Anda di halaman 1dari 16

Online Thesis | Volume 10, No.

2, 2015
ISSN 1978-4554

=
aáå~ãáâ~=j~Çê~ë~Ü=aáåáó~Ü=Çá=fåÇçåÉëá~=
^ÇÉ=^åç=pìêó~=fäÜ~ãëó~Ü=
=

Abstrak. Artikel hasil penelitian ini menunjukkan: Pertama, dari aspek sejarah perkembangannya,
madrasah diniyah tumbuh dan berkembang seiring perkembangan Islam di Tanah Air. Kedua,
kebijakan pemerintah dalam pengembangan madrasah diniyah mengalami perubahan-perubahan
seiring dengan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Pada
umumnya kebijakan pemerintah terhadap madrasah diniyah lebih longgar dibandingkan dengan
jenis pendidikan lain yang sifatnya formal. Dinamika terkini madrasah diniyah ditandai dengan
lahirnya lembaga Pendidikan Diniyah Formal (PDF), suatu satuan pendidikan keagamaan yang
memiliki kurikulum 80% ilmu agama Islam dan 20% ilmu umum dan lulusannya akan diakui
secara formal oleh negara.
Abstract. This article shows: First, based on the historical aspects of the development, madrasah
diniyah grow and evolve as the development of Islam in the country. Second, the government has
repeatedly changed the policy of madrassas along with changes in the national education system.
In general, government policies towards madrassas diniyah looser compared to other types of
education formal nature. Recent developments of madrasah diniyah marked by the birth of the
“Pendidikan Diniyah Formal” (PDF), a religious educational institution which has a curriculum
of 80% Islamic religious sciences and general sciences and 20% of graduates will be recognized
formally by the state.

‫ ﺍﺳﺘﻨﺎﺩﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻮﺍﻧﺐ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺨﻴﺔ ﻟﻠﺘﻄﻮﻳﺮ ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺗﻴﺐ ﺗﻨﻤﻮ ﻭﺗﺘﻄﻮﺭ ﻛﻤﺎ ﺗﻄﻮﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ‬،‫ ﺃﻭﻻ‬:‫ ﻳﻮﺿﺢ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻘﺎﻝ‬:‫ﻣﻠﺨﺺ‬
،‫ ﺑﺸﻜﻞ ﻋﺎﻡ‬.‫ ﻟﻘﺪ ﺗﻐﻴﺮﺕ ﺍﻟﺤﻜﻮﻣﺔ ﻣﺮﺍﺭﺍ ﺳﻴﺎﺳﺔ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭﺱ ﻣﻊ ﺗﻐﻴﻴﺮﺍﺕ ﻓﻲ ﻧﻈﺎﻡ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻮﻃﻨﻲ‬،‫ ﺛﺎﻧﻴﺎ‬.‫ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻼﺩ‬
‫ ﺳﻴﺘﻢ ﺍﻻﻋﺘﺮﺍﻑ‬.‫ﻭﺳﻴﺎﺳﺎﺕ ﺍﻟﺤﻜﻮﻣﺔ ﺗﺠﺎﻩ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭﺱ ﺍﻟﺨﺎﺳﺮ ﻣﻘﺎﺭﻧﺔ ﻣﻊ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺃﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻃﺎﺑﻌﺎ ﺷﻜﻠﻴﺎ‬
‫ ﻭﻫﻲ ﻣﺆﺳﺴﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻤﻴﺔ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ‬،‫ﺍﻟﺘﻄﻮﺭﺍﺕ ﺍﻷﺧﻴﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺘﺎﺗﻴﺐ ﻭﺍﻟﺘﻲ ﺗﻤﺜﻠﺖ ﻓﻲ ﻭﻻﺩﺓ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﺪﻳﻨﻲ ﺍﻟﺮﺳﻤﻲ‬
.‫ ﻣﻦ ﺧﺮﻳﺠﻲ ﺭﺳﻤﻴﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ‬٪٢٠ ‫ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻭﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻭ‬٪٨٠ ‫ﻟﺪﻳﻬﺎ ﻣﻨﺎﻫﺞ‬
Key words: Madrasah Diniyah, national education system, Pendidikan Diniyah Formal.

Pendahuluan
Dalam konteks Indonesia, apa yang disebut sebagai “Pendidikan Islam”, sebenarnya tidaklah
begitu mudah untuk menentukan atau menunjukkannya. Sebab masih banyak yang
mempertanyakannya, mana yang termasuk pendidikan Islam, apakah lembaga pendidikan yang
dikelola oleh organisasi Islam tertentu misalnya Muhammadiyah, NU ataukah madrasah dari
berbagai jenjangnya yang dibina oleh Kementerian Agama, atau juga pendidikan (pengajaran)
agama Islam yang diberikan kepada para peserta didik sekolah umum seperti SMP, SMA atau
justru semua yang tersebut di atas adalah pendidikan Islam. Karena yang terlibat di dalamnya
orang Islam atau mayoritas beragama Islam.
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya jika dikembalikan lebih dahulu kepada esensi
pendidikan Islam sebenarnya. Esensi pendidikan Islam ialah terdapatnya unsur iman, ilmu dan
amal dalam totalitas teori dan praktek suatu pendidikan. Suatu kegiatan atau lembaga tertentu bisa

© 2015 | Online Thesis | ISSN 1978-4554


38 Ade Ano Surya Ilhamsyah

dikategorikan sebagai pendidikan Islam, manakala di dalamnya dikembangkan secara harmonis


ketiga unsur tesebut.1
Bila dicermati dari komponen pertama, bahwa iman tidak akan sempurna kecuali dengan
ilmu, sedangkan iman dan ilmu tidak akan berarti bagi hidup ini, kecuali diwujudkan dalam bentuk
amal atau pengabdian. Sebaliknya, bila dicermati dari unsur yang terakhir, bahwa amal tidak akan
sempurna, kecuali berdasarkan ilmu, sementara ilmu dapat menjerumuskan orang ke lembah
kesesatan jika tidak dilandasi iman.
Di Indonesia, yang biasanya diidentikkan sebagai lembaga pendidikan Islam, sekurangnya
ada tiga, yaitu pesantren, madrasah dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan
jenjang yang ada. Kecenderungan untuk menyusun identifikasi semacam itu, dasarnya lebih
bersifat realitas historis di mana ketiganya pernah di masa lalu menyatukan diri dalam satu barisan
yang menentang sistem pendidikan kolonial, dan yang jelas sama-sama berangkat dari dan untuk
kepentingan Islam dalam arti seluas-luasnya.2
Adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 yang mengatur
tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan merupakan payung hukum penyelenggaraan
pendidikan Islam di Indonesia. Seperti dalam Bab 1 pasal 1 ayat 3 yang membahas tentang
pendidikan diniyah, serta ayat 4 yang membahas tentang pesantren atau pondok pesantren.3
Dengan adanya PP ini, diharapkan pendidikan Islam, utamanya pesantren dan madrasah Diniyah
mampu memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan nasional, yaitu membangun bangsa
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas dan mandiri.
Akar budaya madrasah diniyah secara eksistensial tidak bisa dilepaskan dari pesantren,
karena komunitas pendidik yang mengelola madrasah diniyah itu sendiri adalah mayoritas peserta
didik-peserta didik lulusan pesantren yang mempraktekan apa yang diperoleh dan dipelajari dari
model pendidikan pondok pesantren. Karenanya tidak berlebihan jika madrasah diniyah disebut
sebagai sub-kultur pesantren karena peran madrasah diniyah dalam melestarikan nilai-nilai
pendidikan ke-Islaman dan tradisi-tradisi keagamaan dari pesantren terhadap kehidupan
masyarakat muslim.
Pendidikan madrasah diniyah pada hakikatnya merupakan sistem pendidikan untuk melatih
anak didik dalam mengembangkan sikap, tindakan, dan perilaku luhur sesuai dengan akhlak
Rasulullah Saw. Pada awal permulaan, pendidikan dan pengajaran madrasah diniyah dilakukan
secara informal dan membawa hasil yang sangat baik. Sistem pendidikan informal ini, terutama
yang berjalan dalam lingkungan pedesaan sudah diakui kemampuannya dalam menanamkan sendi-
sendi agama dalam jiwa anak-anak. Anak-anak dididik dengan ajaran-ajaran agama sejak kecil
dalam hal membaca al-Qur’an, praktek ibadah, do’a-do’a, sejarah Nabi dan sahabat, teladan-
teladan akhlak, dan lain-lain.
Dalam konteks pengembangan karakter anak-anak, pendidikan madrasah Diniyah sangatlah
dibutuhkan masyarakat. Apalagi umat Islam bukan hanya mengakui pentingnya lembaga
pendidikan madrasah diniyah ini, masyarakat Muslim juga merasakan manfaat langsung dan tidak
langsung dari institusi pendidikan keagamaan ini.
Makna penting madrasah diniyah juga karena institusi ini merupakan pendukung lembaga
pendidikan formal. Peran madrasah diniyah menjadi penting karena sebagai tindak lanjut dari
pendidikan agama yang ada di sekolah umum. Keberadaan madrasah diniyah sebagai penambah
jam khusus pendidikan agama telah membantu usaha sekolah umum dalam peningkatan mutu
keagamaan peserta didik.
Secara historis agak sulit untuk melacak kapan mulai berdirinya madrasah diniyah sebagai
sebuah institusi pendidikan di Indonesia ini. Kesulitan ini disebabkan karena langkanya referensi

