far,
bahwa batu atau pisau apabila dipakai untuk membunuh, ini
kejahatan. Akan tetapi, kalau dibawa ke dapur untuk memotong
daging atau lainnya, jadilah ia bermanfaat bagi manusia. Ungkapan
K.H. Hamam Jafar yang sarat nilai filosofis tersebut dibenarkan pula
oleh K.H. Muhammad Balya dan K.H. Mahfudh.
Menanggapi hal tersebut, Mulyadhi Kartanegara mengatakan,
batu kali saja bisa diislamkan, apalagi ilmu. Hal itu berarti mereka
menganggap bahwa batu itu tidak bebas nilai, dan ilmu itu tidak
bebas nilai. Menurutnya, apabila mereka mengatakan bahwa ilmu itu
bebas nilai, akan tetapi dalam praktiknya mereka mengislamkan
batu, berarti batu atau ilmu itu tidak bebas nilai. 79 Hal ini
menunjukkan antara konsep dengan praktik kadang-kadang tidak
sama.
Dua pandangan di atas, baik yang mengatakan bahwa ilmu itu
bebas nilai maupun ilmu itu tidak bebas nilai, akan berimplikasi pada
pembelajaran di kelas. Bagi mereka yang beranggapan ilmu itu bebas
nilai, implikasinya tidak perlu lagi ilmu-ilmu umum itu diislamkan.
Cukup ajarkan ilmu itu apa adanya. Begitu pula bagi mereka yang
beranggapan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, dalam pembelajaran
mereka akan berupaya untuk mengislamkan atau mengintegrasikan
ilmu itu dengan agama. Ironisnya, mereka beranggapan bahwa ilmu
itu tidak bebas nilai, akan tetapi dalam pembelajarnnya tidak atau

77 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science , 77-80.


78 Wawancara pribadi dengan K.H. Najib Hamam, 27 Januari 2010.
79 Wawancara pribadi Mulyadhi Kartanegara, 1 April 2010.

98 | Drs. Asnawi, MA
belum mengintegrasikan dengan nilai-nilai agama. Permasalahan ini
ternyata berkaitan dengan kemampuan guru/pengajar. Untuk lebih
jelasnya terkait dengan persoalan paradigma keilmuan komunitas
pesantren dapat dilihat pada bagan berikut.
Gambar 1: Bagan Paradigma Keilmuan Komunitas Pesantren

Ilmu itu hikmah


ONTOLOGIS
Ilmu & agama
Insijâm
Ilmu itu integral
(sy+non sy)
PONDOK
PESANTREN I.sumbernya Allah
EPISTEMOLOGIS
TRADISIONAL
PLUS I. sumbernya Qur’an

AKSIOLOGIS Kemaslahatan MNS

‘Izzul Islam wa al-


Muslimin

Ilmu itu tidak bebas


Nilai

PARADIGMA Ilmu itu bebas Nilai


KEILMUAN

Ilmu satu/integral

ONTOLOGIS
I. Umum-I. Agama

Ilmu itu utuh

PONDOK I.sumbernya Allah


PESANTREN EPISTEMOLOGIS
MODERN I. sumbernya Qur’an

Maslahah/li al-da’wah
AKSIOLOGIS
Ilmu untuk Ibadah

Ilmu itu bebas Nilai

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 99


Ilmu itu tidak
bebas Nilai
B. Upaya Integrasi dalam Kurikulum
Kurikulum merupakan aktivitas apa saja yang dilakukan
sekolah atau madrasah dalam rangka memengaruhi anak dalam
belajar untuk mencapai suatu tujuan. 80 Terkait dengan persoalan
kurikulum,81 Pesantren Tradisional Plus82 dalam rangka menuju
pembelajaran yang integral di madrasah,83 telah mengambil langkah-

80 Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum

(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 34.


81 Menurut Jon Wiles. Joseph Bondi, kurikulum dapat dibagi ke dalam dua

pengertian. Pertama, sebagai sejumlah pengalaman baik langsung maupun tidak


langsung yang terkait dengan pengembangan kemampuan individu. Kedua, berupa
serangkaian kegiatan pelatihan yang diadakan sekolah guna melengkapi dan
menyempurnaan pengalaman individu. Baca Jo Wiles-Joseph Bondi, Curriculum
Developemnt: A Guide to Practice (New Jersey: Person Merril Prentice Hall, 20070),
3.
82 Keberadaan Madrasah Aliyah Yajri Payaman ini diawali dari telah

adanya lembaga pendidikan formal, yaitu Mu‘allimin dan Mu‘allimat, yang


merupakan bagian dari pondok pesantren Baru (Sirojul Mukhlasin I), yang diasuh
oleh K.H. Anshari. Pada tahun 1982-1987 Muallimin dan Muallimat ini berubah
menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Kurikulum yang
diberlakukan pada madrasah tersebut adalah kurikulum sebagaimana yang
berlaku di madrasah pada umumnya. Namun, menurut K.H. Minanurrahman
Anshari, kondisi Madrasah tersebut pada tahun 1989 cukup memprihatikan.
Bahkan, secara umum, lembaga pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama
(the Ministry of Religion Affairs) sangat memprihatinkan, kecuali di daerah pantai
utara bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (the Ministry of National Education).
Memuncaknya keprihatinan K.H. Minannurrahman terjadi ketika tahun 1989-1992
menumbuhkan pemikiran bahwa apabila lembaga pendidikan ini hanya terdiri
dari madrasah (sekolah) umum saja, sementara input murid-muridnya hanya
sekitar Payaman, maka lama kelamaan input-nya semakin menurun, dan
dikhawatirkan akan gulung tikar (closing down).
Sejak itulah muncul ide untuk mendirikan pesantren “Sirojul Mukhlasin
II”, di sekitar Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Yajri. Dan
pada tahun 1993 didirikanlah pondok pesantren “Sirojul Mukhlasin II” yang
dipimin dan diasuh oleh K. Minanurrahman Anshari hingga sekarang. Dengan kata
lain, munculnya pesantren “Sirojul Mukhlasin II” ini dalam rangka melestarikan
dan memajukan pendidikan yang telah ada sebelumnya, yaitu Madrasah
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah “Yayasan Amal Jariyah (Yajri)” hingga sekarang.
83 Di seluruh Indonesia pada tahun 2003 terdapat 3.231 Madrasah Aliyah

(MA) dengan jumlah guru 57.181 orang. Baca Dedi Supriadi, Guru di Indonesia;

100 | Drs. Asnawi, MA


langkah yang mereka tetapkan secara bertahap tiga tahunan.
Artinya, setiap tahap ditempuh dalam waktu tiga tahun sekali.
Periode Pertama, ( 1993- 1996). Pada periode ini, kurikulum
yang berlaku di Pesantren-Madrasah Yajri masih terkotak-kotak.
Antara kurikulum madrasah dan kurikulum pesantren masing-
masing berjalan sendiri-sendiri. Bagi K.H Minanurrahamn Anshari,
yang penting anak-anak berada di asrama; mereka makan, mengaji,
dan sebagainya. Pagi jam 07.00-04.00, mereka mengikuti pelajaran
kurikulum madrasah produk Depag. Sementara sehabis Ashar,
malam, dan sehabis Shubuh hingga jam 06.30 mereka mengikuti
kurikulum pondok. Dalam periode ini kegiatan pondok belum
mengikat, apalagi digunakan untuk kenaikan jenjang dan kelulusan.
Sebetulnya pada periode pertama ini, sudah ada upaya ke arah
integrasi ilmu dalam aspek kurikulum, sebagaimana pengakuan
Sittah Ahmad Zaenuri yang mengatakan bahwa pada tahun 1996, di
Madrasah ini pelajaran sampai sore, akan tetapi masih terjadi
dikotomi. Pelajaran menggunakan kurikulum Depag, pelajaran
diniyah pondok sudah masuk namun belum maksimal.84
Dalam kajian kurikulum, kurikulum yang berlaku di
pesantren ini disebut dengan Sparated Curriculum, karena materi-
materi keagamaan (Madrasah Diniyah) belum menyatu dengan
materi-materi yang ada dalam kurikulum Madrasah Aliyah (MA)
produk Departemen Agama. Namun, apabila dikaji lebih mendalam,
kurikulum Madrasah Aliyah (MA) sendiri adalah merupakan jenis
kurikulum Integrated Curriculum, yakni antara materi-materi umum
dan materi-materi keagamaan sudah dialokasikan sedemikian rupa
dengan perimbangan 30% untuk pelajaran keagamaan dan 70%
materi-materi umum.

Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangnnya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era


Reformasi (Jakarta: Depdiknas, Dirjen Dikdasmen,Dirtendik, 2003), 781.
84 Wawancara pribadi dengan Sittah Ahmad Zaenuri, Kepala Madrasah

Aliyah (MA) Yajri Payaman, 13 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 101


Kurikulum seperti ini merupakan kurikulum sebagaimana
yang berlaku pada kebanyakan Madrasah Aliyah yang berada di luar
pesantren. Jelasnya, pada periode pertama ini belum tampak adanya
integrasi dalam aspek kurikulum, belum ada upaya ke arah initegrasi
dalam artian menyatukan materi pelajaran dan satu kurikulum di
madrasah antara materi-materi Madrasah Diniyah dengan materi-
materi yang diajarkan di Madrasah Aliyah. Sekalipun demikian
konsep ke arah integrasi sudah ada, namun belum tampak dalam
action melalui kurikulum.
Periode Kedua (1997-2000), merupakan periode awal
sebagai langkah kongkrit dari upaya yang dilakukan pesantren ini ke
arah mewujudkan kurikulum yang integrasi antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum. Kurikulum Madrasah Diniyah (pondok
pesantren) dimasukkan ke dalam pelajaran pagi hari dengan
beberapa modifikasi,85 seperti olahraga, kesenian, dsan keterampilan
dikeluarkan dari kurikuler. Akan tetapi, hal ini belum bisa digunakan
untuk kenaikan kelas dan kelulusan.
Upaya integrasi dalam kurikulum pada periode ini sudah
terwujud, yaitu dengan memasukkan materi-materi pondok
pesantren menjadi satu waktu dengan materi-materi Madrasah
Aliyah. Namun, belum betul-betul menyatu, karena baru
memasukkan dua entitas keilmuan dalam satu ruang dengan
pembelajaran yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Hal ini
dapat diketahui dari belum diakuinya materi-materi pondok sebagai
persyaratan kelulusan. Artinya, materi-materi keagamaan pondok ini
masih merupakan pelengkap saja dari materi yang telah ada.

85 Modifikasi dalam penyusunan kurikulum ini dilakukan karena

terbatasnya waktu yang ada dan luasnya cakupan materi yang harus diajarkan
kepada siswa/santri, serta meningkatnya jumlah santri. Oleh karena itu, ada
beberapa mata pelajaran yang dibuang/dikeluarkan dari kurikuler, ada pula
materi pelajaran yang dikurangi jamnya, dan ada pula yang ditiadakan dan diganti
dengan materi kitab klasik (kitab kuning).

102 | Drs. Asnawi, MA


Persoalan ini dapat dimaklumi, karena guru-guru madrasah yang ada
pada saat itu adalah sebagian besar masih PNS dan latar belakang
mereka bukan dari pesantren.
Sejak tahun 2003/2004, pesantren ini sudah memberlakukan
kurikulum integrasi, baik materi umum maupun materi Diniyah
pondok masuk pagi. Mulai tahun 2010, pelajaran Fiqh, Aqidah-
Akhlak, SKI, al-Qur’an dan Hadis, dan Bahasa Arab diajarkan sore
hari (ekstra kurikuler),86 masing-masing mapel satu kali dalam satu
minggu secara bergantian dengan menggunakan buku ajar Madrasah
Aliyah.87 Hal ini dikuatkan dengan penjelasan Asyrofah yang
mengatakan bahwa kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
Depag yang diintegrasikan dengan pondok. Menurutnya, terkait
dengan materi yang di-UN-kan, antara materi kurikulum yang
berlaku di Madrasah Aliyah (MA) dan SMA, cenderung sama saja.
Khusus materi keagamaan yang berlaku di Madrasah Aliyah (MA)
Yajri ini meliputi: Fiqh, Bahasa Arab, al-Qur’an, dan Hadis,
menggunakan kitab kuning,88 sedangkan untuk materi olahraga, seni,
dan PKn, masuk sore hari, namun semua ilmu itu muaranya tauhid. 89

86 Materi-materi tersebut dimasukkan sore hari, di samping materi-materi


tersebut telah digantikan dengan materi-meteri pondok dengan menggunakan
kitab kuning, juga dikarenakan adanya informasi yang menjelaskan ada
kemungkinan akan ada Ujian Nasional terkait dengan materi keagamaan tersebut.
Wawancara pribadi dengan Sittah Ahmad Zaenuri, Kepala Madrasah Aliyah (MA)
Yajri Payaman, pada 13 Januari 2010.
87 Wawancara pribadi dengan Sittah Ahmad Zaenuri, 13 Januari 2010.
88 Materi keagamaan seperti di atas mirip dengan keilmuan yang diajarkan

pada masa awal/klasik yang umumnya meliputi ilmu-ilmu agama (al-‘ulūm al-
shar‘iyah) yang bersumber pada al-Qur’an diikuti dengan tafsir, hadis, fiqh, juga
nahwu dan sharaf sebagai alat untuk mengkaji kitab-kitab kuning. George Makdisi,
The Rise Colleges, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981),110. Kitab kuning
pada umumnya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab,
menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir Muslim
masa lampau, khususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab kuning
mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”. Oleh
Azyumardi Azra pengertian kitab kuning diperluas sebagai kitab-kitab keagamaan
berbahasa Arab, Melayu, Jawa, atau bahasa lokal lain di Indonesia dengan

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 103


Melihat modifikasi materi dalam kurikulum yang dilakukan
oleh pesantren ini, tampak sekali bahwa pesantren ini lebih
menitikberatkan pada materi-materi keagamaan ala Pesantren
Tradisional Plus90 yang berhaluan kepada mazhab Ahlusunnah wal
Jama‘ah,91 dengan orientasi ke masa lampau (classic oriented).92

menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh Ulama Timur Tengah juga
ditulis oleh Ulama Indonesia sendiri. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet.II,
2000/120), 111.
89 Wawanacara pribadi dengan Asyrofah, alumni dan sekarang menjadi

guru di Madrasah Aliyah (MA) Yajri, Payaman, 13 Januari 2010.


