Haman Dja’far. Sejak awal berdirinya pesantren ini telah menggunakan kurikulum
Kulliyat al-Mu‘allimīn al-Islāmiyah (KMI). Salah satu alumni pesantren (angkatan
pertama dari 25 orang) adalah Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. yang saat ini
menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Wawancara pribadi
dengan K.H. Ahmad Mustofa pada 16 Januari 2010. Lihat pula Profil Madrasah
Aliyah, The Reformulation Science and Teknology Equity Program Phase Two (STEP-
2 IDB) (Jakarta: Dirjen Pendidikan Madrasah, Dirjen Pendidikan Islam, 2009), 107-
114. Pondok ini menerapkan sistem kepemimpinan kolektif, yaitu sejak tahun
1993 hingga sekarang pondok ini dipimpin oleh K.H. Ahmad Musthafa, K.H. Ahmad
Najib Hamam, dan K.H. Muhammad Balya. Baca Faiqah, et.al, Direktori Pondok
Pesantren, (Jakarta Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, 2000), 289. Beberapa prestasi
pondok pesantren Pabelan dibuktikan dengan adanya beberapa penghargaan yang
diterima pondok ini baik tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat
nasional pesantren memperoleh penghargaan “Kalpataru” dari presiden Suharto
pada tahun 1982. Sedangkan di tingkat internasional mendapat penghargaan “The
Agha Khan Award for Architecture” pada Oktober 1980. Karena prestasi inilah
Khamla Bashin (aktivis L.S.M. Hongkong) menyebut pesantren ini “The Islamic
Learning Sociaty”. Sementara Ivan Ilih, pastur sekaligus tokoh pendidikan Amerika
yang pernah berkunjung ke pondok ini pada tahun 1970-an, mengatakan bahwa
pondok seperti Pabelan inilah yang ia maksudkan sebagai “Deschooling Society”.
Lihat Jajat Burhanuddin-Ahmad Baidowi, Tranformasi Otoritas Keagamaan;
Pengalaman Islam di Indonesia (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), 175-
176.
76 | Drs. Asnawi, MA
maupun sekolah umum.5 Bagi pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal, tidak ada lagi persoalan dikotomis di dalamnya.
Artinya, ilmu yang berkembang di dalamnya sudah terintegrasi,6
walaupun pelajaran agama dipandang kalangan pesantren sendiri
belumlah memadai. Karena itu, masih ada suplemen lagi bagi para
peserta yang bermukim di pesantren untuk mempelajari bahasa
Arab, kitab kuning, dan semacamnya di luar jadwal persekolahan. 7
Kenyataan membuktikan bahwa pondok pesantren 8 di
Kabupaten Magelang yang menyelenggarakan pendidikan
sebagaimana dimaksud di atas baru ada tujuh pondok pesantren,9
selebihnya masih berstatus sebagai Pondok Pesantren Salafiyah
(tradisional)10 yang memfokuskan pada pendalaman ilmu agama
5 Mastuhu mencatat sejak 20-30 tahun yang lalu (dari 1994) bahwa akibat
dari tantangan yang semakin gencar dari perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, di dalam pesantren telah diselenggarakan jenis
pendidikan formal, yaitu madrasah dan sekolah umum. Baca Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 149. Bandingkan dengan Robert
W. Hefner dan Muhammad Qasim Zaman, Schooling Islam; The Culture and Politic
of Modern Muslim Education ( Princenton an Oxford, Princenton University Press,
2007), 177-178.
6 Wawancara pribadi dengan Azyumardi Azra, Puri Laras-Ciputat, 2 April
2010.
7 Azyumardi Azra, Pergulatan Pesantren (Resonansi) (Jakarta: Republika,
78 | Drs. Asnawi, MA
kegiatan-kegiatan lainnya yang diharapkan dapat melahirkan calon-
calon ulama.12 Sedangkan madrasah yang ada kebanyakan berada di
luar pesantren dan didirikan oleh masyarakat atau pemerintah.13
Terkait dengan persoalan ontologis, komunitas Pesantren
Tradisional Plus,14 pada umumnya memandang ilmu itu integral,
Sunan Abī Dāwūd, Juz 11, 34, (Maktabah Syamilah). Lihat pula al-Mawardi, Adab al-
Dunyā wa al-Dīn (Singapur-Jiddah-Indonesia, Al-Ḥaramayn, 1421), 47. Lihat Pula
al-Imam Jalal al-Dīn Abd al-Raḥmān Abī Bakar al-Suyūṭī, al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr
(Bandung: Shirkat al-Ma‘ārif), 69. Baca Abu Abd Allah al-Bukhārī al-Ja‘fi Ṣaḥīh al-
Bukhārī (Bayrut: Dār Ibn Kathīr, 1987), Juz 1, 37. Lihat pula Abu ‘Isa al-Tirmidzi al-
Sulamy, Sunan al-Tirmidhi (Bayrut: Dār Iḥyā’ al-Turath al-‘Arabī, TTP), juz 3, 48.
Lihat pula Abu Abd Allah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah (Bayrut: Dār al-Fikr, TTP),
juz 1. 81.
13 Di Kabupaten Magelang ada sebanyak 67 Madrasah Tsanawiyah (MTs),
dengan rincian 5 MTs Negeri dan 62 MTs Swasta; dan 18 Madrasah Aliyah (MA),
dengan rincian 2 MA Negeri dan 16 MA Swasta. Dua dari Madrasah yang
diselenggarakan di pesantren adalah Madrasah Aliyah (MA) Yajri Pesantren
“Sirojul Mukhlasin” Payaman dan Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pesantren
Pabelan. Wawancara pribadi dengan Mahmud R. Mapenda Islam, Kantor
Departemen Agama (Depag) Kabupaten Magelang, 3 April 2010.
14 Untuk menggali informasi terkait permasalahan bagaimana pandangan
Asyahari (Ketua Umum YAJRI), Sitah Ahmad Zaenuri (Kepala Madrasah Aliyah
Yajri), Ahmad Mustanir (waka-Kurikulum Madrasah Aliyah Yajri), dan beberapa
guru IPA dan Guru IPS.