1
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya:Al-Ikhlas, 1993, hlm. 79
2
Depag RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:Depag RI, 1986, hlm. 44
3
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, PPRI Nomor 55 Tahun 2007.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 39

yang menjelaskan eksistensi madrasah diniyah dalam konstelasi perkembangan institusi-institusi


pendidikan Islam. Tetapi kemunculan madrasah diniyah sebagai institusi pendidikan Islam
merupakan perpanjangan tangan dari pondok pesantren (Islamic boarding school) dengan model
kelembagaan dan kurikulum yang sedikit berbeda. Jika pondok pesantren didirikan oleh kiai dan
karena motif pribadi dan dikelola berdasarkan kepemimpinan personal-kharismatik kiai dan
keluarganya yang komitmen dengan pemberdayaan umat, sedangkan madrsah diniyah secara
umum didirikan karena inisiatif dan kerja kolektif beberapa orang yang memiliki komitmen dan
tujuan yang sama yaitu untuk menyelenggarakan pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya.
Secara sosiologis madrasah diniyah didirikan untuk memfasilitasi masyarakat yang hendak
menyekolahkan anaknya agar mau mempelajari ilmu-ilmu ke-Islaman dan berharap agar anaknya
berperilaku dengan akhlak al-karimah (akhlak mulia). Dan keunikan madrasah diniyah adalah
proses pembelajarannya biasanya dilaksanakan di waktu sore hari dari sekitar pukul 14.00 - 17.00.
Pemanfaatan waktu siang sampai dengan sore hari itu bukan tanpa alasan karena madrasah diniyah
melayani pendidikan anak-anak yang di pagi harinya ber-sekolah formal. Sebagai institusi
pendidikan Islam kerakyatan, peran madrasah diniyah dalam proses internalisasi ajaran-ajaran
Islam dan tradisi-tradisi keagamaan dalam sebuah komunitas masyarakat Muslim dipandang
teramat signifikan, penting dan strategis.
Signifikansi madrasah diniyah terutama dalam hal melestarikan kontinuitas pendidikan
Islam dan nilai-nilai moral etis ke-Islaman bagi masyarakat. Peran ini semakin tidak layak
diabaikan ketika memperhatikan keberadaan madrasah diniyah yang semakin diterima oleh
masyarakat Indonesia.
Sebelum lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003,
madrasah diniyah mempunyai peran melengkapi dan menambah Pendidikan Agama Islam bagi
anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah umum pada pagi hingga siang hari, kemudian pada
sore harinya mereka mengikuti pendidikan agama di madrasah diniyah. Tumbuh kembangnya
madrasah diniyah ini dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian orang tua peserta didik, yang
merasakan pendidikan agama di sekolah umum kurang memadai untuk mengantarkan anaknya
untuk dapat melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan yang diharapkan. berangkat dari kebutuhan
masyarakat akan jenis lembaga seperti inilah madrasah diniyah tetap dapat bertahan. Walaupun
hingga saat ini madrasah diniyah kurang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, baik
pemenuhan anggaran maupun bantuan ketenagaan, namun peran madrasah diniyah dipandang
sangat vital dalam sistem pendidikan nasional.
Madrasah diniyah yang merupakan lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan
pengajaran secara klasikal, bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada
peserta didik yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahnya.
Penyelenggaraan madrasah diniyah mempunyai ciri berbeda dan orientasi yang beragam.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi-inya, seperti latar belakang
yayasan atau pendiri madrasah diniyah, budaya masyarakat setempat, tingkat kebutuhan
masyarakat terhadap pendidikan agama dan kondisi ekonomi masyarakat dan lain sebagainya.
Keberadaan madrasah diniyah di Indonesia yang sejak kelahirannya telah mengalami
berbagai dinamika dan perkembangan, kiranya layak untuk dikaji sehingga eksistensi madrasah
diniyah dapat dipahami dalam konteks kesejarahannya, dan dapat dipetakan karakteristiknya
dalam konteks perkembangan masyarakat sekarang ini.

Sejarah Pertumbuhan Madrasah Diniyah di Indonesia


Madrasah diniyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan dan
mempraktekkan ajaran Islam. Lembaga ini tumbuh dan berkembang seiring perkembangan Islam
di Tanah Air. Dalam sejarahnya, dahulu disebut beberapa nama seperti pengajian anak-anak,
sekolah kitab, sekolah agama dan lain-lain. Penyelenggaraan madrasah diniyah dilakukan dengan
pola klasikal dan berjenjang dengan tingkatan madrasah Diniyah Awaliyah, madrasah Diniyah
40 Ade Ano Surya Ilhamsyah

Wustha dan madrasah Diniyah Ulya. Titik berat materi pembelajaran tetap menekankan pada
pemahaman, penghayatan dan praktek pengamalan ajaran Islam.
Madrasah diniyah adalah satuan pendidikan keagamaan luar sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan agama Islam, baik yang terorganisir secara klasikal, rombongan belajar, maupun dalam
bentuk pengajian anak, majelis taklim, kursus agama dan sejenisnya.
Tujuan pendidikan madrasah diniyah adalah untuk: (1) memberikan bekal kemampuan dasar
kepada warga belajar untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim yang beriman,
dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sebagai warga Negara Indonesia yang berkepribadian, percaya
diri sendiri, serta sehat jasmani dan rohaninya; (2) membina warga belajar agar memiliki
pengalaman, pengetahuan ketrampilan beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi
pengembangan pribadinya; (3) mempersiapkan warga belajar untuk dapat mengikuti pendidikan
lanjutan pada madrasah diniyah.
Sementara itu, fungsi madrasah diniyah adalah (1) menyelenggarakan pengembangan
kemampuan dasar pendidikan agama Islam yang meliputi Al-Quran, Hadits, Aqidah Akhlak,
Ibadah, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. (2) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pendidikan agama Islam bagi warga belajar yang memerlukannya. (3) Memberikan bimbingan
dalam pelaksanaan pengamalan ajaran Islam. (4) Membina hubungan kerjasama dengan orang tua
warga belajar dan masyarakat. (5) Melaksanakan tata usaha dan rumah tangga pendidikan serta
perpustakaan.
Madrasah Diniyah memiliki tiga tingkatan: Pertama, Madrasah Diniyah Awaliyah, yaitu
satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam
tingkat dasar, dengan masa belajar 4 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
Kedua, Madrasah Diniyah Wustha, yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan
yang diperoleh pada madrasah Diniyah Awaliyah dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam
belajar 18 jam pelajaran seminggu. Ketiga, Madrasah Diniyah Ulya, yaitu satuan pendidikan
keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah
atas sebagai pengembangan yang diperoleh pada madrasah Diniyah Wustha dengan masa belajar 2
tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.