90 Sebagai lembaga pendidikan Islam, materi-materi pengajaran yang

disampaikan di Pesantren Tradisional Plus bersandar pada silabi Imam Jalaluddin


Abdurrahman Al-Suyuti. Nama lengkapnya adalah Abu al-Fadl Abdur Rahman bin
Abu Bakar bin Muhammad Jalal al-Addin al-Suyuti. Ulama besar kelahiran Kairo, 1
Rajab 849 H/ 3 oktober 1445 M, ini dikenal sebagai penulis kitab yang produktif
dalam berbagai disiplin ilmu. Al-Suyuti yang hidup pada Dinasti Mamluk pada abad
ke-15 memulai aktivitas menulisnya sejak umur 17 tahun. Menurut catatan para
sejarawan, al-Suyuti telah menulis 571 buah buku, baik berupa buku dengan
jumlah halaman yang banyak/tebal maupun buku-buku kecil dan karangan-
karangan singkat. Bukunya yang terkenal di kalangan pesantren dalam bidang
kaidah Fiqh adalah al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir fī Qawā‘id wa Furū‘ Fiqh al-Shafī‘ī.
Dalam kitab ini al-Suyuti menjelaskan secara gamblang yang disertai contoh-
contoh penerapan dan kandungan al-Qawā‘id al-Khamsah yang berlaku dalam
Madzhab Syafi’i. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita,
Cet.I, (Jakarta:The Wahid Institut, 2006), 224.
91 Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren ini antara lain

‘Aqīdah al-‘Awām (pelajaran tauhid), Taqrīb (pelajaran Fiqh), dan sebagainya.


Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab yang biasa diajarkan di pondok Pesantren
Tradisional pada umumnya.
92 Muhaimin telah mengidentifikasi pola pemikiran dalam filsafat

pendidikan Islam ke dalam lima tipologi pemikiran. Salah satunya adalah tipe
Perenial-esensial madzhabi, bersikap regresif, dan konservatif dalam
mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti aliran,
pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta berwawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan berorientasi masa silam (classic oriented).
Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada pemberian syarḥ dan ḥāshiyah terhadap
pemikiran pendahulunya, dan kurang ada keberanian mengkritisi atau mengubah
substansi materi pemikiran para pendahulunya. Fungsi pendidikan Islam adalah
melestarikan dan mempertahankan nilai budaya dan tradisi dari satu generasi ke
generasi berikutnya, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai-

104 | Drs. Asnawi, MA


Sementara materi-materi umum diajarkan dengan mengambil skala
prioritas, sehingga materi pelajaran seperti olahraga dan seni di-
ekstrakurikulerkan, bahkan nyaris ditiadakan. Artinya, kegiatan
ekstra olahraga dilaksanakan tanpa bimbingan seorang guru
olahraga.93
Periode Ketiga ( 2000-2004), merupakan periode inti, dengan
menjadikan kurikulum integrasi secara massif. Dalam kurikulum ini,
materi-materi keagamaan diberikan pada waktu pagi hari bersama
dengan materi-materi umum lainnya dalam sistem madrasah,
dengan intensitas tinggi. Dalam hal ini hafal-hafalan dalam Madrasah
Diniyah sebagai persayaratan untuk pengembangan tahun 2004-
2009 ini menjadi bagian integral yang sangat massif, yang dibuat
ukuran untuk kenaikan kelas dan kelulusan. Operasionalnya, mulai
tahun 2009, bagi anak yang tidak dapat menjangkau pelajaran
diniyah (agama), maka dinyatakan tidak lulus.
Menurut Mustanir, pada tahun 2004 Madrasah Aliyah Yajri ini
sudah menggunakan kurikulum KBK dengan model pembelajaran
Team Teaching (satu mata pelajaran diampu oleh dua atau tiga orang
guru, ketiganya masuk kelas) dan pada saat itu moving class baru
dalam perencanaan awal. Menurutnya, sejak tahun 2006
menggunakan kurikulum integral dengan pola pembelajaran moving
class hingga sekarang ini. Namun, selaku Waka-Kurikulum ia
mengakui bahwa kurikulum yang berjalan selama ini belum

nilai budaya masyarakat terdahulu. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan


Pendidikan Islam, Pemberdayaan Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi
Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003), 42. Baca pula Muhaimin,
“Filasafat Pendidikan Islam Indonesia: Suatu Kajian Tipologis” Disertasi pada IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002.
93 Kegiatan olahraga santri dilaksanakan pada hari Minggu, meliputi voli

dan sepakbola. Kegiatan ini dilakukan secara bebas tanpa pembimbing.


Wawancara pribadi dengan Maghfurin dan Ihsan, perwakilan santri/siswa
Pesantren Yajri Payaman, 2 Februari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 105


sempurna, masih dalam proses penyempurnaan. 94 Harapannya ke
depan akan dapat mewujudkan apa yang disebut dengan Hole
Curriculum.95
Adapun sketsa kurikulum yang diberlakukan di Pesantren
Tradisional Plus ini adalah sebagai berikut.

Kurikulum Madrasah Aliyah (Depag)

Kurikulum Madrasah Aliyah Yajri Payaman

Kurikulum Pesantren Yajri Payaman

Gambar 2: Kurikulum Integrated Madrasah Aliyah Yajri Payaman

Melihat sketsa kurikulum Madrasah Aliyah (MA) Yajri


Payaman di atas, tampak bahwa di dalam Pesantren Tradisional Plus
antara ilmu-ilmu agama (‘ulūm shar‘iyah) seimbang dengan ilmu-
ilmu umum (‘ulūm ghayr shar‘iyah). Hanya saja hal yang sangat
menonjol sebagai ciri khas Pesantren Tradisional Plus, semua
pelajaran agama sumber bahan pengajarannya menggunakan kitab-
kitab Salaf/Kitab Kuning (KK) (literally “Yellow Books”).96 Untuk

94 Wawancara pribadi dengan Mustanir, Waka-Kurikulum Madrasah

Aliyah (MA) Yajri Payaman, 16 Januari 2010.


95 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari

2010.
96 Kitab-kitab kuning yang digunakan sebagai kitab pegangan guru antara

lain kitab al-Taqrīb untuk mata pelajaran Fiqh, Mukhtār al-Aḥādīth untuk mata
pelajaran Hadis, Tafsīr al-Jalālayn untuk pelajaran al-Qur’an, di samping al-Qur’an

106 | Drs. Asnawi, MA


Bahasa Arab, masih menggunakan buku panduan sebagaimana
digunakan di Madrasah Aliyah (MA) pada umumnya.
Walaupun Pesantren Sirojul Mukhlasin II ini telah
menyelenggarakan pendidikan umum yakni Madrasah Aliyah (MA),
karakteristik sebagai Pesantren Tradisional masih tampak jelas,97
sekalipun tidak seperti halnya pondok Pesantren Tradisional pada
tahun 60/70-an yang terkesan kumuh dan tertutup untuk menerima
pembaharuan, apalagi mengadopsi sesuatu yang datang dari Barat.
Di samping penggunaan Kitab Kuning (KK) sebagai bahan kajian di
Madrasah,98 pesantren ini masih memberlakukan kegiatan mengaji
al-Qur’an bi al-naẓar langsung dengan pengasuh/pimpinan pondok,
kepemimpinan pondok yang sentralis-kharismatik, sekalipun sudah
berdiri adanya Yayasan Amal Jariyah (Yajri), moralitas masih sangat
dijunjung tinggi dan sistem pengajaran moving class-sorogan di
madrasah. Dan pada hakikatnya moving class yang dimaksud adalah

Tarjamah (Depag), Aqīdah al-‘Awām untuk pelajaran Aqidah, dan al-Jurūmiyah


untuk mata pelajaran Nahwu.
97 Visi Pesantren Tradisional Plus “Sirojul Mukhlasin II” Payaman adalah

menjalankan pendidikan dan pembelajaran dengan milieau pesantren ‘ala ahl al-
Sunnah wa al Jama‘ah untuk memantapkan aqidah, meluruskan keyakinan, dan
ketakwaan serta penguasaan ilmu pengetahuan nondikotomik antara ilmu agama
dan ilmu umum dalam membina akhlak mulia untuk kesejahteraan umat. Adapun
misinya adalah: 1) memberikan pelayanan terbaik dalam mengantarkan para
santri/siswa memiliki kemantapan akidah, penguasaan ilmu, dan keluhuran
akhlak untuk kesejahteraan umat; 2) membentuk santri/siswa berakhlak al-
karimah yang unggul dalam pemahaman kitab-kitab Salaf, ilmu pengetahuan, dan
lifeskill/ketrampilan; 3) membentuk santri/siswa menjadi generasi Islam yang
mempunyai luas; 4) menciptakan semua komponen madrasah menjadi Mukmin
yang taat, jujur, ikhlas, berdisiplin, percaya diri, kreatif dan inovatif; dan 5)
menjalankan pendidikan dan pembelajaran dengan milieau madrasah dan
pesantren ala ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah dengan kurikulum integral. Lihat
Brosur Yayasan Amal Jariyah Pondok Pesantren Sirojul Mukhlasin II Madrasah
Tsanawiyah-Aliyah Yajri, tahun 2008.
98 Selain di madrasah, kajian kitab kuning diberikan juga pada sore hari

untuk santri-santri senior dan pada bulan Ramadlan.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 107


sistem pembelajaran sorogan. Sistem atau metode sorogan 99 ini
sebagai sistem pembelajaran yang sudah berjalan ratusan tahun di
Pesantren Tradisional di Indonesia, di samping metode
wetonan/bandongan dan ḥalaqah.100
Berbeda dengan Pesantren Tradisional Plus Payaman,
Pesantren Modern Pabelan dalam hal kurikulum sejak awal telah
menggunakan kurkulum KMI (Kulliyat al-Mu‘allimīn al-Islāmiyah).
Namun, setelah adanya Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pabelan,
kurikulum disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, tahap awal. Menurut K.H. Mahfudh Masduki, Pondok
pesantren ini sejak awal berdirinya 101 mengadopsi pola Pesantren
Gontor,102 baik sistem pembelajaran, kedisiplinan yang diterapkan di
asrama, materi yang diajarkan, maupun buku-buku yang digunakan.
Termasuk pula evaluasi pendidikan, dan tidak mengeluarkan ijazah.

99 Menurut Zamakhsyari Dhofier, sistem sorogan ini terbukti sangat efektif

sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.
Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing
secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai Bahasa Arab. Lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerapan ekonomi dan Sosial
(LP3ES), 1982), 28.
100 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 28-32.
101 Pondok Pesantren Pabelan didirikan oleh K.H. Hamam Dja’far pada 28

Agustus 1965, melanjutkan Pondok Pesantren Pabelan yang sebelumnya tapi


mengalami kafakuman. Lembaga yang pertama kali didirikan pada waktu itu
adalah Balai Pendidikan Pesantren Pabelan dengan kegiatan Pendidikannya KMI
(Kulliyat al-Mu‘allimin al-Islamiyah). Untuk penyelenggaraan pendidikannya
dibentuklah Yayasan Wakaf Pondok Pabelan, dengan ketua Drs. H. Wasit Abu Ali
(alm). Baca Profil MA Pondok Pabelan (Magelang: 2009), 1.
102 Ada tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya Pondok Pabelan.

Pertama, adanya Pesantren Tradisional yang hanya menekankan aspek ibadah,


sementara bekerja dianggap bukan ibadah. Hidup kok ngoyo-ngoyo (Jawa). Kedua,
adanya konsep sabar yang tanpa action. Ketiga, orang Pabelan melihat tentara
sudah apriori, seolah-olah umat Islam sebagai musuh negara. Wawancara pribadi
dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010. Sejak berdiri, pondok ini telah
menerapkan integrasi. Sejak awal santri sudah diberikan ilmu Agama, Berhitung,
Geometri, al-Jabar, dan Ilmu Alam. Wawancara pribadi dengan Khudlori, 19
Januari 2010.

108 | Drs. Asnawi, MA


Bermula dengan modal 35 santri, kemudian meningkat pada tahun
kedua mencapai dua kelas dengan per kelasnya terdiri dari 45 anak,
hingga pada sekitar tahun 1974-1975 mencapai jumlah santri
mencapai 1500-an. Ini berlangsung hingga tahun 1991. 103
Kedua, Tahap Wacana Integrasi. Munculnya gagasan bahkan
putusan integrasi KMI, sebagaimana dijelaskan oleh Mudzakir,
bahwa adanya putusan integrasi KMI tersebut sudah ada sejak K.H.
Hamam masih hidup. Menurutnya, dalam kegiatan belajar mengajar
kelas III KMI diikutkan ujian MTs dan kelas VI diikutkan ujian
Aliyah.104 Ide atau gagasan sekaligus keputusan integrasi KMI
tersebut diambil karena pada saat itu jumlah santri mengalami
penurunan. Menurut K.H. Mahfudh, menurunnya santri tersebut
disebabkan dua hal. Pertama, pesantren ini tidak mengeluarkan
ijazah. Kedua, tamatan pondok ini tidak dapat diterima di Perguruan
Tinggi termasuk IAIN. Sejak itulah dibuka Madrasah Tsanawiyah
(MTs) dan Madrasah Aliyah (MA),105 yang kurikulumnya
memadukan kurikulum KMI dan kurikulum pemerintah
(Departemen Agama). Jadilah KMI dalam format seperti sekarang ini,
tetapi kalender pendidikan mengikuti pemerintah. 106
Ketiga, tahap modifikasi. Modifikasi ini ditempuh dengan cara
mengurangi alokasi waktu dari beberapa materi pelajaran.
Pengurangan alokasi waktu seperti pada mata pelajaran bahasa
Indonesia 7 jam, di madrasah ini hanya 5 jam; 2 jam sisanya
digunakan untuk pelajaran lain. Begitu juga dengan Bahasa Inggris.
Matematika di luar Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pabelan sebanyak

103 Wawancara pribadi dengan K. Mahfudh Masduki, 20 Januari 2010.


104 Wawancara pribadi dengan Mudzakir, 14 Januari 2010.
105 Madrasah Aliyah Pondok Pabelan ini berdiri pada tahun 1991 dengan

SK Pendirian WK/5.d/218/pgm/MA/1991 dengan status Terdaftar, dan pada


tahun 1998 statusnya telah menjadi Diakui, kemudian pada tahun 2005 Madrasah
ini mendapatkan akreditasi dengan peringkat A (sangat baik). Baca Profil MA
Pondok Pabelan (Magelang: 2009), 2.
106 Wawancara pribadi dengan K.H. Mahfudh Masduki, 27 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 109


8 jam, di sini jamnya kurangi menjadi 5/6 jam. Hal ini digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pelajaran seperti muthāla’ah. Geografi,
Kosmologi, 5 jam, mungkin di sini 3 jam. Bahasa Arab di sini
menggunakan pembelajaran dengan teori Naẓariyat al-Furū‘107
berbeda dengan madrasah lainnya yang mungkin menggunakan
teori Naẓariyat al-Waḥdah.108
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Khudlori dengan
mengatakan bahwa integrasi kurikulum dilakukan dengan cara
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, berawal dari
kurikulum KMI (Kulliyat al-Mu‘allimīn al-Islāmiyah).109 Sejak adanya
Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), sebagai
konsekeensinya terjadi pengurangan alokasi waktu, sehingga
terwujudlah kurikulum pondok Pabelan yang menjadi integral
(menyatu) dengan pola pembelajaran secara klasikal. 110 Kurikulum
tersebut merupakan penggabungan antara materi-materi umum dan
materi agama. Semua anak berada di dalam asrama. Mereka tidak
hanya mempelajari ilmu, tetapi sekaligus juga melaksanakannya.
Dengan demikian terjadi terintenalisasi ilmu. Hal itu terwujud dalam
bermacam-macam kegiatan, seperti kepemimpinan, olahraga, ziarah,

107 Teori Naẓariyat al-furū‘. Teori ini memandang bahwa bahasa terdiri
dari beberapa cabang, seperti qira’ah, muṭāla‘ah, qawa’id, dan lainnya yang
diajarkan dengan metode, buku, dan waktu tersendiri. Ciri khusus dari teori ini
adalah: 1) bahasa diajarkan menurut cabang tertentu; 2) tiap cabang mempunyai
materi bahasan, silabus, dan alokasi tertentu; 3) memberi peluang untuk
mendalami salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang diminati; 4) lebih
mengutamakan pengausaan gramatika dan muthala’ah. Lihat Mahmud Yunus,
Metodik Khusus Bahasa Arab, 28-29.
108 Wawancara pribadi dengan Mudzakir, 14 Januari 2010.
109 Kulliyat al-Mu‘allimin al-Islamiyah (KMI) ini adalah Sekolah Keguruan

Islam seperti halnya PGA (Pendidikan Guru Agama). Kelebihan KMI adalah semua
mata pelajarannya dari kelas II, materi pelajaran agama kesemuanya
menggunakan Bahasa Arab (Arab gundul) ala pesantren Pabelan. Hingga sekarang
materi agama masih seperti dulu, hanya ada pengurangan jam yang awalnya 2 jam
menjadi 1 jam, karena tuntutan kurikulum Depag. Wawancara pribadi dengan
Khudori, 19 Januari 2010.
110 Wawancara pribadi dengan Khudlori, 19 Januari 2010.

