Anda di halaman 1dari 17

KEBERTAHANAN PESANTREN TRADISIONAL DALAM

MENGHADAPI GOJLOKAN MODERNISASI PENDIDIKAN

H. Oot A. Suhada
E-mail: patwapurba174@gmail.com
Universitas Islam Al-Ihya Kuningan

ABSTRAK:
Modernisasi Pendidikan dapat diasumsikan sebagai penyelenggaraan pendidikan
sekolah dan madrasah modern yang mengakibatkan perubahan dibanyak pesantren
dimana sistem pendidikannya dengan cara menyelenggarakan pendidikan yang
memasukkan ilmu-ilmu non keislaman. Akhir-akhir ini, pesantren-pesantren tersebut
menyelenggarakan sistem pendidikan sekolah dengan menggunakan kurikulum yang
mengikuti program dan kurikulum pemerintah. Sementara itu terdapat pesantren yang
tetap bertahan dengan sistem pendidikan tradisionalnya dan menolak pendidikan
sekolah dan madrasah modern. Pondok Pesantren Nurul Barokah merupakan salah
satu pesatren dengan tipe tersebut. Fokus penelitian ini adalah aspek-aspek
kebertahanan Pondok Pesantren Salafiyah Nurul Barokah dengan sistem pendidikan
tradisionalnya di tengah gojlokan arus modernisasi pendididkan, berupa sistem
pendidikan madrasah dan sekolah formal, landasan berpikir Pengasuh Pondok
Pesantren Salafiyah Nurul Barokah bisa tetap bertahan dalam menghadapi gojlokan
modernisasi pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi kebertahanannya dan
implikasi kebertahanan pesantren di tengah gojlokan arus modernisasi terhadap
proses pembelajaran yang dilaksanakannya.

Kata Kunci: Pesantren, Gojlokan, Salafiyah, Modernisasi, Pendidikan

ABSTRACT:
Modernization of education can be assumed as the implementation of modern school
and madrasah education which has resulted in changes in many pesantren where the
education system is organized by providing education that includes non-Islamic
sciences. Recently, these pesantren have implemented a school education system
using a curriculum that follows government programs and curricula. Meanwhile,
there are pesantren that persist with their traditional education system and reject
modern school and madrasah education. Pondok Pesantren Nurul Barokah is one of
the fast-growing types of this type. The focus of this research is the aspects of the
survival of the Nurul Barokah Salafiyah Islamic Boarding School with its traditional
education system in the midst of the current stream of modernization of education, in
the form of a formal madrasah and school education system, the basic thinking of
Nurul Barokah Salafiyah Islamic Boarding School Caregivers can survive in the face
of educational modernization gossip, factors -factors that affect its sustainability and
the implications of the sustainability of the pesantren in the midst of the
modernization stream towards the learning process it carries out.

