Anda di halaman 1dari 19

1

PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF HADIS TARBAWIY

Oleh :

Mohamad Arfan Hakim

PENADAHULUAN

A. Latar Belakang

Bicara pendidikan, tema diskusi dan seminar yang marak


akhir-akhir ini adalah tentang pendidikan karakter, bukan hanya
karena terpengaruh oleh isu yang dilontarkan oleh Menteri
Pendidikan Nasional tentang tema dalam Peringatan Hari
Pendidikan Nasional tahun 2010, “Pendidikan Karakter untuk
Membangun Peradaban Bangsa”, tetapi juga karena keprihatinan
yang sama di berbagai kalangan masyarakat.

Berbagai diskusi itu diselenggarakan untuk mencari akar


penyebabnya, dan selanjutnya jika mungkin berusaha
menemukan jalan keluarnya, untuk mengurangi rasa prihatin itu.
Sudah barang tentu persoalan itu bukan hal ringan, bisa dijawab
dengan cepat dan mudah. Persoalannya sudah sedemikian berat
dan rumit. Ada berbagai variabel penyebab yang terlanjur
terjadi, dan tidak bisa dihapus. Kemerosotan akhlak tersebut
adalah merupakan akibat, sedangkan sebab-sebab yang
mendahului sudah terjadi, karena itu tidak akan mungkin
dihilangkan atau ditarik kembali1

Jika ingin mengurai, mengapa keadaan tersebut terjadi,


kiranya perlu merenungkan peristiwa-peristiwa beberapa tahun
terakhir di negeri ini. Sejak tahun 1998 yang lalu, ketika terjadi
reformasi, sehari-hari di kampuskampus, hingga di kota-kota
kecil, dan bahkan di tingkat desa terjadi demonstrasi yang
seolaholah tidak ada henti-hentinya. Dalam setiap demo itu
selain merekamembawa poster-poster bernada protes, juga
melontarkan teriakan-teriakan yang bernada mengolok-olok, dan

1
Imam Suprayogo, Generasi Miskin Tauladan,http://www.facebook. com, diakses pada
tanggal 5 Februari 2013. h.1
2

bahkan juga menghujat terhadap mereka yang dianggap keliru


atau salah dalam mengambil kebijakan2

Maka dalam waktu yang cukup lama, muncul generasi


yang pekerjaannya sehari-hari menyalahkan terhadap generasi
sebelumnya. Siapapun dianggap salah, apalagi pejabat
pemerintah. Dengan begitu sopan santun terhadap generasi tua,
termasuk terhadap orang tua, guru, pemimpin menjadi hilang.

Wacana tentang pendidikan karakter yang dikenal oleh


dunia telah digagas oleh Dr. Thomas Lickona, seorang profesor
pendidikan dari Cortland University pada tahun 1991, namun
1
menurut penulis, penggagas pembangunan karakter pertama
kali adalah Rasulullah SAW. Pembentukan watak yang secara
langsung dicontohkan Nabi Muhammad SAW merupakan wujud
esensial dari aplikasi karakter yang diinginkan oleh setiap
generasi. Secara asumtif bahwa keteladanan yang ada pada diri
Nabi menjadi acuan perilaku bagi para sahabat, tabi’in dan
umatnya.

Namun, sampai abad 15 sejak Islam menjadi agama yang


diakui universal ajarannya, penerapan pendidikan karakter justru
dipelopori oleh negara-negara yang penduduknya minoritas
muslim. Namun, untuk mewujudkan generasi Qur’ani
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah bukan pekerjaan
yang mudah. Ia harus diusahakan secara teratur dan
berkelanjutan baik melalui pendidikan informal seperti dalam
keluarga, pendidikan formal atau melalui pendidikan non formal
(masyarakat).

Istilah karakter digunakan secara khusus dalam konteks


pendidikan baru muncul pada akhir abad ke 18, terminologi
karakter mengacu pada pendekatan (approach) idealis spiritualis
dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan
normatif, dimana yang menjadi priorit as adalah nilai-nilai
transenden yang dipercaya sebagai motivator dan dinamisator
sejarah, baik bagi individu maupun bagi perubahan sosial.3

2
Ibid.
3
Ni’matulloh.et. all, Pendidikan Karakter Dalam Persfektif Pendidikan Islam,
http://nimatulloh.blogs pot.com, diakses pada tanggal 5 Februari 2013, h.1
3

Doni A. Koesoema menengarai pendidikan karakter sudah


dimulai dari Yunani. Dari zaman inilah dikenal konsep arête
(kepahlawanan) dari bangsa Yunani, kemudian konsepsi Socrates
yang mengajak manusia untuk memulai tindakan dengan
“mengenali diri sendiri” dan “ilusi pemikiran akan kebenaran”.
Doni A. Koesoema juga menjelaskan keseluruhan historis
pendidikan karakter dengan urutan: homeros, hoseiodos, Athena,
Socrates, Plato, Hellenis, Romawi, Kristiani, Modern, Foerster,
dan seterusnya.4 Dalam kacamata Islam, secara historis
pendidikan karakter merupakan misi utama para nabi.
MuhammadRasulullah sejak dari awal tugasnya memiliki suatu
pernyataan yang unik, bahwa dirinya diutus untuk
menyempurnakan karakter (akhlak). Manifesto Muhammad
Rasulullah ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter
merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama
yang dapat men-ciptakan peradaban. Pada sisi lain, juga
menunjukkan bahwa masing-masing manusia telah memiliki
karakter tertentu, namun belum disempurnakan.5

Menurut Bambang Q. Anees dan Adang Hambali, ada dua


paradigma dasar pendidikan karakter: Pertama, Paradigma yang
memandang pend idikan karakter dalam cakupan pemahaman
moral yang sifatnya lebih sempit. Pada paradigma ini disepakati
telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan kepada
peserta didik. Kedua, melihat pendidikan dari sudut pandang
pemahaman isu-isu moral yang lebih luas. Paradigma ini
memandang pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi,
menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan
sebagai pelaku utama dalam pengembangan karakter.
Paradigma memandang peserta didik sebagai agen tafsir,
penghayat, sekaligus pelaksana nilai melalui kebebasan yang
dimilikinya. Pendidikan karakter yang berbasis Al-Qur’an dan
Assunnah, gabungan antara keduanya yaitu menanamkan
karakter tertentu sekaligus memberi benih agar peserta didik
mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalani
kehidupannya.

