Anda di halaman 1dari 139

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh

komponen bangsa. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan

satu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

yang diatur dengan undang-undang. Di sisi lain, Undang-Undang Republik

Indonesia juga mengamanatkan kepada setiap warga negara untuk bertanggung

jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.1

Dalam prakteknya, masyarakat terlibat dalam upaya mencerdaskan

kehidupan bangsa ini. Tidak hanya dari segi materi dan moral saja, namun juga

turut serta memberikan sumbangsih yang signifikan dalam penyelenggaraan

pendidikan. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai lembaga penyelenggara

pendidikan swasta, baik lembaga penyelenggara pendidikan formal, mulai dari

tingkat PAUD sampai tingkat Perguruan Tinggi; lembaga pendidikan informal,

maupun non-formal.

Termasuk salah satu dari bentuk lembaga penyelenggara pendidikan non-

formal yang banyak tersebar di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Pondok

pesantren disebut sebagai lembaga non-formal dikarenakan eksistensi dan

peranannya dalam jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dilaksanakan

1
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas RI

1
2

secara terstruktur dan berjenjang. Hal ini sebagaimana diketahui bahwa pondok

pesantren memiliki program-program kependidikan yang disusun secara mandiri.

Pondok pesantren merupakan lembaga kawah candradimuka santri sebagai

calon warotsatul anbiya (pewaris keilmuan para nabi) dalam mendalami sekaligus

mengembangkan khazanah keilmuan agamaIslam. Sebagai lembaga pendidikan

Islam, pondok pesantren tidak hanya indentik denganmakna keislamanan sich,

namun juga mengandung makna keaslian(indigenous) Indonesia, sebab

keberadaannya mulai dikenal pada periodeabad 15-16 M.2

Sebagai lembaga yang menyimpan makna keaslian Indonesia, pondok

pesantren memiliki ciri dan tradisi yang khas. Nurcholis Madjid menyebut,

Pesantren itu terdiri dari lima elemen yang pokok, yaitu: kyai, santri, masjid,

pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik..3 Kitab-kitab Islam klasik yang

dimaksud Nurcholis tak lain adalah Kitab Kuning.

Kitab kuning merupakan karya para ulama islam terdahulu yang ditulis

dengan menggunakan bahasa arab tanpa memakai harokat, hal mana aksara arab

yang ditulis tanpa harokat ini populer di kalangan pesantren dengan istilah

gundhul.4Maka dari itu kitab kuning juga sering disebut sebagai kitab gundhul. Di

pondok pesantren, pengajian dan pengkajian kitab kuning selalu dilakukan di

hampir setiap waktu. Pengajian dan pengkajian kitab kuning ini sangat diperlukan,

sebab melalui kitab-kitab kuning inilah para santri memperdalam kajian

2
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 6.
3
Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 63.
4
Maimun, Strategi Pemanfaatan Sumber Belajar di Pondok Pesantren, dalam Jurnal
Pendidikan Islam, (Malang: Tarbiyah Press IAIN Sunan Ampel, 1996), hlm. 67.
3

ilmukeagamaan, seperti: al-qur'an, hadits, fiqih, ushul fiqih, aqidah, akhlak/tasawuf

dan tata bahasa arab (nahwu, shorof, balaghoh, arudl, dan lain-lain).

Kitab kuning merupakan referensi utama di pondok pesantren untuk

memahami isi ajaran Islam secara kaffah (paripurna). Kitab kuning inilah yang

menjadi buku ajar sekaligus kurikulum utama di pondok pesantren salaf, yaitu

pondok pesantren yang masih menggunakan sistem pembelajaran (kurikulum

maupun metode) lama (tradisional).

Kurikulum maupun pembelajaran di pondok pesantren memiliki world view

tersendiri yang membedakannya dengan kurikulum dan pembelajaran di lembaga

pendidikan lain. Tentu, karena pondok pesantren merupakan sub-kultur yang hidup

dan berkembang dengan warna unik yang merupakan sintesa nilai Islam-Indonesia.

Identitas ala pesantren itu tetap dan akan terus dilestarikan, dalam kerangka

al-muhafadzhotu ala al-qodim as-sholih. Ini merupakan salah satu kelebihan

pesantren yang bangga dan melawan lupa terhadap sejarah dan leluhurnya. Inilah

yang menjadi latar belakang warna pesantren cenderung tradisional, yang sering

disalah pahami sebagai kekolotan dan anti perubahan.

Namun, perubahan adalah sebuah keniscayaan, kecuali perubahan itu

sendiri. Dewasa ini dunia telah banyak berubah. Perkembangan IPTEK dan tatanan

ekonomi, politik, sosial, dan budaya telah menampakkan wajah yang lain dibanding

dengan wajah pada masa lalu dimana pondok pesantren menjadi tulang punggung

pendidikan di Indonesia. Perubahan peta dunia ini pada akhirnya menuntut segala

aspek kehidupan untuk mengikuti dan melakukan adaptasi agar tetap eksis di tengah

pusaran globalisasi dan modernisasi. Bagaimana dengan pendidikan pondok

pesantren?
4

Secara normatif, pondok pesantren bukanlah tipe lembaga pendidikan yang

anti perubahan. Karena pondok pesantren sepenuhnya menyadari, bahwa kullu ma

siwa Allahi haditsun (selain Allah adalah makhluk yang berubah-ubah). Terlebih,

pesantren juga sangat menghargai perbaikan dan pembaruan, terbukti pesantren

seringkali mengumandangkan jargon al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (mengadopsi

prinsip-prinsip baru yang baik).

Dalam konteks pembaruan tersebut, terpantau banyak pondok pesantren,

madrasah maupun lembaga pendidikan Islam lain yang melakukan pembaruan

pendidikan di berbagai lininya, mulai dari kurikulum, metode dankelengkapan

pembelajaran, dan sistem pendidikan secara umumnya. Bahkan tak jarang pondok

pesantren yang sangat terbuka membuka jalur kerja sama dengan Pemerintah untuk

mendirikan unit sekolah formal negeri di dalam lingkungan pondok pesantren, hal

mana kerja sama ini saling menguntungkan kedua belah pihak.

Dari sini dapat dipahami bahwa pondok pesantren sepenuhnya memahami

tanggung jawabnya sebagai lembaga pendidikan yang turut mencerdaskan bangsa.

Dalam konteks ini sebenarnya pondok pesantren juga berupaya menjembatani gap

pendidikan nasional yang cenderung skuler (jauh dari agama) dengan cara

mengkolaborasikan potensi kependidikannya dengan kurikulum nasional agar

menjadi penyeimbang dan dapat memberikan warna pendidikan Indonesa yang

religius-intelektual.

Di beberapa tempat lain, banyak pula ditemui pondok pesantren yang

cenderung tidak silau terhadap hiruk-pikuk pembaruan pendidikan yang terjadi di

sekitarnya. Pesantren-pesantren ini tetap ngugemi (melestarikan) tradisi dan budaya


5

pendahulunya, termasuk dalam ranah pendidikan yang biasa disebut pendidikan ala

salaf. Salah satunya adalah pondok pesantren Lirboyo Kediri.

Pondok pesantren Lirboyo adalah salah satu pondok pesantren yang tetap

konsisten mengabdikan diri kepada negara dan bangsa dalam kerangka mencer-

daskan kehidupan bangsa. Sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren Lirboyo

Kediri dengan platform salaf-nya merupakan satu dari sekian pondok pesantren

salaf yang masih survive di tengah arus modernisasi pendidikan. Sekalipun

bercorak salaf, namun bukan berarti pondok pesantren Lirboyo bersikap eksklusif

dari pengaruh luar, justru bersikap akomodatif-selektif. Hal ini karena pondok

pesantren Lirboyo berpegang teguh kepada prinsip salafuna as-sholih (ulama-

ulama sholeh terdahulu) yang juga menjadi jargon jamiyyah Nahdlotul Ulama:

menjaga tradisi & warisan ulama sembari mengadopsi nilai-nilai lain yang mulia.

Dari prinsip inilah kemudian pondok pesantren Lirboyo menjadi sangat akomodatif

dan selalu melakukan at-tanmiyah wa at-tajdid (pengembangan dan pembaruan).

Sebagai bentuk pengembangan dan pembaruan, pondok pesantren Lirboyo

telah banyak melakukan pembarua (inovasi)kependidikan, mulai dari metode

pembelajaran, manajemen administrasi kependidikan, kelembagaan, sampai pada

aspek yang dianggap paling sakral yaitukurikulum.Langkah ini diambil dalam

rangka menjaga dan mengembangkan tradisi pendidikan salaf pondok pesantren

serta membekali para santri dengan berbagai kemampuan yang akan sangat

dipergunakan dalam menghadapi arus modernisasi.

Dalam konteks pembekalan santri untuk menghadapi tantangan modernisasi

dan globalisasi, pondok pesantren Lirboyo telah banyak melakukan pelatihan dan

kursus awal yang dipersiapkan untuk dasar pengembangan potensi santri. Pelatihan
6

ini menjadi bidang garapan Seksi Pramuka yang secara struktural ada di dalam

kepengurusan pondok Lirboyo. Adapun salah satu bentuk pembaruan yang menjadi

penopang utama keberlangsungan pendidikan salaf di pondok pesantren Lirboyo

adalah pendirian Madrasah Hidayatul Mubtadiien (MHM).

Keberadaan Madrasah Hidayatul Mubtadiien (MHM) di lingkungan

pondok pesantren Lirboyo membawa dampak yang sangat besar manfaatnya dalam

upaya proses transformation of knowledge (transformasi keilmuan) ala pendidikan

salaf. Di madrasah inilah santri (siswa) ditempa daya pikirnya dengan kurikulum

dan metode pembelajaran khas salaf.

Proses pembelajaran di MHM tak bisa dilepaskan setidaknya- dari

kurikulum dan macam-macam model pembelajaran yang dikembangkan. Karena

kedua elemen inilah yang sangat berperan dalam proses talim (KBM) pada sistem

pendidikan salaf di MHM Lirboyo. Berkenaan dengan ini, maka penelitian atas

perjalanan dan pembaruan kurikulum dan model pembelajaran di MHM sangat

diperlukan.

Dalam hal ini, peneliti berupaya mengadakan penelitian atas perjalanan dan

pembaruan yang terjadi di ranah kurikulum dan model pembelajaran di Madrasah

Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiien (MTs. HM.) Lirboyo, sebagai sampel atas

perjalanan dan pembaruan yang terjadi di MHM Lirboyo pada umumnya.

Pemilihan lokus penelitian di MHM tingkat Tsanawiyah dirasa sangat penting,

karena proses pembelajaran di tingkat ini dapat dikatakan sebagai puncak dari

pembelajaran di MHM Lirboyo. Hal mana diketahui bahwa pembelajaran di tingkat

Tsanawiyah MHM terpantau sangat berkembang, dinamis dan disiplin.


7

Berdasarkan hal ini, maka penulis mengajukan penelitian dengan judul

Pembaruan Sistem Pendidikan Salaf di Pondok Pesantren Lirboyo: Study

Kasus di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiien.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam

tesis ini adalah:

1. Bagaimana pola pembaruankurikulum di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul

Mubtadiien Lirboyo?

2. Bagaimana pola pembaruan pembelajaran di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul

Mubtadiien Lirboyo?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan polapembaruan sistem pendidikan salaf di Madrasah

Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiien pada ranah kurikulum dan pembelajaran.

2. Untuk mengetahuirahasia dapur Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiien

padaproses pengembangan sistem pendidikan salaf di pondok pesantren Lirboyo

dalam rangka meningkatkan dan memajukan kualitas pendidikan agama Islam.

D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan tentang

bagaimana pola pembaruansistem pendidikan salaf di Madrasah Hidayatul

Mubtadiien Lirboyo.
8

2. Bagi dunia akademis, dengan penelitian ini diharapkan bisa menambah

khazanah pengetahuan guna menambah wawasan dalam hal sistem pendidikan

ala pondok pesantren salaf, dengan segala aspek keunggulan dan

kekurangannya.

3. Bagi masyarakat, dengan penelitian ini diharapkan bisa memahami sistem

pendidikan yang dijalankan di pesantren salaf.

E. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

Bab I: Terdiri dari Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan masalah, kegunaan penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II: Bab ini akan membahas tentang Tinjauan Pustakadan Kerangka

Teori. Bagian Tinjauan Pustaka berisi beberapa penelitian yang concern terhadap

pembaruanpendidikan di pondok pesantren. Adapun bagian Kerangka Teori

memuat pembahasan teoritik terkait sistem pendidikan, pembaruanpendidikan

dalam ranah kurikulum dan pembelajaran, dan secara spesifik diketengahkan

metode pembelajaran di pondok pesantren dan pembaruan pendidikannya.

Bab III: Bab ini akan membahas tentang Metodologi Penelitian, meliputi

pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data,

prosedur pengumpulan data, dan analisa data.

Bab IV:Bab ini berisi tentang paparan data dan temuan penelitian yang

membahas tentang perkembangan objek penelitian.


9

Bab V: Babiniberisi tentang analisa data terhadappola pembaruansistem

pendidikan salaf di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiien Lirboyo, speifik

pada tataran kurikulum dan pembelajarannya.

Bab VI: Babiniberisi kesimpulan, saran, dan penutup.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang pembaruan sistem pendidikan salaf ini dilakukan di

pondok pesantren Lirboyo (spesifik kurikulum dan pembelajaran di Madrasah

Hidayatul Mubtadiien tingkat Tsanawiyah) Kota Kediri Jawa Timur. Adapun data

yang penulis peroleh dari studi pustaka, baik dari pembacaan buku, arsip penelitian

di sejumlah perpustakaanmaupun artikel internet menunjukkan bahwa kajian untuk

penulisan ini belum pernah ada kesamaan dalam variabel maupun objeknya, yaitu

pengembangan sistem pendidikan salaf di Madrasah Hidayatul Mubtadiien

(MHM) Lirboyo.

Adapun beberapa studi penelitian yang memiliki kemiripan dari sisi variabel

tema penelitiaan diantaranya adalah:

a. Mutaalimah (2003) yang berjudul Model Pembaharuan Sistem Pendidikan

Pesantren Salaf di PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.Pembahasan skripsi

ini terfokus pada sejarah, bidang pembaharuan serta model pembaharuan sistem

pendidikan pesantren salaf di pondok pesantren al-Munawwir Krapyak

Yogyakarta. Adapun penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa telah terjadi

pembaharuan sistem pendidikan pesantren salaf di PP. al-Munawwir Krapyak

berupa pendirian sekolah formal dan Madrasah Salafiyah I, II, III dan IV.5

5
Mutaalimah, Model Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Salaf di PP. al-
Munawwir Krapyak Yogyakarta, (Skripsi, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003).

10
11

b. Ali Anwar (2010) dengan judul Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo

Kediri. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada proses terjadinya

pembaruan pendidikan di pesantren Lirboyo dan bentuk akhirnya, faktor yang

mempengaruhi serta implikasi dari pembaruan pendidikan tersebut dengan

mengkomparasikan sistem pendidikan di MHM, Madrasah Tribakti dan Sekolah

ar-Risalah. Adapun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa telah terjadi

pembaruan pendidikan di pesantren Lirboyo berupa pendirian sekolah formal,

yaitu Madrasah Tribakti dan Sekolah ar-Risalah. Disamping itu, pola pendidikan

salaf di Madrasah Diniyah, baik di MHM maupun di pondok unit, tetap

dipertahankan dan dikembangkan. Sikap ini dilatarbelakangi oleh prinsip

mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengadopsi perkembangan baru

yang baik dan relevan, yaitu tuntutan pendidikan nasional. Akhirnya, implikasi

dari adanya pembaruan pendidikan tersebut adalah tetap bertahannya fungsi

utama pesantren sebagai media transmisi ilmu pengetahuan Islam, pemelihara

tradisi Islam dan lembaga pengkaderan ulama di satu sisi. Di sisi lain, juga

berimplikasi pada terbukanya kesempatan para alumni untuk berkiprah lanjut

pada sektor formaul maupun informal, semakin menguatnya fungsi pendidikan

pesantren Lirboyo, bertambahnya jumlah santri, bergesernya tradisi dan

kebiasaan santri, dan juga berubahnya pola relasi antara santri dengan kiai/

gurunya6.

Menurut hemat peneliti, penelitian Ali Anwar diatas sangat menarik untuk

dicermati. Karena bisa dikatakan penelitian ini merupakan babak awal studi

6
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, (Kediri: IAIT Press,
2011).
12

akademik atas pondok pesantren Lirboyo, setidaknya dari sudut pendidikannya.

Terlebih, penelitian ini secara langsung atau tidak dengan apik berhasil

mengoreksi pendapat Steenbrink, bahwa lembaga pendidikan tradisional akan

mengalami kecendrungan tidak begitu laku dan ditinggalkan siswanya ketika

dihadapkan dengan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern7.

Dari sudut pandang peneliti, penelitian Ali Anwar diatas memiliki cakupan

penelitian yang cukup luas. Karena penelitian ini berkepentingan untuk mengurai

pembaruan sistem pendidikan di pondok pesantren Lirboyo pada beberapa

spektrumnya, yaitu Madrasah Hidayatul Mubtadiien (pondok Induk), Madrasah

Diniyah al-Mahrusiyah dan Madrasah HM Tribakti (pondok unit al-Mahrusiyah),

serta Madrasah Diniyah ar-Risalah dan Sekolah ar-Risalah (pondok unit ar-

Risalah). Dari sisi ini terlihat adanya kecendrungan penelitian yang kurang

mendalam terhadap proses pembelajaran di MHM Lirboyo, yang notabene

merupakan aspek paling utama pada pendidikan salaf di pesantren Lirboyo.

Dalam hal ini peneliti memandang perlunya mengadakan penelitian secara

fokus terhadap sistem pendidikan salaf yang diterapkan di MHM Lirboyo. Dengan

melakukan penekanan penelitian pada sistem pendidikan salaf di MHM Lirboyo,

diharapkan dapat diketahui faktor dibalik eksistensi dan perkembangan pendidikan

salaf pondok pesantren di tengah berkembangnya pendidikan sekuler, termasuk

faktor dibalik kesuksesan pesantren Lirboyo mencetak insan yang tafaqquh fi ad-

din, sehingga dalam berbagai kesempatan santri pesantren Lirboyo sangat

diperhi-tungkan dalam percaturan bahtsul masail di kalangan pondok pesantren.

7
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm.63.
13

B. KERANGKA TEORI

Sub bab ini berisi beberapa teori terkait dengan pembaruan kurikulum dan

pembelajaran di lembaga pendidikan, spesifiknya pondok pesantren. Bagian ini

berfungsi sebagai pemandu bagi peneliti agar fokus penelitian sesuai dengan

kenyataan di lapangan. Selain itu juga bermanfaat untuk memberikan gambaran

umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.8

1. Pembaruan

a. Pengertian Pembaruan

Pembaruan secara etimologis berarti proses, cara, perbuatan membarui.9

Winarno menjelaskan, bahwa pembaruan menunjuk pada suatu kegiatan yang

menghasilkan cara baru setelah diadakan penilaian serta penyempurnaan. Jadi

pembaruan mengandung aspek proses penyusunan, pelaksanaan, penilaian dan

penyempurnaan.10 Pembaruan juga berkonotasi dengan inovasi.11

Konsep pembaruan jika dikaitkan dengan pendidikan adalah suatu

perubahan yang baru dan secara kualitatif berbeda dari hal yang ada sebelumnya,

serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan

tertentu dalam pendidikan. Selanjutnya dijelaskan, upaya pembaruan itu

sebenarnya tidak selalu berarti menciptakan hal-hal baru, akan tetapi memandang

sesuatu itu dari segi yang lain daripada yang biasa terjadi.12

8
PPs IAIT Kediri, Teknik Penulisan Karya Ilmiah, (Kediri: IAIT Press, 2010), hlm. 21.
9
Pusat Bahasa Dept. Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa DikNas, 2008)hlm. 142.
10
Winarno Surakhmad, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm. 15.
11
Pusat Bahasa Dept. Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, hlm. 557.
12
Cece Wijaya dkk., Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan dan Pengajaran, ( Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 6.
14

b. Pembaruan Kurikulum

Terdapatbeberapa prinsip dalam pembaruan kurikulum, yaitu prinsip umum

dan prinsip khusus13. Prinsip umum meliputi:

1) Prinsip relevansi, meliputi relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum

itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi dan proses yang tercakup

dalam kurikulum harus relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan

perkembangan masyarakat. Sedangkan relevansi ke dalam yaitu terdapat

kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yakni

antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian.

2) Prinsip fleksibilitas, dalam arti bahwa kurikulum hendaknya bersifat lentur

atau fleksibel. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang terdiri dari

komponen yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan

terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu

maupun kemam-puan dan latar belakang peserta didik.

3) Prinsip kontinuitas (kesinambungan). Perkembangan dan proses belajar

peserta didik berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus.

Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman yang disediakan kurikulum juga

hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan kelas lainnya,

antara satu jenjang pendidikan denan jenjang pendidikan lainnya hingga ke

jenjang pekerjaan.

13
Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002),hlm. 150-151.
15

4) Prinsip Praktis/ Efisiensi, dalam arti mudah dilaksanakan, menggunakan alat-

alat sederhana dan biayanya juga dapat dijangkau oleh semua kalangan

masyarakat.

5) Prinsip efektifitas, dalam arti keberhasilan dari pelaksanaan proses kegiatan

belajar mengajar.

Adapun prinsip khusus meliputi:

1) Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan

2) Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan

3) Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar pendidikan

4) Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pendidikan

5) Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan pendidikan.

Para pakar pendidikan jugatelah menemukan beberapa pendekatan dalam

pembaruan kurikulum. Yang dimaksudkan pendekatan pembaruan kurikulum

adalah seperangkat cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat

dengan mengikuti langkah-langkah pembaruan yang sistematis agar memperoleh

kurikulum yang lebih baik. Pendekatan-pendekatannya adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan Bidang Studi (Pendekatan Subjek atau Disiplin Ilmu)

Pendekatan ini menggunakan bidang studi atau mata pelajaran sebagai

dasar organisasi kurikulum. Prioritas pendekatan ini adalah mengutamakan sifat

perencanaan program dan juga mengutamakan penguasaan bahan dan proses

dalam disiplin ilmu tertentu.

2) Pendekatan Berorientasi pada Tujuan


16

Pendekatan ini menempatkan rumusan atau penempatan tujuan yang

hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam

pelaksanaan proses belajar mengajar.

Kelebihan pendekatan ini adalah:

a) Tujuan yang ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum

b) Tujuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula di dalam

menetapkan materi pelajaran atau bidang studi, metode, jenis kegiatan dan

alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.

c) Tujuan-tujuan yang jelas tersebut juga memberikan arah dalam

mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai.

d) Hasil penelitian yang terarah tersebut akan membantu penyusun

kurikulum dalam mengadakan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

3) Pendekatan dengan Pola Organisasi Bahan

Pendekatan ini dapat dilihat dari pola pendekatan subject matter

curriculum, correlated curriculum, dan integrated curriculum.

4) Pendekatan Rekonstruksionalisme

Pendekatan ini disebut juga rekonstruksi sosial, karena memfokuskan

kurikulum pada masalah penting yang dihadapi masyarakat. Dalam gerakan ini,

terdapat dua kelompok yang sangat berbeda pandangannya terhadap kurikulum,

yaitu:

a) Rekonstruksionalisme Konservatif

Pendekatan ini menganjurkan agar pendidikan ditujukan pada

peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari


17

penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi

masyarakat.

b) Rekonstruksionalisme Radikal

Golongan ini berpendapat bahwa kurikulum yang sedang mencari

pemecahan masalah sosial diatas tidak memadai. Kelompok ini ingin

menggunakan pendidikan untuk merombak tata sosial dan lembaga sosial

yang ada dan membangun stuktur sosial baru.14

5) Pendekatan Humanistik

Pendekatan ini berpusat pada siswa atau peserta didik dan mengutamakan

perkembangan afektif peserta didik sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral

dari proses belajar. Para pendidik humanistik meyakini bahwa kesejahteraan mental

dan emosional peserta didik harus dipandang sentral dalam kurikulum, agar proses

belajar memberikan hasil yang maksimal. Prioritasnya adalah pengalaman belajar

yang diarahkan pada tanggapan atas permintaan, kebutuhan, dan kemampuan

peserta didik.15

6) Pendekatan Akuntabilitas

Suatu sistem yang akuntabel menentukan standar dan tujuan spesifik yang

jelas serta mengatur efektifitasnya berdasarkan taraf keberhasilan peserta didik

dalam mencapai standar tersebut. Agar memenuhi tuntutan tersebut, para

pengembang kurikulum mengkhususkan tujuan pelajaran agar dapat mengukur

14
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.
48.
15
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007), hlm. 203
18

prestasi belajar. Dalam banyak hal gerakan ini menuju kepada ujian akademis yang

ketat sebagai syarat memasuki lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

7) Pendekatan Interdisipliner

Berbagai usaha yang telah dijalankan selama ini bertujuan untuk mendobrak

tembok pemisah yang dibuat antara berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu. Hal

ini didasarkan pada keyakinan bahwa masalah dalam kehidupan tidak hanya

melibatkan satu disiplin, akan tetapi memerlukan berbagai ilmu secara

interdisipliner. Diantara pendekatan interdisipliner adalah: pendekatan Broad-

Field, pendekatan Core Curriculum, pendekatan kurikulum fusi, dan lain-lain.

Disamping itu, pembaruan kurikulum juga harus dilaksanakan secara

bertahap. Adapun tahapan-tahapan pembaruan kurikulum adalah sebagai berikut:

1) Pembaruan kurikulum pada tingkat lembaga

Pembaruan pada tingkat ini lebih menekankan pada pengembangan struktur

organisasi kurikulum. Oleh karena itu, pembaruan kurikulum pada tahap ini masih

bersifat umum. Kegiatan pada tahap ini mencakup 3 (tiga) persoalan pokok, yaitu:

a) Merumuskan tujuan instutisional. Maksudnya adalah merumuskan tentang

pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diharapkan dicerna oleh peserta didik

setelah mereka menyelesaikan program pendidikan di suatu lembaga tertentu

misalnya di SD, SMP, dan seterusnya. Perumusan tujuan institusional bersumber

pada tujuan pendidikan nasional.

b) Menetapkan isi dan struktur program, yaitu menetapkan bidang-bidang studi

yang akan diajarkan di suatu lembaga pendidikan, seperti jenis program


19

pendidikan, sistem catur wulan atau semester, jumlah bidang studi dan alokasi

waktu yang diperlukan.

c) Penyusunan strategi pelaksanaan kurikulum, yaitu menyusun cara-cara dalam

melaksanakan suatu program atau cara mencapai tujuan pendidikan secara

efektif dan efisien.

2) Pembaruan kurikulum pada tingkat bidang studi

Pembaruan pada bidang studi bertujuan untuk mencapai tujuan kurikuler,

yaitu tujuan bidang studi yang akan dicapai selama program itu diajarkan. Untuk

mencapai tujuan kurikuler bidang studi ini, pengajar perlu menyusun dan

menetapkan pokok-pokok bahasan dalam bentuk Garis Besar Program Pengajaran

(GBPP), strategi pelaksanaannya, serta melaksanakan bimbingan dan penyuluhan

agar tujuan kurikuler tersebut bisa tercapai.

3) Pembaruan kurikulum pada tingkat pengajaran di kelas

Dalam kegiatan pembaruan tahap ini, salah satu komponen yang harus

dicapai tenaga pengajar adalah pencapaian komponen tujuan instruksional atau

standar kompetensi. Artinya, dalam melaksanakan pengajaran, pengajar harus

memperhatikan tujuan intruksional yang diperoleh dari GBPP.

Kegiatan instruksional dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu hasil

belajar berupa perubahan tingkah laku peserta didik. Tanpa adanya tujuan

instruksional yang jelas, pengajaran akan menjadi tidak terarah dan tidak efektif.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap taksonomi hasil belajar menjadi sangat

penting bagi pengajar. Dengan pemahaman seperti ini, pengajar akan dapat

menentukan dengan jelas dan tegas, apakah tujuan instruksional mata pelajaran
20

yang diampunya lebih bersifat kognitif dan mengacu pada tingkat intelektual

tertentu, atau lebih bersifat afektif atau psikomotorik.

Taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan

instruksional ke dalam tiga kelompok, sebagaimana dikemukakan oleh Benyamin

S. Bloom, yaitu:

a) ranah kognitif, yaitu hasil belajar peserta didik berorientasi pada kemampuan

berfikir/ bernalar. Ranah ini dikelompokkan secara hierarkis ke dalam enam

kategori, yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan

evaluasi.

b) Ranah afektif, yaitu hasil belajar yang berorientasi pada perasaan emosi dan

sikap hati yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu.

c) Ranah psikomotorik, yaitu hasil belajar yang diharapkan bisa membentuk

keterampilan motorik peserta didik.

c. Pembaruan Pembelajaran

Pembaruan pembelajaran bisa diartikan sebagai gagasan, perbuatan, atau

suatu yang baru dalam konteks pembelajaran untuk menjawab masalah yang

dihadapi. Tujuan pembaruan pembelajaran adalah meningkatkan efisiensi,

relevansi, kualitas dan efektivitas komponen-komponen dalam pembelajaran.

Diantaranya terdapat 4(empat) buah model pembaruan pembelajaran, yaitu:

Top Down, Buttom Up, Quantum Learning dan CTL. Secara ringkas masing-

masing model pembaruan pembaruan tersebut akan diulas sebagai berikut:

1) Top Down
21

Model ini adalah inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai

pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan; seperti halnya inovasi

pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional selama ini.

Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara

mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta

itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas

untuk menolak pelaksanaannya.

2) Bottom Up

Bottom Up adalah model inovasi yang bersumber dan merupakan hasil ciptaan

dari bawah, berupa model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran,

kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat.

Bottom Up menempatkan manusia, dalam hal ini adalah guru atau pendidik,

untuk dapat menggunakan pikiran-pikiran logis agar dapat melakukan tindakan

rasional dalam melakukan pengembangan proses pembelajaran. Karena yang

membuat keputusan adalah pihak yang terjun langsung dalam proses pembe-

lajaran sehingga kemungkinan besar solusi dalam pemecahan masalah dapat

langsung mengenai sasaran, sebab mengetahui dengan detail pokok permas-

alahan yang benar-benar dihadapi.

3) Contekstual Teachng Learning

Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran

yang berhubungan dengan suasana tertentu.Pembelajaran kontekstual didas-

arkan pada hasil penelitian John Dewey yang menyimpulkan bahwa siswa akan
22

belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah

diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya.

Depdiknas (2002:5) menyatakan pembelajaran kontekstual sebagai konsep

belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dengan situasi dunia

nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan

tujuh komponen yakni konstruktivisme (Constructivism), bertanya

(Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning

Community), permodelan (Modelling), refleksi (Reflection), penilaian

sebenarnya (Authentic Assesment).

Pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional.

Departemen Pendidikan Nasional (2002:5) mengemukakan perbedaan antara

pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran

konvensional sebagai berikut:16

TABEL 1
PERBEDAAN PEMBELAJARAN CTL DAN KONVENSIONAL

CTL KONVENSIONAL
Pemilihan informasi sesuai dengan Pemilihan informasi ditentukan oleh
kebutuhan anak didik guru
Cenderung mengintegerasikan / Cenderung terfokus pada satu bidang
memadukan dengan beberapa ilmu tertentu
disiplin ilmu
Selalu mengaitkan informasi dengan Memberikan tumpukan informasi pada
pengetahuan awal yang dimiliki siswa
siswa
Menerapkan penilaian autentik Penilaian hasil belajar dilakukan secara
melalui penerapan praktis dalam akademik melalui kegiatan akademik
pemecahan masalah berupa ulangan / ujian

16
http://wahyualfianto.wordpress.com/2013/01/05/contekstual-teacher-learning/ (diakses
pada 23 September 2014)
23

4) Quantum Learning

Pembelajaran kuantum merupakan salah satu model, strategi, dan pendekatan

pembelajaran yang mengutamakan pada keterampilan guru dalam mengelola

pembelajaran. Istilah quantum dipinjam dari dunia ilmu fisika yang berarti

interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Maksudnya dalam

pembelajaran kuantum, pengubahan bermacam-macam interaksi yang terjadi

dalam kegiatan belajar. Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat

alamiah guru dan siswa menjadi hal yang bermanfaat bagi kemajuan mereka

dalam belajar secara efektif dan efisien.

Dasar utama pembelajaran kuantum adalah membawa dunia siswa ke dalam

dunia guru, dan mengantarkan dunia guru ke dunia siswa. Subjek belajar adalah

siswa. Guru hanya sebagai fasilitator, sehingga guru harus memahami potensi

siswa terlebih dahulu. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam hal ini adalah

mengaitkan apa yang akan diajarkan dengan peristiwa-peristiwa, pikiran atau

perasaan, tindakan yang diperoleh siswa dalam kehidupan baik di rumah, di

sekolah, maupun di lingkungan masyarakat. Apabila seorang guru telah

memahami dunia siswa, maka siswa telah merasa diperlakukan sebagaimana

mestinya, sehingga pembelajaran akan menjadi harmonis seperti sebuah

orkestra yang saling bertautan dan saling mengisi.

Tujuan pokok pembelajaran kuantum yaitu meningkatkan partisipasi siswa

melalui penggubahan keadaan, meningkatkan motivasi dan minat belajar,

meningkatkan daya ingat dan meningkatkan rasa kebersamaan, meningkatkan

daya dengar, dan meningkatkan kehalusan perilaku.


24

Ruang lingkup pengembangan konteks pembelajaran kuantum yaitu suasana

belajar yang menyenangkan, landasan yang kukuh, lingkungan yang

mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis.

2. Sistem Pendidikan

a. Pengertian Sistem Pendidikan

Pendidikan sebagai sebuah proses pada hakikatnya merupakan interaksi

komponen-komponen yang esensial dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.

Interaksi yang harmonis dan seimbang antar-unsur esensial dalam pendidikan

sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Keseluruhan komponen pendidikan

yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan itu

membentuk jaringan sistem yang dinamakan sistem pendidikan.

Secara istilah, terminologi sistem mengandung arti perangkat unsur yang

secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.17 Sedangkan

yang dimaksud pendidikan menurut Undang-undang adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.18 Dari

pemaparan tersebut bisa disimpulkan bahwa sistem pendidikan adalah keseluruhan

komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan

pendidikan.

17
Pusat Bahasa DepDikNas, Kamus Bahasa Indonesia, hlm. 1362.
18
UU Sisdiknas RI,
25

b. Komponen Sistem Pendidikan

Adapunkomponen-komponen pendidikan meliputi instrumental input, raw

input, input, process, output, environmental, dan outcomes. Masing-masing

komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan

fungsi struktur, yaitu mencapai tujuan sistem.

1) Input Pada Sistem Pendidikan

Input pada sistem pendidikan dibedakan dalam tiga jenis, yaitu input mentah

(raw input), input alat (instrumental input), dan input lingkungan (environmental

input). Masukan mentah (raw input) akan diproses menjadi tamatan (output).

Adapun input pokok dalam sistem pendidikan meliputi:

a) Dasar Pendidikan

Pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dan anak didik

dengan melibatkan berbagai faktor pendidikan lainnya, diselenggarakan guna

mencapai tujuan pendidikan dengan senantiasa didasari oleh nilai-nilai

tertentu. Nilai-nilai itulah yang kemudian disebut sebagai dasar pendidikan.

b) Tujuan Pendidikan

Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki

posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya. Dapat

dikatakan bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan

dilakukan semata-mata terarah kepada pencapaian tujuan tersebut. Tujuan

pendidikan umumnya mengarah pada terbentuknya manusia yang utuh

dengan memperhatikan:

(1) aspek jasmani dan rohani,

(2) aspek diri (individualitas) dan aspek sosial,


26

(3) aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta

(4) segi serba-keterhubungan manusia dengan dirinya (konsentris), dengan

lingkungan sosial dan alamnya (horizontal), dan dengan Tuhannya

(vertikal).

c) Anak didik (Peserta Didik)

Peserta didik dipandang sebagai subjek didik karena peserta didik

(tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin

diakui keberadaannya dan ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara

terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai

sepanjang hidupnya. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh

pendidik adalah:

(1) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga

merupakan insan yang unik.

(2) Individu yang sedang berkembang.

(3) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan

manusiawi.

(4) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.

2) Proses Pada Sistem Pendidikan

Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilisasi segenap komponen

pendidikan oleh pendidik secara terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan.

Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan

kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut satu sama lain saling bergantung.
27

Adapun komponen-komponen yang saling berkesinambungan pada proses

pendidikan adalah sebagai berikut:

a) Pendidik dan Non-Pendidik

Pendidik ialah orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing.

Pendidik berbeda dengan pengajar sebab pengajar berkewajiban untuk

menyampaikan materi pelajaran kepada murid, sedangkan pendidik tidak hanya

bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran, tetapi juga membentuk

kepribadian anak didik.

Non pendidik atau yang sering disebut sebagai tenaga kependidikan

adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk

menunjang penyelenggaraan pendidikan.19 Atau juga bisa diartikan merupakan

tenaga yang bertugas merencanakan dan melaksanakan administrasi,

pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk

menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.20

b) Kurikulum (Materi Pendidikan)

Materi pendidikan sering juga disebut dengan istilah kurikulum karena

kurikulum bermakna materi yang disusun secara sistematika guna mencapai

tujuan yang telah ditetapkan.

19
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 1, Bab I Ketentuan Umum.
20
UU No.20 Tahun 2003, Pasal 39 ayat (1).
28

c) Prasarana dan Sarana

Prasarana pendidikan adalah segala macam peralatan, kelengkapan, dan

benda-benda yang digunakan guru dan murid untuk memudahkan

penyelenggaraan pendidikanyang tidak secara langsung digunakan dalam proses

pendidikan.Sedangkan sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang

digunakan guru untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran yang

digunakan secara langsung dalam proses pendidikan.

d) Administrasi

Administrasi pendidikan adalah segenap kegiatan yang berkenaan

dengan penataan sumber, penggunaan, dan pertanggung-jawaban dana

pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan. Kegiatan yang ada dalam

administrasi pembiayaan meliputi tiga hal, yaitu: penyusunan anggaran,

pembukuan, dan pemeriksaan.

e) Anggaran

Anggaran adalah biaya yang dipersiapkan dengan suatu rencana

terperinci. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa anggaran adalah rencana

dana yang disusun secara terorganisir untuk menerima atau mengeluarkan dana

dalam suatu periode tertentu.

3) Enviromental (Lingkungan) Pada Sistem Pendidikan

Proses pendidikan selalu dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di

sekitarnya, bisa jadi lingkungan itu menunjang proses pencapaian tujuan

pendidikan atau malah menghambatnya. Lingkungan yang mempengaruhi proses

pendidikan tersebut, yaitu:


29

a) Lingkungan keluarga.

b) Lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan.

c) Lingkungan masyarakat.

d) Lingkungan keagamaan, yaitu nilai-nilai agama yang hidup dan berkembang

di sekitar lembaga pendidikan.

e) Lingkungan sosial budaya, yaitu nilai-nilai sosial dan budaya yang hidup dan

berkembang di sekitar lembaga pendidikan.

f) Lingkungan alam, baik keadaan iklim maupun geografisnya.

g) Lingkungan ekonomi, yaitu kondisi ekonomi yang ada di sekitar lembaga

pendidikan dan masyarakat sekitar.

h) Lingkungan keamanan, baik keamanan di sekitar lembaga pendidikan

maupun di luar lembaga pendidikan.

i) Lingkungan politik, yaitu keadaan politik yang terjadi pada daerah di mana

lembaga pendidikan tersebut berdiri atau melaksanakan pendidikan.

4) Output Pada sistem Pendidikan

Output pada sistem pendidikan adalah hasil keluaran dari proses yang terjadi

di dalam sistem pendidikan. Adapun output pada sistem pendidikan adalah:

a) Siswa Lulus (Tamatan)

Lulusan pendidikan adalah hasil dari proses pendidikan agar sesuai

dengan tujuan pendidikan tersebut. Diharapkan lulusan yang dihasilkan dapat

memberikan nilai-nilai kehidupan bagi dirinya, lingkungan, dan Tuhannya.

Setidaknya, lulusan tersebut dapat mentransformasikan (mengembangkan dan

melestarikan) budaya yang ada di lingkungan, kepribadiannya dapat terbentuk


30

dengan baik, menjadi warga negara yang baik yang didasarkan atas landasan-

landasan pendidikan, serta mampu bersaing di dunia kerja.

Jika proses yang terjadi di dalam komponen-komponen pendidikan yang

sudah dijelaskan di atas berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan maka hasil

lulusan tersebut pun akan baik. Oleh sebab itu, proses berkesinambungan dari

komponen-komponen pendidikan menentukan hasil nyata dari pendidikan

tersebut yang didasarkan kepada tujuan dan dasar pendidikan.

b) Siswa PutusSekolah

Kadang kala proses komponen-komponen pendidikan yang terjadi tidak

sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebab adanya hambatan yang ada

pada komponen-komponen tersebut, sehingga peserta didik sebagai input dalam

sistem pendidikan tidak bisa melangsungkan pendidikannya (putus sekolah).21

Komponen-komponen pendidikan yang telah dijelaskan diatas berinteraksi

secara berkesinambungan, saling melengkapi dalam sebuah proses pendidikan guna

mencapai tujuan pendidikan. Proses pendidikan pada hakikatnya adalah interaksi

komponen tersebut dalam sebuah proses pencarian, pembentukan, dan

pengembangan sikap serta perilaku anak didik hingga mencapai batas

optimal.Sistem pendidikan diatas dapat digambarkan dalam bagan berikut:

21
http://apip0103.blogspot.com/2013/06/komponen-komponen-dalam-sistem.html, diakses
pada 15 September 2014.
31

BAGAN 1
KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN

c. Konsep Kurikululm

Kurikulum merupakan bagian integral dari sistem pendidikan yang

mempunyai peranan signifikan dalam keberhasilan pendidikan. Konsep kurikulum

berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga

bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Secara

etimologi, kurikulum berasal dari bahasa latin, yaitu currere, sebuah kata kerja

yang bermakna to run (Indonesia: lari).22 Sedangkan secara terminologi, menurut

pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus

disampaikan pendidik atau dipelajari peserta didik. Dalam perkembangannya,

mucul pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum tidak hanya menekankan pada

isi, namun juga pada pengalaman belajar secara luas. Sebagaimana dikutip Nana

Syaodih.23

Macam-macam definisi telah banyak diutarakan oleh para pakar, namun

lazimnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk

22
Fitriyatul Hanifiyah, Model Pengembangan Kurikulum Prodi PAI di STAIN Jember,
(Tesis, Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2011), hlm. 23.
23
Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum, hlm. 4.
32

melancarkan proses belajar mengajar di bawa bimbingan dan tanggung jawab

lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.

Dalam menyusun kurikulum, sangatlah tergantung pada asas organisatoris,

yakni bentuk penyajian bahan pelajaran atau organisasi kurikulum. Ada tiga pola

organisasi kurikulum, yang dikenal juga dengan sebutan jenis-jenis kurikulum atau

tipe-tipe kurikulum, yaitu sebagai berikut:

1) Sparated Subject Kurikulum

Kurikulum ini dipahami sebagai kurikulum mata pelajaran yang terpisah satu

sama lainnya. Kurikulum mata pelajaran terpisah berarti kurikulumnya dalam

bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang kurang mempunyai

keterkaitan dengan mata pelajaran lainnya. Konsekuensinya, anak didik harus

semakin banyak mengambil mata pelajaran.

2) Correlated Curriculum

Kurikulum ini mengandung makna bahwa sejumlah mata pelajaran

dihubungkan antara yang satu dengan yang lain, sehingga ruang lingkup

bahan yang tercakup semakin luas.

3) Broad Field Curriculum

Kurikulum ini kadang-kadang sering disebut kurikulum fusi. Kurikulum ini

menghapuskan batas-batas dan menyatukan mata pelajaran yang

berhubungan erat. Atau dalam kata lain kurikulum ini adalah usaha

meningkatkan kurikulum dengan mengkombinasikan beberapa mata

pelajaran, sebagai contoh pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi disatukan

menjadi ilmu pengetahuan sosial.


33

4) Integrated Curriculum

Integrated Curriculum (kurikulum terpadu) merupakan suatu produk dari

usaha pengintegrasian bahan pelajaran dari berbagai macam pelajaran.

Integrasi diciptakan dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu

yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin

atau mata pelajaran. Kurikulum ini membuka kesempatan yang lebih banyak

untuk melakukan kerja kelompok, masyarakat dan lingkungan sebagai

sumber belajar, mementingkan perbedaan individual anak didik, dan dalam

perencanaan pelajarannya siswa diikutsertakan.24

d. Konsep Pembelajaran

Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang melibatkan guru, siswa dan

komponen lainnya dalam proses pembelajaran yang saling mempengaruhi satu

sama lain dalam rangka tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.

Dengan adanya komponen-komponen pembelajaran di atas, maka seorang guru

kiranya mampu memungkinkan terciptanya situasi yang tepat, sehingga

memungkinkan pula terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.25

Metode pembelajaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode dalam

pengertian luas dan metode dalam pengertian sempit. Metode dalam pengertian

sempit artinya cara yang digunakan untuk menyampaikan suatu materi pelajaran

dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Sedangkan dalam arti luas berarti tidak

hanya sekedar cara mengajar, tapi lebih dari itu, yaitu membicarakan mengenai

24
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, hlm. 111.
25
Tabrani Rosyan, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), hlm. 3.
34

bagaimana membangun nilai, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan peserta

didik.26

Syaiful Bahri Djamarah menyatakanbahwa ada tiga tahapan yang harus

dilakukanguru dalam proses pembelajaran yaitu persiapan/perencanaan,

pelaksanaan, dantahap penilaian/evaluasi.27

1) Perencanaan Pembelajaran

Kaufman mengungkapkan: perencanaan adalah suatu proyeksi tentang

apa yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan yang absah dan bernilai.28

Hal senada diungkapkan pula oleh Philip Commbs: perencanaan pengajaran

adalah suatu penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses

perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan

efisien sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para murid dan masyarakatnya.29

Dari kedua pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang

dimaksud dengan perencanaan pengajaran adalah suatu persiapan yang

dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Perencanaan pengajaran dalam

proses pembelajaran merupakan suatu hal yang dapat membantu para pengelola

pendidikan (guru) dalam melaksanakan tugasnya. Maksudnya dapat menolong

pencapaian suatu sasaran atau tujuan secara lebih mudah karena dapat dikontrol

dan dimonitor dalam pelaksanaannya. Oleh sebab itu perencanaan merupakan

26
Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2010), hlm. 39-40.
27
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1994), hlm. 79.
28
Harjanto, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 2.
29
Harjanto, Perencanaan Pengajaran, hlm. 6.
35

tahapan pertama dalam proses pembelajaran pada umumnya yang menempati

posisi yang amat penting dan sangat menentukan.

Pada tahap pesiapan atau perancangan ini seorang guru harus mempunyai

persiapan sebelum proses pembelajaran berlangsung agar proses pembelajaran

yang dilaksanakan tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien dan dapat

diberikan sesuai dengan waktu yang tersedia.

Menurut Sriyono, dkk., perencanaan proses belajar mengajar

berwujuddalam bentuk satuan pelajaran yang berisi rumusan tujuan pengajaran

(tujuaninstruksional), bahan pengajaran, kegiatan belajar siswa, metode, dan alat

bantumengajar serta penilaian.30Seorang guru yang akan mengajarkan

pelajaran harus memikirkanhal-hal apa yang harus dilakukan serta

menuangkannya secara tertulis dalamperencanaan pembelajaran yang dimulai

dengan merumuskan program tahunan,program semester, analisis materi

pelajaran, pengembangan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, program

remedial dan program pengayaan. Kemudian merumuskan bahan pelajaran yang

akan diajarkan. Bahan pelajaran tersebut harus diatur agar memberi motivasi

pada siswa untuk aktif dalam belajar. Setelah proses pembelajaran ditetapkan

dan diurutkan secara sistematis sehingga memberi peluang adanya kegiatan

belajar bersama atau perorangan.Penggunaan alat bantu dan metode mengajar

diusahakan dan dipilih oleh guru agar menumbuhkan semangat siswa.

Perumusan perencanaan pembelajaranyang terakhir tentang penilaian yang

terdiri dari sejumlah pertanyaan yangproblematis, sehingga menuntut siswa

30
Sriyono dkk, Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm.
13.
36

untuk berpikir secara optimal dan jikaperlu diberikan tugas-tugas yang harus

dikerjakan di kelas atau di rumah.

Peranan rencana pelaksanaan pembelajaran dalam proses

pembelajaranbukan semata-mata tuntutan administrasi guru, melainkan bagian

penting daripraktek pengajaran agar diperoleh hasil belajar siswa yang optimal.

Pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran

harus secara konsekuen dipraktekkan pada waktu guru mengajar.

Dalam persiapan/perencanaan mengajar, ada beberapa faktor yang perlu

diperhatikan oleh guru. Faktor tersebut sebagai penentu dalam pemilihan proses

pembelajaran yaitu sebagai berikut:

a) Tujuan (pengetahuan, keterampilan, nilai yang ingin dicapai).

b) Isi mata pelajaran.

c) Siswa (usia, kemampuan, latar belakang, motivasi dan sebagainya).

d) Pengajar (filosofinya tentang pendidikan, kompetensinya dalam teknik

mengajar, kebiasaannya dan sebagainya).

e) Ekonomi administrasi (ketersediaan alat-alat atau dana untuk

pengadaannya, waktu persiapannya, besar kelas, jumlah ruangan, dan

banyak jam pertemuan yang tersedia).31

2) Pelaksanaan Pembelajaran

Dalam melaksanakan pengajaran hendaknya guru bepedoman pada

persiapan yang dibuat dalam bentuk perencanaan pembelajaran. Pelaksanaan

pembelajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dan anak didik serta bahan

31
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, hlm. 82-83.
37

pelajaran sebagai perantara. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran ini guru

merupakan pengendali.Di samping itu guru harus melibatkan siswa secara aktif

dalam kegiatan belajar mengajar.

Adapun fungsi dan peranan guru dalam proses pembelajaran ada tiga

yaitu:

a) sebagai pengajar

Sebagai pengajar seorang guru diharapkan menyediakan situasi dan

kondisi belajar untuk siswa dalam interaksi belajar mengajar.

b) sebagai pemimpin

Sebagai seorang pemimpin ia harus bersifat demokratis, ia harus

mendengarkan pendapat orang lain, keluhan, pikiran, ide muridnya serta

bersedia bekerjasama, saling mengerti dan toleransi.

c) sebagai pengganti orang tua

Seorang guru di sekolah berfungsi sebgai wakil orang tuanya (siswa)

maksudnya di dalam interaksi belajar mengajar, guru bersikap sebgai

orang tua terhadap anaknya, sehingga interaksi akan berjalan dengan

suasana yang menyenangkan. Suasana yang demikian sangat mendorong

berhasilnya siswa waktu belajar.32

Dalam pelaksanaan pembelajaran ada tiga tahapan yang harus dilakukan

guru, yaitu tahap pra instruksional, tahap instruksional dan tahap evaluasi atau

tindak lanjut:

32
Roestiyah, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm.
38.
38

a) Tahap Awal (Tahap pra instruksional)

Yaitu tahap yang ditempuh pada saat memulai sesuatu proses belajar

mengajar, yang meliputi:

(1) Mengabsen siswa.

(2) Menanyakan batas pembahasan sebelumnya.

(3) Mengajukan beberapa pertanyaan mengenai bahan pelajaran yang

sudah diajarkan sebelumnya.

(4) Memberi kesempatan pada siswa untuk bertanya mengenai pelajaran

yang belum dimengerti dari pelajaran yang telah lalu.

(5) Mengulang pelajaran yang telah lalu secara singkat namun mencakup

semua aspek yang telah dibahas sebelumnya.33

Menurut JJ. Hasibuan dan Moedjono perlu dilakukannya tahap ini

karena bertujuan untuk:

(1) Menimbulkan perhatian dan motivasi siswa terhadap tugas yang akan

dihadapi.

(2) Memungkinkan siswa untuk mengetahui batas-batas tugasnya yang

akan dikerjakan.

(3) Siswa dapat mengetahui pendekata-pendekatan yang digunakan

dalam mempelajari bagian-bagian pelajaran.

33
Sriyono dkk, Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA, hlm. 92-93.
39

(4) Memungkinkan siswa mengetahui hubungan antara pengalaman-

pengalaman yang dikuasai dengan hal-hal baru yang akan

dipelajarinya.34

b) Tahap Inti (Tahap instruksional)

Yaitu tahap penyampaian pelajaran atau tahap inti. Tahap ini

merupakan tahap pelaksanaan tugas bagi seorang guru dalam menyalurkan

ilmu pengetahuan, yang meliputi:

(1) Menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa.

(2) Mengemukakan pokok materi yang telah dibahas.

(3) Menjelaskan pokok-pokok materi yang telah dikemukakan.

(4) Memberi contoh yang konkrit pada setiap pokok materi yang dibahas,

dan memberikan beberapa pertanyaan kepada siswa untuk mengetahui

tingkat pemahaman pada setiap pokok-pokok materi yang telah

dibahas.

(5) Menggunakan alat bantu atau media pembelajaran untuk memperjelas

keterangan setiap pokok materi yang dibahas.

c) Tahap Akhir (Tahap evaluasi atau tindak lanjut)

Tahap yang terakhir ini adalah tahap evaluasi atau tindak lanjut. Tahap

ini bertujuan untuk mengatahui tingkat keberhasilan siswa pada tahap

sebelumnya, yaitu pada tahap instruksional. Kegiatan yang dilakukan pada

tahap ini meliputi:

34
JJ. Hasibuan dan Moedjono.,Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), hlm. 74.
40

(1) Mengajukan beberapa pertanyaan terhadap materi yang telah

diberikan.

(2) Guru mengulang atau menjelaskan kembali materi pokok pelajaran

yang telah diberikan, apabila pertanyaan yang diajukan guru belum

dapat dijawab kurang dari 70% di antara siswa.

(3) Guru dapat memberikan tugas pekerjaan rumah yang berhubungan

dengan materi pokok guna memperkaya pengetahuan dari

pemahaman siswa akan materi tersebut.

3) Penilaian Hasil Belajar

Penilaian hasil belajar merupakan bagian integral dalam proses

pembelajaran. Karena itu harus dilakukan oleh setiap guru sebagai bagian dari

tugasnya. Secara umum penilaian hasil belajar merupakan evaluasi hasil belajar

dimaksudkan untuk melihat sejauh mana kemajuan belajar siswa dalam program

pendidikannya yang telah dilaksanakan. Untuk itu diperlukan alat evaluasi yang

disusun menurut langkah kerja yang teratur.35 Menurut Nana Sudjana:

Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil yang

telah dicapai siswa dengan kriteria tertentu.36

Dalam menilai hasil belajar siswa ada beberapa macam evaluasi

diantaranya adalah:

35
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Bandung:
PT. Cipta Aditya Bakti, 1990), hlm. 260.
36
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1997), hlm. 3.
41

a) Evaluasi Fomatif

Evaluasi formatif adalah penilaian yang dilakukan guru setelah satu pokok

bahasan selesai dipelajari oleh siswa dengan kata lain penilaian pada akhir

rencana pelaksanaan pembelajaran. Penilaian ini berfungsi untuk

mengetahui sejauh mana ketercapaian indikator yang telah ditentukan

dalam setiap rencana pelaksanaan pembelajaran.

b) Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif adalah penilaian yang diselenggarakan oleh guru setelah

satu jangka waktu tertentu yaitu pada akhir catur wulan atau akhir

semester. Penilaian seperti ini berguna untuk memperoleh informasi

tentang keberhasilan belajar siswa yang dipakai sebagai masukan utama

untuk menentukan nilai rapor.

Adapun pada pendidikan agama Islam, secara spesifik para pakar

pendidikan merumuskan metode pendidikan yang relevan dan efektif sebagai

berikut:

1) MetodeDiakronis

Metode ini menonjolkan proses pembelajaran pada aspek sejarah.

