Disusun oleh :
Syawali Safitri (202410048)
Sulthan Rafif Maulana (202410028)
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam selalu kita curah
limpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing
umatnya di jalan yang benar.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
memberikan wawasan untuk pembaca bagi pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar belakang......................................................................................................1
B. Rumusan masalah.................................................................................................1
C. Tujuan penulis......................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN..............................................................................2
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
iii
95
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulis
Agar mengetahui Apa Matan hadis tentang konsep pendidikan At-Ta'lim dalam
perspektif hadis, Makna/kata kunci hadis berdasarkan kaidah bahasa arab, dan relefansi
makna hadis dalam pendidikan kontemporer
96
BAB II
(PEMBAHASAN)
َ ََّان ق
ال َ ال َح َّدثَنَا
َ صالِ ُح ب ُْن َحي َ َاربِ ُّي قِ أَ ْخبَ َرنَا ُم َح َّم ٌد هُ َو اب ُْن َساَل ٍم َح َّدثَنَا ْال ُم َح
ه قَا َلcِ ال َعا ِم ٌر ال َّش ْعبِ ُّي َح َّدثَنِي أَبُو بُرْ َدةَ َع ْن أَبِي َ َق
menikahinya, maka baginya dua pahala". Berkata 'Amir: "Aku berikan permasalahan ini
kepadamu tanpa imbalan, dan sungguh telah ditempuh untuk memperolehnya dengan
menuju Madinah.
Pengertian pendidikan yang ditawarkan dari kata al-ta'lim pada hadis di atas
adalah proses pemindahan seperangkat nilai antar manusia seperti yang dinyatakan oleh
Abdul Fattah Jalal dalam Samsul Nizar bahwa pada kata al-ta'lim secara implisit selain
menanamkan aspek kognitif dan psikomotorik, juga aspek afektif, karena pada kata al-
ta'lim juga ditekankan pada prilaku yang baik (akhlak al-karimah).
Al-ta'lim lebih bersifat universal yaitu sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Manusia
memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan inilah yang menjadi pembeda antara
manusia dan binatang, sehingga perlu adanya pembinaan pemikiran yang baik.
Pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta
didik. Melalui pengembangan akal, peserta didik akan dapat dibimbing untuk
menciptakan hubungan kerja sama sosial dalam kehidupannya guna mewujudkan
kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
keberadaan pendidikan merupakan bahagian integral dari konstruksi sebuah peradaban.
Proses ini merupakan upaya mulia karena berhubungan dengan penyebaran ilmu
pengetahuan sebagai salah satu tugas manusia yakni khalifah fil ardh.
( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus
manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’
seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah mengeluarkan dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Perkataan ta‟lim secara bahasa pula dipetik dari kata dasar „allama -yu„allimu-
ta‟liman. Secara rinci mempunyai makna dasar sebagai berikut: berasal dari kata dasar
alama-ya‟malu yang berarti: mengeja atau memberi tanda; dan kaya dasar alima-
ya‟malu yang berarti: mengerti, mengetahui sesuatu atau memberi tanda. (Mahmud
Yunus, 2010: 277). Dalam bahasa Indonesia istilah ta‟lim adalah pengajaran. Dari dua
pengertian dasar di atas, maka ta‟lim mepunyai pengertian : “usaha untuk menjadikan
seorang mengenal tanda-tanda yang membedakan sesuatu dari lainnya, dan mempunyai
pegetahuan dan pemahaman yang bennar tentang sesuatu”. Contohnya ketika Allah
memberitahu Adam as. nama-nama benda yang ada dihadapannya.
Menurut Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar arti ta‟lim adalah proses transmisi
berbagai ilmu penngetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu. Kemudian Al-Maraghi berpendapat melalui pemaknaan ayat di atas, bahwa
ta‟lim adalah pengajaran dilaksanakan secara bertahap, sebagaimana tahapan Nabi
Adam as. mempelajari, menyaksikan, dan menganalisa asma-asma yang diajarkan oleh
Allah SWT kepadanya. Ini berarti, ta‟lim mencakup aspek kognitif saja, belum
mencapai pada domain lainnya. (Ahmad Izzan dan Saehudin, 2012: 2). Ta‟lim secara
umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata.Hal ini
memberikan pemahaman bahwa ta‟lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu
pengetahuan dari pengajar (mu‟allim) dan yang diajar (muta‟alim).
