Anda di halaman 1dari 11

PENDIDIKAN PADA MASA PEMBARUAN DI MESIR

I.  PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Islam mengalami puncak kejayaan di berbagai bidang dan menjadi


kiblat peradaban seantero dunia ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa yang
berpusat di Bagdad. Bersamaan dengan itu, di belahan dunia bagian Barat
berdirilah dengan kokohnya sebuah pusat peradaban yang didirikan oleh
keturunan Bani Umayyah di Spanyol, kemudian diikuti oleh Dinasti
Fatimiyah di Masir. Ke tiga pusat kerajaan ini masing-masing
menyumbangkan paradaban tiada tara yang bukan hanya mengharumkan
nama Islam, tapi juga menjadi penyebab bangkitnya Eropa (Barat) dari
keterbekangan khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Punahnya kejayaan Islam terjadi antara abad VI – XI M. Akhirnya


abad XI M. Datanglah serangan Pasukan Salib yang mengumandangkan
perang suci melawan umat Islam berlangsung kurang lebih dua abad.
Belum sembuh luka yang diderita umat Islam dari peristiwa itu, muncul
lagi serangan yang lebih dahsyat dari sebelumnya yakni serangan Jangis
Khan dan cucunya Khulagu Khan serta Timur Lenk secara bertubi-tubi dan
mebabi buta.

Akibat serangan tersebut, peradaban Islam porak-poranda, hancur


berkeping-keping. Islam mengalami kemunduran, sementara Eropa (Barat)
mengalami kemajuan yang ditandai dengan adanya Revolusi Industri
dan Renaissance di Dunia Barat. Di saat Islam dalam keadaan lemah itulah
sehingga mereka dijajah.

Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini


merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir
yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan
keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping
membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan
seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian.1

1
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan 9+  (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 28-33.
Hal inilah yang membuka mata para pemikir-pemikir Islam untuk
melakukan perubahan meninggalkan keterbelakangan menuju
modernisasi di berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Upaya
pembaharuan dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, kemudian diikuti oleh
pemikir-pemikir lainnya.

B.  Permasalahan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang usaha


pembaharuan di Mesir khususnya dalam bidang pendidikan, maka dalam
makalah ini penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut :

1. Siapakah tokoh yang menjadi pembaharu di bidang pendidikan di


Mesir ?
2. Bagaimanakan ide pembaharuan para tohok tersebut dalam bidang
pendidikan ?

II.  PEMBAHASAN

A.  Tokoh-tokoh Pembaharu Bidang Pendidikan di Mesir

1. Muhammad Ali Pasya2

Setelah ekspedisi Napoleon Bonaparte, muncul dua kekuatan besar


di Mesir yakni kubu Khursyid Pasya dan kubu Mamluk. Muhammad Ali
mengadu domba kedua kubu tersebut, dan akhirnya berhasil menguasai
Mesir. Rakyat semakin simpati dan mengangkatnya sebagai wali di Mesir. 3
[3]

2
Beliau adalah seorang keturunan Turki, lahir di Kawalla Yunani pada
tahun 1765 M., meninggal di Mesir pada tahun 1849 M. Sejak kecil ia
membantu orang tuanya mencari nafkah sehingga tidak sempat masuk
sekolah. Karena kecakapannya, beliau dipercaya oleh Gubernur Usmani
dan kemudian masuk Dinas Militer dan berhasil menjadi perwira.
Lihat ibid., h. 34.

3
M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran Islam dan Gerakan
Pembaharuan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 69-70.
Posisi inilah kemudian memungkinkan beliau melakukan perobahan
yang berguna bagi masyarakat Mesir.

2. Al-Tahtawi4

Beliau sangat berjasa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan di


Mesir karena menguasai berbagai bahasa asing dan berhasil mendirikan
sekolah penerjemahan dan menjadikan bahasa asing tertentu sebagai
pelajaran wajib di sekolah.

3. Muhammad Abduh5

Abduh adalah salah seorang murid Afgani. Beliau sangat terkenal


khususnya dalam bidang pemikiran rasional sehingga digelar New
Muttazilah. Namun demikian, beliau tidak ketinggalan dalam bidang
pendidikan, bahkan setelah menamatkan studinya di al-Azhar pada tahun
1877, beliau mengajar di berbagai tempat termasuk di almamaternya
sendiri.

