Anda di halaman 1dari 13

1

PERSPEKTIF TEORITIK
TENTANG MANUSIA SEBAGAI “MAKHLUK BUDAYA”
(Fondasi Pendidikan Multikultural)

Oleh :
Mohamad Arfan Hakim

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh
Tuhan, setidaknya manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun tentu
saja potensi yang dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai bekal
dalam menjalani hidupnya.
Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai
manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya,
supaya berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan. Mengingat begitu
besar dan berharganya potensi yang dimiliki manusia, maka manusia harus
dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini. Di lain pihak manusia juga
memiliki kemampuan dan diberikan akal pikiran yang berbeda dengan makhluk
yang lain. Sedangkan pendidikan itu adalah usaha yang disengaja dan terencana
untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan manusia.
Dalam pandangan sosiologi, pendidikan adalah sebuah warisan budaya
dari generasi kegenerasi, agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan identitas
masyarakat itu tetap terpelihara. Sedang budaya merupakan bagian hidup manusia
yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan hampir setiap kegiatan
manusia tidak terlepas dari unsur budaya.1
Manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya dan beretika tidak lain
adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk
menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu

1
Diary Dahlia, Landasan Budaya dalam Pendidikan, dalam
http://diarydahlia.blogspot.co.id/ 2011/09/landasan-budaya-dalam-pendidikan.html. diakses
tanggal 01 April 2018. 1
2

hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu
berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak
menyandang gelar manusia berbudaya.
Manusia mempunyai hasrat yang sangat tinggi apabila dibandingkan
dengan makhluk hidup yang lain. Hasrat untuk selalu menambah hasil usahanya
guna mempermudah lagi perjuangan hidupnya menimbulkan perekonomian dalam
lingkungan kerja sama yang teratur. Hasrat disertai rasa keindahan menimbulkan
kesenian. Hasrat akan mengatur kedudukannya dalam alam sekitarnya, dalam
menghadapai tenaga-tenaga alam yang beraneka ragam bentuknya dan gaib,
menimbulkan kepercayaan dan keagamaan. Hasrat manusia yang selalu ingin tahu
tentang segala sesuatu disekitarnya menimbulkan ilmu pengetahuan.
Memasuki abad ke-21 dan menyongsong milenium ketiga tentu akan
terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari era
globalisasi. Dan pada kenyataannya masyarakat mengalami perubahan budaya
yang begitu cepat, maju dan memperlihatkan gejala desintegratif yang meliputi
berbagai sendi kehidupan dan menjadi masalah, salah satunya dirasakan oleh
dunia pendidikan. Budaya berpengaruh besar dalam dunia pendidikan akibat dari
pergeseran paradigma pendidikan yaitu mengubah cara hidup, berkomunikasi,
berpikir, dan cara bagaimana mencapai kesejahteraan. Dengan mengetahui begitu
pesatnya arus perkembangan dunia diharapkan dunia pendidikan dapat merespon
hal-hal tersebut secara baik dan bijak.2
B. Permasalalah

Bertolak dari gambaran yang dikemukakan terdahulu, dapat disarikan

bahwa tema utama dalam makalah ini adalah “Pandangan Teoritik tentang

Manusia sebagai Makhluk Budaya yang menjadi landasan Pendidikan

Multikultural”. Dari tema pokok ini selanjutnya dirumuskan beberapa

permasalahan, yaitu :

2
Ibid., 2
3

1. Bagaimana hakekat manusia?

2. Bagaimana hakekat budaya?

3. Apa hakekat pendidikan?

4. Mengapa manusia sebagai makhluk budaya dijadikan sebagai landasan

pendidikan multikultural?

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai eksistensi

manusia sebagai makhluk berbudaya, dan mengungkap tentang eksistensi budaya

dalam upaya pengembangan pendidikan multikultural.

II. PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia sebagai Mahluk Berbudaya


Manusia adalah salah satu makhluk Tuhan di dunia. Makhluk Tuhan
dialam fana ini ada empat macam, yaitu alam, tumbuhan, binatang, dan manusia.
Sifat–sifat yang dimiliki keempat makhluk Tuhan tersebut sebagai berikut:
1. Alam memiliki sifat wujud.
2. Tumbuhan memiliki sifat hidup dan wujud.
3. Binatang memiliki sifat wujud, hidup dan dibekali nafsu.
4. Manusia memiliki sifat  wujud, hidup dibekali nafsu serta akal budi.3
Akal budi merupakan pemberian sekaligus potensi dalam diri manusia
yang tidak dimiliki makhluk lain. Kelebihan manusia dibandingkan makhluk lain
terletak pada akal budi. Anugerah Tuhan akan akal budilah yang membedakan
manusia dari makhluk lain. Akal adalah kemampuan berpikir manusia sebagai
kodrat alami yang dimiliki. Berpikir merupakan perbuatan operasional dari akal
yang mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup
manusia. Jadi, fungsi dari akal adalah berpikir. Karena manusia yang dianugerahi
3
Ina Rosita, Manusia sebagai Makhluk Budaya, dalam
http://inarosita07.blogspot.co.id/2015/ 03/manusia-manusia-sebagai-makhluk-budaya, diakses
tanggal 01 April 2018, h.1
4