1. Masa Pertumbuhan Madrasah Diniyah


Abad 20 merupakan tonggak awal berdirinya Madrasah Diniyah di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan dimulainya model pendidikan klasikal dengan kurikulum berjenjang yang
diadakan di lingkungan pesantren dan surau. Madrasah diniyah adalah anak induk pendidikan
pesantren dan surau yang telah melakukan pembaruan model pendidikan agama. Dalam analisa
penulis berdasar hasil penelitian pertumbuhan madrasah diniyah di Sumatera dan Jawa memang
tampak ada perbedaan seputar pengaruh pembaruan model pendidikan agama.
Pertama, madrasah diniyah di Sumatera, seperti madras school yang diprakarsai Syekh
Muhammad Thaib Umar pada 1909; Adabiyah School (madrasah adabiyah) yang diprakarsai
Syekh Abdullah Ahmad pada 1909; dan madrasah diniyah (diniyah school) yang didirikan
Zainuddin Labay El-Yunusi (1890-1924) pada tahun 1915 di Padang Panjang, dalam banyak hal
lebih banyak dipengaruhi tradisi sekolah Gubernemen yang diperkenalkan pemerintah Hindia
Belanda dan tradisi madrasah Islam modern yang diadopsi dari model sekolah Prancis di Mesir,
yakni madrasah Darul Ulum Mesir dan Madrasah Indonesia al-Makkiyah.
Madrasah Darul Ulum adalah madrasah reinkarnasi Madrasah Fatimiyah yang tumbuh
kembali setelah ada pengaruh westernisasi (kebarat-baratan). Banyak orang Indonesia yang belajar
di madrasah ini, antara lain Zainuddin Labay el-Yunusi dan Syekh Janan Muhamamd Thaib.
Tokoh yang paling akhir ini juga dikenal sebagai pendiri madrasah Indonesia al-Makkiyah pada
1923 yang peresmiannya diadakan di rumah Syekh Muhammad Nur Salim al-Khalidi di Kawasan
Qararah, Mekkah.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 41

Syekh Janan Muhammad Thaib (w. 1365H/1946M) merupakan putra Indonesia yang
pernah belajar di Madrasah Darul Ulum Mesir dan Universitas Al-Azhar Kairo. Bermodalkan
ijazah al-Azhar inilah is melanjutkan studi ke Haramain yang pada saat itu dikenal lebih popular
kualitasnya dibanding perguruan Islam di dunia Islam manapun. Di Haramain, yang karenanya dia
ditunjuk mendampingi Umar Said Cokroaminoto, Haji Mas Mansur, Muhammad Bakir, S. Umar
Naji, dan Muhammad Thaib sebagai delegasi Indonesia yang menghadiri Muslim World Congress
yang diselenggarakan di Mekkah pada 7 Juni-5 Juli 1926.
Pengaruh tradisi sekolah Gobernemen dan madrasah Islam modern ini tampak dari; (1)
Jenjang pendidikan dilalui selama 4 (empat) tahun lamanya sekolah Hindia Belanda, kurikulum
umum yang diajarkan banyak mengadopsi kurikulum sekolah Hindia Belanda, dan pemberian dana
subsidi pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Begitu kuatnya pengaruh tradisi sekolah
Gubernemen membuat eksistensi madrasah diniyah di Sumatera "tidak berlangsung lama". Ada
kalanya yang tidak beroperasi lama dan segera ditutup, seperti madrasah school, karena penolakan
masyarakat setempat dengan model pendidikannya yang "kebarat-baratan". Ada pula yang cepat
berganti status, seperti Adabiyah School yang pada 1915 berganti menjadi HIS (Holands
Maleische School) atau HIS (Holands Inlandsch School) Adabiyah, yang lulusannya setara dengan
lulusan HIS Belanda. (2) Penggunaan buku-buku keislaman dengan gaya bahasa modern yang
dipergunakan di madrasah-madrasah Mesir yang kemudian ditransfer sebagai kurikulum
madrasah-madrasah di sumatera barat.
Kedua, Madrasah diniyah di pesantren Jawa dan surau Sumatera lebih identik dengan sistem
madrasah di Mekkah dan Mesh, yakni Madrasah Shaulatiyyah, Madrasah Darul Ulum al-Diniyah
di Haramain, serta Madrasah Dar al-Ulum di Mesir. Madrasah Shaulatiyah merupakan Madrasah
Tradisional di abad ke-20 yang didirikan oleh seorang wanita India bernama Shaulah al-Nisa dan
dipimpin oleh seorang ulama India militan dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil al-Utsmani.
Madrasah Shaulatiyah sendiri didirikan pada tahun 1874 di Mekkah dan banyak berafiliasi dengan
Madrasah Darul Ulum di Deoband, India yang dibangun pada tahun 1867. Pada permulaan abad
ke-20, banyak orang Indonesia yang belajar di madrasah ini. Di antaranya adalah Sayyid Muhsin al-
Musawwa al-Palimbali, yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai pendiri madrasah Darul Ulum
al-Diniyah (1934) setelah is keluar dari pekerjaannya sebagai pengajar di Madrasah Shaulatiyah
selama enam tahun. Dalam catatan Martin van Bruinessen, sejarah berdirinya Madrasah Darul
Ulum al-Diniyah yang berdiri di daerah Shi'b All terkait dengan konflik antara siswa dan pengajar
di Madrasah Shaulatiyah yang berasal dan Melayu dengan Arab. Konon, pengajar Madrasah
Shaulatiyah yang beretnis Arab tidak suka dengan siswa dan pengajar Melayu yang sering
berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Sejak peristiwa itulah, orang-orang Indonesia di Mekkah
mengumpulkan uang untuk membangun madrasah sendiri yang diketuai Sayyid Muhsin.
Baik Madrasah Shaulatiyah maupun Madrasah Darul Ulum, keduanya merupakan lembaga
pendidikan tradisional dengan menerapkan pola pendidikan klasik (bukan halaqah) dan kurikulum
standar. Kurikulum standar yang dimaksud di sini ialah mata pelajaran dan buku rujukannya
memenuhi standar pendidikan islam secara umum yang diselenggarakan di wilayah arab. Banyak
ulama Indonesia yang belajar di madrasah-madrasah tersebut, sambil mengikuti pengajian halaqah
yang diselenggarakan di Masjidil Haram. Hanya saja karena pengajar Madrasah Shaulatiyah dan
Darul Ulum juga banyak yang didatangkan dari pengajar halaqah Masjidil Haram, sehingga
kebanyakan ulama Indonesia lebih bangga menyebut diri sebagai lulusan pendidikan halaqah
Masjidil Haram daripada sebagai lulusan madrasah. Walaupun demikian, kalau ditilik dari bentuk
madrasah diniyah yang dikembangkan oleh para ulama tradisi pendidikan Madrasah Shaulatiyah
dan Darul Ulum.
Di masa awal pertumbuhan madrasah diniyah (abad XX), jumlah pesantren atau surau yang
menyelenggarakan madrasah diniyah masih terhitung sangat sedikit. Umumya pesantren dan
surau masih mempertahankan model halaqah di setiap kegiatan belajar-mengajar. Hal ini
dimungkinkan karena pengawasan yang sangat ketat oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap
segala bentuk kegiatan belajar-mengajar agama. Sikap tersebut tampak jelas tercermin dalam
42 Ade Ano Surya Ilhamsyah

