Anda di halaman 1dari 14

ISLAMIC EDUCATION POSITION

IN VORTEX FLAW OF CONTEMPORARY EDUCATIONAL PHILOSOPHY


Oleh: Dr. H. Lukman S. Thahir, MA

Pendahuluan

Tulisan ini sejatinya dibuat hanya sebagai pengantar umum dalam mengawali
pengajaran mata kuliah filsafat pendidikan bagi mahasiswa program doktor di Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam Negeri, IAIN Palu. Namun, karena penjelajahan data dan perburuan
ide-ide filsafat ini sangat kompleks, dialogis, menantang, dan bahkan meniscayakan adanya
shifting paradigm keilmuan, maka ikhtiar ini mewujud menjadi sebuah tulisan dan sebisa
mungkin dapat menjadi jalan alternatif memasuki “labirin” dunia filsafat, yang oleh D. J.
O’Connor1 dalam An Introduction to the Philosophy of Education, dikatakan seringkali
membuat mahasiswa terkejut ketika memulai studi filsafat dan menemukan bahwa waktu
mereka habis hanya berkenalan dengan pandangan-pandangan para filosof masa lampau
yang hidup kurang lebih 2000 tahun yang lalu.2
Apa yang ingin dipresentasikan disini, substansinya, meminjam pola pemikiran
Robin Barrow dan Ronald Wood,3 bukan berusaha mereview berbagai literatur dalam bidang
filsafat, dan memilih topik untuk dianalisis, tetapi membantu mahasiswa untuk menjadi lebih
terampil pada perdebatan yang bersifat filosofis, memiliki kemampuan untuk berpikir secara
filosofis, dan mendiskusikan isu-isu filosofis terhadap hal-hal yang belum mereka miliki
sebelumnya dan yang belum mereka baca dari berbagai pemikiran filsafat lainnya. Demikian
misalnya, dikatakan Barraow dan Wood:
“to become more skilfull at philosophical debate, able to think about and discuss in
a philosophic manner issues which they have not met before and on which they have
not read what other philosophers have to say”.

Mengapa harus diawali dengan pengantar umum?, ada tiga dasar pemikirannya:
Pertama, materi filsafat bukanlah materi ringan yang dapat dibaca dan kemudian langsung

1
D. J. O’Connor, An Introduction to the Philosophy of Education, (New York: Routledge & Kegan Paul,
New York: 2017), h. 11
2
Keterkejutan ini terjadi, kata Connor, disebabkan karena theorema atau hipotesa matematika Pytagoras
dan geometri Euclidean digunakan hanya untuk kepentingan insidental, bukan karena bahwa dalil Pytagoras dan
Euclidean telah terbukti kebenarannya dan telah banyak digunakan di dunia saat ini. Ibid.
3
Robin Barrow dan Ronald Wood, An Introduction to Philosophy of Education, (New York: Routledge,
2006), h. 22
dipahami. Filsafat tidak seperti itu. Ia membutuhkan energi ekstra berpikir, perlu pemahaman
yang dalam, menganalisnya melampaui berbagai aliran pemikiran yang ada, dan terakhir --
ini yang sangat penting-- adalah membuat petanya. Pemetaan ini dimaksudkann agar
memudahkan kita melakukan klasifikasi dan kategorisasi pemikiran, yang oleh LeoNora
dalam “Philosophical Perspective in Education”, dikatakan “help teachers to reflect on key
issues and concept in education”.4. Kedua, materi filsafat, khususnya filsafat pendidikan,
dalam konteks jenjang program doktor, tidak hanya mengkaji beberapa konsep-konsep kunci
filsafat yang mempengaruhi pemikiran pendidikan dan perkembangannya di dunia, tetapi
juga mendiskusikan atau mengkonesikkannya dengan beberapa teori utama pendidikan
beserta implikasinya terhadap curriulum, teaching and learning. Disini, analisis dan sintesis
menjadi sangat signifikan, terutama bagaimana mahasiswa mampu merajut pandangan dunia
filsafat dan teori-teori pendidikan dalam konteks pengembangan pendidikan Islam ke depan.
Ketiga, mendorong sikap kritis mahasiswa untuk menempatkan fiilsafat tidak semata-mata
sebagai a body of knowledge atau sebagai bangunan ilmu pengetahuan an sich, tetapi suatu
activity ciriticism, tool of analysis, sedemikian rupa sehinggga perkembangan pendidikan
Islam diharapkan tidak berada di luar ruang hampa sejarah (vacuum historis), menjadi
menara gading, atau bahkan bisa menjadi meaningless untuk tidak menyatakan out of dated.
Untuk pemaknaan seperti ini, D. J. O’Connor,5 lagi-lagi berpendapat bahwa: “ Philosophy is
not in the ordinary sense of the phrase a body of knowledge but rather an activity of criticism
or clarification”.
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, dengan merujuk pada perdebatan filosofis dan
teoritis dari para filosof pendidikan di dunia, khususnya, dan para pemikir dan filosof
pendidikan Islam, khususnya, diharapkan mahasiswa dapat memotret posisi pendidikan
Islam dalam konteks wacana filsafat pendidikan saat ini. Salah satu isu penting yang banyak
diperdebatkan di kalangan intelektual Islam adalah “how to resolve the issue of dualisme or
bifucration in muslim education system nowadays”?. Isu ini secara serius diperdebatkan
dalam Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam, tahun 1977 di Makkah6.

