Anda di halaman 1dari 34

KONSEP PENDIDIKAN AT-TA’LIM DALAM PERSPEKTIF HADIS

Disusun oleh :
Syawali Safitri (202410048)
Sulthan Rafif Maulana (202410028)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam selalu kita curah
limpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing
umatnya di jalan yang benar.

Kami menyusun makalah yang berjudul ”’Konsep Pendidikan At-Ta’lim


Dalam Perspektif Hadis”, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Hadis
Tarbawi.

Kami penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


telah membantu. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
memberikan wawasan untuk pembaca bagi pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan.

Pekanbaru , 19 September 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................1

A. Latar belakang......................................................................................................1
B. Rumusan masalah.................................................................................................1
C. Tujuan penulis......................................................................................................1

BAB 2 PEMBAHASAN..............................................................................2

A. Konsep Pendidikan At Ta’lim Dalam Perspektif Hadis.......................................2

B. Analisa Makna/Kata Kunci Hadis Berdasarkan Kaidah Bahasa Arab.................3

C. Relefansi Makna Hadis Dalam Pendidikan Kontemporer...................................5

BAB 3 PENUTUP..............................................................................................................

A. Kesimpulan..............................................................................................................

B. Saran........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
95

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pentingnya pendidikan telah ditekankan berulang kali dalam Al-Qur'an dan


hadis. Hadis Nabi Muhammad juga menekankan nilai pengetahuan. Dalam Alquran dan
hadis dijelaskan secara eksplisit betapa pentingnya sehingga pendidikan itu dihukumkan
sebagai sebuah keawajiaban bagi tiap muslim karena dengan pendidikan itulah dapat
mengatar seseorang mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta alam semesta ini.
Dalam hadis terdapat beberapa kata yang menunjuk kepada term pendidikan yaitu
ta'lim, dari akar 'alima (untuk mengetahui, menyadari, untuk memahami, belajar),
tarbiyah, dari kata raba (meningkatkan, tumbuh, memelihara), ta'dib, dari akar kata
addaba (untuk menjadi berbudaya, halus, santun). Hadis juga menegaskan bahwa
terdapat dua elemen penting yang diperlukan dalam perumusan dasar dan hakikat
pendidikan Islam yaitu, tujuan pendidikan dan faktor-faktor pendidikan

B.Rumusan Masalah

 Matan hadis tentang Konsep pendidikan At-Ta'lim dalam perspektif hadis


 Analisa Makna/kata kunci hadis berdasarkan kaidah bahasa Arab
 Analisa relefansi makna hadis dalam pendidikan kontemporer

C. Tujuan Penulis

Agar mengetahui Apa Matan hadis tentang konsep pendidikan At-Ta'lim dalam
perspektif hadis, Makna/kata kunci hadis berdasarkan kaidah bahasa arab, dan relefansi
makna hadis dalam pendidikan kontemporer
96

BAB II

(PEMBAHASAN)

A. Matan Hadis Tentang Konsep Pendidikan At-Ta’lim dalam Hadis

َ َ‫َّان ق‬
‫ال‬ َ ‫ال َح َّدثَنَا‬
َ ‫صالِ ُح ب ُْن َحي‬ َ َ‫اربِ ُّي ق‬ِ ‫أَ ْخبَ َرنَا ُم َح َّم ٌد هُ َو اب ُْن َساَل ٍم َح َّدثَنَا ْال ُم َح‬
‫ه قَا َل‬cِ ‫ال َعا ِم ٌر ال َّش ْعبِ ُّي َح َّدثَنِي أَبُو بُرْ َدةَ َع ْن أَبِي‬ َ َ‫ق‬

ِ ‫ان َر ُج ٌل ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬


‫ب‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ثَاَل ثَةٌ لَهُ ْم أَجْ َر‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ق‬
َّ ‫ك إِ َذا أَ َّدى َح‬
‫ق‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو ْال َع ْب ُد ْال َم ْملُو‬
َ ‫ه َوآ َم َن بِ ُم َح َّم ٍد‬cِ ِّ‫آ َم َن بِنَبِي‬
‫ت ِع ْن َدهُ أَ َمةٌ فَأ َ َّدبَهَا فَأَحْ َس َن تَأْ ِديبَهَا َو َعلَّ َمهَا‬
ْ َ‫ق َم َوالِي ِه َو َر ُج ٌل َكان‬ َّ ‫هَّللا ِ َو َح‬
ِ ‫فَأَحْ َس َن تَ ْعلِي َمهَا ثُ َّم أَ ْعتَقَهَا فَتَ َز َّو َجهَا فَلَهُ أَجْ َر‬
‫ان‬

َ ‫ال َعا ِم ٌر أَ ْعطَ ْينَا َكهَا بِ َغي ِْر َش ْي ٍء قَ ْد َك‬


‫ان يُرْ َكبُ ِفي َما ُدونَهَا إِلَى‬ َ َ‫ثُ َّم ق‬

(‫ة )رواه البخاري‬cِ َ‫ْال َم ِدين‬


Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibnu Salam, Telah
menceritakan kepada kami Al Muharibi berkata, Telah menceritakan kepada kami
Shalih bin Al Hayyan berkata, telah berkata 'Amir Asy Sya'bi; telah menceritakan
kepadaku Abu Burdah dari bapaknya berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam: "Ada tiga orang yang akan mendapat pahala dua kali; seseorang dari
Ahlul Kitab yang beriman kepada Nabinya dan beriman kepada Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam, dan seorang hamba sahaya yang menunaikan hak Allah dan hak
tuannya. Dan seseorang yang memiliki hamba sahaya wanita lalu dia
memperlakukannya dengan baik, mendidiknya dengan baik, dan mengajarkan
kepadanya dengan sebaik-baik pengajaran, kemudian membebaskannya dan
97

menikahinya, maka baginya dua pahala". Berkata 'Amir: "Aku berikan permasalahan ini
kepadamu tanpa imbalan, dan sungguh telah ditempuh untuk memperolehnya dengan
menuju Madinah.

B. Analisa Makna/Kata Kunci Hadis Berdasarkan Kaidah Bahasa Arab

Pengertian pendidikan yang ditawarkan dari kata al-ta'lim pada hadis di atas
adalah proses pemindahan seperangkat nilai antar manusia seperti yang dinyatakan oleh
Abdul Fattah Jalal dalam Samsul Nizar bahwa pada kata al-ta'lim secara implisit selain
menanamkan aspek kognitif dan psikomotorik, juga aspek afektif, karena pada kata al-
ta'lim juga ditekankan pada prilaku yang baik (akhlak al-karimah).
Al-ta'lim lebih bersifat universal yaitu sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Manusia
memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan inilah yang menjadi pembeda antara
manusia dan binatang, sehingga perlu adanya pembinaan pemikiran yang baik.
Pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta
didik. Melalui pengembangan akal, peserta didik akan dapat dibimbing untuk
menciptakan hubungan kerja sama sosial dalam kehidupannya guna mewujudkan
kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
keberadaan pendidikan merupakan bahagian integral dari konstruksi sebuah peradaban.
Proses ini merupakan upaya mulia karena berhubungan dengan penyebaran ilmu
pengetahuan sebagai salah satu tugas manusia yakni khalifah fil ardh.

Ta’lim secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman),


secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian,
pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses
pemberian pengatahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri
manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima
hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya
98

( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus
manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’
seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah mengeluarkan dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Perkataan ta‟lim secara bahasa pula dipetik dari kata dasar „allama -yu„allimu-
ta‟liman. Secara rinci mempunyai makna dasar sebagai berikut: berasal dari kata dasar
alama-ya‟malu yang berarti: mengeja atau memberi tanda; dan kaya dasar alima-
ya‟malu yang berarti: mengerti, mengetahui sesuatu atau memberi tanda. (Mahmud
Yunus, 2010: 277). Dalam bahasa Indonesia istilah ta‟lim adalah pengajaran. Dari dua
pengertian dasar di atas, maka ta‟lim mepunyai pengertian : “usaha untuk menjadikan
seorang mengenal tanda-tanda yang membedakan sesuatu dari lainnya, dan mempunyai
pegetahuan dan pemahaman yang bennar tentang sesuatu”. Contohnya ketika Allah
memberitahu Adam as. nama-nama benda yang ada dihadapannya.