Ordonansi Guru (Guru Ordonantie) tahun 1905 yang tercantum dalam Statsblad 1905 no.550
yang berlaku untuk Jawa dan Madura terhitung 2 November 1901.
Isi ordonansi itu mengharuskan adanya izin tertulis bagi setiap guru agama yang akan
mengajar sebelum melakukan tugasnya. Kepada guru agama diwajibkan membuat uraian yang
terperinci mengenai sifat dari pendidikan yang dikelola serta membuat daftar murid menurut
bentuk tertentu yang harus dikirim secara periodik. Selanjutnya ditentukan pula bahwa bupati atau
pejabat yang sama kedudukannya bertugas mengawasi dan mengecek apakah guru agama tersebut
bertindak sesuai dengan izinnya dan mengawasi pula murid-murid yang bersal dari luar daerah.
Efek langsung dari ketentuan ini dialami oleh KH Ahamad Rifa'i Kaliwungu, yang diawasi dan
berulangkali dipenjarakan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baru ketika memasuki tahun 1920-an, seiring dengan kuatnya arus modernisme di
lingkungan pesantren dan surau serta kebijakan pemerintah Hindia Belanda mulai diperlunak
dengan hanya mewajibkan penyelenggara pendidikan agama untuk melapor bukan minta izin
(berdasarkan Ordonansi Guru Tahun 1925 dalam Staatblad 1925), mulailah dikembangkan
madrasah diniyah.
Di Sumatera yang paling terkenal adalah Madrasah Sumatera Thawalib yang diprakasrsai
ulama surau Syekh Ibrahim Musa Parabek. Di kepulauan Sulawesi juga terdapat madrasah yang
ternama, Madrasah Arabiyah Al-Islamiyah (MAI) dengan empat jenjang, masing-masing;
Tandiriyah ditempuh selama tiga tahun, Ibtidaiyah ditempuh selama empat tahun, Tsanawiyah
ditempuh selama tiga tahun dan I'dadiyah selama tiga tahun. MAI sendiri didirikan pada bulan
Dzul Hijjah 1348/Mei 1930 oleh ulama tersohor asal Bugis Syekh Muhammad As'ad Al-Bugisi.
Madrasah diniyah juga berkembang pesat di Jawa Madura, seperti; madrasah diniyah
Tebuireng, Denanyar, An-Nuqayah Gulu-guluk Sumenep, Ibrahimiyah Brumbung Demak,
Sendangguwo Semarang, Kauman Kudus, Kaliwungu Kendal, Buntet Cirebon dan sebagainya.
Madrasah tersebut didirikan oleh alumni-alumni Mekkah, seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH
Syarqawi, KH Ibrahim, KH Asnawi, KH. Abbas yang dikenal sangat kharismatilc di
lingkungannya. Di Sunda, madrasah, diniyah juga berkembang baik yang diantaranya ialah
Madrasah Mathali'ul Anwar didirikan pada 1961 oleh KH Mas Abdurrahman dan KH. E. M.
Yasin, dan perguruan Syamsul Ulum yang didirikan oleh KH. Ahmad Sanusi.
Sementara di Betawi, meskipun dikenal sebagai pusatnya Islam Indonesia tetapi madrasah
diniyah justru berkembang belakangan pada tahun 1940-an. Begitu pun kalau murid-murid
madrasah diniyah di kepulauan Jawa pada mulanya banyak yang "mondok", di Betawi tidak terjadi
demikian. Umumnya murid madrasah diniyah di Betawi merupakan "santri kolong: yang tidak
menginap. Hal ini terjadi karena ketatnya pengawasan pemerintah Hindia Belanda terhadap
aktivitas keagamaan. Baru pada tahun 1940-an berdiri madrasah diniyah di Betawi, yaitu Madrasah
Al-Manshuriyah Jembatan Lima yang didirikan oleh K.H. Muhamamd Manshur, Madrasah
Raudhatul Muta'allimin di Kuningan Mampang dirintis KH Abdul Mughni, Madrasah Islamiyah
Ibtidaiyah yang didirikan oleh KH Abdullah Syafe'i, dan Madrasah Diniyah Al-Muhajirin (PP
Islam al-Nida) terletak di Bekasi kota didirikan oleh KH Muhajirin.
Madrasah diniyah yang dikembangkan di lingkungan pesantren dan surau memiliki ciri yang
sama, yakni menggunakan buku-buku yang diajarkan di Madrasah Shaulatiyah dan Darul Ulum
serta penyampainannya menggunakan bahasa melayu dengan tulisan arab-pegon. Pada masa
pertumbuhan penyelenggarakan madrasah diniyah belum dikenal jenjang resmi. Ada kalanya yang
ditempuh hanya 3 (tiga) tahun, 4 (empat) tahun, 5 (lima) tahun. Standar kelulusannya pun sangat
sederhana meskipun susah, seperti diutarakan KH Syaichu, yaitu murid harus telah hafal seluruh
nazam mata pelajaran tertentu. Waktu itu yang sangat popular adalah murid madrasah diniyah
dinyatakan lulus jika telah hafal di luar kepala nazam Al-Fiyyah Ibn Malik yang berisi 1000 bait.
Hal ini dimungkinkan karena murid madrasah diniyah usinya rata-rata di atas l2 tahun, dengan
patokan waktu itu; "siswa mampu mengait telinga kirinya dengan posisi tangan kanan
dirangkulkan di atas kepala”.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 43

Menurut KH Syaichu, madrasah diniyah di masa-masa pertama pendiriannya belum


mengenai istilah Ula/Awaliyah, Wushta, 'Ulya. Masyarakat lebih mengenal dengan sebutan
madrasah pesantren dan atau madrasah sore. Siswanya pun tidak diharuskan menginap di
pesantren, tapi boleh pulang pergi (nglajur, bahasa Jawa; dilaju atau didugdag, Sunda).

2. Masa Perkembangan Madrasah Diniyah


Hengkangnya kolonial dari bumi Nusantara telah mengakhiri drama pengungkungan para
pengelola pendidikan Islam untuk menyelenggarakan pendidikan madrasah. Mulailah semenjak
kemerdekaan negara RI, pesantren serta masjid dan atau surau menghirup udara segar untuk
mengembangkan madrasah diniyah.
Para ulama sadar bahwa untuk mengisi kemerdekaan diperlukan sumberdaya manusia yang
bermoral dan berkualitas. Apalagi dalam salah satu bait lagu kebangsaan "Indonesia Raya"
disebutkan; ..."bangunlah jiwanya, bangunlah badannya", yang berarti untuk membangun bangsa
yang kuat harus diupayakan terlebih dahulu pembangunan jiwa rohani, baru kemudian
pembangunan material. Sadar akan cita-cita luhur inilah, tradisi madrasah diniyah masih tetap
dipertahankan dan bahkan dikembangkan besar-besaran di pelosok-pelosok desa.
Sejak itulah, pesantren yang awalnya tidak membuka madrasah diniyah dan juga masjid-
masjid perkampungan yang menyelenggarakan pengajian al-Quran mulai secara resmi membuka
madrasah diniyah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum agama pesantren. Sementara
kegiatan belajar-mengajar madrasah diniyah pada masa itu masih menggunakan teks-teks Arab dan
atau Arab-Pegon.
Untuk mengembangkan madrasah diniyah di pelosok-pelosok desa, menurut pengalaman
KH Syaichun bukanlah pekerjaan mudah. Berdasarkan pengalamannya sewaktu ingin mendirikan
Madrasah diniyah Assirajiyah, seorang kiai tiap hari harus berjalan di tengah pematang sawah
untuk mengajak anak-anak dan orang tuanya agar tidak terlalu disibukkan dengan urusan
pertanian, tapi juga harus memperhatikan pendidikan agama anaknya. Perjuangan yang tidak
terputus-putus dan penuh keikhlasan yang dilakukan para ulama dan kiai ternyata tidak sia-sia.
Dalam masa empat tahun, antara 1945-1949 madrasah diniyah telah banyak bermunculan di
kampung-kampung, bak jamur yang tumbuh subur di musim hujan, dengan nama-nama yang
bervariasi. Di Jakarta, misalnya, berdiri madrasah diniyah Tanwirul Qulub Karet Belakang, Rumah
Pendidikan Islam (RPI) di Kuningan Timur, al-Falah di Mampang Prapatan, Hidayatut Thalibin
Cilandak, Sa'adatud Darain Kampung Baru Tegal Parang. Darns Sa'adah Poncol Kuningan Barat,
dan lain-lain.
Perjuangan tanpa pamrih para ulama dan kiai di dalam mengelola madrasah diniyah "tidak
terpengaruh" dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, tanggal 19
Desember 1946 tentang pemberian bantuan madrasah untuk beberapa karesidenan di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jakarta, dan Surakarta, yang dinilai kurang berpihak pada madrasah-
madrasah tradisional. Sebab, dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa madrasah adalah tiap-tiap
tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya
serta mengajarkan pengetahuan umum, sekurang-kurangnya terdapat; (1) bahasa Indonesia,
berhitung dan membaca serta menulis dengan huruf latin di madrasah tingkat rendah, (2)
ditambah dengan ilmu-ilmu tentang bumi, sejarah, kesehatan tumbuh-tumbuhan dan alam di
madrasah lanjutan. Jumlah jam pengajaran untuk pengetahuan umum sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah jam pengajaran seluruhnya. Adapun bentuk bantuan yang diberikan setiap tahun kepada
madrasah modern, berupa uang yang hanya boleh digunakan untuk: (1) memberikan tunjangan
kepada para guru; (2) membeli alat-alat pelajaran; (3) menyewa dan atau memelihara ruang-ruang
dan gedung madrasah; dan (4) membiayai administrasi.
Bantuan ini sama sekali tidak didapatkan oleh madrasah tradisional, terutama di luar daerah
keresidenan Jakarta, Yogyakarta, serta Surakarta, dan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan
belajar-mengajar sumber dananya diperoleh dari iuran bulanan (syahriyah) murid dan sumbangan
masyarakat dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah. Kebijakan pemerintah hanya memberi
44 Ade Ano Surya Ilhamsyah

