Anda di halaman 1dari 21

HAKIKAT PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN

ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok


pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dr. Salminawati, MA.

Disusun Oleh: Kelompok 8

Dwi Indah Khairiyah (0306171071)


Rosni Putri Lisa (0306171018)
Siti Hafsah Siregar (0306173170)

PGMI – 4/ Semester VI

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kita sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan
umat di dunia.
Makalah ilmiah ini disusun dengan maksimal untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Filsafat Pendidikan Islam di program studi Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu, Ibu Dr. Salminawati, MA dan kepada pihak yang terlibat dalam pembuatan
makalah ini.
 Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca demi kesempunaan makalah ini.

Medan, 10 Juni 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Makna Pendidik: Mu’allim, Mu’addib, dan Murabbi.............................................3
B. Tugas-tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam.......................................................6
C. Kepribadian Pendidik dalam Pendidikan Islam.......................................................7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..............................................................................................................17
B. Saran........................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perspektif pendidikan Islam, tujuan hidup seorang muslim
pada hakikatnya adalah mengabdi kepada Allah Swt. Pengabdian pada Allah
Swt. sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkn dalam amal, tidak lain
untuk mencapai derajat orang yang bertaqwa disisi-Nya. Beriman dan
beramal saleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan oleh
pendidikan Islam. Sedangkan hakikat tujuan pendidikan Islam adalah
terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan
berkemampuan ilmiah, dalam istilah lain disebut insan kamil.
Untuk mengaktualkan tujuan tersebut, seorang pendidik memiliki
tanggungjawab untuk mengantarkan peserta didik ke arah tujuan tersebut,
yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah Swt. sebagai bagian dari
karakteristik keperibadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia
pedidikan sangat krusial. Hal ini disebabkan kewajibannya tidak hanya
mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga
dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta didik.
Bentuk nilai yang ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak
meliputi: nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai regius.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1. Apa makna dari mu’allim, mu’addib, dan murabbi ?
2. Apa saja tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam?
3. Bagaimana kepribadian pendidik dalam pendidikan Islam?

C. Tujuan Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah dalam makalah ini, maka penulisan
ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui makna dari mu’allim, mu’addib, dan murabbi.

1
2. Mengetahui tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam.
3. Mengetahui kepribadian pendidik dalam pendidikan Islam.

2
BAB I
PEMBAHASAN

A. Makna Pendidik: Mu’allim, Muaddib, dan Murabbi


Dalam konteks pendidikan Islam pendidik sering disebut dengan mu’allim,
mu’addib, murabbi.1

1. Mu’allim
Mu’allim berasal dari al-fi’l al-madhi ‘alama, mudhari’nya
yu’allimu dan mashdarnya al-ta’lim. Artinya, telah mengajar, sedang
mengajar, dan pengajaran. Kata mu’allim memiliki arti pengajar atau orang
yang mengajar. Istilah mu’allim sebagai pendidik dalam Hadist Rasulullah
adalah kata yang paling umum dikenal dan banyak ditemukan. Mu’allim
merupakan al-ism al-fa’il dari ‘alama yang artinya orang yang mengajar.
Allah Swt. berfirman:
ِ ِ
‫ك‬َ ‫وت َو آتَ اهُ اللَّ هُ الْ ُم ْل‬ ُ ‫وه ْم بِ ِإ ْذ ن اللَّ ه َو َق تَ َل َد ُاو‬
َ ُ‫ود َج ال‬ ُ ‫َف َه َز ُم‬
ٍ ‫ض ُه ْم بِ َب ْع‬
‫ض‬ ِ َّ‫و ا حْلِ ْك م ةَ و ع لَّ م ه مِم َّ ا ي َش اء ۗ< و لَ و اَل د فْ ع الل‬
َ ‫اس َب ْع‬ َ َّ
‫الن‬ ‫ه‬ ُ َ ْ َ ُ َ َُ َ َ َ َ

ْ َ‫ض َو ٰلَ ِك َّن اللَّ هَ ذُ و ف‬


: ‫ض ٍل َع لَ ى الْ َع الَ ِم نيَ ﴿البقر‬ ِ
ُ ‫لَ َف َس َد ت ا أْل َ ْر‬
٢٥١﴾

Artinya: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami


kepadamu) Kami telah menutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat kami kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan kami mensucikan kamu dan
mengajarkan kepada kamu apa yang telah belum kamu ketahui.” (Qs. Al-
Baqarah : 251).
Berdasarkan ayat di atas, maka mu’allim adalah orang yang mampu
untuk merekonstruksi bangunan ilmu secara sistematis dalam pemikiran
1
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2011), hal. 74.

