TINJAUAN PUSTAKA
Ratna Sitompul
Abstrak
Uveitis adalah peradangan uvea yang dapat mengakibatkan kebutaan. Uveitis dapat disebabkan oleh
peradangan di uvea saja, merupakan bagian dari penyakit sistemik (autoimun, infeksi, keganasan), perluasan
peradangan di kornea dan sklera, trauma, namun sebagian tidak diketahui penyebabnya (idiopatik). Uveitis
anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar dengan gejala nyeri, mata merah, fotofobia, dan penurunan tajam
penglihatan. Uveitis intermediet merupakan peradangan di pars plana namun sering diikuti vitritis dan uveitis
posterior. Gejala uveitis intermediet biasanya ringan, tidak disertai nyeri dan mata merah namun tajam penglihatan
dapat menurun akibat edema makula dan agregasi sel di vitreus. Uveitis posterior adalah peradangan di koroid dan
retina yang sering terjadi di negara berkembang karena tingginya penyakit infeksi (toksoplasmosis, tuberkulosis,
HIV, sifilis). Pasien mengeluh penglihatan kabur namun tanpa disertai mata merah, nyeri, atau fotofobia. Komplikasi
uveitis posterior adalah katarak, glaukoma, edema makula, keratopati, kekeruhan vitreus, ablasio retinae, dan atrofi
nervus optik. Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior. Panuveitis adalah peradangan
seluruh lapisan uvea. Diagnosis uveitis ditetapkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan mata,
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Terapi uveitis ditujukan untuk menekan inflamasi, perbaikan struktur
dan fungsi penglihatan, menghilangkan nyeri serta fotofobia. Kortikosteroid dan imunosupresan merupakan obat
pilihan untuk mengatasi inflamasi sedangkan NSAID untuk mengurangi nyeri dan sikloplegik untuk mencegah
sinekia posterior. Antimikroba diberikan bila uveitis disebabkan oleh infeksi. Penyakit yang mendasari uveitis harus
diatasi secara komprehensif untuk mencegah perburukan, komplikasi dan kebutaan.
Kata kunci: uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, panuveitis, autoimun, infeksi, trauma, peradangan
Abstract
Uveitis is an inflammation of the uvea which may result in blindness. Uveitis may be caused by limited inflamation
of the uveal tract, manifestation of systemic diseases (autoimmune, infection, cancer), expansion of inflammation
in the cornea and sclera, trauma or idiopathic. Anterior uveitis is an inflammation of the iris and cilliary body with
symptoms of pain, red eye, photophobia, and decrease in visual acuity. Intermediate uveitis is the inflammation of
the pars plana and frequently involves anterior vitreous and posterior uveitis. Clinical manifestation of intermediate
uveitis is usually mild without red eye and pain, however vision may decrease due to macular edema and cell
aggregation in vitreous. Posterior uveitis is an inflammation involving choroid layer, which is common in developing
countries due to high prevalence of infectious diseases (toxoplasmosis, tuberculosis, HIV, syphilis). Patient may
complain of blurry vision but not accompanied by pain, red eye, and photophobia. Complications of posterior uveitis
are cataract, glaucoma, macular edema, keratopathy, turbidity of vitreous, retinal detachment, and optic nerve
atrophy. The prognosis of posterior uveitis is worse than anterior uveitis. Panuveitis is an inflammation of the uvea
and surrounding structures (retina, vitreous). Diagnosis is made based on anamnesis, ophthalmic examination,
laboratory examination, and imaging. Treatment of uveitis is intended to reduce inflammation, minimize structural
destruction, prevent blindness, reduce pain and photophobia. Corticosteroid and immunosuppresant are the drugs
of choice to manage the inflammation, where NSAID is used to reduce pain and cyclopegic administration to
prevent posterior synechiae. Antimicrobial is given if uveitis is caused by infection. Underlying diseases of uveitis
must be treated comprehensively to prevent further progression, complications and blindness.