Metode ini memberikan kemungkinan adanya studi komparatif tentang berbagai

penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga peserta didik

memiliki pengetahuan yang relevan dan memiliki hubungan sebab-akibat atau

kesatuan integral.
42

Metode diakronis disebut juga metode sosio-historis37, yakni suatu

metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan

melihatnya sebagai suatu kenyataan yang memiliki kesatuan yang mutlak

dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan tempat

kepercayaan, sejarah dan kejadian itu muncul.

2) Metode Sinkronis-Analitis

Metode ini memberi kemampuan analitis teoritis yang sangat berguna

bagi perkembangan keimanan dan mental-intelek. Metode ini mengutamakan

segi pelaksanaan dan aplikasi praktif. Teknik pengajarannya meliputi diskusi,

lokakarya, seminar, kerja kelompok, dan lain sebagainya.

3) Metode Problem Solving

Metode ini merupakan pelatihan peserta didik yang dihadapkan pada

berbagai masalah suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya. Metode ini

dapat dikembangan melalui teknik simulasi, micro-teaching dan critical

incident.

4) Metode Empiris

Metode ini mengajarkan kemungkinan peserta didik mempelajari materi-

materi melalui proses realisasi, aktualisasi serta internalisasi.

37
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 323.
43

3. Pondok Pesantren

a. Pengertian Sistem Pendidikan Salaf

Secara etimologi, salaf mengandung arti yang dulu/ telah lewat.38 Salaf

berkonotasi dengan kata tradisional. Sedangkan Pendidikan Salaf secara

terminologi berarti sebuah pendidikan yang menggunakan metode dan buku ajar

tradisional.

Adapun pesantren salaf berarti pesantren yang murni mengajarkan ilmu

agama baik dengan sistem tradisional (bandongan, wethonan dan sorogan) maupun

sistem klasikal (jenjang kelas) yang umum disebut dengan madrasah diniyah atau

menganut kedua sistem itu. Pengertian ini kemudian berkembang seiring dengan

dinamika pesantren itu sendiri.

Dalam perkembangan berikutnya, sebuah pesantren disebut salaf selagi

terdapat sistem pendidikan di atas (tradisional dan klasikal) walaupun

dikombinasikan dengan pendidikan formal (MI, MTS, MA, dst) yang mengikuti

kurikulum Kemdikbud atau Kemenag.39

Pesantren salaf memiliki ciri-ciri yang khas, diantaranya:

1) Adanya penekanan pada penguasaan kitab klasik/ kitab kuning.

2) Masih diberlakukannya sistem sorogan, wethonan/ bandongan dalam proses

KBM.

3) Walaupun di sejumlah pesantren telah menerapkan sistem klasikal, namun

tetap fokus pada pengajaran kitab kuning.

38
Achmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap Cet. 14, Edisi Kedua,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 651.
39
http://www.alkhoirot.net/2011/09/pondok-pesantren-salaf.html(diakses pada 23
September 2014)
44

4) Secara umum, hubungan emosional kiai-santri di pesantren salaf jauh lebih

dekat dibanding pesantren modern. Hal ini karena kiai menjadi figur sentral:

sebagai edukator karakter, pembimbing rohani dan pengajar ilmu agama.

5) materi pelajaran umum seperti matematika atau ilmu sosial tidak atau sangat

sedikit diajarkan di pondok salaf.

6) pondok salaf yang murni tidak memiliki lembaga pendidikan formal SD/MI

MTS/SMPSMA/MAapalagi perguruan tinggi yang kurikulumnya berada di

bawah pemerintah via Kemdiknas/Diknas atau Kemenag/Depag. Kalau ada

sekolah dengan jenjang MI, MTS dan MA biasanya memakai kurikulum

sendiri. Sekolah semacam ini disebut dengan madrasah diniyahatau madin.

7) pondok pesantren salaf umumnya dipimpin oleh kiai yang secara kultural

berafiliasi ke organisasi NU (Nahdlatul Ulama) walaupun tidak otomatis ada

keterikatan secara organisasi. Yang pasti tidak seide dengan kalangan

Muhammadiyah atau Wahabi.

8) biaya pendidikan di pesantren salaf relatif murah. Dan jauh lebih murah

dibanding pesantren modern. Tidak ada sistem daftar ulang. Dan tidak ada

sistem seleksi. Semua santri yang ingin masuk ke pesantren salaf umumnya

langsung diterima. Ini berbeda dengan pesantren modern.

9) akhlak yang santun. Pesantren salaf menekankan pada perilaku yang sopan

dan santun terutama dalam berinteraksi dengan guru, orang tua dan

masyarakat dan antara sesama santri.40

40
http://www.alkhoirot.net/2011/09/pondok-pesantren-salaf.html (diakses pada 23
September 2014)
45

b. Pembaruan Kurikulum di Pesantren

Dari beberapa difinisi yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami

bahwa pembaruan kurikulum pendidikan pondok pesantren dapat diartikan sebagai:

a) kegiatan menghasilkan kurikulum pendidikan pondok pesantren, atau b) proses

yang mengaitkan suatu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan

pendidikan pondok pesantren yang lebih baik, atau c) kegiatan penyusunan

(desain), pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan kurikulum pendidikan

pondok pesantren.41

Dalam pengertian tersebut, sesungguhnya pembaruan kurikulum adalah

proses siklus yang tiada pernah berakhir. Adapun proses pembaruan kurikulum

tersebut terdiri dari 4 (empat) unsur, yaitu:

1) Tujuan: mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan dan

pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan dengan

mata pelajaran maupun kurikulum secara menyeluruh.

2) Metode dan Material: mengembangkan dan mencoba menggunakan metode-

metode dan material institusi untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan

pertimbangan pengajar.

3) Penilaian (assesment): menilai keberhasilan pekerjaan yang telah

dikembangkan dalam hubungannya dengan tujuan.

4) Balikan (feedback): umpan balik dari semua pengalaman yang telah

diperoleh, yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya.

41
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 10.
46

c. Metode Pembelajaran di Pesantren

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pusat penyebaran

agama Islam tertua di Indonesia yang lahir dan berkembang semenjak masa-masa

permulaan kedatangan agama Islam di Indonesia.42Proses pendidikan di pesantren

dilaksanakan secara totalitas, meliputi pendidikan rohani dan jasmani, segala

bidang disiplin keilmuan Islam, dan dilaksanakan selama 24 jam dalam sehari.

Dalam sejarah awalnya, metode pendidikan yang diterapkan di pesantren

bertumpu pada dua metode, yaitu metode wetonan atau bandongan (Jawa Barat)

atau halaqah (Sumatera) dan sorogan.

Metode wetonan atau bandonganyaitu cara penyampaian kitab dimana

seorang guru, kiai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab, sementara

santri, murid, atau siswa mendengarkan, memberikan makna, dan menerima.

Senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Endang Turmudi bahwa, dalam

metode ini kiai hanya membaca salah satu bagian dari sebuah bab dalam sebuah

kitab, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan memberikan penjelasan-

penjelasan yang diperlukan.43 Berbeda sedikit dengan Hasil Musyawarah/

Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren, bahwa metode wetonan

ialah pembacaan satu atau beberapa kitab oleh kiai atau pengasuh dengan

memberikan kesempatan kepada para santri untuk menyampaikan pertanyaan atau

meminta penjelasan lebih lanjut.44

42
Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PT. Cemara Indah, 1973),
hlm. 17.
43
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta:LKiS, 2004),
hlm.36.
44
Abdurrahman Saleh, Pedoman Pembinan Pondok Pesantren, (Jakarta:Departemen
Agama RI, 1982), hlm.79.
47

Konon metodeini merupakan warisan dari Timur Tengah (Makah dan

Mesir). Karena kedua negara ini dianggap sebagai poros, pusat dari ajaran agama

Islam di dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mujamil Qamar, bahwa

metode yang disebut bandongan ini ternyata merupakan hasil adaptasi dari metode

pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama di makah dan

Mesir. Kedua tempat ini menjadi kiblat pelaksanaan metode wetonan lantaran

dianggap sebagai poros keilmuan bagi kalangan pesantren sejak awal pertumbuhan

hingga perkembangan yang sekarang ini.45 Dan metode inilah yang paling banyak

digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia.

Istilah wethon berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu,

dikarenakan pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum

atau sesudah melakukan shalat fardlu. Metode wethon ini merupakan metode

kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang

menerangkan pelajaran, menyimak kitab masing-masing, dan membuat catatan

padanya. Jadi, kiai berperan aktif, sedangkan santri bersifat pasif. Metode wethonan

ini dapat bermanfaat ketika jumlah santri cukup besar dan waktu yang tersedia

relatif sedikit, sedangkan materi yang harus disampaikan cukup banyak.

Adapun Sorogan yaitu sebuah metode pembelajaran dimana santri satu per

satu secara bergiliran menghadap kiai/ ustadz dengan membawa kitab tertentu. Kiai

membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya, kemudian santri

mengulangi bacaan kiainya.46 Husein Muhammad menambahkan bahwa, murid

yang membaca sedangkan guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar,

45
Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta:Erlangga, t.th.), hlm.143.
46
EnsiklopediIslam, (Jakarta:PT.Ictiar Baru Van Hoeve, 2000), hlm.336.
48

atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi dalam metode ini, dialog murid dan

guru belum atau tidak terjadi.47 Ismail SM, seperti yang dikutip oleh Mujamil

Qamar menyatakan bahwa, ada beberapa kelebihan dari metode sorogan yang

secara didaktik- metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi

dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kiai, ustadz

mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam

penguasaan materi.48 Metode sorogan ini bisa dipersamakan dengan metode

tutorship atau mentorship.49

Dalam mengimplementasikan metode diatas belum digunakan sistem

penjenjangan pendidikan, atau yang populer dikenal dengan sistem klasikal/

madrasi. Kenaikan tingkat pendidikan santri ditandai dengan tammat dan

bergantinya kitab yang dipelajari. Apabila seorang santri telah menguasai suatu

kitab dan lulus imtihan (ujian) dari Kiainya, ia bisa melanjutkan mempelajari kitab

yang secara kualitas ada diatasnya.

Kemudian dalam perkembangannya, pesantren telah mengembangkan

beberapa metode pendidikan. Menurut Husein Muhammad, selain metode

wetonan/bandongan, dan metode sorogan, diterapkan juga metode diskusi

(munazharah), metode evaluasi, dan metode hafalan.50

1) Metode Diskusi

Diskusi yang populer di kalangan pesantren dengan istilah musyawarah/

munadzharahyaitu metode pembelajaran dimana sekelompok santri tertentu

47
Said Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan, hal. 281.
48
Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, hal.146
49
Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pesantren, hlm. 20.
50
Said Aqiel Siradj dkk.,Pesantren Masa Depan, hlm.280.
49

membahas suatu permasalahan, baik yang diberikan kiai maupun masalah

waqiiyyah (yang benar-benar terjadi di masyarakat). Diskusi ini dipimpin oleh

seorang santri dengan pengamatan dari pengasuh/kiai yang mengoreksi hasil

diskusi itu.51 Metode diskusi bertujuan untuk merangsang pemikiran serta

berbagai jenis pandangan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui

metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis,

dan logis, dan akan lebih memicu para santri untuk menelaah atas kitab-kitab

yang lain. Keberhasilan yang dicapai akan ditentukan oleh tiga unsur, yaitu

pemahaman, kepercayaan diri sendiri dan rasa saling menghormati.52

2) Metode Evaluasi

Metode evaluasi yaitu penilaian atas tugas, kewajiban, dan pekerjaan.

Cara ini dilakukan setelah kajian kitab selesai dibacakan atau disampaikan. Di

masa lalu cara ini disebut imtihan, yakni suatu pengujian santri melalui

munaqasyah oleh para guru atau kiai-ulama di hadapan forum terbuka. Selesai

munaqasyah akan ditentukanlah kelulusan.53

3) Metode Muhafadzhoh/ Hafalan

Hafalan merupakan metode unggulan dan sekaligus menjadi ciri khas

yang melekat pada pesantren sejak dahulu hingga sekarang. Metode hafalan

masih tetap dipertahankan sepanjang masih berkaitan dan diperlukan bagi

argumen-argumen naqly dan kaidah-kaidah. Dan metode ini biasanya diberikan

51
Abdurrahman Saleh,Pedoman Pembinan Pondok Pesantren, hal.80
52
Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar, (Surabaya:Citra Media, 1996), hlm.89.
53
Said Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan, hlm.284.
50

kepada anak-anak yang berada pada usia sekolah tingkat dasar atau tingkat

menengah.

Disamping itu, ada beberapa metode lain dalam proses pendidikan pondok

pesantren, yaitu: metode muhawarah, riset/ penelitian, peragaan,dan wisata

ilmiyah,54 metode amtsilati, metode 33, dan lain-lain.

d. Pembaruan Pembelajaran di Pesantren

Dalam perkembangan terakhir, pendidikan pesantren sudah memperli-

hatkan pola-pola baru sebagai akibat dari persentuhan dengan pola pendidikan

modern. Pola-pola ini menggambarkan tingkat optimalisasi pemanfaatan fungsi-

fungsi, khususnya oleh lembaga pendidikan pesantren dan madrasah.55

Dengan dilatarbelakangi oleh dinamika sosial, politik, dan kultural tertentu,

hubungan pesantren dan madrasah itu diwujudkan dalam berbagai model

pembelajaran yang bervariasi.

Pertama, model pesantren yang mampu menjaga prinsip al-muhafadzhotu

ala al-qodimi as-sholih wa al-akhdzu bi al-jaddidi al-ashlah (menjaga nilai-nilai

lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Tanpa harus

kehilangan identitas dan karakternya yang khas, model pesantren ini terbukti

mampu ber-asimilasi dengan sistem pendidikan modern dengan apik. Misalnya

Tebuireng, Jawa Timur. Pesantren tersebut mampu mengembangkan sistem

54
Komisi D Musyawarah/ Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren,
(Jakarta, 1978), dalam Pembaharuan Sistim Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PT. Cemara Indah,
1973), hlm. 17.
55
Machsun Muchtar, Transformasi Pendidikan Islam, dalam Pesantren Masa Depan:
Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 198.
51

pendidikan madrasah dan sekolah, mulai tingkat dasar sampai dengan perguruan

tinggi.

Kedua, merujuk pada pola yang dikembangkan di beberapa pesantren,

seperti pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Model pesantren ini

masih tetap mempertahankan tradisi salaf (tradisional)-nya dengan utuh. Namun

kaitannya dengan madrasah, ia mengadopsinya hanya untuk kepentingan

instrumental (sistem pelengkap) saja. Muatan madrasah disana lebih didominasi

oleh fan-fan ilmu ala pesantren yang diintensifkan melalui pendekatan madrasi.

Ketiga, diwakili oleh pesantren modern Darussalam Gontor, Ponorogo,

Jawa Timur. Baik pesantren (dalam pengertian tradisional) maupun madrasah

(dalam pengertian formal) hanya diambil pada tingkat instrumental. Muatan

pendidikannya dikembangkan sendiri sejalan dengan pemikiran para pendirinya

dalam mengantisipasi modernisasi, yakni dengan menekankan penguasaan bahasa

Arab dan bahasa Inggris. Sistem pondok (asrama), otoritas kyai dan beberapa nilai

kepesantrenan masih sangat tampak, sedangkan muatan tradisional (kitab kuning)

dan metode klasik (sorogan dan bandongan) tidak dipergunakan lagi. Sistem

madrasah yang dikembangkan disana tidak menggunakan pola dan kurikulum

formal. Namun materi-materi yang diajarkan sesuai dan bahkan sederajat dengan

madrasah formal pada umumnya.

Keempat, merujuk pada pesantren Darunnajah di Jakarta atau pesantren as-

Salam Surakarta. Kerangka yang dikembangkannya berwujud pesantren dengan

menyediakan komplek-komplek pemondokan yang memadai. Sedangkan muatan

pendidikannya bertolak dari kurikulum pendidikan sekolah formal. Dengan sistem

pesantren, proses pendidikannya diselenggarakan penuh selama 24 jam dengan


52

beberapa tambahan dalam bidang keagamaan dan bahasa, tetapi intensifikasi

materinya merujuk pada pelajaran-pelajaran madrasah formal.

Kelima, tampaknya merupakan percobaan mutakhir yang dikembangkan

oleh lembaga-lembaga pendidikan elit. Wujudnya memang sekolah, akan tetapi

diformat dalam bentuk pesantren (boarding school) atau sekolah ber-asrama.

Dengan sendirinya, kurikulum pendidikannya pun mengacu pada program formal,

karena memang mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia formal yang

lebih tinggi. Kegiatan-kegiatan ekstra dirancang untuk membina kepribadian

kemampuan bahasa dan penguasaan materi yang lebih mendalam.56

56
Machsun Muchtar, Transformasi Pendidikan Islam, dalam Pesantren Masa Depan:
Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, hlm. 199-200.
53

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian adalah metode

deskriptif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran

atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa ada perlakuan terhadap

obyek yang diteliti.57

Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kualitatif, artinya prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.58 Penulis memakai pendekatan

ini karena penelitian ini bersifat naturalistik, artinya penelitian ini terjadi secara

alami, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan

kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami.59

Adapun jenis dan pelaksanaannya menggunakan tekhnik studi kasus.

Penelitian kasus atau teknik studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan

secara intensif, terinci, dan mendetail terhadap suatu organisasi, lembaga atau

gejala tertentu. Karena sifat yang mendalam dan mendetail tersebut, studi kasus

umumnya menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan

dan analisa data kasus dalam satu jangka waktu.

57
Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM,
2003), hlm. 53.
58
Lexy Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001), hlm. 3.
59
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm.13.

53
54

B. Kehadiran Peneliti

Sesuai dengan jenis penelitian, yaitu penelitian deskriptif, maka kehadiran

peneliti di tempat penelitian sangat diperlukan sebagai instrumen utama. Dalam hal

ini peneliti bertindak sebagai perencana, pemberi tindakan, pengumpul data,

penganalisis data, dan sebagai pelapor hasil penelitian. Peneliti di lokasi juga

sebagai pengamat penuh. Di samping itu kehadiran peneliti diketahui statusnya

sebagai peneliti oleh pengasuh dan pengajar Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di pondok pesantren Lirboyo Kediri, dengan

menitikberatkan pada pola pembaharuan sistem pendidikan salaf di Madrasah

Hidayatul Mubtadiin Lirboyo tingkat Tsanawiyah. Pemilihan ini didasarkan atas:

1. Peneliti sudah mengetahui situasi pondok pesantren, karena peneliti termasuk

santri pondok pesantren Lirboyo.

2. Nama besar pondok pesantren Lirboyo di jajaran pondok pesantren salaf yang

masih eksis mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah dengan metode

pengajaran ala pondok pesantren yang khas di tengah perkembangan ilmu

pengetahuan dan metode pengajaran yang begitu pesat.

3. Urgensi dan efektifitas sistem pendidikan model klasikal yang diterapkan di

Madrasah Hidayatul Mubtadiien dalam proses kegiatan belajar mengajar

sebagai salah satu ujung tombak pendidikan salaf ala pesantren Lirboyo.

4. Belum ada peneliti yang spesifik mengkaji bidang penelitian pembaruan sistem

pendidikan salaf di pondok pesantren dengan utuh


55

D. Sumber Data

Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa

sesuatu hal yang diketahui atau yang dianggap atau anggapan. Atau suatu fakta

yang digambarkan lewat angka, simbol, kode, dan lain-lain.60 Data penelitian

dikumpulkan baik lewat instrumen pengumpulan data, observasi maupun lewat data

dokumentasi.

Sumber data secara garis besar terbagi ke dalam dua bagian, yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber

pertama melalui prosedur dan tekhnik pengambilan data yang dapat berupa

interview, observasi, maupun penggunaan instrumen pengukuran yang khusus

dirancang sesuai dengan tujuannya. Sedangkan data sekunder adalah data yang

diperoleh dari sumber tidak langsung yang biasanya berupa data dokumentasi dan

arsip-arsip resmi.61

Ketepatan dan kecermatan informasi mengenai subjek dan variabel

penelitian tergantung pada strategi dan alat pengambilan data yang dipergunakan.

Hal ini pada akhirnya akan ikut menentukan ketepatan hasil penelitian. Menurut

Lofland, sebagaimana yang dikutip oleh Moeleong menyatakan bahwa sumber

data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya

adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.62 Jadi, kata-kata dan tindakan

orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama dan

dokumen atau sumber tertulis lainnya merupakan data tambahan.

60
Iqbal hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002),
hlm.82.
61
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hlm.36.
62
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 157.
56

Menurut Bodan dan Biklen, dalam penelitian naturalistik yang dijadikan

sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi. Sampel dapat berupa

hal, peristiwa, manusia, situasi yang dapat diobservasi. Tetapi seringnya sampel

berupa responden yang dapat diwawancarai. Sampel dipilih secara purposive,

artinya bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu.63

Sampling purposive dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih

betul oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu.64

Penelitian ini berusaha agar dalam sampel itu terdapat wakil-wakil dari segala

lapisan populasi. Dengan demikian diusahakan agar sampel itu memiliki ciri-ciri

yang esensial dari populasi, sehingga dapat dianggap cukup representatif.

Sesuai permasalahan, yang dapat dikategorikan sebagai sumber data adalah

kyai sebagai pengasuh pondok pesantren Lirboyo, kepala Madrasah Hidayatul

Mubtadiien, dewan Mustahiq (asatidz) yang mengajar, dewan pengurus pondok

pesantren Lirboyo, dewan pengurus Madrasah Hidayatul Mubtadiien, dan para

santri.

Subjek pertama yang dipilih adalah informan yang oleh karena syarat-syarat

tertentu dipandang sangat mengetahui aspek-aspek yang akan diteliti. Dengan

pertimbangan ini, informan yang pertama yang dipilih adalah kyai yang notabene

sebagai pengasuh PP. Lirboyo, kepala Madrasah Hidayatul Mubtadiien, dewan

Mustahiq (asatidz) yang mengajar, dan dewan pengurus Madrasah Hidayatul

Mubtadiien. Mereka adalah pihak yang dianggap paling tahu tentang pembaharuan

63
Nasution S, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1988), hlm.
32.
64
Nasution S, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm.
98.
57

sistem pendidikan salaf di pesantren Lirboyo. Informan selanjutnya diperoleh

dengan teknik snowball sampling, yaitu dimulai dengan kelompok kecil

kemudian diminta untuk menunjuk kawan masing-masing. Selanjutnya kawan-

kawan itu diminta pula untuk menunjuk kawan masing-masing pula, dan begitu

seterusnya.65

Penentuan unit sampel (informan) dianggap telah mencukupi apabila telah

sampai pada taraf redundancy (ketuntasan atau kejenuhan), artinya apabila ada

penambahan informan baru maka akan tidak mampu memperkaya informasi yang

diperlukan.66

E. Metode Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Metode Dokumentasi

Yang dimaksud dengan metode dokumentasi adalah mencari data mengenai

hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,

prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.67 Metode ini dipergunakan untuk

memperoleh data yang bersifat dokumenter, seperti tentang: sejarah berdiri, jumlah

staf pengajar, sarana dan prasarana, dan keadaan siswa, dan sebagainya.

2. Metode Interview.

Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

untuk memperoleh informasi dari terwawancara.68 Metode ini penulis gunakan

65
Nasution S, Metode Research, hlm. 99.
66
Nasution S, Metode Research, hlm. 32.
67
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, hlm.236.
68
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, hlm.133.
58

untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada hubungannya dengan jenis

data yang penulis perlukan.

3. Pengamatan Berperan serta

Pengamatan berperanserta menceritakan kepada peneliti apa yang dilakukan

oleh orang-orang dalam situasi di saat peneliti memperoleh kesempatan

mengadakan pengamatan. Bogdan dalam Moleong (2002:117) mendefinisikan

bahwasanya pengamatan berperanserta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi

sosial, yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek dalam

lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan

secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan. Pengamatan dapat diklasifikasikan

atas pengamatan melalui cara berperanserta dan yang tidak berperanserta. Pada

pengamatan tanpa peranserta pengamat hanya melakukan satu fungsi, yaitu

mengadakan pengamatan. Pengamatan berperanserta melakukan dua peranan

sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota resmi dari

kelompok yang diamatinya.69

Dalam hal ini peneliti adalah pengamat sebagai pemeranserta, yang mana

peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum bahkan mungkin ia atau

mereka disponsori oleh para subjek. Karena itu maka segala macam informasi

termasuk rahasia sekalipun dapat dengan mudah diperoleh oleh peneliti.

F. Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

69
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm.126.
59

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.70 Pengelolaan

data atau analisis data merupakan tahap yang penting dan menentukan. Karena pada

tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil

menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang diinginkan dalam penelitian.

Dalam menganalisis data ini, penulis menggunakan teknik analisis deskriptif

kualitatif, dimana teknik ini penulis gunakan untuk menggambarkan, menuturkan,

melukiskan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang telah penulis

peroleh dari hasil metode pengumpulan data.

Menurut Seiddel proses analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:

1. Mencatat sesuatu yang dihasilkan dari catatan lapangan, kemudian diberi kode

agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat

ikhtisar, dan membuat indeksnya.

3. Berpikir dengan jalan membuat kategori agar data itu mempunyai makna,

mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-

temuan umum.71

Adapun langkah yang digunakan peneliti dalam menganalisa data yang telah

diperoleh dari berbagai sumber tidak jauh beda dengan langkah- langkah analisa

data di atas, yaitu:

1. Mencatat dan menelaah seluruh hasil data yang diperoleh dari berbagai sumber,

yaitu dari wawancara, observasi dan dokumentasi.

70
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm.103.
71
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 248.
60

2. Mengumpulkan, memilah-milah, mensistesiskan, membuat ikhtisar dan

mengklasifikasikan data sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk menjawab

rumusan masalah.

3. Dari data yang telah dikategorikan tersebut, kemudian peneliti berpikir untuk

mencari makna, hubungan-hubungan, dan membuat temuan- temuan umum

terkait dengan rumusan masalah.

G. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam menganalisis data, peneliti juga harus menguji keabsahan data agar

memperoleh data yang valid. Untuk memperoleh data yang valid, maka dalam

penelitian ini digunakan lima teknik pengecekan dari sembilan teknik yang

dikemukakan oleh Moleong. Kelima teknik tersebut adalah:

1. Observasi yang dilakukan secara terus menerus (persistent observation),

Langkah ini dilakukan dengan mengadakan observasi secara terus- menerus

terhadap subyek yang diteliti, guna memahami gejala yang lebih mendalam,

sehingga dapat mengetahui aspek-aspek yang penting sesuai dengan fokus

penelitian.

2. Trianggulasi (trianggulation) sumber data, metode, dan penelitian lain,

Yang dimaksud trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data

yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan

atau sebagai pembanding terhadap data itu, tekniknya dengan pemeriksaan sumber

lainnya.72 Hal ini dilakukan untuk dapat mengetes kebenaran suatu data sekaligus

72
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 178.
61

memperhatikan secara seksama hubungan antara berbagai data sehingga kesalahan

dalam analisis data dapat dicegah.

3. Pengecekan anggota (member check),

Langkah ini dilakukan dengan melibatkan informan untuk mereview data,

untuk mengkonfirmasikan antara data hasil interpretasi peneliti dengan pandangan

subyek yang diteliti. Dalam member check ini tidak diberlakukan kepada semua

informan, melainkan hanya kepada mereka yang dianggap mewakili.

4. Diskusi teman sejawat (reviewing),

Langkah ini dilakukan dengan mendiskusikan data yang telah terkumpul

dengan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang relevan, seperti

pada dosen pembimbing, pakar penelitian atau pihak yang dianggap kompeten

dalam konteks penelitian, termasuk juga teman sejawat.

5. Pengecekan mengenai ketercukupan refrensi (referential adequacy check).73

Untuk memudahkan upaya pemeriksaan kesesuaian antara kesimpulan

penelitian dengan data yang diperoleh dari berbagai alat, dilakukan pencatatan dan

penyimpanan data dan informasi terhimpun, serta dilakukan pencatatan dan

penyimpanan terhadap metode yang digunakan untuk menghimpun dan

menganalisis data selama penelitian.

