Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM DAN ORIENTASINYA


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan

Dosen Pengampu: Sri Diah Prihatiningsih JF, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Risky Hidayatullah 2211101077

Novia Anggraini 2211101053

Intan Nurhikmah 2211101078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AJI MUHAMMAD

IDRIS SAMARINDA

2024
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan Puji dan Syukur atas Kehadirat-Nya, karena berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya lah tugas makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Sholawat dan salam kami limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari zaman gelap gulita menuju zaman yang terang benderang.
Terima kasih juga kami ucapkan pada dosen pengampu kami Ibu Sri Diah
Prihatiningsih JF, M.Pd beserta seluruh pihak yang telah membantu
menyelesaikan tugas ini.

Makalah ini disusun semata-mata untuk memenuhi indikator penilaian


mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan serta menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan kita mengenai Konsep Dasar supervisi pendidikan dan harapannya
makalah ini dapat memberikan informasi penting kepada kita semua.

Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak sekali kesalahan baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya, untuk
itu kritik dan saran yang baik dari pembaca sangat kami harapkan agar pembuatan
makalah ini bisa lebih baik kedepannya.

Samarinda, 28 Februari 2024

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Pengertian Pendidikan Islam ........................................................................ 3

1. Pengertian pendidikan secara etimologi (Bahasa) .................................... 3

2. Pengertian pendiidkan secara terminology (Istilah) ................................. 4

B. Pendidikan Islam Sebagai Lembaga ............................................................ 5

1. Pendidikan Islam Pada Sekolah Umum ................................................... 6

2. Pendidikan Islam Pada Madrasah ............................................................. 8

C. Pendidikan Islam Sebagai Disiplin Ilmu .....................................................11

D. Pendidikan Islam Sebagai Nilai ................................................................. 16

E. Model-Model Pendidikan Islam dan Orientasinya .................................... 19

F. Pandangan Dari Para Ahli Tentang Model-Model Pendidikan Islam dan


Orientasinya. ...................................................................................................... 21

G. Model Pendidikan Islam yang Berorientasi Pada Pandangan Falsafah ..... 25

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 27

A. Kesimpulan ................................................................................................ 27

B. Kritik dan Saran ......................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan di zaman sekarang ini sangat penting karena dengan


mengikuti pendidikan, kita mengetahui ilmu baru yang belum kita ketahui
sebelumnya. Dalam pendidikan atau pembelajaran itu banyak sekali
model-model pembelajaran yang mana dengan adanya model-model
pembelajaran tersebut kita bisa menjadikan pendidikan menjadi mudah
untuk dipahami dan dimengerti khususnya bagi pelajar yang sedang
mengikuti pelajaran dikelas.
Di tengah-tengah kemelut resesi kehidupan manusia di berbagai
bidang, terutama bidang ekonomi dan keuangan, dimana nilai-nilai yang
mendasarinya juga terkena dampak negatifnya sehingga goyah dan rentan
menjadi transitif, maka pendidikan islam sebagai salah satu bagian dari
kehidupan universal, tidak dapat terhindar dari dampak keguncanganya.
Ketika islam dijadikan paradigma ilmu pendidikan paling tidak
berpijak pada tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu
homaniora tergolong ilmu normative, karna ia terkait oleh norma-norma
tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai islam sangat berkompeten untuk
dijadikan kehidupan dalam ilmu pendidikan. Kedua, dengan menganalisis
masalah pendidikaan para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori
dan falsafah pendidikan barat.
Falsafah pendidikan barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan
berbagai dimensi kehidupan, sedangkan masyarakat Indonesia lebih
bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal islam sangat
memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena
pendidikan. Ketiga, dengan menjadikan islam sebagai paradigma, maka
keberadaan ilmu pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan
kehiudpan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti
pendidikan telah kehilangan ideologinya.
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Pendidikan Islam


2. Apa yang dimaksud Pendidikan Sebagai Nilai
3. Bagaimana Model-Model Pendidikan Islam dan Orientasinya
4. Bagaimana Pandangan Dari Para Ahli Tentang Model-Model
Pendidikan Islam dan Orientasinya.
5. Bagaimana Pandangan Dari Para Ahli Tentang Model-Model
Pendidikan Islam dan Orientasinya.