Keywords: anterior uveitis, intermediate uveitis, posterior uveitis, panuveitis, autoimmune, infection, trauma, inflammation
60
Vol. 4, No. 1, April 2016 Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis
61
Ratna Sitompul eJKI
62
Vol. 4, No. 1, April 2016 Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis
spondilitis dapat juga menimbulkan uveitis anterior panuveitis. Selain itu, dapat terjadi konjungtivitis,
akut, skleritis, episkleritis, dan keratitis. ulkus konjungtiva, episkleritis, dan skleritis. Pada
Pada artritis psoriasis, uveitis terjadi perlahan, kasus berat dapat timbul sinekia posterior, katarak,
melibatkan segmen posterior, dan mengenai kedua glaukoma, ablasio dan atrofi retina.2
mata.20 Komplikasi yang sering adalah sinekia Uveitis fakogenik adalah uveitis akibat
posterior, katarak, hipertensi okular, glaukoma, respons imun terhadap protein lensa dengan faktor
dan edema makula. Lesi psoriasis terdapat di kulit predisposisi berupa trauma, pasca-operasi, atau
kepala, tubuh, lengan, dan kaki.2 degenerasi kapsul lensa. Gejala klinisnya adalah
Artritis reumatoid juvenil merupakan penyebab mata merah, penglihatan kabur, nyeri, fotofobia,
tersering uveitis anterior pada anak yang berusia dan peningkatan tekanan intraokular. Apabila
kurang dari 16 tahun. Gejala artritis dapat berupa fragmen lensa masuk ke dalam cairan vitreus
oligoartikular dan poliartrikular. Gejala sistemik dapat timbul vitritis.2
meliputi demam, ruam, limfadenopati, dan Sarkoidosis adalah inflamasi granulomatosa
hepatosplenomegali. nonkaseosa di seluruh organ namun lebih sering
Sindrom uveitis fuchs adalah inflamasi di paru dan kelenjar limfe. Sarkoidosis sering
nongranulomatosa kronik dengan manifestasi menyebabkan uveitis anterior granulomatosa tetapi
uveitis anterior, heterokromia iris, dan katarak. Pada di Indonesia lebih jarang ditemukan. Kelainan
inflamasi berat, dapat terjadi vitritis dan koroiditis.2 terjadi di kedua mata berupa presipitat keratik,
Kolitis ulseratif chron dan penyakit whipple nodul di trabecular meshwork, vitreus keruh, lesi
adalah penyakit usus yang dapat menimbulkan multipel korioretina perifer, periflebitis segmental
uveitis anterior, keratitis, vitritis, retinitis, perdarahan dan nodular atau makroaneurisma retina, serta
retina, cotton-wool spots, dan koroiditis.2 nodul diskus optik.2
Tubulointerstitial nephritis and uveitis Oftalmia simpatika merupakan panuveitis
adalah penyakit yang menimbulkan gejala granulomatosa di kedua mata akibat trauma tajam
anemia, hipertensi, gagal ginjal, uveitis anterior, di mata atau pasca-operasi. Faktor risikonya
intermediet dan uveitis posterior. Inflamasi bersifat adalah prolaps uvea dengan gejala mata merah,
nongranulomatosa disertai edema diskus optik dan penglihatan kabur, dan fotofobia. Kelainan klinis
makula.2 berupa uveitis anterior, vaskulitis, ablasio retinae
Sindrom VKH ditandai dengan inflamasi di eksudatif, edema diskus optik, dan infiltrat koroid.2
jaringan bermelanosit seperti uvea, telinga, dan
meninges; sering terjadi pada ras Hispanik dan Uveitis Infeksi
Jepang serta berhubungan dengan HLA-DR1 dan Uveitis Toksoplasmosis
HLA-DR4. Gejalanya berupa uveitis, kelainan kulit, Sebanyak 20-60% kasus uveitis posterior
gangguan pendengaran dan sistem saraf. Uveitis disebabkan oleh T.gondii dengan gejala utama
anterior granulomatosa terjadi di kedua mata dan necrotizing chorioretinitis. Toksoplasmosis
uveitis posterior memberikan gambaran inflamasi kongenital biasanya di kedua mata sehingga
multifokal dengan infiltrasi difus di koroid. Gejala lain umumnya disertai strabismus, nistagmus, dan
adalah nodul dalen-fuchs, vitritis, papilitis, ablasio kebutaan. Pada orang dewasa retinokoroiditis
retinae eksudatif, depigmentasi fundus dan limbus toksoplasma biasanya akibat reaktivasi infeksi
(sugiura sign). Kelainan kulit meliputi alopesia dan kongenital. Lesi toksoplasmosis didapat
vitiligo sedangkan gangguan pendengaran dapat umumnya di satu mata namun jika dijumpai lesi
berupa tinitus, vertigo, dan tuli. Gangguan saraf aktif toksoplasmosis di kedua mata pada orang
berupa paresis nervus kranial dan ensefalopati. dewasa, perlu dipikirkan kemungkinan HIV. Dapat
Sindrom behcet adalah ulkus aftosa rekuren ditemukan lesi nekrosis fokal di retina, berwarna
setidaknya tiga kali dalam setahun disertai minimal putih kekuningan seperti kapas dan batas tidak jelas
dua gejala berikut: ulkus genital, inflamasi mata, (Gambar 2). Pada proses penyembuhan, batas lesi
lesi kulit, dan reaksi patergi. Gejala lain adalah menjadi lebih tegas disertai pigmentasi perifer.21
lesi vaskular, artritis, dermatografia, kelainan
saraf, penyakit hati dan ginjal. Keterlibatan mata
Uveitis Tuberkulosis
terjadi pada 70% kasus dan lebih berat pada
laki-laki. Kelainan terjadi di kedua mata dan Gambaran uveitis anterior tuberkulosis
sering kambuh namun dapat membaik secara umumnya iridosiklitis granulomatosa di kedua
spontan. Gejala okular meliputi uveitis anterior dan mata, nodul di tepi iris (nodul koeppe, Gambar 3)
63
Ratna Sitompul eJKI
Gambar 2. RetinokoroiditisToksoplasmosis.
