2, 2015
ISSN 1978-4554
=
aáå~ãáâ~=j~Çê~ë~Ü=aáåáó~Ü=Çá=fåÇçåÉëá~=
^ÇÉ=^åç=pìêó~=fäÜ~ãëó~Ü=
=
Abstrak. Artikel hasil penelitian ini menunjukkan: Pertama, dari aspek sejarah perkembangannya,
madrasah diniyah tumbuh dan berkembang seiring perkembangan Islam di Tanah Air. Kedua,
kebijakan pemerintah dalam pengembangan madrasah diniyah mengalami perubahan-perubahan
seiring dengan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Pada
umumnya kebijakan pemerintah terhadap madrasah diniyah lebih longgar dibandingkan dengan
jenis pendidikan lain yang sifatnya formal. Dinamika terkini madrasah diniyah ditandai dengan
lahirnya lembaga Pendidikan Diniyah Formal (PDF), suatu satuan pendidikan keagamaan yang
memiliki kurikulum 80% ilmu agama Islam dan 20% ilmu umum dan lulusannya akan diakui
secara formal oleh negara.
Abstract. This article shows: First, based on the historical aspects of the development, madrasah
diniyah grow and evolve as the development of Islam in the country. Second, the government has
repeatedly changed the policy of madrassas along with changes in the national education system.
In general, government policies towards madrassas diniyah looser compared to other types of
education formal nature. Recent developments of madrasah diniyah marked by the birth of the
“Pendidikan Diniyah Formal” (PDF), a religious educational institution which has a curriculum
of 80% Islamic religious sciences and general sciences and 20% of graduates will be recognized
formally by the state.
ﺍﺳﺘﻨﺎﺩﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻮﺍﻧﺐ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺨﻴﺔ ﻟﻠﺘﻄﻮﻳﺮ ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺗﻴﺐ ﺗﻨﻤﻮ ﻭﺗﺘﻄﻮﺭ ﻛﻤﺎ ﺗﻄﻮﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﺃﻭﻻ: ﻳﻮﺿﺢ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻘﺎﻝ:ﻣﻠﺨﺺ
، ﺑﺸﻜﻞ ﻋﺎﻡ. ﻟﻘﺪ ﺗﻐﻴﺮﺕ ﺍﻟﺤﻜﻮﻣﺔ ﻣﺮﺍﺭﺍ ﺳﻴﺎﺳﺔ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭﺱ ﻣﻊ ﺗﻐﻴﻴﺮﺍﺕ ﻓﻲ ﻧﻈﺎﻡ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻮﻃﻨﻲ، ﺛﺎﻧﻴﺎ.ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻼﺩ
ﺳﻴﺘﻢ ﺍﻻﻋﺘﺮﺍﻑ.ﻭﺳﻴﺎﺳﺎﺕ ﺍﻟﺤﻜﻮﻣﺔ ﺗﺠﺎﻩ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭﺱ ﺍﻟﺨﺎﺳﺮ ﻣﻘﺎﺭﻧﺔ ﻣﻊ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺃﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻃﺎﺑﻌﺎ ﺷﻜﻠﻴﺎ
ﻭﻫﻲ ﻣﺆﺳﺴﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻤﻴﺔ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ،ﺍﻟﺘﻄﻮﺭﺍﺕ ﺍﻷﺧﻴﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺘﺎﺗﻴﺐ ﻭﺍﻟﺘﻲ ﺗﻤﺜﻠﺖ ﻓﻲ ﻭﻻﺩﺓ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﺪﻳﻨﻲ ﺍﻟﺮﺳﻤﻲ
. ﻣﻦ ﺧﺮﻳﺠﻲ ﺭﺳﻤﻴﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ٪٢٠ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻭﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻭ٪٨٠ ﻟﺪﻳﻬﺎ ﻣﻨﺎﻫﺞ
Key words: Madrasah Diniyah, national education system, Pendidikan Diniyah Formal.
Pendahuluan
Dalam konteks Indonesia, apa yang disebut sebagai “Pendidikan Islam”, sebenarnya tidaklah
begitu mudah untuk menentukan atau menunjukkannya. Sebab masih banyak yang
mempertanyakannya, mana yang termasuk pendidikan Islam, apakah lembaga pendidikan yang
dikelola oleh organisasi Islam tertentu misalnya Muhammadiyah, NU ataukah madrasah dari
berbagai jenjangnya yang dibina oleh Kementerian Agama, atau juga pendidikan (pengajaran)
agama Islam yang diberikan kepada para peserta didik sekolah umum seperti SMP, SMA atau
justru semua yang tersebut di atas adalah pendidikan Islam. Karena yang terlibat di dalamnya
orang Islam atau mayoritas beragama Islam.