Menurut Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar arti ta‟lim adalah proses transmisi
berbagai ilmu penngetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu. Kemudian Al-Maraghi berpendapat melalui pemaknaan ayat di atas, bahwa
ta‟lim adalah pengajaran dilaksanakan secara bertahap, sebagaimana tahapan Nabi
Adam as. mempelajari, menyaksikan, dan menganalisa asma-asma yang diajarkan oleh
Allah SWT kepadanya. Ini berarti, ta‟lim mencakup aspek kognitif saja, belum
mencapai pada domain lainnya. (Ahmad Izzan dan Saehudin, 2012: 2). Ta‟lim secara
umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata.Hal ini
memberikan pemahaman bahwa ta‟lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu
pengetahuan dari pengajar (mu‟allim) dan yang diajar (muta‟alim).

Ilmu pengetahuan menurut Islam merupakan landasan kuat bagi keimanan dan
sekaligus pedoman amal dalam meningkatkan kualitas hidup manusia untuk
memperoleh ridha Allah SWT. Konsep taklim secara filosofis dalam alQur’an
digunakan khusus untuk menunjukkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
diulang dan dikembangkan, sehingga menghasilkan pengaruh ke arah ketinggian
spiritaul pada diri muta’allim. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat digali melalui
budaya baca dan budaya tulis – bukan sekedar budaya lisan dan menghapal – dan dapat
99

dikembangkan dengan semangat kritis intelectual curiosity dan kekuatan creative


imagination melalui aktifitas intidzar (Q.S. al-‘Alaq: 1-5). Proses pendidikan dalam
konsep taklim tidak dapat berdiri sendiri. Ia merupakan rangkaian dari aktivitas tilawah,
ta’lim, dan tazkiyah.

Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan muallim. kata
muallim adalah isim fa’il dari kata allama, yuallimu, ta’lim. Istilah "mu'allim", sebagai
istilah pendidik pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih
terfokus pada pemindahan ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan budaya yang dimiliki
seseorang atau sekelompok kepada orang yang belum memilikinya. Untuk mengetahui
makna ta’lim dalam hakikat pendidik dalam Islam, maka dapat kita kaji melalui makna
ulama. Sebab kata ulama masih satu akar kata dengan kata ta’lim, yaitu dari kata kerja
dasar alima-ya’lamu, ilmun, ãlimun, alímun, ulamã’. Jadi makna pendidik berdasarkan
makna ta’lim dapat kita tinjau dari pengkajian makna ulama dalam al-Qur’an.

C. Relevansi Makna Hadis Dalam Pendidikan Kontemporer

Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan sunnah Nabi agar terus
berkembang pemahaman sesuai dengan aktualitas zaman yang berjalan mendorong
sebagian ulama dan sarjana muslim dalam menyajikan seperangkat pendekatan baru
dalam memahami hadis Nabi.
Fase modern-kontemporer ini dapat dikatakan sebagai periode keemasan dalam
metode pemahaman hadis. hal ini tentu tidak berlebihan, dikarenakan kekayaan
pemikiran ulama/pengkaji hadis yang memfokuskan dalam kajian penelitan makna
yang secara tidak langsung juga ikut andil dalam membantu mengungkap makna yang
terkandung dalam hadis dengan perangakat dan pendekatan yang mereka hadirkan,
khususnya yang memang memfokuskan dalam metode, perangkat, pendekatan dalam
pemahaman hadis.
a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis

Penggunaan aspek metodologis jauh lebih beragam ketika fase menginjak ke


masa Modern, hal ini dibuktikan dengan beragamnya metode yang hadir dalam
pengkajian tentang makna.
10
0

Dan diantara ulama, sarjana Muslim dan pengkaji hadis pada periode modern ini
yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap terciptanya pembaruan
pemikiran dalam islam –atau meminjam istilah Daniel w. Brown dengan basis kuat
kebangkitan islam73 dipetakan sebagai berikut:

1. Ibn ‘Āshūr (1296 H – 1393 H / 1879 M – 1973 M)


2. Fazlur Rahmān ( 1337 H – 1408 H / 1919 M - 1988 M )
3. Muḥammad al-Ghāzalī (1335 H – 1416 H / 1917 M – 1996 M)
4. Nasr Ḥamīd Abū Zayd (1362 H – 1431 H / 1943 M – 2010 M)
5. Muḥammad Syahrūr (1357 H / 1938 M)
6. Mohammed Arkoun (1346 H – 1431 H / 1928 M – 2010 M)
7. Yūsuf al-Qarḍawi ( 1345 H / 1926 M )
8. M. Syuhudi Ismail (w. 1996 M)
9. Ali Mustafa Yaqub (w. 2016)

Kerangka pemikiran modern-kontemporer yang tercipta dari keinginan


memahami sebuah teks dengan mengaktualisasi makna itu sendiri memberikan otoritas
kepada interpreter/penafsir/pemaham mengkaji makna lebih dalam, bukan hanya
sekedar melalui pendekatan kebahasaan. Akan tetapi jauh lebih luas dengan ikut
menarik pendekatan-pendekatan semisal bahasa, historis, sosiologi, sosio-historis,
antropologi, psikologi.
Pemikiran yang fresh hadir dalam upaya pemahaman konsep hadis dengan
mencari tujuan syari’ah nya (Maqāṣid al-Sharī’ah), hal ini seperti yang dilakukan Ibn
‘Āshūr yang tidak melepaskan diri dari kerangka fikir Uṣul Fikih yang masih berbau
klasik. Dan bahkan ia menggagas pandangan perlunya ada pemisahan antara Usul fikih
dan Maqāṣid al-Sharī’ah.74 Menurutnya Maqāṣid harus menjadi ilmu yang berdiri
sendiri,75 bersanding dengan ilmu-ilmu syari’ah lainnya.
Bukti kapasitas Ibn Ashūr dalam bidang hadis adalah ia menghasilkan dua buku
dalam kajian ini, yaitu, al-Naẓar al-Faṣīḥ ‘Inda Maḍāyiq al-Anẓar fī al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ (jalan
keluar dari kerumitan al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ) dan Kasyf al-Mughaṭṭā Min al-Ma’ānī wa al-alfaẓ al-
Wāqi’ah fī al-Muwaṭṭa’ (Pembuka Tirai Makna dan Lafaẓ Kitab Muwaṭṭa’) serta karya-
karya lain dalam bidang sastra, Tafsir dan maqasid, juga dapat menjadi pembuktian
kemapanan keilmuannya.76

Dalam pemahamannya dia juga merujuk model pemahaman dengan melihat


motif Nabi menyabdakan hadis agar dapat dibedakan mana yang mengandung syari’at
10
1

atau tidak. Semisal al-Qarāfī, Syah wali Allāh al-Dahlāwī dan Mahmūd Syaltut. Dia
pula mengeritik sebagian fukaha yang hanya mengandalkan analisis bahasa dan
mengesampingkan konteks serta motif pensyariatan.77 Konsep pemahaman maqāsidi
yang akrab dengan ia, berpadu dengan konsep pemilihan motif sabda Nabi saw. dan
keterkaitannya dalam penentuan motif merupakan jalan menemukan maqaṣid al-
sharī’ah, ia menjadi semacam alat bantu mendeteksi dan menjelaskan posisi tashrī dan
non-tashrī.78
Ibn Ashūr mengapresiasi gagasan yang dicetus al-Qarāfi tentang kajian pemilihan
motif sabda Nabi, dengan menyebutnya langsung dalam alinea kitabnya, serta
menjelaskan tiga garis besar yang digagas oleh al-Qarāfi sebagaimana penulis paparkan
pada bagian fase klasik.79
Dengan berpedoman kepada rumusan yang telah ada Ibn Asyūr
mengembangkannya menjadi dua belas kategori dalam menentukan motif Nabi,
kategori-kategori tersebut yakni; al-tashrī’ (pembentukan syari’at agama), al-fatwā
(pemikiran/opini agama), al-qaḍa (putusan hukum), al-imārah (keputusan politik), al-
hadyu (petunjuk), al-ṣulḥ (kontrak damai), ishārah ‘alā al-mustashīr (pertimbangan), al-
naṣīḥah (saran), takmīl al-nufūs (penguatan mental), ta’līm ḥaqā’iq al-‘āliyyah
(pengajaran nilai-nilai luhur), al-ta’dīb (pendidikan pekerti), al-tajarrud ‘an al-irshād
(pernyataan tanpa motif tertentu).80

