Abstract
The current paper critisizes government’s policy on Islamic religion education implementation, in term of
the organizer/ administrator and subject matters. Government Regulation (Peraturan Pemerintah) No 55/
2007 explicitly explained about how Islamic religion education and other religions education organized and
administered. This paper found that the regulation has several critical points on its implementation,
organization, and administration. Therefore, it is urgent for Ministry of Religious Affair and Ministry of
Education to make synergic cooperation on implementing Islamic religion education development, whether
on its education system, infrastructures, subject materials, and human resource development. If this
cooperation appears to be hard to implement, Ministry of Religious Affair better to return its role in managing
Islamic education to Ministry of Education. Means, this paper recommends the government to revise the
regulation on religions education system.
1
Penulis adalah dosen tetap Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII
Hanya saja jika dicermati, tampak ke- untuk menumbuhkan kepribadian manusia
senjangan antara tingginya animo masyarakat yang seimbang dalam pelbagai aspek, dan
untuk mendapatkan pendidikan sebanyak- mampu mengantarkan manusia untuk me-
banyaknya dengan kemampuan pemerintah nyerahkan diri kepada Allah baik secara
dalam menyelenggarakan pendidikan. Me- individual ataupun kolektif. Adapun kuri-
nyadari keterbatasan yang dimiliki, negara kulum (subject matter) dapat dipahami sebagai
membuka peluang kepada setiap individu kurikulum atau dalam makna yang lebih sempit
warga negara, kelompok masyarakat dan adalah mata pelajaran/mata kuliah yang
lembaga yang ada di masyarakat lainnya untuk diberikan kepada peserta didik.
ikut berpartisipasi memecahkannya. Di lihat dari sisi manapun, pendidikan
Pada sisi inilah banyak lembaga-lembaga Islam memiliki peran dalam konteks pen-
Islam yang turut mengambil peluang untuk ikut didikan nasional. Hanya saja harus pula
berkompetisi menyelenggarakan lembaga dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini
pendidikan, tentunya dengan tujuan selain secara kelembagaan pendidikan Islam kerap
sebagai wujud partisipasi aktif, juga adanya menempati posisi kedua dalam banyak situasi.
keharusan untuk melindungi umat dengan cara Sebagai misal, jurusan yang menawarkan
menyelenggarakan pendidikan yang sesuai pendidikan Islam kurang banyak peminatnya
dengan agama yang dianutnya. jika dibandingkan dengan jurusan lain yang
dianggap memiliki orientasi masa depan yang
B. Pembahasan lebih baik. Dalam hal pengembangan ke-
lembagaan akan pula terlihat betapa program
1. Kebijakan Tentang Penyelenggaraan
studi/ sekolah yang berada di bawah pengelola-
Pendidikan Islam
an dan pengawasan Kementerian Agama tidak
Terminologi pendidikan Islam bagi penulis selalu yang terjadi di bawah pembinaan
merujuk pada konteks makna institusi, proses Kementerian Pendidikan Nasional, bahkan
dan kurikulum (Idrus, 1997). Institusi akan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan
merujuk pada lembaga-lembaga pendidikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum
Islam formal (mulai dari MI, M.Ts., MA PT tersebut.
Islam) maupun non-formal (pondok pesantren,
Meski disadari betapa pentingnya posisi
sekolah diniyah, TPA). Untuk pendidikan
pendidikan Islam dalam konteks pendidikan
berbentuk perguruan tinggi Islam, meski untuk
nasional, namun, harus pula diakui hingga saat
pendidikan tinggi, Zamroni (1995) pernah
ini posisi pendidikan Islam belum beranjak dari
mengajukan sinyalemen bahwa model pen-
sekadar sebuah subsistem dari sistem besar
didikan tinggi Islam pada dasarnya merupakan
pendidikan nasional.
implementasi dari sistem pendidikan tinggi
sekuler barat yang ditambah dengan mata
kuliah agama Islam. 2. Evaluasi Kebijakan Pemerintah Dalam
Penyelenggaraan PAI
Sementara itu, proses merujuk pada situasi
interaktif antara pendidik dengan peserta didik Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP)
beserta lingkungan pendidikan yang me- Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan
nyertainya. Dengan begitu, proses yang ber- agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan
langsung di dalamnya seharusnya diarahkan dapat membawa perubahan pada sisi
Provinsi (17,1%) atau sekitar Rp 1,2 triliun. Saat kan betapa Kemenag beserta jajarannya hingga
ini anggaran pendidikan Islam di Kemenag yang paling bawah, tidak memiliki kekuasaan
diprediksi 20% dari anggaran pendidikan di dalam proses penyelenggaraan pendidikan
Depdiknas (bukan dari APBN) (Mulyana. 2008). keagamaan sekalipun.