3
peserta didik dalam bentuk ide, wawasan, kecakapan, dan sebagainya, yang
ada kaitannya dengan hakekat sesuatu. Mu’allim adalah orang yang
memiliki kemampuan unggul dibandingkan dengan peserta didik, yang
dengannya ia dipercaya menghantarkan peserta didik ke arah kesempurnaan
dan kemandirian. Istilah mu’allim lebih menekankan guru sebagai pengajar
dan penyampai pengetahuan dan ilmu.2

2. Mu’addib
Mu’addib merupakan al-ism al-fa’il dari madhinya addaba. Addaba
artinya mendidik, sementara mu’addib artinya orang yang mendidik atau
pendidik. Secara bahasa mu’addib merupakan bentukan mashdar dari kata
addaba yang berarti memberi adab, mendidik. Adab dalam kehidupan
sehari-hari sering diartikan tata krama, sopan santun, akhlak, budi pekerti.
Secara terminologi mu’addib adalah seorang pendidik yang bertugas
untuk menciptakan suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik
untuk berprilaku atau beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila, dan
sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.3

3. Murabbi
Istilah murabbi merupakan bentuk (sighah) al-ism al fail yang
berakar dari tiga kata. Pertama, berasal dari kata raba, yarbu yang artinya
zad dan nama (bertambah dan tumbuh). Kedua, berasal dari kata rabiya,
yarba yang mempunyai makna tumbuh (nasya’) dan menjadi besar
(tarara’). Ketiga, berasal dari kata rabba, yarubbu yang artinya,
memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara.4 Allah Swt.
berfirman:

2
Marno dan M. Idris, Strategi, Metode, dan Teknik Mengajar, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014) hal. 15.
3
Ibid,... hal. 17.
4
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam .... hal. 76.

4
‫صغِْيًرا‬ ِّ ‫الذ ِّل ِم َن الرَّمْح َِة َوقُ ْل َّر‬
ُّ ‫اح‬ ِ ‫و‬
َ ْ ‫ب ْارمَح ْ ُه َما َك َما َربَّٰييِن‬ َ َ‫ض هَلَُما َجن‬
ْ ‫اخف‬
ْ َ

۲٤ :‫﴾ ﴿اإلسراء‬
ۗ
Artinya: “Dan ucapkanlah Wahai Tuhanku, sayangilah mereka berdua,
sebagaimana ia telah menyayangiku semenjak kecil. “ (Qs. Al-Isra’ : 24)
Dalam bentuk kata benda, kata rabba digunakan untuk Tuhan, hal
tersebut karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan
bahkan menciptakan. Allah Swt. berfirman:

ِّ ‫﴾ اَحْلَ ْم ُد لِٰلّ ِه َر‬


۲﴿ ۙ َ ‫ب الْ ٰعلَ ِمنْي‬

Artinya: Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. (Qs. Al-Fatihah : 2).
Oleh karena itu istilah murabbi sebagai pendidik mengandung
makna yang luas, yaitu:5
a. Mendidik peserta didik agar kemampuannya terus meningkat.
b. Memberikan bantuan terhadap peserta didik untuk mengembangkan
potensinya.
c. Meningkatkan kemampuan peserta didik dari keadaan yang kurang dewasa
menjadi dewasa dalam pola pikir, wawasan, dan sebagainya.
d. Menghimpun semua komponen-komponen pendidikan yang dapat
mengsukseskan pendidikan.
e. Memobilisasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
f. Bertanggung jawab terhadap proses pendidikan anak.
g. Memperbaiki sikap dan tingkah laku anak dari yang tidak baik menjadi yang
lebih baik.
h. Rasa kasih sayang mengasuh peserta didik, sebagaimana orang tua mengasuh
anak-anak kandungnya.
i. Pendidik memiliki wewenang, kehormatan, kekuasaaan, terhadap
pengembangan kepribadian anak.
j. Pendidik merupakan orang tua kedua setelah orang tuanya di rumah yang
berhak atas petumbuhan dan perkembangan si anak.

Marno dan M. Idris, Strategi, Metode.... hal. 18.