Ilmu pengetahuan menurut Islam merupakan landasan kuat bagi keimanan dan
sekaligus pedoman amal dalam meningkatkan kualitas hidup manusia untuk
memperoleh ridha Allah SWT. Konsep taklim secara filosofis dalam alQur’an
digunakan khusus untuk menunjukkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
diulang dan dikembangkan, sehingga menghasilkan pengaruh ke arah ketinggian
spiritaul pada diri muta’allim. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat digali melalui
budaya baca dan budaya tulis – bukan sekedar budaya lisan dan menghapal – dan dapat
99
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan muallim. kata
muallim adalah isim fa’il dari kata allama, yuallimu, ta’lim. Istilah "mu'allim", sebagai
istilah pendidik pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih
terfokus pada pemindahan ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan budaya yang dimiliki
seseorang atau sekelompok kepada orang yang belum memilikinya. Untuk mengetahui
makna ta’lim dalam hakikat pendidik dalam Islam, maka dapat kita kaji melalui makna
ulama. Sebab kata ulama masih satu akar kata dengan kata ta’lim, yaitu dari kata kerja
dasar alima-ya’lamu, ilmun, ãlimun, alímun, ulamã’. Jadi makna pendidik berdasarkan
makna ta’lim dapat kita tinjau dari pengkajian makna ulama dalam al-Qur’an.
Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan sunnah Nabi agar terus
berkembang pemahaman sesuai dengan aktualitas zaman yang berjalan mendorong
sebagian ulama dan sarjana muslim dalam menyajikan seperangkat pendekatan baru
dalam memahami hadis Nabi.
Fase modern-kontemporer ini dapat dikatakan sebagai periode keemasan dalam
metode pemahaman hadis. hal ini tentu tidak berlebihan, dikarenakan kekayaan
pemikiran ulama/pengkaji hadis yang memfokuskan dalam kajian penelitan makna
yang secara tidak langsung juga ikut andil dalam membantu mengungkap makna yang
terkandung dalam hadis dengan perangakat dan pendekatan yang mereka hadirkan,
khususnya yang memang memfokuskan dalam metode, perangkat, pendekatan dalam
pemahaman hadis.
a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis
Dan diantara ulama, sarjana Muslim dan pengkaji hadis pada periode modern ini
yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap terciptanya pembaruan
pemikiran dalam islam –atau meminjam istilah Daniel w. Brown dengan basis kuat
kebangkitan islam73 dipetakan sebagai berikut:
atau tidak. Semisal al-Qarāfī, Syah wali Allāh al-Dahlāwī dan Mahmūd Syaltut. Dia
pula mengeritik sebagian fukaha yang hanya mengandalkan analisis bahasa dan
mengesampingkan konteks serta motif pensyariatan.77 Konsep pemahaman maqāsidi
yang akrab dengan ia, berpadu dengan konsep pemilihan motif sabda Nabi saw. dan
keterkaitannya dalam penentuan motif merupakan jalan menemukan maqaṣid al-
sharī’ah, ia menjadi semacam alat bantu mendeteksi dan menjelaskan posisi tashrī dan
non-tashrī.78
Ibn Ashūr mengapresiasi gagasan yang dicetus al-Qarāfi tentang kajian pemilihan
motif sabda Nabi, dengan menyebutnya langsung dalam alinea kitabnya, serta
menjelaskan tiga garis besar yang digagas oleh al-Qarāfi sebagaimana penulis paparkan
pada bagian fase klasik.79
Dengan berpedoman kepada rumusan yang telah ada Ibn Asyūr
mengembangkannya menjadi dua belas kategori dalam menentukan motif Nabi,
kategori-kategori tersebut yakni; al-tashrī’ (pembentukan syari’at agama), al-fatwā
(pemikiran/opini agama), al-qaḍa (putusan hukum), al-imārah (keputusan politik), al-
hadyu (petunjuk), al-ṣulḥ (kontrak damai), ishārah ‘alā al-mustashīr (pertimbangan), al-
naṣīḥah (saran), takmīl al-nufūs (penguatan mental), ta’līm ḥaqā’iq al-‘āliyyah
(pengajaran nilai-nilai luhur), al-ta’dīb (pendidikan pekerti), al-tajarrud ‘an al-irshād
(pernyataan tanpa motif tertentu).80
berorientasi prospektif.83 Dan hal ini ditemukan terhadap tokoh-tokoh setelah Ibn Ashūr
yang mengaktualkan pesan-pesan agama menjadi suatu yang coba diterapkan dengan
melihat situasi zaman terakhir si pembaca, contoh pemikiran seperti ini dapat kita lihat
pertama –meski bukan yang pertama kali- dalam pemikiran hemeneutikanya Fazlur
Rahmān (w. 1988 M) yang mengembangkan teori gerak ganda (Double Movement)
yang melibatkan setidaknya tiga aspek; Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Isu basis
kuat kebangkitan Islam yang dikelompokkan oleh Daniel W. Brown dimulai dalam
sekitar abad ke-19 dan abad ke-20,84 menjadikan pemikiran Rahmān dikumpulkan
dengan sarjana lain yang juga pada zaman dan fase ini.