110 | Drs. Asnawi, MA


bertani, border, dan sebagainya. Harapannya, siswa/santri tidak
hanya menjadi manusia yang mempunyai agama, tapi juga menjadi
orang yang beragama. Tidak hanya having religion, tetapi being
religious.111
Keempat, tahap pelaksanaan. Integrasi ilmu dalam kurikulum
dilakukan dengan mensinergikan antara ilmu agama dan ilmu
umum, baik alokasi waktu yang digunakan maupun pelaksanaannya.
Kurikulum integrasi yang berlaku di MA Pondok Pabelan adalah
Kurikulum perpaduan antara KMI dan kurikulum Madrasah Aliyah
KTSP (Depag) dengan beberapa modifikasi, antara lain dengan
memberikan porsi yang berimbang dalam alokasi jam.
Sejak tahun 1995, integrasi kurikulum Depag khususnya mata
pelajaran ilmu-ilmu alam dan sosial dengan kurikulum KMI sudah
dilaksanakan. Adapun materi-materi agama dalam kurikulum Depag
digantikan materi-materi pondok (KMI). Buku Depag dipergunakan
sebagai rujukan bagi guru, seperti al-Qur’an Hadits, Tafsir, juga
Bahasa Arab.112 Secara agak lebih terperinci, kurikulum Pondok
Pabelan113 menurut K.H. Muhammad Balya disusun dengan
ketentuan sebagai berikut. Pertama, untuk kelas I, diberikan
pengertian dasar ajaran Islam (aqidah al-Islāmiyah) terkait dengan
Rukun Islam dan Rukun Iman ala mazhab Syafi’i. Kedua, untuk kelas
III, diberikan materi Tafsir, Fiqh, dan Hadis terkait dengan
permasalahan Hukum Islam. Ketiga, untuk kelas VI, diberikan materi
Usul Fiqh. Terkait dengan mazhab yang berkembang di dunia Islam,
maka dijelaskan pula tentang sumber, metode yang digunakan, serta
bagaimana pemahaman masing-masing mazhab. Perbedaan paham

111 Wawancara pribadi dengan K.H. Mahfudh Masduki, 20 Januari 2010.


112 Wawancara pribadi dengan Hedi Riyanto, Wakil Direktur (Kepala
Madrasah Aliyah) Pondok Pabelan, 14 Januari 2010.
113 Di samping tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya Pondok Pabelan

di atas, ada juga faktor lain, yakni adanya pemahaman dikotomi antara ilmu dan
agama serta munculnya khilafiyah dalam hal Fiqh dan Teologi di tengah-tengah
masyarakat. Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 111


atau mazhab tidak harus dipertengkarkan, begitu pula dalam hal
pengetahuan umum, termasuk penguasaan bahasa baik Bahasa Arab
(ilmu agama) maupun Bahasa Inggris (ilmu umum). 114
Melihat modifikasi materi-materi dalam kurikulum yang
diambil oleh Pondok Pabelan mengacu, bahkan mengadopsi baik
sistem maupun administrasi pondok Gontor yang notabene adalah
Pondok Modern, sudah barang tentu Pondok Pabelan pun dalam hal
orientasi pemikirannya juga ke arah orientasi modern (Contemporer
Oriented).115 Hal ini dikuatkan dengan visi, misi, dan Pancajiwa
Pondok dan Motto Pondok Pabelan116 selalu ditekankan kepada para
santrinya, agar dapat menjadi jiwa dan sikap santri Pondok Pabelan.

114Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.


115 Tipologi Modernis menekankan perlunya berpikir bebas dan terbuka
dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana terkandung
dalam wahyu Ilahi; progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon
tuntutan kebutuhan lingkungan atau zaman; serta berwawasan kependidikan
Islam kontemporer (contemporer oriented). Ciri-ciri pemikirannya adalah ia tidak
berkepentingan untuk mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem
pendidikan para pendahulunya, lapang dada dalam menerima dan mendengarkan
pemikiran pendidikan dari mana pun dan siapa pun untuk kemajuan kembali
pendidikan Islam dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan iptek.
Tugas pendidikan Islam terutama: 1) mengembangkan kemampuan peserta didik
secara optimal, baik potensi jasmani, akal maupun hati; 2) upaya interaksi potensi
dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya; 3) rekonstruksi pengalaman yang
terus menerus agar dapat berbuat sesuatu secara intelegen dan mampu
melaksanakan penyesuain dan penyesuaian kembali dengan tuntutan dan
kebutuhan lingkungan, zaman dan sebagainya yang dilandasi oleh iman dan takwa
kepadaa Allah SWT. Lihat Muhaimin, Arah Baru Pengambangan Pendidikan Islam,
Pemberdayaan Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan
(Bandung: Nuansa, 2003), 42.
116 Visi Pondok Pabelan adalah “Balai Pendidikan Pondok Pesantren

Pabelan bertujuan untuk mendidik para santri menjadi Mukmin, Muslim, dan
Muhsin yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengalaman luas, dan bebas
berpikir. Sedangkan misinya adalah: 1) Menanamkan disiplin santri untuk
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; 2) Menanamkan jiwa
keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah diniyah, kemandirian dan kebebasan dalam
kehidupan sehari-hari; 3) Menyelenggarakan pendidikan formal dengan
Kurikulum Pesantren yang sesuai dengan Kurikulum Pendidikan Nasional; 4

112 | Drs. Asnawi, MA


Komposisi kurikulum integrasi antara kurikulum KMI dengan
kurikulum Madrasah Aliyah (MA) Depag, bila disintesakan sebagai
berikut.

Kurikulum Madrasah Aliyah (Depag)

Kurikulum KMI-MA Pabelan sekarang Ini

Kurikulum KMI (MTs+MA dan Takhasus)117

Gambar 3 : Kurikulum Integrasi Madrasah Aliyah Pondok Pabelan

Dengan mencermati sketsa kurikulum di atas, tampak jelas


bahwa kurikulum yang berlaku di Madrasah Aliyah (MA) Pondok

Mendidik dan mengantarkan santri untuk mampu mengenal jati diri dan
lingkungannya, serta mempunyai motivasi dan kemampuan untuk
mengembangkan diri sesuai dengan perilaku hidupnya; dan 5) Mendidik dan
mempersiapkan santri untuk menjadi manusia mandiri, berkhidmat kepada
masyarakat, agama, nusa dan bangsa. Panca Jiwa Pondok Pabelan meliputi lima
hal, yaitu: 1) Keikhlasan, 2) Kesederhanaan, 3) Ukhuwah Diniyah, 4) Berdikari, dan
5) Bebas. Sedangkan Moto Pondok Pabelan ada empat, yaitu: 1) Berbudi Tinggi, 2)
Berbadan sehat, 3) Perpengalaman luas, dan 4) Berpikiran bebas. Baca Profil
Madrasah Aliyah Pondok Pabelan ( Magelang: 2009), 26, 27, dan 28.
117 Program Takhasus ini sebagai kelas persiapan. Program ini berlaku

bagi santri yang berasal dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam program
ini mereka mendapatkan pendidikan khusus materi agama dan bahasa selama satu
tahun. Wawancara pribadi dengan Khudlori, 19 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 113


Pabelan adalah kurikulum integrasi (Integrated Curriculum), yaitu
integrasi antara kurikulum KMI dan kurikulum Madrasah Aliyah
Depag. Dengan kata lain, kyang berlaku di madrasah tersebut
merupakan penggabungan antara materi umum dan materi
agama.118 Integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum,
sehingga batas antara kurikulum yang berasal dari KMI dan dari
Madrasah Aliyah sangatlah tipis. Artinya, hampir seluruh materi
dalam KMI dan materi yang ada dalam kurikulum Aliyah seluruhnya
terakomodir dan masuk dalam kurikulum Pondok Pabelan. Hal ini
sebagaimana dapat dilihat pada lampiran.
Kiranya tepat apa yang dikatakan K.H. Muhammad Balya
bahwa Kurikulum yang berlaku di Pondok Pabelan ini adalah 100%
agama dan 100% umum. Menurutnya, antara agama dan umum tidak
dapat dipisahkan. Hal ini didasari pemahaman bahwa persoalan
duniawi dan ukhrawi tidak dapat dipisahkan, sebagaimana tidak
dapat dipisahkannya antara dunia dan akhirat. Kehidupan dunia
merupakan jalan menuju akhirat. Peran ilmu umum menjadi jalan
untuk sempurnanya ibadah (agama), sesuai dengan doa 119 yang
diajarkan oleh Allah.120
Hal ini senada dengan pendapat Azyumardi Azra dalam
Abuddin Nata, terkait dengan integrasi ilmu. Menurutnya, Islam
sebagai agama universal dan berlaku sepanjang zaman, tidak hanya
mengatur urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Demikian pula
Islam mengatur ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Tuhan dan
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduniaan. Islam mengatur
keduanya secara integrated.121 Agama dan ilmu merupakan satu

118 Wawancara pribadi dengan K.H. Mahfudh Masduki, 20 Januari 2010.


119 QS. Al Baqarah [2]: 201: yang artinya, “Dan di antara mereka ada orang
yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.”
120 Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
121 Abuddin Nata et.al. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta:

Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama UIN Syarif Hidayatullah , 2003), viii.

114 | Drs. Asnawi, MA


kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam mengajarkan umatnya
untuk senantiasa mengamati alam 122 dan menggunakan akalnya,123
yang mana keduanya merupakan landasan untuk membangun ilmu
pengetahuan.
Sekalipun demikian, faktor kesejarahan tidak dapat
dinegasikan. Perkembangan ilmu pengetahuan yang sekarang ini
menguasai dunia, termasuk dunia Islam, berada di tangan orang-
orang Barat yang sekuler. Bagi mereka yang berpandangan bahwa
ilmu itu tidak bebas nilai, maka tidak mustahil ideologi sekuler akan
memengaruhi tingkat objektivitas keilmuan itu sendiri. Sebaliknya,
bagi mereka yang berpandangan bahwa ilmu itu bebas nilai (value
free), ternyata ilmu yang dianggap bebas nilai melampaui dirinya
sendiri sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo. Menurutnya, ilmu yang
semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atas
manusia. Ilmu menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai
petunjuk kehidupan.124 Dan semua ini akan berimplikasi pada proses
pembelajaran di kelas. Oleh karena itu diperlukan kearifan dalam
menyikapi perkembangan ilmu dan teknologi ini dengan cara
mensinergikan atau mengintegrasikan antara ilmu-ilmu umum dan
ilmu agama, agar perkembangan ilmu dapat membawa
kemaslahatan manusia ke arah terwujudnya ajaran Islam rahmatan
lil ‘alamin.

122 Hal ini dikarenakan alam sebagai pertanda adanya Tuhan. Jagad raya

juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi
manusia, dengan melakukan pengamatan terhadap keserasian, keharmonisan, dan
ketertiban alam semesta. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Perdaban:
Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), 289.
123 QS. Al-Nisa [4]: 82, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak

memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
124 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi dan Etika

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 52.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 115


C. Upaya Integrasi dalam Strategi dan Pendekatan
Integrasi ilmu sebagaimana dikatakan Mulyadhi Kartanegara
tidak mungkin tercapai hanya dengan mengumpulkan dua himpunan
keilmuan yang mempunyai basis teoretis yang berbeda (sekuler dan
religius). Sebaliknya, integrasi (atau reintegrasi) ini harus
diupayakan hingga tingkat epistemologis. Menurutnya,
menggabungkan dua himpunan ilmu yang berbeda, sekuler dan
religius, di sebuah lembaga pendidikan seperti yang terjadi selama
ini tanpa diikuti oleh konstruksi epistemologis merupakan upaya
yang tidak akan membuahkan integrasi, tetapi hanya akan seperti
menghimpun dalam ruang yang sama dua entitas yang berjalan-
sendiri-sendiri.125
Terkait dengan persoalan upaya integrasi ilmu dalam strategi
dan pendekatan, Pesantren Tradisional Plus telah mengambil
langkah strategis dalam rangka menuju ke arah integrasi ilmu antara
lain sebagai berikut.

1. Pemahaman Konsep Integrasi


Pemahaman komunitas Pesantren Tradisional Plus tentang
integrasi ilmu dapat dipetakan menjadi dua macam.
Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa ilmu itu integral,
dikarenakan esensi ilmu itu sendiri sudah integral. Pendapat seperti
ini disampaikan K.H. Asyhari, K.H. Minanurrahman Anshari, dan
Retno Rahmawati. Perlunya integrasi ilmu dalam pandangan K.H.
Minanurrahman, di samping karena kebutuhan bagi kehidupan
manusia, juga dikarenakan ilmu itu sendiri pada hakikatnya adalah
integral. Menurutnya, ilmu umum menjadi liar jika tanpa kendali
agama. Ilmu agama terbatas hanya itu, sementara kebutuhan nyata,
kehidupan manusia membutuhkan banyak cabang ilmu. Dengan ilmu

125 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 208-209.

