Anda di halaman 1dari 4

Siapa yang tidak senang bertemu dengan anak yang akhlaknya baik?

Pasti secara
spontan orang akan bertanya “anak siapa ini” sebagai sebuah bentuk
penghargaan kepada orang tuanya. Dari zaman Rasulullah hingga zaman
millennial seperti sekarang, orang-orang berakhlak baik selalu akan menjadi
rujukan dan teladan masyarakat. Di era teknologi yang berkembang pesat dan
pertukaran informasi tanpa batas, seringkali akhlak dan etika pergaulan
dikesampingkan. Padahal kualitas-kualitas kemanusiaan hanya dapat diukur
pada orang dengan akhlak yang baik. Oleh karenanya nilai-nilai akhlak mulia
harus tetap terpelihara hingga akhir zaman. Akhlak menurut istilah seperti
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali adalah sebagai berikut:

‫الخلق عبارةعن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلي فكر ورؤية‬

Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan
pikiran (lebih dulu).

Apakah akhlak secara otomatis terbentuk pada diri anak ? Tentu saja
jawabannya, tidak otomatis. Ada proses belajar dan pembiasaan pada anak agar
tercapai akhlak mulia yang dimaksud. Sebelum membahas bagaimana cara
membentuk akhlak mulia pada diri anak-anak, kita akan bahas dahulu yang
dimaksud dengan akhlak mulia dalam Islam dan apa saja sifat-sifat baik yang
termasuk dalam akhlak mulia tersebut.

Apa yang dimaksud dengan Akhlak Mulia?

Menurut Luis Ma’lif dalam Kamus Al-Munjid, kata khuluq berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku, atau tabiat. Jika merujuk pada pendapat Imam Al-
Ghazali yang mengatakan bahwa akhlak adalah sesuatu yang sudah tertanam dan
tingkah laku lahir secara otomatis maka konsep ini selaras dengan konsep
karakter atau watak dalam psikologi. Menurut Kamus Psikologi ( C.P. Chaplin,
1995) karakter atau watak adalah satu kualitas atau sifat yang tetap terus
menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang
pribadi, suatu objek atau kejadian. Akhlak atau karakter tercermin pada perilaku
individu.

Dalam dunia yang serba cepat diiringi dengan kecepatan perkembangan


teknologi dan ilmu pengetahuan, orientasi sebagian besar orang adalah mengejar
kesuksesan, mengumpulkan materi dan kekuasaan. Apakah akhlak mulia yang
penuh dengan norma dan etika masih diperlukan dalam situasi seperti
sekarang ? Sebagai seorang muslim/muslimah, saya yakin jawabannya akhlak
mulia tetap harus dipertahankan hingga akhir zaman. Mengapa? Misi utama
diturunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW adalah untuk
memperbaiki perilaku manusia mulai sejak diturunkannya wahyu pertama
hingga akhir zaman. Dalam Surat Al-Qalam ayat 4 sebagai berikut:

‫ك لعععلى لخلل م‬
‫ق ععظظيمم‬ ‫عوإظنن ع‬

Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.


(QS. al-Qalam [68]: 4).

Artinya, Rasulullah sendiri adalah contoh dan teladan bagi kemuliaan akhlak
yang harus dicontoh oleh semua umat Islam. Akhlak mencerminkan bagaimana
ajaran-ajaran Qur’an ditampilkan oleh para pemeluknya. Jika akhlak mulia yang
ditampilkan maka wajah Islam sebagai ajaran Rahmatan Lil Alamiin akan
terpancar dari perilaku pemeluknya. Sebaliknya, jika akhlak buruk yang
ditampilkan pemeluknya, maka akan mencoreng citra ajaran Islam.
Kesimpulannya, akhlak mulia wajib dibentuk sejak dari masa anak-anak sebagai
bentuk syiar kemuliaan ajaran Al-Qur’an.

Bagaimana sih cara orang tua milenial mengasuh anak, apalagi di zaman yang
serba cepat seperti ini? Tapi, sebelum ke sana, kita tentu saja harus memahami,
ada berbagai alasan mengapa orang memutuskan untuk menikah. Ada yang
menikah karena jatuh cinta, dijodohkan orang tua, dikejar usia, kesepian dan
berbagai alasan lainnya. Allah SWT berfirman dalam surat Az-Zariyat: 49

‫عوظممن لكلل عشميمء عخلعمقعنا عزموعجميظن لعععلنلكمم تععذنكلروعن‬

“… dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu


mengingat kebesaran Allah”.