4
LeoNora M. Cohen & Judy Gelbrich, “Philosophical Perspectives in Education”, dalam History and
Philosophy of Education, (Osu-School of Education, Oregon State University, 1999), h. 75
5
D. J. O’Connor, An Introduction, h. 12
6
Setelah di Makkah tahun 1977, Konferensi Dunia Kedua tentang Pendidikan Islam dilakukan di
Islamabad, 1980, ketiga di Dakka, Bangladesh, 1981, keempat di Jakarta, 1982, ke lima di Kairo, 1987, ke enam
di Makkah, 1993, dan ke tujuh di Afrika Selatan, 1996. Lihat Che Noraini Hashim dan Hasan Langgulung,”
Islamic Religious Curriculum in Muslim Countries: The Experiences of Indonesia and Malaysia”, dalam Bulletin
of Education & Research, June 2008, Vol. 30, No. 1, h. 7”
Konferensi ini menghasilkan diagnosis bahwa dampak kolonialisme di beberapa negeri-
negeri muslim telah mengakibatkan “malaise of Muslim Ummah”, rasa tidak percaya diri
umat melalui proses sekularisasi secara intelektual, mental dan emosional terhadap anak-
anak Muslim. Ismail Raji Al-Faruqi menegaskan bahwa “the core of the malaise of the
Ummah” dapat dipastikan adalah karena menurunnya kemampuan intelektual dan
metodologis umat Islam. Sistem pendidikan, lebih lanjut kata Al-Faruqi, menjadi “the
breeding ground of the disease”, lahan persemaian penyakit. Situasi pendidikan saat ini di
dunia Islam sangat buruk. Hal ini disebabkan Kurikulum yang bersifat dualistik, ada
kurikulum Islam dan ada kurikulum modern. Dualisme kurikulum seperti ini telah membawa
masalah yang tak terpecahkan, yaitu rendahnya standar pendidikan di dunia Islam.7
Isu lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya kesan yang sangat kuat bahwa
pendidikan Islam, baik aspek kurikulumnya, pengajarnya, dan lingkungan sekolahnya seakan
tampak pasif-konsumtif, seperti kehilangan daya kreasi sama sekali, sehingga mereka tidak
mampu mengambil peran aktif dalam pengembangan keilmuan Islam. Kondisi demikian
terjadi, disamping karena kehidupan umat Islam meminjam analisis Shahed Ali “to become
carbon copy of the west,” dan konsekuensinya membuat mereka kehilangan identitas dirinya,8
juga karena tidak masuknya kata J.M. Healstead, 9 independensi pemikiran dan autonomi diri
dalam pendidikan Islam.
Menyikapi fenomena demikian, seperti halnya yang pernah terjadi di masa “golden
age Islam”, dimana pemikiran Islam berinteraksi dan bersentuhan langsung dengan
kebudayaan Barat (Yunani), dan puncaknya, Islam menjadi pusat peradaban dunia, maka
saya kira sangat wajar kalau kemudian problem-problem pendidikan Islam saat ini
diperhadapkan dengan basis dukungan filosofis Barat, yang meliputi antara lain,
“Philosophical Foundation of Education dan Philosophical Root of Educational Theory: Its
implication for Curriculum, Theaching and Learning. Dengan memperkenalkan wacana
seperti ini, mahasiswa tidak hanya diharapkan dapat memotret dimana posisi Pendidikan
Islam dalam arus pusaran filsafat pendidikan kontemporer, tetapi juga mendiskusikannya
dengan pemikiran para filosof Islam, untuk maksud merekonstruksi model pendidikan Islam
untuk saat ini. Tulisan ini akan memfokuskan pemaparannya, pada tiga masalah tersebut.

7
Untuk jelasnya, lihat Sholehah Bt. Hj. Yaacob, Madame Rahimah Bt. Embong, “The Concept of An
Integrated Islamic Curriculum and its Implications for Contemporary Islamic Schools”, Papers, in the
International Confrence in Islamic Republic of Iran, 20-22 Feb 2008, h. 4
8
Sholehah Bt. Hj. Yaacob, Madame Rahimah Bt. Embong, “The Concept of, Ibid., h. 5
9
J.M. Healstead, “An Islamic Concept of Education”, dalam, Journal of Comparative Education, Vol.
40. No. 4 Nopember 2004, h. 519
Philosophical Foundation of Education:
Relationship Between Philosophy and Education