Gagasannya Rahmān menganai Isu kebangkitan dan pembaharuan nilai-nilai
islam tradisional, agar secara agama, budaya, politik dan etika, islam mampu
menghadapi modernitas yang hadir di dunia begitu cepatnya.85
Pemikiran yang diintroduksi oleh Rahmān di atas memang secara khusus metode
ini bukan diperuntukkan pengkajian pemahaman hadis, melainkan sebagai cara untuk
memahami teks.86
Teori yang ia gagas yakni teori gerak ganda (double Movement) merupakan teori
yang diyakini mampu mengikis jurang perbedaan dan dapat menjadi solusi yang tepat
atas kesenjangan yang terjadi antara Islam dan modernitas. Gerakan tersebut terdiri
dari: pertama, berangkat dari situasi masa kini menuju kondisi sosio-historis dimana
naṣ diturunkan/muncul untuk menemukan jawaban spesifik terhadap situasi yang
spesifik. Kedua, mengeneralisasikan jawaban-jawaban yang spesifik tersebut menjadi
prinsip umum untuk dihidupkan pada masa kini.87
keagamaan bukan hadir dalam masyarakat yang tidak memiliki budaya sama
sekali, paling tidak adanya asbāb al-nuzūl dan asbāb al-wurūd merupakan
bukti bahwa teks keagamaan merespon kondisi masyarakat pada saat itu. 110
Oleh karena itu konteks budaya secara luas yang saat itu berkembang
merupakan persoalan yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan.
Menurut Fazlur Rahman (w. 1988) perbedaan konteks dan dan metode
melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh
karena itu pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak
dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolute. Karena bahasa selalu
mengalami perkembangan secara dinamis yang mengalami proses terus
menerus. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi
signifikansi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna.
Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk
menafsirkan teks secara terus menerus. Oleh karenanya, proses interpretasi
tidak akan pernah beraksi dan reinterpretasi selalu terjadi sepanjang masa.
Dapat disederhanakan langkah-langkah yang digagas oleh Nasr Hamid Abu Zaid
sebagai berikut:
1) Menganalisa structur linguistic teks dan mencari fakta sejarah yang
mengelilinginya (asbāb al-nuzūl/ asbāb al-wurūd secara luas -makro-, asbāb
al-nuzul/ asbāb al-wurūd mikro).
2) Menentukan tingkatan makna teks.111
3) Menentukan makna asli teks (The Original Meaning).