Untuk tingkat pendidikan tinggi, keter- Untuk jenjang pendidikan dasar dan
gantungan Kemenag terhadap Kementerian menengah, lembaga penyelenggara pendidikan
Pendidikan Nasional juga terasa. Sebut saja keagamaan Islam adalah MI, MTs dan MA.
permasalahan tentang pengakuan kepangkatan Meski sebenarnya penyebutan lembaga-
(jabatan akademik) dosen perguruan tinggi lembaga tersebut tidak secara eksplisit, namun
Islam yang masih tetap harus sepengtahuan sebagai penjelasan tentang kemungkinan
dari Kementerian Pendidikan Nasional. Bahkan perpindahan peserta didik dalam jenjang
Kementerian Pendidikan Nasional-lah yang pendidikan yang setara (Pasal 11). Dalam UU
menentukan kepangkatan dosen PT Islam Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat
untuk jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar. (2) juga memang disebutkan untuk jenjang
Jalur yang harus ditempuh seorang dosen pendidikan dasar, yaitu MI, MTs, dan Pasal 18
PT Islam untuk mendapatkan jabatan guru ayat (3) jenjang pendidikan menengah bagi
besar pertama yang bersangkutan harus meng- pendidikan Islam adalah MA dan MAK. Hanya
ajukan pada institusinya, kemudian meng- saja khusus untuk pendidikan keagamaan, baik
ajukan ke Kemenag di Jakarta, setelah ke dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4) ataupun
Kementerian Pendidikan Nasional. Surat PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pen-
Keputusan pengangkatan guru besarpun didikan diniyah, dan pesantren. Ayat (2) dan
ditandatangani oleh Mendiknas, bukan oleh ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model
Menag. Jalur ini akan semakin panjang jika dosen pendidikan tersebut dapat diselenggarakan
tersebut adalah dosen PT Islam Swasta, yang pada jalur formal, nonformal dan informal.
harus pula melewati Kopertais dan Kopertis. Hal Lantas pertanyaannya adalah bagaimana
ini jelas suatu ironi, betapa penyelenggara posisi MI, MTs, MA/MAK dan PT Islam
pendidikan tidak dapat berbuat banyak untuk penyelenggara pendidikan keagamaan Islam?
menentukan langkah-langkah inovasi yang Apakah juga berposisi sama dengan diniyah
dibutuhkan dalam proses penyelengaraan dan pesantren? Sebab pada akhirnya pada pasal
institusi pendidikan. 16 UU Sisdiknas disebutkan bentuk
Selain itu seandainya terjadi penyimpang- kelembagaan dari proses pendidikan diniyah
an dalam penyelenggaraan pendidikan ke- juga menggunakan nama MI, MTs dan MA/
aagamaan, maka jika untuk pendidikan tinggi MAK untuk menyebut pendidikan diniyah
maka posisi menteri agama sebagaimana pasal dasar, dan pendidikan diniyah menengah.
7 ayat (1) hanya sebagai pemberi pertimbangan Tema menarik lain dalam PP 55 tahun 2007
dan bukan pengambil keputusan. Adapun ini adalah kemandirian dan kekhasan pendidik-
pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan an keagamaan sebagaimana tercantum dalam
dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/ pasal 12 ayat (2) yaitu: “Pemerintah melindungi
walikota, dan masukan pertimbangan diberikan kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan
oleh Kepala Kantor Kementerian Agama selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan
Kabupaten/Kota. Sekali lagi hal ini menunjuk- nasional”. Sejak dahulu kekhasan pendidikan
diniyah dan pesantren adalah hanya mengajar- Lantas apakah dengan penambahan pro-
kan materi agama Islam saja, dan tidak materi porsi kurikulum bidang umum lebih tinggi
lain. dibanding kurikulum bidang agama dapat serta
Namun dalam pasal 18 PP No. 55 tahun merta meningkatkan mutu pendidikan di
2007 disebutkan untuk pendidikan diniyah madrasah? Pada kenyataannya malah terjadi
formal pada ayat (1), kurikulum pendidikan dampak yang tidak selamanya positif. Sebut
diniyah dasar formal wajib memasukkan saja masalah jati diri madrasah.
muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Sejak mula hadir sebenarnya madrasah
Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan lebih berfokus pada pendidikan keagamaan dan
alam dalam rangka pelaksanaan program wajib keislaman. Dengan perubahan orientasi
belajar. Begitu juga untuk pendidikan diniyah tersebut justru madrasah saat ini kehilangan jati
menengah formal. Kurikulum pendidikan dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula
diniyah menengah formal wajib memasukkan untuk merebut peran dalam konteks pen-
muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa didikan nasional, jika dibandingkan dengan
Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, sekolah-sekolah umum di bawah pembinaan
serta seni dan budaya. Kementerian Pendidikan Nasional.