Manusia selalu ingin tahu apa saja tentang sesuatu: darimana asalnya? Apa tujuan
hidupnya?, bagaimana hubungannya dengan Tuhan?, taqdirnya seperti apa?, dan sebagainya.
Usaha manusia yang tidak pernah berakhir untuk memahami realitas ini dapat disebut dengan
filsafat. Filsafat adalah suatu usaha untuk membuka misteri hidup dan menemukan
maknanya. Itulah sebabnya filsafat disebut “the mother of all arts and the science of all
science”.10
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata:
philos, yang berarti “cinta”, dan sophy, yang berarti “bijaksana”. Dengan demikian, filsafat
secara literal berarti “cinta pada kebijaksanaan”.11 “To love something is to desire it”,
mencintai sesuatu berarti memiliki keinginan sungguh-sungguh (membara atau luar biasa)
terhadap sesuatu itu. Karenanya, bagi kebanyakan orang Yunani, para filosof itu merupakan
orang yang memiliki keinginan luar biasa, hasrat membara untuk menjadi bijaksana.
Kebijaksanaan bukan hanya memiliki pengetahuan. Ada orang yang bisa saja memiliki
pengetahuan, tetapi tidak bijaksana. Kebijaksanaan terdiri dari pengetahuan plus
implikasinya dalam seluruh lingkungan hidupnya. Karena itu, filsafat menjadikan seseorang
menjadi bijaksana dengan menolong orang lain untuk memahami alam semesta dan
implikasinya terhadap diri mereka dan orang disekitarnya. Itulah sebabnya, para filosof juga
dicirikan sebagai “the friend of wisdom”.12
Secara terminologi, filsafat “is a system of beliefs about reality”, pandangan dunia
yang terintegrasi, termasuk suatu pemahaman tentang hakekat yang ada, manusia, dan
peranannya di dunia. Filsafat “is the foundation of knowledge”. Jelasnya, “Philosophy is a
critical examination of reality characterized by rational inquiry that aims at the Truth for the
sake of attaining wisdom” 13
Sebagai suatu sistem kepercayaan tentang realitas, filsafat secara terminologi,
merujuk kepada keyakinan, konsep dan sikap yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok.

10
Lihat Ravinder Pal Kaur, “Philosophy and Education”, dalam Philosopical Foundation of Education,
11
Charlene Tan, “Philosopical Perspectives on Education”, dalam In Tan, C., Wong, B., Chua,
J.S.M. & Kang, T. (Eds.), Critical Perspectives on Education: An Introduction, (Singapore: Prentice Hall,
2006), h. 21
12
Lihat Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of Education, (Directorate of Distance &
Continuing Education UTKAL University, Vani Vihar, 2015), h. 3
13
Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of, Ibid.
Sederhananya, “jika anda memiliki pandangan hidup yang terdiri dari seperangkat keyakinan,
konsep, dan sikap umum tentang kehidupan, maka anda memungkinkan memiliki sebuah
filsafat tentang pendidikan dimana anda memiliki seperangkat keyakinan, konsep, dan sikap
umum mengenai pendidikan”. Dari pengertian seperti ini, secara ringkas dapat dikatakan
bahwa filsafat itu adalah kehidupan dan kehidupan itu adalah filsafat, “philosophy is life ,
and life is philosophy”.
Arti filsafat seperti ini, diilhami dari pandangan Rupert C. Lodge, dalam bukunya
Philosophy of Education, ketika mengartikan kata pendidikan. Menurutnya, kata pendidikan,
terkadang digunakan dalam pengertian luas, terkadang juga dipakai dalam pengertian sempit.
Dalam pengertian luas, seluruh pengalaman dapat disebut pendidikan... Karena itu, life is
education, and education is life.14 Sedang dalam pengertian sempit, pendidikan mempunyai
fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup kepada generasi
yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan pendidikan formal di sekolah
dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol. Demikian untuk
jelasnya Lodge berpendapat:15
“In the narrower sense, education is restricted to that functions of the community
which consists in passing on its tradition, its backround and its outlook to the
member of the rising generation...in the narrower sense, education becomes, in
practice identical with “schooling”, i.e. formal instruction under controlled
conditions”

Adapun istilah filsafat pendidikan merupakan cabang dari filsafat yang arah
pertanyaan filosofisnya berhubungan dengan hakekat, tujuan dan persoalan-persoalan
pendidikan. Sebagai suatu cabang dari filsafat yang bersifat praktis, filsafat pendidikan, di
satu sisi dilihat sebagai cabang yang lebih dekat dari disiplin filsafat, dan di sisi lain
berhubungan dengan cabang ilmu psikologi perkembangan, ilmu pengetahuan kognitif,
sosiologi dan disiplin lainnya yang relevan.16 Karena itu, ungkapan “Philosophy of
Education” mengindikasikan makna, tidak hanya bagian dari filsafat, tetapi juga bagian dari
pendidikan, bahkan dekat juga dengan psikologi dan sosiologi. Ia bisa dikatakan merupakan
cabang dari axiologi, karena mempelajari tentang nilai pendidikan. Ia juga dianggap sebagai
cabang dari pendidikan karena mempelajari tujuan, proses, hakekat dan gagasan-gagasan
pendidikan. William K. Frankena, filosof analitik pendidikan menganggap filsafat pendidikan