15 Data tentang hal yang terkait dengan permasalahan ontologi keilmuan
di pesantren, diperoleh melalui wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 12,
13, 16, 28 Januari, dan 2 Februari 2010, serta waktu lain yang memang dipandang
perlu untuk melengkapi data tersebut.
16 Data hasil penelitian melalui wawancara kepada mereka pada tanggal
80 | Drs. Asnawi, MA
ghayr shar‘iyah meliputi ilmu-ilmu umum. Namun, ia mengakui
bahwa ilmu itu satu dan datangnya dari Allah SWT.18
Walaupun masih terdapat pandangan dikotomis terhadap
keilmuan seperti di atas, namun tidak sampai menolak atau bahkan
meniadakan validitas kedua keilmuan tersebut. Ia masih mengakui
validitas masing-masing keilmuan, dan menurutnya keduanya wajib
dipelajari. Pendapat ini selaras dengan pendapat Quthb al-Dīn dalam
Durrat al-Tāj sebagaimana dikutip oleh Osman Bakar, yang membagi
ilmu menjadi dua bagian besar, al-‘ulūm al-ḥikmī (ilmu-ilmu filosofis)
dan al-‘ulūm ghayr al-ḥikmī (ilmu-ilmu non-filosofis). Ilmu bagian
kedua ia bagi lagi menjadi dua, yaitu ‘ulūm al-dīn (ilmu-ilmu religius)
dan al-‘ulūm ghayr al-dīn (ilmu-ilmu non religious).19
Azyumardi Azra (pengantar) dalam Stanton mengatakan
bahwa para ilmuwan Muslim pada masa-masa awal membagi ilmu
itu menjadi dua bagian yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi dari
mata uang koin. Pertama, al-‘ulūm al-naqliyah, yakni ilmu-ilmu yang
disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi tetap melibatkan
penggunaan akal. Kedua, al-‘ulūm al-‘aqliyah, yakni ilmu-ilmu intelek
yang diperoleh hampir sepenuhnya melalui penggunaan akal dan
pengalaman empiris.20
18 Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, 2 Februari 2010. Hal ini juga
diakui oleh K. Alfan Al-Muhasibi, Pengasuh Pesantren “Nailul Muna” Randu Kuning
Muntilan, Magelang. Wawancara pribadi, 12 April 2010. Bandingkan dengan Syafiq
Muhammad Za‘uri yang membagi ilmu ke dalam ‘ilmu shar‘iy dan ‘ilmu ghayru
shar‘iy. ‘ilmu shar‘iy dibagi ke dalam tiga macam ilmu, yaitu ilmu tafsir, hadis, dan
fiqh, serta membaginya kepada fadlu ‘ayn dan fardlu kifayah. Adapun ‘ilmu ghayru
shar‘iy dibaginya kepada ilmu yang boleh dipelajari, makruh, dan haram untuk
dipelajari. Baca Safiq Muhammad Za‘uri, Al-Fikr al-Tarbawy ‘ind al-Ulamāwī
(Bayrut: Dār Iqra’, 1986/1406), 15-19.
19 Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu
hati) atau ilhām, dan ma‘rifah secara harfiah artinya sama, yaitu pengetahuan. Ibnu
Manzur dalam Lisān al-‘Arab mengartikannya sebagai ilmu (al-‘ilm). Lihat Abdul
Aziz Dahlan et al, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar baru-Van Hoeve, 1996), 24.
82 | Drs. Asnawi, MA
dikomotis. Jika kamu mengantuk, kamu tidur; itu Islam. Kalau kamu
tidak tahu, kamu bertanya; itu Islam. Kalau kamu pandai, kamu
mengajar; itu Islam. Kalau kamu lapar, kamu makan; itu Islam.
Karena ini semua dalam rangka mengikuti hukum-hukum Tuhan,
sebagaimana arti Islam itu sendiri, yaitu berserah diri kepada
Tuhan.26
Pendapat di atas dikuatkan pula oleh Khudlori, yang
mengatakan bahwa ilmu itu sama; tidak ada perbedaan antara ilmu
umum dan ilmu agama. Ilmu agama berhubungan dengan ilmu
umum, dan ilmu umum berhubungan dengan agama. Kalau agama
kebenarannya mutlak dari Allah SWT, sedangkan ilmu umum
kebenarannya tidak mutlak. Al-Qur’an telah mengisyaratkan
manusia agar ṭalab al-‘ilmi, begitu juga dengan hadis Nabi. Artinya,
untuk meraih kesuksesan hidup dengan ilmu. Seperti memahami al-
Qur’an, ada ilmunya, ada kunci-kuncinya. Di antara kuncinya adalah
paham Bahasa Arab, asbāb al-nuzūl, sejarah, dan sebagainya. Begitu
pula ilmu-ilmu umum yang berhubungan dengan ayat-ayat
kawninyah, dibutuhkan kunci berupa ilmu fisika, biologi, dan
sebagainya.27
Secara eksplisit, kalangan Pesantren Tradisional Plus Memang
tidak mengatakan akan basis ontologis ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum, namun pada dasarnya mereka mengakui adanya objek
kajian ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum tersebut. Hal ini
dapat dibuktikan dari penyataan mereka. Menurut K.H.
Minanurrahman Anshari, ilmu itu semuanya adalah hikmah.28 Kita
pengetahuan tertinggi dan termulia yang dianut oleh kaum Muslimin. Lihat Osman
Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menuju Islamisasi
Ilmu (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), 280. Baca pula Q.S. 2: 296. Lihat pula Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam The Concept of Religion and The Foundation of
Ethics and Morality (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Penidikan Malaysia, 1992), 28.
29 Wawancara pribadi K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari 2010.
30 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrates Study (London:
1976), 13-14.