akal maka manusia dapat berpikir. kemampuan berpikir manusia juga digunakan
untuk memecahkan maslaah–masalah hidup yang dihadapi.
Dengan akal budinya, manusia mampu menciptakan, mengkreasi,
memperlakukan, memperbarui, memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan
sesuatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia. Contohnya manusia bisa
membangun rumah, membuat aneka masakan, menciptakan beragam jenis      
pakaian, membuat alat transportasi, sarana komunikasi dan lain–lain. Binatang
pun bisa membuat rumah dan mencari makan. Akan tetapi, rumah dan makanan
suatu jenis makanan tidak pernah berubah dan berkembang. Rumah burung
(sarang) dari dulu sampai sekarang tetap saja wujudnya, tidak ada pembaharuan
dan peningkatan. Manusia dengan kemampuan akal budinya bisa memperbaharui
dan mengembangkan sesuatu untuk kepentingan hidup.
Kebutuhan manusia dalam hidup dibagi menjadi lima tingkatan. Kelima
tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan psikologis (physiological needs). Kebutuhan ini merupakan
kebutuhan dasar, primer dan vita. Kebutuhan ini menyangkut fungsi–fungsi
biologis dasar dari organisme manusia, seperti kebutuhan akan makanan,
pakaian tempat tinggal, sembuh dari sakit, kebutuhan seks dan sebagainya.
2. Kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (safety and security needs).
Kebutuhan ini menyangkut perasaan, seperti bebas dari rasa takut, terlindung
dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan
tidak adil dan sebagaimya.
3. Kebutuhan sosial (sosial needs). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan
dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok,
rasa  setia   kawan,  kerja  sama,  persahabatan,  interaki, dan  seterusnya.
4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs). Kebutuhan ini meliputi   
kebutuhan dihargainya kemampuan, kedudukan jabatan, status, pangkat, dan
sebagainya.
5

5.  Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization). Kebutuhan ini meliputi


kebutuhan untuk memaksimalkan penggunaan potensi–potensi, kemampuan,
bakat, kreativitas, ekspresi diri, prestasi dan sebagainya.4
Dengan akal budi manusia mampu menciptakan kebudayaan. Kebudayaan
pada dasarnya adalah hasil akal budi manusia dalam interaksinya, baik dengan
alam maupun manusia lainnya. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya.
Manusia adalah pencipta kebudayaan.

B.  Hakekat Budaya
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma,
dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai,
moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan
sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan
keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem
sosial, sistem ekonomi, system kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni,
dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem
berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi
dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan
manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem
sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni.
Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta
didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang
diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut kearah yang
sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Pengembangan budaya bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses
pendidikan yang  tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya
masyarakat, dan budaya bangsa.

4
Ibid., h.2
6

Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi kebudayaan


dalam pendidikan bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata
lain, mendidik dalam budaya bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila
pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha
masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa
depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan atau karakter
yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah
proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses
pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
Landasan  budaya dalam proses pendidikan pada peserta didik secara aktif
bertujuan untuk mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi,
dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di
masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta
mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan landasan budaya dalam
pendidikan sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa
mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik,
pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif.
Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah
usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh
semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
C. Hakekat Pendidikan
Pengertian pendidikan banyak sekali ragam dan berbeda satu dengan
lainnya. Hal ini tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menurut
7

Driyakarya, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Crow and


Corw berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam
kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya, membantu
meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.
Sedangkan Ki Hajar Dewantara juga berpendapat bahwa pendidikan berarti daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intelek) dan jasmani anak.
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 bab 1 ayat 1 dinyatakan bahwa
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat”. Pendidikan adalah asas, dasar atau fondasi yang
memperkuat dan memperkokoh dunia pendidikan dalam rangka untuk
menciptakan pendidikan yang berkualitas dan bermutu.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan di atas, pada
dasarnya pendidikan merupakan suatu proses mendidik, yakni proses dalam
rangka mempengaruhi peserta didik agar mampu menyesuaikan diri sebaik
mungkin dalam lingkungannya sehingga akan menimbulkan perubahan dalam
dirinya, yang dilakuakan dalam bentuk pembimbingan, pengajaran, dan atau
pelatihan.
D. Budaya sebagai Landasan Pendidikan
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari
lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena
peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai
dengan kaidah-kaidah budayanya.
Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan
peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka
tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing”
8

dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih


mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang,
dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa)
berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan
budaya universal yang dianut oleh tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan
dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi
demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung
untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing).
Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya
nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan
(valueing).
Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula
kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik.
Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat
makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta
didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara
berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma
dan nilai ciri ke-Indonesiaannya.
Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam
UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD
1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk
mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat
dan bangsa.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-
nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu
merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-
9

bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk


mengembangkan nilai-nilai  budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai
budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan
datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter dan budaya
baru bangsa. Oleh karena itu, landasan budaya dalam pendidikan bangsa
merupakan inti dari suatu proses pendidikan.
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari budaya itu
menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata
pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi,
ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama,
pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam
mengembangkan pendidikan bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya
adalah bagian yang teramat penting.
Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah
yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di
masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu,
pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai
berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai
yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang
berkembang (sosiologi), system ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik
(ketatanegaraan/ politik/kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara
berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu
ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai nilai budaya yang
menjadi dasar bagi pendidikan bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang
demikian, nilai budaya yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat
kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan
bahkan umat manusia.
E. Budaya sebagai Landasan Pendidikan Multikultural
10

Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme,


radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di tanah air.
Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai
indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan
transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api
dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam.
Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa, tetapi juga
telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik masjid maupun gereja).

Bila diamati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat


manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan
bagi seluruh ummat di bumi ini. Namun, realitanya agama justru menjadi salah
satu penyebab terjadinya kekerasanan dan kehancuran ummat manusia.  Oleh
karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama
tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Misalnya, dengan
mengintensifkan forum-forum dialog antar ummat beragama dan aliran
kepercayaan (dialog antar iman), membangun pemahaman keagamaan yang lebih
pluralis dan inklusif, dan memberikan pendidikan tentang pluralisme dan toleransi
beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan).

Pada sisi yang lain, pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah


pada umumnya juga tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik,
bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya konflik sosial sering kali diperkeras
oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di
sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik mempunyai
akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial
kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan
agamanya. 

Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah


umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusive, yaitu agama diajarkan
11

dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya
sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah,
tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun
minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus
mengembangkan teologi inklusif dan pluralis. Berkaitan dengan hal ini, maka
penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk
mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik seperti yang ada dalam pendidikan
multikultural.

III. PENUTUP

Sebagai bagian akhir dari kajian tentang Manusia Sebagai Mahluk


Budaya : Landasan Pendidikan Multikultural dapat dikemukakan kesimpulan:

1. Manusia sebagai salah satu mahluk ciptaan Tuhan, memiliki potensi untuk
dapat mengembangkan diri yang terwujud dalam bentuk budaya yang sangat
terkait erat dang lingkungan manusia itu sendiri sejalan dengan
perkembangan zaman.
2. Secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya
sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).
Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau
proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural
menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap
harkat dan martabat manusia. 
3. Pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan
pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak
hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan
multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan,
12

penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam


berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.
Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang
'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum
pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

Daftar Pustaka
Abd. Rahman, Assegaf,  Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan
Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi, Yogyakarta:
Kurnia Kalam, 2005.
Achmad, Nur (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: PT.
Gramedia, 2001.
Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Asy’arie, Musa, “Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa”, Kompas, 3
September 2004, 4-5. Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di
Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005.
Dawam, Ainurrofiq “Emoh” Sekolah Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan
“Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural, Yogyakarta:
INSPEAL Press, 2003.
Domnwachukwu, Chinaka Samuel, An Introduction To Multikultural Education :
From Theory To Practice. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield
Publishers, Inc. 2010.
Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho,
Jakarta: Gramedia, 1984.
Gorski, Paul, Multicultural Philosophy Series, Part 1: A Brief History of
Multicultural Education, The McGraw-Hill Companies, 2003.
H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002.
Machalli dan Musthofa, Imam, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.
Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan
dan Kemungkinan”, Republika, 10 Agustus 1999, 4-5.
Muhaemin Al-Ma’hady, “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”
dalam http://artikel.us/muhaemin 6-04.html, 27 Mei 2004.
13

Sadir, Darwis, “Piagam Madinah”, Al-Qanun Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan


Hukum Islam, Vo. 5, No. 1, Juni 2003, 250-257.

Anda mungkin juga menyukai