14
Ruper C. Lodge, Philosophy of Education, (Harer and Brothers, New York, 1974), h. 23
15
Ruper C. Lodge, Philosophy of, Ibid.
16
Lihat Harvey Siegel, “Introduction: Philosophy Education and Philosophy”, dalam The Oxford
Handbook of Philosophy of Education, (Oxford University Press, 2015)
sebagai bagian dari axiologi karena filsafat pendidikan mempertanyakan tujuan, metode dan
semua elemen pendidikan yang berhubungan dengan moral dan kondisi sosial.17 Jadi,
jelasnya, Filsafat pendidikan merupakan filsafat yang diaplikasikan pada pendidikan sebagai
suatu area spesifik dari usaha kerja keras manusia. “Philosophy of education is the study of
key philosophical ideas that have influenced educational thought and developments in
the world.”18
Studi tentang gagasan-gagasan kunci filsafat yang mempengaruhi pemikiran dan
perkembangan pendidikan inilah yang dimaksud dengan “Philosopichal Fuondation of
Education”. Gagasan kunci tentang fondasi filosofis ini, dalam studi filsafat dikenal dengan
istilah “Branches of Philosophy”. Cabang utamanya terdiri dari Metafisika, Epistemologi, dan
Axiologi. Ketiga cabang utama ini secara ringkas akan di jelaskan di bawah ini dengan melihat
relasi dan implikasinya dengan pendidikan:
a. Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membahas pertanyaan tentang realitas.
Perhatian utama yang menjadi pertanyaan filosofisnya adalah: Apa itu realitas?, Apakah
manusia pada dasarnya baik dan jahat?, Apa hakekat dunia dimana kita hidup?, apa hakekat
berada dan hakekat realitas? (cabang metafisika yang membahas ini disebut ontologi), Apa
atau siapa Tuhan?, apa hubungan antara Tuhan, manusia dan alam? (Cabang metafisika yang
membahas ini disebut teologi).
Pertanyaan-pertanyaan di atas, misalnya, “what is real”? nampaknya terlalu sederhana
untuk sebuah pertanyaan. Tetapi, dengan mempertimbangkan contoh yang diberikan George
Knight tentang eksistensi dari sebuah lantai, maka kita akan melihat bahwa pertanyaan itu
memiliki implikasi yang sangat jauh: Apa sebenarnya hakekat dari lantai dimana anda berdiri?.
Untuk menjawab eksistensinya nampaknya sangat mudah, yaitu datar, padat, dan halus. Lantai
itu memiliki warna khusus, komposisi material yang dapat diidentifikasi, seperti kayu dan
beton. Namun, ketika seorang ahli fisika masuk ke ruangan dan ditanyakan mengenai realitas
lantai, maka dia akan menjawab bahwa lantai itu terbuat dari molekul; dan molekul terdiri dari
atom, elektron, proton; dan ini pada akhirnya, menjadi energi listrik. Inillah bukti bahwa
pertanyaan tentang realitas tidaklah sesederhana yang terlihat. Jika realitas dari sebuah lantai

17
Lihat Nath, Ritumani, “A Philosophy of Education”, dalam Philosophy of Education Sri Aurobindo
and Bertrand Russell a Critical Study, (India: Gauhaty University, 2010), h. 1
18
Charlene Tan, “Philosopical Perspectives, h. 21
yang biasa saja membingungkan, maka bagaimana dengan masalah-masalah besar diri kita saat
ini seperti manusia meneliti realitas terakhir di alam ini?.19
Berbabagai pertanyaan metafisik seperti di atas sangat mendasar untuk ditanyakan,
karena menyediakan fondasi atas semua dasar penelitian kemudian. Pertanyaan-pertanyaan ini
dibagi ke dalam empat sub bagian: Pertama, aspek kosmologis. Kosmologi terkait dengan studi
teoritis tentang asal-usul, hakekat, dan perkembangan alam sebagai sebuah sistem yang teratur.
Contoh pertanyaan kosmologi, seperti: bagaimana asal usul alam dan perkembangannya?
Apakah terjadi dengan kebetulan atau by design? Apakah keberadaannya memiliki tujuan?
Kedua, aspek teologis. Teologi merupakan bagian dari teori agama yang berurusan dengan
Tuhan. Apakah ada Tuhan?, jika Ada, apakah satu atau banyak . Apa Tuhan memiliki sifat?.
Jika Tuhan baik dan “powerfull”, mengapa ada kejahatan?. Jika Tuhan ada, bagaimana
hubungan-Nya dengan manusia dan “dunia real” manusia setiap hari?. Ketiga, aspek
antropologis. Antropologi berurusan dengan studi tentang keberadaan manusia dan
menanyakan pertanyaan seperti: Bagaimana hubungan antara jiwa dan raga? Apakah jiwa
lebih fundamental dari raga? Apakah raga bergantung pada jiwa atau “vice versa”?. Apakah
manusia terlahir dengan baik, buruk, atau secara moral bersifat netral. Apakah mereka memiliki
kehendak bebas, atau pikiran dan tindakan mereka dipengaruhi oleh lingkungannya, warisan
atau ditentukan Tuhan?. Penerimaan yang berbeda dari seseorang atas berbagai pertanyaan ini
akan mempengaruhi praktek dan gagasan mereka tentang pendidikan, agama, sosial dan
politik. Keempat, aspek ontologis. Ontologi adalah studi tentang hakekat sesuatu yang ada.
Pertanyaan ontologis, misalnya: Apakah realitas yang sebenarnya ditemukan pada materi atau
energi fisik atau energi jiwa atau spiritual?. Apakah tersusun dari satu unsur (materi atau jiwa,
monisme), 2 unsur (materi dan jiwa, dualisme), atau banyak unsur (pluralisme)?. Apakah
realitas itu tertata dengan sendirinya atau semata-mata ditata oleh pikiran manusia?20 .
Demikian salah satu konsep funamental filsafat dari cabang metafisika yang pertanyaan
utamanya berurusan dengan masalah realitas. Masalah ini jika dihubungkan dengan
pendidikan memiliki implikasi yang sangat kuat dengan pembelajaran, teutama
pengembangan program pendidikan di sekolah. Metafisika atau “the issue of ultimate reality”
adalah pusat dari setiap konsep pendidikan. Dengan kepercayaan metafisika yang berbeda,
akan mengarahkan berbedanya pendekatan pendidikan. Mengapa para Kiai di pesantren atau
yayasan-yayasan pendidikan swasta menghabiskan ratusan juta rupiah untuk mengelola