5

5
Secara ringkas term murabbi sebagai pendidik mengandung empat
tugas utama yaitu:
a. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa.
b. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
c. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
d. Melaksanakan pendidikan secara bertahap.

B. Tugas-tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam


Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan,
menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah Swt. Realisasi tugas ini merupakan cerminan dari
tujuan utama pendidikan Islam adalah berupaya menciptakan subyek didik
untuk mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu
mewujudkan siswanya membiasakan diri dalam peribadatan secara tepat, maka
ia sungguh mengalami kegagalan dalam tugasnya, sekalipun peserta didiknya
memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal itu mengandung arti bahwa
adanya keterkaitan antara ilmu dan amal saleh.
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan guru (gu dan ru)
yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru
memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki
wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini.
Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh,
karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh
peserta didiknya.6
Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekadar transformasi
ilmu, tapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta
didiknya. Pada tataran ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh
guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta
didik).
Oleh karena itu, maka tugas pendidik dalam pendidikan Islam dapat
disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu: Pertama, sebagai pengajar
Tim Departemen Agama RI,  Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PPPAI-PTU,
6

1984), hal. 149.

6
(instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan
penilaian program dilakukan. Kedua, sebagai pendidik (educator), yang
mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian seiring
dengan tujuan Allah Swt. menciptakannya. Ketiga, sebagai pemimpin
(managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik
dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut
upaya pengerahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi
atas program pendidikan yang dilakukan.7

C. Kepribadian Pendidik dalam Pendidikan Islam


1. Definisi Kompetensi
Kompetensi dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa
Inggris Competence yang berarti kecakapan dan kemampuan. Istilah
kompetensi guru mempunyai banyak makna, Broke and Stone (1995) dalam
Mulyasa mengemukakan bahwa kompetensi guru sebagai “descriptive of
qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningful”
yang artinya kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang
hakikat prilaku guru yang penuh arti.8
Seseorang disebut kompeten dalam bidangnya jika pengetahuan,
keterampilan, dan sikapnya serta hasil kerjanya sesuai standar (ukuran) yang
ditetapkan dan diakui oleh lembaga/pemerintah.9 Sedangkan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, dijelaskan bahwa: “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh
guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.”10

Roestiyah NK., Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hal. 86.
7

Mulyasa, Praktek Penelitian Tindakan Kelas. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012),
8

hal. 25.
Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar
9

Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 26.


10
Departemen Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. Tentang
Guru dan Dosen, (Jakarta: Depdiknas, 2005), hal. 4.

7
Dari uraian diatas, nampak bahwa kompetensi mengacu pada
kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan;
kompetensi guru menunjuk kepada performance perbuatan yang rasional
untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas
pendidikan.
Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan, sedangkan
performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya dapat
diamati, tetapi mencakup sesuatu yang tidak kasat mata. Komptensi
merupakan komponen utama dari standar profesi disamping kode etik
sebagai regulasi perilaku profesi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem
pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat
perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis
dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang
mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan
tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukanlah suatu titik akhir
dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar
sepanjang hayat (lifelong learning process).11

2. Definisi Guru
Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencaharian,
profesinya) mengajar. Menurut Ahmad Tafsir, Guru adalah pendidik yang
memegang mata pelajaran di sekolah. Istilah yang lazim digunakan untuk
pendidik adalah guru. Kedua istilah tersebut berhampiran artinya, bedanya
ialah istilah guru sering kali dipakai dilingkungan pendidikan formal,
sedangkan pendidik dipakai dilingkungan formal, in formal maupun non
formal. Dengan demikian guru dapat disebut pendidik dan begitupula
sebaliknya, pendidik dapat disebut guru.12
Guru adalah pendidik profesional yang bertugas untuk
mengembangkan kepribadian siswa atau sekarang lebih dikenal dengan
karakter siswa. Penguasaan kompetensi kepribadian yang memadai diri
11
Mulyasa, Praktek Penelitian..., hal. 26.
12
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2004), hal. 36.