Keywords : Pesantren, Gojlokan, Salafiyah, Modernization, Education


PENGANTAR

Penting diutarakan bahwa suatu lembaga pendidikan dapat bertahan higga


ratusan tahun tanpa harus merasa “terdikte” oleh situasi dan kondisi jaman salah
satunya karena adanya keteguhan niat dan komitmen awal dari para masyayikh dan
pengurusnya dalam membangun sebuah peradaban pendidikan yang berlandaskan li
`ilai kalimatillah, dan salah satu dari lembaga dimaksud adalah Pondok Pesantren
Tradisional lebih tepatnya Pondok Pesantren Nurul Barokah yang tetap dan terus
bertahan di era modernisasi pendidikan yang lebih terbarukan, maka itulah
ketertarikan penulis untuk mengangkat tema dengan judul : “Kebertahanan Pondo
Pesantren Tradisional Dalam Menghadapi Gojlokan Modernisasi Pendidikan”.
Terkait dengan persoalan gojlokan modernisasi pendidikan pesantren tradisional,
sejumlah pemerhati pendidikan banyak melakukan kajian.
Sebagaimana kita maklumatkan bersama bahwa lembaga pendidikan Islam
tradisional, yang kita kenal dengan sebutan Pondok Pesantren ditengarai merupakan
kelanjutan dari sistem pendidikan pada masa pra-Islam. Dengan demikian, pesantren
selain identik dengan makna keislaman juga makna keaslian Indonesia, sehingga
Islam, pada saat itu, tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang
sudah ada.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional yang lahir dan
tumbuh berbarengan dengan datangnya Islam ke tanah Jawa. Maka pantaslah suatu
label jika disematkan kepada pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua
dan asli (indegenous) di masyarakat Indonesia. Juga sebagai sebuah sistem
pendidikan yang merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan sebelumnya, Pondok
Pesantren berhasil memadukan sistem pendidikan Islam—yang di dalamnya diajarkan
ajaran Islam—dengan kearipan budaya lokal yang mengakar pada masyarakat saat
itu. Upaya pemaduan antara ajaran Islam dengan budaya lokal itu, merupakan ciri
penyebaran Islam pada masa awal Islam, yang mengutamakan kelenturan dan
toleransi terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang hidup subur di masyarakat sejak
sebelum Islam datang ke Nusantara.
Kalangan Pondok Pesantren pada masa awal Islam telah dapat menampilkan
sekaligus mengajarkan Islam yang dapat bersentuhan mesra dengan nilai-nilai dan
peradaban asli Indonesia, keyakinan, dan ritual pra Islam. Dalam beberapa kasus,
keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual tersebut dipertahankan dan dipraktikkan—
dengan diberi muatan dan corak Islami—oleh sebagian masyarakat Muslim hingga
saat ini.
Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa kebertahanan Pondok Pesantren yang
merupakan lembaga pendidikan asli di Indonesia, yang tumbuh dan berkembang
sejak ratusan tahun lalu masih eksis dan bertahan serta sangat dibutuhkan
kehadirannya di tengah-tengah gojlokan modernisasi yang merambah kepada
masyarakat Muslim Indonesia ila yaumil kiamat (Ingsya Alloh).
Namun demikian, eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di
Indonesia mendapat berbagai tantangan dan rintangan. Mulai pada masa kolonial
Belanda, masa kemerdekaan, masa Orde Baru hingga masa sekarang, pesantren
mendapat tekanan yang tidak ringan. Tantangan pertama datang dari sistem
pendidikan yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang
memperkenalkan sistem pendidikan sekolah bagi anak-anak di Indonesia, dengan
mendirikan Sekolah Rakyat (volkscholen) atau disebut juga sekolah desa (nagari)
dengan masa belajar 3 tahun. Selain tantangan dari sistem pendidikan Belanda,
pendidikan pesantren juga mendapat tantangan yang datang dari eksponen tokoh
sekuler pendidikan Indonesia yang memberikan stigma jelek terhadap pesantren yang
menginginkan agar pesantren dihapuskan sebagai bagian dari pendidikan Nasional.
Tantangan yang lebih memberikan rangsangan bagi dunia pesantren adalah
datang dari kaum reformis Muslim, yang sejak awal abad ke-20 meyakini bahwa
untuk menjawab tantangan pemerintah kolonial Belanda, adalah dengan cara
mengadakan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam. Dalam konteks ini,
muncul gerakan pembaharuan pendidikan Islam dengan dua bentuk, yaitu; Pertama,
memberikan muatan-muatan pendidikan Islam pada sekolah-sekolah umum. Kedua,
mendirikan madrasah-madrasah modern yang mengadopsi secara terbatas sistem
sekolah modern.
Respons lembaga pendidikan pesantren terhadap sekolah dan madrasah yang
didirikan oleh kaum refomis Islam, adalah “menolak sambil mencontoh”. Di satu sisi,
pesantren menolak asumsi–asumsi kaum reformis dan memandangnya sebagai
ancaman yang serius terhadap pesantren, namun juga dalam batas-batas tertentu
mengikuti dan mencontoh langkah kaum reformis, agar dapat bertahan hidup. Karena
itulah, pesantren melakukan langkah-langkah penyesuaian yang mereka yakini akan
memberikan manfaat bagi kaum santri, dan mendukung keberlangsungan dan
kebertahanan pesantren, seperti sistem penjenjangan (klasikal) dan sebagai eksponen
pendidikan Belanda—yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pesantren harus
ditinggalkan atau setidaknya ditransformasikan sehingga dapat memerikan kemajuan
secara intelektual kepada kaum Muslim. Jika pesantren tidak di hapus—menurut
Sutan Takdir—maka akan membiarkan ummat Islam dalam keterbelakangan dan
kebekuan berpikir, kurikulum yang terencana, jelas dan teratur.
Respons pesantren juga berhadapan dengan berkembangnya sistem
pendidikan sekolah, mereka menolak asumsi-asumsi dan paham keagamaan kaum
reformis, namun untuk batas tertentu, mengikuti langkah kaum modernis agar dapat
bertahan. Oleh karena itu, pesantren melakukan berapa langkah penyesuaian metode
yang mereka anggap mendukung kontinuitas dan kebertahanan pesantren itu sendiri,
juga tetap bermanfaat bagi perkembangan pendidikannya seperti sistem penjenjangan,
kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal. Sementara itu, sebagian pesantren
mempelihatkan “penolakan” terhadap sistem pendidikan sekolah. Mereka memilih
tetap bertahan dengan sistem pendidikan tradisional yang selama ini dilaksanakan,
dengan pengajaran kitab-kitab keislaman klasik tanpa dicampuri dengan ilmu-ilmu
profane atau ilmu-ilmu yang bersifat umum. Pilihan tersebut disebabkan masih
kuatnya keyakinan mereka bahwa menuntut ilmu agama adalah wajib ‘ain, yaitu
kewajiban bagi setiap individu Muslim. Ilmu yang dihukumi wajib ‘ain adalah ilmu
tauhid dan fiqh, karena dengan kedua ilmu seorang Muslim akan dapat mengetahui
Dzat Allah, Keesaan dan Sifat-sifat-Nya. Di samping itu, dengan ilmu fiqh seorang
dapat mengetahui seluk-beluk ibadah kepada Allah, seperti shalat, puasa, zakat dan
lain-lain.
Berdasarkan observasi awal, sebagian besar pesantren di daerah pinggiran
Kabupaten Kuningan—mungkin juga dipelosok-pelosok Negeri—dalam menyikapi
tantangan yang dibahasakan sebagai gojlokan modernisasi pendidikan dengan
melaksanakan berbagai perubahan-perubahn penting yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, kurikulum, materi dan metode pembela- jaran, serta sistem evaluasi dan
akhirussanah. Hanya sebagian kecil dari pesantren-pesantren di Indonesia yang masih
tetap bertahan dengan sistem pendidikan lama, yang selanjutnya dikenal dengan
pesantren salafiyah, yaitu pesantren yang mempertahankan sistem pendidikan
tradisionalnya.
Dengan semua alasan tersebut diatas, maka penulis terdorong untuk mengurai
titik temu dari semua permasalahan ini, sehingga tulisan ini hendak menjawab
beberapa pertanyaan terkait dengan kebertahanan pesantren tradisinal, dalam hal ini
Pondok Pesantren Nurul Barokah, yaitu:
1) Apa saja aspek-aspek kebertahanan Pondok Pesantren Nurul Barokah di tengah
gojlokan arus modernisasi pendidikan?
2) Apa latar belakang pemikiran pengasuh dan para muassis Pondok Pesantren
Nurul Barokah sehingga dapat bertahan dengan sistem pendidikan tradisional
yang ada di tengah derasnya gojlokan arus modernisasi pendidikan?
3) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebertahanan Pondok Pesantren Nurul
Barokah di tengah arus gojlokan modernisasi pendidikan?
4) Bagaimana implikasi pendidikan tradisional yang dikembangkan di Pondok
Pesantren Nurul Barokah di tengah gojlokan arus modernisasi pendidikan
terhadap pendidikan para santri di tengah terjadinya modernisasi pendidikan ?.

METODE

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan tujuan penelitian yang ingin
dicapai, penelitian ini bersifat verifikasi hipotesis menggunakan metode survei
dengan pendekatan teknik korelasional. Penelitian ini sangat singkat sesuai dengan
kuota waktu yang tersedia. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh
Ustadz-ustadzah di Pondok Pesantren yang berada diwilayah administrasi Kecamatan
Maleber Kabupaten Kuningan yang berjumlah 5 Pondok Pesantren. Sedangkan
populasi terjangkaunya adalah Ustadz-ustadzah di satu Pondok Pesantren saja yaitu
Pondok Pesantren Nurul Barokah Desa Cipakem yang terdiri dari 12 orang Ustadz-
Ustadzah dan 3 orang Pengurus Dewan Pesantren yang diambil secara cluster random
sampling sehingga Penelitian ini hanya dilaksanakan di Pondok Pesantren Nurul
Barokah Desa Cipakem Kecamatan Maleber Kabupaten Kuningan Jawa Barat.