116 | Drs. Asnawi, MA


pengetahuan, kehidupan manusia di dunia ini menjadi lebih baik
(good life). Agama tanpa ilmu sudah jalan, akan tetapi dengan
bantuan ilmu-ilmu umum, kehidupan ini menjadi lebih baik. 126
Pendapat ini dikuatkan oleh K.H. Asyhari yang menyatakan
bahwa ilmu apa saja yang menjadi kebutuhan manusia hukumnya
adalah farḍu kifāyah.127 Namun, dengan kritis ia memberikan
tanggapan terhadap sistem pembelajaran ala Madrasah Aliyah, dari
segi penguasaan ilmu agama, tamatan Aliyah bila dibandingkan
dengan alumni pesantren, hasilnya jauh. Sementara dalam segi
pemahaman ilmu umum, bila dibandingkan dengan tamatan SMA
Taruna, hasilnya pun kalah. Jadi, agamanya tidak matang, umumnya
pun kurang matang. Sebetulnya, kalau ingin matang kedua-duanya,
ilmu agamanya matang seperti di Pondok Salaf, umumnya juga
matang seperti alumni SMA Taruna, ya secara bergantian
waktunya.128
Idealnya memang demikian, namun realitas membuktikan
bahwa orang yang mampu dalam bidang agama biasanya lemah
dalam bidang ilmu umum. Sebaliknya, orang yang mampu dalam
bidang umum, justru lemah ilmu agamanya. Untuk mengatasi
persoalan ini, menurutnya, integrasi seperti di madrasah Aliyah
dipandang perlu dilakukan.129 Integrasi sebagaimana dikatakan K.H.
Asyhari hendaklah dimaknai mengubah persepsi (pola pandang)
terhadap keilmuan, antara ilmu agama dan ilmu umum, sebagai

126 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari


2010.
127 Ilmu Fardlu Kifayah adalah ilmu yang menjadi syarat bagi nidhamnya

(teraturnya) kehidupan masyarakat, seperti sandang, pangan dan papan, juga


kesehatan. Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, 2 Februari 2010.
128 Dalam hal ini K.H. Asyhari mengutip QS. Al-Ahzab [33]: 4, yang artinya

“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/dua pikiran sekaligus.” Namun,
dalam al-Qur’an Digital, ayat tersebut diartikan “Allah sekali-kali tidak menjadikan
bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.”
129 Kaidah Ushul Fiqh: Mā lā yudrak kulluh lā yutrak kulluh (Sesuatu yang

tidak dapat dicapai seluruhnya, jangan sampai dicampakkan seluruhnya).

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 117


sesuatu yang integral. Jangan dipandang sebagai sesuatu yang
terpisah. Pendapat ini paralel dengan Fazlur Rahman yang
mengatakan bahwa satu-satunya harapan umat Islam untuk
menghasilkan Islamisasi adalah memelihara pemikiran umat
Islam.130
Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa antara ilmu agama
dan ilmu umum saling mengisi, serasi, dan tidak bertentangan.
Pendapat seperti ini disampaikan K.H. Muhammad Nur Abdul
Madjid, Sittah Ahmad Zaenuri, Nurul Huda, dan Asyrofah. Menurut
K.H. Muhammad Nur Abdul Madjid, makna integrasi adalah insijām.
Artinya, menyerasikan antara ilmu agama dan ilmu umum, karena
kedua-duanya merupakan kebutuhan manusia. Dalam artian, ilmu
agama saja kurang, apalagi hanya ilmu umum; hal ini akan
menyebabkan kepincangan. Ini sesuai dengan pemahaman Albert
Einstein tentang hubungan sains dengan agama, bahwa “Science
without religion is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa
agama adalah buta, sedangkan agama tanpa ilmu adalah lumpuh).131
Menurutnya, dengan adanya integrasi/insijām antara ilmu
agama dan ilmu umum ini sangat dibutuhkan manusia baik dahulu
maupun sekarang, baik dalam kehidupan individual maupun

130 Fazlurrahman, “Islamization of knowledge: a Respon”, American

Journal of Islamic Social Sicence (5/1) (1998), 3-11.


131 Albert Einstein, Science, Philosophy and Religion: Symposium”,1941,

US (German born) Physics (1879-1955) dalam


http://www.quotationspage.com/quote/24949. Baca Laura Tussi, Tokoh-tokoh
Sepanjang Sejarah Dunia (Yogyakarta: 2009), 54-56. Menurut versi Jujun
Suriasumantri, Albert Eintein (1879-1917), adalah sebagai teoritikus terbesar
dunia dalam bidang ilmu alam. Ia adalah pemenang Nobel 1921 untuk
sumbangannya di bidang ilmu fisika teori. Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1992), 3.

118 | Drs. Asnawi, MA


kehidupan sosial. Dengan kata lain, integrasi ini adalah keserasian
antara ayat qawliyah dan ayat kawniyah.132
Pendapat di atas paralel dengan pendapat Nurcholish Madjid
yang menyatakan bahwa jagat raya juga disebut sebagai ayat-ayat
yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia, dengan
melakukan pengamatan terhadap keserasian, keharmonisan, dan
ketertiban alam semesta.133 Begitu pula keyakinan Mulyadhi
Kartanegara, bahwa dalam mempelajari fenomena alam tidaklah
berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi.
Menurutnya, dengan mengutip pendapat Muhammad Iqbal yang
mengatakan bahwa ia merupakan medan kreatif Tuhan, sehingga
mempelajari alam akan berarti mempelajari dan mengenal dari
dekat cara kerja Tuhan di alam semesta.134
Sementara pemahaman konsep integrasi menurut komunitas
Pesantren Modern terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama
memandang perlunya integrasi ilmu, karena ilmu agama dan ilmu
umum itu bersifat integral, tidak terpisah. Pandangan ini
disampaikan oleh Zaenal Arifin, Marissa Ulfah, dan K. Hanafi.
Menurut Zaenal Arifin, ilmu agama dan ilmu umum (eksak) itu
bersifat integral. Oleh karena itu, menurutnya, ilmu itu perlu
diinterasikan. Ia mencontohkan tentang tata surya dan peredaran
matahari dikaitkan dengan waktu pelaksanaan s}alat Zuhur, juga
tentang hukum Newton dikaitkan dengan keimanan kepada Allah. 135
Senada dengan pendapat di atas, Marissa Ulfah mengatakan bahwa
132 Dalam keilmuan Islam sendiri juga terdapat insijām, yaitu Man

tafaqqah walam yataṣawwaf faqad tafassaq, wa man taṣawwaf wa lam yatafaqqah


faqad tazandaq (orang yang alim fiqh saja tanpa tasawwuf/berakhlak mulia maka
akan menjadi fasik, sedangkan orang yang hanya bertasawwuf tanpa memahami
fiqh akan menjadi zindik). Wawancara dengan K.H. Muhammad Nur Abdul Madjid,
14 Januari 2010.
133 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 289.
134 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 21.
135 Wawancara pribadi dengan Zaenal Arifin, guru Fisika MA Pondok

Pabelan, 27 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 119


antara ilmu agama dan ilmu umum tidak terpisah. Menurutnya,
banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan tentang kejadian alam yang
dipelajari oleh ilmu Biologi.136 Pendapat Marissa Ulfah dikuatkan
oleh K. Hanafi dengan mencontohkan beberapa ayat tentang
Biologi,137 dan Sosiologi.138
Pendapat kelompok pertama di atas paralel dengan pendapat
Nasr yang mengatakan bahwa berbagai cabang ilmu atau bentuk-
bentuk pengetahuan, dipandang dari persepektif Islam, pada
akhirnya adalah satu. Menurutnya, Islam tidak mengenal pemisahan
esensial antara “ilmu agama” dan “ilmu profan”. Berbagai ilmu dan
perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang
mempunyai hierarki. Tetapi, hierarki ini pada akhirnya bermuara
pada pengetahuan tentang “Yang Maha Tunggal”, Substansi dari
segenap ilmu.139
Kelompok Kedua memandang perlunya integrasi, bukan pada
keilmuannya, tetapi pada manusianya. Pandangan ini disampaikan
oleh K.H. Najib Hamam, K.H. Muhammad Balya, dan K.H. Mahfudh

136 Wawancara pribadi dengan Marissa Ulfah, guru Biologi MA Pondok


Pabelan,16 Januairi 2010.
137 QS. al-Ra’du [13]: 2 dan 3 yang artinya: “Allah-lah yang meninggikan

langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di
atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga
waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-
tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu.
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung
dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.”
138 QS. Al-Rūm [30]: 22, yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda

kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu


dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Wawancara dengan K. Hanafi, 16
Januari 2010.
139 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrates Study (London:

1976), 13-14.

120 | Drs. Asnawi, MA


Masduki. Pendapat kelompok kedua ini terbagi menjadi dua
pandangan. Pertama, mengatakan perlunya integrasi dalam niat. Hal
ini sebagaimana disampaikan K.H. Najib Hamam dan K.H. Mahfudh
Masduki. Menurut K.H. Najib Hamam bahwa belajar apa pun kalau
niatnya dalam rangka ibadah, jadilah ia ilmu agama, walaupun itu
ilmu Biologi. Dia mencontohkan adanya kemajuan teknologi pesawat
terbang disinergikan dengan perjalanan Rasulullah dalam peristiwa
Isra’ dan Mi‘raj. Jadi, integrasi itu ada pada niatnya. Manusia,
menurut K.H Najib Hamam sebagaimana diajarkan K.H. Hamam
Dja’far, terbagi menjadi empat macam.140 Salah satu dari empat
macam manusia tersebut adalah orang yang mempunyai keinginan,
dilaksanakan, dan selesai dengan hasil maksimal. Lebih lanjut ia
menegaskan bahwa hasil maksimal ini bisa terwujud apabila niatnya
lillāhi ta‘ālā.141 Terkait dengan konsep ikhlas, K.H. Najib mengatakan
bahwa pokoknya segala sesuatu diperbuat karena fungsi kita sebagai
khalīfah fī al-arḍ.142
Pendapat tersebut didukung oleh K.H. Mahfudh Masduki yang
mengatakan bahwa ilmu itu tidak bisa dipisahkan, ilmu umum juga
sekaligus sebagai ilmu agama. Yang membedakan adalah niatnya.
Menurutnya, bahwa ilmu di Pondok Pabelan sejak awal sudah
terintegrasi. Jadi, di sini tidak ada ungkapan bahwa mempelajari ilmu

140 Tiga macam manusia lainnya adalah: 1) orang yang mempunyai


keinginan untuk melakukan sesuatu, tetapi tidak pernah berani memulai; 2) orang
yang mempunyai keinginan, berani memulai, tetapi hanya memulai saja namun
tidak selasai, lalu ditinggal begitu saja; 3) orang yang mempunyai keinginan, bisa
memulai, dan bisa menjalankan sampai selesai, tetapi asal-asalan. Wawancara
pribadi dengan K.H. Najib Hamam, 27 Januari 2010.
141 Hadis Nabi, dari Umar ra. Ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw.

bersabda: ‘Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat’.” Baca al-Husain bin al-
Mubarak, Al-Tajrīd al-Ṣarīh li aḥādīth al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ, Juz awal (Semarang: Thaha
Putra, TTP), 5. Lihat pula Abu Abd Allah al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 1 (Bayrut:
Dār Ibn Katsīr, 1407), 3. Lihat pula Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abī Dāwūd, Juz 2
(Bayrut: Dār al-Fikr, TTP), 262. Lihat pula Abu Abd Allah al-Qazwaini, Sunan Ibnu
Mājah, Juz 2 (Bayrut: Dār al-Fikr, TTP), 1413.
142 Wawancara pribadi dengan K.H. Najib Hamam, 27 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 121


umum itu tidak berpahala. Semua bergantung kepada niatnya.
Belajar matematika atau biologi, apabila diniatkan mempelajari ayat-
ayat kawniyah143 dengan bismillah, jadilah itu ilmu agama. Ilmu
agama dan ilmu umum terintegrasi, yakni ilmu umum dinapasi
dengan agama.144
Selain kedua kelompok di atas, di kalangan komunitas
Pesantren Modern terdapat pendapat yang berbeda dari kedua
pendapat di atas, yaitu pendapat yang disampaikan oleh K.H.
Muhammad Balya. Menurutnya, yang perlu diintegrasikan bukan
ilmunya, melainkan umat ini perlu dibimbing ke arah pemahaman
agama yang benar (world view). Menurutnya, yang perlu diluruskan
adalah pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Islam tidak mengajarkan manusia untuk mementingkan salah satu
aspek dari kehidupan ini, misalkan di satu sisi mengajarkan agar
manusia lari dari kehidupan duniawi dengan mengejar kehidupan
akhirat saja atau di sisi lain lari dari agama dengan mengejar
kehidupan yang duniawi, ini kan sama-sama tidak benarnya. Karena
agama kita tidak mengajarkan seperti itu.145 Artinya, perlu adanya
keseimbangan antara hubungan vertikal dan horizontal, antara

143 QS. Ali Imran [3]: 164, yang artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
144 Wawancara pribadi dengan K.H. Makhfudh Masduki, 20 Januari 2010.
145 QS. Ali Imran [3]: 112, yang artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana

saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan
tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari
Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir
kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang
demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”

122 | Drs. Asnawi, MA


peran manusia sebagai Abdullah dan khalifah Allah (ḥabl min Allāh
wa ḥabl min al-Nās).146
Secara lebih terperinci terkait dengan makna integrasi adalah
sebagaimana dinyatakan Komaruddin Hidayat artinya menyatukan
yang meliputi beberapa aspek dan dimensi. Pertama, integrasi dalam
kesadaran ontologis, bahwa semua ilmu itu dari Allah. Kedua,
integrasi dalam bidang metodologis, pada beberapa ilmu yang bisa
diintegrasikan. Dalam hal metodologi ia memaknai integrasi lebih
mengarah pada makna interdisipliner,147 hal ini untuk menjaga
karakteristik keilmuan masing-masing. Ketiga, integrasi pada tataran
aksiologis, etikanya dan manfaat dari ilmu itu sendiri. Karena dalam
ilmu terkandung aspek spiritual (spiritual aspect). Ini harus
menjiwai, untuk apa ilmu itu dipelajari. Keempat, integrasi ilmu pada
user-nya, manusianya. Kelima, integrasi kurikulum, mata pelajaran
agama dapat masuk ke semua fakultas148 atau jurusan dalam tingkat
sekolah menengah seperti Madrasah Aliyah (MA).
Pendapat tersebut senada dengan pendapat Ziauddin Sardar
yang mengatakan bahwa untuk keberhasilan upaya Islamisasi
dengan membangun wordl view Islam dengan titik pijak utama

146 Menurut K.H. Muhammad Balya, peranan Abdullah dan khalifah fi al-
Ardh ini diwujudkan dalam melaksanakan dua dimensi komunikasi antara hamba
dengan Tuhan-Nya dan interaksi antara manusia dengan manusia dan antara
manusia dengan lingkungannya atau ḥabl min Allāh wa ḥabl min al-nās.
Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
147 Interdisipliner adalah satu pendekatan dalam model pembelajaran

integrated, dengan cara memadukan atau mengoordinasikan tema-tema atau ide-


ide konseptual dengan bidang studi atau mata pelajaran-mata pelajaran lainnya,
sehingga menjadi unit yang bisa dikaji dari berbagai mata pelajaran. Contohnya,
tema hak asasi manusia. Istilah lainnya adalah multidisipliner, yaitu cara kerjanya
misalkan seorang guru agama dalam memecahkan persoalan lingkungan hidup
melakukan konsultasi dengan mata pelajaran-pelejaran lainnya, seperti PPkn, IPA,
IPS, TI, dan sebagainya. Lihat Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai
Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006), 181-185.
148 Wawancara pribadi dengan Komaruddin Hidayat, 15 April 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 123


membangun epistemologi Islam.149 Hal ini juga dikuatkan oleh Amin
Aziz yang mengatakan bahwa yang harus diislamkan adalah orang
atau manusia, bukan ilmu pengetahuan atau apa pun objek lainnya
termasuk negara. Jadi, yang harus menganut pada prinsip tauhid
adalah pemeluk atau pencari ilmu itu sendiri, bukan ilmunya. 150

2. Perekrutan Tenaga Pengajar


Upaya mewujudkan pembelajaran yang berkualitas di
Madrasah Aliyah (MA) Yajri Payaman dilakukan dengan mencari
guru-guru yang berkualifikasi sesuai dengan bidang keilmuan yang
diajarkan di Madrasah Aliyah, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-
ilmu umum. Dari data yang ada, diperoleh keterangan bahwa jumlah
tenaga pengajar Madrasah Aliyah (MA) Yajri semuanya ada 49 orang
guru. Dari jumlah tersebut ada 2 orang guru berpendidikan Strata 2
(S2), 35 orang berpendidikan Strata Satu (S1), dan 12 orang masih
berpendidikan Madrasa Aliyah (MA) atau SMA. 151
Ditinjau dari kualifikasi keilmuan tenaga pengajarnya,
khususnya bidang ilmu-ilmu agama, mungkin tidak masalah
walaupun mereka berpendidikan setingkat Madrasah Aliyah, karena
disamping belajar di Madrasah Aliyah mereka juga sambil mondok,
sehingga dari segi keilmuannya bagi mereka tidak ada masalah.
Namun, bila ditinjau dari segi tingkat pendidikan formalnya, hal ini
cukup ironis, karena seorang guru tamatan Madrasah Aliyah
mengajar di Madrasah Aliyah juga, belum lagi berkaitan dengan
kewibawaan guru di hadapan murid-muridnya.