4
Q-Anees, Bambang, dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân,
Bandung: PT. Simbiosa Rekatama Media, 200, h.100
5
Ibid.,
4

Generasi Qur’ani tidak lahir dengan sendirinya, tetapi ia


dimulai dari pembiasaan dan pendidikan dalam keluarga,
misalnya menanamkan pendidikan agama yang sesuai dengan
tingkat perkembangannya, sebagaimana hadits Nabi:
“Perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat, lantaran ia sudah
berumur 7 tahun, pukullah mereka setelah mereka berumur 10
tahun dan pisahkan tempat tidurmu dan tempat tidur mereka”.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas maka, ada dua


yang menjadi poin penting dalam pembahasan ini. Pertama,
bagaimana kualitas hadis tentang memukul anak. Kedua,
Bagaimana Hadits mengkaji tentang memukul anak.

II

PEMBAHASAN

A. Teks Hadis

‫َح َّدثَنَا ُم َؤ َّم ُل ْب ُن ِه َش ا ٍم يَعْيِن الْيَ ْش ُك ِر َّي َح َّدثَنَا مْس َ ِعي ُل َع ْن َس َّو ٍار َأيِب مَح ْ َز َة قَ ا َل َأبُ و‬
‫ِإ‬
‫الصرْي َ يِف ُّ َع ْن مَع ْ ِرو ْب ِن ُش َع ْي ٍب َع ْن َأبِي ِه َع ْن‬ َّ ُّ ‫د َُاود َوه َُو َس َّو ُار ْب ُن د َُاو َد َأبُو مَح ْ َز َة الْ ُم َزيِن‬
ِ ‫ول اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ ُم ُروا َأ ْواَل َدمُك ْ اِب َّلص اَل ِة َومُه ْ َأبْنَ ا ُء َس ْبع‬ ُ ‫َج ِّد ِه قَا َل قَا َل َر ُس‬
ِ ‫ِس ِن َني َوارْض ِ بُومُه ْ عَلَهْي َا َومُه ْ َأبْنَا ُء َعرْش ٍ َوفَ ّ ِرقُوا بَيْهَن ُ ْم يِف الْ َمضَ اجع‬
6 ِ

B. Terjemah Kosa Kata (Mufradat)

‫ُم ُروا‬ ‫عَلَهْي َا‬ Atas (perintah)


perintahkan
shalat
ْ ‫َأ ْواَل َدمُك‬ Anak (berumur)
anak-anak kamu ٍ ‫َأبْنَا ُء َعرْش‬ sepuluh
‫اِب َّلصاَل ِة‬ (untuk) shalat ‫َوفَ ّ ِرقُوا‬ pisahkan mereka
‫َأبْنَا ُء‬ anak ‫بَيْهَن ُ ْم‬ di antara mereka
(berumur) Tujuh (tempat) tidur /
‫َس ْبع ِ ِس ِن َني‬ tahun ِ ‫الْ َمضَ اجِ ع‬ ranjang
ْ ‫َوارْض ِ بُومُه‬ pukul mereka

6
Global Islamic Software Company : Mausuah al-Hadis al-Syarif, Versi
2.00
5

C. Terjemahan Hadis

“Telah menceritakan kepada kami Muammal Bin Hisyam yakni


al-Yasykuri, telah menceritakan kepada kami Ismail dari
Sawwar. Abu Dawud mengatakan dialah Sawwar bin Dawud
Abu Hamzah al-Muzanni ash-Shairafi, dari Amir bin Syu’aib,
dari bapaknya, dari kakeknya berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika
mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika
berusia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat (tidak mau
shalat) dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidurnya.”
(Hadits riwayat Abu Dawud).

D. Sumber Riwayat dan Biografi Singkat Perawi Hadi>s}

1. Abdullah ibn Amr (Wafat tahun 63 H)


Abdullah bin Amru nama lengkapnya Abdullah bin Amru bin
Luas bin Wail. Ia termasuk sahabat nabi. Nama Kunyah-nya Abu
Muhammad. Ia menetap di Thaif dan meningal di sana pada
tahun 63 Hijriyah. Abdullah bin Amru menerima hadits dari Abi
Ka’ab bin Quais, Sarqoh bin Malik bin Ja’sim bin Malik, Abdulah
bin Saib bin Abi Saib, Abdullah bin Utsman bin Amr bin Kaab bin
Saad, Ali Bin Abi Tholib bin Abdul Mutholib, Amru bin Luas bin
Wail bin Hasyim, Muadz bin Jabbal bin Amru bin Aus, Maemun bin
Abas bin Ayub, dan Abu Maehabah.
Abdullah bin Amru menyampaikan hadits kepada Ibrahim
bin Muhammad bin Tolhah, Abu Jar’ah bin Amru bin Jarir bin
Abdullah, Abu Tho’mah an Abdullah bin Amru, Abu Qabus Maula
Abdullah bin Amru, Abu Kabsyah, Hadzir, As’ad bin Sahal bin
Hanif, Ismail dan lain-lain.
Kualitas periwayatan ‘Abdullah bin Amru dapat dilihat dari
pendapat yang menyatakan…

2. Syu’aib bin Muhammad

Nama lengkapnya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin


Amru bin Luas. Ia termasuk dari Tabi’in. ia menetap di Hijaz.
Tahun wafatnya tidak ada keterangan yang menjelaskan. Syu’aib
bin Muhammad menerima hadits dari Abdullah bin Amru bin Luas
6

bin Wail, Amru bin Luas bin Wail bin Hasyim, Muhammad bin
Abdullah bin Amru bin Luas, dan dari Muawiyah bin Abi Supyan
Shohor bin Harb bin Umayah.
Syu’aib menyempaikan hadits kepada Tsabit bin Aslam dan
Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru.
Kualitas periwayatan ‘Syu’aib nin Muhammad dapat
diketahui dari perkataan Iin Haban yang menyatakan s\iqah, dan
Dzahbi yang menyatakan Shaduq.