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian Pendidikan Islam


2. Untuk mengetahui yanhg dimaksud Pendidikan Pebagai Nilai
3. Untuk mengetahui Model-Model Pendidikan Islam
4. Untuk Mengetahui Pandangan Dari Para Ahli Tentang Model-Model
Pendidikan Islam dan Orientasinya.
5. Untuk Mengetahui Pandangan Dari Para Ahli Tentang Model-Model
Pendidikan Islam dan Orientasinya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Islam

1. Pengertian pendidikan secara etimologi (Bahasa)

Pendidikan dalam bahasa Arab berasal dari kata "Tarbiyah" yang


memiliki arti penambahan, pertumbuhan, pemeliharaan, dan
penjagaan.
Az-Zamakhsyari menambahkan makna kata tersebut dengan
"pengajaran" dan "kedudukan tinggi", sementara Majduddin
menambahkan makna lain, yaitu memberi makna dan kemuliaan.
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kata "tarbiyah"
seperti dalam surat Al Isra ayat 24. Sebagai berikut :
َ ‫الز ْح َمة َو ُق ْل َّر ّب ا ْر َح ْم ُه َما َك َما َرَّب ٰين ْي‬ َ ُّ َ َ َ َ َ ْ ْ َ
‫ص ِغ ْي ًرا‬ ِ ِ ِ َّ ‫واخ ِفض ل ُهما جىاح الذ ِ ّل ِمن‬

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan


penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil”.
Al-Qur'an kerap menggunakan istilah lain untuk pendidikan
seperti tilawah (membaca), tazkiyah (pembersihan jiwa), ta'lim
(pengajaran), dan tathir (pembersihan) sebagaimana yang disebutkan
dalam Surah Al-Baqarah 2:151. Sebagai berikut:
ٰ ۡ ُ ّ ُ ّ َ ٰ ُ َ ُۡ ُ ۡ ً ُ َۡ َ ٓ َ
‫ك َما ا ۡر َسلىا ِف ۡيک ۡم َر ُس ۡوًل ِّمىک ۡم َيتل ۡوا َعل ۡيك ۡم ا ٰي ِتىا َو ُي َز ِك ۡيک ۡم َو ُي َع ِل ُمک ُم ال ِكت َب‬
َ َ َ ُ َُ َ ُ ّ َ ۡ ۡ
١٥١ ۛ ‫َوال ِحک َمة َو ُي َع ِل ُمك ۡم َّما ل ۡم تك ۡوه ۡوا ت ۡعل ُم ۡون‬
Artinya: “Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu seseorang
Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yng membacakan
ayat-ayat Kami, menyucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunah), serta
mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.”

2. Pengertian pendiidkan secara terminology (Istilah)

Pendidikan secara istilah diartikan sebagaimana pendapat


beberapa ulama di bawah ini :
1. Al-Qadhi Al-baidhowi, dalam pandangannya, mengartikan
pendidikan (tarbiyah) sebagai proses menuju kesempurnaan secara
bertahap. Definisi ini sangat luas karena mencakup pendidikan
manusia, perawatan hewan, pertumbuhan tanaman, dan lain
sebagainya. Definisi ini tidak memiliki nuansa keagamaan.
2. Ibnu Sina mengartikan tarbiyah sebagai pembiasaan. Yang
dimaksud dengan pembiasaan adalah melakukan sesuatu berulang-
ulang dalam masa yang lama dan dalam waktu yang berdekatan.
Definisi ini telah menyempitkan bidang tarbiyah pada satus isi saja
yaitu “pembiasaan”.
3. Dr. Miqdad Yajian mengklasifikasikan pengertian pendidikan
(tarbiyah) islamiyah sebagai berikut:
1. Kurikulum materi-materi keislaman di sekolah atau madrasah
2. Sejarah pendidikan, sejarah lembaga pendidikan atau sejarah
tokoh-tokoh pendidikan di negara Islam
3. Pengajaran ilmu-ilmu keislaman
4. Sistem pendidikan integral yang diambil dari arahan dan ajaran
Islam yang murni, serta berbeda dengan pendidikan lain baik
Barat ataupun Timur.
4. Rif'ah Rafi' Ath Thathawi mengartikan pendidikan sebagai upaya
untuk mengembangkan fisik dan mental anak didik sejak lahir
hingga tua dengan pengetahuan tentang agama dan dunia.
5. Prof. Dr. Abdul Gani Abud berpendapat bahwa pendidikan Islam
yang kita harapkan adalah pendidikan yang ideal dan sesuai dengan
prinsip-prinsipnya, yaitu pendidikan Islam yang tujuan dan
dasarnya didasarkan pada ajaran Islam yang Allah sampaikan
dalam Al-Qur'an dan yang dicontohkan oleh Rasul dalam hadis.
Oleh karena itu, yang kita inginkan adalah pendidikan yang berada
dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai Islami
seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan hadis Rasulullah.1