Secara sederhana dapat kita kelompokan kepada tiga kelompok; keagamaan


(tashrī dan fatwa), sosiologis (imarāh, qaḍā, hadyu, ṣulḥ) dan masalah etis (muṣālaḥan,
ishārah, naṣīhah, takmil, ta’līm, ta’dīb, tajarrud). Hal ini menunjukkan bahwa tiga
tugas kehadiran para rasul dimuka bumi. Mereka diberi tanggung jawab untuk
meluruskan keyakinan teologis manusia, menyelesaikan problem-problem social umat
mereka, dan mengajarkan etika kepada mereka agar dapat menjalani kehidupan teologis
dan sosiologisnya secara sempurna.81

Pemahaman seperti ini di fase modern agaknya hanya mengembangkan sedikit


dari apa yang telah dirumuskan ulama pada masa klasik, yang jika ditelusuri upaya
pemahaman dan penafsiran dengan mengkonfirmasi keadaan awal dan makna awal
yang berorientasi retrospektif.82
Berlawanan dengan pemahaman berorientasi retrospektif yakni pemahaman
10
2

berorientasi prospektif.83 Dan hal ini ditemukan terhadap tokoh-tokoh setelah Ibn Ashūr
yang mengaktualkan pesan-pesan agama menjadi suatu yang coba diterapkan dengan
melihat situasi zaman terakhir si pembaca, contoh pemikiran seperti ini dapat kita lihat
pertama –meski bukan yang pertama kali- dalam pemikiran hemeneutikanya Fazlur
Rahmān (w. 1988 M) yang mengembangkan teori gerak ganda (Double Movement)
yang melibatkan setidaknya tiga aspek; Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Isu basis
kuat kebangkitan Islam yang dikelompokkan oleh Daniel W. Brown dimulai dalam
sekitar abad ke-19 dan abad ke-20,84 menjadikan pemikiran Rahmān dikumpulkan
dengan sarjana lain yang juga pada zaman dan fase ini.
Gagasannya Rahmān menganai Isu kebangkitan dan pembaharuan nilai-nilai
islam tradisional, agar secara agama, budaya, politik dan etika, islam mampu
menghadapi modernitas yang hadir di dunia begitu cepatnya.85
Pemikiran yang diintroduksi oleh Rahmān di atas memang secara khusus metode
ini bukan diperuntukkan pengkajian pemahaman hadis, melainkan sebagai cara untuk
memahami teks.86
Teori yang ia gagas yakni teori gerak ganda (double Movement) merupakan teori
yang diyakini mampu mengikis jurang perbedaan dan dapat menjadi solusi yang tepat
atas kesenjangan yang terjadi antara Islam dan modernitas. Gerakan tersebut terdiri
dari: pertama, berangkat dari situasi masa kini menuju kondisi sosio-historis dimana
naṣ diturunkan/muncul untuk menemukan jawaban spesifik terhadap situasi yang
spesifik. Kedua, mengeneralisasikan jawaban-jawaban yang spesifik tersebut menjadi
prinsip umum untuk dihidupkan pada masa kini.87

. Diagram 3.1 Teori Double Movement Fazlur Rahman

Masa Kini Sosio-


Historis
2

Langkah gerak ganda yang harus ditempuh:


1) Gerakan pertama mencakup dua alur didalamnya, sebagai berikut:
a) Memahami arti atau makna suatu pernyataan naṣ dengan mengkaji situasi
10
3

atau problem historis dimana pernyataan naṣ tersebut merupakan jawabannya


dengan mengkaji situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama,
adat-istiadat, lembaga, bahkan keseluruhan kehidupan masyarakat di jazirah
Arab, untuk mengetahui situasi lahirnya naṣ tersebut dan dalam sebab apa
naṣ tersebut dikeluarkan.88
b) Menggeneralisasikan tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan menyatakannya
sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral social umum, atau
dengan kata lain adalah “berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju
pada moral social yang bersifat umum yang terkandung didalamnya.89
2) Gerakan kedua dari teori ini adalah mengkontekstualisasikan pandangan-
pandangan umum (yaitu yang disistematisasikan melalui gerakan pertama)
menjadi pandangan-pandangan yang spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan pada masa sekarang ini. Artinya ajaran yang bersifat umum
3) tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang kongkret pada
waktu sekarang.90
4) Sekilas penjelasan tentang metode double movement yang memberikan
pemahaman dengan menarik kenyataan pada zaman sekarang jauh lebih
penting dalam memahami pesan moral yang terkandung dalam hadis, 91
terlepas dari aspek sakralitas yang selalu dijunjung ulama konservatif.92
Sehingga relatifitas pemahaman akan selalu terjadi seiring waktu yang terus
berjalan dan zaman yang terus berkembang.93
5) Fokus kajian sempat terlihat kembali mundur sedikit, pematangan konsep
pemikiran pada kritisasi dan melemahkan matan yang terlihat janggal dan
aneh dengan berpatokan pada al-Qur’ān meski hadis-hadis itu dianggap sahih
oleh para ulama hadis dikemukakan oleh Muḥammad al-Ghazālī (w. 1996 M)
dengan gagasan-gagasan pemikiran berdasar petunjuk al-Qur’ān dalam
kitabnya al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth.94
Dan gagasan ini dipuji karena upaya kontekstualisasi metode pemahamannya
tentang sunnah Nabi oleh pemikir Indonesia
6) M. Quraish Shihāb karena menyajikan penjelasan tetang sunnah Nabi
terhadap berbagai persoalan kekinian yang dibahas secara proporsional.95
7) Terlepas dari beberapa pujian, banyak pula yang mengkritik dengan gagasan
10
4

yang ia lontarkan.96 Keberaniannya dalam menegakkan kembali otoritas al-


Qur’ān atas hadis dikarenakan pada dasarnya al-Qur’ān memang memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada hadis, namun amat sangat disayangkan
pada taraf praksisnya justru hadislah yang lebih berkuasa. Setidaknya
fenomena ini tercermin dalam pendapat al-Shāfi’ī yang menyatakan bahwa
sunnah tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur’ān, sebab sunnah membuat
perintah-perintah al-Qur’ān yang bersifat umum menjadi lebih spesifik.97 Hal
ini tentu mengindikasikan bahwa betapapun sumber pertama (al-Qur’ān)
tidak dapat mengalahkan sumber kedua (hadis).
8) Tujuan utama yang hendak dicapai ialah untuk membawa kembali hadis
kepada tempatnya yakni dibawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’ān. Al-
Ghāzalī menunjukkan teladan sahabat yang sangat kritis pada hadis berdasar
prinsip al-Qur’ān, hal ini tercermin dalam sanggahan ‘Aisyah melalui
sikapnya pada riwayat bahwa orang yang meninggal diazab atas tangisan
keluarganya.98 Riwayat tersebut tentu kontradiksi dengan ayat al-Qur’ān yang
menyebukan bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. 99
Dengan ketegasan dan keberaniannya pula ‘Aisyah menolak periwayatan
suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’ān.
9) Berangkat dari polemik sedemikian rupa yang dihadirkan al-Ghāzalī dalam
karyanya, setidaknya contoh di atas menunjukkan bahwa periwayat terbaik
(sahabat) sekalipun melakukan kesalahan, dan sarana atau cara yang terbaik
untuk memperbaiki kesalahan itu adalah dengan mengkonfirmasikan matan
tersebut dengan ajaran-ajaran al-Qur’ān.100 Metode ini terlihat digunakan
pada masa-masa awal oleh para sahabat dan faqih yang berpedoman apabila
suatu riwayat tersebut ditemukan bertentangan dengan al-Qur’ān, maka
riwayat tersebut akan kehilangan kesahihannya, meskipun sanadnya kuat. 101
Dan jika kita mengesampingkan prinsip yang dibangun oleh al- Ghāzalī,
maka seseorang itu akan tersesat. Karena pada dasarnya sebagaimana kita
lihat elemen air yang terdiri atas dua unsur yang saling melengkapi yakni
Hidrogen dengan Oksigen (H2O), begitupula otoritas hadis harus sejalan
dengan al-Qur’ān.
10) Lanjut al-Ghāzalī bahwa al-Qur’ān adalah kerangka yang hanya dengan
10
5