H. Tahapan Penelitian

Menurut Faisal, penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan proses

yang berbentuk siklus, yang mana proses siklus terdapat tiga tahapan yang

berlangsung ulak-alik, yaitu:

73
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm.175-181.
62

1. Orientai atau eksplorasi yang meluas dan menyeluruh.

2. Eksplorasi secara terfokus atau terseleksi guna mencapai tingkat kedalaman

tertentu.

3. Mengecek atau mengkonfirmasikan hasil penelitian dengan member check.

Pada tahap orientasi, peneliti mengumpulkan dan menelaah berbagai

referensi baik buku, majalah, jurnal dan situs internet yang berkaitan dengan fokus

masalah. Hal ini berupa konsep dasar pembaruan kurikulum dan pembelajaran

dalam sistem pendidikan salaf Madrasah Hidayatul Mubtadiien Lirboyo.

Peninjauan atau survei awal dilakukan peneliti pada lembaga untuk melihat situasi

dan riil lokasi, serta bertemu langsung dengan Mudier MHM untuk mendapatkan

informasi tentang pembaruan kurikulum dan pembelajaran MHM Lirboyo.

Tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi secara langsung dan

berusaha memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang fenomena yang

menjadi objek penelitian dengan berbagai realitas yang berpengaruh dan

dipengaruhi oleh fenomena di lapangan. Peneliti mengamati situasi dan subjek

penelitian baik dalam maupun luar kelas penyelenggaraan KBM di lembaga.

Berikut dilakukan wawancara secara formal maupun informal dan berstruktur

kepada informan yang berkompeten dengan fokus penelitian. Untuk melengkapi

informasi yang dibutuhkan, peneliti melakukan studi dokumentasi terhadap data-

data kurikulum sebagai fokus penelitian, sehingga peneliti memperoleh berbagai

hal yang berkaitan dengan pembaruan kurikulum dan pembelajaran di MTs. HM

Lirboyo.

Pada tahap akhir, peneliti mengumpulkan hasil observasi, wawancara dan

dokumentasi yang sebelumnya dianalisis dan telah dituangkan dalam bentuk


63

laporan kepada informan agar dikoreksi kesesuaian dengan informasi yang telah

mereka berikan. Tindak lanjut berikutnya, peneliti melakukan serangkaian reduksi

terhadap data-data yang tidak sesuai dengan informan. Adanya kroscek penting

dalam penelitian, karena dengan timbulnya aspek-aspek baru dari informan

kadangkala peneliti menggali informasi kembali dengan wawancara, observasi atau

studi dokumentasi.
64

BAB IV

PAPARAN DATA

Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan data-data hasil penelitian yang

peneliti kumpulkan dari berbagai sumber, baik dari sumber manusi (human

resources) maupun sumber non manusia (human non-resources). Adapun teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi, wawancara dan

observasi. Penggunaan teknik tersebut disesuaikan dengan jenis data yang

dibutuhkan.

Selama proses pengumpulan data, peneliti telah menetapkan fokus

penelitian, menyusun temuan-temuan sementara, menyederhanakan data dan

menetapkan sasaran-sasaran pengumpulan data (informan). Kemudian peneliti

melakukan analisis sejak pengumpulan data hingga sampai dengan penarikan

kesimpulan dan verifikasi.

Dalam pengumpulan data penelitian ini, peneliti menetapkan informan yang

representatif, yaitu sebagai subyek penelitian atu sumber data yang bisa

memberikan informasi valid. Pemilihan informan ini, pertimbangannya adalah

sesuai dengan tujuan atau diperolehnya data yang diharapkan (purposive). Dengan

demikian, teknik yang digunakan adalah purposive sampling, yakni teknik

pengambilan atau penentuan sampel sumber data dengan cara mengambil subjek

bukan didasarkan atas strata, random atau daerah, tetapi didasarkan atas adanya

tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, subyek yang ditetapkan adalah yang paling

mengetahui dan mengerti tentang informasi yang diperlukan, bersifat terbuka dan

mau memahami kepentingan penelitian. Oleh karena itu, informan dan subyek
65

penelitian yang peneliti anggap dapat memenuhi kriteria tersebut adalah sebagai

berikut: Bapak M. Masruhan selaku Mudier Tiga, Bapak Adib al-Asna selaku

Sekretaris Umum MHM, Bapak Irfan Zidni selaku Mustahiq (pengajar) tingkat

Tsanawiyah dan pengurus Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadien

(M3HM) bagian Rois tingkat Tsanawiyah, Bapak A. Mutohar selaku seksi

Keamanan Madrasah dan pengurus M3HM bagian Rois tingkat Ibtidaiyah.

Sedangkan dari elemen santri (siswa), peneliti memilih santri yang menjabat

sebagai ketua rois. Peneliti menganggap santri tersebut dapat memberikan

informasi yang dibutuhkan, karena santri tersebut juga berperan langsung dalam

suksesi pelaksanaan musyawarah yang notabene merupakan salah satu aspek

pembaruan dalam pembelajaran di MHM.

Laporan ini akan dipaparkan sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan

oleh peneliti. Oleh karena itu, dalam penyajiannya peneliti melaporkan hasil

penelitian ini sesuai dengan urutan masalah. Dalam fokus penelitian ini, yang

pertama adalah mendeskripsikan pembaruanranah kurikulum di MTs HM Lirboyo,

kemudian dilanjutkan dengan fokus permasalahan yang kedua, yaitu mengenai

pembaruanranah pembelajaran di MTs HM Lirboyo.

Perlu dipahami, bahwa berbagai data yang peneliti sajikan di sini tidaklah

selalu diutarakan sebagai bentuk pembaruan. Namun selayaknya dan sejatinya,

semua proses yang terjadi di MTs. HM ini merupakan pembaruan/ inovasi

pembelajaran yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman untuk menyempur-

nakan pembelajaran. Terlebih mengingat pada periode awalnya pesantren Lirboyo

hanya mengenal metode sorogan dan bandongan.


66

A. Setting Lokasi

1. Gambaran Umum Keadaan Pesantren Lirboyo

Secara geografis, Pondok Pesantren Lirboyo berada di bilangan jalan KH.

Abdul Karim desa Lirboyo,kecamatan Mojoroto, Kota Kediri Jawa Timur. Pondok

Pesantren Lirboyo memiliki letak geografis yang relatif strategis, karena letaknya

berada di timur jalan raya yang dilalui bis trayek Surabaya-

Tulungagung/Trenggalek, Kediri-Malang dan Kediri-Nganjuk. Pesantren ini

terletak sekitar 3 km dari pusat Kota Kediri ke arah barat.

Santri-santri Pondok Pesantren Lirboyo berasal dari hampir seluruh wilayah

Nusantara. Hasil rekapitulasi santri mengatakan, bahwa jumlah santri pesantren

Lirboyo di awal tahun ajaran 1435-1436 H. ini berjumlah ____ santri.Pesantren ini

menempati lahan sekitar 20 ha. Separoh lebih dari areal seluas itu dimanfaatkan

untuk bangunan-bangunan pesantren.

Pondok Pesantren Lirboyo terdiri atas pondok Induk yang bernama pondok

Hidayatul Mubtadiien dan beberapa pondok unit, yaitu: Pondok HM al-

Mahrusiyah, Pondok HM, Pondok HY, Pondok Pesantren Putri Tahfidzul al-Quran

(P3TQ), Pondok Putri Hidayatul Mubtadiat (P3HM), Pondok HM Antara, Pondok

ar-Risalah, Pondok Putri HMQ, Pondok Darus Salam (DS), Pondok al-Baqoroh,

Pondok Murottilil Quran dan beberapa pondok cabang, yaitu pondok cabang

Cakung Blitar, cabang Turen Malang, dan cabang Pagung Semen Kediri.

2. Sejarah Berdiri Pesantren Lirboyo

Pondok pesantren Lirboyo didirikan oleh hadlrotus syaikh KH. Abdul

Karim yang berasal dari kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada tahun 1910. KH.
67

Abdul Karim merupakan salah satu santri kesayangan syaikhul masyayikh KH.

Kholil Bangkalan, Madura.

Asal mula berdirinya pesantren Lirboyo dilatarbelakangi keinginan Lurah

desa Lirboyo agar Kyai Sholeh Banjarmelati, mertua mbah Karim (begitu sapaan

KH. Abdul Karim) berkenan mengutus seorang dai agar syiar Islam di daerah itu

lebih meluas dan desa Lirboyo menjadi aman serta tentram, karena pada waktu itu

desa Lirboyo dikenal rawan aksi kejahatan dan angker. Maka diutuslah mbah Karim

untuk menetap di desa Lirboyo.

Di Lirboyo, mbah Karim mendirikan surau kecil nan sederhana untuk ber-

taqorrub kepada sang ilahi. Berkat kealiman, keikhlasan mengajar mbah Karim

serta laku tirakat yang sudah tenar sejak nyantri di Bangkalan, satu per-satu pencari

ilmu datang ke suraunya dengan tujuan untuk memperdalam ilmu agama. Begitulah

kehendak Allah SWT., informasi keberadaan surau kecil yang menjadi cikal-bakal

berdirinya pondok pesantren Lirboyo semakin tersiar luas dari telinga ke telinga.

Sampai akhirnya, sekarang dan semoga sampai seterusnya- pondok pesantren

Lirboyo menjadi idola bagi santri yang hendak mendalami ilmu agama.

3. Sejarah Berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadiien Lirboyo

Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadiien (MHM) tak bisa terlepas dari

sejarah panjang proses pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren Lirboyo.

Sebagaimana di pondok pesantren yang lain, pada masa awal berdirinya pondok

pesantren Lirboyo hanya menggunakan metode bandongan dan sorogan dalam

proses pembelajaran.
68

Seiring dengan bertambahnya santri yang berdatangan untuk menimba ilmu,

maka didirikanlah sebuah masjid guna menunjang proses pembelajaran santri pada

tahun 1913. Masjid ini berdiri dengan kontruksi yang sangat sederhana. Dan pada

tahun 1928 (bertepatan dengan 15 Rabiul Awwal 1347 H) masjid ini telah selesai

direnovasi dengan kontruksi yang lebih permanen dan megah dengan meniru gaya

arsitek masjid pada masa kejayaan daulat Fatimiyyah yang pada umumnya

menggunakan pintu sejumlah 9 (sembilan). Maka dari itu masjid Lirboyo ini

populer disebut sebagai masjid lawang songo.

Mengingat metode bandongan dan sorogan yang diterapkan kurang

maksimal karena jumlah santri yang terus meningkat, dan kompleksitas materi yang

harus diajarkan, serta masjid yang digunakan sebagai basis tempat pembelajaran

santri ini tidak muat lagi daya tampungnya, maka menjadi sebuah keharusan bagi

pondok pesantren Lirboyo untuk mencari solusi jalan keluar dari berbagai masalah

tersebut.

Atas inspirasi Jamhari (santri senior yang sepulangnya dari Makkah berganti

nama KH. Abdul Wahab), bersama Syamsi dari Gurah Kediri, pada tahun 1925

dirintislah sistem pendidikan klasikal. Dan atas restu KH. Abdul Karim dengan

dawuh, Santri kang durung biso moco lan nulis kudu sekolah (Santri yang belum

bisa membaca dan menulis harus sekolah), maka didirikanlah Madrasah Hidayatul

Mubtadi-ien (MHM). Metode klasikal ini hingga sekarang masih dipertahankan

bahkan masih terus di-upgrade dengan metode baru yang lebih efektif dan inovatif

sesuai perkembangan zaman.

Metode klasikal dengan implementasi riil-nya berupa madrasah bagi

sebagian besar pondok pesantren pada masa itu merupakan hal yang benar-benar
69

baru, begitu juga bagi pondok pesantren Lirboyo. Perjalanan MHM-pun yang

dimulai pada tahun 1925 sampai masa sebelum kemerdekaan terus mengalami

pasang surut, seperti ketika harus vakum selama dua tahun (1931-1932).Berkat

usaha KH. Abdulloh Jauhari (ayahanda Gus Makshum) bersama Kiai Kholil (Ketua

PP. Lirboyo saat itu) dari Melikan, Kediri, yang mengajak Kiai Faqih Asyari

(alumni PP. Tebuireng yang tahu banyak tentang sistem pendidikan klasikal) dari

Sumbersari, Pare, Kediri, maka MHM diaktifkan kembali pada bulan Muharram

1353 H. bertepatan tahun 1933 M.

Semenjak itu, MHM menggunakan sistem klasikal (sekolah) dengan dua

tingkatan, tingkatan Sifir (kelas persiapan) selama 3 tahun dan tingkatan Ibtdaiyah

selama 5 tahun. Waktu belajarnya pada malam hari, mulai puku 19.00-23.00 Wis74

dengan materi pelajaran berupa ilmu nahwu sharaf, balaghah, dan materi

pendukung lainnya seperti tulis menulis, ilmu tajwid, dan al-Quran.

Perkembangan MHM sejak diaktifkan kembali sangat signifikan. Grafik

siswa terus meningkat meski tidak terlalu pesat. Keadaan ini sangat dimaklumi

karena pada masa penjajahan Belanda semua pendidikan diawasi oleh penjajah

secara ketat, apalagi pendidikan di pondok pesantren. Terlebih setelah penjajahan

Belanda digantikan oleh penjajahan Jepang, keadaan ekonomi Indonesia semakin

tak menentu. Hal ini berdampak terhadap perkembangan MHM. Waktu sekolah

yang tadinya malam diganti menjadi siang hari, karena waktu itu bahan bakar untuk

penerangan sangat sulit didapatkan, dan kalaupun ada harganya teramat mahal.

74
Wis adalah singkatan dari Waktu Istiwa, yaitu sebuah patokan waktu yang didasarkan
kepada fenomena astronomis saat posisi matahari melintasi meridian langit. Patokan waktu Wis ini
sering digunakan sebagai patokan waktu yang utama di pondok pesantren, disamping patokan waktu
WIB sebagai perbandingan. (lihat: http://shansdoel.blogspot.com/2013/01/waktu-istiwa-dan-
urgensinya-terhadap.html)
70

Jumlah siswa yang pada masa penjajah Belanda mencapai 350 siswa, menjadi

hanya 150 saja pada masa penjajah Jepang. Setelah Jepang hengkang, kondisi itu

tetap berlangsung, bahkan pernah hanya 5 siswa yang bisa tamat belajar di MHM.

Pada tahun 1947 M. MHM merombak sistem pendidikannya. Untuk tingkat

Shifir diganti dengan tingkat Ibtidaiyah (4 tahun) dan tingkat Ibtidaiyah menjadi

tingkat Tsanawiyah (4 tahun). Di tahun ini pula timbul gagasan dari KH. Zamroji

(yang pada waktu itu menjadi guru kelas terakhir tingkat Tsanawiyah) untuk

mendirikan tingkatan Muallimin (setingkat Aliyah), KH. Abdul Karim pun

menyetujui gagasan tersebut. Sedangkan materi yang diajarkan pada tingkatan

Muallimin tersebut adalah Fathul Wahab, Uqudul Juman, Jamul Jawami, dan

lain-lain.

Dirasa belum sempurna, tahun 1949 M. KH. Abdul Lathif asal Kolak,

Ngadiluwih, Kediri, yang pada saat itu menjadi Pimpinan MHM mengusulkan agar

meteri yang diajarkan di kelas ditetapkan sebagai kurikulum yang baku dalam

pembelajaran di MHM. Akhirnya pada tahun 1950 M., saat MHM dinahkodai oleh

Ali bin Abu Bakar asal Bandar Kidul, Kediri, dan dibantu Yasin asal Ngronggot,

Nganjuk, diusulkan untuk tingkat Ibtidaiyah menjadi 5 tahun dan tingkat

Tsanawiyah menjadi 3 tahun serta materi pelajaran Tsanawiyah ditambah fan ilmu

Tafsir, Hadis, Falak, Arudl. Semua usulan itu disepakati dan diberlakukan di

MHM.

Sebagai respon terhadap pendidikan luar pondok pesantren, pada tahun

1977-1978 M. sidang Panitia Kecil MHM yang dipimpin oleh KH. Ilham Nadzir

yang dihadiri oleh pimpinan pondok pesantren Lirboyo menetapkan bahwa jenjang

tingkat Ibtidaiyah menjadi 6 tahun dan untuk tingkat Muallimin dirubah menjadi
71

tingkat Aliyah. Maka sejak itu, jenjang pendidikan Madrasah yang ada dibawah

naungan Ponpes Lirboyo adalah tingkat Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun),

Aliyah (3 tahun), dan Idadiyah/ Sekolah Persiapan (2 tahun).

Visi MHM Lirboyo adalah Beriman, Bertaqwa, Berakhlukul Karimah dan

Disiplin. Adapun misinya adalah mencetak muslim intelektual yang beriman,

bertaqwa dan berakhlakul karimah, serta menciptakan kader-kader ulama yang

mampu mentransformasikan ilmu agama dalam berbagai kondisi.

B. Pembaruan Sistem Pendidikan Salaf di MTs. HM

1. Pembaruan Kurikulum di MTs. HM

Sebelum memaparkan hasil penelitian pembaruan kurikulum, peneliti

terlebih dahulu akan memaparkan latar belakang pembaruan sistem pendidikan di

MHM Lirboyo. Sebagaimana telah diketahui, bahwa metode/ sistem yang

diterapkan di pondok pesantren Lirboyo pada awal berdirinya adalah metode

bandongan/ wethonan dan sorogan. Dari kedua metode ini, pesantren Lirboyo

mengembangkan pendidikan sistem klasikal dengan mendirikan MHM. Pendirian

MHM tersebut, seperti dijelaskan di atas, adalah karena semakin bertambahnya

santri dan kompleksitas materi yang diajarkan.

Dalam perkembangannya, MHM terus mengadakan pembaruan dan

pengembangan pendidikan, baik yang sifatnya kedalam maupun keluar. Hal ini

dilakukan, menurut Mudier Tiga MHM, Bapak M. Masruhan sebagai langkah

berkelanjutan dalam penyempurnaan sistem pendidikan dan antisipasi atas kendala

yang muncul belakangan.


72

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa ide

pengembangan kurikulum dan pembelajaran di MTs. HM Lirboyo didasarkan atas

dasar penegasan dan penguatan pelaksanaan pembelajaran.

Penerapan kurikulum di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiien

(MTs. HM) Lirboyo telah mengalami banyak penyempurnaan dari tahun ke tahun.

Perubahan kurikulum ajar yang dilakukan di MHM Lirboyo ini dilakukan sebagai

bentuk upaya pengembangan kurikulum yang memiliki kesesuaian atau relevansi,

baik relevansi yang bersifat ke dalam maupun relevansi ke luar.

Sebelumnya perlu diingat, bahwa istilah kurikulum di MHM Lirboyo sangat

erat kaitannya dengan kitab yang dijadikan pedoman ajar, keduanya diibaratkan

sebagai dua sisi mata uang. Kitab-kitab tersebut disamping digunakan sebagai buku

ajar, sekaligus juga berfungsi sebagai kurikulum pembelajaran. Maka tak jarang

ditemukan, santri-santri lebih akrab menyebut dengan nama kitab yang dipelajari,

bukannya fan (disiplin ilmu) atau topik permasalahan yang sedang dipelajarinya.75

Tercatat dalam buku HSPK bab Pengantar Sejarah MHM, bahwa kurikulum

yang ditetapkan pada tahun 1933 M. (bertepatan dengan bulan Muharrom 1353 H.)

meliputi ilmu tahid, tajwid, fiqh, nahwu, sharaf dan balaghah dengan

menggunakan standar kitab yang disesuaikan berdasarkan tiap-tiap tingkatan.

Pelajaran tertinggi pada masa itu adalah ilmu balaghah dengan standar kitab al-

Jauhar al-Maknun.76

Setelah melalui berbagai proses penyempurnaan, akhirnya pada tahun 1947

M. diberlakukan penggunaan kitab Fathul Wahhab (fiqih), Uqudul Juman

75
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, hlm. 113.
76
MHM, HSPK 2014-2015, (Kediri: MHM, 2014), hlm. x.
73

(Balaghah) dan Jamul Jawami (Ushul Fiqih). 77


Berlanjut pada tahun 1950 M.

ditambahkan lagi beberapa disiplin ilmu di MHM Lirboyo, yaitu Ilmu Falak dan

Ilmu Arudl.78 Tercatat pula bahwa terhitung mulai tahun 1983 pada tingkat Aliyah

diajarkan kitab al-Mahalli (fiqih), Jamul Jawami (ushul fiqih), al-Jamiu al-

Shoghir (hadits), dan Uqudul Juman (balaghah).79

Peneliti juga berusaha mengadakan studi dekomentasi terhadap buku-buku

HSPK mulai dari awal sampai akhir waktu penelitian ini dilakukan, yaitu buku

HSPK tahun ajaran 2014-2015. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami

pola pembaruan kurikulum di MHM Lirboyo. Namun sayang, buku HSPK yang

ditemukan hanya 17 (tujuh belas) buah, yaitu buku HSPK tahun ajaran 1995-1996,

1999, 2000, 2001, 2001-2002, 2002-2003, 2003-2004, 2005-2006, 2006-2007,

2007-2008, 2008-2009, 2009-2010, 2010-2011, 2011-2012, 2012-2013, 2013-

2014, dan 2014-2015. Walaupun masih jauh dari proporsional, setidaknya buku

HSPK yang masih ada tersebut cukup membantu untuk memahami pola

pengembangan kurikulum di MHM Lirboyo.

Sebelum mengetengahkan perubahan-perubahan kurikulum yang terjadi,

perlu kiranya peneliti memaparkan kurikululm tahun ajaran 1995-1996 untuk

dijadikan titik tolak dari adanya pembaruan kurikulum setelahnya. Adapun

kurikulum tahun ajaran 1995-1996 adalah sebagai berikut80:

77
MHM, HSPK 2014-2015, hlm xi.
78
MHM, HSPK 2014-2015, hlm xii.
79
M. Romadlon, Aura, (Kediri: Purna Siswa III Aliyah MHM Lirboyo, 2004), hlm. 115.
80
MHM, HSPK 1995-1996, (Kediri: MHM, 1995), hlm. 23.
74

TABEL 2
DAFTAR MATA PELAJARAN DAN KITAB AJAR
MTS HM TA. 1995-1996

Kelas I MTs. II MTs. III MTs.


Mata
Kitab Ajar
Pelajaran
Tafsir Jalalain Jalalain Jalalain
Hadits Bulughul Marom Riyadlus Sholihin Riyadlus Sholihin
Tauhid Al-Jawahirul Kifayatul Awwam Ummul Barohin
Kalamiyyah
Fiqih Fathul Muin Fathul Muin Fathul Muin
Nahwu Alfiyyah ibnu Malik Alfiyyah ibnu -0-
& Qowaidul Irob Malik
Ushul Al-Waroqot Tashilut Thuruqot -0-
Fiqih
Akhlaq Talimul Mutaallim -0- -0-
Ilmu -0- Al-Bayquniyyah -0-
Hadits
Mawarits -0- Uddatul Faridl -0-
Ilmu -0- Itmamud Diroyah -0-
Tafsir
Manthiq -0- -0- Sullamul Munawroq
Qowaid -0- -0- Faroidul Bahiyyah
Fiqhiyyah
Arudl -0- -0- Mandzhumah al-
Arudl wa al-Qowafy
Balaghoh -0- -0- Al-Jauhar al-Maknun

Adapun perubahan kurikulum yang terjadi dalam rentang waktu 19 tahun,

yaitu mulai tahun ajaran 1995-1996 sampai tahun ajaran 2014-2015 adalah sebagai

berikut81:

81
Disarikan dari HSPK tahun 1995 sampai 2014.
75

TABEL 3
PERUBAHAN KURIKULUM DI MTs. HM THN. 1995-2014
HSPK
No. (tahun Aspek Perubahan Latar Belakang
ajaran)
1 2012-2013 Penambahan mapel. di kelas I- Perlunya santri memahami
III Tsanawiyah: Manaqib siroh (perjalanan hidup)
Aimmah al-Arbaah (Tarikh) ke-empat imam madzhab
sebagai suri teladan

Melihat pembaruan kurikulum diatas, nampaknya MTs. HM Lirboyo dalam

kurun waktu 19 (sembilan belas) tahun tidak banyak melakukan pembaruan

kurikulum. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kurikulum yang telah ada

sudah dianggap sempurna dan relevan, sehingga belum diperlukan pembaruan

kurikulum yang berarti.

Bahkan dalam menyikapi usulan perubahan kurikulum/ buku ajar, pimpinan

MHM tidak serta-merta membahas perubahan yang diusulkan pada forum HSPK

terdekat. Langkah yang dilakukan adalah menelaah kembali materi pelajaran yang

diusulkan untuk dirubah itu sembari memantau pelaksanaan kurikulum tersebut

selama satu tahun. Baru setelah itu, dilakukan pembahasan perlu tidaknya

perubahan kurikulum di forum HSPK, dengan tetap berpedoman pada hasil

investigasi selama satu tahun.82

Dalam menyusun kurikulum, pimpinan MTs. HM sangat memperhatikan

kesinambungan dan kemampuan daya tangkap siswa. Dalam hal ini, susunan

kurikulum didesain mendahulukan mata pelajaran praktis (terapan) daripada ilmu

metodologis. Seperti halnya ilmu fiqih yang merupakan ilmu praktis telah diajarkan

82
Wawancara Bapak Moh. Adib Al Asna, 6 Oktober 2014 di Kantor MHM.
76

mulai jenjang paling rendah sampai jenjang teratas, sementara ilmu ushul fiqih dan

qowaid al-fiqhiyyah baru diajarkan di kelas I Tsanawiyah.

Hal ini dilakukan agar siswa mempunyai landasan pijak berupa produk

hukum jadi yang dipelajari di ilmu fiqih sebelum siswa mendalami ushul fiqih yang

notabene merupakan ilmu metode istinbath al-hukmi (pengambilan hukum). Ini

penting dilakukan agar siswa tidak secara ngawur mempraktekkan teori istinbath

al-hukmi dalam ilmu ushul fiqih yang diterimanya, karena siswa telah mempunyai

landasan pijak produk hukum yang ia pelajari sebelumnya.

Disamping itu, desain kurikulum ini akan mempermudah proses

pembelajaran ilmu metodologis, karena dalam pengajaranushul fiqih siswa dapat

mengimajinasikan dinamika ijtihad para imam mujtahid yang pada akhirnya

menghasilkan produk hukum fiqih.

Berikut adalah beberapa daftar ilmu praktis dan metodologis yang diajarkan

di MTs. HM Lirboyo:

TABEL 4
PERBANDINGAN ILMU PRAKTIS DAN METODOLOGIS
No. Ilmu Praktis Ilmu Metodologis Mulai Diajarkan
1 Fiqih (Fathul Ushul Fiqih (al- Fiqih mulai kelas I Ibt.
Muin) Waroqot & Tashil at- Ushul Fiqih mulai kelas I
Turuqot)&Qowaid al- Ts. Qowaid al-Fiqhiyah
Fiqhiyah (al-Faroid al- mulai kelas III Ts.
Bahiyah)
2 Hadits (Bulughul Ilmu Hadits (al- Hadits mulai kelas V Ibt.
Marom & Riyadlus Bayquniyah) Ilmu Hadits mulai II Ts.
Sholihin)
3 Tafsir (Tafsir Ilmu Tafsir (Itmam ad- Tafsir mulai I Ts. Ilmu
Jalalain) Diroyah) Tafsir mulai II Ts.

Disamping pertimbangan ilmu praktis-metodologis, penyusunan kurikulum

juga dilakukan dengan prinsip berkembang. Dalam hal ini mata pelajaran didesain

berkembang dan berjenjang dari satu tingkat kelas ke tingkatan kelas selanjutnya,
77

sesuai dengan tingkat kemampuan daya tangkap siswa. Sebagai contoh adalah

pengembangan kurikulum dalam ragam pelajaran tata bahasa Arab,yang pada kelas

I dan II Tsanawiyah hanya diajarkan pelajaran nahwu dan shorof (gramatika bahasa

Arab), kemudia ditambahkan mata pelajaran balaghah dan arudl (sastra bahasa

Arab), serta mantiq (logika bahasa Arab) di kelas III Tsanawiyah.

Dalam upaya strategi optimalisasi kurikulum, penyusunan jadwal KBM di

MTs HM juga memegang peranan yang besar. Untuk menciptakan efektifitas dan

kondusifitas pembelajaran, pimpinan MTs. HM Lirboyo tampak teliti dan penuh

pertimbangan menyusun jadwal pelajaran. Dalam hal ini, jadwal KBM di MTs. HM

Lirboyo didesain sedemikian rupa agar pelaksanaan pembelajaran berjalan optimal

dan kondusif.