bantuan kepada madrasah-madrasah di tiga kota tersebut menyebabkan munculnya


"kecenderungan" di kalangan para pengelola madrasah diniyah di Jawa. Hal ini mengakibatkan
timbulnya polarisasi induk pengelolaan madrasah, antara Departemen Agama dengan induk
organisasi pendidikan Islam, seperti PP Ma'arif NU. Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah,
dan lain-lain. Ciri utama yang membedakan antara madrasah diniyah yang berafiliasi dengan ormas
keislaman dengan madrasah diniyah lainnya adalah mata pelajaran yang kesemuanya merupakan
mata pelajaran agama dengan referensi Arab.
Secara khusus, sebagai induk perkumpulan madrasah-madrasah NU, PP Ma'arif cukup
efektif mengorganisir pendirian madrasah diniyah sampai tahun 1960-an. Puncak kesuksesannya
adalah berhasil menyelenggarakan madrasah diniyah di seluruh desa-desa basis NU, yang
jumlahnya mencapai 7000-an madrasah dari tingkat dasar sampai tingkat atas. Prestasi ini juga
didukung apresiasi masyarakat yang tidak terlalu risih dengan pendidikan anaknya di madrasah
meskipun pemerintah Orde lama dengan UU No.4 tahun 1950 jo. UU No. 12 Tahun 1954
terkesan mengabaikan pendidikan madrasah. Yang terpenting bagi mereka, anak-anak harus
dididik membaca al-Qur'an dan belajar agama sejak usia dini, balk di tengah-tengah rutinitas anak
mengikuti pendidikan formal di tingkat dasar (waktu itu bernama sekolah Rakyat/ SR) atau sama
sekali tidak sekolah.
Meski madrasah diniyah tidak mendapatkan pengakuan oleh negara, namun dalam
penyelenggaraannya madrasah diniyah juga memperhatikan sistem belajar dan penilaian pelajar
layaknya sekolah formal, seperti kurikulum tetap dan imtihan (ujian catur wulan dan ulangan).
Murid-murid juga diberikan raport dan ijazah yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit Islam,
seperti Menara Kudus, Thoha Putra dan sebagainya.
Dengan memperhatikan begitu besar potensi yang dimiliki madrasah tradisional, seperti
yang dikoordinir PP Ma'arif NU, timbullah gagasan dari Departemen Agama untuk
menyelenggarakan program Madrasah Wajb Belajar (MWB). Munculnya gagasan ini juga dalam
rangka penjabaran ide dalam UU No.4 tahun 1950 (Undang-undang pendidikan), pasal 1 ayat (2)
yang berbunyi: "belajar di sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Menteri Agama
dianggap telah memenuhi kewajiban belajar...".
Secara formal MWB mulai dijalankan sejak dan tahun ajaran 1958/ 1959 sampai dengan
1970. pendirian MWB ini diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa untuk kemajuan di lapangan
ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi. Di MWB anak tidak hanya dididik pengetahuan agama
tapi juga pengetahuan umum dan keterampilan untuk mendukung kesiapan anak didik untuk
beroperasi atau bertransmigrasi dengan swadaya dan keterampilan yang diperoleh di MWB. Hal ini
karena kebanyakan murid madrasah berasal dari keluarga petani dan pedagang. lama belajar MWB
adalah 8 tahun dengan pertimbangan bahwa pada umur 6 tahun anak sudah wajib sekolah dan
setelah umur 15 tahun diizinkan mencari kerja.
Program MWB bersifat tidak mengikat, sehingga tidak semua murid madrasah diniyah
diharuskan mengikuti MWB. Untuk melihat madrasah diniyah mana yang mengikuti MWB
dengan yang tidak, bisa dideteksi lewat model penyelenggaraan pendidikan madrasah. Sejak tahun
1958/1959, umumnya madrasah diniyah yang menjalankan program MWB membuka sekolah
formal pagi berupa Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Sedangkan
madrasah diniyah yang tidak mengikuti MWB tetap mempertahankan tradisi sekolah sorenya,
dengan kurikulum yang mutlak berupa mata pelajaran agama tanpa pengetahuan umum.

3. Masa Pancaroba Madrasah Diniyah


Pemberlakuan program MWB menandai babak baru madrasah diniyah. Pasalnya, madrasah
diniyah yang mengikuti Program MWB telah melebarkan sayapnya dengan membuka program
pendidikan formal, terutama untuk tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah). Bukan hanya itu, guru-
guru madrasah Diniyah-pun terangkat statusnya menjadi guru agama negeri, asalkan mereka mau
mengikuti ujian persamaan yang diselenggarakan departemen agama yang diadakan di madrasah-
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 45

madrasah negeri (M.Ts.A.I.N dan M.A.A.I.N). Hal ini terjadi sejak tahun 1962, yang kemudian
ditindaklanjuti Departemen Agama dengan membentuk struktur baru di jajarannya, yakni bagian
inspektur urusan Madrasah Ibtidaiyah, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 47 Tahun
1963.
Di masa-masa awal pemberlakuan MWB, peluang mengembangkan madrasah diniyah
menjadi madrasah ibtidaiyah dan bahkan madrasah lanjutan sangat terbuka lebar. Bersama itu pula
penyelenggaraan madrasah diniyah sangat semarak di kampung-kampung pedesaan orang-orang
tua menitipkan anaknya untuk dididik agama di madrasah. Jumlah madrasah diniyah dalam skala
nasional pada tahun 60-an mencapai 13.057 madrasah, dengan prosentase 70% lebih berada di
pelosok-pelosok desa di pulau jawa.
Sehubungan dengan perkembangan madrasah diniyah yang demikian pesat, maka untuk
memudahkan pembinaan dan bimbingan, Departemen Agama menetapkan beberapa peraturan
tentang jenis-jenis madrasah diniyah yang diatur dalam peraturan Menteri Agama RI No. 13
Tahun 1964 yang antara lain dijelaskan:
1) madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pembelajaran
secara klasikal; dalam pengetahuan agama Islam kepada siswa bersama-sama sedikitnya
berjumlah 10 orang atau lebih, antara anak-anak yang berusia 7 sampai 18 tahun.
2) pendidikan dan pembelajaran (pada madrasah diniyah) bertujuan untuk memberikan
tambahan pengetahuan agama kepada siswa yang merasa kurang menerima pelajaran agama di
sekolah-sekolah umum.
3) madrasah diniyah ada 3 tingkatan yakni: Diniyah Ula, Diniyah Wustha dan Diniyah 'Ulya.
Perkembangan madrasah diniyah bertambah pesat lagi semenjak meletusnya G30 S-PKI.
Paska G30 S-PKI pada tahun 1965, seiring dengan tekanan pemerintah dan laskar ormas Islam
terhadap masyarakat abangan yang dicurigai sebagai anggota PKI, di Jawa Tengah dan Jawa Timur
yang dikenal banyak pengikut PKI, masjid-masjid kampung selalu membludak jama'ahnya.
Bersama itu pula murid madrasah diniyah bertambah besar jumlahnya.
Melihat besarnya jumlah madrasah diniyah, pada tahun 1967 Departemen Agama melalui
keputusan Menteri Agama No. 56 Tahun 1967 menetapkan madrasah diniyah berada di bawah
jawatan kedinasan tertentu, yakni dinas pembinaan madrasah dan diniyah yang mengurusi; (1)
Urusan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah; (2) urusan diniyah; dan (3) urusan
pengawasan. Dinas pembinaan madrasah dan diniyah ini berada di bawah struktur Direktorat
Pendidikan Agama yang juga membawahi; (1) Dinas Pendidikan Tenaga Ahli; (2) Dinas
Bimbingan Pendidikan dan Pengajuan Agama; (3) Dinas Bimbingan Pondok Pesantren dan
Pengajian; serta (4) Dinas Perkembangan Madrasah dan Perguruan Agama.
Namun demikian, seiring dengan berakhirnya program MWB pada tahun 1970 madrasah
diniyah mulai diterpa masa pancaroba. Fenomena yang paling nyata ialah terkikisnya tradisi
madrasah diniyah di saat-saat madrasah formal (MI, MTs, MA) sedang menemukan jati dirinya.
Madrasah diniyah tak boleh sebagai pelengkap menu pendidikan, dan bahkan di beberapa daerah
banyak madrasah diniyah yang gulung tikar karena bertahan dengan ketradisionalannya.
Puncak dari masa pancaroba madrasah diniyah ialah terkait dengan munculnya masalah baru
yang melingkari penyelenggaraan madrasah formal "hasil pencangkokan" MWB, pada tahun 1972.
pada saat itu pemerintah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada madrasah diniyah untuk
diformalkan menjadi MI, MTs, MA -yang karennya membutuhkan banyak tenaga guru agama,
namun sayangnya pemerintah tidak mempersiapkan terlebih dahulu (salah satunya) perangkat
judisialnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya praktek duplikasi dan jual-beli ijazah oleh guru-
guru agama yang berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan madrasah.
Mengapa kualitas pendidikan madrasah menurun? Pertama, dari hasil penelusuran penulis di
madrasah-madrasah di lingkungan Kecamatan Mranggen, Demak, diperoleh informasi bahwa rata-
rata madrasah ibtidaiyah eks-diniyah yang baru "bisa merangkak", "dipaksa" menerima guru agama
negeri yang tidak diketahui latar belakang pendidikan agama dan atau pesantrennya. Pengelola
46 Ade Ano Surya Ilhamsyah