8
seorang guru akan sangat membantu upaya pengembangan karakter siswa.
Dengan menampilkan sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru secara
psikologis anak cenderung akan merasa yakin dengan apa yang sedang
dibelajarkan gurunya. Misalkan, ketika guru hendak membelajarkan tentang
kasih sayang kepada siswanya, tetapi disisi lain secara disadari atau
biasanya tanpa disadari, gurunya sendiri malah cenderung bersikap tidak
senonoh, mudah marah dan sering bertindak kasar, maka yang akan melekat
pada siswanya bukanlah sikap kasih sayang, melainkan sikap tidak senonoh
itulah yang lebih berkesan dan tertanam dalam sistem pikiran dan keyakinan
siswa.
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar,
memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Pribadi guru adalah hal
yang sangat penting. Seorang guru harus mempunyai sikap yang
mencerminkan kepribadiannya sehingga dapat dibedakan dengan guru yang
lain. Kepribadian menurut Zakiyah Daradjat disebut sebagai sesuatu yang
abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan,
tindakan, dan atau ucapan ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui
atasannya saja.
Guru merupakan sumber pengetahuan utama bagi murid-muridnya,
namun pada umumnya orang tidak memandang guru sebagai orang yang
pandai yang mempunyai intelegensi yang tinggi. Orang yang ber-IQ tinggi
akan menjadi dokter atau insinyur dan tidak menjadi guru, walaupun dalam
kenyataannya terbukti bahwa guru yang beralih jabatannya dapat melakukan
tugasnya dengan baik sebagai jenderal, gubernur, menteri, duta besar, bupati
atau camat, juga sebagai usahawan, seniman, pengarang, dan sebagainya.
Walaupun demikian orang tetap berpegang pada stereotip guru.13

3. Kompetensi Guru
Menurut Sudjana dalam Musfah membagi kompetensi guru dalam
tiga bagian, yaitu bidang kognitif, sikap dan perilaku (performance). Ketiga
13
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:PT. Citra Adiya
Bakti, 2014), hal. 102.

9
kompetensi ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan
memengaruhi satu sama lain. Kemampuan individu dapat berkembang
dengan cara pelatihan, praktik, kerja kelompok, dan belajar mandiri.
Pelatihan menyediakan kesempatan seseorang mempelajari keterampilan
khusus. Pengalaman kerja dapat membuat orang semakin kompeten di
bidangnya. Penilaian kompetensi dapat dilakukan dengan dua cara, langsung
dan tidak langsung; satu aspek dan banyak aspek (komprehensif) tergantung
pada tujuan penilaiannya. Seorang guru mampu mengajar dengan
pendekatan atau metode active learning, misalnya, bisa langsung diamati di
kelas oleh seorang kepala sekolah.14
Pada sisi lain, dibutuhkan data lainnya untuk menilai kompetensi
guru tersebut secara utuh, seperti bagaimana persiapan mengajarnya, proses,
dan evaluasinya. Kecuali itu, bagaimana pula dengan perilaku guru tersebut
dalam lingkungannya (sekolah). Proses penilaian kompetensi semacam ini
membutuhkan waktu minimal enam bulan hingga satu tahun.
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kompetensi
adalah pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang harus dimiliki oleh
guru untuk mencapai tujuan pembelajaran dan pendidikan. Kompetensi
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan belajar mandiri dengan
memanfaatkan sumber belajar. Dengan demikian untuk menuju suksesnya
suatu pendidikan, dibutuhkan seorang guru yang berkompeten dan
mempunyai kecakapan, keahlian yang selaras dengan tuntutan bidang kerja
yang bersangkutan.

4. Kompetensi Kepribadian Guru dalam Pendidikan Islam


Ada beberapa kompetensi kepribadian guru dalam pendidikan Islam,
yaitu:
a. berakhlak mulia
b. mantap, stabil, dan dewasa
c. arif dan bijaksana
d. menjadi teladan

14
Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru...., hal. 29.