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya jika dikembalikan lebih dahulu kepada esensi
pendidikan Islam sebenarnya. Esensi pendidikan Islam ialah terdapatnya unsur iman, ilmu dan
amal dalam totalitas teori dan praktek suatu pendidikan. Suatu kegiatan atau lembaga tertentu bisa
1
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya:Al-Ikhlas, 1993, hlm. 79
2
Depag RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:Depag RI, 1986, hlm. 44
3
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, PPRI Nomor 55 Tahun 2007.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 39
Wustha dan madrasah Diniyah Ulya. Titik berat materi pembelajaran tetap menekankan pada
pemahaman, penghayatan dan praktek pengamalan ajaran Islam.
Madrasah diniyah adalah satuan pendidikan keagamaan luar sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan agama Islam, baik yang terorganisir secara klasikal, rombongan belajar, maupun dalam
bentuk pengajian anak, majelis taklim, kursus agama dan sejenisnya.
Tujuan pendidikan madrasah diniyah adalah untuk: (1) memberikan bekal kemampuan dasar
kepada warga belajar untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim yang beriman,
dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sebagai warga Negara Indonesia yang berkepribadian, percaya
diri sendiri, serta sehat jasmani dan rohaninya; (2) membina warga belajar agar memiliki
pengalaman, pengetahuan ketrampilan beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi
pengembangan pribadinya; (3) mempersiapkan warga belajar untuk dapat mengikuti pendidikan
lanjutan pada madrasah diniyah.
Sementara itu, fungsi madrasah diniyah adalah (1) menyelenggarakan pengembangan
kemampuan dasar pendidikan agama Islam yang meliputi Al-Quran, Hadits, Aqidah Akhlak,
Ibadah, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. (2) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pendidikan agama Islam bagi warga belajar yang memerlukannya. (3) Memberikan bimbingan
dalam pelaksanaan pengamalan ajaran Islam. (4) Membina hubungan kerjasama dengan orang tua
warga belajar dan masyarakat. (5) Melaksanakan tata usaha dan rumah tangga pendidikan serta
perpustakaan.
Madrasah Diniyah memiliki tiga tingkatan: Pertama, Madrasah Diniyah Awaliyah, yaitu
satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam
tingkat dasar, dengan masa belajar 4 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
Kedua, Madrasah Diniyah Wustha, yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan
yang diperoleh pada madrasah Diniyah Awaliyah dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam
belajar 18 jam pelajaran seminggu. Ketiga, Madrasah Diniyah Ulya, yaitu satuan pendidikan
keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah
atas sebagai pengembangan yang diperoleh pada madrasah Diniyah Wustha dengan masa belajar 2
tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
Syekh Janan Muhammad Thaib (w. 1365H/1946M) merupakan putra Indonesia yang
pernah belajar di Madrasah Darul Ulum Mesir dan Universitas Al-Azhar Kairo. Bermodalkan
ijazah al-Azhar inilah is melanjutkan studi ke Haramain yang pada saat itu dikenal lebih popular
kualitasnya dibanding perguruan Islam di dunia Islam manapun. Di Haramain, yang karenanya dia
ditunjuk mendampingi Umar Said Cokroaminoto, Haji Mas Mansur, Muhammad Bakir, S. Umar
Naji, dan Muhammad Thaib sebagai delegasi Indonesia yang menghadiri Muslim World Congress
yang diselenggarakan di Mekkah pada 7 Juni-5 Juli 1926.
Pengaruh tradisi sekolah Gobernemen dan madrasah Islam modern ini tampak dari; (1)
Jenjang pendidikan dilalui selama 4 (empat) tahun lamanya sekolah Hindia Belanda, kurikulum
umum yang diajarkan banyak mengadopsi kurikulum sekolah Hindia Belanda, dan pemberian dana
subsidi pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Begitu kuatnya pengaruh tradisi sekolah
Gubernemen membuat eksistensi madrasah diniyah di Sumatera "tidak berlangsung lama". Ada
kalanya yang tidak beroperasi lama dan segera ditutup, seperti madrasah school, karena penolakan
masyarakat setempat dengan model pendidikannya yang "kebarat-baratan". Ada pula yang cepat
berganti status, seperti Adabiyah School yang pada 1915 berganti menjadi HIS (Holands
Maleische School) atau HIS (Holands Inlandsch School) Adabiyah, yang lulusannya setara dengan
lulusan HIS Belanda. (2) Penggunaan buku-buku keislaman dengan gaya bahasa modern yang
dipergunakan di madrasah-madrasah Mesir yang kemudian ditransfer sebagai kurikulum
madrasah-madrasah di sumatera barat.