madrasah pada akhirnya juga harus memberhentikan sebagai guru agama swasta yang tidak
berkesempatan memperoleh ijazah formal, karena "kedatangan" guru agama negeri tersebut.
Kedua, Keterpurukan madrasah diniyah dan madrasah lainnya juga diakibatkan upaya
pemerintah untuk menyatuatapkan seluruh lembaga pendidikan, termasuk madrasah di bawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Upaya ini ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1972, yang menyebutkan bahwa semua lembaga Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, serta harus mencantumkan kurikulum sekolah-sekolah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai mata pelajaran madrasah. Keppres ini sendiri banyak
mendapatkan tantangan dari kalangan ulama dan pengelola madrasah.
Di samping itu, pemerintah juga melakukan "propaganda" dengan mendirikan Sekolah Dasar
Negeri yang dibiayai negara di pelosok-pelosok desa. Padahal di desa-desa tersebut telah berdiri
madrasah swasta yang dibiayai sendiri tanpa ada kucuran dana dari pemerintah. Oleh para ulama,
kebijakan pemerintah ini sengaja dibuat untuk mematisurikan madrasah, sebab terbukti banyak
murid madrasah yang akhirnya hengkang pindah ke sekolah umum yang notabenenya banyak
mendapatkan fasilitas negara. Menurut KH. Syaichu, pada saat itu masyarakat pun ikut larut dalam
propaganda pemerintah dengan asumsi: "untuk apa menyekolahkan anak di madrasah, toh anak
mereka di sekolah umum juga dididik agama dan terpenting lagi kelulusannya diakui oleh negara
sehingga mudah mendapatkan kerja."
Meski di atas kertas madrasah diniyah yang memang tidak diakui negara tidak
bersinggungan langsung dengan wacana politik di balik Keppres No.34 tahun 1972, namun
eksistensinya tetap saja terusik. Pasalnya, madrasah yang terkena dampak langsung dari Keppres
tersebut adalah kebanyakan berstatus swasta dan rata-rata berasal mulai dari madrasah diniyah.
Makanya wajar jika ulama menentang keras dikeluarkannya Keppres tersebut, hingga kemudian
lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) pada
tahun 1975 tentang Peningkatan mutu Pendidikan Madrasah.
Bagi sebagian besar ulama, Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut belum mencerminkan
keseluruhan aspirasi yang muncul dari lingkungan madrasah, karena isinya sangat formalitas,
yakni:
1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat
asalkan diberikan pengetahuan umum sesuai dengan standar sekolah umum yang setingkat;
2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas;
3) Siswa madrasah dapat berpindah sekolah ke sekolah umum yang setingkat; dan terpenting,
4) Madrasah masih berada di bawah departemen agama.
Walaupun demikian, para ulama yang sejak dulu tetap bertahan pada otonomi madrasah bisa
menerimanya, dengan pertimbangan bahwa paling tidak pemerintah sudah merasa peduli dengan
madrasah formal. Para pengelola madrasah pun menetapkan pengetahuan umum sesuai dengan
standar sekolah umum dalam kurikulum madrasah. Sementara untuk menutupi pelajaran agama
yang terlebih dahulu telah digeser mata pelajaran umum, untuk murid madrasah diberlakukan dua
model pengajaran agama, masing-masing; (1) jam pelajaran tambahan kurikulum agama dengan
mengikuti madrasah diniyah di waktu sore; (2) "Kurikulum Bayangan" atau dalam istilah KH Agus
Maghfur Murod pengasuh PP Al-Murodi Mranggen di sebut "kurikulum di balik layar". Dalam hal
ini madrasah memberlakukan kurikulum diniyah dengan cara mengoreksi (mengurangi) jumlah
jam mata pelajaran umum dan menggantikan buku kurikulum agama dengan kitab-kitab berbahasa
arab yang disesuaikan dengan silabi departemen agama.
Secara umum, madrasah diniyah dapat melewati masa-masa pancaroba meskipun dengan
jumlah murid yang terus menerus menurun, dan bahkan tidak sedikit yang gulung tikar. Madrasah
Diniyah juga masih menjadi pilihan favorit bagi sebagian masyarakat yag menginginkan anaknya
melanjutkan pendidikan di pesantren ataupun madrasah yang bemaung di bawah pesantren.
Karena biasanya untuk bisa diterima di pesantren atau madrasah pesantren, murid terlebih dahulu
diuji kemampuannya tentang pengetahuan agama yang bercabang-cabang, mulai dari nahwu,
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 47

sharaf, fiqh klasik, dan sebagainya; yang umumnya tidak dimengerti oleh murid-murid bukan
lulusan madrasah diniyah.

4. Lahirnya Madrasah atau Pendidikan Diniyah Formal (PDF)


Jika mencermati layanan satuan pendidikan formal tingkat pendidikan dasar dan menengah
saat ini, negara kita hanya mengenal satuan pendidikan formal: jenis pendidikan umum yang
menjadi otoritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan jenis pendidikan umum berciri
khas Islam yang menjadi otoritas Kementrian Agama Cq: Direktorat Pendidikan Madrasah
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Lulusan pendidikan murni (pure) baik dari sekolah (pendidikan formal jenis pendidikan
umum) maupun dari madrasah (pendidikan formal jenis pendidikan umum berciri khas Islam)
dengan tanpa ada ‘sentuhan’ pendidikan pesantren, dalam banyak hal oleh sebagian besar
masyarakat dinilai belum cukup mampu untuk melahirkan ahli di bidang ilmu agama Islam
(mutafaqqih fiddin). Materi agama (Islam) yang diajarkan selama 2 hingga 3 jam pelajaran di
sekolah dan materi agama Islam yang diwujudkan dalam 5 (lima) mata pelajaran Al-Quran-Hadits,
Fiqh, Aqidah-Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab yang diajarkan dalam beberapa
jam pelajaran yang jauh lebih sedikit dibanding dengan mata-mata pelajaran umum di madrasah,
dengan tanpa mendapatkan layanan pendidikan pesantren, itu dinilai belum mampu melahirkan
lulusan yang memiliki kapabilitas atau kompetensi ulama, mutafaqqih fiddin, ahli di bidang ilmu
agama Islam. Tegasnya, lulusan sekolah dan lulusan madrasah secara murni tidak mampu
menghasilkan kader ulama.
Kementerian Agama RI membuka ruang baru dan memberikan pilihan kepada masyarakat
untuk mendidik putera puterinya menjadi kader ulama melalui layanan Pendidikan Diniyah
Formal (PDF). Layanan PDF ini tunduk atas Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun
2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, yang merupakan turunan atas Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang
merupakan implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
PDF merupakan salah satu dari entitas kelembagaan pendidikan keagamaan Islam yang
bersifat formal untuk menghasilkan lulusan mutafaqqih fiddin (ahli ilmu agama Islam) guna
menjawab atas langkanya kader mutafaqqih fiddin. Jenjang PDF dimulai dari jenjang pendidikan
dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan dasar ditempuh pada
PDF Ula selama 6 (enam) tahun, dan PDF Wustha selama 3 (tiga) tahun. Jenjang pendidikan
menengah ditempuh pada PDF Ulya selama 3 (tiga) tahun. Sedangkan jenjang pendidikan tinggi
ditempuh pada Ma’had Aly untuk program sarjana (S1), magister (S2), dan doktor (S3).
Kurikulum yang akan dikembangkan oleh PDF terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan
keagamaan Islam berbasis kitab kuning (kutub al-turats). Mata-mata pelajaran pendidikan umum
hanya terdiri atas Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu
Pengetahuan Alam, serta untuk tingkat ulya ditambah dengan Seni dan Budaya, sementara mata
pelajaran keagamaan Islam hingga di tingga ulya meliputi: Al-Qur’an, Tauhid, Tarikh, Hadist-
Ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq-Tasawuf, Tafsir-Ilmu Tafsir, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf,
Balaghah, Ilmu Kalam, Ilmu Arudh, Ilmu Mantiq, dan Ilmu Falak yang semuanya berbasis kitab
dan berbahasa Arab. Jika diakumulasi beban mata-mata pelajaran pendidikan keagamaan Islam
setidaknya 75% dari seluruh beban pelajaran, sementara beban mata-mata pelajaran pendidikan
umum sekitar 25% dari seluruh beban pelajaran.
Kehadiran PDF ini merupakan bagian implementasi dari skenario besar untuk menjadikan
pendidikan di Indonesia, khususnya pesantren, sebagai destinasi atau tujuan pendidikan di bidang
ilmu agama Islam. Sebab, dalam konteks pendidikan Islam secara global, harapan masyarakat dunia
terhadap pendidikan Islam masa kini dan masa depan itu berada di pundak Indonesia. Pasalnya,
seperti disaksikan dalam gejolak sosial-politik dan perkembangan keislaman di sejumlah negara
muslim belakangan ini, terlebih di kawasan Timur Tengah, umat Islam patut menyayangkan
48 Ade Ano Surya Ilhamsyah