10
e. mengevaluasi kinerja sendiri
f. mengembangkan diri
g. religious
Berakhlak mulia. “Pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.” Arahan pendidikan nasional ini hanya mungkin terwujud jika guru
memiliki akhlak mulia, sebab murid adalah cermin dari gurunya. 15 Sulit
mencetak siswa yang saleh jika gurunya tidak saleh. Selain guru, untuk
melahirkan siswa yang saleh, perlu dukungan: Pertama, komunitas sekolah yang
saleh, seperti disiplin, demokratis, adil, jujur, syukur, dan amanah.
Hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Thabrani dari Ibnu Amr
menunjukkan bahwa, “Seorang mukmin yang paling utama imannya adalah
yang paling baik akhlaknya.” Menurut Husain dan Ashraf dalam Musfah
mengemukakan bahwa: “Dalam dunia kontemporer saat ini perhatian lebih
ditunjukkan pada bengunan, peralatan, perlengkapan, dan materi, dibandingkan
pada kepribadian dan karakter guru.” Kritik ini layak direnungkan oleh
manajemen lembaga pendidikan dan fakultas pencetak calon guru.16
Kemegahan gedung dan kecanggihan peralatan lembaga pendidikan
tidak diiringi dengan pembinaan kepribadian dan karakter guru/dosen dan staf.
Situasi makin terasa absurd, saat perilaku guru terhadap siswa atau dosen
terhadap mahasiswa melanggar aturan yang berlaku, dan terjadi setiap saat tanpa
kontrol yang sistematis dari sekolah atau universitas. Esesnsi pembelajaran
adalah perubahan perilaku. Guru akan mampu mengubah perilaku peserta didik
jika dirinya telah menjadi manusia baik. “Pribadi guru harus baik karena inti
pendidikan adalah perubahan perilaku, sebagaimana makna pendidikan adalah
proses pembebasan peserta didik dari ketidakmampuan, ketidak benaran,
ketidakjujuran, dan dari buruknya hati, akhlak, dan keimanan.”17

15
Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru..., hal. 43.
16
Ibid,.... hal. 43.
17
Ibid,.... hal. 44.

11
Mengapa guru harus seorang yang berakhlak mulia atau berkarakter
baik? Karena diantara tugas yang amat pokok seorang guru ialah memperkukuh
daya positif yang dimiliki siswa agar mencapai tingkatan manusia yang
seimbang/harmonis (al adalat) sehingga perbuatannya mencapai tingkat
perbuatan ketuhanan (af‟al ilahiyyat) Menurut Suwito dalam Musfah bahwa
“Perbuatan yang demikian ialah perbuatan yang semata-mata baik dan yang lahir
secara spontan.” Apa pendekatan yang dapat digunakan untuk mencapai
manusia harmonis tersebut? Setelah mengkaji pemikiran Ibn Miskawaih, Suwito
menyimpulkan bahwa, untuk mencapai manusia yang seimbang/harmonis
yaitu:18
a. Daya bernafsu (al-bahimiyyat/al-syahwiyyat) diarahkan agar mencapai
tingkat “mampu menjaga kesucian diri” (al-iffat), yakni tidak tenggelam
dalam kenikmatan dan melampaui batas, bukan pula tidak mau berusaha
untuk memperoleh kenikmatan sebatas yang diperlukan.
b. Daya berani (al-nafs al-ghadabiyyat) diarahkan untuk mencapai tingkat
“keberanian” (al-syaja’at), yakni tidak takut terhadap sesuatu yang
seharusnya tidak ditakuti dan bukan pula berani terhadap sesuatu yang
seharusnya tidak diperlukan sikap ini.
c. Daya berpikir (al-nafs al-nathqiat) diarahkan untuk mencapai tingkat
“kebijaksanaan” (al-hikmat), yakni memiliki kemampuan rasional untuk
membuat keputusan antara yang wajib dilakukan dan yang wajib
ditinggalkan. Berarti pula tidak membekukan dan menyampingkan daya
pikir, padahal sebetulnya mempunyai kemampuan, bukan pula menggunakan
daya pikir yang tidak lurus.

Mantap, stabil, dan dewasa. Menurut Husain dan Ashraf dalam Musfah
menerangkan bahwa: “Jika disepakati bahwa pendidikan bukan hanya melatih
manusia untuk hidup, maka karakter guru merupakan hal yang sangat penting.”
Itu sebabnya, menurut Husain dan Ashraf “Meskipun murid pulang ke rumah
meninggalkan sekolah atau kampus guru mereka, mereka tetap mengenangnya