4. Rasyid Ridha6

4
Nama lengkapnya adalah Rifa’ah Badwi Rafi’, lahir pada tahun 1801
M. di Thahtha, dan meniggal di Kairo pada tahun 1873 M. Ketika berumur
16 tahun, ia pergi ke Kairo dan belajar di         al-Azhar. Karena
kepintarannya, ia diutus oleh Muhammad Ali ke Paris guna mendalami
bahasa asing dan mempertajam wawasan keagamaan dengan mengkaji
teks-teks modern. Lihat Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran
Perkembangan Modern dalam Islam  (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998), h. 34-35.

5
Muhammad Abduh lahir di Mesir pada tahun 1849. ayahnya berasal
dari Turki, sedangkan ibunya keturunan Arab. Lihat Ali Mufrodi, Islam di
Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. I; Jakarta: Logos, 1997), h. 159. Lihat 
pula Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia  (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 6.

6
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia
lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun (Libanon). Menurut keterangan, ia
berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi saw. Oleh karena itu, ia
bergelar “al-Sayyid”di depan namanya. Lihat Harun Nasution, op.cit., h.
69. dan meninggal pada tahun 1935 dengan aman sambil memegang
Alquran di tangannya. Lihat M. Yusran Asmuni, op.cit., h. 88.
Rasyid Ridha sangat terkenal bersama dengan Abduh (gurunya)
menerbitkan majalah al-Manar 7 yang kemudian menjadi sebuah tafsir
modern yang bernama Tafsir al-Manar.

5. Jamaluddin al-Afgany8

Afgany terkenal sebagai muballig kondang dan suka berpindah dari


satu daerah ke daerah lainnya untuk membangkitkan semangat umat
Islam untuk bangkit melawan penjajah Barat secara bersatu. Salah satu
idenya yang sangat terkenal adalah Pan Islamisme. Oleh karena itu, beliau
lebih dikenal sebagai tokoh pembaharu di bidang politik dibandingkan
pembaharu di bidang pendidikan.

6. Ali Mubarak9

Beliau dipandang sebagai pelopor pendidikan modern di Mesir,


karena mampu memadukan antara pendidikan yang berazaskan Islam
dengan pendidikan Barat yang diperolehnya ketika belajar di Prancis.

7. Thaha Husain10
7
Lihat A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam  (Cet. I;
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 163.

8
Beliau lahir di As’adabad, dekat kota Kan’an di Kabul Afganistan
pada tahun 1813 M. dan meninggal di Istanbul pada tahun 1887 M. Lihat
Tim Penulis IAIN Syahid Hidayatullah, op. cit., h. 62. Nama lengkapnya
adalah Sayyid Jamaluddin al-Afgani ibn Safar. Ia adalah keturunan Sayyid
Ali al-Turmudzi. Jika ditelusuri keturunannya, maka berasal dari Husain ibn
Ali ibn Abi Thalib. Hal ini tercermin dari gelar Sayyid yang disandangnya.
Lihat Jamil Ahmad, Hundred Great Muslims,  diterjemahkan oleh Pustaka
Firdaus dengan judul Seratus Tokoh Muslim Terkemuka  (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), h. 269. dan meninggal di Kairo pada tahun 1905.

9
Beliau lahir di Bamabal, sebuah desa di Delta Sungai Nil pada tahun
1823 M. dan meninggal di Kairo pada tahun 1893 M. Lihat Tim Penyusun
Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah dan
Kebudayaan Islam  (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993), h. 222.

10
Ia lahir di Magagah Masir pada tahun 1889 M. dan wafat pada tahun
1973 M. Sejak umur 6 tahun beliau menderita penyakit Opthalmiah, yang
menyebabkan kebutaan sepanjang hidupnya. Namun demikian, tidak
terhalang menuntut ilmu pengetahuan. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.
137.
Beliau sangat berhasil dalam bidang pendidikan. Terbukti setelah
selesai di al-Azhar, kemudian ke Prancis untuk memperdalam ilmu
pengetahuannya. Dan sekembalinya di Mesir, beliau diangkat menjadi
pejabat penting dalam pemerintahan khususnya dalam urusan
kementerian pendidikan.