Jika memang ada keinginan pemerintah Pada masa-masa yang akan datang, dalam
untuk memberi pilihan kemandirian dan ke- hal pengembangan kurikulum, tampaknya
khasan pada “sekolah” di lingkup pendidikan madrasah masih akan terus dihadapkan pada
Islam, tentunya tidak akan ada lagi narasi dilema dikotomi keilmuan. Setia dengan tujuan
sebagaimana pada pasal 18 ayat (1). Di sinilah awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu
terjadi benturan yang perlu disikapi secara lebih keislaman, atau sesuai dengan tuntutan ke-
bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan butuhan pasar untuk melakukan perubahan
Islam tampaknya lebih kuat ke arah pendidikan kurikulum yang ukurannya adalah pragmatism
non-formal, dan bukan formal sebagaimana sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup
pada pasal-pasal di atas. Selain itu, materi yang peserta didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua
banyak diajarkan adalah berkisar tema-tema akan memiliki resiko yang tidak sama dalam
agama, dan tidak membicarakan mata pelajaran pengembangan materi pembelajaran, orientasi
sebagaimana yang dimaksud. serta proses pembelajarannya.
Jika yang dimaksud adalah MI, MTs, dan Sementara itu untuk pendidikan diniyah
MA/MAK sebagai wujud dari sekolah formal non-formal disebutkan dalam pasal 21 ayat (1)
pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat yaitu pendidikan diniyah nonformal di-
saat ini proporsi kurikulum bidang agama selenggarakan dalam bentuk pengajian kitab,
dengan kurikulum bidang kajian umum di Majelis Taklim, Pendidikan al-Qur’an, Diniyah
madrasah dapat dinyatakan telah meninggal- Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.
kan ciri madrasah sebagai pendidikan Adapun untuk proses penyelenggaraannya
keagamaan Islam. Proporsi 70% bidang umum tertuang dalam pasal yang sama ayat (5) yaitu,
dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat
untuk penyetaraan pendidikan di madrasah dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI,
dengan sekolah pada jenjang yang sama. SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau
pendidikan tinggi.
Jika untuk lembaga pendidikan keagamaan formulasi dan aturan main yang juga sama,
Islam yang diformalkan saja memiliki banyak meski dikeluarkan oleh dua instansi yang
hambatan, maka persoalan yang senada juga berbeda.
pasti dialami oleh pendidikan diniyah non- Pada sisi tersebut, tampak perlunya dilaku-
formal. Tentunya bentuk-bentuk pendidikan kan kerjasama sinergis antara Kemenag dan
diniyah non-formal di atas lebih dimaksudkan Kementerian Pendidikan Nasional untuk secara
sebagai upaya menyiasati ketidakmungkinan serius mengembangkan pendidikan Islam.
peserta didik mengikuti proses pendidikan Sebab, apapun adanya pendidikan Islam me-
secara formal. Hanya saja jika itu terjadi, maka rupakan bagian integral dari sistem pendidikan
persoalannya adalah bagaimana upaya ke- nasional. Artinya jika saat ini masih dipahami
setaraannya? Lembaga mana yang akan dijadi- posisi pendidikan Islam sebagai subsistem
kan sebagai model ideal bagi penyetaraan dalam konteks pendidikan nasional sebagai
pendidikan diniyah non-formal ini? sekadar berfungsi sebagai pelengkap
Sementara persoalan pendidikan ke- (suplemen), maka hendaklah terjadi pergeseran
setaraan di lingkup Kementerian Pendidikan “peran” dari sekadar suplemen menjadi bagian
Nasional sendiri belum seluruhnya tuntas, yang juga turut berperan dan menentukan
setidaknya untuk masalah home schooling yang (substansial).
hingga hari ini masih tarik ulur tentang Namun, jika masih tetap dalam posisi yang
penyelenggaraannya. Tentunya Kemenag juga sama, maka sudah selayaknya Kemenag
harus mulai mengantisipasi untuk membuat memberikan hak pengaturan pendidikan
desain model penyetaraan bagi pendidikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional,
diniyah non-formal ini. Sebab rasanya tidak sehingga untuk masa datang pengaturan
adil, tidak menghargai mereka yang telah masalah-masalah pendidikan berada pada satu
menempuh pendidikan selama kurun waktu unit Departemen saja, dan tidak seperti
tertentu, namun tidak memberi atribut sekarang ini banyak departemen mengelola
kelulusannya. pendidikan kedinasan dan non-kedinasan.