Papil Bulat, Batas Tidak Tegas dengan
eksudat Berwarna Putih Kekuningan
di Daerah Makula.
Gambar 5.
Tuberkel Koroid pada TB Milier
Berupa Nodul Putih Keabu-abuan.
Uveitis Sifilis
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum
yang ditularkan melalui abrasi kulit atau mukosa
saat berhubungan seksual. Pada sifilis kongenital,
T.pallidum ditularkan melalui plasenta dari ibu
yang mengidap sifilis. Sifilis dapat menyebabkan
kelainan di semua organ termasuk mata dengan
gejala uveitis, keratitis, korioretinitis, retinitis,
vaskulitis retina, dan neuropati optik.2
Gambar 3. Nodul Koeppe di Tepi Pupil2 Uveitis merupakan manifestasi tersering
sehingga sifilis okular harus dicurigai sebagai
bagian dari infeksi sistemik. Uveitis dapat terjadi
6 minggu setelah infeksi primer namun dapat
muncul beberapa tahun setelah infeksi primer.
Uveitis terjadi di kedua mata berupa peradangan
granulomatosa atau nongranulomatosa. Di iris
dapat dijumpai nodul kekuningan (roseola) yang
merupakan dilatasi kapiler iris. Gejala lain adalah
korioretinitis, neuritis optik, dan neuroretinitis. Barile
64
Vol. 4, No. 1, April 2016 Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis
65
Ratna Sitompul eJKI
peradangan seluruh uvea yang menimbulkan sedangkan serologi treponema meliputi fluorescent
koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior. Dalam treponemal antibody absorbed dan T.pallidum
menegakkan diagnosis, perlu diperhatikan apakah particle agglutination.31
uveitis terjadi di satu mata atau di kedua mata. Optical coherence tomography (OCT)
Selain itu, perlu diperhatikan usia, ras, onset, merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat
durasi, tingkat keparahan gejala, riwayat penyakit memperlihatkan edema makula, membran
mata dan penyakit sistemik sebelumnya.2 epiretina, dan sindrom traksi vitreomakula. Saat
Slit-lamp digunakan untuk menilai segmen ini telah dikembangkan high-definition spectral-
anterior karena dapat memperlihatkan injeksi siliar domain OCT yang memberikan resolusi lebih tinggi
dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat dan waktu lebih singkat dibandingkan time-domain
keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik mata, hipopion OCT. Spectral-domain OCT bermanfaat pada
serta kekeruhan lensa.6,12 Pemeriksaan oftalmoskop uveitis dengan media keruh.32
indirek ditujukan untuk menilai kelainan di segmen USG B-scan sangat membantu memeriksa
posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina, segmen posterior mata pada keadaan media keruh
koroiditis dan kelainan papil nervus optik. misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan
Pemeriksaan laboratorium bermanfaat dapat membedakan ablasio retinae eksudatif
pada kelainan sistemik misalnya darah perifer dengan regmatosa serta membedakan uveitis
lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan akibat neoplasma atau abses. USG
antinuclear antibody.29,30 Pemeriksaan laboratorium B-scan dapat menilai penebalan koroid seperti
tidak bermanfaat pada kondisi tertentu misalnya pada sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang
uveitis ringan dan trauma. tenon yang sangat khas pada skleritis posterior.12
Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat Fundus fluoresen angiografi (FFA) adalah
dilakukan pemeriksaan PCR, kultur dan tes fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan
serologi. Sensitivitas serologi akan meningkat cepat setelah injeksi zat warna natrium fluoresen
bila disertai pemeriksaan koefisien goldmann- (FNa) intravena. FFA memberikan informasi
witmer yaitu membandingkan konsentrasi hasil mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan
pemeriksaan cairan akuos dengan serologi darah.2 koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi
Diagnosis pasti toksoplasmosis ditegakkan jika retina serta menilai integritas pembuluh darah saat
pemeriksaan IgM Toxoplasma memberikan hasil fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina. Fluoresen
positif atau jika titer antibodi IgG Toxoplasma diekskresi dalam 24 jam dan pada waktu tersebut
meningkat secara bermakna (4x lipat) atau terjadi dapat menyebabkan urin pasien berwarna oranye.