Sebagai contoh adalah penyusunan mata pelajaran pokok yang diampu oleh

Mustahiq selalu ditempatkan di hisshoh ula (tatap muka pertama). Hal ini dilakukan

agar Mustahiq dapat memantau dan memastikan bahwa siswa asuhnya masuk

sekolah, hal mana peran Mustahiq terhadap keaktifan siswa dirasakan sangat besar.

Adalah kewibawaan di mata siswa dan keakraban siswa dengan Mustahiq yang

menjadikan siswa sungkan apabila melakukan pelanggaran, terlebih bolos sekolah.

Disamping juga diterapkan sistem hukuman bagi yang tidak aktif sekolah, misalnya

dengan memberi hukuman (tazir) berdiri selama KBM berlangsung, mbrangkang

(berjalan dengan merangkak) sepanjang gedung sekolah, thowaf (mengelilingi)

gedung Aula Muktamar, dipaket (dikirim ke Mustahiq kelas lain untuk dihukum di

kelas tersebut). Dengan cara ini terbukti efektif menimbulkan efek jera bagi siswa

untuk tidak membolos sekolah.


78

Berbicara tentang pembaruan kurikulum di MHM Lirboyo, tentunya tak bisa

dilepaskan dari dinamika HSPK. HSPK (Hasil Sidang Panitia Kecil)yang

termanifes dalam bentuk buku HSPK merupakan buku pedoman institusional

maupun instruksional dalam proses kependidikan di MHM. Buku HSPK ini berisi

kurikulum, struktur dan personalia kepengurusan, personalia pengajar, badan

otonom di bawah MHM, serta hal penting lainnya yang berkaitan dengan

manajerial proses belajar mengajar dan administratif di MHM.

Buku HSPK ini disusun oleh tim yang disebut dengan Panitia Kecil, atau

dalam istilah lain disebut Panitia Ad Hock, yaitu sebuah badan kepanitiaan yang

bertugas menyusun pedoman institusional maupun instruksional kependidikan di

MHM Lirboyo. Panitia Kecil ini beranggotakan 16 (enam belas) orang dengan

komposisi sebagai berikut:

1. Anggota Terpilih

Yaitu 7 (tujuh) orang dari unsurmasyayikh/ dzurriyah dan para senior/ pakar

pendidikan di MHM Lirboyo yang dipilih secara demokratis dan terbuka oleh

segenap dewan pengajar. Anggota ini lebih difungsikan sebagai dewan

pertimbangan dan penasehat dalam mengevaluasi serta merumuskan solusi dari

kendala-kendala yang muncul.

2. Pimpinan MHM

Yaitu Mudier (Pimpinan Madrasah) yang terdiri atas 5 orang, yaitu Mudier Am,

Mudier I, II, III dan IV. Anggota ini mutlak masuk dalam keanggotaan panitia

HSPK, karena dipandang memahami seluk-beluk perkembangan yang terjadi di

internal MHM Lirboyo.


79

3. Dua orang bertindak sebagai notulis/ sekretaris.83

Ke-enam belas orang yang tergabung dalam panitia HSPK inilah yang

memegang peranan penting dalam merumuskan garis besar kebijakan MHM

Lirboyo dalam hal kurikulum, struktur dan personalia kepengurusan, personalia

pengajar, badan otonom di bawah MHM, serta hal penting lainnya yang berkaitan

dengan manajerial proses belajar mengajar dan administratif di MHM.

Buku HSPK memiliki peranan yang strategis sebagai tolok ukur dan penentu

arah pendidikan salaf di MHM. Bagi MHM, buku HSPK adalah kitab suci yang

menjadi pedoman dalam melangkah. Buku ini memuat pedoman-pedoman prinsip

dalam pelaksanaan pendidikan di MHM. Adapun teknisnya diatur lebih lanjut

dalam tata laksana masing-masing bagian.

Dalam pelaksanaannya arah institusional dan instruksional yang telah

digariskan di HSPK bisa berjalan dengan mulus dan lancar. Secara makro dapat

dikatakan tidak terjadi kendala yang berarti. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari

konsistensi dan kegigihan para pengajar dalam menjalankan HSPK secara sungguh-

sungguh. Kesungguhan pengajar ini bisa dilihat dari besarnya rasa tanggung jawab

mereka dalam mengemban amanah.

83
MHM, HSPK 2014-2015, hlm. 60.
80

2. Pembaruan Pembelajaran di MTs. HM

a. Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas

1) Waktu

Proses KBM di kelas berarti proses pengajaran dan pembelajaran pokok

yang dilakukan pada jam sekolah, yaitu jam 19.00-23.00 wis. Kegiatan ini

dilakukan selama 6 (enam) hari dalam seminggu, selain hari Jumat. Proses

pembelajaran dilakukan pada malam hari karena lokal/ kelas di waktu pagi

digunakan KBM untuk siswa Ibtidaiyah dan Idadiyah. Dalam satu hari KBM

di MHM dibagi kedalam 2 (dua) tatap muka, atau lebih dikenal dengan istilah

hisshoh (Indonesia: bagian), yaitu hisshoh ula dan hisshoh tsaniyah.

Proses KBM di MHM Lirboyo menggunakan sistem kwartal, yaitu

pergantian periodik kependidikan setiap 3 (tiga bulan), sehingga dalam satu

tahun ajaran terdapat 4 (empat) kali kwartal. Adapun untuk sistem tahun ajaran,

MHM Lirboyo berpedoman pada tahun Hijriyah. Awal tahun dimulai pada bulan

Syawwal tanggal 13, dan berakhir pada akhir bulan Rajab. Pembagian waktu

kwartal adalah sebagai berikut84:

TABEL 5
PEMBAGIAN KWARTAL

Kwartal Dimulai Berakhir


I 13 Syawwal (awal tahun ajaran Akhir bulan Dzul Hijjah
baru)
II Awal bulan Muharrom Akhir bulan Robiul Awal
III Awal bulan Robius Tsani Akhir bulan Jumadal Ula
IV Awal bulan Jumada as-Tsaniyah Akhir bulan Rajab (akhir
tahun ajaran)

84
MHM, HSPK 2014-2015, hlm. 45.
81

Penggunaan sistem kwartal ini ditujukan untuk mempermudah evaluasi

KBM per-kwartal, karena rentang waktu KBM tidak terlalu panjang, sehingga

evaluasi dan pengambilan tindakan manakala terdapat kekurangan bisa

dilakukan sesegera mungkin. Disamping itu, setiap pergantian periodik kwartal

juga dibarengi dengan rolling Mustahiq kelas yang satu dengan Mustahiq kelas

yang lain dalam satu tingkatan kelas.

Adapun teknisnya sebagai berikut: dalam satu tingkatan kelas dibagi

beberapa bagian, dimana masing-masing bagian terdiri dari 3 (tiga) sampai 4

(empat) kelas. Masing-masing kelas berisi 35 40 siswa.85 Ketika terjadi jatuh

tempo perpindahan kwartal, Mustahiq yang mengajar di kelas bagian A-1

dirolling mengajar di kelas A-2, Mustahiq yang semula mengajar di kelas A-2

dirolling mengajar di kelas A-3, begitu seterusnya terjadi rolling ketika terjadi

pergantian kwartal.

Pembagian kelas ke dalam bagian-bagian seperti di atas dapat

diilustrasikan sebagai berikut:

TABEL 6
PEMBAGIAN BAGIAN KELAS

Tingkatan Bagian Sub-Kelas Jumlah


Kelas Siswa
1 42
A 2 41
3 38
I Tsanawi 1 37
2 45
B
3 39
4 40

85
MHM, Laporan Kwartal IV 2013-2014, (Kediri: MHM, 2014), hlm. 4-10.
82

Walaupun menggunakan sistem kwartal, namun untuk pelaksanaan ujian

tetap diselenggarakan tiap setengah tahun, atau dalam kata lain disebut semester,

yang meliputi semester ganjil dan semester genap. Rangkaian ujian semester

ganjil meliputi koreksian kitab dan ujian utama, sedangkan rangkaian ujian

semester genap meliputi muhafadzhoh, korekian kitab dan ujian utama.

2) Pengajar

Jalannya proses KBM tentulah tak bisa lepas dari peran pengajar/

pendidik. Di MHM Lirboyo, pengajar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu

Mustahiq dan Munawwib. Secara etimologi, Mustahiq berarti orang yang

berhak atas sesuatu. Sedangkan secara terminologi, Mustahiq adalah pengajar

yang mengampu pelajaran pokok86, seperti fiqih, nahwu, shorof, tauhid dan lain-

lain pada satu kelas tertentu dan menjadi penanggung jawab atas kelas yang

diampunya. Di sekolah formal istilah Mustahiq ini dikenal dengan istilah Guru

Kelas. Banyaknya mata pelajaran yang diampu Mustahiq secara otomatis

menjadikan jam mengajar Mustahiq sangat banyak. Rata-rata jam mengajar

Mustahiq adalah 5 (lima) hari dalam satu minggu. Bahkan ada yang setiap hari

mempunyai jam tatap muka.

Intensitas tatap muka Mustahiq yang begitu besar berimplikasi pada

eratnya jalinan komunikasi dan ikatan emosional antara Mustahiq dan siswa.

Inilah yang menjadi alasan kontribusi Mustahiq atas anak didiknya dalam proses

pendidikan sangat tinggi. Karena Mustahiq tak hanya mengemban tugas

86
Prosentase pelajaran pokok yang diampu oleh Mustahiq bervariasi nilainya. Pada tingkat
Ibtidaiyah, prosentase rata-rata 17 %. Pada tingkat Tsanawiyah 17-25 %, sedangkan pada tingkat
Aliyah berkisar 33-42 %. Nilai-nilai ini juga berarti besarnya intensitas tatap muka Mustahiq dalam
suatu kelas.
83

menyampaikan materi ajar belaka, namun juga bertanggung jawab atas baik-

buruknya siswa yang dimanajeri olehnya, dzhohiron wa bathinan. Mulai dari

menyampaikan dan memahamkan pelajaran, mengontrol dan mengembangkan

musyawarah kelas, bertanggung jawab atas kedisiplinan dan keaktifan siswa

kelasnya, ketercapaian target belajar dan hafalan, bahkan urusan akhlaq siswa.

Dari sini nampak kesesuaian arti harfiyah kata Mustahiq dengan tugasnya,

bahwa Mustahiq adalah orang yang berhak dalam arti bertanggung jawab dan

bertugas- atas pendidikan anak asuhnya.

Mustahiq adalah pengajar yang sering diistilahkan bapak asuh yang

secara khusus mendapat tugas ngancani bibinahu87(memandu belajar) siswa-

siswa tertentu sampai menamatkan jenjang terakhir, yaitu kelas III Aliyah.

Dalam jenjang karirnya, setiap tahun Mustahiq juga mengalami kenaikan kelas

sebagaimana siswa didiknya. Begitu seterusnya sampai tamat kelas III Aliyah.

Bahkan ada beberapa Mustahiq yang setelah tamat mengulangi mengajar lagi

dari bawah, sampai pada akhirnya ia tamat sebagai Mustahiq sebanyak dua kali.

Sedangkan Munawwib merupakan pengajar di MHM sebagai

pendamping Mustahiq yang mengampu mata pelajaran non-pokok, seperti

Akhlaq, Tafsir, Hadits, Sejarah, Bahasa, dan lain-lain. Ikatan emosional antara

Munawwib dan siswa memang tidak terlalu besar, sekalipun demikian peran

Munawwib tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Ini dikarenakan sebagian

besar Munawwib merupakan pengajar senior atau bahkan masyayikh dan

87
Ngancani bibinahu merupakan istilah Jawa yang bernada merendah (tawadlu). Secara
lugas ia mempunyai arti mengajar.
84

dzurriyah (keluarga kiai) yang pada umumnya merupakan eks. Mustahiq yang

telah tamat (rampung mengajar sampai kelas 3 Aliyah).

3) Pengajaran

Strategi pertama yang dilakukan dalam konteks pembelajaran di MTs.

HM Lirboyo adalah pembagian siswa ke dalam kelas. Pembagian ini rutin

dilaksanakan setiap tahun, tepatnya di akhir tahun. Dalam teknisnya, pembagian

ini menggunakan sistem oplos (pengacakan secara random). Tujuannya adalah

agar siswa tidak hanya mengenal teman sekelas saja, tapi juga bisa mengenal

teman dari kelas lain.

Prinsip yang digunakan dalam pembagian kelas adalah pemerataan

potensi siswa, artinya siswa dengan klasifikasi intelegensi tinggi, sedang, dan

rendah dibagi secara merata di setiap kelas. Hal ini dilakukan agar siswa yang

mempunyai potensi intelegensi tinggi dapat membimbing siswa yang intelegen-

sinya rendah, sehingga terjadi pemerataan pemahaman pelajaran.

Disamping dilakukan pemerataan siswa di kelas-kelas berdasar atas

potensi intelegensi sebagaimana di atas, di tataran Mustahiq pun dilakukan

penataan serupa oleh pimpinan MHM, hanya saja tidak berdasarkan potensi

intelegensi tinggi-sedang-rendah seperti terjadi pada siswa. Namun lebih dititik

beratkan pada pertimbangan kualifikasi Mustahiq dalam ber-bahtsul masail.

Hal ini mengandung pengertian bahwa, dalam penataan Mustahiq di setiap

tingkatan kelas, pimpinan MHM selalu menempatkan setidaknya satu Mustahiq

yang ahli dalam bahtsul masail. Langkah ini merupakan upaya untuk lebih

meningkatkan kualitas bahtsul masail di setiap tingkatan kelas.


85

Adapun dalam hal metode pengajaran, pimpinan MHM Lirboyo hanya

memberikan pembekalan kepada dewan pengajar berupa fondasi penataan hati

dan niat dalam motivasi mengabdikan diri sebagai pengajar, tanpa memberikan

pengarahan metode pengajaran tertentu. Dengan demikian, pengajar baik

Mustahiq maupun Munawwib diberi keleluasaan menggunakan metode

pengajaran yang diyakini dapat meningkatkan potensi siswa, dengan tetap

berpedoman pada petuah pimpinan MHM dan kebijakan yang digariskan di

HSPK.

Dalam hal ini pimpinan MHM memberikan kepercayaan dan otoritas

sepenuhnya kepada para pengajar untuk mengelola, menerapkan dan

mengembangkan metode pembelajaran yang akan digunakan oleh mereka sesuai

dengan kemampuan dan keyakinannya akan suatu metode pengajaran, serta

mempertimbangkan kebutuhan dan situasi-kondisi siswa. Hal ini tercermin dari

penjelasan Bapak A. Mutohar bahwa terkait trik ataupun teknis mengajar tidak

secara eksplisit diarahkan oleh pimpinan MHM. Pimpinan MHM dalam hal ini

hanya memberikan penekanan fondasi penataan hati dan niat dalam motivasi

mengabdikan diri sebagai pengajar.88.

Adapun pada tahapan teknisnya, dewan Mustahiqqin89 melakukan

interpretasi atas kebijakan institusional dan intruksional di HSPK menjadi

strategi pengajaran praktis. Diantara strategi pengajaran praktis yang dihasilkan

88
A. Mutohar, wawancara, dewan mustahiq merangkap seksi keamanan MHM Lirboyo, 21
September 2014.
89
Dewan Mustahiqqin adalah badan koordinasi antar-mustahiq dalam satu tingkatan kelas.
Pembentukan dewan ini ditujukan untuk melakukan koordinasi dan sharing antar-mustahiq untuk
membahas segala perkembangan yang terjadi di kelasnya masing-masing.
86

adalah batasan materi pelajaran dan hafalan siswa yang harus dicapai dalam

beberapa tatap muka tertentu. Kemudian setelah itu masing-masing mustahiq

menjalankan pengajaran sesuai dengan metode dan strategi yang ia miliki.

Hal prinsip yang diketengahkan dalam penyampaian pelajaran adalah

agar Mustahiq dan Munawwib menjelaskan materi dengan mencukupkan

keterangan yang tertulis di dalam kitab dan dengan gaya penjelasan yang

standar. Hal ini dilakukan agar semua siswa dapat menangkap penjelasan yang

disampaikan, baik siswa dengan intelegensi tinggi, sedang maupun rendah.

Pimpinan MHM juga menekankan agar dewan pengajar, baik Mustahiq

maupun Munawwib senantiasa mempersiapkan diri dengan matang sebelum

memberikan pengajaran, baik dalam hal penguasaan materi dan pengemba-

ngannya, maupun strategi pengajaran yang akan dilakukan. Hal ini secara efektif

dipatuhi dan dijalankan oleh segenap dewan pengajar.

Melihat kecendrungan bahwa Mustahiq mempunyai latar belakang dan

kualitas individual yang berbeda, hal yang lumrah terjadi adalah beragamnya

model pengajaran yang diterapkan Mustahiq. Mustahiq yang hobi ber-bahtsul

masail misalnya, terlihat cenderung lebih mengarahkan siswa didiknya untuk

lebih mengembangkan kegiatan musyawarah dalam kelas. Begitu juga Mustahiq

yang hobi membaca literatur umum, terlihat sering berupaya mengorelasikan

perkembangan dunia luar dengan materi pelajaran.

Adapula Mustahiq yang hobi pada mata pelajaran tertentu, terdapat

kecendrungan lebih bersemangat untuk mengeleborasi mata pelajaran tersebut.

Hal berbeda terjadi sebaliknya, Mustahiq yang kurang menguasai mata pelajaran

tertentu cenderung memberikan pengajaran yang sekenanya.


87

TABEL 7
PEMBAGIAN ALOKASI WAKTU KBM

Jam (wis) kegiatan Penanggung Jawab


19.00 19.30 Lalaran bersama Semua
19.30 20.00 Musyawarah Tindak Lanjut/ Rois
KBM (19.00-23.00 wis)

Pendalaman dari hasil musyawarah


pada siang hari
20.00 20.30 Memaknai Kitab Mustahiq/ Munawwib
20.30 21.00 Penjelasan Materi Mustahiq/ Munawwib
21.00 21.30 Istirahat Semua
21.30 22.00 Musyawarah Tindak Lanjut/ Rois
Pendalaman dari hasil musyawarah
pada siang hari
22.00-23.00 Memaknai dan Penjelasan Materi Mustahiq/ Munawwib

Untuk menunjang pembelajaran yang telah dijalankan, pimpinan MHM

Lirboyo mengintruksikan kepada dewan Mustahiqqin masing-masing kelas

untuk mengadakan pengajian bandongan di luar jam sekolah yang ditujukan

untuk menambah wawasan siswa. Kitab yang dibalah (dibacakan) diusahakan

kitab yang menunjang pelajaran di sekolah. Sebenarnya, lingkup pengajian ini

mulanya diprioritaskan untuk siswa didik dari Mustahiq yang ngorek

(membacakan) kitab tersebut, namun siswa lain juga diperkenankan mengikuti.

Disamping itu, pimpinan MHM juga memberi tugas tambahan kepada

dewan Mustahiqqin agar memberikan perhatian dan sekaligus waktu tambahan

pengajaran, seperti layaknya les privat. Tambahan pengajaran ini diprioritaskan

untuk siswa yang memiliki kemampuan daya tangkap tinggi dan siswa yang

daya tangkapnya rendah. Untuk siswa dengan daya tangkap tinggi, tambahan

waktu pembelajaran berfaidah untuk lebih mengembangkan potensi siswa yang

terpendam, hal mana mungkin proses KBM di kelas dirasa kurang memadai.

Adapun tambahan waktu pembelajaran siswa yang ber-daya tangkap rendah


88

berfaidah untuk menuntun siswa mengejar ketertinggalan pemahaman dari siswa

lain.

Kebijakan lain yang menunjang efektifitas pembelajaran di MHM

Lirboyo adalah larangan bagi siswa yang masih kelas Tsanawiyah dan

Ibtidaiyah merangkap/ mengikuti perkuliahan. Kebijakan ini diambil agar siswa

tidak terpecah konsentra-sinya dalam mempelajari dan mendalami pelajaran di

MHM Lirboyo, disamping itu juga karena pelaksanaan perkuliahan bersamaan

dengan jam musyawarah, yaitu jam 11.00-13.00 wis.

Disamping itu, siswa juga dilarang untuk mengikuti pengajian kitab

bandongan yang tingkat kesulitannya diatas kemampuan siswa. Larangan ini

terpampang dengan jelas di atas pintu masuk masjid Lawang Songo sebelah

timur dengan redaksi: Santri dilarang nderek pengajian kitab engkang dereng

pangkat-ipun . Larangan ini muncul dari alm. KH. Marzuqi Dahlan dan alm.

KH. Mahrus Ali sebagai bentuk antisipasi merebaknya siswa yang mengaji kitab

dengan bobot tinggi padahal siswa tersebut belum mampu memahaminya, agar

tidak terjadi pemahaman yang keliru atas kandungan kitab.

Dalam konteks buku ajar, MHM Lirboyo melakukan inovasi dengan

mewajibkan menulis ulang materi kitab tertentu, walaupun sebenarnya siswa

juga mempunyai kitab tersebut. Tahapan teknisnya adalah siswa menulis ulang

kitab-kitab tersebut di buku tulis khusus dalam format yang sama persis dengan

format di kitab. Kemudian buku yang berisi tulisan salinan dari kitab itulah yang

digunakan siswa dalam memaknai dan mencatat keterangan dari Mustahiq.

Berhubung saking banyaknya kitab yang harus ditulis, beberapa siswa

mensiasati dengan menulis kitab jauh-jauh hari sebelum materi yang ditulis itu
89

diajarkan, sebagian menggunakan waktu liburan puasa dan hari raya Idul Fitri

untuk menulis kitab yang akan diajarkan pada tahun depan.

Kewajiban menulis/ menyalin ulang kitab ini didasarkan pada

pertimbangan bahwa dengan menulis pelajaran maka hasil yang dihasilkan akan

lebih melekat, disamping sebagai dokumen pribadi, hal mana memiliki nilai

kebanggaan tersendiri.90

Untuk keperluan evaluasi, pimpinan MHM Lirboyo mengagendakan

acara Temu Wicara pada tiap akhir kwartal dengan para Mustahiq. Pada

kesempatan tersebut, masing-masing Mustahiq per-tingkatan kelas dimintai

laporan dan diajak sharing terkait dengan perkembangan siswa, pelajaran dan

kondisi di kelas masing-masing. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi

pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar yang telah lewat untuk dicarikan solusi

pemecahan masalahnya dan kemudian diimplementasikan pada kwartal

selanjutnya. Seringkali Mufattisy dan Mudier memberi arahan teknis-

implementatif dalam pengajaran berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi

oleh dewan mustahiq.91 Sering kali dikatakan bahwa agenda Temu Wicara

sebagai momen memperbarui motivasi dan orientasi mengajar.

Dalam hal keaktifan dan kedisiplinan di Madrasah Tsanawiyah MHM,

pimpinan dan pengajar menerapkan pola keaktifan dan kedisiplinan tinggi

terhadap siswa. Keaktifan dan kedisiplinan tinggi ini nampak pada proses KBM

sehari-hari yang selalu berjalan on-time dan sedikitnya siswa bolos sekolah. Hal

ini juga dapat dilihat dari konsistensi mustahiq memberi hukuman bagi siswa

90
Wawancara Bapak Masrukan.
91
Wawancara Bapak A. Mutohar.
90

yang tidak aktif atau tidak disiplin. Dalam studi dokumentasi terhadap laporan

rekap absensi per-kwartal didapatkan informasi, bahwa angka keaktifan siswa

cukup tinggi yaitu di kisaran 95 %.92

b. Musyafahah dan Tamrin

Musyafahah secara etimologi berarti berbicara mulut ke mulut,

berdialog.93 Dalam istilah MHM Lirboyo, musyafahah berarti review atau testing

yang dilakukan pengajar kepada daya ingat siswa atas materi pelajaran yang telah

lampau dengan cara tanya-jawab secara langsung. Kegiatan ini merupakan inovasi

baru yang belum terencanakan secara teratur, sehingga pelaksanaanya pun sangat

bergantung pada kemauan pengajar masing-masing.

Melihat kecendrungan ini, maka pimpinan MHM mengintruksikan kepada

pengajar agar secara berkala mengadakan testing (musyafahah), misalnya setiap 2

(dua) minggu sekali. Waktu untuk mengadakan musyafahah dipakaikan dari jam

musyawarah.94

Adapun tamrin merupakan ujian mini yang dilaksanakan setiap hari Senin

pada hisshoh ula. Tamrin ini pada sekolah umum sering disebut dengan ulangan/

ujian harian. Dalam setiap tamrin, materi yang diujikan adalah satu mata pelajaran

tertentu, dan setiap minggunya materi tamrin berganti secara estafet dengan mata

pelajaran lain.

Berbeda dengan musyafahah yang dalam pelaksanaannya kurang begitu

berjalan, pelaksanaan tamrin terlihat lebih terstruktur dan terencana rapi. Ini terlihat

92
MHM, Sidang Kwartal II & III 2013-2014, (Kediri: MHM, 2014), hlm. 23.
93
A. Warson, Al-Munawwir, hlm. 730.
94
Wawancara Bapak Irfan Zidni
91

dari pelaksanaan tamrin yang menggunakan buku khusus tamrin yang disediakan

oleh MHM. Disamping itu, pada dewan Mustahiqqin tingkatan kelas masing-

masing juga ditunjuk salah satu Mustahiq yang menjadi koordinator tamrin.

Mustahiq ini bertugas mengkoordinir pembuat soal tamrin dan pelaksanaan tamrin

secara keseluruhan. Bahkan, nilai tamrin menjadi salah satu aspek input penilaian

dalam raport MHM.

c. Musyawaroh

Musyawaroh (diskusi) merupakan sebuah tradisi menyampaikan sekaligus

mendengarkan pendapat dalam Islam yang telah digalakkan sejak Nabi Muhammad

SAW. Ini terbukti dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang secara spesifik

berisi anjuran melaksanakan musyawaroh.

Dalam konteks MHM Lirboyo, musyawaroh merupakan salah satu pilar

penting yang memegang peranan strategis dalam upaya menunjang pemahaman,

pendalaman dan pengembangan materi-materi yang telah diajarkan serta mengasah

mental dan kemampuan siswa dalam berdiskusi dan berargumentasi. Program

musyawaroh di MHM Lirboyo ini diinisiasi oleh KH. Zamroji95 pada tahun 1947

M.96 Pada awalnya program ini hanyalah program sunnah, dalam arti tidak

diwajibkan. Namun melihat kurangnya antusias siswa dalam mengikuti program ini

dan memandang dampak positif yang dirasakan dengan adanya program

musyawaroh, maka dalam perkembangannya program ini menjadi program wajib

sebagai satu-kesatuan kumulatif pendidikan di MHM Lirboyo.

95
KH. Zamroji merupakan Mudier MHM Lirboyo tahun 1942 1950.
96
MHM, HSPK 2015-2015, hlm. xi.
92

Program musyawarah di MTs HM merupakan satu-kesatuan program

pendidikan di MHM yang wajib diikuti oleh segenap siswa, termasuk siswa yang

ikut ndalem dan kuliah97. Kegiatan ini dilaksanakan pada jam 11.00 s/d 13.00 wis.

Pada kegiatan musyawaroh tersebut, biasanya siswa dalam satu kelas

membentuk beberapa halaqoh (kelompok belajar) yang dipimpin seorang rois.