18
Ibid,.... hal. 45.

12
dalam hati dan pikiran mereka, kenangan tentang kepribadian yang agung
dimana mereka pernah berinteraksi dalam masa tertentu dalam hidup mereka.”19
Arif dan bijaksana. “Guru bukan hanya menjadi seorang manusia
pembelajar tetapi menjadi pribadi bijak, seorang saleh yang dapat memengaruhi
pikiran generasi muda.” Tulis Husain dan Ashraf bahwa seorang guru tidak
boleh sombong dengan ilmunya, karena merasa paling mengetahui dan terampil
dibanding guru yang lainnya, sehingga menganggap remeh dan rendah rekan
sejawatnya. Allah Swt. mengingatkan orang-orang yang sombong dengan
firman-Nya Qs. Yusuf ayat 76 yang artinya : “........ Kami tinggikan derajat
orang yang kami kehendaki; dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan
itu ada lagi yang Maha Mengetahui. (Qs. Yusuf/12 : 76)
Sepintar dan seluas apapun pengetahuan manusia, tidak akan mampu
menandingi keluasan ilmu Allah Swt. Jangankan dibandingkan dengan ilmu
Allah Swt., dengan ilmu sesama manusia pun, pasti ada yang lebih tinggi dan
luas lagi. Masalahnya kadang manusia memiliki sifat sombong.
Menjadi teladan. Mulyasa dalam Musfah menyatakan bahwa: “Pribadi
guru sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Ini dapat
dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk
mencontoh pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya.” “Secara teoritis,
menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi
guru berarti menerima tanggung jawab menjadi teladan.”20
Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan yang ditulis oleh
Ajami, yaitu:21
a. manusia saling memengaruhi satu sama lain melalui ucapan, pemikiran, dan
keyakinan;
b. perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding ucapan; dan
c. metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.
Rasulullah Saw. adalah teladan utama bagi kaum muslimin. (Qs. Al-
Ahzab/33: 21). Ia teladan dalam keberanian, konsisten dalam kebenaran,
pemaaf, rendah hati dalam pergaulan dengan tetangga, sahabat, dan keluarganya.
19
Ibid,... hal. 45.
20
Ibid,.... hal. 47.
21
Ibid,.... hal. 48.

13
Demikianlah, pendidik harus meneladani Rasulullah Saw. Dalam syair
Arab disebutkan, “Perbuatan satu orang di hadapan seribu orang lebih baik
dibanding perkataan seribu orang di hadapan satu orang (Fi‟lu rajulin fi alfi
rajulin khoirun min qaulu alfi rajulin fi rajulin).” Betapa kita membutuhkan
pendidik yang saleh dalam akhlak, perbuatan, sifat, yang dapat dilihat oleh
muridnya sebagai contoh. Ajami menulis dalam Musfah, bahwa “Para murid
bisa lupa perkataan pendidik, tetapi mereka tidak akan pernah melupakan sikap
dan perbuatannya.”22 Al-Qur’an mencela orang-orang yang mengatakan apa
yang tidak mereka kerjakan: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” (Qs. Ash-Shaf/61: 2).
Mengevaluasi kinerja sendiri. Pengalaman adalah guru terbaik
(experience is the best teacher). Demikian pepatah Inggris. Pengalaman
mengajar merupakan modal besar guru untuk meningkatkan mengajar di kelas.
Pengalaman di kelas memberikan wawasan bagi guru untuk memahami karakter
anak-anak, dan bagaimana cara terbaik untuk menghadapi keragaman tersebut.
Guru jadi tahu metode apa yang baik bagi mata pelajaran apa, karena ia pernah
mencobanya berkali kali. Pengalaman bisa berguna bagi guru jika ia senantiasa
melakukan evaluasi pada setiap selesai pengajarannya.23 Guru harus menjawab
beberapa contoh pertanyaan berikut ini: Apakah siswa merasa senang dan
antusias saat belajar dengan saya? Apakah siswa dapat menjawab pertanyaan
saya di awal dan di akhir pelajaran? Apakah siswa memberikan umpan balik saat
pembelajaran berlangsung? Apakah saya menghukum siswa yang malas dengan
hukuman fisik?.
Tujuan evaluasi kinerja diri adalah untuk memperbaiki proses
pembelajaran di masa mendatang. Umar bin Utbah berkata kepada guru
anaknya: “Hal pertama yang harus Anda lakukan dalam mendidik anakku adalah
memperbaiki dirimu sendiri, karena matanya melihatmu. Kebaikan baginya
adalah apa yang kau lakukan, dan keburukan adalah apa yang kau tinggalkan.”
Guru dapat mengetahui mutu pengajarannya dari respon dan/atau umpan balik
yang diberikan para siswa saat pembelajaran berlangsung atau setelahnya, baik
di dalam kelas maupun luar kelas. Guru dapat menggunakan umpan balik
22
Ibid,.... hal. 47.
23
Ibid,.... hal. 47.