berada dalam batasannya saja kita dapat mempraktekkan hadis, bukan


melampauinya. Ia pun mengecam bahwa barang siapa yang menganggap
hadis lebih berwenang daripada al- Qur’ān, atau bisa menghapus hukum-
hukum didalamnya, maka ia adalah seorang yang telah dimanipulasi/tertipu
(maghrūr).102 Agaknya teguran keras yang dilancarkan oleh al-ghāzali dapat
memberikan sebuah pengertian bahwa memahami hadis mempunyai
indikator yang jelas, yakni harus sejalan dengan al-Qur’ān, dan penafsiran al-
Qur’ān sendiri mengalami eskalasi yang cukup signifikan pada masa modern-
kontemporer dengan mengadopsi berbagai perangkat pengetahuan baru
sehingga pada akhirnya upaya memahami yang digagas al-ghāzalī yang
sangat berpedoman kepada petunjuk
11) Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010 M) lebih jauh mengulas posisi teks yang
mengambil peranan yang cukup signifikan dalam peradaban Arab-Islam,
akan tetapi dia menegasikan pandangannya bahwa bukan berarti teks yang
membentuk dan yang menumbuh-kembangkan peradaban. Proses dialektika
yang terjadi antara manusia dan realitasnya lah (Jadal al-insān ma’a al-
wāqi’i) yang amat sangat berperang penting dalam melandasi dan
menanamkan asas epistemologi dari suatu kebudayaan, dan hal ini meliputi
aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses dialog
kreatif manusia yang terjalin dengan teks pada sisi yang lain (wa hiwāruhu
ma’a al- naṣ).103
12) Abu zayd pada dasarnya mencoba menggunakan analisa hermeneutika
konstruktif dalam berbagai kajian al-Qur’ān (teks keagamaan) yang
dilakukannya.104 Dia mengindentifikasi bahwa masalah mendasar dalam
kajian islam adalah masalah seputar penafsiran teks secara umum, teks
historis maupun teks keagamaan, semisal al-Qur’ān dan Hadis. dan dalam
kajian ini abu zayd menganggap hermeneutika berkontribusi pada peralihan
perhatian penafsiran al-Qur’ān ke arah penafsir (mufassir).
13) Paling tidak ada tiga aliran utama dalam aliran hermeneutika, Pertama,
Aliran Obyektivis (hermeneutika romansis) yaitu aliran yang menekankan
pada aspek pencarian makna asal dari objek kajian (penafsiran/pemahaman),
dan dalam aliran ini juga menekankan pada pengamatan terhadap psikologi
10
6

pengarang. Tokoh dalam aliran ini misalnya F. Schleiermecher dan Dilthey.


Kedua, Aliran Subyektivis yaitu aliran yang menekankan pada peranan
penafsir/pemaham untuk memberikan pemaknaan
14) terhadap teks. Ketiga, Aliran Obyektivis cum Subyektivis, yaitu aliran yang
memadukan kedua aliran yang disebutkan sebelumnya. Aliran ini
memberikan keseimbangan antara pencarian makna asal dan peran pembaca
atau penafsir.105 Tokoh dalam aliran ini misalnya, H. G. Gadamer dan
Gracia.106
15) Dengan melihat pengkategorian di atas, maka menurut penulis Nasr Hamid
Abu Zaid masuk kedalam aliran yang ketiga yaitu aliran obyektivis cum
subyektivis. Hal ini dapat diketahui penafsiran/pemahaman yang
diberikannya tidak hanya berkutat pada pencarian makna yang sesuai dengan
maksud pengarang atau dengan kata lain meneliti psikologi pengarang.107
Menurutnya perlu adanya suatu metode baru yang mampu melihat aspek-
aspek diluar teks itu sendiri dan pendektan kebahasaan/linguistik.108 Dan
pemikiran ini tentu tidak muncul sendirinya, akan tetapi dipengaruhi oleh
gurunya yaitu amin al-khuli.
16) Paradigma yang dilontarkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid bahwa “teks
kebahasaan dan realitas berperan membentuk teks itu.” Maka ditemukanlah
gagasan yakni mencoba merumuskan metodologi untuk mengungkap makna
asli (meaning/ma’na) teks keagamanan (al-Qur’ān dan Hadith), yang
kemudian akan melahirkan makna baru (significance/maghza). Ma’na
merupakan dalalah yang dibangun atas dasar gramatikal teks, sehingga
makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik atau singkatnya yakni
makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks, bersifat statis, dan
digunakan untuk melihat makna historis/makna awal. Sedangkan maghza
menunjukkan pada makna dalam konteks sosio-historis dan mengaitkan
dengan peran antara makna dan
17) pembaca, bersifat dinamis dan sesuai dengan konteks yang mengitarinya,
serta realitas kekinian sebagai solusi atas permasalahan yang ada.109
18) Lebih lanjut ia menjelaskan teks keagamaan sebagai teks bahasa tidak cukup
hanya meneliti dan menganalisa bahasa secara inheren, bagaimanapun teks
10
7

keagamaan bukan hadir dalam masyarakat yang tidak memiliki budaya sama
sekali, paling tidak adanya asbāb al-nuzūl dan asbāb al-wurūd merupakan
bukti bahwa teks keagamaan merespon kondisi masyarakat pada saat itu. 110
Oleh karena itu konteks budaya secara luas yang saat itu berkembang
merupakan persoalan yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan.
Menurut Fazlur Rahman (w. 1988) perbedaan konteks dan dan metode
melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh
karena itu pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak
dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolute. Karena bahasa selalu
mengalami perkembangan secara dinamis yang mengalami proses terus
menerus. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi
signifikansi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna.
Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk
menafsirkan teks secara terus menerus. Oleh karenanya, proses interpretasi
tidak akan pernah beraksi dan reinterpretasi selalu terjadi sepanjang masa.
Dapat disederhanakan langkah-langkah yang digagas oleh Nasr Hamid Abu Zaid
sebagai berikut:
1) Menganalisa structur linguistic teks dan mencari fakta sejarah yang
mengelilinginya (asbāb al-nuzūl/ asbāb al-wurūd secara luas -makro-, asbāb
al-nuzul/ asbāb al-wurūd mikro).
2) Menentukan tingkatan makna teks.111
3) Menentukan makna asli teks (The Original Meaning).
4) Menentukan makna signifikansi (Significance)
5) Mengkontekstualisasikan makna historis dengan berpijak pada makna yang
tidak terkatakan.112
Gagasan Muḥammad Syahrūr (L.1938 M) yang cukup kontroversial mencuat
dalam karyanya al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Muā’ṣirah, yang cukup menuai atensi
dikalangan internasional. Syahrūr mengistilahkan sunnah dengan tiga kriteria pokok,
Pertama, sunnah Nabi hanyalah bentukkan ijtihad Nabi dalam menerapkan hukum
tanpa keluar dari batas yang ditetapkan oleh Allah di dalam Umm al-Kitāb dan sangat
terikat dengan sifat lokal-temporal. Kedua, sunnah tidak bersifat mutlak dan tidak harus
diterapkan di semua zaman. Ketiga, sunnah sebagai usaha Nabi Saw dalam menerapkan
10
8