Kedua, Madrasah diniyah di pesantren Jawa dan surau Sumatera lebih identik dengan sistem
madrasah di Mekkah dan Mesh, yakni Madrasah Shaulatiyyah, Madrasah Darul Ulum al-Diniyah
di Haramain, serta Madrasah Dar al-Ulum di Mesir. Madrasah Shaulatiyah merupakan Madrasah
Tradisional di abad ke-20 yang didirikan oleh seorang wanita India bernama Shaulah al-Nisa dan
dipimpin oleh seorang ulama India militan dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil al-Utsmani.
Madrasah Shaulatiyah sendiri didirikan pada tahun 1874 di Mekkah dan banyak berafiliasi dengan
Madrasah Darul Ulum di Deoband, India yang dibangun pada tahun 1867. Pada permulaan abad
ke-20, banyak orang Indonesia yang belajar di madrasah ini. Di antaranya adalah Sayyid Muhsin al-
Musawwa al-Palimbali, yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai pendiri madrasah Darul Ulum
al-Diniyah (1934) setelah is keluar dari pekerjaannya sebagai pengajar di Madrasah Shaulatiyah
selama enam tahun. Dalam catatan Martin van Bruinessen, sejarah berdirinya Madrasah Darul
Ulum al-Diniyah yang berdiri di daerah Shi'b All terkait dengan konflik antara siswa dan pengajar
di Madrasah Shaulatiyah yang berasal dan Melayu dengan Arab. Konon, pengajar Madrasah
Shaulatiyah yang beretnis Arab tidak suka dengan siswa dan pengajar Melayu yang sering
berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Sejak peristiwa itulah, orang-orang Indonesia di Mekkah
mengumpulkan uang untuk membangun madrasah sendiri yang diketuai Sayyid Muhsin.
Baik Madrasah Shaulatiyah maupun Madrasah Darul Ulum, keduanya merupakan lembaga
pendidikan tradisional dengan menerapkan pola pendidikan klasik (bukan halaqah) dan kurikulum
standar. Kurikulum standar yang dimaksud di sini ialah mata pelajaran dan buku rujukannya
memenuhi standar pendidikan islam secara umum yang diselenggarakan di wilayah arab. Banyak
ulama Indonesia yang belajar di madrasah-madrasah tersebut, sambil mengikuti pengajian halaqah
yang diselenggarakan di Masjidil Haram. Hanya saja karena pengajar Madrasah Shaulatiyah dan
Darul Ulum juga banyak yang didatangkan dari pengajar halaqah Masjidil Haram, sehingga
kebanyakan ulama Indonesia lebih bangga menyebut diri sebagai lulusan pendidikan halaqah
Masjidil Haram daripada sebagai lulusan madrasah. Walaupun demikian, kalau ditilik dari bentuk
madrasah diniyah yang dikembangkan oleh para ulama tradisi pendidikan Madrasah Shaulatiyah
dan Darul Ulum.
Di masa awal pertumbuhan madrasah diniyah (abad XX), jumlah pesantren atau surau yang
menyelenggarakan madrasah diniyah masih terhitung sangat sedikit. Umumya pesantren dan
surau masih mempertahankan model halaqah di setiap kegiatan belajar-mengajar. Hal ini
dimungkinkan karena pengawasan yang sangat ketat oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap
segala bentuk kegiatan belajar-mengajar agama. Sikap tersebut tampak jelas tercermin dalam
42 Ade Ano Surya Ilhamsyah
Ordonansi Guru (Guru Ordonantie) tahun 1905 yang tercantum dalam Statsblad 1905 no.550
yang berlaku untuk Jawa dan Madura terhitung 2 November 1901.