149 http:// Iptek 165.blogspot.com.


150 M. Amin Aziz “Islamisasi Ilmu sebagai Isu”, dalam Ulum al-Qur’an, Vol
III,No.41192, 3. Baca pula Nolaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-
Faruqi” Al Banjar, Vol 7, No. 1 Januari 2008, 42.
151 Lihat Daftar Guru Madrasah Aliyah (MA) Yajri Payaman, Magelang.

124 | Drs. Asnawi, MA


Adapun tenaga pengajar mata pelajaran umum, bila ditinjau
dari kualifikasi pendidikan mereka, dari 35 sarjana strata satu (S1)
ada 5 guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai
dengan kualifikasi pendidikan yang dimilikinya. Seperti Sarjana (S1)
jurusan PAI mengajarkan bahasa Inggris, S1 UGM Jurusan
Matematika mengajar mata pelajaran Kimia, S1 Jurusan Teknik
Kimia mengajar mata Pelajaran Matematika, S1 PGAI MI/SD
(Tarbiyah) mengajarkan Pelajaran Teknologi Informasi dan
Komunikasi.
Secara umum, walaupun masih terjadi ketimpangan dalam
pembagian tugas mengajar sebagaimana di atas, namun hal ini tidak
menjadi masalah. Hanya bagi mereka yang berpendidikan setingkat
Madrasah Aliyah, ini tidak layak. Sebaiknya mereka disarankan
untuk melanjutkan studi ke tingkat perguruan tinggi, minimal strata
satu (S1). Hal yang perlu diberikan penekanan, terkait dengan upaya
pembelajaran integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu-ilmu umum,
apakah kompetensi mereka dalam bidang ilmu agama sudah
mencukupi/mumpuni, sehingga besar kemungkinan mereka akan
melakukan pembelajaran integrasi.
Untuk dapat melakukan integrasi ilmu, menurut Mulyadhi
Kartanegara, seorang guru hendaklah mempunyai penguasaan yang
memadai baik dalam ilmi-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum,152
dan akan menjadi kendala yang serius bagi proses pembelajaran
integrasi apabila gurunya sendiri tidak menguasai salah satunya.
Berbeda dengan Pesantren Tradisional Plus, Pesantren
Modern ini sejak awal memang sudah mengintegrasikan antara ilmu
agama dengan ilmu umum, karena sejak berdirinya, pesantren ini
sudah mengadopsi Pondok Pesantren Modern Gontor, sebagaimana
pengakuan K.H. Musthofa yang mengatakan bahwa di samping
menyelenggarakan Pengajian Tradisional, Pesantren Pabelan juga

152 Wawancara pribadi dengan Mulyadhi kartenegara, 1 April 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 125


menyelenggarakan pendidikan dengan sistem klasikal seperti
Gontor.153 Upaya integrasi ini lebih diperkuat lagi dengan dibukanya
lembaga pendidikan formal Madrasah Aliyah (MA).
Pesantren ini dipimpin secara kolektif oleh 3 orang kiai,
sementara Kulliyat al-Mu’allimīn al-Islāmiyah (KMI) diamanatkan
kepada 9 orang ustadz/ustadzah sebagai pelaksana harian. Adapun
jumlah guru yang direkrut menjadi tenaga pengajar tahun pelajaran
saat ini berjumlah 46 orang, dengan kualifikasi kependidikan Strata
Dua (S2) ada 5 orang guru, Strata Satu (S1) sebanyak 38 orang,
Diploma Tiga (D3) satu orang, Diploma Dua (D2) satu orang, dan
tamatan KMI satu orang.154
Di samping tenaga pengajar tersebut, di Madrasah Aliyah
(MA) Pondok Pabelan diberlakukan kegiatan mengajar praktik bagi
para santri yang telah selesai studi di pondok ini. Untuk tahun
pelajaran ini ada 40 orang santri praktik. Kegiatan ini dimaksudkan
untuk memberikan bekal pengalaman mengajar kepada santri yang
akan mukim atau melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi,
atau karena suatu keterbatasan kembali ke masyarakat dengan
mengambil peranan di masyarakatnya sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya dan diperoleh dari pondok pesantren. Dengan
demikian, jumlah guru yang menjadi tenaga pengajar di pondok
pesantren ini sebanyak 86 guru.

3. Pola Pembelajaran
Pondok Pesantren Tradisional Plus menggunakan pola
pembelajaran moving class-sorogan. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh K.H. Minanurrahman Anshari, pada hakikatnya adalah sorogan

153Wawancara pribadi dengan K.H. Musthofa, 16 Januari 2010.


154Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pabelan, Profil Madrasah Aliyah (MA)
Pondok Pabelan, 2009, Lihat pula Jadwal Pelajaran KMI Pondok Pabelan Tahun
Pelajaran 2009/2010.

126 | Drs. Asnawi, MA


karena gurunya tetap di tempat dan siswanya yang berpindah-
pindah dari satu tempat yang lain, maka diambillah term Moving
Class. Sistem sorogan (satu-satu) secara individual ini diambil dari
pondok pesantren. Menurutnya, bahwa ilmu itu tidak harus
diajarkan secara formal, dan tidak harus di kelas. Oleh karena itu, di
pondok pesantren ini, baik ilmu agama maupun ilmu umum
diajarkan dengan satu pola pembelajaran, yaitu pola pembelajaran
sorogan (moving class),155 Team Teaching, Small Class, dan Small
Group Learning.156
Salah satu alasan dipilihnya sistem pembelajaran moving class
adalah sebagaimana disampaikan K.H. Minanurrahman jika
menggunakan sistem klasikal, pelajaran kitab-kitab kuning tidak
mungkin bisa dilaksanakan secara integral. Begitu juga dengan
sistem wetonan, karena hanya satu arah, guru yang bicara,
sedangkan santri diam. Di pondok pesantren ini diselenggarakan
Pelajaran Tarjamah al-Qur’an 30 Juz. Anak membacakan di hadapan
seorang guru dari juz satu sampai juz tiga puluh. 157 Dengan kata lain,
dipilihnya pola moving class-sorogan ini agar pembelajaran integrasi
antara ilmu agama dan ilmu umum bisa masuk dalam satu pola
pembelajaran, dengan metodologi pembelajaran yang bervariasi.
Karena apabila menggunakan sistem klasikal mustahil pembelajaran
Kitab Kuningnya (KK) bisa masuk.
Hal ini diperlukan penelaahan lebih lanjut, memang benar
bahwa dengan sistem ataupun pola pembelajaran moving class-
sorogan, pembelajaran integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum dapat terwujud. Namun, apakah dalam proses

155 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari


2010.
156 Lihat Brosur Yayasan Amal Jariyah Pondok Pesantren Sirojul
Mukhlasin II Madrasah Tsanawiyah-Aliyah Yajri tahun 2008.
157 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari

2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 127


pembelajarannya sudah terjadi integrasi? Belum tentu dengan pola
pembelajaran seperti itu sudah terjadi integrasi antara ilmu agama
dan ilmu umum. Permasalahannya, apakah guru sudah berusaha
mengintegrasikan di dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum tersebut
dengan memasukkan nilai-nilai keislaman? Begitu pula sebaliknya,
apakah hal itu sudah dilakukan oleh guru-guru pengampu ilmu
agama?
Terhadap permasalahan seperti ini Mulyadhi Kartanegara
mengatakan bahwa permasalahnnya bukan pada pola atau metode
pembelajarannya, akan tetapi pada integrasi ilmunya. Dia
mencontohkan dalam mengajarkan ilmu Fisika akan tergambar betul
adanya integrasi ilmu ketika guru mengajarkan tentang laut, tentang
bumi, tentang langit, tentang gunung tergambar betul nilai-nilai
keislamannya. Mereka tidak hanya mempelajari alam, tetapi
mempelajari alam sebagai ayat-ayat Allah, baik bersumber pada al-
Qur’an, Hadis, maupun dari karya-karya klasik Islam. Misalnya,
Ikhwan al-Ṣafā dalam kitabnya Rasā’il mengatakan bahwa di dalam
bumi ada binatang yang tidak punya mata, mereka tidak pernah
muncul ke permukaan bumi, akan tetapi hal itu merupakan kearifan
Allah, karena jika Allah berikan mata kepadanya, tentu tidak akan
berguna tapi kalau kelilipan pasti. Hal itu diakui pula oleh Biologi
modern, akan tetapi apakah dikaitkan dengan Tuhan, tentunya
tidak.158
Dengan demikian, pokok permasalahan integrasi bukan pada
pola pembelajaran atau metodenya, melainkan tergambar dalam
proses pembelajaran ilmu-ilmu umum. Guru mengaitkan atau
bahkan memasukkan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Begitu pula
bagi guru agama, ketika menjelaskan ayat-ayat kawniyah, ia
menjelaskannya secara ilmiah.

158 Wawancara pribadi dengan Mulyadhi Kartanegara, 1 April 2010.

128 | Drs. Asnawi, MA


Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran moving class,
Sittah Ahmad Zaenuri mengatakan bahwa pembelajaran Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah dibuat satu jadwal.
Umpama fisika, kimia, biologi, dan sebagainya dengan waktu belajar
selama 5 jam, yaitu dari jam 07.00 sampai 12.00. Siswa/santri dibagi
dalam beberapa kelompok belajar, yang pembagiannya diserahkan
kepada guru masing-masing.159
Dipilihnya pola pembelajaran moving class-sorogan dilandasai
pula alasan karena tingkat heteroginitas kemampuan santri/siswa
(input) yang masuk ke pesantren cukup tinggi. Banyak di antara
mereka tidak setara antara santri yang berasal dari daerah-daerah di
mana pengajian-pengajian itu diselengarakan, di pesantren harus
sama dengan mereka putra-putra kiai, juga untuk menghilangkan
kejenuhan. Bagi mereka yang pandai dapat menyelesaikan materi
pelajaran dengan lebih cepat (accelerated study).160 Sementara bagi
yang kurang dapat mengimbangi kemampuan dirinya tanpa
khawatir ketinggalan kelas. Menurutnya, di dalam perjalanan selama
tiga tahun hingga enam tahun, mereka sudah dapat menyesuaikan.
Pada akhirnya nanti, setelah menjadi kurikulum yang integral (tahun
2010), mereka sudah dapat mengikuti penjurusan. 161 Dalam
menyorogkan materi kepada guru, masing-masing siswa berbeda-
beda dan ada juga sudah kelas tiga. Akan tetapi, masih mempunyai

159Wawancara pribadi dengan Sittah Ahmad Zaenuri, 13 Januari 2010.


160 Moving class mendorong terjadinya percepatan/akselerasi belajar bagi
yang mampu secara intelektual. Implikasi dari penerapan sistem moving class ini
dapat menurunkan angka berkeliarannya peserta didik dan kenakalan siswa.
Sebelum menggunakan moving class, angka keliaran dan kenakalan siswa
mencapai 60% hingga 70%, sekarang dengan pola pembelajaran moving class-
sorogan, angka keliaran dan kenakalan tersebut menurun, yakni tinggal sekira
20%. Anak boyong/pindah pondok sebelum menggunakan pola moving class-
sorogan ini mencapai sekitar 40%, namun dengan pola moving class-sorogan ini
anak boyong tinggal sedikit, yakni sekira 10% saja. Wawancara pribadi dengan
K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari 2010.
161 Penjurusan IPA ataupun IPS tidak tergantung tahun, mungkin bisa

empat tahun atau lima tahun, atau bahkan enam tahun.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 129


hutang pelajaran pada kelas sebelumnya.162 Namun sebaliknya, ada
juga kelas dua, mereka menempuh pelajaran yang seharusnya
dipelajari pada kelas tiga. Untuk tahun pelajaran 2008/2009, ada
tiga anak Aliyah yang dapat menyelesaikan studi hanya dua tahun
dan lulus dalam Ujian Nasionalnya.163
Sebagai konsekuensi dari penggunaan sistem moving class ini,
maka pesantren ini menganut Sistem Kredit Semester (SKS),
sehingga tidak mengenal adanya pembagian kelas sebagaimana yang
berlaku di sekolah-sekolah ataupun madrasah pada umumnya.
Menurut K.H. Minanurrahman, apabila seorang anak telah dapat
mencapai 80% materi agama dan umum, ia sudah dapat mengambil
jurusan, apakah IPA atau IPS.164 Dan apabila anak tersebut telah
mencapai 95% atas masing-masing jurusan (semua materi
kurikuler), anak tersebut diizinkan untuk mengikuti Ujian Negara.165
Aplikasi dari sistem moving class-sorogan ini, sebagaimana
dikatakan Siti Ma’rifah dan Wahdatul Idiyah, adalah dalam satu hari
terdapat tiga mata pelajaran, yang masing-masing pelajaran diampu
rata-rata oleh tiga orang guru. Hal ini berlaku bagi siswa Tsanawiyah
(MTs) maupun Madrasah Aliyah (MA) secara bergantian. 166 Dalam
tiap mata pelajaran terdapat beberapa judul materi yang akan

162 Mereka yang ogah-ogahan mencapai 5 sampai 10 persen (menerima


apa adanya). Tahun kemarin (2008/2009) ada anak yang sudah menempuh Ujian
Nasional, namun ia masih punya hutang untuk pelajaran agamanya, belum selesai
dan ijazah belum diberikan, walaupun UN-nya lulus. Menurut Sittah, hal ini karena
dipengaruhi oleh lingkungan pondok yang belum kondusif untuk siswa belajar.
Wawancara dengan Sittah Ahmad Zaenuri, 13 Januari 2010.
163 Wawancara pribadi dengan Sittah Ahmad Zaenuri, 13 Januari 2010.
164 Karena Madrasah Aliyah Yajri ini belum mempunyai jurusan agama,

jurusan IPA dan IPS pun dianggap jurusan agama. Artinya, antara materi-materi
umum dan agama tidak dipisahkan. Wawancara pribadi dengan K.H.
Minanurrahman Anshari, 12 Januari 2010.
165 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari

2010.
166 Wawancara pribadi dengan Siti Marifah dan Wahdatul Idiyah,

siswi/santri Madrasah Aliyah Yajri, Payaman, Magelang, 8 Februari 2010.