konversi IgG dari negatif ke positif pada pemeriksaan Cara Pemeriksaan FFA. Sebanyak 5 ml
kedua dengan interval 2-3 minggu. Pemeriksaan fluoresen 10% disuntikkan intravena kemudian
cairan intraokular dengan PCR sangat spesifik. mata pasien disinari cahaya biru dan fundus
Perbandingan kadar IgG Toxoplasma cairan akuos dilihat melalui filter kuning. Pada keadaan normal,
dan serum cukup sensitif (4890%). fluoresen cahaya biru tidak dapat menembus filter
Diagnosis tuberkulosis okular ditegakkan kuning sehingga tidak terlihat apapun. Fluoresen di
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan mata, dan dalam pembuluh koroid dan retina akan menyerap
pemeriksaan penunjang seperti rontgen toraks, sinar biru dan memancarkan sinar kuning sehingga
tes tuberkulin, dan pemeriksaan sputum dengan sinar kuning akan melewati filter dan tervisualisasi.
pewarnaan ziehl-neelsen. Pemeriksaan lainnya Hanya jaringan mengandung fluoresen yang dapat
adalah PCR (menggunakan spesimen dari aqueous dilihat.
tap atau biopsi vitreus), dan interferon-gamma Pada keadaan normal, fluoresen tidak dapat
release assay (IGRA). PCR sangat spesifik untuk melewati tight cellular junctions yaitu endotel
mendeteksi Mycobacterium namun sensitivitasnya pembuluh darah retina dan epitel pigmen retina
bervariasi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan sedangkan di sirkulasi koroid, fluoresen bebas
gejala klinis dan ditemukannya Mycobacterium dari keluar melalui kapiler koroid menuju membran
spesimen okular (kultur atau amplifikasi DNA). bruch. FFA dapat menggambarkan keadaan sawar
Pemeriksaan serologi sifilis dibagi menjadi darah-retina dan setiap kebocoran fluoresen ke
nontreponema dan treponema. Serologi retina merupakan kondisi abnormal. Kapiler di
nontreponema meliputi venereal disease research prosesus siliaris bersifat permeabel sehingga
laboratory (VDLR) dan rapid plasma reagin fluoresen segera terlihat di akuos setelah injeksi
intravena. Fluoresen di akuos dan vitreus
66
Vol. 4, No. 1, April 2016 Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis
memancarkan sinar kuning yang merefleksikan kapiler) fokal atau difus menunjukkan vaskulitis yang
struktur berwarna putih di dalam mata seperti dapat terjadi pada tuberkulosis, sarkoidosis, lupus
diskus optik, serat bermielin, dan eksudat kasar, eritematosus, penyakit behcet, dan lain-lain.
sehingga struktur tersebut tampak seolah-olah Efek samping FFA adalah perubahan warna
berfluoresensi (pseudofluoresen). kulit yang menjadi lebih gelap akibat zat warna
Dalam keadaan normal fluoresen memerlukan fluoresen, melihat bayangan merah setelah
waktu 10-15 detik untuk mencapai arteri siliaris terpapar kilatan cahaya kamera, perubahan
brevis. Sirkulasi koroid terjadi satu detik lebih awal warna urin, mual dan muntah pada 10% kasus
sebelum sirkulasi retina dan fluoresen berada di yang umumnya bersifat sementara dan tidak
sirkulasi retina selama 15-20 detik. FFA dibagi dibutuhkan tatalaksana khusus. Selain itu dapat
menjadi lima fase: terjadi vasovagal syncope pada 1% kasus, reaksi
1. Fase koroid anafilaksis seperti bronkospasme, urtikaria,
Fluoresen masuk melalui arteri siliaris brevis dan hipotensi (<1% kasus), henti jantung dan henti
mengisi lobus-lobus di kapiler koroid yang akan napas (<0,01% kasus) yang memerlukan resusitasi
terlihat sebagai gambaran bercak-bercak, diikuti jantung paru. Vasovagal syncope umumnya tidak
pengisian dan keluarnya fluoresen dari kapiler memerlukan terapi namun jika terjadi bradikardia
koroid kapilaris yang memberikan gambaran berat diberikan atropin intravena. Untuk mengatasi
kebocoran fluoresen difus. Pembuluh darah anafilaksis, diberikan klorfeniramin 10mg IV,
silioretina dan kapiler diskus optik prelaminar hidrokortison 100mg IV, dan oksigen sedangkan
terisi pada fase ini. untuk hipotensi dan bronkospasme diberikan
adrenalin 1:1000 sebanyak 1ml IM.