3. Amru bin Syu’aib (Wafat tahun 118 H)

Nama lengkapnya Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin


Abdulah bin Umar. Ia termasuk dari Tabi’in. Nama Kunyah-nya
adalah Abu Ibrahim. Ia wafat pada tahun 118 Hijriyah.
Amru bin Syu’aib menerima hadits dari Anas bin Malik bin
Nadhor bin Madhmum bin Zaid, Zaid bin Aslam, Zaenab bin Abi
Sa’id, Sa’id bin Musbab bin Hajn bin Abi Wahab bin Amru,
Sulaiman bin Yasar, Thusi bin Kaesin, ‘Asom bin Supyan bin
Abdullah, Abdullah bin Abi Najeh Yasar, Abdullah bin Amru bin
Luas bin Wail, dan lain-lain. Amru bin Syu’aib menyampaikan
hadits kepada Hajn bin Artoh bin Tsuwar, Hasan bin ‘Atiyah,
Husain bin Dzukun, Hamid bin Abi Hamid, Hamid bin Quaes,
Kholifah bin Khoet bin Kholifah bin Khoet, Dawud bin Abi Hindun.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui
dari perkataan Yahya bin Sa’id Luqthon yang
menyatakan Tsiqoh, Yahya bin Mu’in yang
menyatakan Tsiqoh, Ali bin Mudini yang
menyatakan Tsiqoh, Ishaq bin Ruhwaeyah yang
menyatakan Tsiqoh,Bukhori dan Abu Zar’ah Liraji yang
menyatakan Tsiqoh.

4. Sawwar bin Daud

Nama lengkapnya Sawwar bin Dawud. Ia termasuk kibâr al-


atbâ’. NamaKunyah-nya adalah Abu Hamzah, ia menetap di
Basrah. Tahun wafatnya tidak diketahui. Sawwar bin Dawud
menerima hadits dari Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin
Abdullah bin Amru. Ia menyampaikan hadits kepada Islmail bin
Ibrahim bin Maqsum, Abdullah bin Bakr bin Habib, Muhammad
bin Bakr bin Utsman, Muhammad bin Abdul Rahman, Nadhor bin
7

Syamil, dan Wake bin Jarah bin Malih. Kualitas periwayatan Amru
bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Ahmad bin Hanbal
yang menyatkan la ba’sa, Yahya bin Mu’in yang
menyatakan Tsiqoh, Bin Haban yang menyatakan Tsiqoh, dan
Dzaruqutni yang menyatakan la yatba’ ‘ala ahaditsihi faya’tabiru
bihi.

4. Ismail bin Ibrahim (Wafat tahun 193 H)

Nama lengkapnya Ismail bin Ibrahim bin Maqsum.


Nama Kunyah-nya Abu Basyar. Ia menetap di Basyrah, dan wafat
di Baghdad pada tahun 193 Hijriyah. Ismail bin Ibrahim
menerima hadits dari Ibrahim bin ‘Ala’I, Ishaq bin Suwaed bin
Hubareoh, Ismail bin Kholid, Ayub bin Abi Tumaemah Ques, dan
Bard bin Sunan. Ismail bin Ibrahim menyampaikan hadits kepada
Ibrahim bin Dinr, Ibrahim bin Suaid, dan Ibrahim bin Abdullah bin
Hatm. Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui
dari perkataan Syu’aib bin Hajaz yang menyatakan Sayid
limuhaditsin, Ahmad bin Hanbal yang menyatakanilaihi
limuntaha fi lititsabati, ‘Ali bin Mudini yang menyatakan ma
aqulu an ahad atsbata fi lihaditsi inhu, Yahyabin Mu’in yang
menyatakan Tsiqoh, Nasa’I yang menyatakan Tsiqoh, dan
Muhammad bin Sa’d yang menyatakan Tsiqoh.

5. Muammal Bin Hisyam yakni al-Yasykuri (Wafat tahun 253


H)

Nama lengkapnya Muawwal bin Hisyam. Nama Kunyah-nya


Abu Hisyam. Ia menetap di Negara Basyrah dan meninggal di
sana pada tahun 253 Hijriyah. Muawwal bin Hisyam menerima
hadits dari Ismail bin Ibrahim bin Maksum. Ia menyampaikan
hadits kepada Bukhori, Nasai, dan Abu Dawud. Kualitas
periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan
Abu Hatm Razi yang menyatakan Shoduq, Abu Dawud Sujaestani
yang menyatakan Tsiqoh,Nasai yang menyatakan Tsiqoh,Muslim
bin Qosim yang menyatakan Tsiqoh, dan Bin Haban yang
menyatakan Tsiqoh.

6. Abu Daud (wafat tahun 275 H)


8

Nama lengkapnya adalah Abû Dâwud Sulaimân bin al-


Asy’as\ bin Syaddâd al-Azdî al-Sijistânî. Ia lahir pada tahun 202 H.
Ia malang melintang ke berbagai negeri dan berulang kali keluar
masuk Baghdad. Ia tinggal di Basrah dan meninggal di sana pada
16 Syawwal 275 H. Abû Dâwud menerima hadis dari Abu al-Walîd
al-T}ayâlîsî, Mûsâ bin Ismâ-îl, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Abû Dâwud menyampaikan hadis kepada Ibrâhin bin Hamdân
al-‘Âqûlî, Abû Îsâ, dan lain-lain. Penilaian ulama terhadap kualitas
Abû Dâwud tidak bisa disangsikan karena dia termasuk salah
satu periwayat/perawi kitab hadis standar (al-kutub al-sittah) yang menjadi
kitab rujukan di bidang hadis.