4) Menentukan makna signifikansi (Significance)
5) Mengkontekstualisasikan makna historis dengan berpijak pada makna yang
tidak terkatakan.112
Gagasan Muḥammad Syahrūr (L.1938 M) yang cukup kontroversial mencuat
dalam karyanya al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Muā’ṣirah, yang cukup menuai atensi
dikalangan internasional. Syahrūr mengistilahkan sunnah dengan tiga kriteria pokok,
Pertama, sunnah Nabi hanyalah bentukkan ijtihad Nabi dalam menerapkan hukum
tanpa keluar dari batas yang ditetapkan oleh Allah di dalam Umm al-Kitāb dan sangat
terikat dengan sifat lokal-temporal. Kedua, sunnah tidak bersifat mutlak dan tidak harus
diterapkan di semua zaman. Ketiga, sunnah sebagai usaha Nabi Saw dalam menerapkan
10
8
1) Proses Linguistik
Pada tahap ini dilakukan analisis linguistik terhadap proses pengajaran dalam teks
al-Qur’ān, yang melitputi dan mencakup data-data linguistik, yakni tanda- tanda bahasa,
termasuk bentuk determinan (faktor yang menentukan), kata ganti, kata kerja, kata
benda, susunan sintaksis, persajakan dan lain-lain.122 Karena setiap bahasa mempunyai
tanda-tanda bahasa yang ikut mempengaruhi proses produksi makna. Analisis ini
diantaranya bermaksud untuk mengetahui aktan-aktan, yakni pelaku-pelaku yang
melaksanakan suatu tindakan yang ada dalam teks.123
2) Analisis Hubungan kritis Ujaran-ujaran dalam teks
Sebagaimana dikatakan bahwa al-Qur’ān juga sebagai korpus terbuka. Karena itu
teks al-Qur’ān mesti difahami sebagai sesuatu yang mengatakan sesuatu,
mengungkapkan suatu komunikasi dan memberikan sesuatu untuk dipikirkan. Isi
komunikasi inilah yang harus dicari terus menerus, dan ia tidak cukup kalau hanya
dicari lewat analisis linguistik (tahap 1), melainkan harus dilanjutkan dengan tahap
pembacaan hubungan kritis, dimana pembaca harus menggunakan pengetahuannya
tentang tanda untuk mencari hubungan-hubungan antar suatu tanda dengan tanda
lainnya berdasarkan “subjektifitas yang imanen dalam karya”.124 Namun, untuk
menghindari kesewenang-wenangan, pembaca/penafsir harus melihat secara adil
terhadap karya-karya terdahulu.
1) Pembacaan Historis
Pembacaan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengenali kode-kode (simbol-
simbol) linguistis, keagamaan, budaya, yang sepanjang ini telah digunakan dalam
pemaknaan dan penafsiran.125
2) Pembacaan Antropologis
Pembacaan antropologis digunakan untuk mengetahui asal-usul dan fungsi
bahasa keagamaan. Dengan cara ini maka akan bisa dekenali bagaimana bahasa
11
0
sesungguhnya berfungsi menguak cara berfikir dan cara merasa yang sangat berperan
dalam sejarah umat islam.126 Pada tahap ini, pembacaan dilakukan dengan menanyakan
apakah diluar batas kekhassan-khasan (kode-kode) dogmatis, budaya dan lainnya, teks
yang hendak kita Tafsirkan (baik parsial maupun menyeluruh mengandung rujukan
asal-muasal? Lalu apa kaitannya/kekhassan-khasan sehubung dengan teks-teks al-
Qur’ān tersebut? Lewat eksplorasi antropologis ini arkoun memaksudkan untuk sampai
pada petanda trasendental, termasuk penggunaan mitos yang dapat memperlihatkan
bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai simbol.127
Yusuf al-Qarḍawī menyajikan perangkat metode yang cukup komprehensif baik
secara ideal klasik dan modern progresif, bahkan sejumlah kalangan menyebutnya
dengan tokoh pemikir yang beraliran moderat-tradisional.128 Hal ini tentu tidak terlepas
dari usahanya untuk menengahi dan mengakomodasi perkembangan zaman dengan
pemahaman yang akan diberikan kepada sebuah teks dalam hal ini hadis.129 disamping
itu pula karya yang ia tawarkan ini menjadi pelengkap –untuk tidak menyebut sebagai
sanggahan dan klarifikasi kekaburan yang dikhawatirkan dapat membiaskan misi dasar
yang dibawanya- atas karya pendahulunya di lembaga internasional untuk pemikiran
islam, yakni, Muḥammad al-Ghāzalī.
Yūsuf al-Qarḍāwi dalam bukunya Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw130,
beliau menawarkan kajian kritik matan hadis yang dapat memberikan cakrawala dan
wawasan dalam hubungannya dengan ilmu hadis. Dalam rangka memahami makna
hadis dan menemukan signifikansi kontekstualnya, beliau memberikan delapan prinsip
atau cara untuk memahami hadis Nabi Saw,131 yaitu:
1) Memahami al-sunnah dengan kerangka petunjuk al-Qur’ān
Wacana dan gagasan mengenai pentingnya (perlunya) memahami hadis
berdasarkam kerangka petunjuk yang telah ditunjukan dalam al-Qur’ān memang bukan
hanya gagasan yang baru dibentuk oleh al-Qaraḍāwī saja, melainkan beberapa metode
terdahulupun tidak berlepas dari pentingnya mendahulukan petunjuk dalam al-Qur’ān.