Isi ordonansi itu mengharuskan adanya izin tertulis bagi setiap guru agama yang akan
mengajar sebelum melakukan tugasnya. Kepada guru agama diwajibkan membuat uraian yang
terperinci mengenai sifat dari pendidikan yang dikelola serta membuat daftar murid menurut
bentuk tertentu yang harus dikirim secara periodik. Selanjutnya ditentukan pula bahwa bupati atau
pejabat yang sama kedudukannya bertugas mengawasi dan mengecek apakah guru agama tersebut
bertindak sesuai dengan izinnya dan mengawasi pula murid-murid yang bersal dari luar daerah.
Efek langsung dari ketentuan ini dialami oleh KH Ahamad Rifa'i Kaliwungu, yang diawasi dan
berulangkali dipenjarakan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baru ketika memasuki tahun 1920-an, seiring dengan kuatnya arus modernisme di
lingkungan pesantren dan surau serta kebijakan pemerintah Hindia Belanda mulai diperlunak
dengan hanya mewajibkan penyelenggara pendidikan agama untuk melapor bukan minta izin
(berdasarkan Ordonansi Guru Tahun 1925 dalam Staatblad 1925), mulailah dikembangkan
madrasah diniyah.
Di Sumatera yang paling terkenal adalah Madrasah Sumatera Thawalib yang diprakasrsai
ulama surau Syekh Ibrahim Musa Parabek. Di kepulauan Sulawesi juga terdapat madrasah yang
ternama, Madrasah Arabiyah Al-Islamiyah (MAI) dengan empat jenjang, masing-masing;
Tandiriyah ditempuh selama tiga tahun, Ibtidaiyah ditempuh selama empat tahun, Tsanawiyah
ditempuh selama tiga tahun dan I'dadiyah selama tiga tahun. MAI sendiri didirikan pada bulan
Dzul Hijjah 1348/Mei 1930 oleh ulama tersohor asal Bugis Syekh Muhammad As'ad Al-Bugisi.
Madrasah diniyah juga berkembang pesat di Jawa Madura, seperti; madrasah diniyah
Tebuireng, Denanyar, An-Nuqayah Gulu-guluk Sumenep, Ibrahimiyah Brumbung Demak,
Sendangguwo Semarang, Kauman Kudus, Kaliwungu Kendal, Buntet Cirebon dan sebagainya.
Madrasah tersebut didirikan oleh alumni-alumni Mekkah, seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH
Syarqawi, KH Ibrahim, KH Asnawi, KH. Abbas yang dikenal sangat kharismatilc di
lingkungannya. Di Sunda, madrasah, diniyah juga berkembang baik yang diantaranya ialah
Madrasah Mathali'ul Anwar didirikan pada 1961 oleh KH Mas Abdurrahman dan KH. E. M.
Yasin, dan perguruan Syamsul Ulum yang didirikan oleh KH. Ahmad Sanusi.
Sementara di Betawi, meskipun dikenal sebagai pusatnya Islam Indonesia tetapi madrasah
diniyah justru berkembang belakangan pada tahun 1940-an. Begitu pun kalau murid-murid
madrasah diniyah di kepulauan Jawa pada mulanya banyak yang "mondok", di Betawi tidak terjadi
demikian. Umumnya murid madrasah diniyah di Betawi merupakan "santri kolong: yang tidak
menginap. Hal ini terjadi karena ketatnya pengawasan pemerintah Hindia Belanda terhadap
aktivitas keagamaan. Baru pada tahun 1940-an berdiri madrasah diniyah di Betawi, yaitu Madrasah
Al-Manshuriyah Jembatan Lima yang didirikan oleh K.H. Muhamamd Manshur, Madrasah
Raudhatul Muta'allimin di Kuningan Mampang dirintis KH Abdul Mughni, Madrasah Islamiyah
Ibtidaiyah yang didirikan oleh KH Abdullah Syafe'i, dan Madrasah Diniyah Al-Muhajirin (PP
Islam al-Nida) terletak di Bekasi kota didirikan oleh KH Muhajirin.
Madrasah diniyah yang dikembangkan di lingkungan pesantren dan surau memiliki ciri yang
sama, yakni menggunakan buku-buku yang diajarkan di Madrasah Shaulatiyah dan Darul Ulum
serta penyampainannya menggunakan bahasa melayu dengan tulisan arab-pegon. Pada masa
pertumbuhan penyelenggarakan madrasah diniyah belum dikenal jenjang resmi. Ada kalanya yang
ditempuh hanya 3 (tiga) tahun, 4 (empat) tahun, 5 (lima) tahun. Standar kelulusannya pun sangat
sederhana meskipun susah, seperti diutarakan KH Syaichu, yaitu murid harus telah hafal seluruh
nazam mata pelajaran tertentu. Waktu itu yang sangat popular adalah murid madrasah diniyah
dinyatakan lulus jika telah hafal di luar kepala nazam Al-Fiyyah Ibn Malik yang berisi 1000 bait.