E. Asba>b al-Wuru>d al-Hadi>s

Terkait dengan asbab al-wurud al-Hadis, penulis tidak


menemukan akan adanya asbab alwurud dari hadis ini.

F. Takhrij Hadi>s}

Hadis tentang anjuran memukul anak terkait dengan


pelaksanaan shalat yang akan dikaji dalam makalah ini adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang tercantum
dalam Sunan Abu> Da>ud dalam Ba>b al-S}ala>h hadis nomor
418 :

‫يل َع ْن َس َّو ٍار َأيِب مَح ْ َز َة قَ ا َل َأبُ و د َُاود َو ُه َو َس َّو ُار ْب ُن‬ ُ ‫َحدَّ ثَنَا ُم َؤ َّم ُل ْب ُن ِهشَ ا ٍم يَعْيِن الْيَ ْش ُك ِر َّي َحدَّ ثَنَا مْس َ ِع‬
ُ ‫ول اهَّلل ِ َص ىَّل اهَّلل‬ ُ ‫الصرْي َ يِف ُّ َع ْن مَع ْ ِرو ْب ِن ِإُش َع ْي ٍب َع ْن َأبِي ِه َع ْن َج ِّد ِه قَ ا َل قَ ا َل َر ُس‬ َّ ُّ ‫د َُاو َد َأبُو مَح ْ َز َة الْ ُم َزيِن‬
‫عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ُم ُروا َأ ْواَل َدمُك ْ اِب َّلص اَل ِة َومُه ْ َأبْنَ ا ُء َس ْبع ِ ِس ِن َني َوارْض ِ بُومُه ْ عَلَهْي َ ا َومُه ْ َأبْنَ ا ُء َعرْش ٍ َوفَ ّ ِرقُ وا بَيْهَن ُ ْم يِف‬
ِ ‫الْ َمضَ اجِ ع‬
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh imam Ahmad di
dalam musnadnya pada hadits no. 6402 dan hadis no. 6467.

Di dalam Kitab Sunan Ahmad, hadis nomor 6402 sebagai


berikut :

ُ ‫ول اهَّلل ِ َص ىَّل اهَّلل‬ ُ ‫َحدَّ ثَنَا َو ِكي ٌع َحدَّ ثَنَا َس َّو ُار ْب ُن د َُاو ٍد َع ْن مَع ْ ِرو ْب ِن ُش َع ْي ٍب َع ْن َأبِي ِه َع ْن َج ِّد ِه قَا َل قَا َل َر ُس‬
‫عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ ُم ُروا ِص ْب َيانَمُك ْ اِب َّلص اَل ِة َذا بَلَ ُغ وا َس ْب ًعا َوارْض ِ بُومُه ْ عَلَهْي َ ا َذا بَلَ ُغ وا َعرْش ً ا َوفَ ّ ِرقُ وا بَيْهَن ُ ْم يِف‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫‪9‬‬

‫يث َس َّو ٌار َأبُو مَح ْ َز َة َوَأخ َْط َأ ِفي ِه‪) .‬‬
‫الط َفا ِو ُّي ُم َح َّمدُ ْب ُن َع ْب ِد َّالرمْح َ ِن يِف َه َذا الْ َح ِد ِ‬
‫الْ َمضَ اجِ ع ِ قَا َل َأيِب َوقَا َل ُّ‬
‫أمحد من مسند املكرثين من الصحابة‪(7‬‬
‫‪Sedang di dalam Kitab Sunan Ahmad, hadis nomor 6467 :‬‬

‫السهْ ِم ُّي الْ َم ْعىَن َوا ِح ٌد قَااَل َحدَّ ثَنَا َس َّو ٌار َأبُو مَح ْ َز َة‬ ‫الط َفا ِو ُّي َو َع ْبدُ اهَّلل ِ ْب ُن بَ ْك ٍر َّ‬
‫َحدَّ ثَنَا ُم َح َّمدُ ْب ُن َع ْب ِد َّالرمْح َ ِن ُّ‬
‫ول اهَّلل ِ َص ىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ ُم ُروا َأبْنَ َاءمُك ْ اِب َّلص اَل ِة‬ ‫َع ْن مَع ْ ِرو ْب ِن ُش َع ْي ٍب َع ْن َأبِي ِه َع ْن َج ِّد ِه قَا َل قَا َل َر ُس ُ‬
‫ِل َس ْبع ِ ِس ِن َني َوارْض ِ بُومُه ْ عَلَهْي َا ِل َعرْش ِ ِس ِن َني َوفَ ّ ِرقُوا بَيْهَن ُ ْم يِف الْ َمضَ اجِ ع ِ َو َذا َأ ْن َك َح َأ َح دُ مُك ْ َع ْب دَ ُه َأ ْو َأجِ َري ُه فَاَل‬
‫ي َ ْن ُظ َر َّن ىَل يَش ْ ٍء ِم ْن َع ْو َر ِت ِه فَ َّن َم ا َأ ْس َف َل ِم ْن رُس َّ ِت ِه ىَل ُر ْك َبت َ ْي ِه ِم ْ ِإن َع ْو َرتِ ِه )أمحد من مس ند املك رثين‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ ‪8‬‬
‫من الصحابة(‬
‫‪Di dalam kitab Sunan al-Tirmiziy diriwayatkan sebagai berikut :‬‬

‫حدثنا عيل بن جحر اخربان حرمةل بن عبد العزيزبن الربيع بن سربة اجلهين عن معه عب د املكل بن الربي ع‬
‫بن س ربة عن ابي ه عن ج ده ق ال ق ال رس ول هللا ص لعم علم وا الص يب الص الة ابن س بع (س نني)‬
‫وارضبوه علهيا ابن عرش رواه الرتمزي‬ ‫‪9‬‬