Forum halaqoh ini disebut musyawaroh kelompok. Masing-masing kelompok

beranggotakan antara 5 sampai 7 orang.98

Rois merupakan istilah yang ditujukan bagi siswa yang bertugas memimpin

jalannya musyawarah, seperti halnya moderator, hanya saja tugas rois lebih

kompleks. Secara berurutan ia bertugas memulai musyawarah, menjelaskan murod

(arti pelajaran) dan mengupayakan ketercapaian pemahaman teman dalam

kelompoknya. Selanjutnya rois bertugas memberikan perluasan dan pendalaman

pemahaman dari kitab syarah yang telah ia baca dan setelah itu ia memimpin

jalannya diskusi kelompok.99

Di kelas,Roismerupakan sebuah jabatan struktural yang ditugaskan kepada

siswa-siswa tertentu yang berprestasi secara akademik. Dalam struktural keroisan,

terdapat jabatan Rois Am (kepala rois) sebagai pimpinan dan rois anggota. Rois

anggota ini bertugas untuk menjadi rois musyawarah pada satu mata pelajaran

tertentu. Atau dengan kata lain, di setiap mata pelajaran terdapat rois khusus yang

bertugas memimpin ketika mata pelajaran tersebut dimusyawarahkan. Biasanya

per-mata pelajaran mempunyai rois khusus lebih dari satu. Dalam satu periode

97
MHM, HSPK 2015-2015, hlm. 74.
98
M3HM, Materi Sidang DPM-MU & Brifing Kontrol Musyawarah, (Kediri: M3HM,
2014), hlm. 3.
99
M3HM, Materi Sidang DPM-MU & Brifing Kontrol Musyawarah, hlm. 3.
93

tertentu diagendakan rolling personalia rois maupun bidang mata pelajaran yang

diampu. Dengan adanya pengangkatan rois ini pada akhirnya merangsang siswa

untuk belajar secara aktif dan mandiri.

Materi yang dimusyarahkan pada jam musyawarah adalah materi pelajaran

yang diajarkan oleh Mustahiq/ Munawwib pada pertemuan sebelumnya. Adapun

jadwal musyawarah menyesuaikan jadwal KBM di setiap harinya. Adapun

teknisnya adalah sebagai berikut: pelajaran yang dimusyawarahkan pada hari ini

adalah pelajaran yang dijadwalkan pada KBM hari besok. Hal ini dilakukan agar

pelajaran yang telah diajarkan telah diserap seutuhnya oleh siswa, dan kalaupun ada

kendala pemahaman akan diatasi oleh pengajar terlebih dahulu sebelum berlanjut

ke materi lain.

Halaqoh musyawaroh kelas ini sangat membantu dalam pembangunan

mental menyuarakan pendapat, mengatur dan mempertahankan argumen serta

mencerna pendapat orang lain. Maka sebenarnya tugas memimpin musyawarah ini

tak hanya menjadi otoritas rois saja, namun menjadi tugas semua santri. Maka

sering kali secara periodik santri lain diberikan kesempatan untuk meroisi

musyawarah. Hal ini secara gamblang dijelaskan oleh Bapak Irfan Zidni, tujuan

dari adanya pembagian kedalam kelompok-kelompok adalah agar semua siswa

tak hanya rois saja- juga bisa murodi pelajaran. Maka dari itu M3HM

menganjurkan agar setelah rois menjelaskan murod, masing-masing siswa diberi

kesempatan untuk latihan murodi.100

Tujuan utama dari pelaksanaan musyawarah adalah pemerataan pemahaman

materi pelajaran. Dalam rangka mencapai pemahaman yang merata itu, M3HM

100
Wawancara Bapak Irfan Zidni di kamar R. 15, malam Rabu, 30 September 2014.
94

menganjurkan agar pembahasan utama dalam musyawarah adalah terkait dengan

materi pokok. Adapun teknisnya sebagai berikut:

1) Untuk pelajaran yang berisi nadzhom, maka yang ditekankan adalah setidak-

tidaknya pemahaman atas nadzhom itu sendiri, sementara qouluhu

(keterangan pengkayaan nadzhom) bisa dieksplorasi lagi pada kesempatan

lain.

2) Untuk pelajaran yang bersifat deskriptif, agar sekiranya rois membuat skema

ringkas terkait komponen-komponen pokok, agar siswa lain dapat dengan

mudah memahami pelajaran.

Manfaat musyawarah yang paling utama untuk siswa adalah dapat

memahami pelajaran.101 Begitu besarnya manfaat dari musyawarah ini, maka tak

heran jika pengajar sangat antusias dengan mengawasi jalannya musyawarah secara

langsung serta memberi pembinaan dan tazir (hukuman) kepada siswa yang tidak

mengikuti musyawarah.

Begitu vital dan strategis peranan musyawaroh di MHM Lirboyo, sehingga

pimpinan madrasah memandang perlu untuk membentuk sebuah badan yang

bertugas untuk mengawasi, menjalankan dan mengembangkan program

musyawaroh. Maka dibentuklah sebuah badan kerja yang bernama Majelis

Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadiien (M3HM)102 pada 1958 M.

Untuk lebih memaksimalkan hasil yang dicapai, M3HM melakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

101
Wawancara Bapak Irfan Zidni.
102
Badan M3HM ini merupakan metamorfosa dari Persatuan Pelajar Madrasah Hidayatul
Mubtadiien (PPMHM), sebuah organisasi siswa layaknya OSIS yang bertugas menangani
berjalannya musyawaroh.
95

1) Memberikan penataran keroisan setiap awal tahun, agar rois dapat

memimpin jalannya musyawarah dengan baik dan benar.

2) Menstimulus masing-masing kelompok dalam satu kelas untuk saling

berlomba menjadi yang terbaik.

3) (lewat Mustahiq) mewajibkan kepada tiap-tiap siswa, atau setidaknya tiap-

tiap rois, untuk memiliki kitab pembanding (syarah) sebagai bahan

pengkayaan pemahaman.

4) Membentuk TIMSUS (Tim Khusus) yang bertugas memandu jalannya

musyawarah di kelas tingkatan Ibtidaiyah.

5) Melakukan kontrol musyawarah secara rutin disertai dengan pengawasan dan

penilaian. Bagi kelas yang berprestasi dalam penilaian M3HM akan

dinobatkan sebagai Kelas Teladan pada akhir tahun. Berikut adalah contoh

blanko penilaian kontrol musyawarah:

GAMBAR 1
CONTOH BLANKO PENILAIAN MUSYAWARAH103

103
M3HM, Materi Sidang DPM-MU & Brifing Kontrol Musyawarah, hlm. 11.
96

Program musyawarah ini secara konsep terus mengalami pembenahan,

diantaranya adalah pembenahan distribusi waktu musyawarah sebagai berikut:

TABEL 8
PEMBAGIAN ALOKASI WAKTU MUSYAWARAH

Siswa
Jam Kegiatan yang Standar Kompetensi
bertugas
11.00-11.30 Lalaran bersama Semua
Kelancaran melafalkan
nadzhom & membantu
hafalan
11.30-12.00 Musyawarah Rois Pemahaman teks
kelompok (pelajaran kelompok pelajaran (murod)
hisshoh I)
12.00-12.30 Musyawarah Rois Pemahaman teks
kelompok (pelajaran kelompok pelajaran (murod)
hisshoh II)
12.30- 13.00 Musyawarah Rois Pemecahan masalah yang
Bersama/ Kelas belum terselesaikan di
berkembang musyawarah kelompok

Sebenarnya, kegiatan musyawarah tidak hanya dilaksanakan pada jam

musyawarah diatas. Musyawarah juga dilaksanakan pada jam sekolah dan pada

jam luar sekolah (jam ekstra), meliputi:

1) Musyawarah pada jam sekolah, yang dilaksanakan pada waktu pra-KBM.

Kegiatan ini dilaksanakan setelah selesainya kegiatan lalaran bersama.

Musyawarah ini ditujukan sebagai tindak lanjut dari musyawarah

sebelumnya untuk elabolasi dan eksplorasi lebih lanjut dalam forum yang

lebih besar, yaitu dalam lingkup satu kelas.

2) Musyawarah jam ekstra dilaksanakan di luar jam sekolah dan jam

musyawarah. Sebagian besar dilaksanakan pada malam hari selekas

rampung dari KBM di MHM. Karena memang kegiatan santri di pesantren

Lirboyo sangat padat. Di waktu pagi, siang sampai sore para santri mengisi
97

waktunya dengan mengikuti pengajian bandongan masyayikh/ asatidz,

menulis kitab, ber-organisasi, menjalankan tugas sebagai santri khodim/

ndalem104, maupun kegiatan pribadi masing-masing. Kategori musyawarah

ini pun bermacam-macam, meliputi:

1) Musyawaroh yang ditangani oleh Lajnah Bahtsul Masail Lirboyo.

Dalam pelaksanaannya, musyawarah dibagi kedalam dua tingkatan, yaitu

musyawarah tingkatan kitab Fathul Qorib (untuk tingkatan Tsanawiyah) dan al-

Mahalli (untuk tingkatan Aliyah). Musyawarah untuk tingkatan Tsanawiyah

dan Aliyah ini mengambil pokok pembahasan pada disiplin ilmu Fiqih, karena

siswa telah dibekali berbagai pisau analisis hukum, sehingga siswa dipandang

mampu untuk memecahkan problem waqiiyah dari sudut pandang hukum

Islam.

Hal ini berbeda dengan materi musyawarah untuk tingkatan Ibtidaiyah

yang lebih menekankan pada disiplin ilmu Nahwu dan Shorof. Dengan

pertimbangan bahwa fondasi keilmuan paling elementer dalam jenjang

pendidikan pondok pesantren adalah ilmu Nahwu dan Shorof. Kedua ilmu

tersebut dipandang sebagai kunci dari segala ilmu, mengingat kedua ilmu sangat

berperan dalam kemampuan siswa menelaah berbagai referensi disiplin ilmu

yang lain.

2) Musyawaroh yang ditangani oleh PPK (pengurus pusat kelas)

3) Musyawaroh yang ditangani oleh jamiyah

4) Musyawaroh yang ditangani oleh pondok unit

104
Santri khodim/ ndalem adalah santri yang mengabdikan dirinya untuk membantu
keperluan masyayikh maupun dzurriyah. Ada yang bertugas mengurus sawah/ kebun, menjaga
warung/ toko, kebersihan rumah tangga Kiai, maupun lainnya.
98

d. Muhafadzhoh& Lalaran

Muhafadzhoh secara etimologi berarti menjaga105, sedangkan dalam

pemakaian istilah di MHM Lirboyo muhafadzhoh berarti menghafalkan materi

pelajaran tertentu. Muhafadzhoh sangat erat kaitannya dengan ngelalar/ lalaran,

yaitu kegiatan membaca materi pelajaran tertentu berulang kali dengan tujuan untuk

mempermudah dan memperkuat hafalan terhadap materi pelajaran tersebut.

Seperti halnya musyawarah, muhafadzhoh dan lalaran juga merupakan

program wajib di MHM Lirboyo. Lalaranrutin dilaksanakan saban hari, yaitu

sebelum jam KBM berlangsung dan sebelum jam musyawarah. Adapun

muhafadzhoh diagendakan satu kali dalam seminggu yang dilaksanakan secara

kolektif (gabungan antar kelas dalam satu tingkatan) setelah jam sekolah pada satu

hari tertentu. Muhafadzhoh mingguan ini dipusatkan di gedung al-Muhafadzhoh.

Puncak dari kegiatan lalaran dan muhafadzhoh mingguan tersebut adalah

program Muhafadzhoh Akhirus Sanah, yaitu program tahunan MHM yang

dilaksanakan setiap akhir tahun ajaran sebagai wahana testing hafalan siswa

terhadap ketercapaian target hafalan materi yang ditentukan. Kelulusan siswa

dalam program ini juga merupakan salah satu prasyarat yang wajib dilalui untuk

bisa mengikuti ujian semester genap.

Pada program Muhafadzhoh Akhirus Sanah tersebut hafalan siswa ditest

untuk mengetahui seberapa banyak hafalannya. Tingkat ketercapaian hafalan siswa

diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu rodi (buruk), mutawassith (sedang),

dan jayyid (bagus). Untuk memenuhi prasyarat mengikuti ujian semester genap,

siswa setidaknya harus mencapai kategori mutawassith. Bagi siswa yang belum

105
A. Warson, al-Munawwir, hlm. 279
99

mampu mencapai target mutawassith, diberi kesempatan untuk mengulang test

hafalan di lain kesempatan.

Adapun materi pelajaran yang menjadi bahan muhafadzhoh adalah nadzhom

Alfiyah ibn Malik dan al-Jauhar al-Maknun106. Adapun pembagian rincinya sebagai

berikut:

TABEL 9
PEMBAGIAN ALOKASI WAKTU MUSYAWARAH

Kelas Nadzhom Rodi Mutawassith Jayyid


I Ts. 1 - 399 1 minimal 400 dan 1 minimal 476 dan
Alfiyah maksimal 475 maksimal 495
II Ts. Ibnu 496 496 minimal 900 496 minimal 976 dan
Malik 899 dan maksimal 975 maksimal sampai
khatam
III Al-Jauhar 1 259 1 minimal 260 dan 1 minimal 286 dan
Ts. al- maksimal 285 maksimal sampai
Maknun khatam

Mengamati dari data diatas, ada benang merah yang ditemukan bahwa

semua bahan muhafadzhoh sebenarnya merupakan trah/ rumpun disiplin ilmu alat

(ilmu ketatabahasaan bahasa Arab).

Fenomena ini menjadi menarik dan penting untuk dicermati, mengingat

tujuan utama pendidikan pondok pesantren adalah mengantarkan santri untuk

menjadi insan yang tafaqquh fi ad-din (memahami hukum agama Islam) dan

berkepribadian Islami, hal mana secara spesifik kedua misi ini menjadi otoritas

standar kompetensi dari ilmu fiqih dan akhlaq. Namun kenyataannya mata pelajaran

yang mendapat penekanan hafalan di MHM adalah cabang pelajaran ilmu alat.

Untuk lebih mengoptimalkan ketercapaian target muhafadzhoh, beberapa

Mustahiq jauh-jauh hari dari pelaksanaan Muhafadzhoh Akhirus Sanah, tepatnya di

106
Acuan muhafadzhoh akhirussanah
100

awal tahun ajaran baru atau bahkan di akhir tahun ajaran sebelumnya, telah

memasang target batasan waktu untuk merampungkan hafalan. Hal ini misalnya

ketetapan Mustahiq kelas I Tsanawiyah bahwa siswa harus sudah dol (selesai/

tamat) hafalannya sebelum kwartal II. Itu berarti dalam perhitungan kasar, siswa

dituntut untuk menghafalkan sekitar 500 bait tak lebih dalam waktu 5 (lima) bulan.

Sebuah target yang memerlukan kerja keras untuk mencapainya.

Untuk merealisasikan ketetapan Mustahiq tersebut, pengurus masing-

masing kelas mengadakan program setoran hafalan yang dilakukan rutin setiap

hari. Dalam setoran harian ini, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, dimana

masing-masing kelompok mempunyai ketua kelompok yang bertugas mengontrol,

menyimak setoran siswa dan mencatatnya ke dalam buku setoran hafalan.

Dalam beberapa kesempatan, Mustahiq secara periodik seringkali

mengadakan pengecekan dan kontrol atas hafalan siswa didiknya. Pengecekan ini

biasanya dilakukan selama jam musyawarah berlangsung, dengan cara memanggil

beberapa siswa ke luar kelas untuk setoran (menyetorkan) hafalan. Banyak pula

Mustahiq yang memanfaatkan waktu setelah pulang sekolah atau di luar jam

sekolah untuk mengecek hafalan siswanya. Beberapa Mustahiq terlihat aktif

memantau perkembangan hafalan siswa didiknya dengan mencatat batas hafalan

yang telah dihafalkan siswanya ke dalam kolom-kolom yang dibuat sedemikian

rupa.

Beberapa kelas yang Mustahiq dan kepengurusan kelasnya aktif sering

mengadakan inovasi untuk lebih mengoptimalkan ketercapaian target hafalan,

misalnya dengan mengadakan program yang mereka namakan dengan muni


101

(muhafadzhoh mini). Program ini merupakan miniatur Muhafadzhoh Akhirus

Sanah yang diagendakan untuk mempersiapkan kesiapan hafalan dan mental siswa.

Begitu juga lumrah di masing-masing kelas menjelang pelaksanaan

Muhafadzhoh Akhirus Sanah,rutin dilakukan program karantina. Program ini

ditujukan khusus bagi siswa yang sampai pada batas waktu tertentu, misalnya awal

kwartal IV, belum mencapai target minimal, yaitu batas mutawassith, ataupun bagi

siswa yang telah mencapai batas minimal namun berkeinginan untuk menambah

hafalannya sampai batas jayyid atau bahkan dol. Teknis karantina ini adalah dengan

mengumpulkan siswa-siswa tersebut pada lokasi tertentu untuk menghafalkan

nadzhom dengan diawasi secara langsung oleh Mustahiqnya. Program ini berjalan

setiap hari, biasanya dilakukan setelah jam KBM.

Di luar jam sekolah dan program wajib muhafadzoh dari MHM dan kelas

tersebut, siswa juga secara mandiri melakukan lalaran pada saat longgar. Sebagian

besar melaksanakan lalaran di maqbaroh masyayikh Lirboyo, masjid Lirboyo,

lokal kelas maupun tempat lain yang nyaman dan bisa didapatkan konsentrasi

penuh. Adapun waktunya sangat bervariasi, ada yang memanfaatkan waktu setiap

setelah sholat wajib, di pagi hari ketika pikiran fresh dan rileks, ataupun waktu yang

lain.

Inovasi dalam konteks hafalan pun terus dilakukan. Hal ini misalnya ditemui

pada akhir tahun pelajaran 2007-2008, dimana mulai digalakkan kompetisi

muhafadzhoh 1002 bait nadzhom Alfiyah ibn Malik. Tak tanggung-tanggung,

untuk menambah gairah siswa dalam mengikuti kompetisi ini, pimpinan MHM

menjanjikan hadiah yang prestisius berupa foto bersama masyayikh, hal mana foto
102

bersama ini merupakan hadiah yang sangat berharga bagi kalangan santri dan akan

menjadi kenangan yang tak terlupakan sepanjang hayatnya.

Bahkan, tak sedikit pula siswa yang atas inisiatif sendiri atau mendapat

dorongan dari Mustahiq, menghafalkan beberapa kitabyang tidak menjadi

kewajiban untuk dihafalkan di MTs. HM Lirboyo, seperti nadzhom al-Bayquniyah,

nadzhom Zubad, dan lain sebagainya. Banyak juga yang mengha-falkan beberapa

kitab yang ditulis dalam kalamnatsar107, hal mana untuk menghafalkan

kalamnatsar dibutuhkan upaya yang lebih ekstra, seperti Matan Taqrib, Talimul

Mutaallim, dan banyak lagi lainnya.

Banyaknya kegiatan yang terkait dengan hafalan di MHM Lirboyo ini

menunjukkan keseriusan santri dalam melestarikan tradisi ulama as-salaf as-

sholih untuk menjaga kemurnian ajarannya. Karena para santri sangat meyakini

tsawab barokah yang akan mereka peroleh dengan menghafalkan nadzhom-

nadzhom tersebut.

e. Koreksian Kitab

Sebagaimana diketahui, bahwa buku ajar utama dan bisa dibilang satu-

satunya di pondok pesantren salaf adalah kitab kuning. Kitab kuning ini juga

populer dikenal dengan sebutan kitab gundhul. Disebut gundhul (Indonesia: botak)

karena kitab ini dicetak tanpa menggunakan harakat maupun makna/ terjemah. Asal

mula penyebutan gundhul ini adalah sebagai respon dari kitab yang sudah diberi

107
Kalam Natsar adalah istilah kalimat dalam bahasa Arab yang tidak berbentuk lagu.
Merupakan antitesa dari kalam nadzhom.
103

makna gandhul108 dengan format penulisan sedemikian rupa sehingga kitab ini

menjelmakan kitab yang mempunyai rambut109. Dari sinilah kitab yang masing

kosong dari makna gandhul disebut kitab gundhul.

Karena menggunakan bahasa asing (bahasa Arab) sebagai bahasa

pengantarnya, maka mutlak dibutuhkan media untuk memahami isi kandungan

kitab kuning. Adapun media tersebut adalah bahasa Jawa yang dikemas dalam

rumusan-rumusan tertentu dan ditulis menggunakan aksara Pegon di bagian bawah

teks kitab kuning. Hal mana kegiatan memaknai kitab kuning dengan tata cara

seperti diatas populer disebut dengan ngabsahi/ ngesahi kitab.

Di pondok pesantren Lirboyo tradisi ngabsahi/ ngesahi (memberi makna)

kitab ini masih terasa sangat kental, baik ketika kegiatan pengajian kitab di

madrasah, pengajian bandongan/ wethonan, maupun di sesi sorogan.Ketika kiai

membacakan kitab, semua santri terlihat serempak memaknai kitab mereka masing-

masing. Format duduk mereka pun serempak, yaitu dengan duduk bersila

memangku kitab menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanan mereka sibuk

menulis makna. Inilah diantara tradisi pokok pondok pesantren yang masih

mengurat akar sampai sekarang.

108
Disebut gandhul (Indonesia: menggantung) karena makna dari sebuah teks Arab
dituliskan tepat di bawah teks itu sendiri, sehingga seakan-akan makna itu menggantung di bawah
teks Arab.
109
Rambut dalam hal ini adalah istiaroh (personifikasi) dari tulisan terjemah yang ditulis
menggunakan aksara pegon (aksara Arab ala Jawa) dan biasanya ditulis memanjang sehingga
menyerupai rambut.
104

Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam memaknai kitab,

yaitu: memberi tanda tarkib110, memaknai mufrodat (kosa kata bahasa Arab) yang

dianggap sulit, dan memberi tanda rujudlomir111.

Ada satu warna dari tradisi memaknai kitab di pesantren Lirboyo yang

mungkin tidak ditemui di pondok pesantren lain, yaitu selalu menulis lengkap

makna yang dibacakan oleh masyayikh/ ustadz. Hal ini menjadikan kitab santri

Lirboyo selalu penuh dengan makna, ruju dlomir atau sekedar tanda tarkib. Yang

menjadikan tradisi ini berbeda dengan tradisi di pondok pesantren lain adalah

penekanan pentingnya baca: wajib memaknai kitab. Hal mana dijumpai di

pondok pesantren lain tidak ada penekanan seperti itu, karena memegang prinsip

kebolehan tidak memaknai pada lafadz kitab kuning yang sudah malum

(dimengerti maknanya). Sebagai contoh perbandingan adalah pondok pesantren al-

Anwar Sarang, Rembang, yang memegang prinsip pantang memaknai kitab

kuning kecuali memang tidak tahu artinya.112

Hal ini tak lepas dari petuah pengasuh Lirboyo, KH. Marzuqi Dahlan, yang

berbunyi: padange kitab dadi petenge ati, petenge kitab dadi padange ati113. (

Tarkib adalah jabatan kata dalam tata bahasa Arab, misalnya fail (subjek) ditandai huruf
110

kecil, maful bih (objek) dengan tanda , dzhorof zaman (kata keterangan waktu) dengan , dan
lain-lain.
111
Ruju dlomir merupakan istilah untuk menyebut sebuah proses dimana kandungan kata
ganti (dlomir) mengarah (ruju) kepada sesuatu yang tertentu (marji), biasanya sesuatu tersebut
telah disebutkan sebelumnya, bisa berupa perorangan, kelompok, benda, suatu kejadian, atau
mungkin lainnya. Biasanya dituliskan dengan tanda yang khas dan unik.
( ilmu sejati itu ada di hati/
Seringkali dilandasi dengan dalil
112

memori otak, bukannya di tulisan). Dalil ini berarti anjuran untuk memahami, meresapi dan
menghafal ilmu yang diajarkan, agar setiap kali muncul permasalahan, tanpa repot-repot mencari-
cari/ membuka-buka kitab bisa langsung mengetahui jawabannya, sehingga tidak terus-menerus
mengandalkan kitab/ buku. Tradisi tidak memaknai kitab ini sebenarnya juga berkeinginan kuat
untuk melatih para santri dalam membaca kitab kosongan.
113
Dalil lain yang senafas dengan dawuh ini adalah
( ilmu itu bagaikan hewan
buruan, ikatlah ilmu kamu dengan menulis)
105

kitab yang terang [karena tidak diberi makna atau tidak banyak tulisan penjelas

sehingga kelihatan terang] berimplikasi pada suramnya hati [hati menjadi suram

karena tidak memahami ilmu], sedangkan kitab yang gelap [dikarenakan diberi

makna atau banyak tulisan penjelas sehingga kelihatan gelap] berimplikasi pada

bersinarnya hati [hati menjadi bersinar karena bisa memahami ilmu] ).

Dawuhdiatas secara eksplisit menganjurkan betapa urgennya menulis

makna kitab maupun penjelasan-penjelasan lainnya dalam rangka membantu

pemahaman dan mengingatkan kembali penjelasan yang terlupakan. Bahwa

manusia adalah makhluk pelupa, hal ini dipahami betul oleh masyayikh Lirboyo

dengan mewajibkan memaknai kitab, agar makna kitab itu bisa menjadi pengingat

di kemudian hari tatkala lupa, pemantap hati ketika ragu akan makna yang benar,

maupun sebagai bukti otentik kesinambungan (sanad) silsilah mengaji dengan

masyayikh.

Manfaat memaknai kitab secara dramatis diungkapkan oleh seorang santri

sebagai berikut: makno gandhul iku ibarat alat gandhulane awake dewe mbesok

neng masyarakat (makna gandhul di kitab itu bagaikan tumpuan kita ketika

bermasyarakat kelak).

Akhirnya, sebagai follow up dari urgensi memaknai kitab sebagaimana

dijelaskan di atas adalah dengan diterapkannya kewajiban memaknai kitab di MHM

Lirboyo. Adapun sebagai instrumen kontrol dilakukan program koreksian kitab

pada setiap menjelang ujian semester. Koreksian kitab ini sekaligus menjadi

persyaratan untuk mengikuti ujian semester.

Dalam pelaksanaan program koreksian kitab ini, semua kitab masing-

masing siswa dikumpulkan menjadi satu. Kitab-kitab itu ditumpuk rapi sedemikian
106

rupa menurut derajat keilmuan kitab, dalam hal ini kitab mata pelajaran tafsir

ditempatkan teratas, disusul hadits, tauhid, tashawwuf, fiqih, akhlak, nahwu, shorof,

balaghah, arudl, dan seterusnya. Sikap ini adalah cerminan penghargaan atas kitab

yang telah mentradisi kuat di pondok pesantren. Masing-masing kitab ini dibuka

pada halaman pertama dari batasan kitab yang diajarkan, kemudian satu persatu

kitab dikoreksi kelengkapan maknanya oleh korektor yang dalam hal ini adalah

pengajar kelas lain. Kitab yang lengkap maknanya diberi tanda stempel tanda tamm,

dan oleh karenanya si empunya kitab berhak untuk mengikuti ujian semester.

Sebaliknya, kitab yang tidak lolos tidak diberi stempel dan dinyatakan naqish,

dengan konsekuensi harus nembel (melengkapi makna yang kosong) kitabnya

terlebih dahulu, baru setelah itu diperbolehkan mengikuti ujian semester sebelum.

Adapun ketentuan-ketentuan dalam koreksian kitab bisa dilihat pada lampiran.

Dengan adanya koreksian kitab ini, proses KBM di kelas menjadi sangat

tertunjang sehingga menjadi lebih kondusif. Dari pengamatan peneliti pada

pelaksanaan KBM, seluruh siswa secara simultan memaknai kitab mereka masing-

masing tanpa satu pun siswa yang menelantarkan kitabnya tanpa dimaknai.

Fenomena ini secara tidak langsung juga turut andil dalam menumbuhkan

kesadaran siswa akan menunaikan kewajibannya sebagai pelajar secara umum,

khususnya dalam memaknai kitab.

f. Bahtsul Masail

Secara etimologi, bahtsul masail terdiri dari dua kata, yaitu bahtsu yang

berarti membahas, dan al-masail yang bermakna beberapa masalah. Dalam

konteks keilmuan Islam, terminologi bahtsul masail merujuk pada sebuah forum
107

diskusi untuk mencari dan memberikan jawaban atau solusi Islam terhadap

problematika-problematika aktual (al-masil al-wqiiyyah).114

Secara substansial, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara

istilah bahtsul masail dengan musyawarah, kedua-duanya merujuk pada kegiatan

adu argumentasi dalam rangka memecahkan hukum suatu permasalahan. Namun

dalam penggunaannya di lingkungan Pesantren Lirboyo, kedua istilah ini dibedakan

karena secara teknis keduanya mempunyai cakupan kajian tersendiri. Musyawarah

merupakan forum kajian terhadap ragam persoalan hukum yang dilakukan oleh

para santri dengan standar kitab yang telah ditentukan, pembahasannya mengalir

sesuai dengan isi materi kitab tersebut. Sementara dalam bahtsul masail standar

kitabnya tidak terikat, artinya diperbolehkan menggunakan sembarang kitab

asalkan mutabaroh, yang menjadi patokan adalah masalah yang dibahas.115

Di pesantren Lirboyo terdapat suatu badan khusus yang menangani kegiatan

bahtsul masail, yaitu Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM

P2L). Pendirian LBM P2L ini merupakan ikhtiyar dan upaya meningkatkan

kwalitas dan kreatifitas siswa melalui pengembangan forum bahtsul masail, kajian

kitab kuning maupun forum kajian ilmiah lain, yang dimaksudkan untuk

mempersiapkan siswa siap dan mampu menjawab masalah-masalah waqiiyah.