Hal ini dimungkinkan karena murid madrasah diniyah usinya rata-rata di atas l2 tahun, dengan
patokan waktu itu; "siswa mampu mengait telinga kirinya dengan posisi tangan kanan
dirangkulkan di atas kepala”.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 43
madrasah negeri (M.Ts.A.I.N dan M.A.A.I.N). Hal ini terjadi sejak tahun 1962, yang kemudian
ditindaklanjuti Departemen Agama dengan membentuk struktur baru di jajarannya, yakni bagian
inspektur urusan Madrasah Ibtidaiyah, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 47 Tahun
1963.
Di masa-masa awal pemberlakuan MWB, peluang mengembangkan madrasah diniyah
menjadi madrasah ibtidaiyah dan bahkan madrasah lanjutan sangat terbuka lebar. Bersama itu pula
penyelenggaraan madrasah diniyah sangat semarak di kampung-kampung pedesaan orang-orang
tua menitipkan anaknya untuk dididik agama di madrasah. Jumlah madrasah diniyah dalam skala
nasional pada tahun 60-an mencapai 13.057 madrasah, dengan prosentase 70% lebih berada di
pelosok-pelosok desa di pulau jawa.
Sehubungan dengan perkembangan madrasah diniyah yang demikian pesat, maka untuk
memudahkan pembinaan dan bimbingan, Departemen Agama menetapkan beberapa peraturan
tentang jenis-jenis madrasah diniyah yang diatur dalam peraturan Menteri Agama RI No. 13
Tahun 1964 yang antara lain dijelaskan:
1) madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pembelajaran
secara klasikal; dalam pengetahuan agama Islam kepada siswa bersama-sama sedikitnya
berjumlah 10 orang atau lebih, antara anak-anak yang berusia 7 sampai 18 tahun.
2) pendidikan dan pembelajaran (pada madrasah diniyah) bertujuan untuk memberikan
tambahan pengetahuan agama kepada siswa yang merasa kurang menerima pelajaran agama di
sekolah-sekolah umum.
3) madrasah diniyah ada 3 tingkatan yakni: Diniyah Ula, Diniyah Wustha dan Diniyah 'Ulya.
Perkembangan madrasah diniyah bertambah pesat lagi semenjak meletusnya G30 S-PKI.
Paska G30 S-PKI pada tahun 1965, seiring dengan tekanan pemerintah dan laskar ormas Islam
terhadap masyarakat abangan yang dicurigai sebagai anggota PKI, di Jawa Tengah dan Jawa Timur
yang dikenal banyak pengikut PKI, masjid-masjid kampung selalu membludak jama'ahnya.
Bersama itu pula murid madrasah diniyah bertambah besar jumlahnya.
Melihat besarnya jumlah madrasah diniyah, pada tahun 1967 Departemen Agama melalui
keputusan Menteri Agama No. 56 Tahun 1967 menetapkan madrasah diniyah berada di bawah
jawatan kedinasan tertentu, yakni dinas pembinaan madrasah dan diniyah yang mengurusi; (1)
Urusan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah; (2) urusan diniyah; dan (3) urusan
pengawasan. Dinas pembinaan madrasah dan diniyah ini berada di bawah struktur Direktorat
Pendidikan Agama yang juga membawahi; (1) Dinas Pendidikan Tenaga Ahli; (2) Dinas
Bimbingan Pendidikan dan Pengajuan Agama; (3) Dinas Bimbingan Pondok Pesantren dan
Pengajian; serta (4) Dinas Perkembangan Madrasah dan Perguruan Agama.
Namun demikian, seiring dengan berakhirnya program MWB pada tahun 1970 madrasah
diniyah mulai diterpa masa pancaroba. Fenomena yang paling nyata ialah terkikisnya tradisi
madrasah diniyah di saat-saat madrasah formal (MI, MTs, MA) sedang menemukan jati dirinya.
Madrasah diniyah tak boleh sebagai pelengkap menu pendidikan, dan bahkan di beberapa daerah
banyak madrasah diniyah yang gulung tikar karena bertahan dengan ketradisionalannya.