31 STEP-2 merupakan program lanjutan Departemen Agama. Beberapa
program yang telah dilakukan Departemen Agama sebelumnya antara lain proyek
Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (Basic Education Project-BEP) dan Proyek
pengembangan Madrasah Aliyah (Development of Madrasah Aliyahs Project-DMAP)
dari Asian Development Bank, juga STEP-1 pada tahun 1995 yang telah melahirkan
SMU Unggulan (sekarang MAN) Insan Cendekia di Serpong dan Gorontalo. Science
Technology Equity Program Phase Two (STEP-2) sebagai program penguatan Sains
dan Teknologi Madrasah Aliyah di 29 Madrasah Aliyah di seluruh Indonesia
dengan bantuan dana IDB (Islam Development Bank). STEP-2 ini diharapkan dapat
menjadi salah satu batu loncatan (step ping stone) menuju madrasah yang lebih
baik. Baca “Tentang STEP-2”. Dialog Jumat, Tabloid Republika, 1 Februari 2008, 2.
84 | Drs. Asnawi, MA
yang masuk ke dalam pesantren. Kata kunci mereka ada pada
niatnya. Niat dalam mempelajari ilmu ini menjadi titik tolak dalam
segala kegiatan.
Menentukan basis ontologis keilmuan ini sangat penting,
karena sebagaimana dikatakan Mulyadhi Kartanegara bahwa
kepercayaan pada status ontologis atau keberadaan objek-objek
basis ontologis ilmu pengetahuan ini akan menjadi basis ontologis
dari epistemologi yang akan dibangunnya. Menurutnya, basis
ontologis mana yang ia pilih akan sangat memengaruhi bahkan
menentukan corak epistemologis yang dibangunnya.32 Oleh karena
itu, terkait dengan basis ontologis ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum, dia menjelaskan baik ilmu agama maupun ilmu umum
sebenarnya adalah ayat-ayat Allah. Ilmu agama adalah ayat-ayat
Allah yang bersifat qawliyah (al-Qur’an dan Hadis), sedangkan ilmu
umum adalah ayat-ayat Allah yang bersifat kawniyah (berupa alam).
Dalam konsep Islam, al-Qur’an dan alam adalah ayat Allah; yang satu
berupa ayat qawliyah dan yang lain berupa ayat kawniyah. Integrasi
ilmu akan terjadi apabila kita membaca objek ilmu baik al-Qur’an
maupun alam sebagai ayat Allah SWT.33
Selain itu, dia juga membagi objek penelitian ilmu menjadi
dua. Pertama, objek penelitian telah “hadir” pada diri seseorang,
sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut ilmu ḥuḍūrī
(knowledge by presence). Kedua, objek penelitian diperoleh tidak
secara langsung, tetapi melalui representasi, baik berupa simbol atau
konsep, sehingga modus pengenalan seperti ini disebut dengan ilmu
ḥuṣūlī (acquired knowledge).34
(Bandung: Arasy PT Mizan Pustaka bekerja sama dengan UIN Jakarta Press, 2005),
209.
33 Wawancara pribadi dengan Mulyadhi Kartanegara, 1 April 2010.
34 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat
Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 45. Lihat Muhammad Yasin dalam Michael S.
Merry juga menyatakan bahwa Pendidikan Islam mengakui adanya dua tipe ilmu
pengatahuan (knowledge), yaitu acquired knowledge (taḥṣīlī) dan revealed
knowledge (waḥyī). Baca Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling:
A Philosophical Approach (United States of America: Palgrave Macmillan , 2007),
54.
35 ‘Ilmu ḥuḍūrī adalah ilmu yang tidak membutuhkan eksistensi luar, akan
Hossein Nasr merupakan doktrin yang paling utama dalam Islam sebagai
konsekuensi dari kalimat Syahadat, bukan sebagai Pantheisme, Pan-entheisme
atau Natural Myticism sebagaimana pandangan orientalis Barat. Baca Seyyed
Hossein Nasr, Ideals and Ralities of Islam (London: George allen & Unwin LTD,
1972), 137.
86 | Drs. Asnawi, MA
dasarnya satu dan sama, maka status ontologis objek-objek ilmu baik
yang fisik maupun yang nonfisik adalah sama.38
Sebenarnya al-Qur’an, sebagaimana dikatakan Ali Masrur,
telah mengajarkan adanya tiga macam objek kajian ilmu, dan
ketiganya merupakan satu kesatuan. Pertama, ayat-ayat Tuhan yang
terdapat dalam alam semesta. Kedua, ayat-ayat Tuhan yang ada
dalam diri manusia dan sejarah. Ketiga, ayat-ayat Tuhan yang
tersurat dalam kitab suci al-Qur’an.39 Hal ini telah dinyatakan Allah
melalui firman-Nya dalam QS. Ḥāmīm Sajdah [41]: 53.40
Terkait dengan persoalan epistemologis, pendapat komunitas
Pesantren Tradisional Plus, dapat dikategorikan ke dalam dua
sumber ilmu, yaitu diantara mereka berpendapat bahwa semua ilmu
itu sumbernya dari Allah SWT,41 sementara lainnya berpendapat
bahwa semua ilmu itu sumbernya al-Qur’an.42 Hal ini seperti
dikemukakan oleh K.H. Asyhari bahwa ilmu, baik ilmu agama
maupun ilmu umum itu sumbernya al-Qur’an. Menurutnya, apa saja
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu.”
41 Pernyataan seperti di atas dinyatakan oleh K.H. Asyhari. Menurutnya,
ilmu itu satu dan datangnya dari Allah. Dalam Islam, ilmu itu dibagi menjadi dua,
yaitu al-‘ulūm al-shar’iyah dan al-‘ulūm ghayr shar‘iyah. Al-‘ulūm al-shar’iyah
meliputi Al-Qur’an, Hadis, dan kelengkapannya merupakan ilmu yang
dikembangkan di Pondok Pesantren Tradisional Plus. Sementara al-‘ulūm ghayr
shar‘iyah merupakan ilmu-ilmu umum yang termasuk ke dalam fardlu kifayah.
Ilmu-ilmu fardlu kifayah adalah ilmu-ilmu yang menjadi syarat terwujudnya
keteraturan kehidupan masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, dan
kesehatan. Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, l2 Februari, 2010.