PEMBAHASAN

A. Kebertahanan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti


kata kebertahanan adalah ihwal bertahan. Kebertahanan berasal dari kata dasar
tahan. Kebertahanan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga
kebertahanan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda
dan segala yang dibendakan. Sedangkan Menurut [ CITATION McS1 \l 1033 ]
(2008:207-208), Ketahanan adalah keberhasilan individu dalam menghadapi
perubahan yang penting, kesulitan maupun risiko, terutama untuk bertahan dan
memperbaikinya. Seseorang yang memiliki ketahanan memiliki kepribadian yang
optimis, keyakinan dan emosi positif. Ketahanan merupakan kekuatan dari dalam
diri yang memotivasi kita untuk bergerak maju.[ CITATION McS \l 1033 ]
Menurut [ CITATION Ste2 \l 1033 ] (2010-239-240) tidak mudah menyerah
disebut juga mengatasi kesulitan ibarat mendorong benda yang berat melewati
bukit yang terjal, dimana berarti hanya manusia super yang akan lulus ketika
keadaan tampak lebih keras berusaha menggagalkannya.[ CITATION Ste1 \l
1033 ]. Soemarno (2010:128-129) mengemukakan suatu skema pembentukan
watak (character building). Ibarat sebuah bangunan, bagian terbawah merupakan
fondasi yang menanggung beban di atasnya. Dalam membangun karakter,
fondasinya adalah iman dan takwa. Bila fondasi kuat maka kuat pula bangunan
diatasnya. [ CITATION Soe2 \l 1033 ]. Ini digambarkan oleh tiga buah segitiga
landasan operasional yang berbentuk trapesium, diantaranya yaitu segitiga yang
mencerminkan pembinaan pemikiran (IQ) sikap (EQ+SQ) dan perilaku (AQ)
[ CITATION Soe1 \l 1033 ].
Berdasarkan uraian diatas, dapat disintesiskan bahwa Kebertahananan
adalah kegigihan seseorang dalam menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan
secara konstruktif dengan merubah tantangan menjadi peluang dengan indikator :
(1) Adanya masalah yang dapat diatasi, (2) Tidak mudah menyerah, (3) Tahan
banting, (4) Menyukai tantangan, (5) Senang terhadap perubahan dan (6)
Memiliki keberanian mengambil risiko.

B. Gojlokan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia [ CITATION KBB \l 1033 ], arti


kata gojlokan adalah hasil (perbuatan) menggojlok. Contoh: Santri-santri baru
sedang menghadapi gojlokan dari senior-seniornya. Gojlokan berasal dari kata
dasar gojlok. Gojlokan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda
sehingga gojlokan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan atau distatuskan. Demikian juga di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat 4 arti kata 'gojlok' Yaitu :
Menggojlok, Mengocok, Mengguncang-guncang, Menggerak-gerakkan. Ke empat
kata atau istilah itu memiliki makna yang sama.
Walaupun istilah gojlokan tidak di jelaskan secara mendetail karena jarang
yang menggunakannya tetapi istilah gojlokan merupakan bagian dari kultur yang
ada di Pondok Pesantren dan tradisi gojlokan sangatlah berbeda dengan bullying,
baik perbedaan dalam tindakan ataupun dalam praktiknya. Suatu fenomena yang
ada di pesantren yang dinamakan dengan gojlokan, memiliki perbedaan yang
sangat jelas dari istilah bully yang menjadi suatu ciri khas yang sudah ada sejak
lama. Sedangkan istilah gojlok menggojlok adalah istilah yang sangat mashur di
dunia pesantren, sebagai suatu tradisi yang unik dan memiliki nilai-nilai
kebersamaan antar sesama santri disebuah Pondok Pesantren.
Mengenai suatu tradisi yang unik ini, pernah disinggung oleh KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahwasannya: “Pondok Pesantren memiliki
nilai-nilai serta tradisi yang sangat unik dan harus tetap dipertahankan. Salah satu
dari perilaku keseharian santri yang telah menjadi tradisi unik dikalangan
pesantren adalah “gojlokan” yang menjadi kultur budaya pesantren yang relatif
lebih unggul ini memungkinkan pesantren mengambil peranan sebagai penentu
dalam proses penyaringan unsur-unsur kebudayaan yang datang dari luar
golongan santri, yaitu perbuatan yang boleh, harus, baik, dapat, tidak, atau jangan
dilakukan dan lain-lain, ditentukan oleh pesantren dalam fungsi sebagai
penyaring.[ CITATION Abd1 \l 1033 ].
Gojlokan sendiri merupakan metode untuk mendewasakan seseorang
dengan cara yang berbeda dan cara yang unik, bagaimana melakukan hubungan
interaksi antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, dengan
cara yang unik, menghibur, bahkan membuat seseorang merasa percaya diri.
Tetapi penting untuk ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan gojlokan dalam
tulisan ini tidak terfokus kepada perilaku para santri melainkan sebagai sebuah
ungkapan yang mengistilahkan terhadap suatu system pendidikan di pondok
pesantren khususnya pondok pesantren salafiyah tradisional yang selalu bisa
bertahan dengan ketradisionalannya ketika berhadapan dalam berbagai tantangan
dengan hadirnya modernisasi pendidikan.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis hendak melakukan studi
penelitian yang memfokuskan pada kajian tentang bertahannya pondok pesantren
tradisional dalam menghadapi gojlokan modernisasi pendidikan dalam
mempertahankan keberlangsungan pendidikannya dan kehidupan sehari–hari para
santrinya di lingkungan pondok pesantren serta kemampuan membangun sebuah
hubungan solidaritas sosial santri di Pondok Pesantren tanpa “terdikte” oleh
system baru yang ---oleh sebagian kalangan di statuskan----lebih memiliki
kejelasan.