‫‪Di dalam kitab Sunan al-Darimiy diriwayatkan sebagai berikut:‬‬

‫اخربان عبدهللا بن الزبري امحليدي حد ثنا حرمةل بن عبد العزيز بن الربي ع بن س ربة بن معب د اجله ين ح د‬
‫ثىن معى – عبد املكل بن الربيع بن سربة عن ابيه عن جده قال قال رس ول هللا ص لعم – علم وا الص يب‬
‫الصالة ابن سبع سنني – وارضبوه علهيا ابن عرش‪ -‬رواه ادلريم ‪-‬‬
‫‪10‬‬

‫‪Sedang di dalam kitab Sunan al-Baihaqiy diriwayatkan sebagai berikut :‬‬

‫اخربان ابو عبدهللا احلا فظ وابو طاهر الفقي ه واب و زكراي بن ايب احسا ق املزىك واب و س عيد بن اىب معرو‬
‫قالوا حد ثنا ابو العباس – محمد بن يعقوب اخربان محمد بن عبد هللا بن عبد احلمك املرصي حد ثن ا حرمةل‬
‫بن عب دالعزيز بن الربي ع بن س ربة عن معه عب د املكل بن الربي ع بن س ربة عن ابي ه عن ج ده ق ال ق ال‬
‫رسول هللا صلعم = علموا الصيب الصالة ابن سبع سنني وارضبوه علهيا ابن عرش= رواه الهبقى‪-‬‬
‫‪11‬‬

‫‪7‬‬
‫‪Global Islamic Software Company : Mausuah al-Hadis al-Syarif, Versi‬‬
‫‪2.00‬‬

‫‪8‬‬
‫‪Global Islamic Software Company : Mausuah al-Hadis al-Syarif, Versi‬‬
‫‪2.00‬‬
‫‪9‬‬
‫‪Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa> al-Tirmiziy, Sunan al-Tirmiziy,‬‬
‫‪juz II (Bairut: Da>r al-Fikr, 1980), h.259‬‬
‫‪10‬‬
‫‪Abu> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin ‘Abdurrah}ma>n al-Darimiy,‬‬
‫‪Sunan al-Darimiy, juz IV (t.tp. Da>r al-Ihya>’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, t.th.),‬‬
‫‪h. 302‬‬
‫‪11‬‬
‫‪Al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy, juz II ; h. 299.‬‬
10

G. Kandungan Hadi>s\

Menurut M. Syuhudi Ismail, sebuah hadits dinilai shahih


matannya apabila, tidak bertentangan dengan petunjuk al-
Qur’an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadits yang lebih
kuat. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah,
dan keempat, susunan kalimatnya menunjukan sabda kenabian.12

1. Tidak Bertentangan dengan Petunjuk Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an banyak ayat berbicara tentang shalat,


tetapi di sini penulis hanya mengambil ayat-ayat yang
mengandung perintah shalat dan tanggung jawab orangtua
terhadap keluarga (anak), diantaranya adalah:

a.    Ayat tentang Kewajiban Orangtua, QS. At-Tahrim ayat 6:


َ َ َ
‫ا‬WWَ‫ارةُ عَل َ ۡيه‬
َ ‫ج‬َ ‫ح‬ِ ‫س وَ ۡٱل‬ُ ‫ارا وَقُودُهَا ٱلنَّا‬ ٗ َ ‫سك ُ مۡ وَأ ۡلهِيك َ ُ مۡ ن‬ َ ُ‫منُوا ْ قُوٓا ْ أنف‬ َ ِ‫يَٰٓأيُّهَا ٱلَّذ‬
َ ‫ين ءَا‬
‫ن‬
َ ‫م ُرو‬ َ ‫ما ي ُ ۡؤ‬ َ ‫م َرهُ مۡ وَي َ ۡفعَلُو‬
َ ‫ن‬ َ ‫مٓا أ‬ َ ‫ه‬ َ َّ ‫ن ٱلل‬
َ ‫صو‬ ُ ‫داَّل ي َ ۡع‬ٞ ‫شدَا‬ِ ‫ظ‬ٞ ‫ة ِغاَل‬
ٌ َ ‫ملَٰٓئِك‬ َ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

Di dalam tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa yang


dimaksud dengan al-ahl (keluarga) di sini mencakup istri, anak,
budak laki-laki, dan budak perempuan. 13  Di dalam ayat ini
terdapat isyarat mengenai kewajiban seorang suami/bapak
mempelajari fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya dan
mengajarkannya kepada istri dan anak-anaknya.

12
M. Syuhudi Ismail,   metodologi Penelitian Hadits Nabi,  (Jakarta:
Bulan Bintang, 192), h. 63-64.
13
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 28, terj.
Anshori Umar Sitangal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1989), h. 273.
11

2. Ayat-Ayat tentang Perintah Shalat secara Umum. Yaitu


terdapat dalam QS. An-Nur ayat 56 dan QS. Al-Ankabut ayat
45:
َ ِ ‫مٓا أُو‬
ِ‫َن ۡٱلفَ ۡحشَ ٓاء‬
ِ ‫ىع‬
ۡ َ َّ ‫ن ٱل‬
ٰ ‫صلوٰةَ ت َ هَن‬ َّ ِ ‫صلَوٰ ۖ َة إ‬
َّ ‫ب وَأقِم ِ ٱل‬ ِ َٰ ‫ن ۡٱلكِت‬َ ‫م‬ ِ ‫ك‬َ ‫ي إِل َ ۡي‬َ ‫ح‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ۡٱت‬
ۗ َ
‫ن‬َ ‫صنَعُو‬ ۡ َ ‫ما ت‬
َ ‫م‬ ُ ‫وَ ۡٱل‬
ُ َّ ‫منك َ ۗ ِر وَلَذِ ۡك ُر ٱللَّهِ أ ۡبك َ ُر َوٱلل‬
ُ َ ‫ه ي َ ۡلع‬
Artinya:

Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah


kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-Nur: 56).
  