Dan dalam buku al-Sunnah al- Nabawiyyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth
memaparkan hampir pada keseluruhan babnya dalam pentingnya pemahaman terhadap
hadis Nabi Saw untuk mempertimbangkan petunjuk-petunjuk al-Qur’ān.132
posisi sebagai pemerinci dan penjelas atas segala prinsipil yang ditunjukan al-Qur’ān,
dengan kata lain penjelas hanya berupaya menerangkan apa yang belum disebutkan dan
tentunya tidak boleh ada pertentangan dikarenakan kebakuan sifat al-Qur’ān. Maka dari
itu, makna hadis harus sejalan dengan apa yang ditunjukan al-Qur’ān dan segala
petunjuknya.133
2) Mengumpulkan beberapa hadis yang menampilkan satu tema yang sama.
Untuk berhasil memahami as-sunnah secara benar, kita harus menghimpun semua
hadis ṣahīh yang berkaitan dengan suatu tema tertentu menurut al-Qaraḍāwī. Lalu
kembali memposisikan kandungannya yang mutasyabih disesuaikan dengan hadis yang
muhkam, mengaitkan yang mutlak (terurai) dengan yang muqayyad (terbatas), dan
menafsirkan yang ‘am dengan yang khash. Dengan demikian barulah dapat dimengerti
(dipahami) maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang
satu dengan yang lainnya.134
Posisi as-sunnah yang telah ditetapkan sebagai sumber kedua dalam Islam yang
memberikan arti bahwa sunnah mempunyai otoritas dalam menafsirkan al-Qur’ān dan
menjelaskan makna-maknanya. Dalam artian secara spesifik, sunnah merinci (mufassil)
apa yang dinyatakan oleh al-Qur’ān secara garis besrnya (mujmal), dan menafsirkan
bagian-bagian yang kurang jelas. Mengkhususkan apa yang disebutnya secara umum,
dan membatasi (muqayyad) apa yang disebutnya secara lepas (mutlaq). Maka hal ini,
tentu harus diterapkan antara hadis satu dengan yang lainnya. Jika hanya menghabiskan
waktu terfokus pada satu topik hadis tertentu seringkali menjerumuskan ke dalam
kesalahan, dan malah menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya
dari konteks hadis tersebut maka perlu dihimpun sebagaimana ketentuan di atas .135
3) Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya)
bertentangan
Hal ini berdasar pada pandangan yang menganggap tidak adanya kontradiksi
dalam naṣ-naṣ syariat, sebab suatu kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Tetapi, jika memang di pandang adanya pertentangan, maka hal itu hanya
sebatas tampak zhahirnya (luarnya) saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki dan
realitas. Dan apabila terdapat seperti masalah di atas , maka kita wajib
menghilangkannya dengan cara sebagai berikut:
a) Penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan
11
2
Sesuatu hal yang penting memahami as-sunnah dengan baik, yaitu dengan cara
menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak seolah-seolah saling
bertentangan, begitu pula makna kandungannya, yang sepintas lalu tampak berbeda.
Kemudian semua hadis dikumpulkan dan masing-masing dinilai secara proporsional,
sehingga dapat dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan
tidak saling bertentangan. Pada point ini hanya mengkhususkan dan menekankan pada
hadis-hadis yang sahih saja, sedangkan hadis yang ḍaif tidak termasuk karena
kualitasnya lemah.136
b) Soal naskh dalam hadis
Pada hakikatnya, tuntutan tentang adanya naskh dalam hadis, tidak sebesar yang
dituntutkan dalam al-Qur’ān. Hal itu mengingat bahwa al-Qur’ān pada dasarnya adalah
pegangan hidup yang bersifat abadi. Sedangkan sunnah adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi Saw. Jika ada dua hadis dan dapat diamalkan kedua-duanya
maka diamalkanlah, dan tidak boleh salah satu dari keduanya diamalkannya yang lain.