2. Fase arteri
Pengisian arteri retina sentral terjadi satu detik
Tata Laksana
setelah pengisian koroid.
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah
3. Fase kapilaris
untuk menekan reaksi inflamasi, mencegah dan
Fase kapiler terjadi dengan cepat setelah fase
memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki
arteri. Jaringan kapiler perifovea terlihat sangat
fungsi penglihatan serta menghilangkan nyeri dan
mencolok karena sirkulasi koroid di bawahnya
fotofobia. Kortikosteroid topikal merupakan terapi
tersamarkan oleh pigmen luteal di retina dan
pilihan untuk mengurangi inflamasi yaitu prednisolon
pigmen melanin di epitel pigmen retina. Bagian
0,5%, prednisolon asetat 1%, betametason 1%,
tengah cincin kapiler merupakan zona avaskular
deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%.
fovea sehingga tidak ada fluoresen yang
Injeksi kortikosteroid periokular diberikan pada
mencapai daerah tersebut.
kasus yang membutuhkan depo steroid dan
4. Fase vena
menghindari efek samping kortikosteroid jangka
Pada pengisian awal vena, fluoresen tampak
panjang. Kortikosteroid sistemik diberikan untuk
sebagai garis halus yang menghilang setelah
mengatasi uveitis berat atau uveitis bilateral.
seluruh vena terisi.
Penggunaan kortikosteroid harus dipantau karena
5. Fase akhir meningkatkan tekanan intraokular, menimbulkan
Setelah 10-15 menit, hanya sebagian kecil katarak, glaukoma, dan meningkatkan risiko infeksi
fluoresen yang tersisa di sirkulasi darah. bakteri dan jamur bila digunakan dalam jangka
Fluoresen yang telah meninggalkan sirkulasi panjang. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan
menuju ke struktur okular tampak jelas pada jangka panjang harus diturunkan secara perlahan.2
fase ini. Agen imunosupresan diberikan bila peradangan
tidak membaik dengan kortikosteroid atau sebagai
Pada uveitis, pemeriksaan FFA bermanfaat obat pendamping agar kortikosteroid tidak
mendokumentasikan fundus saat awal dan digunakan untuk jangka waktu lama dan dosis tinggi.
selama perjalanan penyakit, mengikuti respons Imunosupresan dapat dipertimbangkan sebagai terapi
terapi, membedakan uveitis aktif atau tidak aktif, lini pertama pada penyakit behcet, granulomatosis
mengonfirmasi kelainan yang terjadi seperti edema wegener, dan skleritis nekrotik karena penyakit
makula sistoid, neovaskularisasi koroid, vaskulitis tersebut dapat mengancam jiwa. Imunosupresan
retina, mengidentifikasi daerah kapiler non-perfusi dan dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor
neovaskularisasi retina. Pewarnaan dan kebocoran sel T, dan sitotoksik. Golongan antimetabolit adalah
fluoresen dari pembuluh darah retina (arteri, vena, azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat mofetil.
67
Ratna Sitompul eJKI
Supresor sel T meliputi siklosporin dan takrolimus sama dengan dokter spesialis penyakit dalam
sedangkan golongan sitotoksik adalah siklofosfamid atau spesialis paru. Pengobatan harus teratur
dan klorambusil. Efikasi agen imunosupresan dan dikontrol ketat agar memberikan hasil yang
baru tercapai setelah beberapa minggu sehingga baik. Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan
pada awal penggunaan harus dikombinasi dengan bersama obat anti tuberkulosis (OAT) untuk
kortikosteroid.33 Penghambat TNF- diberikan mengurangi kerusakan jaringan mata akibat
pada penyakit behcet sedangkan infliksimab dan inflamasi terutama pada minggu-minggu awal
adalimumab digunakan bila uveitis tidak membaik pengobatan. Kortikosteroid tidak boleh diberikan
dengan metotreksat.34 tanpa OAT karena mengakibatkan infeksi meluas.
NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri Terapi tuberkulosis okular sama dengan
dan inflamasi sedangkan siklopegik diberikan tuberkulosis paru yaitu kombinasi isoniazid,
untuk mencegah sinekia posterior. Obat yang rifampisin, pirazinamid, dan etambutol sebagai
diberikan adalah siklopentolat 0,5-2% dan terapi awal selama dua bulan, dilanjutkan dengan
homatropin. Siklopentolat menginduksi siklopegik regimen alternatif selama 4 bulan. Lama pengobatan
dalam waktu 25-75 menit dan midriasis dalam 30- dapat diperpanjang pada kasus multi-drug
60 menit; efek dapat bertahan selama satu hari. resistance atau pada individu yang memberikan
Homatropin merupakan terapi siklopegik pilihan respons lambat terhadap terapi. Pemberian OAT
untuk uveitis; menginduksi siklopegik dalam 30-90 harus berhati-hati karena dapat menimbulkan efek
menit dan midriasis 10-30 menit. Efek siklopegik samping yang berat. Etambutol dapat menimbulkan
bertahan 10-48 jam sedangkan midriasis bertahan neuritis optik, diskromatopsia merah-hijau, skotoma
6 jam-4 hari. Sulfas atropin diberikan sebagai sentral, edema diskus, dan atrofi optik. Isoniazid,
antiinflamasi dan midriatikum yang bertahan rifampisin, pirazinamid bersifat hepatotoksik dan
selama dua minggu. isoniazid dapat menimbulkan neuropati perifer.36
Sampai saat ini pengobatan toksoplasmosis Pada uveitis yang disebabkan oleh infeksi
okular belum memberikan hasil yang memuaskan. bakteri, antibiotik diberikan selama 2-3 hari,
Multiplikasi parasit memang dapat dihambat sehingga setelah itu dapat ditambahkan kortikosteroid untuk
destruksi jaringan retina dan koroid berkurang menekan inflamasi. Penisilin merupakan antibiotik
namun parasit belum dapat diberantas seluruhnya. lini pertama untuk terapi sifilis dan diberikan setiap
Obat hanya membunuh takizoit T.gondii dan tidak 4 jam selama 10-21 hari disertai kortikosteroid
membasmi stadium kista, sehingga hanya mengobati untuk mengurangi inflamasi.2 Penisilin G benzatin
infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi diberikan 2.000.000-4.000.000 U IM setiap 4 jam
menahun yang berisiko aktif kembali. selama 10-14 hari dilanjutkan 2.400.000 U IM
Kotrimoksazol diberikan dengan dosis setiap minggu selama 3 minggu.
trimetoprim 160mg/sulfametoksazol 800mg dua kali Pengobatan VZV berupa asiklovir 800mg
sehari selama 4-6 minggu. Klindamisin 300mg empat 5 kali sehari dengan terapi suportif midriatikum
kali sehari atau pirimetamin dapat ditambahkan pada dan kortikosteroid untuk menekan inflamasi. HSV
pemberian kotrimoksazol. Pirimetamin diberikan diobati dengan asiklovir 400 mg 5 kali sehari atau
dengan loading dose 75100mg selama 12 hari famsiklovir dan valasiklovir. Prednisolon asetat 1%
diikuti dosis 2550mg per hari selama 4 minggu. dan siklopegik diberikan sebagai terapi suportif.
Asam folinat 5mg tiga kali seminggu diberikan Antivirus lainnya adalah valgansiklovir, gansiklovir,
untuk mengurangi trombositopenia, leukopenia foskarnet, dan sidofovir.27
dan defisiensi asam folat. Sulfadiazin diberikan 1g Uveitis yang disebabkan oleh jamur diobati
empat kali sehari selama 34 minggu, biasanya dengan tetes mata antijamur dan pada infeksi
dalam kombinasi dengan pirimetamin. Pilihan lain berat diberikan antijamur sistemik. Tetes mata
adalah azitromisin 250500mg per hari dikombinasi amfoterisin B 0,15% diberikan setiap jam.