C. Pesantren Salafiyah

Dalam era modernisasi ini, keberadaan pesantren tradisional menjadi


pertanyaan banyak fihak tentang relevansinya untuk tetap dipertahankan dengan
beberapa kelebihan dari system pendidikaan pesantren tradisional, sehingga
keberadaannya masih mampu bertahan dan tetap diperlukan diera modernisasi.
Namun demikian, ada sejumlah tantangan modernisasi pendidikan yang harus
dihadapi oleh pesantren-pesantren tradisional dewasa ini, dan tantangan
modernisasi pendidikan itulah yang yang menjadi istilah dalam tulisan ini sebagai
gojlokan modernisasi pendidikan, salah satunya adalah memenuhi tuntutan akan
tenaga trampil di sektor-sektor kehidupan modern dengan pola
ketradisionalannya. Dalam kaitan dengan hal ini, pesantren diharapkan mampu
menyumbangkan sumberdaya manusia yang dibutuhkan dalam kehidupan
modern. Oleh karenanya, pesantren perlu melakukan perubahan-perubahan
terutama menyangkut penyelenggaraan pendidikan agar tetap bisa survive
dimasa-masa mendatang. Tentu saja perubahan itu tetap berpegang pada kaidah
fiqih yang mashur dan menjadi acuan sebagian besar kalangan pondok pesantren
yaitu : “Al-Muhâfazhatu ‘Alâ Al-Qadîm Al-Shâlih wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd
Al-Ashlah” maksudnya : Memelihara hal-hal baik yang telah ada dan
mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik. Pengembangan pesantren di masa
depan haruslah dilakukan oleh pesantren tradisional agar tidak ketinggalan zaman.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara pesantren terlebih dahulu mengenali
dengan baik aset-asetnya, kemudian mengembangkannya secara modern tanpa
harus merubah bentuk asli pesantren. Hal yang demikian ini memerlukan ikhtiar
(usaha) yang sangat kreatif dan penuh arif, di samping harus dimulai dengan
membangkitkan kesadaran bahwa perubahan itu sangat menentukan, berguna dan
penting bagi keberlansungannya. Pondok Pesantren Nurul Barokah termasuk
pondok pesantren tradisional karena hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam
atau kitab-kitab Islam. Pengembangan pesantren di masa depan haruslah
dilakukan oleh pesantren tradisional Nurul Barokah agar tidak ketinggalan zaman.
Ciri-ciri ketradisionalnya Pondok Pesantren Nurul Barokah antara lain:
(a). Belajar semata-mata karena Allah SWT (tidak terlalu butuh pengakuan), (b).
Sistem pembelajarannya berlangsung selama 24 jam. (c). Pendidikannya
didasarkan pada hubungan pribadi secara mendalam antara santri dan kyai /
ustadz sebagai salah satu ciri khas pesantren tradisional. (d). Pembayaran
keuangan dan administrasi yang mendukungnya seadanya dan sangat murah serta
tidak dikelola secara professional. Namun demikian Pondok Pesantren Nurul
Barokah harus tetap mampu mengikuti arus kemajuan jaman dan siap berhadapan
dengan gojlokan modernisasi agar tidak ketinggalan zaman. Upaya tersebut
dilakukan dengan cara mengenali dengan baik aset-asetnya, kemudian
mengembangkannya secara modern. Pengembangan dan peningkatan mutu
pendidikan dilakukan tanpa harus merubah bentuk asli pesantren. Modernisasi di
sini juga harus berupa peningkatan kualitas semangat kepesantrenan secara
keseluruhan. Berikut ini adalah penjelasan tentang sekelumit lembaga Pesantren :

1. Pengertian Pesantren

Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan
pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri.
Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut [ CITATION Nur \l
1033 ] agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang
jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan
berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari
bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan secara istilah, [ CITATION Hus \l 1033 ] mendefinisikan
pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren
adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang
dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode
tertentu dalam sejarah Islam. Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer
dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok
berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan
tempat tinggal sederhana.
Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural
pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid
berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal
lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam
tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya
2. Bentuk-Bentuk Pesantren

Tentang bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia,


beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam,
yaitu:
a. Pesantren salafiyah, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan
pelajarannya dengan kitab- kitab klasik, dan tanpa tanpa diberikan
pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim
diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan wetonan. Wetonan
adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri, baik dalam
menentukan tempat, waktu, maupun kitabnya. Sedangkan sorogan adalah
pengajian yang merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang
santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu Sedangkan
istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian
“pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan
praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah
dan tasawwuf.
b. Pesantren khalafiyah, yaitu pesantren yang menerapkan sistem
pengajaran klasikal yang memberikan ilmu pengetahuan umum dan agama
dan juga memberikan keterampilan umum. Pesantren jenis ini juga
membuka sekolah-sekolah umum.
c. Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam
waktu yang relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu liburan
sekolah dalam bentuk program tertentu. Misalnya program pelatihan
menghafal asam’ul husna, Al Qur’an dan yang lain sebagainya dengan
metode Hanifida, metode khas pesantren tersebut.
d. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada
pendidikan vocasional atau kejujuran, sebagaimana balai pelatihan kerja,
dengan program yang terintegrasi. Santrinya kebanyakan berasal dari
kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.

Demikian juga dalam Perkembangannya bentuk-bentuk pendidikan di


pesantren diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: (1). Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum
nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga
memiliki sekolah umum. (2). Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan
umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia
mengunakan kurikulum sendiri. (3). Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-
ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah. (4). Pesantren
yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian.
Pesantren Nurul Barokah Cipakem ini dalam perkembangan akhir-
akhir ini menunjukkan bahwa tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang
diwarisi dari muasisnya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan
improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan, walaupun tahu ada juga
pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan
hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah
pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri
dan masyarakat sekitarnya. Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama
sekali tidak mencerabut pesantren dari akar kulturnya.
Secara umum pesantren Nurul Barokah Cipakem tetap memiliki
fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer
ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam
(Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial
(social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial
(Social engineering).
Dari perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya berpengaruh
pada bentuk aktualisasi peran-peran ini. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai
dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren tidak mengalami perubahan
hingga kini. Pada intinya tujuan didirikannya pesantren ialah untuk
menyelenggarakan pembelajaran dengan materi ilmu-ilmu keislaman dalam
kitab-kitab klasik. Dengan demikian, sejak masa awal berdirinya, arah dan
tujuan pendidikan serta materi pembelajaran di Pesantren Nurul Barokah
Cipakem adalah pembelajaran ilmu agama berupa pengajian kitab-kitab dalam
disiplin ilmu lainnya seperti nahwu, sharf, fiqh, ushûl fiqh, tafsîr, hadîth,
tasawwuf, balâghah, arûdh dan mantiq. Materi pembelajaran di atas, tetap
dipertahankan hingga sekarang. Sedangkan metode pembelajaran adalah
metode bandongan, yaitu kiai membacakan kitab, menerjemahkan, dan
membahas maksud dari kata, kalimat dalam kitab tersebut. Di samping itu,
digunakan juga metode sorogan atau disebut juga pembelajaran individual,
yaitu santri menghadap kiai, kemudian ia membaca, mengartikan kata dan
kalimat dalam suatu kitab. Selain kedua metode tersebut, digunakan juga
metode musyawarah kitab (bahthu al- masâil) sesama santri.