terhadap gejolak tersebut yang mengakibatkan pusat-pusat keislaman pun menjadi redup. Mesir,
Libya, Suriah, dan Yaman kini ditimpa musibah konflik yang hingga kini belum usai.
Dalam konteks di atas, terdapat sejumlah alasan mengapa Indonesia menjadi pusat harapan
pendidikan Islam dunia. Pertama, pemahaman Islam yang berkembang di Indonesia adalah
pemahaman Islam yang rahmatanlil’alamin. Islam yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, menghargai hak-hak asasi manusia, menghormati ragam budaya dan kultur
masyarakat, mengidamkan kedamaian, keadilan, toleransi, dan sikap yang keseimbangan
(tawazun). Di tengah pelbagai perbedaan dan keragaman sosio-kultural, agama, adat dan budaya,
bahasa, dan lokalitas dalam ribuan pulau serta lainnya, namun Indonesia tetap kekar dalam bingkai
persatuan dan kesatuan keindonesiaan. Ini menunjukkan pemahaman keagamaan Islam yang
berkembang adalah Islam yang damai, toleran, dan menghargai segala bentuk perbedaan.
Kedua, Indonesia bisa menjadi harapan pusat pendidikan Islam dunia oleh karena kita
memiliki pondok pesantren. Pondok pesantren ini memiliki konvidensi dan kekuatan yang luar
biasa untuk menjadi corong kepada masyarakat dunia. Tentu saja, nomenklatur kelembagaan
pendidikan Islam lainnya bukan berarti tidak memiliki peran dan arti sama sekali, tetapi dalam
konteks ini cukup beralasan karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
khas (genuin) Indonesia yang mampu menghasilkan intelektual muslim yang berkarakter.

Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Madrasah Diniyah


Meski posisi madrasah diniyah telah diambil alih oleh madrasah formal, hal ini tidak
sekaligus berarti mematikan semangat para ulama untuk mempertahankan eksistensi madrasah
diniyah. Madrasah diniyah masih tetap diselenggarakan dengan mengambil jam pelajaran di waktu
sore/malam, meskipun hanya dua atau tiga jam dalam seharinya. Bahkan pada paruh terakhir tahun
1980-an ada menghidupkan para pengelola sekolah/madrasah formal untuk menghidupkan
kembali madrasah diniyah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama pelajar yang dirasa
kurang sewaktu belajar di sekolah.
Dalam realisasinya memang pertumbuhan madrasah diniyah tidak begitu signifikan pada
tahun 80-an, karena faktor; (1) minat siswa yang "setengah-setengah" akibat berbenturan dengan
kegiatan ekstra sekolah; (2) rendahnya kemampuan siswa dalam hal menulis dan membaca huruf
Arab pada umumnya dan al-Qur'an pada khususnya. faktor inilah yang kemudian mengilhami
pendirian Taman Pendidikan al-Qur'an (TPA/TPQ) daripada madrasah diniyah, terutama di
wilayah perkotaan. Selain itu pemerintah juga memilih untuk membuka program bare bernama
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) pada 1987 dengan perbandingan jam pelajaran agama :
pelajaran umum sekitar 70% : 30%.
Kalau dikaji seksama, sesungguhnya program yang digagas Menag Munawir Sazali ini
banyak diilhami oleh praktik pemberlakuan "kurikulum di balik layar" yang diterapkan di
lingkungan madrasah-madrasah pesantren yang notabenenya tumbuh dari madrasah diniyah.
Dengan adanya program MAPK, pembelajaran kitab-kitab agama tidak perlu disembunyi-
sembunyikan seperti di madrasah-madrasah pesantren tapi ditetapkan sebagai kurikulum formal.
Walaupun demikian, kegigihan ulama, para guru, dan partisipasi aktif masyarakat yang sadar
akan arti penting keberadaan madrasah diniyah di tengah-tengah berlangsungnya sistem
penddikan nasional akhirnya memetik hasil. Perjuangan tanpa henti tersebut berhasil mengetuk
pemerintah untuk "mengakui" keberadaan diniyah. Momentum itu didapati dalam pemberlakuan
Undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pendidikan nasional mencakup jalur sekolah dan luar
sekolah, jenis-jenis pendidikan akademik, profesional, kejuruan, dan keagamaan. Madrasah diniyah
sendiri digolongkan ke dalam pendidikan luar sekolah keagamaan berdasarkan peraturan
Pemerintah No. 73 Tahun 1991, yang bertujuan secara terus-menerus memberikan pendidikan
agama kepada peserta didik yang tidak terpenuhi pada pendidikan jalur sekolah.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 49

Departemen agama-pun yang menaungi penyelenggaraan pendidikan keagamaan tidak mau