Artinya: 
َ َ
‫ن‬
َ ‫مو‬ َ ‫ل لَعَلَّك ُ مۡ ت ُ ۡر‬
ُ ‫ح‬ َ ‫سو‬ َّ ‫ وَءَاتُوا ْ ٱل َّزكَوٰةَ وَأطِيعُوا ْ ٱ‬Wَ‫صلَوٰة‬
ُ ‫لر‬ َّ ‫موا ْ ٱل‬
ُ ‫وَأقِي‬
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al
kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Ankabut: 45).

3. Ayat tentang Perintah Shalat untuk Keluarga, yaitu terdapat


dalam QS. Maryam ayat 55 dan QS. Thaha ayat 132:
َ ۡ
ِ ‫م ۡر‬
‫ضيّٗا‬ َ ‫عند َ َربِّهِۦ‬ َ ‫ وَٱل َّزكَوٰةِ َوكَا‬Wِ‫صلَوٰة‬
ِ ‫ن‬ ُ َ ‫م ُر أ ۡهل‬
َّ ‫هۥ ب ِٱل‬ َ ‫وَكَا‬
ُ ‫ن يَأ‬
rtinya:
Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan
menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di
sisi Tuhannya. (QS. Maryam: 55).

ُ WWَ ‫ك وَ ۡعَٰٱلقِب‬
‫ة‬ ُ ‫ك رِ ۡزقٗ ۖا ن َّۡح‬
َ ۗ ُ‫ن ن َ ۡر ُزق‬ ُ ‍ٔ‫ٱص&&& ۡرعَل َ ۡيهَ ۖا اَل ن َ ۡ ََٔ&ل‬
َ &&&‫س‬ ِ ‫ۡطَب‬ َ‫ و‬Wِ‫لَوٰة‬WW‫لص‬ َ WWَ ‫م ۡرأ َ ۡهل‬
َّ ‫ك ب ِٱ‬
ۡ
ُ ‫وَ أ‬
ٰ‫لِلت َّ ۡقوَى‬
Artinya: 
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak
meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki
kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang
yang bertakwa.
12

4. Ayat tentang Perintah Shalat kepada Anak, yaitu terdapat dalam QS. Lukman
ayat 17:
َ ۡ َ
َ ۖ َ ‫اب‬W ‫ص‬
‫ك‬ َ ‫ٓا أ‬WW‫م‬
َ ‫ى‬
ٰ ‫ٱص&&رعَل‬ ُ ‫َن ۡٱل‬
َ ۡ ِ ‫منكَرِ وَ ۡب‬ َ ‫وف وَ ۡٱن‬
ِ ‫هع‬ َ ‫م ۡرب ِ ۡٱل‬
ِ ‫م ۡع ُر‬ ُ ‫ وَ أ‬Wَ‫صلَوٰة‬
َّ ‫ي أقِم ِ ٱل‬ َّ َ ‫يَٰبُن‬
ُ ۡ ۡ َ ِ ‫ن ذَٰل‬
ِ‫مور‬ُ ‫م ۡنعَ زم ِ ٱلأ‬ ِ ‫ك‬ َّ ِ ‫إ‬
Artinya: 

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)


mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

2. Tidak Bertentangan dengan Hadits yang Lebih Kuat

‫س َع ْن َج ِري ِر‬ ِ ِ
ٌ ‫يل قَ َال َح َّدثَ َن َقْي‬
ُ ‫ال َح َّد َثنَا إمْسَاع‬ َ َ‫أل َح َّد َثنَا حَيْىَي ق‬
َ َ‫َح َّد َثنَأ حُمَ َّم ُدبْ ُن الْ ُمَثىَّن ق‬
ِ ‫الز‬
‫كاة‬ َّ ‫الص الَِة َوإِيتَ ِاء‬
َّ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َعلَى إِقَ ِام‬ ِ َ ‫ال بيعت رس‬
َ ‫ول اهلل‬
ِ ِ
ُ َ ُ ْ ََ َ َ‫بْ ِن َعْب د اهلل ق‬
.‫ُّص ِح لِ ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم‬ ْ ‫َوالن‬
3. Tidak Bertentangan dengan Akal Sehat, Indra dan Sejarah

Hadits tentang hukuman bagi anak yang tidak (belum) mau


melaksanakan shalat tersebut bisa difahami bahwa
kandungannya tidak bertentangan dengan akal sehat, indra
maupun sejarah. Hadits tersebut justru merupakan perintah
kepada kebajika; yaitu perintah kepada orangtua agar mendidik
anak-anaknya agar mau dan gemar melaksanakan shalat.

Muhammad Nur Abdul Hafidzh Suwaid, sebagaimana yang


dikutip oleh Muhammad al-Bani, menyebutkan pilar-pilar
pendidikan yang amat vital untuk meneguhkan benteng
keagamaan bagi anak, agar mereka tangguh menghadapi
godaan setan dan hawa nafsu, yaitu: shalat, masjid, puasa.14

Tujuan memerintahkan anak untuk shalat pada dasarnya


ialah untuk mengajarkan ketaatan dan disiplin sejak dini agar
mereka terbiasa melakukannya, di samping anak diberikan

14
Muhammad Al-Bani, Anak Cerdas Dunia Akhirat,  (Bandung: Mujahid
Pres, 2004), h. 273
13

keteladanan. Dalam prosesnya, anak disuruh mendirikan shalat


dengan pengertian dan cara-cara yang lembut dan kasih sayang,
namun mendidik anak dengan kasih sayang bukan berarti
meniadakan sama sekali hukuman terhadap perilaku anak yang
salah, dengan batasan-batasan tertentu dan tidak sewengang-
wenang.15

4. Susunan Kalimatnya Mengandung Sabda Kenabian.


Muhammad Shalahuddin al-Adlabi, berpendapat bahwa
terdapat beberapa hal yang tidak menyatakan ciri-ciri sabda
kenabian, di antaranya ialah; (1) mengandung makna yang
serampangan dengan pemberitahuan akan hal-hal yang
berlebihan, (2) mengandung makna yang rendah atau lebih
cenderung pembodohan terhadap akal, (3) lebih menyerupai
perkataan ulama khalaf tentang pembelaan pada golongan
tertentu.16

Dilihat dari susunan lafal matan, hadits yang diteliti


semuanya semakna yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal. Walaupun terdapat sedikit
perbedaan (yaitu pada kata Auladakum  ini pada matan hadits
yang diriwayatkan Abu Dawud, dan Shibyanakum  ini pada
matan yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal), namun perbedaan
lafal tersebut pada dasarnya tidak memiliki makna /kandungan
yang berbeda. Semuanya menyiratkan satu makna yaitu
perintah untuk mendirikan shalat.