14
tersebut sebagai bahan evaluasi kinerjanya. Guru belajar dari respons murid.
Oleh karena itu, guru harus berjiwa terbuka; tidak anti kritik. Guru siap
menerima saran dari kepala sekolah, rekan sejawat, tenaga kependidikan,
termasuk dari para siswa.24
Mengembangkan diri. Diantara sifat yang harus dimiliki guru ialah
pembelajar yang baik atau pembelajar mandiri, yaitu semangat yang besar untuk
menuntut ilmu. Sebagai contoh kecil yaitu kegemarannya membaca dan berlatih
keterampilan yang dapat menunjang profesinya sebagai pendidik. Berkembang
dan bertumbuh hanya dapat terjadi jika guru mampu konsisten sebagai
pembelajar mandiri, yang cerdas memanfaatkan fasilitas pendidikan yang ada di
sekolah dan lingkungannya.25
Religius. Penulis menambahkan ciri religiositas pada kompetensi
kepribadian, karena ia erat kaitannya dengan akhlak mulia dan kepribadian
seorang muslim. Akhlak mulia timbul karena seseorang percaya kepada Allah
sebagai pencipta yang memiliki nama-nama baik (asmaul husna) dan sifat yang
terpuji. Budi pekerti yang baik tumbuh subur dalam pribadi yang khusyuk dalam
menjalankan ibadah vertikal dan horizontal. Pribadi yang selalu menghayati
ritual ibadah dan mengingat Allah akan melahirkan sifat terpuji.
Menurut An-Nawawi dalam Musfah, menerangkan bahwa: “Seorang
pendidik muslim harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:26
a. Pengabdi Allah. Tujuan, sikap, dan pemikirannya untuk mengabdi kepada
Allah, seperti dijelaskan dalam Qs. Ali Imran/3: 79, “Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab
dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.
b. Ikhlas. Tujuannya menyebarkan ilmu hanya semata mencari keridhaan
Allah.
c. Sabar dalam menyampaikan pembelajaran kepada para siswa, karena belajar
perlu pengulangan, menggunakan berbagai metode, dan biasanya peserta
didik putus asa untuk menguasai pelajaran.

24
Ibid,.... hal. 48-49.
25
Ibid,.... hal. 49.
26
Ibid,.... hal. 50.

15
d. Jujur. Tanda kejujuran ialah guru menjalankan apa yang dikatakannya
kepada siswa. Allah Swt. mencela orang-orang mukmin yang tidak jujur
pada apa yang mereka katakan, “Wahai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (2); Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan (3).” (Qs. Ash-Shaf/ 61:2-3).
Pribadi guru yang baik, mengajar dan mendidik dengan perkataan dan
perilakunya dihadapan murid, disengaja maupun tidak disengaja, disadari
ataupun tidak, peserta didik selalu belajar dari figur guru dan orang-orang yang
dianggapnya baik. Dengan demikian harus ada banyak sosok guru, kepala
sekolah, orang tua, yang benar-benar baik dan saleh, sehingga mereka selalu
belajar nilai-nilai dan perilaku baik dari sebanyak mungkin figur.27

27
Ibid,.... hal. 51.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidik dalam
perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik petensi afektif,
kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Dimana pendidik dalam konteks pendidikan Islam sering disebut dengan
mu’allim, mu’addib, murabbi.
Tugas pendidik dalam pendidikan Islam yaitu sebagai pengajar
(instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan
pelaksanaan penilaian program dilakukan,  sebagai pendidik (educator),
yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan
berkepribadian seiring dengan tujuan Allah Swt. menciptakannya,
dan sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan
kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap
berbagai masalah yang menyangkut upaya pengerahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan
yang dilakukan.
Kompetensi kepribadian guru dalam pendidikan Islam, yaitu
berakhlak mulia, mantap, stabil, dan dewasa, arif dan bijaksana, menjadi
teladan, mengevaluasi kinerja sendiri, mengembangkan diri, dan juga
religious.

B. Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini, ada informasi yang dapat
diperoleh dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melangkah ke
depan dalam melakukan pembelajaran terutama dalam kegiatan membaca.

17
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun


2005. Tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas.
Marno dan M. Idris. 2014. Strategi, Metode, dan Teknik Mengajar. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Mulyasa. 2012. Praktek Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan dan
Sumber Belajar Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Nasution, Az. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung:PT.
Citra Adiya Bakti.
NK, Roestiyah. 1982. Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: Bina Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2011. Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja
Rosydakarya.
Tim Departemen Agama RI. 1984. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan. Jakarta:
PPPAI-PTU.

18

Anda mungkin juga menyukai