tertinggal untuk memanfaatkan momentum ini, dengan mengeluarkan tiga bentuk kebijakan
dalam waktu yang berbeda: pertama, pada tahun 1994, Departemen Agama cq Direktorat
Pembinaan Perguruan Agama Islam (Ditbinrau Islam) cq Subdit Pembinaan Pondok Pesantren
dan Madrasah Diniyah mencoba mengembangkan kurikulum madrasah diniyah yang disesuaikan
dengan UU No. 2 Tahun 1989. Walaupun akhirnya kurikulum tersebut barn selesai pada tahun
1996 dan hanya sebatas memuat kurikulum Diniyah Ula dan Wustha. Hanya saja apa yang
dilakukan departemen agama terhitung terlambat, karena ternyata madrasah diniyah di daerah
terlebih dahulu telah siap merespon pemberlakuan UU No.2 tahun 1989.
Contoh riil adalah madrasah-madrasah diniyah di Jawa Tengah yang pada tahun 1989 itu
juga telah berhasil menyusun kurikulum madrasah diniyah. Hanya saja madrasah diniyah di Jawa
Tengah terdapat dua model kurikulum yang berbeda satu sama lain: kurikulum diniyah versi
Ma'arif NU dan kurikulum versi kelompok kerja madrasah diniyah (KKMD) yang menginduk
kepada Depag Kota/Kabupaten. KKMD sendiri bertugas untuk merumuskan kurikulum madrasah
diniyah bersama se-kabupaten berikut penyelenggaraan ujian semester dan ujian akhir. Murid
madrasah diniyah yang dinyatakan lulus akan mendapatkan ijazah yang diakui dan ditandatangani
Departemen Agama Kota/Kabupaten.
Menariknya, meski KKMD berafiliasi kepada Departemen Agama namun kurikulum
madrasah diniyah produk Departemen Agama tidak dipakainya. Hal ini terkait dengan kekhasan
yang dimiliki masing-masing madrasah sehingga menyebabkan tidak diterimanya uapaya
"penyeragaman" yang dilakukan Departemen Agama. "Apalagi referensi silabi yang diajukan
Departemen Agama merupakan "buku latin" yang dianggap menghilangkan ciri khas madrasah
diniyah sebagai "sekolah Arab".
Kedua, pada tahun 1993 lewat Keputusan Menteri Agama No. 371 Tahun 1993, tentang
Madrasah Aliyah Keagamaan. Kebijakan ini pada dasarnya melanjutkan program Madrasah Aliyah
Program Khusus (MAPK) pada 1987 yang diperlebar pemberlakuannya ke madrasah-madrasah
aliyah secara umum, dan madrasah pesantren pada umumnya. Bagi sebagian besar madrasah
menteri agama ini merupakan kesempatan pertama menghirup udara segar selama bertahun-tahun
mempraktekkan "tradisi pembelajaran madrasah diniyah" secara menginduk pesantren telah
menerapkan model madrasah aliyah keagamaan.
Ketiga, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam dan perencanaan
program wajib belajar 9 tahun (wajar 9 tahun ), pada tanggal 16 juli 1996, Dr. H. Tarmizi Taher
Menteri Agama RI pada saat itu, meresmikan Madrasah Tsanawiyah Terbuka (MTs terbuka)
pertama di Indonesia yang Dipusatkan di pondok pesantren Nurul Yaqin didasari oleh karena
pesantren ini menerapkan madrasah diniyah Ula dan Wustha secara baik dari segi manajemen
maupun pendidikannya. Dan memang secara umum madrasah diniyah di lingkungan KKMD
Demak memang lebih bagus dibanding daerah lain. Pola penyelenggaraan MTs Terbuka ini
mengacu kepada pola penyelenggaraan SMP Terbuka yang diselenggarakan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Diknas) dengan tambahan ciri khas agama. Tujuannya
adalah agar murid madrasah diniyah/santri pesantren yang telah lulus MI/ SD dan tidak
melanjutkan ke jenjang sekolah formal tapi memilih belajar di madrasah diniyah/ pesantren, dapat
memperoleh hak ajar dan pengakuan yang sama seperti lulusan SMP/MTs.
Entah mengapa program ini tidak dilanjutkan seiring dengan pergantian pucuk pimpinan
baik di Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional. Kini, madrasah diniyah
secara khusus berada dalam kewenangan subdit khusus di bawah Direktorat Pendidikan
Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren), dengan nama Subdit Diniyah dan Pendidikan
Keagamaan. Pemilihan diniyah dengan pendidikan keagamaan meskipun adalah satu atas ini bisa
dimaklumi karena praktek penyelenggaraan pendidikan diniyah antara satu daerah dengan daerah
lain ternyata berbeda.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa cikal bakal berkembangnya madrasah diniyah di
Indonesia terdapat perbedaan kronologinya, terutama di Jawa dan Sumatera. Tradisi diniyah di
50 Ade Ano Surya Ilhamsyah

Jawa pada dasarnya merupakan perluasan dari pendidikan pesantren, dimana pendiriannya selain
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama santri yang tidak mukim di
pesantren, juga berperan untuk menyiapkan kemampuan dasar (i'dadiyah) anak-anak dan remaja
sebelum mereka belajar di pesantren. Hal ini berbeda dengan tradisi diniyah di sumatera yang pada
umumnya didirikan sebagai pengaruh pendidikan modern. Makanya pelaksanaan pendidikan
diniyah di Jawa selalu berkesinambungan dengan pendidikan pesantren, baik dari sisi kurikulum
maupun materi-ajar.
Diniyah terakhir inilah yang dimaksudkan masuk dalam wilayah urusan diniyah yang
dimaksudkan departemen agama. Sedangkan diniyah yang berkembang di luar Jawa, yang biasa
disebut surau atau lainnya, dikategorikan sebagai pendidikan keagamaan. Keduanya sampai
sekarang masih tetap eksis di tengah arus perubahan orientasi pendidikan nasional.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, kajian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, dari aspek sejarah perkembangan, Madrasah diniyah tumbuh dan berkembang
seiring perkembangan Islam di Tanah Air. Sejarah madrasah diniyah di Indonesia meliputi (1) fase
pertumbuhan yang ditandai dengan dimulainya model pendidikan klasikal dengan kurikulum
berjenjang yang diadakan di lingkungan pesantren dan surau atau masjid; (2) fase perkembangan
madrasah diniyah yang ditandai dengan penyebaran madrasah diniyah ke berbagai pelosok di
Tanah Air seiring dengan perkembangan agama Islam; dan (3) fase masa pancaroba, yaitu fase di
mana madrasah diniyah beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan
sejenis, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah yang selain
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, juga memuat kurikulum ilmu pengetahuan umum.
Kedua, kebijakan pemerintah dalam pengembangan madrasah diniyah mengalami
perubahan-perubahan seiring dengan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional. Pada umumnya kebijakan pemerintah terhadap madrasah diniyah lebih
longgar dibandingkan dengan jenis pendidikan lain yang sifatnya formal. Pemerintah lebih
menempatkan dirinya sebagai fasilitator dan tidak menetapkan regulasi yang ketat terhadap
madrasah diniyah.
Ketiga, dinamika kontemporer madrasah diniyah menunjukkan bahwa peran pemerintah
terhadap madrasah diniyah semakin meningkat seiring dengan lahirnya beberapa peraturan terkait
dengan pendidikan agama dan keagamaan di Tanah Air. Dinamika terkini madrasah diniyah
ditandai dengan lahirnya institusi Pendidikan Diniyah Formal (PDF), suatu satuan pendidikan
keagamaan yang memiliki kurikulum 80% ilmu agama Islam dan 20% ilmu umum dan lulusannya
akan diakui secara formal oleh negara, karena akan menggunakan sistem standar nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyidin (2008) Falsafah Pendidikan Islami. Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis
Alam, Arshad (2005). Science in Madrasas. Dalam jurnal Economic and Political Weekly, Vol. 40,
No. 18 (Apr. 30 - May 6, 2005), pp. 1812-1815
Bano, Masooda (2010). Madrasas as Partners in Education Provision: the South Asian experience.
Dalam jurnal, Development in Practice, Vol. 20, No. 4/5, Achieving Education for All
through Public-Private Partnerships? (June 2010), pp. 554-566
Bawani, Imam (1993). Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya:Al-Ikhlas
Bhagirathi Sahu (2002) The New Educational Philosophy. New Delhi: Sarup & Sons
Depag RI (1986). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:Depag RI
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, PPRI Nomor 55 Tahun 2007.
Online Thesis | Volume 10, No. 2, 2015 51

Engineer, Asghar Ali (2001) Muslims and Education. Dalam jurnal Economic and Political Weekly,
Vol. 36, No. 34 (Aug. 25-31, 2001), pp. 3221-3222
Feisal, Jusuf A. (1996) Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Hasbullah (1999). Kapita Selekta Pendidikan Isla. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Hasbullah (2001). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Headri, Amin (2004). Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah diniyah. Jakarta: Diva
Pustaka
Krippendorff, Klaus (2004) Content Analysis: An Introduction to Its Methodology. California: Sage
Publication
Levy, Reuben (1928) The Nizamiya Madrasa at Baghdad. Dalam jurnal. The Journal of the Royal
Asiatic Society of Great Britain and Ireland, No. 2 (Apr., 1928), pp. 265-270
Mahmud Yunus (1987) Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas
Makdisi, George (1970). Madrasa and University in the Middle Ages. Dalam jurnal Studia Islamica,
No. 32 (1970), pp. 255-264
Makdisi, George Abraham (2005) Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan
Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Resaisans Barat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Muhammad al-Anwari (2010). Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-
Mulk,
Nash, Paul (1964). History of Education. Dalam jurnal Review of Educational Research, Vol. 34,
No. 1, Philosophical and Social Framework of Education (Feb., 1964), pp. 5-21
Nasir, Ridlwan (2010). Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nata, Abuddin (2004). Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Neyazi, Taberez Ahmed (2002). Madrasa Education. Dalam jurnal Economic and Political Weekly,
Vol. 37, No. 38 (Sep. 21-27, 2002), pp. 3967-3968
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany (1979) Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang
Qomar, Mujamil (2007) Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik. Jakarta: Erlangga
Raharjo, Dawam (1985). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah. Jakarta: P3M
Suwito, (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Syam, Nur (2013). Urgensi Madrasah Diniyah, http://nursyam.sunan-ampel.ac.id5 Januari 2013
52 Ade Ano Surya Ilhamsyah

Anda mungkin juga menyukai