Demikian pula pada lafal-lafal tentang batasan usia anak yang


diperintahkan untuk mendirikan shalat (diberikan hukuman “pukul” jika tidak
mau melaksanakan shalat). Walaupun ada sedikit perbedaan lafal, namun senada
dan memiliki pengertian yang sama, yakni perintah untuk mendirikan shalt
kepada anak dimulai dari usia tujuh tahun dan apabila disuia sepuluh tahun anak
tidak mau shalat maka ada perintah untuk melakukan pukulan terhadap anak.

15
Dalam memukul anak, Rasulullah SAW memberikan batasan antara lain bahwa seorang
anak boleh dipukul ketika sudah berumur 10 tahun. Demikian juga dalam memberikan hukuman
pada anak hendaknya tidak disertai dengan emosi atau rasa marah, tidak menggunakan tangan
secara langsung, tidak memukul wajah, dan jumlah pukulan tidak lebih dari 3 kali, dan hentikan
pukulan itu jika anak menyebut nama Allah. Lihat selengkapnya dalam Muhammad Nur ibn ‘Abd
Al-Hafid Suwaid, Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah li al-Tifli, (Beirut : Daar Ibn Kasir, Cet. 15,
1433 H/2012 M) h.193-201
16
M. Shalahuddin al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits,  terj. Qadiran
Nur Ahmad Musyafiq. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 270.
14

Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan oleh M. Shalahuddin al-Adlabi di


atas, apabila dilihat dari kesederhanaan redaksi matan hadits dan kandungan
matan hadits yang wajar, tidak berlebihan serta tidak ada isyarat pembelaan
terhadap golongan tertentu, dan tidak ada indikasi pembodohan terhadap akal
maka matan hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal yang diteliti
menunjukan ciri-ciri sabda kenabian.

H. Analisis dan Kesimpulan

Hadis tentang hukuman bagi anak yang tidak mau melaksanakan shalat
menjadi salah satu bentuk pembentukan karakter dapat dikemukakan dalam
beberapa hal berikut:
1. Prespektif Pendidikan

Dalam pendidikan dikenal dua istilah terkait dengan


metode pendidikn, yaitu reward and funishment (hadiah dan
hukum). Rewaard/hadiah bagi mereka yang “baik” dan
berpretasi, dan hukuman bagi mereka yang “bandel” dan belum
berprestasi. Hukuman digunakan sebagai metode pendidikan
pada dasarnya bukan bertujuan untuk menyakiti peserta didik,
melainkan sebagai motivasi/dorongan agar mereka mau
berusaha lebih baik lagi.

Dalam hal ini, al-Ghazali (tokoh pendidikan Islam),


sebagaimana yang dikutip Nasruddin Thaha, menyatakan bahwa
hukuman dalam pendidikan anak (termasuk dalam mendidik
shalat bagi anak) harus memiliki karakteristik yang didasarkan
pada tujuan kemaslahatan, bukan untuk menghancurkan
perasaan peserta didik, menyepelekan hrga dirinya dan
menghinakan gengsinya. Kewajiban pendidik kepada anak
didiknya adalah mengendalikan dan membinanya.17

Sedangkan Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip


Thaha, menyatakan bahwa dalam mendidik anak tidak boleh
menggunakan cara-cara kekerasan dan kebengisan, karena hal
itu akan melenyapkan kegembiraan peserta didik serta akan
menghilangkan kegiatan bekerja, dan pada akhirnya anak-anak
akan sering berdusta, menjadi pemalas, dan akan menjadi orang-
orang yang busuk hati. Jadi, barang siapa yang dididik dengan
17
Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya;
Imam al-Ghazali, Ibnu Khaldun,  (Jakarta: Mutiara, tt), h. 43.
15

kekerasan dan paksaan diantara anak-anak maka mereka akan


terpengaruhi oleh kekerasan dan paksaan itu dan merasa sempit
jiwa dalam perkembangannya.18  

Bila dicermati dari pendapatnya Ibnu Khaldun tersebut,


pada prinsipnya Ibnu Khaldun tidak setuju jika dalam mendidik
anak dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Oleh karenanya,
kalaupun metode hukuman (pukul) perlu digunakan ketika anak
tidak mau shalat, maka hendaknya hukuman (pukulan) itu tidak
mengandung kekerasan apalagi kebengisan. Pastinya hukuman
(pukulan) itu dilakukan sewajarnya, sehinga tidak menyakiti
apalagi membuat anak menjadi terancam.

Muhammad Rasyid Dimas, sebagaimana yang dikutip


Muhammad al-Bani, mengemukakan beberapa patokan atau
rambu-rambu dalam memberikan hukuman (berupa pukulan)
yang harus diperhatikan oleh para orangtua dan pendidik. yaitu:
1. Hukuman fisik merupakan jalan terakhir. 
2. Menghindari hukuman fisik saat marah.
3. Tidak memukul muka dan kepala. 
4. Anak didik dipukul setelah mencapai usia sepuluh tahun. 
5. Berilah kesempatan kepada anak untuk bertaubat dan
meminta maa. 
6. Tidak menyerahkan hukuman pada orang lain.
7. Tidak menjadikan hukuman sebagai sarana untuk
mempermalukan anak di depan umum.
8. Tidak berlebihan dalam menghukum dan tidak menjadikannya
sebagai pola permanen dalam berinteraksi dengan anak.19

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dalam konsepsi


pendidikan yakni dalam rangka menghormati peserta didik,
hukuman pada umumnya dan hukuman badan pada khususnya
dapat dilakukan apabila dipandang perlu untuk dapat
memperbaiki anak didik yang bersalah atau menyimpang dari
norma-norma yang telah ditentukan. Pada prinsipnya,
memberikan “pukulan” pada anak yang berusia sepuluh
tahun(mendekati masa baligh dan wajib untuk mendirikan

18
Ibid.,  h. 106.
19
Muhamad al-Bani,  Anak, .......  h. 49
16

shalat) adalah “boleh” sebagai jalan terakhir apabila anak tidak


mau melaksanakan shalat.