Ajaran Islam jelas menetapkan pernikahan adalah sebuah bentuk ibadah dan
dalam pernikahan terdapat misi mulia manusia untuk melahirkan keturunan,
regenerasi dan melanjutkan peradaban sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat Al-Syura:11

‫س عكظممثلظظه عشميءء ٌ عوهلعو‬


‫ض ِ عجعععل لعلكمم ظممن أعمنفلظسلكمم أعمزعواججا عوظمعن املعمنععاظم أعمزعواججا ٌ يعمذعرلؤلكمم ظفيظه ِ لعمي ع‬
‫ت عواملعمر ظ‬
‫عفاظطلر النسعماعوا ظ‬
‫صيلر‬‫النسظميلع املبع ظ‬

“(Allah) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan, dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan
pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu….Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusiapun demikian.


Tidak lain karena manusia diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban,
yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah di dunia ini (Quraish Shihab,
2007).

Dalam percakapan-percakapan dengan berbagai pasangan, jarang saya


mendengar alasan utama menikah adalah untuk memiliki anak. Namun secara
sadar, pasangan-pasangan ini memandang bahwa pernikahan akan menjadi satu
paket dengan kelahiran anak. Bukankah tujuan pernikahan adalah untuk
melanjutkan keturunan? Masalahnya pemahaman untuk melanjutkan keturunan
hanya berhenti pada ide untuk memiliki anak.

Sangat sedikit pasangan yang akan menikah berpikir tentang bagaimana


membesarkan dan mendidik anak. Sebagian besar orang berpikir melahirkan
anak, membesarkan dan mendidiknya adalah proses alamiah. Memang benar
bahwa proses mengandung dan melahirkan adalah proses alamiah, namun tidak
demikian dengan proses membesarkan, merawat dan mendidiknya.

Sebagian besar pasangan berpikir bahwa mengasuh anak adalah kewajiban


utama ibu saja sehingga menyepelekan peran ayah untuk mengasuh dan
mendidik anak, padahal fungsi dan peran seimbang ibu dan ayah sangat penting
untuk pembentukan karakter anak.

Orang tua perlu memiliki pemahaman dan keterampilan khusus tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pola asuh dan mendidik anak terlebih dalam era millenial
saat ini. Tantangannya tentu berbeda dengan old generation dimana teknologi
internet dan digital belum lahir. Akibatnya orang tua generasi pertama
peradaban millenial ini tentu saja belajar dari trial and error untuk
menyelaraskan pola asuhnya dengan perubahan zaman. Sungguh bukan suatu
pekerjaan mudah.

Ada banyak petuah-petuah di masa lampau yang sudah tidak lagi relevan bagi
Generasi Jaman Now. Misalnya jika dulu kita dinasihati orang tua kita untuk
harus sudah berada di rumah saat waktu Maghrib tiba, sekarang ini Generasi
Jaman Now, malah bisa tidak keluar rumah atau keluar kamar kamar sehari
semalam namun berkutat terus dengan gadgetnya sehingga melupakan
kewajiban sosialnya.
Kalau orang tua jaman dulu sering marah karena anaknya pulang dengan badan
penuh lumpur karena main di rawa atau sawah dengan teman-temannya, hari ini
banyak orang tua yang mengantarkan anaknya ke tempat terapi karena anaknya
tidak mampu untuk bersosialisasi.

Peradaban berubah, tantangan pola asuh juga berubah.


Pertanyaannya, apakah para orang tua yang hidup di Jaman Millenial ini dibekali
pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkan pola asuh sesuai dengan
tantangan jaman? Saya rasa jawabannya, belum.

Bukan berarti tidak ada informasi yang dapat diakses, sebaliknya orang
tua Jaman Now dibanjiri informasi yang pada akhirnya seringkali
membingungkan dan malah salah jalan. Karena panduan orang secara umum
sudah bukan lagi literatur, kitab suci ataupun sumber-sumber ilmiah lainnya
melainkan Mbah Google.

Pada poin dimana informasi dapat diperoleh dengan sangat mudah, justru orang
tua harus belajar menyeleksi informasi dan mengambil keputusan untuk
menerapkan pola asuh yang paling tepat bagi anak dan keluarganya.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana orang tua bisa mendapatkan informasi,


pengetahuan dan keterampilan agar dapat menerapkan pola asuh sesuai dengan
perkembangan jaman? Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad
SAW tidak lain adalah “Iqra! Bacalah!”.

Sejak berabad-abad lampau telah disuratkan dalam Qur’an surat Al-Alaq : 1-5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari a’laq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.
Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak
diketahuinya”.

Jika kita menarik kesimpulan bahwa manusia diperintahkan untuk selalu belajar,
maka orang tua Muslim Millenial wajib untuk belajar dari berbagai sumber
dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Qur’an dan Hadits serta Ijma’
ulama agar dapat belajar menjadi orang tua yang ideal. Wallahu a’lam
bishawab.

Anda mungkin juga menyukai