KEBERTAHANAN PONDOK PESANTREN NURUL BAROKAH


MENGHADAPI MODERNISASI PENDIDIKAN

Pondok Pesantren Nurul Barokah yang beralamat di RT. 001 RW. 001 Dusun
Salasa Desa Cipakem Kecamatan Maleber (dulu masih Kecamatan Lebakwangi)
Kabupaten Kuningan Jawa Barat di dirikan oleh KH. Yakub Anshor sejak tanggal 1
Juli 1994 bertepatan dengan tanggal 21 Shofar 1415 H. Pondok Pesantren Nurul
Barokah Cipakem dimulai dari pengajian di sebuah langgar Al-Barokah yang
didirikan oleh Kiai Haji Yakub Anshoruddin, dengan materi pembelajaran berupa
baca tulis Al-Qur’ân dan ditambah dengan pengetahuan ilmu-ilmu agama Islam
tingkat dasar. Santri pada periode ini adalah anak-anak dan remaja di desa Cipakem
Kecamatan Maleber Kabupaten Kuningan sebagai santri kalong. Pada tahun
berikutnya Kiai Haji Yakub Anshoruddin memperluas pendidikan langgar dengan
sistem pesantren yang menggunakan sistem pendidikan salafiyah, yaitu materi
pembelajaran kitab-kitab keislaman klasik dengan metode bandongan dan sorogan.
Sampai saat ini, sistem pendidikan ini masih dipertahankan. Sejalan dengan itu,
Pondok Pesantren Nurul Barokah mempertahankan nilai-nilai pesantren salafiyah
berupa kesederhanaan, kemandirian, dan asketisme yang terbukti dapat membentengi
pesantren dari gempuran, pengaruh luar pesantren yang diistilahkan dengan bertahan
dengan gojlokan modernisasi Pendidikan. Meskipun demikian, dalam banyak hal,
pesantren ini telah mengadakan berbagai penyesuaian-penyesuaian dengan prinsip-
prinsip pendidikan modern. Penyesuaian-penyesuaian tersebut terutama sekali
menyangkut sistem penjenjangan, kepemimpinan dan manejemen pendidikan serta
metodologi pembelajarannya.
Keberadaan Pondok Pesantren Nurul Barokah yang sampai saat ini---Dan
tetap samapai akhir jaman--- tetap bertahan dengan ketradisionalannya ditengah-
tengah arus gojlokan modernisasi pendidikan yang lebih terbarukan disebabkan,
antara lain:

A. Materi Pengajaran Pesantren


Di antara aspek penting yang menjadikan Pondok Pesantren Nurul
Barokah terus bertahan walaupun berhadapan dengan gojlokan modernisasi
pendidikan yang ada adalah pada materi pengajarannya yang menggunakan kitab-
kitab keislaman klasik sebagai materi pengajarannya. Pengajaran kitab-kitab
tersebut diyakini sebagai sistem nilai di Pondok Pesantren Nurul Barokah yang
ditransmisikan melalui pengajaran ketika Kiai menjalani pendidikan di pesantren-
pesantren tempat ia menuntut ilmu. Ilmu-ilmu yang digali dari kitab-kitab salaf
itulah yang hingga kini dijadikan “ilmu wajib” yang harus dikuasai oleh para
santri yang belajar di Pondok Pesantren Nurul Barokah, baik melalui sistem
pendidikan tradisional maupun madrasah.
Dengan demikian, Pondok Pesantren Nurul Barokah meskipun telah
mengenal penjenjangan melalui pembelajaran madrasah, tetap melaksanakan
pengajaran kitab-kitab klasik yaitu dengan dipertahankannya materi pengajaran
tersebut, pesantren ini juga mempertahankan metode pembelajaran yang lazim
digunakan dalam pesantren tradisional, yaitu sorogan, wetonan / bandongan,
musyawarah (bahth al- masâil).

B. Kepemimpinan Pondok Pesantren


Kepemimpinan di Pondok Pesantren Nurul Barokah---selain model
pembelajaran diatas—sebagai bagian dari aspek pentingnya adalah model
kepemimpinan dipesantren. Model kepemimpinan yang dipertahankan di Pondok
Pesantren Nurul Barokah adalah kepemimpinan sentralistik, kharismatik, dan
tradisionalis murni. Kepemimpinan sentralistik menempatkan pengasuh pesantren
tersebut sebagai pusat pengambil kebijakan dan penentu arah pendidikan
pesantren.
Bertahannya Pondok Pesantren Nurul Barokah dengan pendidikan
tradisionalnya adalah berangkat dari kemauan dan pendirian yang kuat dari
pengasuh pesantren tersebut atas urgennya jenis pendidikan pesantren hingga
masa sekarang, meskipun telah banyak pesantren melakukan revisi dan perubahan
kurikulumnya.
Dengan tipe kepemimpinan ini, pengasuh pesantren menempatkan dirinya
pada pengambil kebijakan tertinggi, meskipun telah tersusun kepengurusan di
pesantren tersebut. Kepemimpinan sentralistik di atas bersumber dari kewenangan
yang melekat pada diri kiai sebagai sosok pemimpin yang berupa kewenangan
kharismatik yaitu kewenangan yang didasarkan pada kualitas tertentu di mana ia
ditempatkan secara terpisah dan diperlakukan sebagai seorang yang memiliki
“kekuatan ghaib”, manusia super atau sekurang-kurangnya memiliki kualitas
kekuasaan yang bersifat khusus.
Kewenangan kharismatik terlihat dalam kehidupan Pondok Pesantren
Nurul Barokah dengan diposisikannya kiai sebagai seorang yang memiliki
kelebihan dan kekuasaan melebihi warga pesantren lainnya yang dengannya
mengharuskan mereka untuk menghormati, mentaati, mematuhi perintah kiai
(sebagai gurunya). Kepatuhan santri kepada kiai merupakan kepatuhan yang
didasarkan ketersediaan dan keiklasannya penyerahan diri. Kepatuhan tersebut
juga ditunjukkan kepada keluarga kiai (anak dan isteri) kiai. Kepatuhan kepada
kiai diyakini akan memberikan keberuntungan bagi santri dan sebaliknya
pembangkangan terhadap perintah kiai akan mengakibatkan kesulitan dan
kesempitan ke dalam kehidupan mereka.
Sementara itu, yang dimaksud kepemimpinan tradisional—sesuai dengan
pendapat Max Weber—adalah kepemimpinan seseorang yang diterima, karena
adanya tradisi di suatu komunitas yang memungkinkan orang tersebut dapat
menjadi seorang pemimpin.[ CITATION Max \l 1033 ]. Kepemimpinan ini
berkaitan dengan kewenangan seseorang pemimpin yang didasarkan atas prinsip-
prinsip tradisi yang sangat kuat, dan hubungan sangat personal dalam masyarakat,
yang cenderung bersifat konservatif, dan menghindari adanya perubahan. Praktik
kepemimpinan ini setidaknya terlihat dari suksesi kepemimipinan di pesantren,
yang menempatkan putera tertua kiai sebagai pengganti kepemimpinan pesantren
ketika sang pengasuh wafat.

C. Nilai dan Karakteristik Pesantren


Aspek kebertahanan Pondok Pesantren Nurul Barokah selanjutnya adalah
kesederhanan, kemandirian dan keikhlasan. Kesederhanan ditanamkan kepada
santri selama mereka menjalani pendidikan di Pesantren dalam kehidupan sehari-
hari, baik dari pakaian yang dikenakan, makanan yang dikonsumsi tiap hari,
maupun tempat belajar. Semua itu sengaja ditanamkan di Pesantren sebagai upaya
melatih santri untuk menjalani kehidupan dengan penuh kesiapan menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup, yang nantinya sangat berguna ketika mereka
menyelesaikan pendidikan dan kembali ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.