130 | Drs. Asnawi, MA


dipelajari selama tiga tahun, dibagi kepada tiga guru. Ada materi-
materi yang harus diselesaikan sejak awal (MKDU), setelah itu baru
mencari guru lain yang merupakan materi lanjutannya. 167
Pembelajaran berlangsung dari jam 0700 sampai 09.00 dan jam
09.30–12.00.
Umpama hari Senin ada tiga mata pelajaran, yaitu Fiqh,
Matematika, dan Fisika. Setelah shalat Dhuha di mushalla bersama-
sama, dilanjutkan dengan membaca doa, 168 mereka memasuki ruang
kelas tersebut (Fiqh, Matematika, atau Fisika). Mereka dapat
memulai belajar satu-satu atau kelompok studi, dari mata pelajaran
yang ia sukai. Matematika terlebih dahulu, Fisika dulu, atau justru
mendahulukan Fiqh. Hal ini tergantung pada siswa/santri, yang
penting ketiga mata pelajaran tersebut ditempuh seluruhnya dengan
waktu yang beragam antara satu siswa dengan lainnya. 169 Perjalanan
pola pembelajaran Moving Class dapat digambarkan sebagai berikut.

167 Wawancara pribadi dengan Sittah Ahmad Zaenuri, 13 Januari 2010.


168 Doa yang dibaca sebelum pembelajaran adalah membaca niat belajar,
membaca surat-surat pendek dari al-Qur’an, membaca al-asma’ al-Husna, dan
ditutup dengan doa kafārat al-majlis.
169 Wawancara pribadi dengan Siti Marifah dan Wahdatul Idiyah, 8

Februari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 131


Gambar: 5 Siklus Pola Pembelajaran Moving Class-Sorogan.

Terkait dengan strategi pembelajaran dalam rangka upaya


mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
yang dipilih oleh Pesantren Tradisional Plus sebagaimana dijelaskan
di atas, tampaknya pola pembelajaran moving class-sorogan adalah
pilihan yang paling tepat. Dengan alas an, strategi inilah yang paling
dapat mungkin mengintegrasikan pelajaran pondok pesantren
dengan pelajaran umum/madrasah. Namun, moving class dalam
artian berpindahnya siswa/santri dari satu tempat/guru suatu mata
pelajaran ke tempat/guru mata pelajaran lainnya. Akan tetapi, pada
hakikatnya yang dimaksud dengan moving class di sini adalah sistem
atau Pola Pembelajaran Sorogan ala Pondok Pesantren Tradisional
yang dimodifikasi dengan metodologi pembelajaran kontemporer.
Hal ini dapat dibuktikan dari hasil wawancara maupun
observasi yang penulis lakukan dengan guru maupun siswa. Di
antara metode pembelajaran yang digunakan adalah di samping
ceramah juga dilakukan diskusi, tanya jawab, dan pemberian tugas.
Berarti dalam moving class-sorogan ini memakai dua jalur

132 | Drs. Asnawi, MA


komunikasi/interaksi (two way of interaction). Bukan hanya satu
jalur komunikasi/interaksi (one way of interaction) seperti yang
berlaku pada pola pembelajaran sorogan yang berlaku di pondok
pesantren pada umumnya, sebagaimana kritik yang disampaikan
oleh Qodri Azizy terkait dengan efektivitas pola pembelajaran
sorogan.170
Dalam pola pembelajaran moving class-sorogan ini sangat
memungkinkan terjadi dialog antara guru dengan siswa, dan bahkan
di satu sisi guru benar-benar memahami kemampuan siswa,
sehingga dapat membantu siswa dalam belajar disesuaikan dengan
kompetensi yang dimilikinya. Sementara di sisi lain, siswa pun dapat
mengikuti pelajaran dengan enjoy, sesuai dengan kemampuan
dirinya dan tidak mudah jenuh. Apabila kurang memahami suatu
permasalahan, dapat langsung bertanya kepada guru yang
bersangkutan.
Sebetulnya dalam dunia pendidikan dikenal dua macam
moving class yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
pembelajaran. Pertama, Moving Class untuk satu mata pelajaran saja
sdan yang pindah adalah anaknya saja. Misalnya, ruangan geografi,
atau fisika, laksana laborat. Seperti di SMA Taruna Nusantara
Magelang sudah melakukan moving class tiga tahun yang lalu. Kedua,
moving-class sesuai dengan tingkatannya; ada yang dasar, menengah,
dan ada pula yang tingkat tinggi dan tidak ada kelas. Bagi anak kelas
I yang cerdas dia bisa mengejar materi (acceleration). Namun, bagi
kelas III, yang malas atau mungkin kurang cerdas, bisa saja mereka
tetap berada di tingkat dasar. Moving Class yang berlaku di Madrasah

170 Di antara kelemahan metode sorogan, menurut Qodri Azizy, adalah


tidak terjadi dialog antara murid dan guru. Murid menjadi pasif. Kegiatan terpusat
pada guru. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas murid menjadi lemah. Qodri
Azizy, Pola Pengembangan Pondok Pesantren (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam,
2003), 45.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 133


Aliyah (MA) Yajri Pesantren Payaman ini cenderung mengikuti versi
yang kedua, karena yang berlaku adalah Sorogan.171
Penerapan pola pembelajaran moving class yang diberlakukan
di Pesantren Payaman ini, sementara kebanyakan sekolah/madrasah
belum /menerapkan, dan bahkan sebagian besar pondok pesantren
di kabupaten Magelang sudah tidak lagi menggunakannya. Namun,
justru pada tahun 2008 di Nort Carolina, negara bagian Amerika
Serikat juga memberlakukan pola pembelajaran moving class yang
serupa dengan apa yang diberlakukan di Pesantren Payaman. 172
Sementara pola pembelajaran yang diberlakukan di
Pesantren Modern ini adalah seperti yang dilakukan oleh
kebanyakan sekolah ataupun madrasah di Indonesia pada umumnya,
yaitu pola pembelajaran klasikal. Hal ini sebagaimana diakui oleh
K.H. Mahfudh Masduki, bahwa Pondok pesantren ini sejak awal
mengadopsi pola pesantren Gontor, baik sistem pembelajaran,
kedisiplinan yang diterapkan di asrama, materi yang diajarkan, dan
buku-buku yang digunakan. Termasuk evaluasi pendidikan, tidak
mengeluarkan ijazah.173 Namun, sejak diselenggarakan lembaga
pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah
Aliyah (MA) pada tahun 1991, sejak itulah Pesantren ini
memberlakukan kurikulum terpadu (integrasi) antara kurikulum
KMI dengan kurikulum Madrasah Aliyah (MA) produk Depag
sebagaimana telah dijelaskan di depan dan tetap menggunakan pola
atau sistem pembelajaran klasikal dengan beberapa program
kegiatan yang mengikutinya, yaitu:

171Wawancara dengan Sittah Ahamad Zaenuri, 13 Januari 2010.


172Informasi tentang moving class di America Serikat diperoleh dari Ibu
Nurul Faizah (Ulfah), guru Madrasah Aliyah Pondok Pabelan, yang pada tahun
2008 mengikuti pertukaran guru ke Amerika Serikat. Dia adalah istri K.H. Najib
Hamam. Wawancara pribadi dengan K.H. Najib Hamam, 27 Januari 2010.
173 Wawancara pribadi dengan K. Mahfudh Masduki, 20 Januari 2010.

134 | Drs. Asnawi, MA


Pertama, Program Takhassus, dikhususkan bagi para santri
(kelas persiapan) yang berasal dari SMP. Materi pelajaran yang
disampaikan dalam program Takhassus ini meliputi materi agama
dan bahasa (Arab dan Inggris) selama satu tahun, dalam rangka
masuk ke Madrasah Aliyah Pondok Pabelan.174
Kedua, Learning Society (masyarakat belajar), dengan jargon
“saling mengasah dan saling mengasuh”. Hal ini diakui oleh K.H.
Najib Hamam dengan mengatakan karena persoalan anak-anak
berasal dari SD, akan tetapi persoalan yang muncul banyak yang
sama dari tahun ke tahun. Namun, ada juga setiap tahun muncul
persoalan baru, dari keluarga yang begini, masalahnya begini, selalu
ada persoalan, bahkan hal itu mengasikkan. Hal ini dialami sendiri
ketika peneliti masuk ke kelas dengan mata pelajaran Kimia,
observer diberi kesempatan untuk mengisi selama satu jam
pelajaran. Termasuk juga terkait dengan integrasi para siswa sangat
antosias ketika mereka diberikan pancingan/motivasi ke arah hal
itu.
Ketiga, Pembukaan Program STEP-2 (Science and Technology
Equity Program-2), yang meliputi laboratorium Fisika, Kimia, Biologi,
Komputer, Bahasa, dan Keterampilan Tata Busana.175 Dengan
dibukanya program STEP-2 ini diharapkan akan menguatkan upaya
integrasi ilmu di dalam Pesantren Modern ini sebagaimana
dikatakan oleh K.H. Musthafa bahwa STEP ini akan menguatkan mata
pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi (Mafikib) STEP-2 ini
berfungsi sebagai laboratorium dan akan menguatkan upaya
integrasi juga pengembangan bahasa baik bahasa Arab maupun
bahasa Inggris.176 Hal ini dikuatkan dengan pernyataan K.H.

174 Wawancara pribadi dengan Khudlori, 19 Januari 2010, jam 11.30 dan
Khanafi (SMS) 10 Maret 2010.
175 Lihat Brosur: Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan, tahun 2008-

2009.
176 Wawancara pribadi dengan K.H. Musthafa, 16 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 135


Muhammad Balya, bahwa dengan adanya STEP-2 semua kebutuhan
terkait dengan gedung, isi, dan alat menjadi cukup memadai,
sehingga ilmu agama dan ilmu umum dapat diraih santri/siswa
sekaligus. Menurutnya, iptek/sains harus dikuasi, akan tetapi ilmu
agama bertindak sebagai kendali kemajuan sains. Terkait dengan
integrasi ilmu, keberadaan STEP-2 dapat dijadikan sarana untuk
melakukan penelitian berbagai hal yang terkait dengan sains untuk
membuktikan kebenaran ayat-ayat Allah. Di sini dapat disinkronkan
antara ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah.

4. Pendekatan yang Digunakan


Upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum di Pondok Pesantren Tradisional Plus “Sirojul Mukhlasin II”
Payaman meliputi tujuh macam pendekatan.
Pertama, pendekatan Holistik. Penggunaan pendekatan ini
sebagaimana dijelaskan oleh K.H. Minanurrahman Anshari bahwa
setiap mata pelajaran baik umum maupun agama. Mata pelajaran
umum meliputi IPA dan IPS, harus memuat paling penting tentang
aqidah, hukum, akhlak, dan orientasi. Dengan mencontohkan
pelajaran ekonomi, menurutnya, pemahaman ekonomi adalah
kesejahteraan, kesejahteraan adalah rezeki, dan rezeki merupakan
pemberian Allah. Allahlah yang mengatur, dan kita harus bersyukur
kepada-Nya. Juga tentang halal dan haram, serta dalam kurikulum
perlu dicantumkan tentang doa-doa tentang jalb al-Rizqi.
Terkait dengan aspek moralitas, bahwa rezeki ini untuk
bersyukur, bukan untuk bermegah-megahan. Kita harus
menggunakannya sesuai anjuran agama, semisal untuk bersedekah,
menolong orang lain, mencukupi kebutuhan keluarga, dan harus
dengan tata nilai yang jujur. Juga tentang akad-akadnya yang benar.
Integrasi Aqidah, Fiqh, dan Akhlak itu masuk di sana. Pendekatan
holistik seperti ini berlaku pada setiap mata pelajaran. Jadi, setiap

136 | Drs. Asnawi, MA


mata pelajaran harus terintegrasi baik aspek keimanan, hukum,
moralitas, dan orientasi/arah tujuan untuk apa sesuatu (rezeki) itu
digunakan. Selebihnya diisi dengan materi-materi muatan ekonomi
sambil memberikan pointer-pointer tentang hal-hal yang haram,
tentang riba, dan sebagaianya. Ekonomi sendiri meliputi ekonomi
umum, akuntansi, manajemen, keswastaan, perbankan, dan lembaga-
lembaga Ekonomi Syari’ah177. Begitu pula sosiologi dan
antropologi.178
Pemikiran ke arah integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum seperti di atas senada dengan pendapat Soetandyo
Wignyosoebroto yang mengidentifkasi adanya tiga model intergasi.