hukum-hukum Allah agar bisa dipraktekkan di zamannya menunjukkan bahwa kita


juga bisa dan lebih berhak menghasilkan “sunnah” yang cocok untuk kondisi kikinian
kita.113
Klaim pembaharuan yang ia gagas nampaknya menuai pro dan kontra dari
berbagai pihak, yang mendukung pemikiranya memang sebagian besr akademisi barat
semisal; Wael B. Hallaq (L.1955), Charles Kurzman dan bahkan Eickleman yang
menjulukinya sebagai Immanuel Kant dari bangsa Arab. Disamping itu banyak pula
yang kontras dan mengkritisi pemikirannya, memang kelompok ini didominasi oleh
para ulama dari dunia Arab, seperti: Said Ramaḍān al-Butī, Yūsuf al-Shaidawī, dan
bahkan tokoh yang disandingkan dengannya dalam hal dekonstruksi pembacaan nas
Agama, yakni Nasr Hamid Abu Zaid.114
Kecenderungan yang amat mencolok yakni ketika Shahrūr memandang sunnah
115
sebagai bentukan realitas, yang berarti sunnah hanyalah respon Nabi Muhammad
atas realitas ketika itu dalam rangka mengaplikasikan hukum-hukum Allah agar bisa di
praktekkan dengan mudah. Secara teori dapat diungkapkan, dengan sejumlah
pengertian di atas bahwa Shahrūr ingin meyakinkan bahwa setiap realitas akan
membentuk pemahaman baru dan sunnah yang baru. Dan lebih keras lagi, ia
menganggap jika sunnah bukanlah otoritas kedua setelah al-Qur’ān dan bahkan
menuduh bahwa pengkultusan sunnah dilakukan oleh imam-imam fikih saja.116
Demi menguatkan dan mewujudkan klaim “pembaharuan” islamnya, Shahrūr
membangun metodologinya dengan berdasarkan prinsip-prinsip yang sangat berbeda
dengan epistemologi ilmuwan Islam tradisional.117 Hal ini mirip-mirip dengan apa yang
dilakukan oleh Fazlur Rahman dengan memahami realitas jauh lebih penting guna
mengkontekstualisasikan nilai dan mentransformasikannya ke bentuk yang lebih
relevan dengan keadaan sekarang.
Moḥammed Arkoun (w. 2010 M) dalam upaya memahami al-Qur’ān dan hadis
menawarkan metode yang berorientasi pada pemaknaan aktual terhadap al-Qur’ān dan
hadis.118 Arkoun dalam penelitiannya atas teks al-Qur’ān bertujuan mencari makna lain
yang tersembunyi, maka menurutnya untuk dapat merekonstruksi (konteks), harus ada
upaya dekonstruksi (teks).119 Dan ia termasuk intelektual muslim yang sangat berani
dalam menafsirkan al-Qur’ān bukan dari tradisi islam tetapi dengan menggunakan
metode yang di impor dari budaya barat.120
10
9

Ia menyuguhkan analisis semiotis sebagai suatu bentuk metode alternatif bagi


penafsiran al-Qur’ān, mengingat memang dalam karyanya bukan ditujukan untuk
memahami hadis, akan tetapi setidaknya sikap metodisnya dapat diterapkan kepada
sumber hukum lainnya yakni hadis.121 secara ringkas metode analisis semiotis dapat
dikemukakan sebgai berikut:

1) Proses Linguistik
Pada tahap ini dilakukan analisis linguistik terhadap proses pengajaran dalam teks
al-Qur’ān, yang melitputi dan mencakup data-data linguistik, yakni tanda- tanda bahasa,
termasuk bentuk determinan (faktor yang menentukan), kata ganti, kata kerja, kata
benda, susunan sintaksis, persajakan dan lain-lain.122 Karena setiap bahasa mempunyai
tanda-tanda bahasa yang ikut mempengaruhi proses produksi makna. Analisis ini
diantaranya bermaksud untuk mengetahui aktan-aktan, yakni pelaku-pelaku yang
melaksanakan suatu tindakan yang ada dalam teks.123
2) Analisis Hubungan kritis Ujaran-ujaran dalam teks
Sebagaimana dikatakan bahwa al-Qur’ān juga sebagai korpus terbuka. Karena itu
teks al-Qur’ān mesti difahami sebagai sesuatu yang mengatakan sesuatu,
mengungkapkan suatu komunikasi dan memberikan sesuatu untuk dipikirkan. Isi
komunikasi inilah yang harus dicari terus menerus, dan ia tidak cukup kalau hanya
dicari lewat analisis linguistik (tahap 1), melainkan harus dilanjutkan dengan tahap
pembacaan hubungan kritis, dimana pembaca harus menggunakan pengetahuannya
tentang tanda untuk mencari hubungan-hubungan antar suatu tanda dengan tanda
lainnya berdasarkan “subjektifitas yang imanen dalam karya”.124 Namun, untuk
menghindari kesewenang-wenangan, pembaca/penafsir harus melihat secara adil
terhadap karya-karya terdahulu.

1) Pembacaan Historis
Pembacaan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengenali kode-kode (simbol-
simbol) linguistis, keagamaan, budaya, yang sepanjang ini telah digunakan dalam
pemaknaan dan penafsiran.125
2) Pembacaan Antropologis
Pembacaan antropologis digunakan untuk mengetahui asal-usul dan fungsi
bahasa keagamaan. Dengan cara ini maka akan bisa dekenali bagaimana bahasa
11
0

sesungguhnya berfungsi menguak cara berfikir dan cara merasa yang sangat berperan
dalam sejarah umat islam.126 Pada tahap ini, pembacaan dilakukan dengan menanyakan
apakah diluar batas kekhassan-khasan (kode-kode) dogmatis, budaya dan lainnya, teks
yang hendak kita Tafsirkan (baik parsial maupun menyeluruh mengandung rujukan
asal-muasal? Lalu apa kaitannya/kekhassan-khasan sehubung dengan teks-teks al-
Qur’ān tersebut? Lewat eksplorasi antropologis ini arkoun memaksudkan untuk sampai
pada petanda trasendental, termasuk penggunaan mitos yang dapat memperlihatkan
bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai simbol.127
Yusuf al-Qarḍawī menyajikan perangkat metode yang cukup komprehensif baik
secara ideal klasik dan modern progresif, bahkan sejumlah kalangan menyebutnya
dengan tokoh pemikir yang beraliran moderat-tradisional.128 Hal ini tentu tidak terlepas
dari usahanya untuk menengahi dan mengakomodasi perkembangan zaman dengan
pemahaman yang akan diberikan kepada sebuah teks dalam hal ini hadis.129 disamping
itu pula karya yang ia tawarkan ini menjadi pelengkap –untuk tidak menyebut sebagai
sanggahan dan klarifikasi kekaburan yang dikhawatirkan dapat membiaskan misi dasar
yang dibawanya- atas karya pendahulunya di lembaga internasional untuk pemikiran
islam, yakni, Muḥammad al-Ghāzalī.
Yūsuf al-Qarḍāwi dalam bukunya Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw130,
beliau menawarkan kajian kritik matan hadis yang dapat memberikan cakrawala dan
wawasan dalam hubungannya dengan ilmu hadis. Dalam rangka memahami makna
hadis dan menemukan signifikansi kontekstualnya, beliau memberikan delapan prinsip
atau cara untuk memahami hadis Nabi Saw,131 yaitu:
1) Memahami al-sunnah dengan kerangka petunjuk al-Qur’ān
Wacana dan gagasan mengenai pentingnya (perlunya) memahami hadis
berdasarkam kerangka petunjuk yang telah ditunjukan dalam al-Qur’ān memang bukan
hanya gagasan yang baru dibentuk oleh al-Qaraḍāwī saja, melainkan beberapa metode
terdahulupun tidak berlepas dari pentingnya mendahulukan petunjuk dalam al-Qur’ān.
Dan dalam buku al-Sunnah al- Nabawiyyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth
memaparkan hampir pada keseluruhan babnya dalam pentingnya pemahaman terhadap
hadis Nabi Saw untuk mempertimbangkan petunjuk-petunjuk al-Qur’ān.132