42 Wawancara pribadi dengan Mustanir, Waka-Kurikulum MA Yajri, 16
Januari 2010.
secara verbal dan tersurat diwahyukan Allah SWT. Sementara ayat kawniyah
adalah ayat realitas yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya. Baca Abu
Yazid, Nalar Wahyu; Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari‘at (Jakarta:
Erlangga, 2007), 6. Dalam pengembangan ilmu, al-Qur’an diposisikan sebagai
sumber ayat-ayat qawliyah, sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran
logis diposisikan sebagai ayat-ayat kawniyah. Lihat Imam Suprayogo, Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang (Malang: UIN Press, 2006),
30.
45 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam The Concept of Religion, 28.
88 | Drs. Asnawi, MA
(empiris) melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan, dan
investigasi (al-‘ilm al-kasb/‘ulūm al- muktasabah).46
Apabila yang dimaksud dengan sumber segala ilmu adalah al-
Qur’an, berarti menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma. Hal ini
sebagaimana dikehendaki oleh Kuntowijoyo yang mengatakan
bahwa suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita
memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.
Menurutnya, bahwa dengan konstruksi pengetahuan tersebut kita
dapat memperoleh “ḥikmah” yang menjadi dasar pembentukan
perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada
level moral maupun sosial dalam menjelaskan ayat-ayatnya kepada
manusia.47 Bila dikaji lebih luas lagi, ternyata pendapat di atas
menunjukkan adanya kemungkinan dilakukan penelitian terhadap
fenomena alam. Sehingga dapat dipahami bahwa sumber ilmu dalam
pandangan komunitas Pesantren Tradisional Plus bukan hanya
wahyu (Allah), melainkan juga melalui indra maupun akal, yakni
dengan observasi terhadap fenomena-fenomena alam atau melalui
laboratorium.
Sementara komunitas Pesantren Modern, pendapatnya dapat
dikategorikan kepada dua sumber ilmu sebagaimana pandangan
komunitas Pesantren Tradisional Plus di atas, bahkan cenderung
lebih bersifat apologetik. Mereka berpandangan bahwa semua ilmu
itu dari Allah, segala sumber ilmu adalah al-Qur’an, adanya ilmu
agama dan ilmu umum, karena faktor manusia, bahkan ilmu umum
menjadi ilmu agama. Di antara mereka adalah K.H. Ahmad Mustofa,
K.H. Najib Hamam, K.H. Mahfudh, K.H. Muhammad Balya, Mudzakir,
terdapat dalam kurang lebih 16 ayat al-Qur’an yang kesemuanya dipakai dalam
konteks alam dan manusia dalam dimensi fisiknya. Sedangkan yang memakai kata
‘aql terdapat dalam kurang lebih 49 ayat, yang digunakan dalam konteks yang
lebih luas dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat konkret, material, spiritual,
maupun yang bersifat ghaib. Adapun yang memakai kata al-qalb terdapat dalam
kurang lebih 101 ayat yang pada umumnya dipakai dalam kaitannya dengan hal-
hal ghaib dan spiritual saja. Lihat Ali Masrur, “Prinsip Epistemologi Qur’ani (Upaya
Reintegrasi Ilmu-Ilmu Agama dan Umum”, dalam http://
alimasrur/blogspot.com/2008/20/prinsip-Epistemologi-qur’ani-upaya.html diakses
pada 26 Oktober 2009.
52 Wan Mohd Nor Wan Daud, Masyarakat Islam Hadlari: Suatu Tinjuan
90 | Drs. Asnawi, MA
Terkait dengan sumber ilmu ini, M. Quraish Shihab
menjelaskan tiga hal penting. Pertama, sumber ilmu adalah Allah,
karena itu segala yang bersumber dari-Nya pastilah benar, karena
ilmu adalah kebenaran. Kedua, ilmu adalah anugerah. Ia bukan
sesuatu yang dirampas oleh manusia dari dewa sebagaimana
terdapat dalam metodologi Yunani Kuno. Ini berarti semakin dekat
kepada-Nya semakin besar potensinya untuk memperoleh limpahan
ilmu dengan berbagai cara yang ditetapkan Allah. Ketiga, dalam
konteks pendekatan diri, berbagai cara ditetapkan-Nya guna meraih
ilmu, antara lain bersikap kritis dan tidak terpaku pada pendapat
satu seorang (QS. Ali Imran [3]: 144), tidak angkuh (QS. al-A’raf
[7]:146), banyak bertanya kepada orang yang mengetahui (QS. al-
Nahl [16]:43), dan lain-lain.53
Begitu pula dalam aspek aksiologis, komunitas Pesantren
Tradisional Plus beranggapan bahwa karena semua ilmu itu dari
Allah SWT maka penggunaannya adalah untuk kemaslahatan umat
manusia, bahkan lebih dari itu untuk kejayaan Islam dan kaum
Muslimin. Hal ini sebagaimana dinyatakan K.H. Minanurrahman
Anshari, bahwa dalam kenyataannya manusia hidup di atas
rangkaian banyak disiplin ilmu. Menurutnya, dalam rangka
pemanfaatan ilmu ada lima aspek yang harus terintegrasi. Kelima
aspek tersebut adsalah aspek tauhid, aspek hukum, aspek moral
(akhlak), orientasi, dan agama.
Sebagai contoh pemanfaatan Biokimia, mungkin bisa menjadi
Bom Nuklir. Apabila pembuatan bom nuklir itu tanpa didasari moral
maka akan berbahaya. Bahkan, andai dilandasi moral pun tetapi
Ensiklopedis Muslim, Ibn Sina (980-1037) seorang ahli Filsafat dan kedokteran,
Ibn Haitham (w.1039) seorang fisikawan, Ibn Khaldun, Ibn al-Nafis Hayyan, al-
Khawarizmi, dan juga Mahmud al-Kasghari (abad 11) adalah bukti sejarah akan
keberhasilan mereka dalam penguasaan ilmu pengetahuan di samping ilmu agama.
Lihat Amin Abdullah, Islam Studies, dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi
(Sebuah Antologi) (Yogyakarta: UIN Suka Press, 2007), 27. Lihat pula Republika,
Jumat, 4 Desember 2009, 21.