Puncak dari masa pancaroba madrasah diniyah ialah terkait dengan munculnya masalah baru
yang melingkari penyelenggaraan madrasah formal "hasil pencangkokan" MWB, pada tahun 1972.
pada saat itu pemerintah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada madrasah diniyah untuk
diformalkan menjadi MI, MTs, MA -yang karennya membutuhkan banyak tenaga guru agama,
namun sayangnya pemerintah tidak mempersiapkan terlebih dahulu (salah satunya) perangkat
judisialnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya praktek duplikasi dan jual-beli ijazah oleh guru-
guru agama yang berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan madrasah.
Mengapa kualitas pendidikan madrasah menurun? Pertama, dari hasil penelusuran penulis di
madrasah-madrasah di lingkungan Kecamatan Mranggen, Demak, diperoleh informasi bahwa rata-
rata madrasah ibtidaiyah eks-diniyah yang baru "bisa merangkak", "dipaksa" menerima guru agama
negeri yang tidak diketahui latar belakang pendidikan agama dan atau pesantrennya. Pengelola
46 Ade Ano Surya Ilhamsyah
madrasah pada akhirnya juga harus memberhentikan sebagai guru agama swasta yang tidak
berkesempatan memperoleh ijazah formal, karena "kedatangan" guru agama negeri tersebut.
Kedua, Keterpurukan madrasah diniyah dan madrasah lainnya juga diakibatkan upaya
pemerintah untuk menyatuatapkan seluruh lembaga pendidikan, termasuk madrasah di bawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Upaya ini ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1972, yang menyebutkan bahwa semua lembaga Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, serta harus mencantumkan kurikulum sekolah-sekolah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai mata pelajaran madrasah. Keppres ini sendiri banyak
mendapatkan tantangan dari kalangan ulama dan pengelola madrasah.
Di samping itu, pemerintah juga melakukan "propaganda" dengan mendirikan Sekolah Dasar
Negeri yang dibiayai negara di pelosok-pelosok desa. Padahal di desa-desa tersebut telah berdiri
madrasah swasta yang dibiayai sendiri tanpa ada kucuran dana dari pemerintah. Oleh para ulama,
kebijakan pemerintah ini sengaja dibuat untuk mematisurikan madrasah, sebab terbukti banyak
murid madrasah yang akhirnya hengkang pindah ke sekolah umum yang notabenenya banyak
mendapatkan fasilitas negara. Menurut KH. Syaichu, pada saat itu masyarakat pun ikut larut dalam
propaganda pemerintah dengan asumsi: "untuk apa menyekolahkan anak di madrasah, toh anak
mereka di sekolah umum juga dididik agama dan terpenting lagi kelulusannya diakui oleh negara
sehingga mudah mendapatkan kerja."
Meski di atas kertas madrasah diniyah yang memang tidak diakui negara tidak
bersinggungan langsung dengan wacana politik di balik Keppres No.34 tahun 1972, namun
eksistensinya tetap saja terusik. Pasalnya, madrasah yang terkena dampak langsung dari Keppres
tersebut adalah kebanyakan berstatus swasta dan rata-rata berasal mulai dari madrasah diniyah.
Makanya wajar jika ulama menentang keras dikeluarkannya Keppres tersebut, hingga kemudian
lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) pada
tahun 1975 tentang Peningkatan mutu Pendidikan Madrasah.
Bagi sebagian besar ulama, Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut belum mencerminkan
keseluruhan aspirasi yang muncul dari lingkungan madrasah, karena isinya sangat formalitas,
yakni:
1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat
asalkan diberikan pengetahuan umum sesuai dengan standar sekolah umum yang setingkat;
2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas;
3) Siswa madrasah dapat berpindah sekolah ke sekolah umum yang setingkat; dan terpenting,
4) Madrasah masih berada di bawah departemen agama.