Bahtsul masail inilah yang merupakan puncak tertinggi dari tahapan

pembelajaran di MTs HM, karena untuk mengikuti kegiatan Bahtsul masail ini

siswa diharuskan mempunyai kompetensi argumentasi dan pemahaman kitab yang

memadai.

114
http://lbm.lirboyo.net/program/bahtsul-masail/ , diakses pada 30 September 2014.
115
http://lbm.lirboyo.net/program/musyawarah/, diakses pada 30 September 2014.
108

Adapun komponen personalia yang terlibat dalam kegiatan musyawarah

meliputi rois/ moderator, katib/ notulis, perumus, mushohhih, dan peserta

musyawarah. Masing-masing personalia dalam forum musyawarah memiliki hak,

larangan dan kewajiban yang harus ditaati agar musyawarah berjalan khidmat.116

Dalam pelaksanaannya, tata laksana musyawarah tersusun sistematis. Acara

musyawarah dimulai dari pembahasan hal yang prinsip dan berlanjut ke

pengembangan. Secara rinci tahapan tata laksana yang biasa dijalankan dalam

setiap kegiatan musyawaroh adalah sebagai berikut:

1) Pembacaan kitab serta murad(tarjamah dan inti permasalahan)-nya,

2) Penyimpulan materi bahasan,

3) Pertanyaan sekitar Tarkib,

4) Pertanyaan sekitar Tarjamah dan murad (pengertian), serta

5) Pertanyaan yang berkaitan dengan materi bahasan.

Program bahtsul masail ini dibagi ke dalam beberapa jenjang, dimana

penjenjangan ini berfungsi sebagai tahapan kaderisasi mubahitsin yang handal.

Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:

1) Bahtsul Masail Ibtidaiyah

Sesuai dengan namanya, bahtsul masail ini merupakan bahtsul masail

untuk tingkatan siswa Ibtidaiyah. Sering juga disebut dengan MUSGAB

(Musyawarah Gabungan), penamaan ini sebenarnya sekedar untuk menegaskan

bahwa kendati forum tersebut secara teknis persis sebagaimana bahtsul masa`il

pada umumnya, namun kualitas forum ini sepertinya belum cukup layak untuk

116
Penjelasan terkait kewajiban, larangan dan hak masing-masing personalia dalam
musyawarah bisa dilihat pada lampiran.
109

disebut forum bahtsul masa`il yang sesungguhnya. Materi yang di-bahtsu-kan

adalah ilmu alat (nahwu dan shorof).

2) Bahtsul Masail Umum / Lokal

Bahtsul masail ini disebut dengan bahtsul masail lokal karena ruang

lingkup pesertanya hanya intern santri Lirboyo, yaitu Pengurus LBM P2L, siswa

tingkat Tsanawiyah, Aliyah dan perutusan dari masing-masing pondok unit.

Bahtsul masail ini diselenggarakan satu kali dalam seminggu, yakni setiap

malam Selasa. Bahtsul masa`il ini diselenggarakan oleh secara bergilir.

3) Bahtsul Masail Kubro

Bahtsul masail kubro ini disamping diikuti oleh utusan dari siswa tingkat

Tsanawiyah, Aliyah dan utusan dari pondok Unit, juga diikuti oleh para alumni

(Mutakharrijn) MHM dan utusan dari Pondok Pesantren se Jawa Madura yang

diundang. Bahtsul masa`il ini dilaksanakan satu kali dalam satu tahun, yaitu

menjelang akhir tahun.

Adapun persoalan yang dikaji dalam bahtsul masail ini merupakan hasil

inventarisasi dari peserta bahstul masail sendiri, dan terkadang persoalan yang

dikaji juga didapat dari usulan masyarakat luas. Bahkan tak jarang tema yang

diangkat adalah isu-isu berskala nasional. Seringkali jika dirasa bahwa

permasalahan yang disodorkan adalah masalah yang perlu adanya validitas

penjelasan yang lebih akurat, LBM P2L mengundang pihak-pihak yang ahli

dalam bidangnya sebagai narasumber, seperti dokter, praktisi hukum, politikus,

ekonom dll. untuk menyampaikan sejumlah informasi mengenai persoalan yang

sedang dikaji. Keterlibatan para ilmuan dan praktisi yang berkompeten di

bidangnya diharapkan dapat memperjelas duduk persoalan suatu masalah, yang


110

pada gilirannya keputusan-keputusan yang diambil nantinya benar-benar bisa

dipertanggung jawabkan secara ilmiah.


111

BAB V

ANALISIS DATA

Bab ini berisi analisis terhadap data yang berhasil peneliti kumpulkan pada

bab IV diatas. Berhubung penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif, maka data tersebut menjadi titik tolak awal dalam proses analisis data.

Selanjutnya teori yang terhimpun pada sub bab Kajian Teori dimanfaatkan sebagai

bahan penjelas sehingga melahirkan suatu kesimpulan/ teori.117

A. Analisis Pembaruan di Pondok Pesantren Lirboyo

Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan yang mengiblat pada

sistem pendidikan Eropa yang menjangkau sebagian bangsa Indonesia, pesantren

pun mengalami perkembangan kuantitatif maupun kualitatif. Pondok pesantren

yang sering diidentikkan dengan tradisionalis-eksklusif, dalam batas-batas tertentu

tak bersikap jumawa dan menutup diri dengan pembaruan. Ini dikarenakan sesadar-

sadarnya pondok pesantren mengakui bahwa kesempurnaan hakiki hanyalah milik

sang khaliq al-kamil. Maka sejatinya upaya pembaruan menuju kesempurnaan

adalah bagian dari taqorrub (pendekatan) diri kepada-Nya.

Dalam lingkup yang lebih luas, ide-ide pembaruan dunia Islam timbul

sebagai respon dari dekadensi dan stagnasi umat Islam di satu sisi, dibarengi dengan

semakin meningkatnya taraf hidup dunia Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan

117
PPs IAIT Kediri, Teknik Penulisan Karya Ilmiah, hlm. 21.
112

teknologi di sisi lain. Bentuk dekadensi dan stagnasi tersebut dalam konteks pondok

pesantren diutarakan oleh Abdurrahman Wahid sebagai berikut:

tidak adanya perencanaan terperinci dan rasional atas jalannya


pendidikan itu sendiri. Kalaupun ada, perencanaan itu hanyalah
bersifat sangat terbatas, tidak meliputi hubungan antara berbagai
sistem pendidikan yang akan dikembangkan jenjangnya masing-
masing. ... dengan demikian, tidak ada mekanisme pendidikan yang
dapat dikata berlangsung secara menetap, kecuali kesadaran tunggal
bahwa pengajian dan pengajaran harus diberikan secara berjenjang.
... tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang
lebih mudah dicernakan dan dikuasai oleh anak didik. ... hampir-
hampir tidak adanya pembedaan yang jelas antara hal-hal yang benar-
benar diperlukan dan yang tidak diperlukan bagi suatu tingkat
pendidikan. Akibat dari tidak adanya pembedaan seperti ini adalah
tidak adanya sebuah filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap. ...
usaha-usaha untuk menyempurnakan sistem pengajaran yang ada di
pesantren harus diteruskan, terutama mengenai metode pengajaran
dan penetapan materi pelajarannya.118

Jamak diketahui, bahwa sejak lama pondok pesantren terbukti secara massif

telah melakukan proses perubahan dalam tubuhnya, baik karena mendapat

pengaruh dari luar ataupun muncul inisiasi dari dalam pesantren itu sendiri. Dalam

hal ini, yang patut dipertanyakan adalah apakah lembaga tradisional ini akan

mampu bertahan terhadap perubahan dan arus modernisasi yang sedang

berkembang dewasa ini. Jawabannya tentu tergantung pada daya tanggap ini

terhadap tantangan-tantangan yang menimpanya.119

Menyikapi fenomena demikian, selayaknya pesantren tidak latah

memberikan disposisi atas proposal pembaruan dengan iming-iming duniawi,

melainkan dengan arif dan cermat mengambil sikap dalam menentukan pilihan.

Adakalanya sikap memilih untuk tidak memilih merupakan tindakan bijak. Sikap

118
Abdurrahman Wahid, Pendidikan Tradisional di Pesantren, dalam Hairus Salim HS.
(Ed.), Menggerakkan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2007). hlm. 74-77.
119
Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pesantren, hlm. 9.
113

demikian sangatlah rasional, mengingat pondok pesantren merupakan sub kultur

tersendiri dengan coraknya yang khas.

Tarik-menarik antara kepentingan bersikukuh atas tradisi dan menerima

pembaruan harus dicarikan jalan keluar yang memuaskan kedua kepentingan

tersebut. M. Ridlwan Nasir mengusulkan, agar pondok pesantren jeli dalam

mengantisipasi perkembangan zaman, jangan sampai melalaikan khilqoh tradisi

lamanya yang sebenarnya masih harus dipertahankan.120

Mengamati fenomena yang ada, pembaruan sistem atau kebijakan di MHM

Tsanawiyah termasuk juga di pondok Lirboyo pada lingkup yang lebih luas- akan

dilakukan apabila tercium gelagat kurang beres.Dari sini dapat disimpulkan bahwa

sebagian besar upaya pembaruan di MTs Hidayatul Mubtadiien merupakan

langkah kuratif (penanganan) daripada langkah preventif (pencegahan). Secara

tidak langsung fenomena ini mengindikasikan bahwa secara makro upaya

pembaruan di pondok Lirboyo, khususnya di MHM, terbilang kurang antisipatif

terhadap potensi munculnya permasalahan.

Sistem pendidikan di MTs HM dengan warna salafnya telah berjalan dan

berkembang sedemikian rupa mewujud sebagai sebuah sistem pendidikan yang

apik dan unik dalam rangka mencapai tujuan institusional yang digariskan, yaitu

mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah,

serta menciptakan kader-kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu

agama dalam berbagai kondisi.Komponen-komponen dalam sistem pendidikan

tersebut, mulai dari input, proses, lingkungan dan output, saling taut dan padan serta

120
M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 144.
114

saling menunjang satu dengan lainnya. Dilihat dari kompleksitas komponen-

komponen yang ada di pesantren Lirboyo, sangatlah layak apabila pesantren disebut

dengan sub-kultur tersendiri.

Siswa, yang dalam istilah pesantren lebih populer dengan sebutan santri, di

MTs HM yang merupakan komponen inputdalam sistem pendidikan, dengan

kesadaran penuh dan tanggung jawab menjalankan apa yang menjadi

kewajibannya, yaitu mengikuti KBM dan seluruh program yang ditetapkan.

Bahkan, kalau boleh dikatakan, sebenarnya kesadaran dan tanggung jawab siswa di

MTs HM jauh lebih berbobot dibandingkan dengan siswa di sekolah umum.

Dari pengamatan peneliti terhadap sikap siswa di MTs HM dapat terlihat

begitu besarnya kesadaran dan tanggung jawab mereka sebagai siswa, yang

kemudian berdampak pada kedisiplinan dan keaktifan yang tinggi, kemurnian hati

(keikhlasan) dan kesungguhan niat, dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap

ilmu maupun pengajar. Bahkan dalam beberapa contoh, terdapat santri yang karena

kendala faktor kekurangan biaya mondok menjadi santri ndalem untuk membiayai

kehidupannya selama nyantri.

Begitu pun pengajar, yang menjadi komponen proses pada sistem

pendidikan, juga memahami betul apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab

mereka. Bagi mereka, menjadi pengajar di MTs HM bukanlah sebuah profesi,

melainkan sebuah bentuk kewajiban tabligh al-ilmi, sebagai upaya kecil balas jasa

terhadap almamater yang telah mendewasakannya serta sebagai proses aktualisasi

diri. Inilah mengapa para pengajar selalu dan tetap kuat menjalankan tugasnya,

walaupun sebenarnya nelateni (memperhatikan dan memandu dengan

seksama)satu-persatu siswa dirasa cukup berat.


115

Adapun lingkungan di MTs HM, dalam hal ini adalah pondok Lirboyo,

menurut peneliti sangat nyaman dan mendukung pada terciptanya kondisi

pembelajaran yang maksimal. Dari keseluruhan komponen sistem pendidikan di

MTs HM yang saling menunjang inilah akhirnya terlahir output santri berkualitas

yang kelak akan menjadi pemimpin agama.

B. Analisis Pembaruan Kurikulum di MTs. HM

1. Prinsip Pembaruan Kurikulum di MHM Tingkatan Tsanawiyah

Dalam melakukan pembaruan kurikulumnya, pimpinan MHM Lirboyo

terlihat sangat cermat dan berhati-hati mengambil langkah. Bukan berarti bahwa

kurikulum di MHM Lirboyo sudah berketetapan final dan mengikat, namun

selayaknya setiap kebijakan pembaruan -terlebih terkait kurikulum- harus

dipertimbangkan matang-matang. Terlebih lagi, terdapat kepercayaan yang

didukung dengan kepatuhansendhiko dawuh terhadap sesepuh- bahwa ijtihad

kurikulum yang dilakukan para sesepuh (kiai senior terdahulu) tidak dilakukan

secara sembarangan, melainkan dari hasil kontemplasi tingkat tinggi disertai

dengan riyadloh yang berat sehingga menghasilkan produk ijtihad kurikulum yang

fix.121Dari sini dapat dipahami kenapa kurikulum di MHM Lirboyo tidak

mengalami perubahan signifikan setiap tahunnya.

Betapa pun keberadaan kurikulum lama sebagai hasil ijtihad sesepuh selalu

membayangi, pembaruan kurikulum tak dapat dielakkan manakala pimpinan MHM

memandang terdapat kurikulum alternatif yang lebih ashlah (maslahat). Hal ini

121
Wawancara Bapak Irfan Zidni, sebagaimana didawuhkan oleh KH. Abdul Aziz Manshur
116

membuktikan bahwa pembaruan kurikululm yang dilakukan di tubuh MHM

menerapkan prinsip kehati-hatian dan pertimbangan secara matang.

Disamping itu, pimpinan MHM juga telah menerapkan beberapa prinsip-

prinsip yang ditetapkan dalam pengembangan kurikulum. Adapun Prinsip-prisip

yang cukup signifikan diterapkan adalah prinsip relevasi, fleksibilitas dan

kesinambungan (kontinuitas).

Pertama, prinsip relevansi (kesesuaian), baik relevansi ke luar dan relevansi

di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke dalam berarti bahwa terdapat

kesesuaian pembaruan kurikulum yang telah diterapkan dengan komponen lain

dalam sistem pendidikan, yaitu tujuan, metode/ strategi pembelajaran, maupun sisi

evaluasi.

Dalam konteks relevansi kurikulum dengan tujuan pendidikan bisa dilihat

dari tujuan awal pendirian pondok pesantren Lirboyo yang dilatarbelakangi oleh

keadaan masyarakat desa Lirboyo pada waktu itu yang bermoral rendah, bahkan

bersifat bromo corah.122 Berangkat dari kondisi ini, maka bisa disimpulkan bahwa

tujuan pertama dari pendirian pesantren Lirboyo adalah amar maruf nahi

munkar.123 Tujuan pertama ini dalam perkembangannya terus disempurnakan

sesuai dengan tuntutan keadaan. Ketika jumlah santri yang berdatangan terus

meningkat, maka tujuan dari pesantren ini, menurut KH. Fuad Hasyim, adalah

menjadikan dirinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mewariskan ilmu

ulama as-salaf as-sholih.124

122
Moh. Aliyah Zen, Abad Pondok Pesantren Lirboyo, (Kediri: Siswa Kelas III Aliyah
MHM Lirboyo 1984-1985, 1985), hlm. 58.
123
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo, hlm. 98.
124
Narjohn Najich Afnany, Le Azm, (Kediri: Tamatan Madrasah Aliyah MHM, 1994), hlm.
xi
117

Dengan diteguhkannya pesantren Lirboyo sebagai sebuah lembaga

pendidikan keagamaan Islam, maka didirikanlah Madrasah Hidayatul Mubtadiien

dengan visi misi yang senafas dengan tujuan pertama didirikannya pondok

pesantren Lirboyo. Visi misi itu secara gamblang dinyatakan menciptakan kader-

kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama dalam berbagai

kondisi. Untuk memenuhi misi tersebut, maka tata kurikulum di MHM Lirboyo

terus disempurnakan dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.Hal

ini membuktikan, bahwa terdapat relevansi pengembangan kurikulum dengan

tujuan pendidikan yang tertuang dalam visi misi.

Hal ini dapat diilustrasikan dalam gambar di bawah:

BAGAN 2
KORELASI PEMBARUAN KURIKULUM DAN TUJUAN MHM

MHM Masyarakat
VISI: menciptakan
kader ulama yang Supply ahli agama
mampu Membutuhkan ahli
mentransformasikan agama
ilmu agama

Pembaruan dan Dinamika sosial,


penyempurnaan politik, ekonomi, dll
kurikulum Bahan pertimbangan

Adapun relevansi inovasi/ pembaruankurikulum dengan pembelajaran bisa

ditemukan pada penyusunan kitab taqrirot125sebagai kitab ajar untuk sebagian

125
Kitab Taqrirot merupakan istilah yang ditujukan pada kitab karya ulama abad
pertengahan (antara abad 12- 15 M.) yang disertai tambahan penjelasan, komentar atau contoh dari
kitab-kitab karya ulama lain yang terkait. Penambahan penjelasan dilakukan oleh tim ahli dari
118

disiplin ilmu. Pada prinsipnya, komentar yang ada di kitab taqrirotberisi penjelasan

masalah yang dianggap penting dan membutuhkan penekanan, sulit dipahami, atau

sekedar memberikan contoh aplikatif. Komentar ini diusahakan ditulis secara

singkat dan padat.

Penjelasan yang singkat dan padat ini sangat membantu santri dalam

memahami isi kitab ashalyang terkadang sulit dicerna.Penjelasan kitab taqrirot

yang singkat dan padat ini menjadi selaras dengan metode pengajaran yang ber-

prinsip pada pengajaran standar, dalam arti tidak terlalu melebar dan disesuaikan

dengan kemampuan daya tangkap siswa.

Di sisi lain penjelasan kitab taqrirot yang singkat dan padat itu juga

merangsang para santri untuk menelaah lebih lanjut kitab-kitab syarah maupun

hasyiyah yang menjadi rujukan pengambilan kitab taqrirot tersebut. Rangsangan

untuk menelaah kitab syarah maupun hasyiyah ini terbukti cukup efektif memacu

para santri untuk terus meningkatkan pemahamannya dari sekedar penjelasan yang

tertulis di kitab taqrirot. Terlebih lagi dengan adanya program musyawaroh yang

rutin diadakan, menjadikan santri semakin termotivasi untuk mengadakan

pendalaman dan pengkayaan materi.

Dari sini dapat dipahami bahwa penyusunan kitab taqrirot sebagai kitab ajar

dan sekaligus sebagai kurikulum di MHM Lirboyo sangat mempertimbangkan

kemampuan siswa dan metode pengajaran yang ada, sehingga antara materi yang

diajarkan dan metode yang diterapkan bisa beriringan harmonis dan relevan.

MHM. Kitab ini merupakan kitab eksklusif Lirboyo, karena hanya diajarkan di MHM Lirboyo. Dari
studi dokumentasi diketemukan bahwa penggunaan kitab taqrirot sebagai kitab ajar di MHM
Lirboyo mencapai prosentase.
119

Adapun relevansi ke luar berarti bahwa kurikulum di MHM harus relevan

dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Berdasarkan studi

lapangan, diketahui bahwa lulusan MHM Lirboyo telah banyak berkecimpung

dalam dunia pendidikan sebagai ustadz/ guru, baik di lembaga pendidikan formal,

informal, maupun non-formal, kiai, modin, dan lain sebagainya. Bahkan setiap

tahun angka permohonan penyediaan guru bantu dari pondok pesantren atau

madrasah lain semakin meningkat. Besarnya angka keterserapan alumni MHM

Lirboyo ini membuktikan bahwa kurikulum yang diterapkan di MHM Lirboyo tetap

relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Dalam lingkup yang lebih luas, Kafrawi menjelaskan bahwa pondok

pesantren mampu berkembang dan bertahan di tengah arus globalisasi karena masih

mendapat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat.126 Sedangkan Ali Anwar

berpendapat karena pondok pesantren masih sesuai dengan kecendrungan sosio-

kultural komunitas lingkungannya, yaitu masyarakat yang berfaham Ahlus Sunnah

wal Jamaah.127 Kedua pendapat ini juga turut menguatkan kesimpulan bahwa

pondok pesantren mempunyai relevansi keluar.

Kedua, prinsip fleksibelitas (keluwesan); artinya pembaruan kurikulum

tidak kaku dan ada semacam ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam

bertindak. Implementasi prinsip ini berlaku dalam hal keluwesan dan kebebasan

memilih program pengembangan kursus/ pelatihan pengembangan diri128 dan juga

dalam memilih berbagai pilihan alternatif kajian kitab kuning. Adapun dalam

126
Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren, hlm. 70.
127
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, hlm. 165.
128
Program ini ditangani oleh seksi Pramuka dalam struktural kepengurusan pondok
pesantren Lirboyo.
120

konteks MHM, santri tidak mempunyai ruang untuk memilih satu atau beberapa fan

(cabang ilmu) yang disukainya saja, karena materi pelajaran di MHM ditawarkan

secara paket,mengingat antara cabang ilmu yang satu dengan lainnya terdapat inter-

relasi materi yang saling melengkapi satu dengan yang lain.

Ketiga, prinsip kesinambungan (kontinuitas); yaitu adanya saling

keterkaitan antara tingkat pendidikan dan bidang studi. Dari hasil studi

dokumentasi, peneliti menemukan bahwa pada penerapan kurikulum baru yang

tertuang dalam buku HSPK tahun pelajaran: 1435-1436 H./ 2014-2015 M. materi

ajar yang disajikan menunjukkan prinsip kesinambungan. Hal ini dapat dilihat dari

penyusunan buku ajar dalam satu disiplin ilmu dari tingkatan kelas yang satu ke

tingkatan kelas lain yang dilakukan secara berjenjang dan bertahap sesuai dengan

bobot kedalaman dan kesukaran kitab, dimulai dari kitab dasar, kitab menengah,

dan kitab besar.

Sebagai contoh, buku ajar fan fiqih yang diterapkan di MHM Lirboyo secara

bertahap dan berjenjang disusun berdasarkan bobot kedalaman pembahasan dan

tingkat analitis, disesuaikan dengan tingkat kemampuan menangkap dan mencerna

peserta didik (santri). Tercatat secara urut yaitu kitab Fasholatan (I Ibtidaiyah),

Safinatus Sholah (II Ibtidaiyah), Tanwirul Hija (III Ibtidaiyah), Sullamut Taufiq (IV

Ibtidaiyah), Fathul Qorib I (V Ibtidaiyah), Fathul Qorib II (VI Ibtidaiyah), Fathul

Muin I (I Tsanawiyah), Fathul Muin II (II Tsanawiyah), Fathul Muin III (III

Tsanawiyah), al-Mahalli I (I Aliyah), al-Mahalli II (II Aliyah), al-Mahalli III (III

Aliyah).

Hal ini sesuai dengan rumusan Zamakhsyari Dhofier bahwa, format

pendidikan yang diterapkan pondok pesantren disusun menggunakan sistem gradasi


121

berdasarkan pada tingkat kualitas kitab Islam klasik secara berjenjang pada masing-

masing disiplin keilmuan. Ia menggolongkan kitab Islam klasik tersebut kedalam

tiga kelompok, yaitu kitab dasar, kitab menengah, dan kitab besar.129

2. Model Pembaruan Kurikulum di MHM Tingkatan Tsanawiyah

Kurikulum MHM Lirboyo tampak dinamis mengembangkan materi ajarnya.

Hal ini bisa dilihat dari proses penyempurnaan yang terus diupayakan setiap

tahunnya. Rekam jejak pembaruan kurikulum dapat ditelisik di buku HSPK dari

tahun ke tahun.

Secara garis besar, pembaruan kurikulum di MHM dapat dikatakan sebagai

sebuah upaya penyempurnaan, untuk tidak mengatakan sebagai perombakan.

Kedua terminologi ini mempunyai signifikansi perbedaan arti, dimana

penyempurnaan mengandung arti bahwa objek yang diperbarui memiliki kriteria

cukup atau sudah sempurna, sementara masih terdapat kekurangan yang non-

prinsip sehingga memerlukan perbaikan-perbaikan kecil. Sedangkan perombakan

mengindikasikan bahwa objek dirasa sudah tidak relevan lagi dan terdapat

kekurangan yang prinsip, sehingga memerlukan upaya perbaikan yang relatif besar.

Bisa dikatakan bahwa dinamika kurikulum MHM Lirboyo -dengan beberapa

keeksklusifannya merupakan upaya menjaga tradisi salaf disertai dengan

melakukan pembaruan-pembaruan untuk menunjang keberhasilan pendidikan

salafnya. Hal ini terlihat dengan kukuhnya MHM Lirboyo menetapkan kurikulum

salafnya. Dalam keadaan demikian, pembaruan pun tidak lantas dilupakan, hanya

saja lebih diprioritaskan pada penguatan teknis pembelajaran. Ini dikarenakan

129
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), hlm. 50-51.
122

karena dinamika kurikulum MHM Lirboyo didasari dengan prinsip al-akhdzu bi al-

jadid al-ashlah, tanpa melupakan prinsip al-muhafadzhotu ala al-qodim as-sholih.

Dari sini dapat dipahami alasan kenapa MHM Lirboyo berkali-kali tidak

merespon kebijakan pemerintah (Kementrian Agama) terkait tawaran

muadalah(pengakuan persamaan pendidikan) yang dalam konsepnya menuntut

pondok pesantren untuk memasukkan pelajaran umum dalam kurikulumnya,

diantaranya pada tahun 1950130, tahun 1960131 dan pada tahun 2000132.

Konsistensi MHM Lirboyo dalam mengembangkan pendidikan Islam ala

salaf pada akhirnya mendapat Pengakuan Kesetaraan Madrasah (Muadalah) dari

Dirjen. Kelembagaan Agama Islam pada tahun 2006.133 Dalam hal ini, tingkatan

Tsanawiyah MHM telah mendapat pengakuan kesetaraan dengan jenjang

pendidikan Aliyah Cairo Mesir, sehingga Ijazah Tsanawiyah MHM dapat

digunakan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Universitas al-Azhar

Cairo Mesir. Sementara tingkatan Aliyah MHM mendapat pengakuan kesetaraan

dengan Madrasah Aliyah, sehingga Ijazah Aliyah MHM dapat digunakan untuk

melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi.134

Sangat berbeda dengan pola pembaruan yang dilakukan beberapa pondok

salaf yang cenderung mengikuti alur perkembangan pendidikan nasional dengan

memasukkan pelajaran umum, seperti pesantren Mambaul Maarif Denanyar,

pesantren Darul Ulum Rejoso, Bahrul Ulum Tambak Beras, dan pesantren

Salafiyah Syafiiyah Tebu Ireng masing-masing dengan Sekolah dan Madrasah

130
UU. Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950, bab VI tentang Kewajiban
Belajar, pasal 10, ayat 2.
131
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1960, Bab II, Pasal 4, ayat 1, Point c.
132
SKB Mendiknas dan Menag RI No. 1/U/KB/2000 Bab II, dan No. MA/86/2000.
133
MHM, HSPK 2014-2015, hlm. xiii.
134
Surat Keputusan Direjen. Kelembagaan Agama Islam Nomor Dj. II/46A/06.
123

dengan kurikulum nasional Diknas ataupun Kemenag, baik swasta maupun negeri.