58 Ali Masrur, “Prinsip Epistemologi Qur’ani (Upaya Reintegrasi Ilmu-Ilmu
92 | Drs. Asnawi, MA
Sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh kaum
Muslimin, seperti dinyatakan Turner, memberi manfaat langsung
terhadap farmakologi dan farmasi yang berkembang di seluruh
dunia Islam dalam skala yang tak terduga. 59 Dedi Jamaluddin
menguatkan pendapat di atas dengan menyatakan bahwa ilmu itu
berasal dari Tuhan dan harus digunakan dalam semangat mengabdi
kepada-Nya,60 menambah seseorang lebih dekat kepada Allah dan
mencapai ma’rifat kepada-Nya.61
Komunitas Pesantren Modern beranggapan bahwa karena
ilmu itu bersumber dari Allah maka penggunaannya adalah untuk
kemaslahatan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh K.H. Makhfudh
Masduki. Menurutnya, semua ilmu harus diorientasikan untuk
kemaslahatan, untuk kebaikan, untuk dakwah. Sembari mengutip
pendapat Mukti Ali yang mengatakan sebagai orang Islam
mempelajarai agama li al-da‘wah. Semua ilmu itu harus bernapaskan
semangat lillāhi ta‘ālā. Ilmu untuk ilmu itu naïf sekali, sia-sia sebagai
orang Islam mempelajari ilmu untuk ilmu, ilmu bebas nilai. Ilmu
harus untuk dakwah, untuk ibadah dengan mendasarkan niatnya
untuk pengabdian kepada Allah SWT.62
Hakikat ibadah atau pengabdian, menurut M. Quraish Shihab, tercermin dalam tiga
hal. Pertama, sang pengabdi tidak menganggap apa yang ada dalam genggamannya
sebagai milik pribadinya, akan tetapi menjadi hak tuannya (Allah). Kedua, segala
usaha hanya berkisar pada melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya, ia
mengabdi atau menjauhi larangan-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk
dilaksanakan, kecuali mengaitkannya dengan izin yang kepada-Nya ia mengabdi.
Baca M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi: Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati,
1997), 29-30.
63 Doa Nabi setelah minum: “Segala puji bagi Allah yang menjadikan air itu
tawar dengan rahmatnya dan tidak menjadikannya terasa asin disebabkan karena
dosa kita”. Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari
2010. Baca al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn Juz II (Kairo: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-
‘Arabiyah, TTP), 6.
64 Wawancara pribadi dengan K.H. Asyhari, 2 Februari 2010.
65 Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, 10.
94 | Drs. Asnawi, MA
sebagai sains yang berlandaskan nilai-nilai universal Islam, yaitu
dengan memberi kerangka metafisis yang Islami atas sains yang
berkembang dewasa ini. Menurutnya, bahwa sains adalah aktivitas
yang tidak bebas nilai, dan nilai-nilai Islam mempunyai hak yang
sama untuk melibatkan sebagaimana halnya nilai-nilai ateis.
Pelibatan nilai-nilai Islam itulah yang menghasilkan sains Islam.66
Sains Islam menurut Nasr adalah sains yang dikembangkan
oleh kaum Muslim sejak abad kedua Islam. Selama kurang lebih
tujuh ratus tahun, sejak abad kedua Islam hingga kesembilan,
peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling
produktif dibandingkan dengan peradaban mana pun di wilayah
sains, dan sains Islam berada di garda paling depan berbagai
kegiatan keilmuan mulai dari kedokteran sampai astronomi. 67
Namun demikian, di kalangan guru Madrasah Aliyah Yajri
Payaman, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa ilmu itu
bebas nilai. Pendapat seperti ini disampaikan oleh Atik Najiyah.
Menurutnya, ilmu itu bebas nilai, tergantung pada pembawanya,
dengan mencontohkan penggunaan komputer. Komputer di tangan
orang yang baik akan memberikan manfaat, namun di tangan orang
yang jahat akan membahayakan.68
Sekalipun demikian, jika pendapat itu dikaji bahwa ilmu itu
terdiri dari dua aspek, aspek fakta dan penjelasan. Komputer
merupakan fakta, hasil teknologi yang masih membutuhkan
penjelasan. Dalam menjelaskan fakta tidak mustahil ideologi ataupun
misi penjelas (guru) atau pembawanya akan dapat memengaruhi
96 | Drs. Asnawi, MA
tidak baik. Oleh karena itu, ilmu itu bebas nilai, tergantung pada
siapa yang menggunakan.73
Melihat kelompok pertama dari komunitas Pesantren Modern
yang beranggapan bahwa ilmu itu netral (values free) atau bebas
nilai (values bound), tampaknya pendapat ini paralel dengan
pendapat Muhammad Arkoun, Aziz al-Ahmed, Fazlur Rahman, dan
Harun Nasution, yang mengatakan bahwa ilmu itu bebas nilai dan
baku, kecuali penggunaannya dalam tahap rekayasa. 74 Pendapat ini
didukung oleh pendapat Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun yang sosial, adalah
bersifat netral yang tidak mengandung nilai-nilai kebaikan atau
kejahatan pada dirinya.75 Karena ilmu itu bebas nilai maka kiranya
tepat pendapat Muhammad Abdus Salam yang mengatakan bahwa
tidak ada yang disebut sains Islam, sebagaimana tidak ada pula sains
Hindu, sains Yahudi, sains Konghucu, serta sain Kristen. 76
Pandangan para tokoh terkait dengan kenetralan ilmu di atas
diperkuat oleh Hoodbhoy, yang mengatakan bahwa tidak ada sains
Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam
merupakan pekerjaan yang sia-sia. Untuk mendukung pendapatnya,
dia mengemukakan tiga alasan. Pertama, semua usaha yang pernah
dilakukan untuk menciptakan sains Islam telah gagal. Kedua,
menjelaskan sekumpulan prinsip-prinsip moral dan teologi
betatapun tingginya tidak memungkinkan seseorang menciptakan
sains baru dan permulaan. Ketiga, belum pernah ada, dan sampai
73 Wawancara pribadi dengan Mudzakir, 14 Januari 2010.
74 Hajam, “Rekonstruksi Epistemologi untuk Pendidikan Integralistik”,
Lektur, Vol. 13. No. 2 Desember 2007, 281.