Al-Qur’ān menempati posisi utama dalam sumber-sumber hukum islam, karena


di dalamnya terdapat keseluruhan kerangka ajaran Islam. Sedangkan hadis menempati
11
1

posisi sebagai pemerinci dan penjelas atas segala prinsipil yang ditunjukan al-Qur’ān,
dengan kata lain penjelas hanya berupaya menerangkan apa yang belum disebutkan dan
tentunya tidak boleh ada pertentangan dikarenakan kebakuan sifat al-Qur’ān. Maka dari
itu, makna hadis harus sejalan dengan apa yang ditunjukan al-Qur’ān dan segala
petunjuknya.133
2) Mengumpulkan beberapa hadis yang menampilkan satu tema yang sama.
Untuk berhasil memahami as-sunnah secara benar, kita harus menghimpun semua
hadis ṣahīh yang berkaitan dengan suatu tema tertentu menurut al-Qaraḍāwī. Lalu
kembali memposisikan kandungannya yang mutasyabih disesuaikan dengan hadis yang
muhkam, mengaitkan yang mutlak (terurai) dengan yang muqayyad (terbatas), dan
menafsirkan yang ‘am dengan yang khash. Dengan demikian barulah dapat dimengerti
(dipahami) maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang
satu dengan yang lainnya.134
Posisi as-sunnah yang telah ditetapkan sebagai sumber kedua dalam Islam yang
memberikan arti bahwa sunnah mempunyai otoritas dalam menafsirkan al-Qur’ān dan
menjelaskan makna-maknanya. Dalam artian secara spesifik, sunnah merinci (mufassil)
apa yang dinyatakan oleh al-Qur’ān secara garis besrnya (mujmal), dan menafsirkan
bagian-bagian yang kurang jelas. Mengkhususkan apa yang disebutnya secara umum,
dan membatasi (muqayyad) apa yang disebutnya secara lepas (mutlaq). Maka hal ini,
tentu harus diterapkan antara hadis satu dengan yang lainnya. Jika hanya menghabiskan
waktu terfokus pada satu topik hadis tertentu seringkali menjerumuskan ke dalam
kesalahan, dan malah menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya
dari konteks hadis tersebut maka perlu dihimpun sebagaimana ketentuan di atas .135
3) Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya)
bertentangan
Hal ini berdasar pada pandangan yang menganggap tidak adanya kontradiksi
dalam naṣ-naṣ syariat, sebab suatu kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Tetapi, jika memang di pandang adanya pertentangan, maka hal itu hanya
sebatas tampak zhahirnya (luarnya) saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki dan
realitas. Dan apabila terdapat seperti masalah di atas , maka kita wajib
menghilangkannya dengan cara sebagai berikut:
a) Penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan
11
2

Sesuatu hal yang penting memahami as-sunnah dengan baik, yaitu dengan cara
menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak seolah-seolah saling
bertentangan, begitu pula makna kandungannya, yang sepintas lalu tampak berbeda.
Kemudian semua hadis dikumpulkan dan masing-masing dinilai secara proporsional,
sehingga dapat dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan
tidak saling bertentangan. Pada point ini hanya mengkhususkan dan menekankan pada
hadis-hadis yang sahih saja, sedangkan hadis yang ḍaif tidak termasuk karena
kualitasnya lemah.136
b) Soal naskh dalam hadis
Pada hakikatnya, tuntutan tentang adanya naskh dalam hadis, tidak sebesar yang
dituntutkan dalam al-Qur’ān. Hal itu mengingat bahwa al-Qur’ān pada dasarnya adalah
pegangan hidup yang bersifat abadi. Sedangkan sunnah adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi Saw. Jika ada dua hadis dan dapat diamalkan kedua-duanya
maka diamalkanlah, dan tidak boleh salah satu dari keduanya diamalkannya yang lain.
Akan tetapi apabila tidak ada kemungkinan keduanya dapat dihindarkan dari
pertentangan, maka ada dua jalan untuk ditempuh yaitu: pertama, jika diketahui salah
satu dari keduanya merupakan nasikh dan lainnya mansukh, maka yang diamalkan
nasikh-nya saja. Kedua, apabila keduanya saling bertentangan dan tidak ada petunjuk
mana yang nasikh dan mansukh, maka tidak boleh berpegangan pada salah satunya,
kecuali berdasarkan suatu alasan yang menunjukan bahwa hadis yang dijadikan
pegangan lebih kuat dari yang satunya.137
4) Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakannya, situasi dan
kondisi ketika diucapkan, serta tujuannya
Salah satu cara untuk memahami sunnah nabawī yang baik adalah dengan
pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar belakang diucapkanya atau
kaitannya dengan sebab atau alasan (‘illah) tertentu yang dikemukakan dalam riwayat
atau dari penelitan/pengkajian terhadap suatu
hadis. Selain itu, untuk memahami hadis harus diketahui kondisi yang
meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa diucapkan. Dengan demikian, maksud
hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari perkiraan yang menyimpang.138
Pendekatan ini berupaya mengetahui situasi Nabi Muhammad Saw dan
menelusuri segala peristiwa yang melingkupinya. Pendekatan ini telah dilakukan oleh
11
3

para ulama, yang mereka sebut dengan Asbāb al-Wurūd. Dengan pendekatan ini maka
akan diketahui mana hadis yang mempunyai sebab-sebab khusus dan mana yang
umum, mana yang bersifat temporal, kekal, parsial atau yang total. Masing-masing
mempunyai hukum dan pengertian sendiri, dengan demikian maka tujuan atau kondisi
yang ada dan sebab-sebab tertentu dapat membantu memahami hadis dengan baik dan
benar.139
5) Membedakan (memisahkan) antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang
bersifat tetap dalam setiap hadis
Banyak orang yang keliru dalam memahami sunnah dari Nabi dengan
mencampuradukan antara tujuan atau alasan yang hendak ditujukan atau dicapai,
sunnah dengan prasarana temporer atau lokal dan kontestual yang kadangkala
menunjang ketercapaian sarana yang dituju. Mereka lebih terfokus pada masalah
prasarana ini, seolah-olah sarana itulah satu-satunya cara yang ditunjukan dalam hadis.
Padahal, siapapun yang hendak memahami sunnah Nabi Saw serta hikamah dan
rahasia-rahasia yang dikandungnya akan mendapatkan kejelasan bahwa yang paling
perlu menjadi perhatian adalah tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan prasarana itu
adakalanya berubah-ubah
sesuai dengan perkembangan zaman, lingkungan, adat istiadat, dan segala hal
yang meliputinya.140
Suatu lingkungan yang ditunjukan dalam perkembangan sarana dan prasarana
yang ditunjukan dalam hadis dapat berubah dari satu masa ke masa, satu lingkungan ke
lingkungan lain, atau bahkan sarana dan prasarana yang sebelumnya relevan menjadi
tidak relevan untuk masa yang akan datang, dan itu semua akan terus mengalami
perubahan. Al-Qur’ān juga menjelaskan dan menegaskan tentang sarana atau prasarana
yang cocok dengan suatu tempat dan masa tertentu tidak menjadi indikasi bahwa kita
harus mengukuhkannya sebagai hal yang tidak dapat diganggugugat dan tidak
memikirkan tentang prasarana alternatif lainnya yang selalu berubah dengan
berubahnya waktu dan tempat.141
6) Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang
bersifat majaz dalam memahami hadis
Menurut al-Qaraḍāwī ada hadis Nabi yang sangat jelas maknanya dan sangat
singkat bahasanya, sehingga si pembaca hadis tidak memerlukan penafsiran dan
11
4