Walaupun demikian, para ulama yang sejak dulu tetap bertahan pada otonomi madrasah bisa
menerimanya, dengan pertimbangan bahwa paling tidak pemerintah sudah merasa peduli dengan
madrasah formal. Para pengelola madrasah pun menetapkan pengetahuan umum sesuai dengan
standar sekolah umum dalam kurikulum madrasah. Sementara untuk menutupi pelajaran agama
yang terlebih dahulu telah digeser mata pelajaran umum, untuk murid madrasah diberlakukan dua
model pengajaran agama, masing-masing; (1) jam pelajaran tambahan kurikulum agama dengan
mengikuti madrasah diniyah di waktu sore; (2) "Kurikulum Bayangan" atau dalam istilah KH Agus
Maghfur Murod pengasuh PP Al-Murodi Mranggen di sebut "kurikulum di balik layar". Dalam hal
ini madrasah memberlakukan kurikulum diniyah dengan cara mengoreksi (mengurangi) jumlah
jam mata pelajaran umum dan menggantikan buku kurikulum agama dengan kitab-kitab berbahasa
arab yang disesuaikan dengan silabi departemen agama.
Secara umum, madrasah diniyah dapat melewati masa-masa pancaroba meskipun dengan
jumlah murid yang terus menerus menurun, dan bahkan tidak sedikit yang gulung tikar. Madrasah
Diniyah juga masih menjadi pilihan favorit bagi sebagian masyarakat yag menginginkan anaknya
melanjutkan pendidikan di pesantren ataupun madrasah yang bemaung di bawah pesantren.
Karena biasanya untuk bisa diterima di pesantren atau madrasah pesantren, murid terlebih dahulu
diuji kemampuannya tentang pengetahuan agama yang bercabang-cabang, mulai dari nahwu,
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 47
sharaf, fiqh klasik, dan sebagainya; yang umumnya tidak dimengerti oleh murid-murid bukan
lulusan madrasah diniyah.
terhadap gejolak tersebut yang mengakibatkan pusat-pusat keislaman pun menjadi redup. Mesir,
Libya, Suriah, dan Yaman kini ditimpa musibah konflik yang hingga kini belum usai.
Dalam konteks di atas, terdapat sejumlah alasan mengapa Indonesia menjadi pusat harapan
pendidikan Islam dunia. Pertama, pemahaman Islam yang berkembang di Indonesia adalah
pemahaman Islam yang rahmatanlil’alamin. Islam yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, menghargai hak-hak asasi manusia, menghormati ragam budaya dan kultur
masyarakat, mengidamkan kedamaian, keadilan, toleransi, dan sikap yang keseimbangan
(tawazun). Di tengah pelbagai perbedaan dan keragaman sosio-kultural, agama, adat dan budaya,
bahasa, dan lokalitas dalam ribuan pulau serta lainnya, namun Indonesia tetap kekar dalam bingkai
persatuan dan kesatuan keindonesiaan. Ini menunjukkan pemahaman keagamaan Islam yang
berkembang adalah Islam yang damai, toleran, dan menghargai segala bentuk perbedaan.
Kedua, Indonesia bisa menjadi harapan pusat pendidikan Islam dunia oleh karena kita
memiliki pondok pesantren. Pondok pesantren ini memiliki konvidensi dan kekuatan yang luar
biasa untuk menjadi corong kepada masyarakat dunia. Tentu saja, nomenklatur kelembagaan
pendidikan Islam lainnya bukan berarti tidak memiliki peran dan arti sama sekali, tetapi dalam
konteks ini cukup beralasan karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
khas (genuin) Indonesia yang mampu menghasilkan intelektual muslim yang berkarakter.
Jawa pada dasarnya merupakan perluasan dari pendidikan pesantren, dimana pendiriannya selain
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama santri yang tidak mukim di
pesantren, juga berperan untuk menyiapkan kemampuan dasar (i'dadiyah) anak-anak dan remaja
sebelum mereka belajar di pesantren. Hal ini berbeda dengan tradisi diniyah di sumatera yang pada
umumnya didirikan sebagai pengaruh pendidikan modern. Makanya pelaksanaan pendidikan
diniyah di Jawa selalu berkesinambungan dengan pendidikan pesantren, baik dari sisi kurikulum
maupun materi-ajar.
Diniyah terakhir inilah yang dimaksudkan masuk dalam wilayah urusan diniyah yang
dimaksudkan departemen agama. Sedangkan diniyah yang berkembang di luar Jawa, yang biasa
disebut surau atau lainnya, dikategorikan sebagai pendidikan keagamaan. Keduanya sampai
sekarang masih tetap eksis di tengah arus perubahan orientasi pendidikan nasional.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, kajian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, dari aspek sejarah perkembangan, Madrasah diniyah tumbuh dan berkembang
seiring perkembangan Islam di Tanah Air. Sejarah madrasah diniyah di Indonesia meliputi (1) fase
pertumbuhan yang ditandai dengan dimulainya model pendidikan klasikal dengan kurikulum
berjenjang yang diadakan di lingkungan pesantren dan surau atau masjid; (2) fase perkembangan
madrasah diniyah yang ditandai dengan penyebaran madrasah diniyah ke berbagai pelosok di
Tanah Air seiring dengan perkembangan agama Islam; dan (3) fase masa pancaroba, yaitu fase di
mana madrasah diniyah beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan
sejenis, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah yang selain
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, juga memuat kurikulum ilmu pengetahuan umum.