75 Nurcholish Madjid, “Masalah Teknologi dan Kemungkinan
Pertimbangan Keimanan Islam dalam Ikutserta Mengatasi Ekses Negatif
Penggunaannya”, makalah KKA Paramadina No. 31/Thn/1989, 6. Lihat pula Dedi
Djamaluddin Malik et. al. Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik
(Bandung: Zaman Wacana Muda, 1998), 186.
76 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science Religious Ortodoxy and The Battle
98 | Drs. Asnawi, MA
belum mengintegrasikan dengan nilai-nilai agama. Permasalahan ini
ternyata berkaitan dengan kemampuan guru/pengajar. Untuk lebih
jelasnya terkait dengan persoalan paradigma keilmuan komunitas
pesantren dapat dilihat pada bagan berikut.
Gambar 1: Bagan Paradigma Keilmuan Komunitas Pesantren
Ilmu satu/integral
ONTOLOGIS
I. Umum-I. Agama
Maslahah/li al-da’wah
AKSIOLOGIS
Ilmu untuk Ibadah
(MA) dengan jumlah guru 57.181 orang. Baca Dedi Supriadi, Guru di Indonesia;
terbatasnya waktu yang ada dan luasnya cakupan materi yang harus diajarkan
kepada siswa/santri, serta meningkatnya jumlah santri. Oleh karena itu, ada
beberapa mata pelajaran yang dibuang/dikeluarkan dari kurikuler, ada pula
materi pelajaran yang dikurangi jamnya, dan ada pula yang ditiadakan dan diganti
dengan materi kitab klasik (kitab kuning).
pada masa awal/klasik yang umumnya meliputi ilmu-ilmu agama (al-‘ulūm al-
shar‘iyah) yang bersumber pada al-Qur’an diikuti dengan tafsir, hadis, fiqh, juga
nahwu dan sharaf sebagai alat untuk mengkaji kitab-kitab kuning. George Makdisi,
The Rise Colleges, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981),110. Kitab kuning
pada umumnya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab,
menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir Muslim
masa lampau, khususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab kuning
mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”. Oleh
Azyumardi Azra pengertian kitab kuning diperluas sebagai kitab-kitab keagamaan
berbahasa Arab, Melayu, Jawa, atau bahasa lokal lain di Indonesia dengan
menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh Ulama Timur Tengah juga
ditulis oleh Ulama Indonesia sendiri. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet.II,
2000/120), 111.
89 Wawanacara pribadi dengan Asyrofah, alumni dan sekarang menjadi
pendidikan Islam ke dalam lima tipologi pemikiran. Salah satunya adalah tipe
Perenial-esensial madzhabi, bersikap regresif, dan konservatif dalam
mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti aliran,
pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta berwawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan berorientasi masa silam (classic oriented).
Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada pemberian syarḥ dan ḥāshiyah terhadap
pemikiran pendahulunya, dan kurang ada keberanian mengkritisi atau mengubah
substansi materi pemikiran para pendahulunya. Fungsi pendidikan Islam adalah
melestarikan dan mempertahankan nilai budaya dan tradisi dari satu generasi ke
generasi berikutnya, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai-
2010.
96 Kitab-kitab kuning yang digunakan sebagai kitab pegangan guru antara
lain kitab al-Taqrīb untuk mata pelajaran Fiqh, Mukhtār al-Aḥādīth untuk mata
pelajaran Hadis, Tafsīr al-Jalālayn untuk pelajaran al-Qur’an, di samping al-Qur’an
menjalankan pendidikan dan pembelajaran dengan milieau pesantren ‘ala ahl al-
Sunnah wa al Jama‘ah untuk memantapkan aqidah, meluruskan keyakinan, dan
ketakwaan serta penguasaan ilmu pengetahuan nondikotomik antara ilmu agama
dan ilmu umum dalam membina akhlak mulia untuk kesejahteraan umat. Adapun
misinya adalah: 1) memberikan pelayanan terbaik dalam mengantarkan para
santri/siswa memiliki kemantapan akidah, penguasaan ilmu, dan keluhuran
akhlak untuk kesejahteraan umat; 2) membentuk santri/siswa berakhlak al-
karimah yang unggul dalam pemahaman kitab-kitab Salaf, ilmu pengetahuan, dan
lifeskill/ketrampilan; 3) membentuk santri/siswa menjadi generasi Islam yang
mempunyai luas; 4) menciptakan semua komponen madrasah menjadi Mukmin
yang taat, jujur, ikhlas, berdisiplin, percaya diri, kreatif dan inovatif; dan 5)
menjalankan pendidikan dan pembelajaran dengan milieau madrasah dan
pesantren ala ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah dengan kurikulum integral. Lihat
Brosur Yayasan Amal Jariyah Pondok Pesantren Sirojul Mukhlasin II Madrasah
Tsanawiyah-Aliyah Yajri, tahun 2008.
98 Selain di madrasah, kajian kitab kuning diberikan juga pada sore hari
sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.
Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing
secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai Bahasa Arab. Lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerapan ekonomi dan Sosial
(LP3ES), 1982), 28.
100 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 28-32.
101 Pondok Pesantren Pabelan didirikan oleh K.H. Hamam Dja’far pada 28
107 Teori Naẓariyat al-furū‘. Teori ini memandang bahwa bahasa terdiri
dari beberapa cabang, seperti qira’ah, muṭāla‘ah, qawa’id, dan lainnya yang
diajarkan dengan metode, buku, dan waktu tersendiri. Ciri khusus dari teori ini
adalah: 1) bahasa diajarkan menurut cabang tertentu; 2) tiap cabang mempunyai
materi bahasan, silabus, dan alokasi tertentu; 3) memberi peluang untuk
mendalami salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang diminati; 4) lebih
mengutamakan pengausaan gramatika dan muthala’ah. Lihat Mahmud Yunus,
Metodik Khusus Bahasa Arab, 28-29.