Akan tetapi apabila tidak ada kemungkinan keduanya dapat dihindarkan dari
pertentangan, maka ada dua jalan untuk ditempuh yaitu: pertama, jika diketahui salah
satu dari keduanya merupakan nasikh dan lainnya mansukh, maka yang diamalkan
nasikh-nya saja. Kedua, apabila keduanya saling bertentangan dan tidak ada petunjuk
mana yang nasikh dan mansukh, maka tidak boleh berpegangan pada salah satunya,
kecuali berdasarkan suatu alasan yang menunjukan bahwa hadis yang dijadikan
pegangan lebih kuat dari yang satunya.137
4) Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakannya, situasi dan
kondisi ketika diucapkan, serta tujuannya
Salah satu cara untuk memahami sunnah nabawī yang baik adalah dengan
pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar belakang diucapkanya atau
kaitannya dengan sebab atau alasan (‘illah) tertentu yang dikemukakan dalam riwayat
atau dari penelitan/pengkajian terhadap suatu
hadis. Selain itu, untuk memahami hadis harus diketahui kondisi yang
meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa diucapkan. Dengan demikian, maksud
hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari perkiraan yang menyimpang.138
Pendekatan ini berupaya mengetahui situasi Nabi Muhammad Saw dan
menelusuri segala peristiwa yang melingkupinya. Pendekatan ini telah dilakukan oleh
11
3
para ulama, yang mereka sebut dengan Asbāb al-Wurūd. Dengan pendekatan ini maka
akan diketahui mana hadis yang mempunyai sebab-sebab khusus dan mana yang
umum, mana yang bersifat temporal, kekal, parsial atau yang total. Masing-masing
mempunyai hukum dan pengertian sendiri, dengan demikian maka tujuan atau kondisi
yang ada dan sebab-sebab tertentu dapat membantu memahami hadis dengan baik dan
benar.139
5) Membedakan (memisahkan) antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang
bersifat tetap dalam setiap hadis
Banyak orang yang keliru dalam memahami sunnah dari Nabi dengan
mencampuradukan antara tujuan atau alasan yang hendak ditujukan atau dicapai,
sunnah dengan prasarana temporer atau lokal dan kontestual yang kadangkala
menunjang ketercapaian sarana yang dituju. Mereka lebih terfokus pada masalah
prasarana ini, seolah-olah sarana itulah satu-satunya cara yang ditunjukan dalam hadis.
Padahal, siapapun yang hendak memahami sunnah Nabi Saw serta hikamah dan
rahasia-rahasia yang dikandungnya akan mendapatkan kejelasan bahwa yang paling
perlu menjadi perhatian adalah tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan prasarana itu
adakalanya berubah-ubah
sesuai dengan perkembangan zaman, lingkungan, adat istiadat, dan segala hal
yang meliputinya.140
Suatu lingkungan yang ditunjukan dalam perkembangan sarana dan prasarana
yang ditunjukan dalam hadis dapat berubah dari satu masa ke masa, satu lingkungan ke
lingkungan lain, atau bahkan sarana dan prasarana yang sebelumnya relevan menjadi
tidak relevan untuk masa yang akan datang, dan itu semua akan terus mengalami
perubahan. Al-Qur’ān juga menjelaskan dan menegaskan tentang sarana atau prasarana
yang cocok dengan suatu tempat dan masa tertentu tidak menjadi indikasi bahwa kita
harus mengukuhkannya sebagai hal yang tidak dapat diganggugugat dan tidak
memikirkan tentang prasarana alternatif lainnya yang selalu berubah dengan
berubahnya waktu dan tempat.141
6) Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang
bersifat majaz dalam memahami hadis
Menurut al-Qaraḍāwī ada hadis Nabi yang sangat jelas maknanya dan sangat
singkat bahasanya, sehingga si pembaca hadis tidak memerlukan penafsiran dan
11
4
ta’wilan dalam memahami makna dan tujuan Nabi. Selain itu, ada juga redaksi Nabi
yang menggunakan bahasa majazi, sehingga tidak mudah dipahami dan tidak semua
orang dapat mengetahui secara pasti tujuan Nabi. Untuk kategori hadis yang kedua
biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan yang sulit dipahami dan sarat dengan
simbolisasi. Ungkapan-ungkapan semacam itu sering sekali dipergunakan oleh Nabi,
hal ini dikarenakan bangsa Arab pada masa itu sudah terbiasa dengan menggunakan
kiasan atau metafora dan mempunyai cita rasa bahasa tinggi terhadap bahasa Arab.142
Makna Majaz di sini meliputi: lughawiy, ‘aqliy, isti’arah, kinayah dan berbagai
macam ungkapan lainnya yang tidak menunjukan makna sebenarnya secara langsung,
tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang
bersifat tekstual maupun kontekstual.143
7) Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata
Dalam kandungan kandungan hadis Nabi diantaranya mengandung hal- hal yang
berkenaan dengan alam ghaib yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang
tidak dapat dilihat (kasat mata) di alam maya. Seperti: malaikat yang diciptakan Allah
SWT dengan tugas-tugas tertentu, begitu juga jin dan setan yang diciptakan untuk
menyesatkan manusia, kecuali mereka hamba-hamba Allah yang berada dijalan-Nya.144
Sebaian besar hadis-hadis yang menerangkan tentang alam ghaib bernilai
dibawah kualitas Ṣahīh namun yang diriwayatkan secara ṣahīh juga banyak. Oleh karena
itu hadis hadis yang bernilai harus dipahami secara proporsional, yakni diantara yang
membicarakan alam kasat mata dengan yang membicarakan tentang alam ghaib.
8) Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis
Hal yang terpenting dalam memahami sunnah dengan benar adalah yaitu
memastikan makna dan konotasi yang tepat kata-kata tertentu yang digunakan dalm
susunan kalimat sunnah. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah karena
perubahan dan perbedaan lingkungan yang ada. Masalah ini sudah barangtentu akan
lebih jelas diketahui oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa serta
pengaruh waktu dan tempat terhadapnya. Seingkali suatu kelompok manusia
menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukan makna tertentu pula.145
Sementara itu, tidak adanya batasan untuk menggunakan istilah atau kata- kata
tertentu. Akan tetapi yang dikhawatirkan disini adalah menafsiri lafaẓ-lafaẓ yang
tertentu dalam sunnah (termasuk pula dalam al-Qur’ān), dengan menggunakan istilah
11
5
modern. Dari sinilah seringkali nampak adanya penyimpangan dan kekeliruan. Oleh
karena itu penguasaan arti dan makna pada dasarnya akan membantu memahami apa
sesungguhnya yang dimaksudkan oleh hadis secara proporsional.146
Perkembangan metode pemahaman hadis juga dihadirkan oleh beberapa ulama
hadis di Indonesia, hal ini dapat diidentifikasikan melalui karyanya yang memberikan
sejumlah tawaran metodologis. Diantaranya yakni ada Sosok M. Syuhudi Ismail dan
Ali Mustafa Ya’qub yang menghasilkan karyanya dalam bahasa Indonesia serta
memberikan beberapa contoh tentang metode yang sedang digunakannya.
M. Syuhudi Ismail (w. 1995) menjelaskan posisinya dalam kajian metode
pemahaman hadis dengan menempati pos sebagai pengkaji posisi Nabi, 147 dan
pernyataan ini secara tidak langsung ditegaskan dalam karyanya.148 Metode yang
ditawarkannya pun rasanya telah banyak dijelaskan oleh sejumlah ulama sebelumnya
baik pada fase klasik maupun fase modern yakni, Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Mahmud
Syaltut dan al-Dihlāwī.
Dalam kajian matan hadis metode yang ia tawarkan dengan menganalisa hadis
dalam beberapa bentuk: a) mengungkap matan dan cakupan petunjuknya berkaitan pula
dengan meneliti secara bahasa dan logika bahasa yang digunakannya termasuk
ungkapan analogi, simbolik, bahasa percakapan, bahasa tamsil. b) Mengungkap matan
dengan menghubungkan fungsi Nabi dalam hadis tsb. c) Meneliti asbāb al-wurūd yang
berkaitan dengan hadis, baik yang mempunyai sebab secara khusus atau pun tidak, serta
yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi. d) Menyelesaikan hadis yang
nampaknya saling bertentangan.149
Dalam kerangka metode yang dibangun, beberapa langkah di atas tidak akan
berguna jika hadis yang dikajinya bukan pada derajat yang ṣahīh atau minimal tidak
termasuk berat kedaifannya. Hal ini mengindikasikan kualitas sanad juga sangat penting
dalam kajian tentang pemahaman hadis, dikarenakan tanpa adanya sanad maka suatu
matan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah, atau matan
yang sanadnya sangat daif hasilnya pun tidak akan bermanfaat bagi kehujjahan hadis
yang bersangkutan.150
Kerangka metode lainnya juga ditawarkan oleh Ali Mustafa Ya’qub (w. 2016)
dengan merumuskan kajian tentang penelitian matan dan pemahaman hadis dengan
melihat berbagai aspeknya.151 Dan ia merumuskan pendekatan yang tekstual dan
11
6
kontekstual dalam memahamai hadis, hal ini bertujuan agar pesan yang dikandung oleh
hadis mampu tersampaikan secara utuh.