ta’wilan dalam memahami makna dan tujuan Nabi. Selain itu, ada juga redaksi Nabi
yang menggunakan bahasa majazi, sehingga tidak mudah dipahami dan tidak semua
orang dapat mengetahui secara pasti tujuan Nabi. Untuk kategori hadis yang kedua
biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan yang sulit dipahami dan sarat dengan
simbolisasi. Ungkapan-ungkapan semacam itu sering sekali dipergunakan oleh Nabi,
hal ini dikarenakan bangsa Arab pada masa itu sudah terbiasa dengan menggunakan
kiasan atau metafora dan mempunyai cita rasa bahasa tinggi terhadap bahasa Arab.142
Makna Majaz di sini meliputi: lughawiy, ‘aqliy, isti’arah, kinayah dan berbagai
macam ungkapan lainnya yang tidak menunjukan makna sebenarnya secara langsung,
tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang
bersifat tekstual maupun kontekstual.143
7) Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata
Dalam kandungan kandungan hadis Nabi diantaranya mengandung hal- hal yang
berkenaan dengan alam ghaib yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang
tidak dapat dilihat (kasat mata) di alam maya. Seperti: malaikat yang diciptakan Allah
SWT dengan tugas-tugas tertentu, begitu juga jin dan setan yang diciptakan untuk
menyesatkan manusia, kecuali mereka hamba-hamba Allah yang berada dijalan-Nya.144
Sebaian besar hadis-hadis yang menerangkan tentang alam ghaib bernilai
dibawah kualitas Ṣahīh namun yang diriwayatkan secara ṣahīh juga banyak. Oleh karena
itu hadis hadis yang bernilai harus dipahami secara proporsional, yakni diantara yang
membicarakan alam kasat mata dengan yang membicarakan tentang alam ghaib.
8) Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis
Hal yang terpenting dalam memahami sunnah dengan benar adalah yaitu
memastikan makna dan konotasi yang tepat kata-kata tertentu yang digunakan dalm
susunan kalimat sunnah. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah karena
perubahan dan perbedaan lingkungan yang ada. Masalah ini sudah barangtentu akan
lebih jelas diketahui oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa serta
pengaruh waktu dan tempat terhadapnya. Seingkali suatu kelompok manusia
menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukan makna tertentu pula.145
Sementara itu, tidak adanya batasan untuk menggunakan istilah atau kata- kata
tertentu. Akan tetapi yang dikhawatirkan disini adalah menafsiri lafaẓ-lafaẓ yang
tertentu dalam sunnah (termasuk pula dalam al-Qur’ān), dengan menggunakan istilah
11
5

modern. Dari sinilah seringkali nampak adanya penyimpangan dan kekeliruan. Oleh
karena itu penguasaan arti dan makna pada dasarnya akan membantu memahami apa
sesungguhnya yang dimaksudkan oleh hadis secara proporsional.146
Perkembangan metode pemahaman hadis juga dihadirkan oleh beberapa ulama
hadis di Indonesia, hal ini dapat diidentifikasikan melalui karyanya yang memberikan
sejumlah tawaran metodologis. Diantaranya yakni ada Sosok M. Syuhudi Ismail dan
Ali Mustafa Ya’qub yang menghasilkan karyanya dalam bahasa Indonesia serta
memberikan beberapa contoh tentang metode yang sedang digunakannya.
M. Syuhudi Ismail (w. 1995) menjelaskan posisinya dalam kajian metode
pemahaman hadis dengan menempati pos sebagai pengkaji posisi Nabi, 147 dan
pernyataan ini secara tidak langsung ditegaskan dalam karyanya.148 Metode yang
ditawarkannya pun rasanya telah banyak dijelaskan oleh sejumlah ulama sebelumnya
baik pada fase klasik maupun fase modern yakni, Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Mahmud
Syaltut dan al-Dihlāwī.
Dalam kajian matan hadis metode yang ia tawarkan dengan menganalisa hadis
dalam beberapa bentuk: a) mengungkap matan dan cakupan petunjuknya berkaitan pula
dengan meneliti secara bahasa dan logika bahasa yang digunakannya termasuk
ungkapan analogi, simbolik, bahasa percakapan, bahasa tamsil. b) Mengungkap matan
dengan menghubungkan fungsi Nabi dalam hadis tsb. c) Meneliti asbāb al-wurūd yang
berkaitan dengan hadis, baik yang mempunyai sebab secara khusus atau pun tidak, serta
yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi. d) Menyelesaikan hadis yang
nampaknya saling bertentangan.149
Dalam kerangka metode yang dibangun, beberapa langkah di atas tidak akan
berguna jika hadis yang dikajinya bukan pada derajat yang ṣahīh atau minimal tidak
termasuk berat kedaifannya. Hal ini mengindikasikan kualitas sanad juga sangat penting
dalam kajian tentang pemahaman hadis, dikarenakan tanpa adanya sanad maka suatu
matan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah, atau matan
yang sanadnya sangat daif hasilnya pun tidak akan bermanfaat bagi kehujjahan hadis
yang bersangkutan.150
Kerangka metode lainnya juga ditawarkan oleh Ali Mustafa Ya’qub (w. 2016)
dengan merumuskan kajian tentang penelitian matan dan pemahaman hadis dengan
melihat berbagai aspeknya.151 Dan ia merumuskan pendekatan yang tekstual dan
11
6

kontekstual dalam memahamai hadis, hal ini bertujuan agar pesan yang dikandung oleh
hadis mampu tersampaikan secara utuh.
Secara metode Ali Mustafa Ya’qub memberikan tiga garis besar dalam
memahami hadis, yakni; a) Memahami hadis secara tematis, dengan mengumpulkan
hadis yang sama hal ini bertujuan agar memahami secara jelas maksud hadis. b)
Memahami hadis dengan pendekatan tekstual, ia menawarkan pemahaman dengan
mengidentifikasi bentuk Majazi dan Haqiqi dalam hadis, ta’wil dalam hadis, dan illat
dalam hadis. c) Memahami hadis dengan pendekatan kontekstual, yakni dengan
memahami geografi dan budaya Arab, kondisi social dan sebab hadis disabdakan
(asbāb al-Wurūd) dalam hadis.152
Dan jika dianalisis lebih jauh tentang kedua tokoh di atas, metode yang coba
dipaparkan pada masing-masing karyanya memang bukan sebuah tawaran metode yang
baru hal ini dikarenakan proses yang dilakukannya memang tidak jauh berbeda dengan
rumusan metode yang ditawarkan pada fase klasik hingga modern, perbedaannya hanya
terletak pada besarnya pendekatan-pendekatan yang bersifat sosiologis ikut
mempengaruhi dalam pemahaman yang dibentuk.
Perkembangan pemahaman yang memasuki era millenial tentu memerlukan
pendekatan yang lebih mendalam terkait pemahaman apa yang akan ditimbulkan dari
sebuah teks, mengingat sosio-kultural pada masa modern-kontemporer sangat jauh
berbeda dengan keadaan pada saat sunnah itu diamalkan atau ketika hadis itu
dibukukan. Metode-metode dan pendekatan-pendekatan di atas merupakan buah karya
ulama dan pengkaji hadis yang cukup di pertimbangkan dalam hal pengolahan sebuah
makna untuk dibentuk kepada sebuah pemahaman yang relevan dengan keadaann
sekarang.