B.  Ide-ide Pembaharuan Pendidikan Para Tokoh Intelektual Mesir

1. Muhammad Ali Pasya

Salah satu bidang yang menjadi sentral pembaruannya adalah


bidang bidang militer dan bidang-bidang yang bersangkutan dengan
bidang militer, termasuk pendidikan. Kemajuan di bidang ini tidak
mungkin dicapai tanpa dukungan ilmu pengetahuan modern. 11  Atas dasar
inilah sehingga perhatian di bidang pendidikan mendapat prioritas utama.

Sungguhpun Muhammad Ali Pasya tidak pandai baca tulis, tetapi ia


memahami betapa pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan
untuk kemajuan suatu negara. Ini terbukti dengan dibentuknya
Kementerian Pendidikan untuk pertama kalinya di Mesir dibuka sekolah
militer (1815), sekolah teknik (1816), sekolah ketabibab (1836), dan
sekolah penerjemahan (1836).12

Selain mendirikan sekolah beliau juga mengirim pelajar-pelajar ke


Eropa terutama ke Paris + 300 orang. Setelah mereka kembali ke Mesir
diberi tugas menerjemahkan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab, di
samping mengajar di sekolah-sekolah yang ada di Mesir.13

Philip K. Hitty mengemukakan bahwa Muhammad Ali Pasya tidak


hanya menerapkan corak dan medel pendidikan Barat, tapi juga
mempercayakan pendidikan kepada orang Barat, bahkan gurunya
kebanyakan didatangkan dari Eropa.14

11
Lihat Harun Nasution, op.cit., h. 36.

12
Ibid., h. 36-38. Bandingkan dengan Bernard Lewis, The Arabs in
History, diterjemahkan oleh Said Jamhuri dengan judul Bangsa Arab dalam
Lintas Sejarah (Cet. II; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 180.
13

Lihat Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran  (Cet.


II; Bandung: Mizan, 1995), h. 148-149.

14
Baca Philip K. Hitty, History of the Arabs  (London: Mc. Millan & Co.
Ltd., 1974), h. 724.
Keberhasilan di bidang militer telah merubah Mesir menjadi negara
modern yang kekuatannya mampu menandingi kekuatan militer Kerajaan
Usmani, serta bermunculanlah para tokoh intelektual di Mesir yang kelak
melanjutkan gagasan-gagasan beliau khususnya dalam bidang
pendidikan.

2. Al-Tahtawi

Di antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide


pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan
kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan
perempuan di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan
hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yang sama
antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang
menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri
dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan
putra-putri yang cerdas.15

Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga


tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada
anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an,
agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya
berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu
keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan tinggi yang tugas utamanya
adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.16

Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan


terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah
dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang
dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan
kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab merusak perkembangan
anak didik.17

15
Lihat Tim Penyusun Text Book, op. cit., h. 220. Salah seorang
pembaharu Mesir yang mengemukakan pendapat senada dengan
pendapat ini adalah Qasim Amin, yang terkenal sebagai pelopor gerakan
emansipasi Islam khususnya di Mesir. Lihat Qasim Amin, Takhrir al-
Mar’ah (Kairo: Sadar al-Ma’arif, 1970), h. 42.
16

Lihat Tim Penyusun Text Book, op. cit., h. 221.


17
Ibid., h. 221-222.
Dengan demikian, dipahami bahwa al-Tahtawi sangat
memperhatikan metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.

3. Muhammad Abduh

Menurut Abduk, pendidikan merupakan lembaga yang paling


strategis untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara
sistematis. Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem pendidikan
adalah bahwa ia sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam
lembaga-lembaga pendidikan umum harus diajarkan agama. Sebaliknya,
dalam lembaga-lembaga pendidikan agama harus diajarkan ilmu
pengetahuan modern.

Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan


pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya,
seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu.
Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan
kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-
Azhar.18 Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-
lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk
memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern, dan
diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan yang muncul di zaman modern.

4. Rasyid Ridha

Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu


pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena
itu, peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal ini
relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu
pengetahuan yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk
kemajuan mereka.19 Beliau juga berpendapat bahwa mengambil ilmu
pengetahuan Barat modern sebenarnya mengambil kembali ilmu
pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.20

Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun


sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-

18
Lihat A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna,
t.th.), h. 181.
19
Harun Nasution, op. cit., h. 151.
20
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan,  h. 75.
kader Muballig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah
misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo
dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad.21

Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan


kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional.