Di samping kelebihan masing-masing kurikulum salaf yang dikembangkan

tentunya, pesantren ini cenderung terlihat lebih memasarkan nilai tambah

pendidikan umum. Sedang pesantren Lirboyo tetap konsisten menjaga tradisi

dengan kedigdayaan kurikulum salafnya,

Dalam hal penyusunan kurikulum, MHM Lirboyo terlihat cenderung

menggunakan pendekatan humanistik. Ini terlihat dari penggunaan kitab ajar yang

secara gradual disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Dalam mata

pelajaran fiqih misalnya, di Madrasah Tsanawiyah MHM digunakan kitab ajar

Fathul Muin. Pertimbangan penggunaan kitab tersebut terlepas dari faktor

popularitas kitab adalah karena kitab Fathul Muin dipandang cukup untuk

digunakan sebagai referensi hukum, qoul-qoul didalamnya arjah, pembahasannya

juga proporsional, dalam arti tidak terlalu berlebih sehingga dirasa cocok untuk

dipakai sebagai kurikulum di Madrasah Tsanawiyah MHM. Padahal masih banyak

kitab fiqih yang berkualitas dan cukup memadai.

Meskipun demikian, dalam beberapa hal MHM Lirboyo juga terkadang

menggunakan pendekatan selain humanistik, misalnya pendekatan dengan orientasi

pola organisasi bahan dan pendekatan dengan orientasi tujuan. Pendekatan dengan

orientasi pola organisasi bahan ditemui pada proses penggantian kitab ajar mata

pelajaran Tafsir, dari Tafsir Jalalain menjadi Mukhtashor Tafsir Ayatil Ahkam.

Penggantian kitab ajar ini lebih didasarkan pada pertimbangan terciptanya

pemahaman siswa yang terintegrasi antara materi pelajaran fiqih dengan tafsir al-

Quran.
124

Adapun pendekatan dengan orientasi tujuan ditemui pada proses

penambahan mata pelajaran Tarikh di kelas III Tsanawiyah dengan kitab ajar

Manaqib Madzahib al-Arbaah. Penambahan kitab ajar ini dipandang sangat urgen

dalam rangka membekali siswa dengan siroh (perjalanan hidup) ulama sebagai suri

teladan maupun sebagai benteng aqidah ahlus sunnah wal jamaah yang

merupakan tujuan dari MHM sendiri.

Pembaruan kurikulum di MHM Lirboyo juga nampak telah melalui tahapan-

tahapan pada prosedur pembaruan kurikulum. Dalam hal ini, penggodokan HSPK

merupakan pembaruan kurikulum pada tingkat lembaga. Di HSPK dirumuskan

tujuan institusional, isi dan struktur program dan strategi pelaksanaan kurikulum

secara makro. Rumusan HSPK ini kemudian digodok lagi di tataran dewan

Mustahiqqin per-tingkatan kelas untuk merumuskan tujuan kurikuler, misalnya

terkait batasan dan standar kompetensi materi pelajaran, serta strategi pelaksanaan.

Penggodokan ini terbilang cukup memadai dalam merumuskan tujuan kurikuler,

hanya saja hasilnya belum terkodifikasi ke dalam GBPP dan strategi pelaksanaan

secara rapi dan sistematis. Hal mana menjadi rahasia umum bahwa kelemahan

pondok pesantren salaf adalah di titik manajemen administratifnya.

Tahap selanjutnya adalah penerapan kurikulum di tingkat pengajaran di

kelas. Hal ini dilakukan oleh Mustahiq dan Munawwib masing-masing sesuai

dengan pengalamannya dengan berpedoman pada rumusan kurikulum yang telah

ditetapkan.

Penyusunan dan pembaruan kurikulum di MHM tampaknya juga sangat

memperhatikan pola organisasi kurikulum. Pola organisasi kurikulum disini lebih

ditekankan pada terciptanya korelasi/ keterkaitan materi mata pelajaran satu dengan
125

materi pelajaran yang lain. Diantara keterkaitan materi lintasmata pelajaran adalah

sebagai berikut:

a) qoidah fiqhiyyah - ushul fiqih fiqih

b) ilal shorof

c) nahwu irob

d) badi maani bayan dan lain-lain.

Dalam hal ini, korelasi mata pelajaran qoidah fiqhiyyah - ushul fiqih fiqih,

nahwu irob, shorof ilal merupakan bentuk organisasi kurikulum yang berpola

correlated curriculum. Sedangkan pada pelajaran badi maani bayan terlihat

pola broad field curriculum.

Pada kesempatan yang lain, pola integrated curriculum juga nampak pada

pelaksanaan bahtsul masail. Sebagaimana diketahui, bahtsul masail merupakan

kegiatan akademik yang ditujukan untuk memecahkan problem hukum masail

waqiiyyah (fenomena di masyarakat). Dalam upaya pencarian jawaban hukum atas

masail waqiiyyah tersebut tentu tak cukup menggunakan pisau analisis berupa

perspektif hukum fiqih belaka, namun juga diperlukan perspektif keilmuan lain

yang digunakan sebagai kacamata untuk memahami masail waqiiyyah secara

komprehensif.

Pada akhirnya, secara garis besar kurikululm di MTs. HM telah mengalami

berbagai macam pembaruan, baik pada ranah materi kurikulum maupun

manajemen kurikulumnya. Pembaruan dan penyusunan kurikulum di MTs. Lirboyo

sebenarnya lebih didasari oleh pertimbangan ketercapaian target dan hasil (out put

siswa), daripada terus melakukan pembaruan dengan konsep yang muluk-


126

muluknamun pada realitanya pelaksanaan dan hasilnya masih belum jelas, seperti

pergantian kurikulum di sekolah formal yang tak kunjung usai.

Senyatanya, hasil (out put) dari pendidikan di MTs HM telah nampak dan

diakui oleh masyarakat. Sekalipun demikian, kalaupun ada hasil yang belum sesuai

dengan yang diharapkan, sangat dimungkinkan terdapat kendala dalam proses

pembelajarannya. Inilah kenapa MTs. HM Lirboyo lebih menitik beratkan

pembaruan sistem pendidikan salafnya pada aspek pembelajaran daripada aspek

kurikulum. Adapun analisis pembaruan yang dilakukan pada aspek pembelajaran

adalah sebagaimana akan dibahas pada sub bab di bawah ini.

C. Analisis Pembaruan Pembelajaran di MTs. HM

Pembaruan pembelajaran dan kependidikan di MHM Lirboyo selalu

diupayakan setiap waktu sebagai langkah preventif (pencegahan), kuratif

(penanganan terhadap permasalahan yang muncul) dan penyempurnaan.

Pembaruan ini saling taut dan padan (link and match) satu sama lain dalam

kerangka saling mengisi dan menguatkan. Sebagaimana dijelaskan di atas, langkah

pembaruan di MTs. HM lebih dicurahkan pada penguatan proses pembelajarannya,

sementara pembaruan kurikulum terpantau sangat berhati-hati.

Dapat dikatakan, pada hakikatnya diantara sekian banyak model

pembelajaran di MHM Tsanawiyah Lirboyo, pembelajaran yang menjadi lokus

utama adalah proses pembelajaran di kelas. Pada KBM kelas inilah terjadi

transformasi pelajaran yang menjadi fungsi pokok sebuah lembaga pendidikan.

Sekalipun demikian, namun KBM di kelas ini belumlah dianggap cukup dan

representatif untuk dikatakan sebagai proses pembelajaran yang sempurna, karena


127

pada kenyataannya seefektif apapun pembelajaran di kelas hanya bisa memberi

warna pada ranah kognitif, yaitu transfer pengetahuan. Padahal sejatinya hakikat

pendidikan di pondok pesantren adalah membentuk dan membangun pola pikir

manusia religius yang tafaqquh fi ad-din.135 Inilah sebabnya diperlukan perangkat

pembelajaran lain yang menunjang proses pembelajaran di kelas.

Diantara pembelajaran penunjang itu adalah musyawarah. Musyawarah

yang notabene merupakan model pembelajaran yang menitik beratkan pada

kegiatan bertukar pikiran juga berfungsi sebagai wahana latih argumentasi dan

pengembangan pemahaman, yang notabene bahan baku pendalaman pemahaman

itu tak lain adalah hasil pemahaman di KBM kelas. Di sisi lain, musyawarah juga

mempunyai signifikansi peran dalam memahamkan pelajaran, karena sebagaimana

diketahui sebelum melangkah ke pengembangan materi, terlebih dahulu

disyaratkan rois harus memahamkan inti materi ajar ke seluruh siswa, karena

memang pada kenyataannya tidak semua siswa langsung bisa memahami pelajaran

dari penjelasan pengajar. Itu berarti bahwa kegiatan musyawarah turut menunjang

proses KBM di kelas. Hubungan timbal balik antara KBM dan musyawarah yang

saling menunjang dan menguatkan ini menjadi dasar diwajibkannya program

musyawarah.

Adapun program koreksian kitab yang menjadi persyaratan awal mengikuti

ujian semester mempunyai dampak yang sangat besar terhadap keaktifan dan

kedisiplinan siswa mengikuti KBM di kelas. Hal ini dikarenakan siswa mendapat

tuntutan agar makna kitabnya penuh. Sekalipun sebenarnya untuk memenuhi target

makna kitab lengkap bisa disiasati dengan nembel kitab di luar jam KBM, namun

135
Wawancara Bapak Masrukan.
128

kenyataannya siswa cenderung memilih memaknai kitab langsung dari pembacaan

Mustahiq dan Munawwib. Karena untuk nembel kitab di waktu lain ternyata

membutuhkan waktu yang tidak sebentar, dana yang dibutuhkan juga cukup besar.

Disamping juga adanya kekhawatiran terjadinya distorsi makna dari makna asli dan

kepercayaan taalluq barokah yang melekat di dada santri. Dan pada akhirnya,

makna yang lengkap juga akan sangat membantu dalam memahami materi

pelajaran dan juga berfungsi mengingatkan pemahaman tatkala lupa.

Muhafadzhoh juga memegang peranan yang penting dalam memacu

ketertarikan siswa untuk menghafalkan materi pelajaran, hal mana tradisi hafalan

merupakan satu-satunya media dalam transmisi keilmuan di masa lalu.Walaupun

metode hafalan ini seringkali mendapat kritikan dari praktisi pendidikan yang

menyarankan metode pemahaman daripada hafalan dan menuduh metode

hafalan sebagai biang kerok dari lambatnya proses pendidikan dan gaya belajar,

namun pesantren tetap meyakini bahwa metode hafalan mempunyai signifikansi

yang besar terhadap keberhasilan pembelajaran.

Bahkan di MHM Lirboyo sering terdengar indoktrinasi hafalkanlah

sebelum memahami, bukan sebaliknya menghafalkan akan menjadi lebih mudah

jika materi sudah dipahami. Disinilah sebenarnya letak keunggulan metode yang

diterapkan MHM, bahwa sejatinya hafalan tidak dijadikan satu-satunya metode

yang dirancang agar siswa dapat menguasai pelajaran, namun menjadi faktor

penopang agar pemahaman itu dapat bertahan lama tanpa distorsi pemahaman.

Adapun pertimbangan anjuran agar siswa mendahulukan hafalan terlebih

dahulu daripada pemahaman lebih didasarkan pada upaya merangsang psikologis

siswa agar siswa menjadi penasaran terhadap maksud dari materi yang telah
129

dihapalkannya itu, sehingga dengan rasa penasaran itu siswa lebih bersemangat

mendengarkan penjelasan pengajar. Pada akhirnya ketika pengajar memberi

penjelasan atas pelajaran yang sudah dihapalkan itu, siswa menemukan pemahaman

seraya berusaha mensinergikan/ menemukan hubungan-hubungan hapalannya

dengan penjelasan materi dari pengajar.

Metode muhafadzhoh/ hafalan yang diterapkan di MHM masih terbilang

tradisional. Ini terlihat dari cara siswa menghafalkan nadzhom-nadzhom dengan

cara mengulang-ulang nadzhom-nadzhom itu sampai menjadi lekat di memori otak.

Metode hafalan tradisional ini sedikit berbeda dengan metode hafalan modern yang

menggunakan strategi baru agar hafalan menjadi lebih mudah. Diantaranya adalah

dengan mengasosiasikan materi yang dihafalkan dengan benda yang mudah diingat,

sehingga materi hafalan pun menjadi mudah diingat.

Dengan menggunakan metode hafalan tradisional, santri dituntut untuk lebih

giat dan tekun berusaha. Terlebih nadzhom-nadzhom yang harus dihapalkan

terbilang tidak sedikit. Dalam rata-rata saja siswa MTs HM. tiap tahunnya harus

menghapalkan setidaknya 400 nadzhom, itu belum termasuk hafalan qouluhu yang

disetor setiap satu minggu sekali.

Untuk itu, kiranya tidak ada salahnya apabila MHM juga mempertim-

bangkan menggunakan pendekatan hafalan lain yang dirasa cocok tanpa menggerus

tradisi yang selama ini tetap dipertahankan. Mengingat tidak semua siswa memiliki

kemampuan yang cukup untuk menghafal nadzhom sebagaimana ditargetkan, entah

karena memang murni kemampuan IQ-nya ataupun karena terkendala waktu

menjalankan tugas yang lain. Sekalipun sebenarnya, metode hafalan lama ini
130

mempunyai nilai lebih, yaitu membangun karakter kerja keras dan kesungguhan

usaha dalam jiwa santri.

Musyafahah maupun tamrin juga dirasakan penting manfaatnya untuk

merangsang daya ingat siswa dan sekaligus juga mengingatkan pelajaran yang telah

lampau. Karena seiring dengan semakin menurunnya minat belajar siswa, maka

tidak akan tercipta pembelajaran yang efektif jika hanya diprioritaskan melanjutkan

materi sementara materi yang telah lalu dihiraukan tanpa diperduli, apakah siswa

masih mengingatnya atau sudah hilang kabur tertiup angin.Mengingat pentingnya

musyafahah dan tamrin dalam menunjang keberhasilan pembelajaran, maka sudah

sepantasnya program ini terus dilanjutkan disertai dengan penyempurnaan teknis

agar lebih maksimal.

Adapun bahtsul masail sebagai wadah aktualisasi tafaqquh (kedalaman

pemahaman) santri mempunyai peran strategis dan signifikan dalam membina dan

meningkatkan bakat minat santri dalam istinbath al-hukmi atas al-masail al-

waqiiyah.

Dari paparan data di atas, fungsi dan peran masing-masing model

pembelajaran di MHM Lirboyo dapat disederhanakan pada bagan berikut:


131

BAGAN 3
KORELASI ANTAR-PEMBELAJARAN DI MTs. HM.

Koreksian Kitab Muhafadzhoh


Tujuan:
Tujuan:
Hafal materi pokok
Kelengkapan kitab
pelajaran
dan makna

Proses KBM
Tujuan: transformasi dan
memahamkan materi pelajaran

Musyafahah
Tujuan: Tujuan:

pemantapan pendalaman Review pelajaran


pemahaman pemahaman lampau

Musyawarah

Bahtsul Masail
Tujuan: memecahkan
hukum permasalahan
waqiiyyah

Sebagaimana dijelaskan, bahwa di MTs HM tidak ditentukan metode

pengajaran yang secara khusus diinstruksikan penggunaannya oleh pimpinan

Madrasah. Pimpinan MHM dalam hal ini memberikan kepercayaan dan otoritas
132

sepenuhnya kepada para pengajar untuk mengelola, menerapkan dan

mengembangkan metode pengajaran yang akan digunakan oleh mereka sesuai

dengan kemampuan dan keyakinannya akan suatu metode pengajaran, serta

mempertimbangkan kebutuhan dan situasi-kondisi siswa, dengan tetap berpedoman

pada ketentuan yang digariskan dalam HSPK.

Keleluasaan yang diberikan kepada Mustahiq dalam menggunakan metode

pengajaran sangat besar pengaruhnya dalam inovasi pembelajaran yang dikem-

bangkan oleh Mustahiq maupun Munawwib. Dalam hal ini, biasanya pengajar

menggunakan teknik dan strateginya sendiri. Kemudian setiap kali terjadi permasa-

lahan/ kendala, pengajar melakukan introspeksi dan kontemplasi diri untuk

menemukan akar permasalahan yang dihadapinya. Setelah diketahui sabab-

musabbab permasalahan, maka ia mencari solusi penyelesaiannya untuk kemudian

diterapkan. Apabila dirasa masih kurang efektif, maka ia melakukan inovasi lagi,

begitulah seterusnya sampai permasalahan yang ada dapat terselesaikan.

Bila permasalahan belum juga dapat diselesaikan sendiri, pengajar akan

melakukan sharing dengan pengajar kelas lain di forum dewan Mustahiqqin atau

dengan atasannya, yaitu Mufattisy. Dengan kebersamaan inilah semua

permasalahan dapat teratasi. Pada prinsipnya, kendala atau permasalahan yang

dihadapi beberapa pengajar sama saja, yaitu terkait menurunnya kualitas dan

semangat belajar siswa.

Bila dicermati, upaya-upaya penyelesaian masalah dan pembaruan

pembelajaran ini berlangsung secara alamiah dan mengandalkan kepekaan serta

ide-ide kreatif dari pimpinan maupun pengajar. Dalam konteks percepatan

pembaruan, mungkin upaya ini dikatakan kurang bergairah. Tak ada salahnya bila
133

pemegang otoritas di MHM Lirboyo mengadopsi rumusan-rumusan pembaruan

pembelajaran agar hasil yang dicapai lebih efektif dan efisien.

Karena tidak ada patokan paten, pembelajaran yang dijalankan Mustahiq/

Munawwib di kelas pun tidak hanya menggunakan pola pembelajaran tertentu,

melainkan fleksibel menyesuaikan keadaan. Namun dalam prakteknya, pola

pembelajaran yang sering dipakai adalah pola pembelajaran Top Down. Bahkan

pola ini berlangsung sistemik mulai dari penyusunan kurikululm dan pembelajaran

di HSPK, pembelajaran di kelas, kegiatan musyawarah, sampai bahtsul masail

yang sarat dengan nuansa kebebasan ber-ekspresi.

Dalam hal penyusunan kurikulum dan pembelajaran di HSPK, pola Top

Down ini seakan harga mati yang tidak bisa lagi ditawar. Begitupun tidak berarti

tidak ada celah untuk mengusulkan perubahan. Usulan perubahan dapat

disampaikan melalui sidang evaluasi yang dilaksanakan tiap pergantian kwartal.

Dalam batas tertentu, penggunaan pola Top Down pada kegiatan KBM

kelas, musyawarah maupun bahtsul masail terlihat mendominasi. Dalam KBM di

kelas misalnya, sudah barang tentu pengajar yang mempunyai keunggulan

senioritas dan kedudukan posisi pemegang otoritas kebenaran . Top Down. Namun

di lain kesempatan tak jarang juga terlihat menggunakan Quantum Learning.

Penggunaan metode Quantum Learning ini terjadi dalam sesi pembelajaran privat,

seperti pada kegiatan sorogan maupun waktu tambahan untuk siswa

Masing-masing Mustahiq maupun Munawwib memiliki gaya dan strategi

pembelajaran tersendiri dalam upaya meningkatkan kualitas siswa didiknya. Di

MHM Lirboyo terdapat kompetisi antar kelas yang dirasa sangat bergengsi, yaitu
134

dalam hal meraih prestasi sebagai Kelas Teladan dan kelas peraih nilai terbaik

dalam Muhafadzhoh Akhirus Sanah.

Dalam proses pembelajaran tentulah tak bisa melupakan unsur evaluasi

pembelajaran, agar permasalahan-permasalahan yang terjadi diketemukan jalan

keluarnya sehingga proses pembalajaran dapat berlangsung dengan baik. Di

Madrasah Tsanawiyah MHM didapati saluran-saluran evaluasi yang sangat

memadai. Di masing-masing tataran, mulai dari individual pengajar, dewan

pengajar dalam satu kelas dan tingkatan, serta masing-masing badan otonom dalam

segala tingkatannya secara berkala terpantau rajin mengadakan evaluasi.

Evaluasi di tataran individual pengajar secara nyata terlihat dari kontemplasi

pribadi atas metode/ kebijakan yang telah diambil. Secara simultan, beberapa nara

sumber yang menjadi informan dalam penelitian ini menyatakan telah mengalami

berkali-kali pengalaman yang pada akhirnya menuntun mereka menemukan

metode/ pola pendidikan yang tepat.

Pada tataran dewan pengajar dalam satu tingkat kelas, evaluasi dilaksanakan

pada kesempatan informal kopi darat secara berkala, biasanya telah disepakati

untuk diagendakan 2 (dua) kali pertemuan dalam seminggu. Alur pembahasannya

tidak terstruktur, namun mempunyai arah perbincangan yang jelas dan terarah,

yaitu permasalahan yang terjadi di kelas, personalia siswa, materi ajar, metode

pembelajaran, dan lain-lain. Sementara itu, dewan Mudier dan Mufattisy

(pengawas) di masing-masing tingkatan senantiasa melakukan komunikasi dan

kontrol terhadap perkembangan di bawahannya.

Dalam kaitannya dengan sharing pimpinan MHM dengan dewan pengajar,

pada tiap akhir kwartal rutin diagendakan Temu Wicara, dengan titik tekan laporan
135

dan evaluasi proses pengajaran dan pembelajaran. Forum ini dilakukan dengan

dewan pengajar per-tingkatan kelas, sehingga dibutuhkan waktu yang cukup lama

untuk merampungkan keseluruhan tingkat kelas yang ada.

Keberadaan forum ini cukup efektif dalam memberikan solusi dan

pencerahan/ inspiransi, motivasi serta sebagai sambung rasa antara dewan pengajar

dengan pimpinan MHM. Dan pada gilirannya membawa dampak positif terhadap

proses KBM ke depan.

Sebagaimana diketahui, visi MHM Lirboyo adalah Beriman, Bertaqwa,

Berakhlukul Karimah dan Disiplin. Adapun misinya adalah mencetak muslim

intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah, serta menciptakan

kader-kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama dalam berbagai

kondisi. Dalam prakteknya, setiap kegiatan di MHM dalam semua spektrumnya

selalu didasari dan dijiwai oleh visi dan misi tersebut.

Pimpinan MHM Lirboyo terlihat sangat memperhatikan perkembangan

pembelajaran. Hal ini terlihat dalam beberapa kesempatan pimpinan MHM

melakukan turba (turun ke bawah = sidak) dan kontrol secara langsung serta

memberi arahan maupun teguran kepada pengajar dan siswa manakala terjadi hal

yang perlu dibenahi. Dari sini pula sering muncul inspirasi yang pada akhirnya

menjadi pembaruan/ inovasi kebijakan. Inilah mengapa pimpinan MHM dapat

dikatakan sebagai aktor utama pembaruan.

Pimpinan MHM juga seringkali memberi uswatun hasanah (suri teladan)

secara langsung yang dirasakan besar dampaknya terhadap berjalannya proses

pembelajaran di MHM, baik bagi pengajar, pengurus maupun siswa. Hal ini tak

lepas dari haybah (kharisma/ kewibawaan) pimpinan MHM di mata jajarannya.


136

Keteladanan yang sering ditampakkan oleh pimpinan MHM adalah kedisiplinan,

sifat mengayomi dan totalitas.

Hal ini seperti diungkapkan oleh Bapak A. Mutohar:

pimpinan senantiasa memberikan suri teladan bagi kita, terutama dalam

hal kedisiplinan. Disamping itu, haybah pimpinan di mata pengajar juga sangat

besar. Itu terjadi misalnya ketika pengajar secara langsung menghadap pimpinan,

maka akan merasa rikuh yang luar biasa

Otoritas kepemimpinan seorang kiai dapat terus bertahan selama tradisi

pesantren masih terpelihara dan kekuasaan karismatik dari pribadi seorang kiai

memancarkan pesonanya.136

Pimpinan MHM juga sangat mengupayakan terselenggaranya KBM yang

efektif. Hal ini terlihat dengan adanya anjuran bagi Mustahiq Ibtidaiyah untuk

tidak mengikuti perkuliahan137, karena dikhawatirkan berdampak pada

terbengkalainya tugas mengajar atau setidaknya mengurangi kesempurnaan

pengajaran. Pimpinan MHM Lirboyo juga mengeluarkan intruksi untuk tidak

merangkap mengajar di tempat lain, semisal di pondok unit Lirboyo. Karena

memang diakui, tugas mengajar di MHM Lirboyo an sich tanpa merangkap

kegiatan lain dirasa sudah cukup berat, terlebih apabila merangkap mengajar di

tempat lain.

Kebijakan lain yang menunjang efektifitas pembelajaran di MHM Lirboyo

adalah larangan bagi siswa yang masih kelas Tsanawiyah dan Ibtidaiyah

merangkap/ mengikuti perkuliahan. Kebijakan ini diambil agar siswa tidak terpecah

136
M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, hlm. 134.
137
MHM, HSPK 2014-2015, hlm. 74.
137

konsentrasinya dalam mempelajari dan mendalami pelajaran di MHM Lirboyo,

disamping itu juga karena pelaksanaan perkuliahan bersamaan dengan jam

musyawarah, yaitu jam 11.00-13.00 wis. Hal ini menguatkan kesimpulan, bahwa

pembelajaran di MHM Lirboyo yang paling urgen adalah pembelajaran pada

tingkat Tsanawiyah dan Ibtidaiyah. Karenanya pembelajaran di kedua tingkatan

tersebut mendapat penekanan dan perhatian yang lebih serius dibanding dengan di

tingkat Aliyah.
138

BAB IV

PENUTUP

Pada bab ini peneliti akan memaparkan kesimpulan dan saran atas penelitian

yang telah dilakukan. Dalam hal ini kesimpulan merupakan jawaban permasalahan

yang dikemukakan di dalam pendahuluan. Adapun saran merupakan usulan yang

dirasakan perlu disampaikan kepada pembaca berkenaan dengan pembahasan

masalah di dalam penelitian.138

A. KESIMPULAN

1. Pembaruan pendidikan merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh sebuah

lembaga pendidikan, tak terkecuali pondok pesantren. Dalam konteks Madrasah

Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiien (MTs. HM), kurikulum salaf yang

dipakainya dalam dekade akhir ini tidak mengalami dinamika signifikan. Ini

dikarenakan kurikulum yang telah ada dinilai sudah sempurna dan relevan

dengan kebutuhan masyarakat. Sekalipun demikian, tidak berarti kurikulum

salaf di MHM itu anti terhadap pembaruan. Karena sebenarnya manakala

berbagai pertimbangan matang sudah mantap mengarah pada pembaruan

kurikulum, maka pembaruan pun segera dilakukan demi terciptanya

pembelajaran yang lebih optimal.

2. Berbeda dengan dinamika kurikulum, pola pembelajaran di MHM Lirboyo dapat

dikatakan berkembang sangat dinamis. Berbagai inovasi strategi dan metode

pembelajaran diterapkan dalam rangka optimalisasi hasil pendidikan salaf di

MHM Lirboyo. Musyawarah, muhafadzhoh, koreksian kitab, tamrin,

138
PPs IAIT Kediri, Teknik Penulisan Karya Ilmiah, hlm. 39.
139

musyafahah, dan bahtsul masail, masing-masing pembelajaran itu didesain

sedemikian rupa saling sinergi, menguatkan dan mempunyai nilai lebih untuk

merangsang tumbuhnya potensi siswa, baik kognitif, afektif maupun

psikomotorik.

B. SARAN

1. Berkenaan dengan kurikulum salaf di MTs. HM, kiranya agar senantiasa tetap

dipertahankan sebagai upaya melestarikan tradisi salafuna as-sholih dan

memperkokoh khazanah keilmuan Islam ahlus sunnah wal jamaah dengan tetap

mengakomodir perkembangan-perkembangan

2. Pembelajaran di MTs. HM dengan segala kedigdayaannya yang sarat dengan

nilai talim (pengajaran), tadib (pembangunan karakter), dan tarbiyah

(pendidikan) merupakan upaya memanusiakan manusia yang seutuhnya agar

terus dikembangkan dengan berbagai inovasi pembelajaran yang sistematis,

terarah dan terencana tanpa menghilangkan atau mengurangi ruh pendidikan itu

sendiri.

Anda mungkin juga menyukai