dengan pirimetamin, asam folinat dan prednisolon. Antijamur lainnya adalah tetes mata natamisin 5%
Jika lesi terdapat di makula dan sekitarnya, diberikan tiap jam atau flukonazol 0,3% tiap jam dan salep
prednisolon 1mg/kg berat badan sebagai terapi awal mata natamisin 5% tiga kali sehari. Obat antijamur
lalu dosis diturunkan bergantung respons klinis. oral yang dapat diberikan adalah flukonazol
Pemberian prednisolon dimulai 2448 jam setelah 400mg per hari atau vorikonazol 2x200mg per
terapi antitoksoplasma.35 hari, atau itrakonazol 400-600mg per hari pada
Tata laksana tuberkulosis okular sebaiknya coccidiodimycosis. Infeksi Candida yang terbatas
dilakukan oleh dokter spesialis mata bekerja di koroid dan retina sangat jarang ditemukan;
68
Vol. 4, No. 1, April 2016 Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis
sebagian besar berupa endoftalmitis. Pada kasus 8. Nussenblat RB, Whitcup SM. Uveitis: fundamentals &
tersebut, pilihan antijamur oral adalah flukonazol clinical practice. Edisi ke-4. California: Elsevier; 2010.
400 mg per hari atau voriconazol 2x200 mg per 9. Babu BM, Rathinam SR. Intermediate uveitis. Indian J
hari.37,38 Pada infeksi di vitreus atau endoftalmitis Ophthalmology. 2010;58(1):217.
10. Browing AC, Calladine D, Collins N, Harmer AW,
kandida persisten, antijamur diberikan secara
Amoaku WM. HLA typing of a Hong Kong Chinese
intravitreal yaitu amfoterisin B (5-10g/0,1ml) atau
family with intermediet uveitis. Br Ophthalmology.
vorikonazol (100g/0,1ml).39 2006;90(50):657.
Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki 11. Pederson JE, Kenyon KR, Green WR, Maumenee AE.
penglihatan. Operasi dilakukan pada kasus uveitis Pathology of pars planitis.1978;86(6):76274.
yang telah tenang (teratasi) tetapi mengalami 12. Khairallah M, Hmidi K, Jelliti B, Hasnaoui W, Zaouali S,
perubahan permanen akibat komplikasi seperti Jenzeri S, et al. Clinical characteristics of intermediate
katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio retina. uveitis in Tunisian patients. Int Ophthalmol.
Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi 2010;30(5):5317.
dan steroid intraokular atau periokular dapat 13. Sudharshan S, Ganesh SK, Biswas J. Current approach
diberikan pasca-operasi.40 in the diagnosis and management of posterior uveitis.
Kekeruhan vitreus sering terjadi pada Indian J Ophthalmol. 2010;58(1):2943.
14. Durrani OM, Tehrani NN, Marr JE, Moradi P, Stavrou P,
uveitis intermediet dan posterior sedangkan
Murray PI. Degree, duration, and causes of visual loss
neovaskularisasi diskus optik dan retina sering
in uveitis. Br J Ophthalmol. 2004;88(9):1159-62.
menimbulkan perdarahan vitreus. Vitrektomi 15. Bansal R, Gupta V, Gupta A. Current approach in the
ditujukan untuk memperbaiki tajam penglihatan diagnosis and management of panuveitis. Indian J
bila kekeruhan menetap setelah pengobatan.40 Ophthalmol. 2010;58(1):4554.
16. Mesquida M (editor). Advances in the treatment of
Penutup noninfectious uveitis with biologics: anti-TNF and
Uveitis merupakan salah satu penyebab beyond. California: OMICS Group; 2014.
kebutaan di negara berkembang. Tata laksana 17. Feltkamp TE, Ringrose JH. Acute anterior uveitis
and spondyloarthropathies. Curr Opin Rheumatol.
uveitis bertujuan untuk menekan reaksi inflamasi,
1998;10(4):3148.
memperbaiki struktur dan fungsi penglihatan,
18. Khan MA, Haroon M, Rosenbaum JT. Acute anterior
menghilangkan nyeri dan fotofobia. Obat yang dapat uveitis and spondyloarthritis: more than meets the eye.
digunakan adalah kortikosteroid, imunosupresan, Curr Rheumatol Rep. 2015;17:59.
NSAID, siklopegik dan antimikroba bila terdapat 19. Singh S, Sonkar GK, Singh U. Association of various
infeksi. Penyakit yang mendasari uveitis harus inflammatory diseases with human leukocyte antigens
diatasi secara komprehensif untuk mencegah B27, B7, Bw4 and Bw6 in patients with SSA. Rheumatol
perburukan dan komplikasi. Int. 2009;29:10136.
20. Percival D, Barros S, Conde RA, Bonfiglioli R, Bertolo
Daftar Pustaka MB, Samara AM. Characterization and outcome of
uveitis in 350 patients with spondyloarthropathies.
1. Miserocchi E, Fogliato G, Modorati G, Bandello F.
Rheumatol Int. 2006;26:11436.