2. Prespektif Psikologi

Perintah mendidik anak untuk mendirikan shalat


(memberikan hukuman kepadanya apabila tidak mau
melaksanakan shalat) pada umur tujuh tahun sesuai dengan ilmu
jiwa perkembangan. Fase-fase pertumbuhan manusia, yaitu:

a.   Periode I (0tahun – sekitar 7 tahun), ialah periode penerimaan


atau penangkapan dunia luar dengan perantaraan indra;
b.    Periode II (sekitar 7 tahun – sekitar 12 tahun), yaitu periode
rencana abstrak. Anak mulai memperhatiakan masalah
kesusilaan dan moral, menilai perbuatan baik dan buruk dan
timbang rasa. Pada fase ini, anak sangat tepat diberi
pendidikan kesusialaan;
c.    Periode III (sekitar 12 tahun – sekitar 18 tahun), ialah periode
penemuan diri dan kepekaan sosial;
d.   Periode IV (sekitar 18 tahun ke atas), ialah periode pendidikan
tinggi.20

Berdasarkan klasifikasi fase-fase pertumbuhan anak


tersebut di atas, pada usia sepuluh tahun di mana anak mulai
belajar tentang moral dan kebaikan. Maka hukuman yang
diberikan kepadanya apabila tidak melaksanakan shalat
merupakan teguran baginya untuk memperbaiki perilakunya
menjadi lebih baik.
Bila dilihat dari akibat pemukulan terhadap anak yang luar
biasa pengaruhnya terhadap jiwa anak, maka pukulan
hendaknya semampunya untuk dihindari walaupun
diperbolehkan. Misalnya diganti dengan alternatif-alternatif lain
yang bisa mendidik, seperti melarang anak bermain di luar
rumah atau memtong uang jajannya (dilatih untuk tidak boros).
Dengan cara ini anak dilatih untuk belajar konsekuensi-
konsekuensi, bila berbuat baik akan mendapat kebaikan, dan
sebaliknya.

20
Jamaluddin Mahfudz, Psikologi Anak dan Remaja Muslim,  terj. Abdul
Rosyid Shidiq dan Ahmad Vathir (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), h. 26.
17

III

PENUTUP

Berdasarkan penelitian terhadap hadits tentang hukuman bagi anak yang


tidak mau shalat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad
bin Hanbal, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Berdasarkan I’tibar sanad, hadits yang diteliti termasuk hadits ahad masyhur.


2. Sanadnya shahih karena semua rawi dinilai Tsiqoh, dan sanadnya bersambung
serta terhindar dari Syudzudz dan ‘illah.
3. Matannya shahih  dan maqbul karena sesuia dengan kaidah keshahihan matan.
4. Dalam upaya membentuk karakter anak diperlukan berbagai tindakan, antara
lain adalah memberikan pukulan. Hukuman (pukul) bagi anak yang tidak mau
shalat (padahal sudah berumur sepuluh tahun) berdasarkan tinjauan pendidikan
dan psikologi, pada prinsipnya boleh asal masih dalam kategori wajar dan
dalam batas-batas tertentu.

Daftar Pustaka

al-Adlabi, M. Salahuddin, Metodologi Kritik Matan Hadis, terjemahan Qdiran


Nur Ahmad Musyafiq, Jakara: Gaya Media Pratama, 2004

al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy, Juz II,

al-Bani, Muhammad, Anak Cerdas Dunia Akhirat. Bandung: Mujahid Pres, 2004

al-Darimy, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman. Sunan al-Darimy, Juz


IV t.tp. : dar al-Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah, t.th.

Global Islamic Software Company, Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Versi 2.00

Ismail, M. Syuhudi., Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,


1992.

Mahfudz, Jamaluddin, Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Terjemahan Abdul


Rosyid Shidiq dan Ahmad Vathir. Jakarta: al-Kautsar, 2007

al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Jilid 28 terjemahan Anshori


Umar Sitangal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Babar. Semarang : CV.
Toha Putra, 1989.
18

Ni’matulloh, dkk., Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam,


dalam http://nimatulloh.blogspot.com, diakses pada tanggal 5
Pebruari 2013

Q-Anees, Bambang, dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis al-


Qur’an, Bandung: PT. Simbiosa Rekatama Media, 2007

Suprayogo, Imam. Generasi Miskin Tauladan, dalam http://www.facebook.com,


diakses pada tanggal 5 Februari 2013

Suwaid, Muhammad Nur ibn ‘Abd al-Hafid. Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah li


al-Tifli, Beirut: Daar Ibn Kasir, Cet 5=15, 1433H/2012M.

Thaha, Nashruddin, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya : Imam al-


Gazali, Ibnu Khaldun. Jakarta: Mutiara, t.th.

al-Tirmizy, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan al-Tirmizy, Juz II. Beirut: Daar al-
Fikr, 1980

PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF HADIS TARBAWIY


19

Dipresentasikan pada Diskusi Kelas Mata Kuliah Sudi Hadis Tarbawiy


Semester I Program Pascasarjana (S3) Pendidikan Agama Islam
IAIN Palu

Oleh

Mohamad Arfan Hakim


NIM. 03.11.01.17.006

Dosen Pengampu Mata Kuliah :

Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA


Dr. H. Ali Aljufr, Lc., MA
Dr. Ermawati, M.Ag.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU


PROGRAM PASCASARJANA (S3)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2018

Anda mungkin juga menyukai