177 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari


2010.
178 Untuk pelajaran sosiologi dan antropologi, yang dikaitkan dengan

aqidah, bahwa Allah ta‘ala telah menjadikan manusia sedari dulu dengan segala
kesejarahannya. Orang yang maksiat dihancurkan (sunnatullah), kemudian orang
yang beriman akan diberi rahmat, diberi kesejahteraan, diberi ridla (Baldah
Thoyyibah Wa Rabb Ghafur). Orang memutuskan kenikmatan akan terjadi sekian
masalah, pertumpahan darah terjadi karena hukum Allah ta’ala yang tidak
dijalankan, dan efek-efek politik muncul karena ketidakadilan atau karena adanya
pengkhianatan, bukan ketoprak seperti dalam sejarah Islam. Ini Pengenalan
sunnatullah. Maka dalam sosiologi dan antropologi ini perlu dikenalkan kepada
siswa bahwa manusia itu diciptakan untuk beribadah kepada Allah ta’ala,
kemudian gambaran tentang masyarakat yang baik adalah masyarakat yang
dipimpin oleh agama terutama Islam. Kemudian penyimpangan ajaran agama akan
menimbulkan kekacauan-kekacauan. Apa pun yang terjadi dalam konteks
demokrasi sekarang pun, dimana diakui sebagai kebenaran yang agak mutlak.
Demokrasi tidak mutlak, karena kalau hal itu masih tidak memenuhi dari dawuh
Allah ta’ala, demokrasi apa pun akan memunculkan murka Allah. Antropologi
bukan memahamkan bahwa manusia bukan manusia yang tanpa budaya. Sejak
Nabi Adam sudah mempunyai budaya yang sangat tinggi, karena beliau hidup di
surga. Beliau diturunkan ke dunia karena melakukan hala-hal apa yang telah
digariskan oleh Allah ta’ala, yang seharusnya dijauhi. Jadi, sejak awal manusia
sudah memiliki budaya yang tinggi, mereka menjadi compang-camping karena
menjauh dari agama. Dan ukuran-ukuran suatu kesejahteraan atau kemajuan
bukan hanya budaya, melainkan lebih cenderung pada moralitas keberagamaan.
Oleh karena itu, harus dimasukkan keyakinan itu kepada anak. Kemudian Fiqh,
tentang halal-haram, moralitas. Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrrahman
Anshari, 12 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 137


Salah satunya adalah integrasi dengan mempersatukan ilmu agama
yang normatif-tekstual yang berkenaan dengan segala fenomena
dengan ilmu pengetahuan yang saintifik-kontekstual yang hanya
berkenaan dengan segala fenomena empirik.179
Kedua, pendekatan Fungsional, bahwa alam ini bisa
dimanfaatkan untuk kemuliaan umat Islam, diwujudkan dalam
bentuk amal-amal dengan mengembangkan teknologi dan ilmu
pengetahuan untuk mencapai ridla Allah SWT.180 Dan tidak mungkin
terjadi pertentangan hakiki antara agama dan ilmu
pengetahuan/sains karena keduanya berasal dari sumber yang sama,
yaitu Allah SWT. Keduanya harus diambil sebagai anugerah Tuhan
untuk kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. 181 Ilmu
itu hendaklah diorientasikan untuk berkhidmah dan bersyukur
kepada Allah SWT. Syukur berarti menggunakan nikmat itu sesuai
dengan tujuan Allah memberi nikmat kepada kita, termasuk di
dalamnya agar kita mau menolong orang lain.182

179 Dua model integrasi yang lain adalah: 1) dengan menyatukan atau
mensenyawakan. Menurutnya apakah ini mungkin, karena akan berkonsekuensi
pada pemikiran untuk menggantikan paradigma epistemologisnya, dari apa yang
disebut metode dualisme ke metode monism; 2) menempatkan ilmu agama yang
normatif dan ilmu pengetahuan yang bertradisi sains itu tetap dalam ranah
masing-masing yang otonom, sebagai dua wujud yang ditempatkan dalam suatu
garis progresi secara terpisah, namun dalam hubungan antara keduanya yang
fungsional dan komplementer. Soetandyo Wignyosoebroto, “Perspektif Filosofis
Integrasi Agama dan Sains”, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam.
ed. M. Zainuddin (Malang: UIN Pres, 2004), 47.
180 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari

2010.
181 Islam adalah agama yang dijadikan sebagai pandangan hidup total

(total way of life) manusia, tidak memisahkan antara kehidupan yang bersifat
duniawi maupun yang bersifat ukhrawi. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam; Religion,
History and Civilization (Sanfransisco: A Division of Happer Collin Publisher, 2002),
26-27.
182 Sabda Nabi: Khayr al-nās anfa‘uhum li al-nās (Sebaik-baik manusia

adalah orang yang lebih banyak memberi manfaat kepada sesama manusia).

138 | Drs. Asnawi, MA


Ketiga, pendekatan Paradigmatik. Pendekatan ini digunakan
untuk meluruskan pandangan/pola pikir siswa terhadap keilmuan.
Menurut K.H. Asyhari, integrasi hendaklah dimaknai mengubah
persepsi (pola pandang/pola pikir) terhadap keilmuan antara ilmu
agama dan ilmu umum, sebagai sesuatu yang integral dan jangan
dipandang sebagai sesuatu yang terpisah. 183 Pendapat ini didukung
oleh K.H. Muhammad Nur Abdul Madjid yang memandang perlunya
meluruskan paradigma (cara pandang) terhadap ilmu, bahwa ilmu
itu utuh dan tidak terpisah.184 Karena, sebagaimana dikatakan K.H.
Asyhari, di pondok pesantren sudah terdidik semenjak kecil untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama yang ada dalam pondok saja, sehingga
melihat yang di luar pesantren seolah-olah bukan agama.
Sebenarnya ilmu kedokteran itu tidak apa-apa, begitu juga
matematika, ada dalinya dalam agama.185
Dalam mempelajari fenomena-fenomena alam, yang menjadi
objek kajian ilmu-ilmu umum, dapat dengan mudah dijumpai adanya
nilai-nilai agama yang dapat mengantarkan manusia untuk mengakui
dan menyakini akan kebesaran serta kemahakuasaan
Penciptanya. Maka tepatlah apa yang dikatakan Ibnu Rusyd bahwa
186

syari‘at mewajibkan pengkajian totalitas wujud secara rasional


(menggunakan penalaran akal) dan perenungan (i‘tibār) atas ciptaan
Tuhan.187

183 Wawancara pribadi dengan K. Asyhari, 12 Januari 2010.


184 Wawancara pribadi dengan K. Muhammad Nur Abdul Madjid, 28
Januari 2010.
185 Wawancara pribadi dengan K. Asyhari, 2 Februari 2010.
186 QS. Al-Hashr [59] : 2 Fa‘tabirū yā ulī al-abṣār (Renungkanlah olehmu

wahai orang-orang yang punya pandangan/visi). Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini
sebagai sandaran tekstual yang jelas tentang wajibnya kita menggunakan
penalaran akal, atau gabungangn intelektual dan penalaran hukum. Lihat Mulyadhi
Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:Lentera
hati, 2006), 143.
187 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, 144.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 139


Keempat, pendekatan Purifikasi. Penggunaan pendekatan ini
adalah sebagaimana dikatakan K.H. Asyhari bahwa materi yang
diajarkan kepada anak hendaklah yang baik-baik saja, yang sesuai
dengan Islam, karena hal ini merupakan proses penanaman,
pemahaman, dan pemantapan ilmu. Apabila terdapat teori yang
bertentangan dengan Islam, seperti manusia purba berasal dari kera
(teori Darwin) maka anak perlu diberitahu bahwa teori tersebut
bertentangan dengan Islam. Begitu juga adanya kata-kata yang
berbau sekuler, seperti “hal ini kehendak alam” atau “kejadian ini
adalah kehendak alam”. Bagi orang Islam kata itu semestinya diganti
menjadi “bi idzn Allāh wa Irādatih”.
Pemikiran tersebut di atas paralel dengan Syed Muhammad
Naquib al-Attas, terkait dengan Islamisasi. Menurutnya, Islamisasi
adalah membebaskan diri dari magik, mitologi, animisme, tradisi
budaya nasional yang tidak Islami, dan dari kontra sekulerisasi. Ia
dengan gamblang mengungkapkan bahwa Islamisasi adalah the
deliverance of knowledge from its interpretations based on secular
ideology: and from meaning and expressions of the secular.188
Pendekatan yang dilakukan Naquib al-Attas dalam mewujudkan
idenya, pertama-tama, adalah dengan jalan membersihkan tubuh
pengetahuan Barat tersebut lebih dulu dari unsur-unsur yang asing
bagi ajaran Islam, kemudian merumuskan serta memadukan unsur-
unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci, sehingga
menghasilkan suatu komposisi yang merangkum pengetahuan
inti.189
Kelima, Pendekatan Simbolisasi (pendekatan ayat-ayat al-
Qur’an maupun dalil-dalil lainnya). Pendekatan ini dapat digunakan

188 Luqman, Islamisasi Ilmu Ekonomi,


http://Luqmanunomic.Wordpress.com/2008/07/22/Islamisasi_Ilmu, diakses 09
November 2009.
189 Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam and Secularism, (Kuala

Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), (1978): 133-150.

140 | Drs. Asnawi, MA


dengan cara mengaitkan materi pelajaran dengan ayat-ayat al-Qur’an
atau dalil-dalil lainnya. Hal ini seperti dikatakan Retno Rahmawati
bahwa apabila ilmu fisika, misalnya, dipelajari secara detail maka
apa yang dipelajari di dalamnya tidak akan jauh berbeda dengan apa
yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Menurutnya, tidak setiap materi
memiliki kaitan ayat dalam al-Qur’an. Contohnya, tentang bandul
matematis, ketika siswa diminta mencari ayat yang ada
hubungannya dengan bandul matematis, mereka akan menjawab
tidak ada ayat yang menjelaskan tentang bandul matematis. Oleh
karena itu, di awal pertemuan disampaikan beberapa ayat yang
berkaitan dengan ilmu alam. Atau setidaknya di awal pembelajaran
sudah disampaikan bahwa kita tidak pernah jauh dari apa yang
namanya al-Qur’an.190
Pendekatan simbolisasi dengan cara mengaitkan materi
pelajaran dengan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana di atas, senada
dengan pendapat Mulyadhi Kartanegara yang mengatakan bahwa
fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen, melainkan
tanda-tanda (sign/ayat Allah) yang dengannya kita diberi petunjuk
akan keberadaan Tuhan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan
kepintaran-Nya. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat
kawniyah, sedangkan kitab suci adalah ayat-ayat yang bersifat
tadwīniyah atau qawliyah.191
Pendekatan simbolisasi atau formalisasi yang mengaitkan
materi pelajaran dengan ayat-ayat al-Qur’an hendaklah bukan
berarti ayatisasi. Karena tidak semua materi pembahasan dalam
suatu ilmu terdapat ayat-ayatnya dalam al-Qur’an. Al Qur’an berupa
petunjuk yang bersifat mujmal/global, maka sebaiknya sebelum
mengaitkan materi dengan ayat al-Qur’an perlu dikomunikasikan
dengan guru agama atau orang yang berkompeten dalam bidang al-

190 Wawancar pribadi dengan Retno Rahmawati, guru Fisika Madrasah


Aliyah Yajri Pesantren Payaman, 25 Januari 2010.
191 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 21-22.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 141


Qur’an. Tujuannya, supaya tidak ada kesan pemaksaan terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana kritik Zaenal Abidin yang
mengatakan bahwa integrasi cenderung hanya mencocok-cocokkan
ayat-ayat al-Qur’an secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Di
sinilah pentingnya integrasi-konstruktif dimana integrasi yang
menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk
menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya
berjalan sendiri-sendiri. Tapi, ada kelemahan dari integrasi, di mana
adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains. 192
Keenam, Pendekatan Tematik. Pendekatan ini digunakan
untuk menjelaskan persoalan kemanusiaan dengan cara
memunculkan tema-tema dan isu-isu yang berkembang di
masyarakat, contohnya permasalahan bayi tabung, cloning, dan
sebagainya. Menurut Asyrofah, di Madrasah Aliyah (MA) Yajri
Payaman ini, antara ilmu agama dan ilmu umum
disinkronkan/diselaraskan sehingga dapat menghasilkan manusia
yang beriptek dan berimtak. Dalam memperlajari ilmu-ilmu umum,
santri diarahkan agar ilmu-ilmu umum tersebut bisa dijiwai oleh
agama. Tugas guru agama adalah menyampaikan isi al-Qur’an agar
dapat diwujudkan dalam ilmu-ilmu umum.193
Ketujuh, Pendekatan Rihlah Ilmiyah. Pendekatan ini dilakukan
dengan cara mengajak siswa/santri ke lokasi-lokasi yang dapat
mengantarkan siswa/santri memahami ayat-ayat Allah yang ada
dalam alam semesta atau melalui laboratorium ilmu pengetahuan.
Seperti di kebun binatang, siswa diberi tugas untuk mengklasifikasi
jenis hewan yang halal dan yang haram, kemudian diminta untuk

192Zainal Abidin Bagir ed. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi
(Bandung: Mizan, 2005), 50-51.
193 Wawancara pribadi dengan Asyrofah, 13 Januari 2010.

142 | Drs. Asnawi, MA


menyimpulkan. Di Taman Pintar, siswa diperlihatkan keberadaan
alam semesta.194
Kegiatan Rihlah ilmiyah195 ini dilakukan setiap tahun sekali
bersamaan dengan ziarah ke makam para wali. Pendekatan seperti
ini cukup signifikan untuk menambah khazanah keilmuan Islam
serta lebih mendekatkan mereka kepada Allah melalui ciptaan-Nya.
Namun, kegiatan tersebut tidak hanya berhenti pada kegiatan itu,
tetapi ada tindak lanjut berupa penulisan laporan karya tulis sebagai
tugas akhir siswa yang bermutu. Untuk menghasilkan karya tulis
yang bermutu, siswa harus banyak belajar di perpustakaan. Dengan
banyak belajar di perpustakaan, siswa akan banyak memperoleh
ilmu dari karya-karya ilmuawan Islam pada masa silam.
Terkait dengan hal ini, Syed Hossein Nasr menjelaskan bahwa
sejak abad pertama Islam kaum muslim menjadi tertarik pada
berbagai sains, khususnya mengenai obat-obatan dan astronomi.
Pada abad kedua, upaya penerjemahan telah dimulai dari empat
bahasa utama yang mewariskan sainsnya kepada Islam. Empat
bahasa tersebut adalah Yunani, Syiria, Iran, dan sanskerta. Pada abad

194Wawancara pribadi dengan Asyrofah, 13 Januari 2010.


195 Rihlah ‘ilmiyah menurut Ahmad Syibly dalam Hasan abd al-’Ali, tidak
seperti sekarang yang berlaku seperti study tour, akan tetapi merupakan media
belajar dimana para siswa keluar bepergian, baik secara individu maupun secara
berjamaah. Mereka berusaha dengan penuh kesabaran untuk memperoleh ilmu
dari para guru. Hal ini besar sekali manfaatnya, sebagaimana dikatakan Ibnu
Khaldun, yaitu dapat memperbanyak guru dan dengan banyak guru akan
memperkuat ilmu yang dimiliki. Baca Hasan Abd al-‘Ali, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah fi
al-Qarn al-Rabī‘ al-Hijrī, Dār al-Fikri al-Ghazālī, 156. Hal ini dikuatkan oleh
Zamakhsari Dhofier yang mengatakan bahwa dalam beberapa hal tradisi ini
(riḥlah) sama dengan sarjana kelana di Eropa pada zaman pertengahan, di mana
seorang santri diwajibkan mencari ilmu, berkelana dari satu pesantren ke
pesantren yang lain, mencari guru-guru yang masyhur dalam berbagai cabang
pengetahuan Islam. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Islam, 24. Baca pula
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama; Biografi K.H. Hasyim Asy‘ari
(Yogyakarta: LKiS, 2000), 23.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 143


ketiga, khususnya dengan pemapanan Bayt al-Ḥikmah196 oleh
khalifah al- Ma’mun, bahasa Arab telah menjadi bahasa keilmuan.
Pada abad ini banyak karya penting dalam bidang matematika, fisika,
astronomi, kedokteran, farmakologi, sejarah alam, kimia, dan ilmu-
ilmu lainnya yang disalin dalam bahasa Arab.197
Adapun pendekatan yang digunakan Pondok Pesantren
Modern Pabelan untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum antara lain sebagai berikut.
Pertama, pendekatan niat. Pendekatan ini mempunyai
peranan yang sangat penting, oleh karena itu K.H. Najib Hamam
menekankan pentingnya niat dalam belajar di Pesantren.
Menurutnya, belajar apa pun kalau niatnya untuk ibadah, maka
jadilah ilmu tersebut ilmu agama, walaupun yang dipelajari adalah
ilmu Biologi.198 Bahkan K.H. Mahfudh Masduki lebih menegaskan
akan posisi niat terkait dengan pengintegrasian ilmu ini dengan
mengatakan bahwa semua ilmu yang diajarkan berbobot agama
kalau di-nawaitu-kan sebagai agama, yakni diniatkan karena Allah.
Contohnya ilmu berhitung, walaupun sering disebut ilmu umum,
tetapi ketika digunakan untuk menentukan hisab atau nisab zakat,
jadilah ia sebagai ilmu agama. Jadi, Pondok Pesantren Pabelan tidak
mengenal dikotomi keilmuan. Orang belajar apa pun kuncinya adalah
Innamā al-a‘mālu bi al-niyyāt.199 Menurutnya, ilmu umum sejatinya
merupakan ilmu agama juga. Yang membedakan adalah niatnya,
yakni bagaimana seorang pencari ilmu meniatkan belajarnya
196 Perpustakan ini banyak mengoleksi buku hingga mencapai 400.000

buku. Di dalamnya banyak sarjana dari berbagai budaya, etnik, bangsa, dan agama.
Baca Amin Abdullah, Progressivity of Classical Islam and The Project of Ihya’ al-
Turath, A draf of paper presented in the International Confrence on Debating
Progressive Islam: A Global Perspective School UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
under auspice IAIN Indonesia Sosial Equity Project (IISEP) July, 25- 27m 2009, 2.
197 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan Untuk

Kaum Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1994), 94.