Tabel 3.3 Perbandingan Metode Pemahaman Periode Kontemporer

Metode Pemahaman Hadis Periode Kontemporer

Tokoh Metode Basis Orientasi


11
7

Ibn ‘Ashūr Kerangka metode yang Pemilahan Posisi Pengembangan


dipaparkan al-Qarāfī Nabi hukum fikih
yang awalnya hanya dengan
tiga, dikembangkan memperhatikan
menjadi dua belas posisi dan motif
kategori oleh Ibn Nabi.
‘Ashūr.
kategori-kategori
tersebut yakni; al-tashrī’
(pembentukan syari’at
agama), al-fatwā
(pemikiran/opini
agama), al-qaḍa
(putusan hukum), al-
imārah (keputusan
politik), al-hadyu
(petunjuk), al-ṣulḥ
(kontrak damai),
ishārah ‘alā al-
mustashīr
(pertimbangan), al-
naṣīḥah (saran), takmīl
al-nufūs (penguatan
mental), ta’līm ḥaqā’iq
al-‘āliyyah (pengajaran
nilai-nilai luhur), al-
ta’dīb (pendidikan
pekerti), al-tajarrud
‘an al-irshād
(pernyataan tanpa motif
tertentu).
Fazlur Metode yang Kontekstualisasi Penyelarasan
Rahmān ditawarkannya dikenal Makna nilai-nilai agama
dengan teori double kepada kehidupan
movement (teori gerak terkini.
ganda). Tiga aspek yang
terkait dalam teori ini
adalah: teks, konteks dan
kontekstualisasi. Dan
dalam pemikirannya,
amat jauh lebih penting
memahami pesan moral
dalam hadis.
Muḥammad Dalam kitabnya al- Kontekstualisasi Pemahaman yang
Syahrūr Kitab wa al-Qur’ān: Makna cocok untuk
Qira’ah kondisi kekinian.
Muā’ṣirah cenderung
memandang sunnah
11
8

sebagai bentukan realitas


akan tetapi pada karya
lainnya yang khusus
membahas sunnah
dengan membanginya
kepada dua, yakni
sunnah Nabi dan Sunnah
Rasul, yang pada
akhirnya memberikan
pemahaman yang sesuai
dengan kondisi saat ini.
Muḥammad Pemahaman berdasarkan Memperkuat Pemahaman
al-Ghāzali petunjuk al-Qur’an dan Otoritas Al- kekinian
pemahaman harus Qur’an berpedoman
sejalan dengan indikator kepada nilai-nilai
yang disebutkan dalam al-Qur’an.
al-Qur’an.
Nasr Ḥamid Pemahaman yang lahir Signifikansi Pemahaman
Abū Zayd dari hermeneutika Makna (produksi kontekstual
konstruktif. makna baru)
Dengan metode;
menganalisa struktur
linguistic teks dan
mencari fakta sejarah
yang mengelilinginya.
Menentukkan tingkatan
makna teks, menentukan
makna asli teks,
menentukan makna
signifikansi,
mengkontekstualisasikan
makna historis dengan
berpedoman dengan
makna yang tak
terkatakan.
Moḥammed Pemahaman berdasarkan Pencarian makna Pemahaman
Arkoun analisis semiotik. Dan lain yang aktual
metode pemahamannya tersembunyi
banyak yang berasal dari (analisis semiotik)
tradisi pemahaman barat
dengan semiotiknya,
berikut ini metodenya;
analisis linguistic
meliputi tanda bahasa,
kata ganti, kata kerja,
susunan sintaksis,
persajakan dll.
Analisis hubungan kritis
11
9

ujaran-ujaran dalam
teks.
96

Pembacaan historis. Dan


pembacaan antropologis.
Yūsuf al- Metode yang Penelitian Pemahaman
Qaraḍāwī disajikannya menempati Komprehensif moderat tetapi
delapan aspek, berikut (tradisional- pada beberapa hal
ini: modern) menggunakan
Memahami hadis dengan kontekstual.
petunjuk al-Qur’an,
mengumpulkan beberapa
hadis yang menampilkan
satu tema, melakukan
pentarjihan dan
penggabungan terhadap
hadis yang bertentangan,
memahami hadis dengan
mempertimbangkan latar
belakang dan kondisi,
membedakan sarana
yang berubah dan tujuan
yang tetap,membedakan
antara ungkapan haqiqi
dan majazi,
membedakan yang ghaib
dan nyata, serta
memastikan makna
istilah yang digunakan
dalam hadis.
M. Syuhudi Metode yang Pemilahan fungsi Pemahaman yang
Ismail ditawarkannya sebagai Nabi dalam Hadis tekstual dan
berikut: mengungkap kontekstual
dan cakupan
petunjuknya (bahasa,
logika, analogi, symbol,
bahasa tamsil),
mengungkap matan yang
berkaitan dengan fungsi
nabi dalam hadis,
meneliti asbāb al-
Wurūd, menyelesaikan
hadis yang nampaknya
bertentangan.
97

Ali Mustafa Metode yang Memahami Tekstual-


Ya’qub ditawarkannya memang dengan benar kontekstual.
tidak jauh berbeda hadis nabi.
dengan ulama
sebelumnya, berikut ini
metodenya: memahami
hadis secara tematis
bermaksud agar tema
dipahami secara
sempurna dan
maksudnya didapatkan,
memahami hadis dengan
pendekatan tekstual
(ta’wil, analisa majazi
haqiqi, illat hadis),
memahami hadis dengan
pendekatan kontekstual
(geografis budaya arab,
kondisi sosial, dan asbāb
al-wurūdnya).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

.      Pengertian pendidikan yang ditawarkan dari kata al-ta'lim pada hadis di atas
adalah proses pemindahan seperangkat nilai antar manusia seperti yang dinyatakan oleh
Abdul Fattah Jalal dalam Samsul Nizar bahwa pada kata al-ta'lim secara implisit selain
menanamkan aspek kognitif dan psikomotorik, juga aspek afektif, karena pada kata al-
ta'lim juga ditekankan pada prilaku yang baik (akhlak al-karimah).
Penggunaan aspek metodologis jauh lebih beragam ketika fase menginjak ke
masa Modern, hal ini dibuktikan dengan beragamnya metode yang hadir dalam
pengkajian tentang makna.
Dan diantara ulama, sarjana Muslim dan pengkaji hadis pada periode modern ini
yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap terciptanya pembaruan
pemikiran dalam islam –atau meminjam istilah Daniel w. Brown dengan basis kuat
kebangkitan islam

B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan dan
pengetahuan baik itu penulis sendiri dan juga pembaca dikemudian hari tentang konsep
pendidikan at-ta’lim dalam perspektif hadis

2
DAFTAR PUSTAKA

RIDWAN, Muhammad. Konsep Tarbiyah, Ta’lim Dan Ta’dib Dalam Al-


Qur’an. Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, 2018, 1.1: 37-60.

Batubara, Hamdan Husein. Makna kata ta’lim dalam konsep pendidikan Islam. Diss.
IAIN Padangsidimpuan, 2011.

Syah, Ahmad. "TERM TARBIYAH, TA'LIM DAN TA'DIB DALAM PENDIDIKAN


SLAM: Tinjauan dari Aspek Semantik." Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman 7.1 (2017):
138-150.

Saihu, Saihu. "ETIKA MENUNTUT ILMU MENURUT KITAB TA’LIM


MUTA’ALIM." Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam 3.1 (2020): 99-112.

Djunaid, Hamzah. "Konsep Pendidikan dalam Alquran (Sebuah Kajian


Tematik)." Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan 17.1 (2014): 139-
150.

Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No 1 Maret 2018. Issn: 2614-8013. Hal. 37-
60

TARBAWY: Indonesian Journal of Islamic Education – Vol. 6 No. 2 (2019)

Jaya, Farida. "KONSEP DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM:


TA’LIM, TARBIYAH DAN TA’DIB." TAZKIYA9.1 (2020).

Salam, Nor. "KATA TA’LIM DALAM AL-QURAN: MAKNA DAN


CAKUPANNYA."

‘Itr, Nūr al-Dīn. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth. Damaskus: Dār al-Fikr, 1997.
Abdullah, M. Amin.“Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibnu

Taimiyyah”, dalam pengembangan pemikiran terhadap hadis, Ed. Yunahar


Ilyas. Yogyakarta: lembaga pengkajian dan pengamalan Islam (LPPI), Universitas
Muhammadiyyah Yogyakarta, 1996.
Ali, Nizar. “Kontribusi Imam Nawawī dalam Penulisan Sharḥ Hadis : Kajian atas Kitab
Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ al-Nawawī,” Disertasi S3 Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007
-------------. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: CeSAD
YPI al-Rahmah, 2011

Al-Jawābī, Muḥammad Ṭāhir. Juhūd al-Muḥaddithīn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al- Nabawī
al-Syarīf. Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allāh, t.th.

Al-Jurjānī, Alī Ibn Muḥammad. Kitāb al-Ta’rifāt. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmīyah,
t.th.
al-Karīm, Fatḥī ‘Abd. al- Sunnah Tasyri’ Lazim wa Daim. Kairo: Maktabah Wahbah,
1985.

Anda mungkin juga menyukai