19
Lihat Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of, h. 8-9
20
Lihat Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of, h. 9
sekolah mereka, padahal pemerintah sudah membebaskan pendidikan di sekolah umum?. Ini
karena kepercayaan metafisik para Kiai menganggap bahwa hakekat dari realitas terakhir
adalah Tuhan, dan Tuhan-lah yang menjadikan manusia, sehingga manusia pada hakekatnya
adalah “khaliatullah fil ardh”. Pada tingkatan yang lebih tinggi, misalnya, para pahlawan
bangsa, baik lelaki maupun wanita, mereka berjuang dimotivasi oleh kepercayaan metafisika
mereka, dan bahwa semangat perjuangan mereka itu pada akhirnya menciptakan lingkunagn
pendidikan dimana kepercayaan yang sangat mendasar ini akan diajarkan pada anak-anak
mereka di sekolah atau madrasah.

b. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang concern dengan hakekat dan bidang
pengetahuan.21 Secara etimologi, kata ini berasal dari kata Yunani, episteme yang berarti
pengetahuan, dan logos, berarti jalan berpikir atau teori. Jadi epistemologi adalah cabang
filsafat yang concern dengan teori pengetahuan.22 Adapun secara terminologi, istilah
empistemologi menjelaskan bahwa cabang ini membahas mengenai sumber, struktur, metode-
metode dan validitas pengetahuan.23 Christopher Winch dan John Gingell, dalam Key Concepts
in Pholosopy of Education menyebut epistemologi dengan istilah “The heart of the
philosophical interprise”, jantung dari usaha berfilsafat.24
Bidang ini menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar seperti “Apa itu pengetahuan”, “
apa itu kebenaran?”, “darimana asal pengetahuan”?, “bagaimana sampai kita mengetahui”?
“bagaimana kita belajar”, dsb. Semua bentuk pertanyaan filosofis ini akan menghasilkan
jawaban, tergantung pada orientasi filosofis dari para filosof. Karena itu, untuk tujuan
relevansinya dengan pendidikan, kita akan mendiskusikan empat bentuk sumber pengetahuan,
di antaranya:
Pertama, Pengetahuan bersumber dari Rasio
Pengetahuan yang bersumber dari akal adalah bentuk pengetahuan yang diperoleh
melalui penerapan akal atau intelegensia tanpa referensi fakta-fakta yang dapat diobservasi. Ini
adalah suatu bentuk pengetahuan yang dengan kuat berakar pada analisis logika. Sebagai suatu
produk dari pemikiran reflektif, pengetahuann rasional di dasarkan pada tiga hukum atau

21
Lihat Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of, h. 15
22
Lihat Noah Porter, (Ed.), “Epistemology”, dalam Webster’s Revised Unabridged Dictionary, (G & C.
Merriam, 2013, h. 501
23
Dagobert D. Runes, (Ed.), “Epistemology, dalam The Dictionary of Philosophy. (Philosophical
Library. Inc. New York), h. 107
24
Christopher Winch dan John Gingell, “Epistemology”, dalam Key Concepts in Pholosopy 0f Education,
(Routledge: London and New York, 1999), h. 77
prinsip rasionalitas dari Aristoteles yang berlaku secara universasl, tidak terbantahkan dan
benar adanya. Tanpa ketiga hukum ini, sulit –untuk tidak menyatakan tidak mungkin—untuk
membayangkan bagaimana segala sesuatu dapat dipahami. Ketiga hukum berpikir ini adalah :
(i) Prinsip Identitas, (ii) Prinsip Non-Kontradiktif, (iii) Prinsip Tidak ada Jalan Tengah.25
Prinsip identitas menyatakan bahwa kalau satu pernyataan benar , maka pernyataan itu
benar; atau setiap proposisi berimplikasi/bermakna dirinya sendiri, contohnya: A berimplikasi
A, salah jika ada makna lain. Contoh lain: Lukman S. Thahir adalah dosen IAIN Palu
berimplikasi makna kepada Lukman S. Thahir itu sendiri sebagai dosen IAIN Palu. Tidak ada
implikasi makna lain. Kalau ada, berarti pernyataan itu salah. Mungkin kelihatannya hal ini
sepele, tetapi seperti dicatat Gordon Klark, alangkah anehnya dunia ini jika hukum ini tidak
berlaku, karena dunia ini akan menjadi dunia yang tidak memiliki konsep identitas atau
kesamaan.
Adapun Hukum Non Kontradiksi atau biasa juga disebut Hukum Kontradiksi
menyatakan bahwa tidak ada pernyataan yang sekaligus benar dan salah; atau A dan bukan A
(sekaligus) adalah kontradiksi (selalu salah). Karena itu tidak mungkin sekaligus A dan Bukan
A. Hukum ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat sekaligus benar dan
salah pada saat yang sama dan tempat yang sama. Misalnya, Lukman S. Thahir adalah dosen
IAIN Palu dan Lukman S. Thahir bukan dosen IAIN Palu. Pernyataan ini salah atau
kontradiktif, karena Lukman S. Thahir pada saat yang sama dan tempat yang sama adalah
benar dosen IAIN Palu.
Sedang Hukum Tidak Ada Jalan Tengah menyatakan bahwa segala sesuatu haruslah
apa adanya atau tidak; atau segala sesuatu adalah A atau bukan A. Misalnya, sebuah batu
haruslah keras atau tidak keras, diam atau tidak diam. Tidak ada jalan tengah, misalnya batu
itu setengah keras dan setengah tidak keras; atau Lukman S. Thahir adalah setengah dosen
IAIN Palu dan setengahnya lagi bukan dosen dosen IAIN Palu.
Demikian salah satu contoh, mengapa akal atau rasio itu menjadi salah sumber
diperolehnya pengetahuan. Tanpa akal atau logika, misalnya hukum pertama, kata Carranza,
identitas atau kesamaan akan lenyap. Tanpa Hukum tidak ada Jalan Tengah, kebingunan
dimulai, dan tanpa Hukum Kontradiksi, kegilaan berkuasa penuh. Tanpa ketiganya, tidak
mungkin ada wacana yang dapat dipahami. Demikian jelasnya Carranza26 menyatakan:

25
Ketiga Hukum Logika ini dikutip dari buku Elihu Caranza, dengan berbagai modifikasi seperti
perubahan struktur atau hirarki ketiga prinsip ini dan termasuk contoh-contoh yang diberikan dalam tulisan ini.
Perubahan dimaksud hanya untuk memudahkan pemahaman bagi para pembaca. Untuk jelasnya, Lihat Elihu
Carranza, Logic Primer, (Inky Publication, Napa, California, 2012), h. 2-3
26
Elihu Carranza, Logic Primer, ibid.
“whithout the first, identity or semenes is lost; witout the second, confusion begin; and without
the last, nonsense is in full residence. Without them intelligible discorse is imposible”.
Kedua, Pengetahuan bersumber dari data empiris
Pengetahuan empiris adalah suatu usaha untuk menemukan dasar pengetahuan kita
melalui pengalaman. Dengan kata lain, pengetahuan empirik adalah bentuk pengetahuan yang
diperoleh melalui bukti pengalaman indrawi, “the evidence of sensory experience”. Bukti
pengalaman ini berasal dari penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan pengecapan.
Inilah bukti dari inderawi yang memberikan makna pada pengetahuan empiris, yang menurut
para filosof empirik adalah sumber dan asal pengetahuan kita. Menurut kaum empiris, tidak
ada pengetahuan yang lebih utama selain dari pengalaman, dan tidak ada pengetahuan di luar
dari pengalaman inderawi. Pengetahuan empirik ini, secara fundamental, berakar pada
pengalaman inderawi, dan penyangganya adalah observasi dan eksperimen.
Ketiga, Pengetahuan yang bersumber dari Wahyu
Bentuk pengetahuan ini secara umum ditemukan pada bahasa keagamaan. Untuk
orang-orang yang mengakui pengetahuan ini, wahyu merupakan sumber utama yang berasal
dari wujud supranatural, kekuatan abadi, yang tidak dapat dikatakan berdusta atau berbuat
kekeliruan. Dalam komunitas orang-orang Kristen, misalnya, mimpi, visi, dan bahkan Bible
telah diterima sebagai bentuk pengetahuan yang berasal dari wahyu. Dalam tradisi Islam, Al-
Qur’an diyakini sebagai sumber pengetahuan yang otoritatif. Dalam agama tradisional orang-
orang Afrika, kedudukan wahyu itu sendiri adalah “given” dari dewa-dewa, para leluhur,
ramalan dari mimpi dan nubuat. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sejumlah
pengetahuan yang kita temukan di dalam institusi agama diperoleh dari pandangan wahyu.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa pengetahuan dari wahyu, masalah utamanya adalah
pada interpretasi Firman Tuhan. Dengan kata lain, Firman Tuhan itu bisa saja diinterpretasikan
salah atau bersifat subjektif, dan karenanya membuka ruang bagi kesalahpahaman
pengetahuan.27
Keempat, Pengetahuan yang bersumber dari Intuisi
Menurut Ezewu, cara mengetahui intuisi adalah keterlibatan suatu penglihatan seketika
atau muncul ke dalam kesadaran pemikiran yang diproduksi oleh proses panjang dari kerja
alam bawah sadar. Artinya, secara sederhana, intuisi merupakan cara mengetahui sesuatu
dimana seseorang tidak bisa menjelaskannya secara nyata, karena sifatnya melampaui rasio