Kedua, kebijakan pemerintah dalam pengembangan madrasah diniyah mengalami
perubahan-perubahan seiring dengan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional. Pada umumnya kebijakan pemerintah terhadap madrasah diniyah lebih
longgar dibandingkan dengan jenis pendidikan lain yang sifatnya formal. Pemerintah lebih
menempatkan dirinya sebagai fasilitator dan tidak menetapkan regulasi yang ketat terhadap
madrasah diniyah.
Ketiga, dinamika kontemporer madrasah diniyah menunjukkan bahwa peran pemerintah
terhadap madrasah diniyah semakin meningkat seiring dengan lahirnya beberapa peraturan terkait
dengan pendidikan agama dan keagamaan di Tanah Air. Dinamika terkini madrasah diniyah
ditandai dengan lahirnya institusi Pendidikan Diniyah Formal (PDF), suatu satuan pendidikan
keagamaan yang memiliki kurikulum 80% ilmu agama Islam dan 20% ilmu umum dan lulusannya
akan diakui secara formal oleh negara, karena akan menggunakan sistem standar nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyidin (2008) Falsafah Pendidikan Islami. Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis
Alam, Arshad (2005). Science in Madrasas. Dalam jurnal Economic and Political Weekly, Vol. 40,
No. 18 (Apr. 30 - May 6, 2005), pp. 1812-1815
Bano, Masooda (2010). Madrasas as Partners in Education Provision: the South Asian experience.
Dalam jurnal, Development in Practice, Vol. 20, No. 4/5, Achieving Education for All
through Public-Private Partnerships? (June 2010), pp. 554-566
Bawani, Imam (1993). Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya:Al-Ikhlas
Bhagirathi Sahu (2002) The New Educational Philosophy. New Delhi: Sarup & Sons
Depag RI (1986). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:Depag RI
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, PPRI Nomor 55 Tahun 2007.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 51
Engineer, Asghar Ali (2001) Muslims and Education. Dalam jurnal Economic and Political Weekly,
Vol. 36, No. 34 (Aug. 25-31, 2001), pp. 3221-3222
Feisal, Jusuf A. (1996) Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Hasbullah (1999). Kapita Selekta Pendidikan Isla. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Hasbullah (2001). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Headri, Amin (2004). Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah diniyah. Jakarta: Diva
Pustaka
Krippendorff, Klaus (2004) Content Analysis: An Introduction to Its Methodology. California: Sage
Publication
Levy, Reuben (1928) The Nizamiya Madrasa at Baghdad. Dalam jurnal. The Journal of the Royal
Asiatic Society of Great Britain and Ireland, No. 2 (Apr., 1928), pp. 265-270
Mahmud Yunus (1987) Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas
Makdisi, George (1970). Madrasa and University in the Middle Ages. Dalam jurnal Studia Islamica,
No. 32 (1970), pp. 255-264
Makdisi, George Abraham (2005) Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan
Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Resaisans Barat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Muhammad al-Anwari (2010). Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-
Mulk,
Nash, Paul (1964). History of Education. Dalam jurnal Review of Educational Research, Vol. 34,
No. 1, Philosophical and Social Framework of Education (Feb., 1964), pp. 5-21
Nasir, Ridlwan (2010). Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nata, Abuddin (2004). Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Neyazi, Taberez Ahmed (2002). Madrasa Education. Dalam jurnal Economic and Political Weekly,
Vol. 37, No. 38 (Sep. 21-27, 2002), pp. 3967-3968
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany (1979) Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang
Qomar, Mujamil (2007) Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik. Jakarta: Erlangga
Raharjo, Dawam (1985). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah. Jakarta: P3M
Suwito, (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Syam, Nur (2013). Urgensi Madrasah Diniyah, http://nursyam.sunan-ampel.ac.id5 Januari 2013
52 Ade Ano Surya Ilhamsyah