Berdasarkan beberapa definisi dari para ulama di atas, dapat


disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu proses
pembimbingan dan pengarahan yang dilakukan secara terencana dan
bertahap oleh seorang dewasa kepada terdidik agar memiliki kepribadian
Muslim sesuai dengan potensi yang dimiliki.

B. Pendidikan Islam Sebagai Lembaga

Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, diperlukan model dan


sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual
yang menjadi dasarnya. Nilai-nilai ini diwujudkan melalui orientasi
kebutuhan perkembangan alami siswa yang dipadukan dengan pengaruh
lingkungan budaya yang ada. Oleh karena itu, manajemen pendidikan
Islam melihat bahwa seluruh proses pendidikan di lembaga adalah sebagai
suatu sistem yang berorientasi pada tindakan nyata.2
Pendidikan Islam di lembaga ini merupakan bagian dari sistem
masyarakat atau bangsa. Dalam pelaksanaannya, pendidikan selalu
merujuk dan responsif terhadap kebutuhan perkembangan masyarakat.
Tanpa sikap seperti ini, lembaga pendidikan dapat menciptakan
kesenjangan sosial dan budaya.

1
Ismail Thoib. (2009).Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan islam) Cet
Ke-3. Mataram : Alam Tara Institute.
2
Ismail Thoib. (2009).Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan islam) Cet
Ke-3. Mataram : Alam Tara Institute.
Kesenjangan ini menjadi salah satu faktor penyebab konflik antara
pendidikan dan masyarakat. Dari sinilah muncul krisis pendidikan dengan
tingkat intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk mengetahui kesenjangan antara lembaga pendidikan dan
masyarakat terkait dengan peningkatan kebutuhan, dilakukanlah
pengukuran (assessment).3

1. Pendidikan Islam Pada Sekolah Umum

Banyak upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan dan ulama


dalam memperhatikan pelaksanaan pendidikan agama di lembaga-
lembaga pendidikan formal kita, seperti dalam seminar, lokakarya,
dan berbagai forum pertemuan ilmiah lainnya. Mereka sepakat bahwa
pendidikan agama di Indonesia harus berhasil sebaik mungkin sesuai
dengan perkembangan pembangunan nasional.
Namun, dalam pelaksanaan program pendidikan agama di
berbagai sekolah kita, belum berjalan sesuai harapan kita. Hal ini
disebabkan oleh berbagai kendala dalam bidang kemampuan
pelaksanaan metode, sarana fisik, dan non fisik. Selain itu, suasana
lingkungan pendidikan yang kurang mendukung juga menjadi faktor
yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan mental-spiritual dan
moral.

Beberapa faktor yang dapat menghambat, antara lain sebagai berikut :

b. Faktor Eksternal
1) Timbulnya sikap orang tua di beberapa lingkungan sekitar
sekolah yang kurang menyadari pentingnya pendidikan agama,
mengabaikan pentingnya pemantapan pendidikan agama di
sekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang berperilaku
demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomi yang