Review on the worldwide epidemiology of uveitis. Eur
21. Park YH, Nam HW. Clinical features and treatment
J Ophthalmol. 2013;23(5):705-17.
of ocular toxoplasmosis. Korean J Parasitol.
2. Kanski J, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systematic
2013;51(4):3939.
approach. Edisi ke-8. Australia: Elsevier; 2016.
22. Thompson MJ, Albert DM. Ocular tuberculosis. Arch
3. Acharya NR, Tham VM, Esterberg E, Borkar DS,
Ophthalmol. 2005;123(6):844-9.
Parker JV, Vinoya AC, et al. Incidence and prevalence
23. Barile GR, Flynn TE. Syphilis exposure in patients with
of uveitis. JAMA Ophthalmol. 2013;131(11):140512.
uveitis. Ophthalmology. 1997;004(10):16059.
4. Faiz I, Al-Shakarchi. Pattern of uveitis at a referral
24. Amaratunge BC, Camuglia JE, Hall AJ. Syphilitic
center in Iraq. Middle East Afr J Ophthalmol. 2014;
uveitis: a review of clinical manifestations and
21(4):2915.
treatment outcomes of syphilitic uveitis in human
5. Suttorp-Schulten MSA, Rothova A. The possible
immunodeficiency virus-positive and negative patients.
impact of uveitis in blindness: a literature survey. Br J
Clin Experiment Ophthalmol. 2010;38(1):6874.
Ophthalmol. 1996;80(9):8448.
25. Kongyai N, Sirirungsi W, Pathanapitoon K, Tananuvat
6. Islam N, Pavesio C. Uveitis (acute anterior). BMJ Clin
N, Kunavisarut P, Leechanachai P, et al. Viral causes
Evid. 2010:0705.
of unexplained anterior uveitis in Thailand. Eye (Lond).
7. Agrawal RV, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current
2012;26:52934.
approach in diagnosis and management of anterior
26. Jap A, Chee SP. Viral anterior uveitis. Curr opin
uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010;58(1):119.
Ophthalmol. 2011;22(6):4838.
69
Ratna Sitompul eJKI
27. Pleyer U, Chee SP. Current aspects on the management 34. Levy-Clarke G, Jabs DA, Read RW, Rosenbaum JT,
of viral uveitis in immunocompetent individuals. Clin Vitale A, Van Gelder RN. Expert panel recommendations
Ophthalmol. 2015;9:101728. for the use of anti-tumor necrosis factor biologic
28. Sandler G. The importance of the history in the medical agents in patients with ocular inflammatory
clinic and the cost of unnecessary tests.Am Heart J. disorders.Ophthalmology. 2013;1221(3):785-96
1980;100(6 Pt 1):928-31. 35. Woods AC. Modern concepts of the etiology of
29. Dunn JP. Uveitis.Prim Care. 2015;42(3):305-23. uveitis.Am J Ophthalmol. 1960;50:117087.
30. Wills Eye Hospital.The Wills Eye Manual: office and 36. Kementerian Kesehatan RI. Panduan tata laksana
emergency room diagnosis and treatment of eye tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS
disease. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott; 2008. untuk praktik dokter swasta. Jakarta: Kementerian
31. Kiss S, Damico FM, Young LH. Ocular manifestations Kesehatan RI; 2012.
and treatment of syphilis. Semin Ophthalmol. 37. New Orleans Academy of Ophthalmology. Vitreo-
2015;20(3):1617. retinal and uveitis update. New York: Kugler Pub; 1998.
32. Major JC, Wykoff CC, Mariani AF, Chen E, Croft DE, 38. Foster CS, Vitale AT. Diagnosis and treatment of
Brown DM. Comparison of spectral-domain and time- uveitis. Edisi kedua. New Delhi: Jaypee Brothers
domain optical coherence tomography in the detection Medical Publisher; 2013.
of neovascular age-related macular degeneration 39. Huang JJ, Gaudio PA . Ocular inflammatory disease
activity. Retina. 2014;34(1):4854. and uveitis manual: diagnosis and treatment .
33. Jabs DA, Rosenbaum JT, Foster CS, Holland GN, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
Jaffe GJ, Louie JS, et al. Guidelines for the use of 40. American Academy of Ophthalmology. Intraocular
immunosuppressive drugs in patients with ocular inflammation and uveitis.Basic and clinical science
inflammatory disorders: recommendations of an expert course. San Francisco: American Academy of
panel.Am J Ophthalmol. 2000;130(4):492-513. Ophthalmology; 2007-2008.
70