D. Nilai kemandirian
Nilai dari sebuah kemandirian juga ditanamkan dan dipelihara dengan
sikap hidup pengasuh Pesantren dengan tidak menggantungkan bantuan dari
pihak-pihak di luar pesantren dengan tetap memberdayakan kemampuan (dana)
yang dimilikinya sendiri. Kemampuan dana pesantren didapatkan dari uang
bulanan (syahriyah) yang dipungut dari semua santri aktif di pesantren ditambah
dengan sumbangan dari masyarakat secara suka rela. Kemandirian yang tetap
dipertahankan tersebut paling tidak sebagai ungkapan bahwa Pesantren tidak akan
tunduk total kepada program-program pemerintah—terutama sekali dalam
pendidikan yang secara psikologis mereka akan sulit menolak sistem pendidikan
modern. Pesantren juga mempertahankan nilai keikhlasan yang ditanamkan dalam
melaksanakan kehidupan di pesantren terutama dalam kegiatan belajar dan
mengajar.
Di samping untuk menanamkan keikhlasan dalam belajar dan mengajar,
dengan tidak diberikannya ijazah formal kepada santri, juga untuk menanamkan
sikap kemandirian kepada santri, yaitu ketidaktergantungan kepada pihak
eksternal terutama sekali pemerintah.
Namun demikian, penanaman rasa kemandirian dengan
ketidaktergantungan kepada pemerintah, bukan berarti tidak menolak bantuan
pemerintah, hanya saja sebuah kemandirian tidak mesti dengan mudah tergiur
dengan tarikan dan godaan dari luar.

E. Nilai pesantren lainnya


Nilai pesantren lainnya yang ditanamkan di pesantren Nurul Barokah
adalah nilai asketisme, yaitu pengamalan ajaran-ajaran yang merupakan
perpaduan antara ilmu fiqh dan tasawwuf. Pengamalan nilai-nilai itu merupakan
praktik ibadah sehari-hari (shalat, puasa dan ibadah lainnya) yang dikombinasikan
dengan nilai-nilai sufisme (mistis) seperti yang dikenal dalam dunia tarekat.
Praktek askestisme itu dapat dimaknai sebagai perwujudan kultur Islam yang
merupakan perpaduan antara doktrin- doktrin formal Islam dengan kultus
terhadap para wali. Nilai-nilai pesantren di atas, ditanamkan dan dipelihara
sejalan dengan kebertahanannya Pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan
tradisionalnya.
Dari beberapa hal tersebut memiliki hubungan timbal balik, yaitu
penanaman nilai-nilai salaf sangat mendukung dan menopang bertahannya
pendidikan tradisional dengan kajian-kajian kitab-kitab klasik. Sementara di pihak
lain pendidikan tradisional sarat dengan penanaman dan pewarisan nilai-nilai
kesederhanan, kemandirian, keikhlasan, dan pengamalan ajaran-ajaran fiqh
sufistik.

MODERNISASI PENDIDIKAN

Istilah modern berasal dari Bahasa Latin akhir abad kelima M, yaitu
modernus, yang digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dengan orang
Rowawi dari masa pagan yang telah lewat. Sesudah itu, istilah tersebut digunakan
untuk menempatkan keadaan masa kini dalam kaitannya dengan berlalunya zaman
purbakala, yang sering muncul kembali selama periode tersebut di Eropa.
Dalam hubungannya dengan akal, agama dan apresiasi estetik, dinyatakan
bahwa zaman modern merupakan zaman yang lebih maju, lebih baik dan memiliki
kebenaran yang lebih banyak dari pada zaman kuno (zaman sebelumnya). [ CITATION
Pet \l 1033 ] atau Peter Sztompka menyatakan bahwa : Modernisasi merupakan
proses perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah maju di Eropa Barat
dan Amerika dari abad ketujuh belas hingga kesembilan belas, dan kemudian
menyebar ke negara-negara lain, seperti Amerika Selatan, Asia dan Afrika dari abad
ke-19 hingga ke-20.
Dalam perspektif lain, Wilbert Moore menyatakan bahwa modernisasi adalah
transformasi total masyarakat tradisional atau pramodern ke tipe masyarakat
teknologi dan organisasi sosial yang menyerupai kemajuan dunia Barat yang
ekonominya makmur dan situasi politiknya stabil.
Sementara itu HE Chaunqi, dalam makalah yang dipresentasikan pada forum
36 th World Congress of International Institute of Sociology Social Change in the
Age of Globalization pada tanggal 7-11 Juli 2009 di Beijing, China mendefinisikan
modernisasi sebagai berikut:
Kita seharusnya memperluas definisi modernisasi klasik menjadi definisi modernisasi
umum.
Modernisasi umum adalah proses perubahan besar peradaban manusia sejak
revolusi industri pada abad kedelapan belas, meliputi transformasi dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern, ekonomi, politik dan peradaban.

Terdapat dua fase modernisasi dari abad kedelapan belas hingga abad kedua
puluh satu.
- Fase pertama adalah perubahan besar dari masyarakat pertanian ke industri,
ekonomi dan peradaban.
- Fase kedua adalah proses transformasi besar dari masyarakat industri menuju
masyarakat intelektual, ekonomi dan peradaban
Dengan demikian, modernisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses
perubahan peradaban manusia dalam aspek-aspek kehidupannya dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern yang terdiri dari dua fase, yaitu: (1) perubahan
dari masyarakat pertanian menuju industri, dan (2) perubahan dari masyarakat
industri menuju masyarakat intelelek, ekonomi, dan berperadaban. Sementara
modernisasi pendidikan, sebagaimana didefinisikan Mochtar Buchori, adalah upaya
melakukan refor- masi pendidikan, yaitu berupa langkah- langkah nyata untuk
memperbaiki seluruh kekurangan yang terdapat dalam sistem pendidikan. Tilaar
membagi reformasi pendidikan menjadi dua lingkup, yaitu: (1) reformasi pendidikan
secara internal, yaitu memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melakukan
upaya perbaikan sistem pendidikan yang diselenggarakan, (2) reformasi pendidikan
secara eksternal, yaitu melakukan perubahan sistem pendidikan sebagai bagian dari
reformasi bidang kehidupan lainnya seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Sementara itu, Syabal Badar mendefinisikan modernisasi pendidikan sebagai
perubahan-perubahan yang diyakini akan memberikan dampak yang lebih efiktif
dalam sistem pendidikan, yang berkaitan dengan struktur, sistem, administrasi
pendidikan, program dan metode pembelajaran dan lain-lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan semua pembahasan diatas kiranya dapat menjawab dari pertanyaan