5. Jamaluddin al-Afgany

Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu


bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang
kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang
mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan, yang
menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat
menurutnya merupakan ilmu yang laping teratas kedudukannya di antara
ilmu-ilmu yang lain.22

Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang
universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-
laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk
berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi
menginginkan.23

Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama


agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam
hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan
perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut.

6. Ali Mubarak

Ali Mubarak dipandang sebagai peletak dasar dari Laihah Rajab, semacam


rencana pendidikan yang terpadu bagi bangsa Mesir yang berdasarkan
kerakyatan dengan sasaran pengembangan lembaga pendidikan,
penelitian lembaga pendidikan di daerah dan penerbitan administrasi
pendidikan yang dipusatkan di kantor pemerintah daerah.24

21
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 163.
22
Lihat Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II;
Jakarta: Logos, 1999), h. 158.
23
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 300.

24
Tim Penyusun Text Book, op. cit., h. 223.
Sebagai hasil dari Laihah Rajab itu, lembaga-lembaga pendidikan
berkembang dengan pesat, baik kualitas maupun kuantitas, tetapi
keasliannya tetap terpelihara. Pada perkembangan selanjutnya mendapat
pengakuan yang wajar dari pemerintah mulai tingkat dasar sampai
perguruan tinggi.

7. Thaha Husain

Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa


perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli
yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang
dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang
memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya
pendidikan, di banding dengan Dunia Barat.

Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual,


keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan
intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh
melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.25

Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau


menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem
dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi,
demikian juga metode penelitiannya.26

Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu
pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan inovasi-inovasi baru
dalam bidang pendidikan dan di sinilah muncul kemampuan belajar efektif
dalam belajar yang sesungguhnya.

III.  P E N U T U P

A.  Kesimpulan

Abad XIX, Mesir memasuki babak baru dalam lembaran sejarah Islam. Era
tersebut dikenal dengan masa pembaharuan. Hal ini dilatarbelakangi oleh

25
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi (Cet. I; Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 99.
26
Ibid.
pendudukan Napoleon Bonaparte atas Mesir. Dari situlah diperkenalkan
peradaban dan teknologi Barat kepada rakyat Mesir.

Akibat diperkenalkannya berbagai bentuk peradaban baru yang modern,


melahirkan tokoh-tokoh intelektual pembaharuan di berbagai bidang
khususnya bidang pendidikan.

Tokoh-tokoh tersebut adalah Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Abduh,


Ridha, Jamaluddin, Ali Mubarak, dan Thaha Husain.

B.  Saran

Penulis menyadari bahwa makalan ini jauh dari kesempurnaan. Olehnya


itu, masukan dari teman peserta seminar terutama kepada Dosen
Pemandu, sangat diharapkan demi perbaikan selanjutnya.

DAFTAR  PUSTAKA

Ahmad, Jamil. Hundred Great Muslims.  Diterjemahkan Pustaka Firdaus


dengan judul Seratus Tokoh Muslim Terkemuka.  Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996.

Amin, Qasim.  Takhrir al-Mar’ah. Kairo: Sadar al-Ma’arif, 1970

Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran Islam dan Gerakan


Pembaharuan dalam Islam.  Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Cet. III; Jakarta:


Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.

Harahap, Syahrin. Al-Qur’an dan Sekularisasi. Cet. I; Yogyakarta: Tiara


Wacana Yogya, 1994.

Hitty, Philip K. History of the Arabs.  London: Mc. Millan & Co. Ltd., 1974.

Lewis, Bernard. The Arabs in History. Diterjemahkan oleh Said Jamhuri


dengan judul Bangsa Arab dalam Lintas Sejarah. Cet. II; Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1994.
Mufradi, Ali.  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. II; Jakarta: Logos,
1999

Munir, A. dan Sudarsono. Aliran Modern dalam Islam. Cet. I; Jakarta: PT.


Rineka Cipta, 1994.

Nasution, Harun.  Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Cet. II; Bandung:


Mizan, 1995.

_______. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet.


X; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam


Islam.  Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta:


Djambatan, 1992.

Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN


Alauddin. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin,
1993.

Anda mungkin juga menyukai