Secara metode Ali Mustafa Ya’qub memberikan tiga garis besar dalam
memahami hadis, yakni; a) Memahami hadis secara tematis, dengan mengumpulkan
hadis yang sama hal ini bertujuan agar memahami secara jelas maksud hadis. b)
Memahami hadis dengan pendekatan tekstual, ia menawarkan pemahaman dengan
mengidentifikasi bentuk Majazi dan Haqiqi dalam hadis, ta’wil dalam hadis, dan illat
dalam hadis. c) Memahami hadis dengan pendekatan kontekstual, yakni dengan
memahami geografi dan budaya Arab, kondisi social dan sebab hadis disabdakan
(asbāb al-Wurūd) dalam hadis.152
Dan jika dianalisis lebih jauh tentang kedua tokoh di atas, metode yang coba
dipaparkan pada masing-masing karyanya memang bukan sebuah tawaran metode yang
baru hal ini dikarenakan proses yang dilakukannya memang tidak jauh berbeda dengan
rumusan metode yang ditawarkan pada fase klasik hingga modern, perbedaannya hanya
terletak pada besarnya pendekatan-pendekatan yang bersifat sosiologis ikut
mempengaruhi dalam pemahaman yang dibentuk.
Perkembangan pemahaman yang memasuki era millenial tentu memerlukan
pendekatan yang lebih mendalam terkait pemahaman apa yang akan ditimbulkan dari
sebuah teks, mengingat sosio-kultural pada masa modern-kontemporer sangat jauh
berbeda dengan keadaan pada saat sunnah itu diamalkan atau ketika hadis itu
dibukukan. Metode-metode dan pendekatan-pendekatan di atas merupakan buah karya
ulama dan pengkaji hadis yang cukup di pertimbangkan dalam hal pengolahan sebuah
makna untuk dibentuk kepada sebuah pemahaman yang relevan dengan keadaann
sekarang.
ujaran-ujaran dalam
teks.
96
PENUTUP
A. Kesimpulan
. Pengertian pendidikan yang ditawarkan dari kata al-ta'lim pada hadis di atas
adalah proses pemindahan seperangkat nilai antar manusia seperti yang dinyatakan oleh
Abdul Fattah Jalal dalam Samsul Nizar bahwa pada kata al-ta'lim secara implisit selain
menanamkan aspek kognitif dan psikomotorik, juga aspek afektif, karena pada kata al-
ta'lim juga ditekankan pada prilaku yang baik (akhlak al-karimah).
Penggunaan aspek metodologis jauh lebih beragam ketika fase menginjak ke
masa Modern, hal ini dibuktikan dengan beragamnya metode yang hadir dalam
pengkajian tentang makna.
Dan diantara ulama, sarjana Muslim dan pengkaji hadis pada periode modern ini
yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap terciptanya pembaruan
pemikiran dalam islam –atau meminjam istilah Daniel w. Brown dengan basis kuat
kebangkitan islam
B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan dan
pengetahuan baik itu penulis sendiri dan juga pembaca dikemudian hari tentang konsep
pendidikan at-ta’lim dalam perspektif hadis
2
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Hamdan Husein. Makna kata ta’lim dalam konsep pendidikan Islam. Diss.
IAIN Padangsidimpuan, 2011.
Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No 1 Maret 2018. Issn: 2614-8013. Hal. 37-
60
‘Itr, Nūr al-Dīn. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth. Damaskus: Dār al-Fikr, 1997.
Abdullah, M. Amin.“Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibnu
Al-Jawābī, Muḥammad Ṭāhir. Juhūd al-Muḥaddithīn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al- Nabawī
al-Syarīf. Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allāh, t.th.
Al-Jurjānī, Alī Ibn Muḥammad. Kitāb al-Ta’rifāt. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmīyah,
t.th.
al-Karīm, Fatḥī ‘Abd. al- Sunnah Tasyri’ Lazim wa Daim. Kairo: Maktabah Wahbah,
1985.