dalam focus materi tulisan ini dengan mengurai titik temu dari semua permasalahan,
sehingga tulisan ini hendak menjawab beberapa pertanyaan terkait dengan
kebertahanan pesantren tradisinal, yaitu: (1). Apa saja aspek-aspek kebertahanan
Pondok Pesantren Nurul Barokah di tengah gojlokan arus modernisasi pendidikan ?.
(2). Apa latar belakang pemikiran pengasuh dan para muassis Pondok Pesantren
Nurul Barokah sehingga dapat bertahan dengan sistem pendidikan tradisional yang
ada di tengah derasnya gojlokan arus modernisasi pendidikan ?. (3). Faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kebertahanan Pondok Pesantren Nurul Barokah di tengah
arus gojlokan modernisasi pendidikan ?. (4). Dan bagaimana implikasi pendidikan
tradisional yang dikembangkan di Pondok Pesantren Nurul Barokah di tengah
gojlokan arus modernisasi pendidikan terhadap pendidikan para santri di tengah
terjadinya modernisasi pendidikan ?.
Dari ke empat permasalahan itu dapat diramukan dalam satu pertanyaan
pokok yaitu :
Landasan apa yang mendasari kenapa Pondok Pesantren Nurul Barokah Cipakem
tetap bertahan di tengah gojlokan modernisasi pendidikan…?
Dari pernyataan di atas dapat ditegaskan bahwa kebertahanan Pondok Pesantren
Nurul Barokah Cipakem adalah sebagai upaya pengasuh pesantren untuk menjaga
ilmu agama yang semakin lama semakin tidak diminati oleh sebagian besar umat
Islam.
Dalam hal ini, terdapat kewaspadaan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul
Barokah Cipakem terhadap punahnya ilmu yang ia sebut dengan ilmu agama,
sehingga pesantren ini memosisikan sebagai benteng pertahanan umat Islam dalam
menjaga dan memelihara keberlangsungan ilmu-ilmu agama. Dengan sikap dan
pandangan pengasuh dan para ustadz-ustadzahnya yang menggambarkan kepada ilmu
yang pada gilirannya sangat menentukan karakteristik dan arah pendidikan di Pondok
Pesantren Nurul Barokah Cipakem, dapat dimaknai sebagai berikur :
Pertama, Mendalami ilmu ibadah mahdlah sebagai wâjib a’in. Sedangkan
ilmu-ilmu lainnya dikategorikan dengan hukum fardu kifâyah, sunnah dan haramserta
memposisikan ilmu-ilmu yang membahas ibadah pada tingkatan teratas di atas ilmu
lainnya, yang dengannya mengharuskan seorang untuk mendalami ilmu-ilmu tentang
ibadah dalam keseluruhan waktu belajarnya.
Pandangan di atas memberikan implikasi terhadap bertahannya Pondok
Pesantren Nurul Barokah Cipakem sebagai pesantren tradisional dan “menolak”
diselenggarakannya pendidikan madrasah dan sekolah formal. Penolakan tersebut di
samping disebabkan oleh pandangannya akan wajibnya seorang mendalami ilmu-ilmu
tentang ibadah, juga didasarkan pada kekhawatiran pengasuh akan terpecahnya waktu
dan perhatian para santri dalam mendalami ilmu yang dipandang fardlu ‘ain ketika
mereka harus menjalani pendidikan madrasah dan sekolah formal. Penolakan
pengasuh Pondok Pesantren Nurul Barokah Cipakem dapat dijelaskan dengan
pendapat Selo Sumarjan yang menyatakan bahwa komunitas sosial menolak
perubahan karena hal-hal sebagai berikut, yaitu:
Pertama, dimungkinkan belum terfamahaminya perubahan jaman tersebut.
Dalam konteks itulah, penolakan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Barokah
Cipakem disebabkan kurangnya pemahaman bahwa zaman telah berubah dan bahwa
perubahan tidak dapat dielakkan, bahwa pengetahuan dan pemahaman yang
mendalam terhadap ilmu-ilmu keislaman adalah suatu keharusan, terutama berkaitan
dengan hukum Islam (ilmu fiqh). Namun bagaimana mengatasi berbagai persoalan
umat Islam, yang pada masa sekarang semakin kompleks tidak hanya dapat
menggunakan perspektif ilmu fiqh, namun semestinya harus didekati dengan
interdisipliner dan multidisipliner, hingga solusi terhadap persoalan umat dapat
komprehensif, efektif, berdaya guna dan berhasil guna. Tidak adanya pemahaman
akan hal-hal di atas, mengakibatkan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Barokah
Cipakem tidak menyadari bahwa santri harus berhadapan dengan berbagai persoalan,
tantangan, persaingan sebagai akibat dari perubahan yang semakin cepat.
Kedua, perubahan itu bertentangan dengan nilai-nilai serta norma-norma yang
ada. Dalam pandangan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Barokah Cipakem,
modernisasi pendidikan pesantren diyakini sebagai sesuatu yang bertentangan dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan dari generasi ke generasi di kalangan
pesantren. Ia memandang bahwa mendalami ilmu-ilmu yang ia sebut sebagai ilmu
agama adalah suatu keharusan bagi setiap individu muslim (wâjib ‘ain), sehingga
setiap muslim harus melakukan hal itu. Demikian juga, untuk memahami ajaran Islam
harus mendalami kitab-kitab klasik
yang sebelumnya harus mendalami ilmu nahw dan sharraf yang membutuhkan waktu
lama.
Ketiga, para anggota dalam komunitas Pondok Pesantren Nurul Barokah
Cipakem dalam hal dengan disiplin ilmu yang lain. Meskipun suatu ilmu memiliki
otonomi di dalam dirinyan sendiri, namun karena gejala kehidupan yang akan dikaji
merupakan satu kesatuan yang kompleks, dan tingkat perkembangan disiplin ilmu itu
bervariasi, maka disiplin ilmu tidak dapat dilepaskan dengan disiplin ilmu lain.
Di pihak lain, santri berkeyakinan bahwa kiai yang diikutinya merupakan orang yang
percaya penuh kepada dirinya (self confidence) baik dalam urusan agama Islam,
maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren Pandangan dan
keyakinan di atas, secara faktual terlihat dengan bertahannya Pondok Pesantren Nurul
Barokah Cipakem dengan pendidikan tradisionalnya sangat ditentukan dengan
kemauan pengasuh dan keluarganya yang sampai saat ini masih menduduki posisi
tertinggi. Mereka sangat berkepentingan terhadap keberlangsungan sistem dan
kurikulum pendidikan di pesantrennya, dan ini bersumber dari pandangan dunia
(world view) mereka terhadap ilmu pengetahuan, dalam kaitannya dengan peran dan
fungsi manusia dalam kehidupannya pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Pandangan dunia kiai sebagai pengasuh pesantren sangat menentukan arah dan tujuan
pendidikan di pesantren, mengingat kekuasaan kiai dalam pesantren bersifat mutlak
yang bersumber dari kewibawaan (kharisma) kiai yang tinggi melalui ketinggian ilmu
dan kebesaran pribadinya.
Namun demikian, di samping bertahan dengan sistem pendidikan
tradisionalnya, Pondok Pesantren Nurul Barokah Cipakem mengalami berbagai
perubahan yang merupakan adaptasi terhadap sistem pendidikan modern yang
diterapkan di berbagai pesantren yang telah menyelenggarakan sistem madrasah dan
sekolah formal.
Dapat disarikan bahwa Kebertahanan Pondok Pesantren Nurul Barokah
Cipakem dengan sistem pendidikan tradisionalnya dan “menolak” modernisasi
pendidikan disebabkan oleh keinginan dan prinsip yang kuat dari pengasuh pesantren.
Kiai sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di pesantren, sangat menentukan secara
absolut arah dan karekteristik pendidikan pesantren. Sedangkan warga pesantren
lainnya seperti wakil pengasuh, dan pengurus pesantren mengikuti arah kebijakan
pengasuh serta tidak berani mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan
pengasuh pesantren.