108 Wawancara pribadi dengan Mudzakir, 14 Januari 2010.
109 Kulliyat al-Mu‘allimin al-Islamiyah (KMI) ini adalah Sekolah Keguruan
Islam seperti halnya PGA (Pendidikan Guru Agama). Kelebihan KMI adalah semua
mata pelajarannya dari kelas II, materi pelajaran agama kesemuanya
menggunakan Bahasa Arab (Arab gundul) ala pesantren Pabelan. Hingga sekarang
materi agama masih seperti dulu, hanya ada pengurangan jam yang awalnya 2 jam
menjadi 1 jam, karena tuntutan kurikulum Depag. Wawancara pribadi dengan
Khudori, 19 Januari 2010.
110 Wawancara pribadi dengan Khudlori, 19 Januari 2010.
di atas, ada juga faktor lain, yakni adanya pemahaman dikotomi antara ilmu dan
agama serta munculnya khilafiyah dalam hal Fiqh dan Teologi di tengah-tengah
masyarakat. Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
Pabelan bertujuan untuk mendidik para santri menjadi Mukmin, Muslim, dan
Muhsin yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengalaman luas, dan bebas
berpikir. Sedangkan misinya adalah: 1) Menanamkan disiplin santri untuk
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; 2) Menanamkan jiwa
keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah diniyah, kemandirian dan kebebasan dalam
kehidupan sehari-hari; 3) Menyelenggarakan pendidikan formal dengan
Kurikulum Pesantren yang sesuai dengan Kurikulum Pendidikan Nasional; 4
Mendidik dan mengantarkan santri untuk mampu mengenal jati diri dan
lingkungannya, serta mempunyai motivasi dan kemampuan untuk
mengembangkan diri sesuai dengan perilaku hidupnya; dan 5) Mendidik dan
mempersiapkan santri untuk menjadi manusia mandiri, berkhidmat kepada
masyarakat, agama, nusa dan bangsa. Panca Jiwa Pondok Pabelan meliputi lima
hal, yaitu: 1) Keikhlasan, 2) Kesederhanaan, 3) Ukhuwah Diniyah, 4) Berdikari, dan
5) Bebas. Sedangkan Moto Pondok Pabelan ada empat, yaitu: 1) Berbudi Tinggi, 2)
Berbadan sehat, 3) Perpengalaman luas, dan 4) Berpikiran bebas. Baca Profil
Madrasah Aliyah Pondok Pabelan ( Magelang: 2009), 26, 27, dan 28.
117 Program Takhasus ini sebagai kelas persiapan. Program ini berlaku
bagi santri yang berasal dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam program
ini mereka mendapatkan pendidikan khusus materi agama dan bahasa selama satu
tahun. Wawancara pribadi dengan Khudlori, 19 Januari 2010.
Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama UIN Syarif Hidayatullah , 2003), viii.
122 Hal ini dikarenakan alam sebagai pertanda adanya Tuhan. Jagad raya
juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi
manusia, dengan melakukan pengamatan terhadap keserasian, keharmonisan, dan
ketertiban alam semesta. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Perdaban:
Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), 289.
123 QS. Al-Nisa [4]: 82, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
124 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi dan Etika
“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/dua pikiran sekaligus.” Namun,
dalam al-Qur’an Digital, ayat tersebut diartikan “Allah sekali-kali tidak menjadikan
bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.”
129 Kaidah Ushul Fiqh: Mā lā yudrak kulluh lā yutrak kulluh (Sesuatu yang
langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di
atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga
waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-
tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu.
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung
dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.”
138 QS. Al-Rūm [30]: 22, yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda
1976), 13-14.
bersabda: ‘Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat’.” Baca al-Husain bin al-
Mubarak, Al-Tajrīd al-Ṣarīh li aḥādīth al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ, Juz awal (Semarang: Thaha
Putra, TTP), 5. Lihat pula Abu Abd Allah al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 1 (Bayrut:
Dār Ibn Katsīr, 1407), 3. Lihat pula Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abī Dāwūd, Juz 2
(Bayrut: Dār al-Fikr, TTP), 262. Lihat pula Abu Abd Allah al-Qazwaini, Sunan Ibnu
Mājah, Juz 2 (Bayrut: Dār al-Fikr, TTP), 1413.
142 Wawancara pribadi dengan K.H. Najib Hamam, 27 Januari 2010.
143 QS. Ali Imran [3]: 164, yang artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
144 Wawancara pribadi dengan K.H. Makhfudh Masduki, 20 Januari 2010.
145 QS. Ali Imran [3]: 112, yang artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana
saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan
tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari
Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir
kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang
demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”
146 Menurut K.H. Muhammad Balya, peranan Abdullah dan khalifah fi al-
Ardh ini diwujudkan dalam melaksanakan dua dimensi komunikasi antara hamba
dengan Tuhan-Nya dan interaksi antara manusia dengan manusia dan antara
manusia dengan lingkungannya atau ḥabl min Allāh wa ḥabl min al-nās.
Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
147 Interdisipliner adalah satu pendekatan dalam model pembelajaran
3. Pola Pembelajaran
Pondok Pesantren Tradisional Plus menggunakan pola
pembelajaran moving class-sorogan. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh K.H. Minanurrahman Anshari, pada hakikatnya adalah sorogan
2010.
jurusan IPA dan IPS pun dianggap jurusan agama. Artinya, antara materi-materi
umum dan agama tidak dipisahkan. Wawancara pribadi dengan K.H.
Minanurrahman Anshari, 12 Januari 2010.
165 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari
2010.
166 Wawancara pribadi dengan Siti Marifah dan Wahdatul Idiyah,
Februari 2010.
174 Wawancara pribadi dengan Khudlori, 19 Januari 2010, jam 11.30 dan
Khanafi (SMS) 10 Maret 2010.
175 Lihat Brosur: Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan, tahun 2008-
2009.