27
Lihat Akanmu Kehinde Adeolu, “Source of Knowledge: 1”, dalam https://akanmukehinde.wordpress.
com/2013/02/19/source-of-knowledge-1/
dan pengalaman inderawi. Intuisi kadang terjadi dalam bentuk solusi yang datang secara tiba-
tiba pada seseorang yang sedang mengalami masalah, seperti kesulitan memecahkan masalah
“puzzle”, bekerja keras beberapa jama atau beberapa hari, tanpa ada solusi. Bisa juga datang
dalam bentuk solusi yang tidak terduga, tiba-tiba saja muncul dari sebuah masalah yang
dipresentasikan oleh orang lain.28
Demikian beberapa sumber epistemologi yang dapat diungkapkan disini, yang oleh
Shri Nikunja29 --jika dikaitkan dengan pendidikan— dianggap sebagai “motor penggerak
pendidikan. Mengapa epistemologi dianggap sebagai motor penggerak pendidikan, karena
epistemologi mendorong proses pendidikan. Apapun bentuk teori dan praktek pendidikan yang
kita gunakan pasti akan melibatkan epistemologi. Epistemologi memiliki dampak langsung
pada dasar momen-momen pendidikan. Misalnya, anggapan tentang pentingnya sumber-
sumber pengetahuan yang beragam tentunya akan direfleksikan di dalam proses akademik dan
pengajaran metodologis. Misalnya, karena guru-guru Kristiani (baca juga muslim) percaya
bahwa wahyu sebagai sumber pengetahuan yang valid, maka mereka tanpa ragu akan
membuat, tidak hanya kurikulum yang disemangati oleh wahyu, tetapi juga secara substansial,
sebagai pembeda dari kurikukulum yang dibuat oleh mereka yang tidak percaya dengan wahyu
sebagai sumber pengetahuan. Dengan begitu, pandangan dunia filsafat dari keyakinan mereka
akan membentuk penyampaian setiap topik ketika mereka mengajar.
Di sisi lain, dengan epistemologi variatif seperti ini, baik dosen maupun guru, tidak
hanya diberi ruang untuk memilih dan menentukan berbagai sumber pengetahuan, sedemikian
rupa sehingga mahasiswa atau siswa akan diajarkan keragaman pengetahuan, tetapi juga
sekaligus dengan keragaman sumber pengetahuan atau metodologi pengajaran, secara tidak
langsung akan menciptakan kesadaran bagi seorang guru akan arti pentingnya ruang
perbedaan, dan situasi seperti ini, secara tidak langsung menggiring seorang dosen, guru,
mahasiswa dan siswa untuk tidak mengklaim kebenaran.Mengapa bisa terhindar dari klaim
kebenaran?, bagi seorang dosen atau guru, karena mereka mengerti bahwa masing-masing
sumber pengetahuan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, maka secara otomatis
mereka akan menganjurkan kepada mahasiswa atau siswa untuk memanfaatkan sumber-
sumber pengetahuan yang ada sesuai dengan konteksnya masing-masing. Bahkan, jika
memungkinkan siswa diajarkan untuk memadukan masing-masing pendekatan dalam proses
pembelajaran di kampus atau di sekolah. Misalnya, disamping mahasiswa atau siswa diajarkan

28
Akanmu Kehinde Adeolu, Ibid.
29
Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of, h.
pentingnya kompetensi kognitif, kontemplasi atau berpikir abstrak, mereka juga dibiasakan
dengan eksperimen dan observasi.

c. Axiologi
Axiologi adalah konsep filsafat ketiga yang sangat fundamental, yang mempersoalkan
hakekat nilai. Secara etimologi istilah axiologi, diambil dari kata Yunani, “axios” berarti nilai,
dan “logos” berati akal, teori, simbol dan studi tentang. Dengan demikian, axiologi adalah
studi filsafat tentang nilai, dan “nilai” secara original berarti kelayakan sesuatu.30 Adapun
secara terminologi, axiologi menurut Dagobert D. Runes adalah “Theory of Value”,
menyelidiki tentang hakekat, kriteria dan status metafisik dalam filsafat nilai.31 Pertanyaan
utama dari bidang ini adalah: apa itu nilai?, darimana nilai itu datang?, bagaimana kita
membenarkan nilai-nilai kita?, bagaimana kita mengetahui apakah sesuatu itu bernilai?, apa
hubungan antara nilai dan pengetahuan? Dapatkah kita mendemonstrasikan bahwa nilai yang
satu lebih baik dari nilai yang lainnya?, dan sebagainya.
Axiologi memiliki dua cabang utama –etika dan estetika. Etika adalah studi mengenai
nilai moral dan tingkah laku. “Bagaimana kita bersikap”? merupakan pertanyaan etika. Sedang
estetika berhubungan dengan masalah keindahan. Kedua cabang ini, seperti halnya metafisika
dan epistemologi, berhubungan langsung dengan proses pendidikan. Aspek utama pendidikan
adalah pengembangan nilai. Dan dalam konteks pendidikan, ruangan kelas merupakan suatu
teater nilai dimana seorang guru tidak dapat menyembunyikan nilai moralitas dirinya. Melalui
tindakannya, guru, secara langsung memberi pengaruh kepada siswa, dan siswa akan mengikuti
atau mencontohkan apa yang dilakukan gurunya.
Abad kita saat ini, kata Shri Nikunja, adalah abad yang kacau dan sangat
membingungkan. Perang dan konflik berlanjut terus menerus tampa pernah berhenti. Hal
demikian menjadi alarm dan fenomena yang menyedihkan, termasuk terorisme, pengrusakan,
pembakaran, pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, alkoholisme, amoralitas seksual,
rapuhnya kekeluargaan, ketidakadilan, korupsi, dan sebagainya. Semua ini mengarah pada
hilangnya martabat kemanusiaan kita, kehormatan, rasa saling percaya diantara manusia,
termasuk hilangnya otoritas guru dan keluarga. Dalam konteks ini, pendidikan memainkan
perannya yang sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai, seperti, nilai kebenaran,