Wallohu `Alam Bishowab


PENUTUP

A. Kesimpulan.

Dalam menghadapi modernisasi pendidikan, Pondok Pesantren Nurul


Barokah Cipakem tetap mempertahankan arah, tujuan, karekteristik dan
kurikulum tradisionalnya. Proses kebertahanan pesantren ini dari gojlokan
modernisasi pendidikan Pondok Pesantren Nurul Barokah Cipakem dimulai dari
sebuah langgar Al-Barokah yang didirikan oleh Kiai Haji Yakub Anshoruddin,
dengan materi pembelajaran berupa baca tulis Al-Qur’ân dan ditambah dengan
pengetahuan ilmu-ilmu agama Islam tingkat dasar. Santri pada periode ini adalah
anak-anak dan remaja di desa Cipakem Kecamatan Maleber Kabupaten Kuningan
sebagai santri kalong. Pada tahun berikutnya Kiai Haji Yakub Anshoruddin
memperluas pendidikan langgar dengan sistem pesantren yang menggunakan
sistem pendidikan salafiyah, yaitu materi pembelajaran kitab-kitab keislaman
klasik dengan metode bandongan dan sorogan. Sampai saat ini, sistem pendidikan
ini masih dipertahankan. Sejalan dengan itu, Pondok Pesantren Nurul Barokah
mempertahankan nilai-nilai pesantren salafiyah berupa kesederhanaan,
kemandirian, dan asketisme yang terbukti dapat membentengi pesantren dari
gempuran, pengaruh luar pesantren yang diistilahkan dengan bertahan dengan
gojlokan modernisasi Pendidikan. Meskipun demikian, dalam banyak hal,
pesantren ini telah mengadakan berbagai penyesuaian-penyesuaian dengan
prinsip-prinsip pendidikan modern. Penyesuaian-penyesuaian tersebut terutama
sekali menyangkut sistem penjenjangan, kepemimpinan dan manejemen
pendidikan serta metodologi pembelajarannya.
Bertahannya Pondok Pesantren Nurul Barokah dengan sistem pendidikan
tradisionalnya tidak terlepas dari pandangan dan prinsip pengasuh pesantren
bahwa mendalami ilmu-ilmu keislaman adalah wajib dan harus melalui sumber
aslinya yaitu kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Pandangan ini sejalan dengan
pandangan Al-Ghazâlî yang menyatakan bahwa adalah kewajiban setiap orang
Islam (wâjib a’in) untuk mendalami ilmu yang ia sebut dengan ilmu-ilmu agama.
Sedangkan mempelajari ilmu lainnya adalah wâjib kifâyah, sunnat, mubah dan
bahkan ada yang harâm. Bertahannya Pondok Pesantren Nurul Barokah dengan
pendidikan tradisionalnya itu, yang dibarengi dengan berbagai perubahan dalam
metodologi pembelajarannya, menghasilkan proses pembelajaran yang secara
substansial tidak keluar dari pendidikan tradisional, namun secara metodologi
telah mengalami berbagai perubahan dan inovasi. Dengan kata lain, Pondok
Pesantren Nurul Barokah bertahan dalam gojlokan modernisasi pendidikan
dengan pendidikan tradisional, karena mampu mempraktikkan prinsip-prinsip
yang dikenal dalam pendidikan modern (sekolah), yaitu penjenjangan, sistem
bimbingan belajar secara individual dan kelompok, sistem evaluasi yang obyektif,
rutin dan melembaga, prasyarat dan keterkaitan dalam bidang ilmu yang ditekuni,
sistem asistensi, perencanaan dan evaluasi program, penjaminan dan pengendalian
mutu pendidikan, rekrut- men ustad berdasarkan kompetensi yang dimiliki,
kepengurusan dalam pengelolaan pesantren dan lain-lain.
B. Saran.

Beberapa hal yang disarankan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Bagi Para ustadz-ustadzah di Pondok Pesantren Nurul Barokah perlu adanya
upaya untuk menjaga dan meningkakan Pelayanan dalam pembelajaran,
karena dengan meningkatnya Pelayanan dalam pembelajaran akan berdampak
positif bagi dunia pendidikan pada umumnya dan khususnya pada lingkup di
Pondok Pesantren Nurul Barokah.
2) Bagi Pimpinan dan Pengurus Pondok Pesantren Nurul Barokah agar dapat
melakukan inovasi-inovasi kegiatan dalam kegiatan kepesantrenan. Dan
khusus kepda para pengurus harus dapat menempatkan diri dengan sebaik-
baiknya di dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara pendidikan
pesantren.
3) Untuk pesantren hendaknya dibangun suasana fisik maupun mental yang
harmonis dan kondusif, sarana dan prasarana pendukung yang memadai,
kebersihan dan keindahan, dan program-program dan acara kegiatan
kepesanrtenan yang melibatkan seluruhnya dalam upaya menjaga dan
meningkatkan serta tetap kokoh bertahan dalam menghadapi gojlokan
modernisasi pendidikan.
4) Bagi para pemangku kebijakan, agar bisa membantu dan memfasilitasi dalam
membangun satu sistem pembelajaran yang lebih baik lagi.
5) Bagi penulis yang meneliti untuk segera menindak lanjuti lebih jauh hasil dari
penelitian ini dengan mengembangkan metode tentang kebertahanan
pesantren Nurul Barokah Cipakem.

Wallohu A`lam Bishowwab

‫اَْل َح ْم ُدِهّلِل َر َّب ْال َعالَ ِم ْين‬


‫واهلل الموفق إلى أقوام الطريق‬

Anda mungkin juga menyukai