176 Wawancara pribadi dengan K.H. Musthafa, 16 Januari 2010.
aqidah, bahwa Allah ta‘ala telah menjadikan manusia sedari dulu dengan segala
kesejarahannya. Orang yang maksiat dihancurkan (sunnatullah), kemudian orang
yang beriman akan diberi rahmat, diberi kesejahteraan, diberi ridla (Baldah
Thoyyibah Wa Rabb Ghafur). Orang memutuskan kenikmatan akan terjadi sekian
masalah, pertumpahan darah terjadi karena hukum Allah ta’ala yang tidak
dijalankan, dan efek-efek politik muncul karena ketidakadilan atau karena adanya
pengkhianatan, bukan ketoprak seperti dalam sejarah Islam. Ini Pengenalan
sunnatullah. Maka dalam sosiologi dan antropologi ini perlu dikenalkan kepada
siswa bahwa manusia itu diciptakan untuk beribadah kepada Allah ta’ala,
kemudian gambaran tentang masyarakat yang baik adalah masyarakat yang
dipimpin oleh agama terutama Islam. Kemudian penyimpangan ajaran agama akan
menimbulkan kekacauan-kekacauan. Apa pun yang terjadi dalam konteks
demokrasi sekarang pun, dimana diakui sebagai kebenaran yang agak mutlak.
Demokrasi tidak mutlak, karena kalau hal itu masih tidak memenuhi dari dawuh
Allah ta’ala, demokrasi apa pun akan memunculkan murka Allah. Antropologi
bukan memahamkan bahwa manusia bukan manusia yang tanpa budaya. Sejak
Nabi Adam sudah mempunyai budaya yang sangat tinggi, karena beliau hidup di
surga. Beliau diturunkan ke dunia karena melakukan hala-hal apa yang telah
digariskan oleh Allah ta’ala, yang seharusnya dijauhi. Jadi, sejak awal manusia
sudah memiliki budaya yang tinggi, mereka menjadi compang-camping karena
menjauh dari agama. Dan ukuran-ukuran suatu kesejahteraan atau kemajuan
bukan hanya budaya, melainkan lebih cenderung pada moralitas keberagamaan.
Oleh karena itu, harus dimasukkan keyakinan itu kepada anak. Kemudian Fiqh,
tentang halal-haram, moralitas. Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrrahman
Anshari, 12 Januari 2010.
179 Dua model integrasi yang lain adalah: 1) dengan menyatukan atau
mensenyawakan. Menurutnya apakah ini mungkin, karena akan berkonsekuensi
pada pemikiran untuk menggantikan paradigma epistemologisnya, dari apa yang
disebut metode dualisme ke metode monism; 2) menempatkan ilmu agama yang
normatif dan ilmu pengetahuan yang bertradisi sains itu tetap dalam ranah
masing-masing yang otonom, sebagai dua wujud yang ditempatkan dalam suatu
garis progresi secara terpisah, namun dalam hubungan antara keduanya yang
fungsional dan komplementer. Soetandyo Wignyosoebroto, “Perspektif Filosofis
Integrasi Agama dan Sains”, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam.
ed. M. Zainuddin (Malang: UIN Pres, 2004), 47.
180 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, 12 Januari
2010.
181 Islam adalah agama yang dijadikan sebagai pandangan hidup total
(total way of life) manusia, tidak memisahkan antara kehidupan yang bersifat
duniawi maupun yang bersifat ukhrawi. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam; Religion,
History and Civilization (Sanfransisco: A Division of Happer Collin Publisher, 2002),
26-27.
182 Sabda Nabi: Khayr al-nās anfa‘uhum li al-nās (Sebaik-baik manusia
adalah orang yang lebih banyak memberi manfaat kepada sesama manusia).
wahai orang-orang yang punya pandangan/visi). Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini
sebagai sandaran tekstual yang jelas tentang wajibnya kita menggunakan
penalaran akal, atau gabungangn intelektual dan penalaran hukum. Lihat Mulyadhi
Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:Lentera
hati, 2006), 143.
187 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, 144.
192Zainal Abidin Bagir ed. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi
(Bandung: Mizan, 2005), 50-51.
193 Wawancara pribadi dengan Asyrofah, 13 Januari 2010.
buku. Di dalamnya banyak sarjana dari berbagai budaya, etnik, bangsa, dan agama.
Baca Amin Abdullah, Progressivity of Classical Islam and The Project of Ihya’ al-
Turath, A draf of paper presented in the International Confrence on Debating
Progressive Islam: A Global Perspective School UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
under auspice IAIN Indonesia Sosial Equity Project (IISEP) July, 25- 27m 2009, 2.
197 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan Untuk
dalam hidup ini, yaitu gairah hidup/semangat atau visi yang kuat (wa tawāṣaw bi
al-ḥaqq) dan aksi nyata/action (wa tawāṣawbi al-ṣabr). Lihat QS. Al-‘Ashr [103]: 1-
3.
209 Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27 Januari 2010.
210 Nilai-nilai kebaikan (berkah) yang dapat dirasakan dari keuntungan
usaha ekonomi antara lain dapat mendorong terciptanya kenyamanan bagi yang
bersangkutan (pengusaha), kenyamanan bagi orang lain, dan kenyamanan bagi
lingkungannya. Baca QS. Al-Taubah [9]: 103, yang artinya: “Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
213 Hal ini seperti dicontohkan oleh Rasulullah selama di Mekkah. Tiga
belas tahun beliau berjuang di Mekkah membangun paradigma, dan baru di
Madinah beliau mulai membangun karakter yang menghasilkan action
(pengamalan ajaran Islam). Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad Balya, 27
Januari 2010.
214 Samuel Smit mengatakan, “Taburlah pikiran maka kita akan menuai
tindakan, taburlah tindakan maka kita akan menuai kebiasaan. Menabur kebiasaan
maka akan menuai karakter. Karakter yang ditabur terus menerus akan
menghasilkan perubahan nasib.” Wawancara pribadi dengan K.H. Muhammad
Balya, 27 Januari 2010.
215 QS. Al Maidah [5]: 3 yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridlai Islam itu jadi agama bagimu.”