30
Lihat Joy E. Beatty, Jeniffer S.A., Leigh and Kathy Lund Dean, “Philosophy Rediscovered: Exploring
the Connection between Teaching Philosophies, Educational Philosophies, and Philosophy”, dalam Journal of
Management Education, Vol. 33 Number 1, February 2009, h. 104
31
Dagobert D. Runes, (Ed.), “Axiology”, dalam The Dictionary of Philosophy. (Philosophical Library.
Inc. New York), h. 97
keindahan dan kebaikan, dan mentransformasikannya dari satu generasi ke generasi lainnya
melalui kurikulum.32
Dengan kondisi seperti ini, maka sangat benar bila dikatakan bahwa budaya
merupakan totalitas nilai yang tercipta melalui sejarah dan bahwa pendidikan merupakan alat
untuk membentuk budaya. Inilah mengapa kemudian axiologi mewajibkan pentingnya dimensi
pendidikan, dimana komponennya, antara lain: Pertama, memproyeksikan sebuah sistem nilai,
dengan memproses tujuan pendidikan dalam bentuk nilai-nilai yang ideal dan objektif. Kedua,
memasukkan nilai-nilai, baik nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat umum atau nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat spesifik yang telah ditentukan oleh masyarakat, karena hal demikian
berkontribusi dalam membentuk kepribadian. Di sini pendidikan berperan menjaga dan
mentransmisikan nilai-nilai sehingga menjamin terpeliharanya identitas budaya manusia.
Ketiga, pendayagunaan nilai membutuhkan pengetahuan dan pengalaman, yang berarti adanya
keterlibatan nilai cognitiv dan emosi dalam proses perencanaan pendidikan. Dan terakhir,
keempat, karena axiologi merupakan horizon dari manifestasi kreativitas manusia, maka
pendidikan memiliki fungsi fundamental untuk menanamkan kekuatan kreatif individu dan
masyarakat. Dengan kata lain, walaupun kepribadian merupakan sumber dari semua nilai, itu
tidak berarti bahwa kepribadian itu terlahir dengan sendirinya, melainkan dapat dikembangkan
melalui pendidikan. Itulah mengapa kita mengestimasi saat ini bahwa pendidikan merupakan
salah satu sumber fundamental bagi perkembangan masyarakat di masa depan. Gagasan
penting yang bisa kita katakan untuk mengakhir ulasan ini adalah: “without education,
axiology would be deprived of living power, and, without the light of axiology, education
would grope about in the dark”.33
Demikian secara ringkas dijelaskan salah satu cabang utama filsafat yang terkait dengan
persoalan pendidikan. Agar masalah ini mudah diingat dan dipahami serta untuk menghindari
kesalahpahaman, maka di bawah ini akan dibuat petanya dalam bentuk tabel, baik terkait
dengan cabang filsafat itu sendiri, topik inti, maupun berbagai pertanyaan yang berhubungan
dengan pendidikan, sebagai berikut:

Table 1
Relationship between philosophy and Education

32
Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of, h. 107
33
Shri Nikunja Ranjan Dash, Philosopical Foundation of, h. 109
Philosophical Root of Educational Theory:
Its Implication for Curriculum, Theaching and Learning

Tidak ada sedikitpun keraguan di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan di abad
kontemporer, bahwa maju dan berkembangnya pendidikan di Barat, khusunya, dan Eropa pada
umumnya, adalah karena filsafat telah memainkan perannya yang sangat penting dalam
menjelaskan dan mengeksplorasi setiap aspek pendidikan. Berbagai problem mendasar
pendidikan, seperti masalah kurikulum, pembelajaran, pengajaran, metode, motivasi, dan
sebagainya, tidak hanya menjadi tema dan kajian penting filsafat, tetapi juga sekaligus menjadi
“subject matter”, baik di sekolah Menengah Atas maupun di perguruan Tinggi. Di sini, filsafat
di satu sisi menjadi bagian dari pendidikan, dan pendidikan itu sendiri, di sisi lainnya, “is the
best means for the propagation of philosophy”.34 Inilah yang dimaksud J. Adam, bahwa
pendidikan itu adalah sisi dinamis dari filsafat. 35Filsafat dan pendidikan, seperti dua sisi dari

34
Lihat Harvey Siegel, “Introduction: Philosophy Education, 107
35
Lihat M. Hameed Zahid, Philosophy of Education, (Islamabad: Allama Iqbal Open University, 2017),
h. 5

Anda mungkin juga menyukai