198 Wawancara pribadi dengan K.H. Najib Hamam, 27 Januari 2010.
199 Wawancara pribadi dengan K.H. Mahfudh Masduki, 20 Januari 2010.

144 | Drs. Asnawi, MA


terhadap ilmu tersebut. Belajar matematik atau biologi, jika
diniatkan mempelajari ayat-ayat kawniyah maka jadilah matematika
dan biologi tersebut sebagai ilmu agama.200
Pendapat kedua tokoh di atas cukup beralasan, karena dalam
Uṣul al-Fiqh terdapat kaidah yang menjelaskan bahwa segala sesuatu
itu bergantung kepada maksudnya atau niatnya.201 Sekalipun K.H.
Mahfudh Masduki berpendapat bahwa ilmu itu tidak netral dan ia
juga menyetujui adanya integrasi, namun integrasi yang ia
maksudkan adalah pada niatnya. Artinya, bagi Mahfudh yang penting
adsalah manusianya, karena menurutnya ilmu itu satu atau integral,
dan semua ilmu itu dari Allah SWT.
Terhadap pendapat seperti ini Wan Mohd Nor Wan Daud,
dalam M. Hadi Masruri, mengatakan bahwa karena integrasi sains itu
melibatkan proses filosofis maka pemahaman yang jelas tentang
filsafat sains Islam memainkan peranan yang sangat penting dalam
integrasi disiplin-disiplin ilmu. Menurutnya, kurangnya wawasan
filosofis tersebut tampak ketika golongan Muslim ”tradisionalis”
berpendapat bahwa semua ilmu atau sains sudah Islami, sehingga
tidak perlu diintegrasikan.202
Begitu pula dengan K.H. Najib Hamam, beliau juga
menitikberatkan betapa pentingnya niat terkait dengan upaya
integrasi ini. K.H. Najib Hamam juga menekankan perlunya
pembelajaran yang mengaitkan ilmu-ilmu umum dengan ayat
maupun hadis, karena kemampuan anak berbeda- beda.203 Artinya,

200 Wawancara pribadi dengan Mahfudh Masduki, 20 Januari 2010.


201 Al-Umūr bi maqāṣidih/bi al-niyyāt (Segala sesuatu itu bergantung pada
tujuannya/niatnya). Baca Jalal al-Dīn Abd al-Rahman bin Abi Bakr al- Suyuti, (911
H), Al-Ashbah wa al-Naẓā’ir (Makatabah Dār Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, TTP), 35.
Lihat pula Muhammad Ibn Syata, I‘ānah al-Ṭālibīn, Juz 1 (Beyrut: Dār al-Fikr, TTP),
105. Lihat pula Muhammad Khathib al-Syarbini, Mughnī al-Muḥtāj, Juz 1 (Beyrut:
Dār al-Fikr, TTP), 39.
202 M. Hadi Masruri et al, Filsafat Sains dalam al-Qur’an, 12.
203 Wawancara pribadi dengan K.H. Najib Hamam, 27 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 145


di dalam komunitas Pesantren Modern sendiri masih terjadi
perbedaan pendekatan terhadap integrasi ilmu. Belum ada
konsensus di antara mereka. Bagi mereka yang berpendapat ilmu itu
netral atau bebas nilai, implikasinya tidak lagi perlu adanya
pembelajaran integrasi ilmu; cukup berikan ilmu apa adanya. Begitu
pula sebaliknya, jika pandangan mereka tentang ilmu itu tidak netral,
sarat dengan nilai, maka implikasinya dalam pembelajaran perlu
mengintegrasikan ilmu-ilmu umum itu dengan nilai-nilai keislaman.
Kedua, Pendekatan Logika. Pendekatan ini digunakan melalui
penalaran akal yang dikaitkan dengan konsep ajaran Islam. Sebagai
contoh dalam logika ada kalimat konjungsi. Kalimat Konjungsi
adalah kalimat majemuk yang dihubungkan dengan kata “dan”. Nilai
kebenarannya hanya benar jika keduanya benar. Dalam agama (al-
Qur’an) ada konsep iman dan amal saleh. Menurutnya, orang yang
benar adalah orang yang beriman dan beramal saleh. Orang yang
beriman tetapi tidak beramal saleh, ia bukan orang yang benar.
Begitu pula orang yang beramal saleh tetapi tidak didasari dengan
iman juga bukan merupakan orang yang benar/baik. Contoh lain
dengan kalimat inkonjungsi. Kalimat ini menggunakan kata-kata
“dan atau”. Hanya salah jika keduanya salah. Dalam agama ada
konsep puasa bagi orang sakit, orang yang sedang sakit dan atau
dalam perjalanan boleh tidak berpuasa, orang yang tidak sakit tapi
dalam perjalanan juga boleh tidak berpuasa dan orang yang tidak
sakit atau tidak dalam perjalanan, ia tidak boleh tidak berpuasa. 204
Ketiga, Pendekatan Paradigmatik. Pendekatan ini dilakukan
dalam rangka memberikan pemahaman berkaitan dengan keilmuan
dalam Islam. Terkait dengan pendekatan ini, K.H. Muhammad Balya
mengatakan bahwa yang perlu diluruskan adalah pemahaman umat
Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri. Islam tidak mengajarkan
manusia untuk mementingkan salah satu aspek dari kehidupan ini,

204 Wawancara pribadi dengan Jumari, 25 Januari 2010.

146 | Drs. Asnawi, MA


misalkan di satu sisi mengajarkan agar manusia lari dari kehidupan
duniawi dengan mengejar kehidupan akhirat saja atau di sisi lain lari
dari agama dengan mengejar kehidupan duniawi. 205
Menurutnya, mengatasi persoalan dengan menyelesaikan
akibat, tidak pernah akan selesai, biayanya tinggi dan tidak pernah
akan berhasil. Munculnya dikotomi antara ilmu dan agama adalah
merupakan akibat dari pemahaman yang salah terhadap ajaran
agama. Jalan keluarnya tidak dengan mengintegrasikan yang
didikotomikan (ilmu dan agama), tetapi dengan meluruskan
pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam. Kalau kita sibuk
mengintegrasikan yang didikotomikan, akan panjang sekali dan
repot.206
Keempat, Pendekatan Kontekstual. Mungkin seseorang
mengajarkan agama dikaitkan dengan ilmiah, mengajarkan Tafsir
bukan hanya tekstual tapi konstekstual. Zaenal Arifin mencontohkan
tentang tata surya dengan peredaran matahari. Hal ini dikaitkan
dengan waktu pelaksanaan shalat Dhuhur. Juga menyinggung hukum
Newton dikaitkan dengan keimanan kepada Allah SWT. 207 Dan
banyak sekali materi pelajaran lain yang dapat dikontekstualisasikan
dengan kehidupan masyarakat (Islami).
Kelima, Pendekatan Sumber. Integrasi antara sains (ilmu
pengetahuan) dan agama bisa terwujud apabila agama dijadikan
sebagai sumber inspirasi, inovasi, motivasi, dan integrasi terhadap
kehidupan. Agama mendorong kemajuan ilmu pengetahuan
sekaligus mengendalikannya agar perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan ini tidak kebablasan atau melampuai batas yang
berakibat akan merugikan manusia sendiri.208 Oleh karena itu,

205Wawancara pribadi dengan K. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.


206Wawancara pribadi dengan K. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
207 Wawancara pribadi dengan Zaenal Arifin, 27 Januari 2010.
208 Orang yang tidak merugi adalah orang yang memiliki dua hal penting

dalam hidup ini, yaitu gairah hidup/semangat atau visi yang kuat (wa tawāṣaw bi

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 147


seharusnya ilmu pengetahuan mendorong manusia untuk
memahami ajaran agama secara benar, sementara agama bertugas
mendorong, mengembangkan, dan mengendalikan ilmu pengetahuan
untuk kemaslahatan manusia.209
Keenam, Pendekatan Uswah Hasanah setiap Muslim harus
bersikap integrated. Tidak harus memisahkan antara seorang
sebagai pegawai dan sebagai seorang Muslim, sebagai seorang guru
dan sebagai seorang Muslim. Misalkan dalam konsep Islam tentang
ekonomi, keuntungan yang didapat oleh pengusaha tidak ditentukan
oleh kemampuan kewirausahaan andal yang dimiliki perusahaan,
akan tetapi bila memandangnya secara Islami, bahwa keuntungan
akan lebih banyak dan menjadi berkah (ada nilai-nilai kebaikan
/ziyādah al-khair).210
Menurut K.H. Muhammad Balya, Rasulullah dalam
kehidupannya lengkap sekali peranan yang beliau lakukan. Beliau
mempunyai multi peran, yakni sebagai pedagang yang jujur (al-
amān), sebagai dai, sebagai panglima perang, juga sebagai kepala
negara. Ini cukup menjadi contoh bagaimana ilmu dan agama
diintegrasikan. Oleh karena itu, yang penting, bagaimana mengelola
pendidikan Islam ini yang output-nya memiliki kepribadian yang
utuh sebagai seorang Muslim, yakni Muslim yang intelek dan seorang
intelek yang Muslim, sebagaimana dicita-citakan oleh Habibie.
Pesantren diharapkan dapat menghasilkan output yang memiliki

al-ḥaqq) dan aksi nyata/action (wa tawāṣawbi al-ṣabr). Lihat QS. Al-‘Ashr [103]: 1-
3.
209 Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
210 Nilai-nilai kebaikan (berkah) yang dapat dirasakan dari keuntungan

usaha ekonomi antara lain dapat mendorong terciptanya kenyamanan bagi yang
bersangkutan (pengusaha), kenyamanan bagi orang lain, dan kenyamanan bagi
lingkungannya. Baca QS. Al-Taubah [9]: 103, yang artinya: “Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”

148 | Drs. Asnawi, MA


kepribadian yang utuh (integrated personality), bukan kepribadian
yang pecah (split personality).211
Di Pondok Pabelan ini pendidikan diarahkan untuk
membentuk santri yang memiliki kriteria 3 M (Muslim, Mukmin, dan
Muhsin). Karena itulah perilaku pendidiknya juga harus dapat
menjadi uswah/suri teladan bagi para santri/siswa. Seorang
kiai/ustad/guru adalah seorang Muslim yang baik. Apa salahnya
seorang guru/kiai menjadi enjinering yang baik, dan sebaliknya
seorang pengusaha apakah boleh curang meskipun dia seorang
Muslim. Kegagalan pendidikan adalah karena krisis keteladanan.
Kerusakan sekarang ini akibat dari dikotomi.
Di Pondok Pesantren Modern ini, santri belajar mulai pukul
07.00 sampai 14.00 (enam jam waktu efektif). Integrasi ilmu agama
dan ilmu umum tidak dipisahkan dalan kehidupan sehari-hari
selama 24 jam. Kegiatan seperti ini akan menghasilkan output
seperti apa? Ini aksinya di masyarakat. Jelasnya, waktu belajar santri
selama 24 jam, enam jam di kelas secara efektif, 18 jam lainnya
mengaplikasikan ilmu yang dipelajari di kelas.
Sebagai gambaran global, pendidikan di Pesantren Modern
Pabelan ini meliputi beberapa elemen. Pertama, kiai/guru/ustad,
sebagai pentransfer ilmu (transferer of knowledge) di kelas. Kedua,
ilmu yang diterima dan dipelajari di kelas direalisasikan dalam
kehidupan di pondok/asrama di bawah bimbingan seorang
guru/pengasuh. Ketiga, masjid sebagai pusat kegiatan santri.
Keempat, keberhasilan pendidikan tidak diukur dari hasil Ujian
Nasional (UN) dan selembar ijazah. Ijazah mereka adalah bagaimana
aksi mereka di tengah masyarakat. Kelima, action di masyarakat ini
muncul dari pembentukan karakter selama di pesantren. 212

211 Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.


212 Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 149


Karena itulah pendidikan berarti membangun karakter
anak/santri. Kegiatan ini dimulai dengan membangun paradigma 213
yang pada akhirnya mendorong muncul adanya action/kerja
nyata.214 Kehancuran bangsa Indonesia karena kesalahan sistem
pendidikan. Ruang gerak dalam bidang keilmuan diberikan seluas-
luasnya (antum a‘lam bi umār dunyākum) dengan rambu-rambu
kesempurnaan ajaran Islam.215
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunitas
pesantren, baik Pesantren Tradisional Plus maupun Pesantren
Modern, secara paradigmatik sepakat perlunya integrasi ilmu,
karena pada hakikatnya ilmu itu integral. Konsep integrasi ilmu
mereka dasarkan pada argumentasi teologi-normatif, bahwa semua
ilmu itu bersumber dari Allah SWT. Namun, mereka berbeda dalam
menyikapinya. Hal ini akan berimplikasi pada struktur kurikulum
dan proses pembelajaran.[]

213 Hal ini seperti dicontohkan oleh Rasulullah selama di Mekkah. Tiga
belas tahun beliau berjuang di Mekkah membangun paradigma, dan baru di
Madinah beliau mulai membangun karakter yang menghasilkan action
(pengamalan ajaran Islam). Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27
Januari 2010.
214 Samuel Smit mengatakan, “Taburlah pikiran maka kita akan menuai

tindakan, taburlah tindakan maka kita akan menuai kebiasaan. Menabur kebiasaan
maka akan menuai karakter. Karakter yang ditabur terus menerus akan
menghasilkan perubahan nasib.” Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad
Balya, 27 Januari 2010.
215 QS. Al Maidah [5]: 3 yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan

untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridlai Islam itu jadi agama bagimu.”

150 | Drs. Asnawi, MA

Anda mungkin juga menyukai