3
Ismail Thoib. (2009). Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat
Pendidikan islam) Cet Ke-3. Halaman 133-134. Mataram : Alam Tara Institute.
mendorong mereka bekerja selama 20 jam di luar rumah,
sehingga mereka sepenuhnya mengandalkan sekolah untuk
mendidik anak mereka selama 2 jam per minggu.
2) Keadaan sekitar sekolah yang dipengaruhi oleh godaan-godaan
dalam berbagai bentuk, seperti godaan perjudian, hiburan yang
merangsang nafsu (seperti film porno, permainan keterampilan
berhadiah, dan sebagainya). Keadaan semacam ini dapat
melemahkan konsentrasi berpikir dan moral yang baik, serta
mengurangi motivasi belajar, bahkan mengurangi kemampuan
bersaing untuk mencapai kemajuan.
3) Para ilmuwan telah mengusulkan gagasan baru untuk menemukan
solusi terhadap berbagai masalah dalam pembangunan dan
kehidupan remaja. Hal ini menyebabkan para pelajar dengan
mudah mengartikan terobosan sebagai cara untuk mencapai
tujuan tanpa memperhatikan prinsip etika, seperti mencontek,
membeli soal ujian dengan harga mahal, atau mencari nilai
dengan cara curang.
4) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar negeri
semakin mempengaruhi perasaan keagamaan dan memperlebar
kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional
teknologis, yang menjadi sumber perubahan nilai yang belum
jelas arahnya dalam pemukiman yang baru.
c. Faktor Internal
Perangkat input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan
pendidikan menjadi sumber kerawanan karena :
1) Keterbatasan kompetensi guru dalam menjalankan peran
profesional dalam bidang pendidikan menyebabkan jabatan guru
hanya dianggap sebagai pekerjaan alternatif terakhir, tanpa fokus
pada tugas utama sebagai pendidik yang berkualitas dan tanpa
dedikasi sesuai standar pendidikan yang seharusnya.
2) Penempatan guru agama ke bagian administrasi, seperti
perpustakaan, atau pekerjaan non-guru yang tidak sesuai dengan
bidang keahlian mereka merupakan bentuk penyalahgunaan
manajemen penempatan yang berdampak pada ketidaklancaran
pelaksanaan pendidikan agama secara terprogram.
3) Pendekatan metodologi yang masih terpaku pada orientasi
tradisional oleh guru agama menyebabkan ketidakmampuan
mereka dalam menarik minat murid pada pelajaran agama.
4) Kurangnya rasa solidaritas antara guru agama dengan guru-guru
bidang studi umum mengakibatkan sikap memarginalkan guru
agama, yang berdampak pada pelaksanaan pendidikan agama
yang terhambat dan tidak terpadu.
5) Keterbatasan waktu persiapan guru agama dalam mengajar
disebabkan oleh kesibukan mereka dalam usaha non-guru untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari atau mengajar di
sekolah-sekolah swasta, dan sejenisnya.
6) Interaksi antara guru agama dengan murid hanya bersifat resmi,
tanpa adanya hubungan yang berlanjut dalam situasi informal di
luar kelas. Kewibawaan guru juga hanya terbatas di dalam ruang
kelas, tanpa memiliki pengaruh di luar kelas atau sekolah.

2. Pendidikan Islam Pada Madrasah

Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah telah ada sejak


agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah tersebut tumbuh dan
berkembang dari bawah, dengan masyarakat yang merasa bertanggung
jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus.
Oleh karena itu, pada masa itu, madrasah lebih menekankan pada
pendalaman ilmu-ilmu Islam. Keberadaan madrasah dalam bentuk
tersebut tercatat dalam sejarah karena telah berperan dalam
meningkatkan kehidupan bangsa. Setelah kemerdekaan Republik
Indonesia, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk
menyempurnakan dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah
sesuai dengan perkembangan dan aspirasi masyarakat.
Penyempurnaan dalam peningkatan mutu pendidikan madrasah
meliputi: penataan kelembagaan, peningkatan sarana dan prasarana,
kurikulum, dan tenaga pengajar.4
Jumlah madrasah dalam berbagai bentuknya cukup banyak,
tetapi mayoritas berstatus swasta. Menurut Sekretaris Direktur
Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama, Komarudin
Amin, sebagian besar madrasah di Indonesia adalah lembaga swasta.
Komarudin menjelaskan bahwa terdapat sekitar 67.300 madrasah di
Indonesia, dan 80% di antaranya berstatus swasta.
Jumlah madrasah yang cukup besar di Indonesia memberikan
kontribusi yang signifikan dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan di negara ini. Namun, fokus pendidikan agama yang
dominan di madrasah (dari 100% agama menjadi 30% umum dan 70%
agama) dianggap kurang efektif dalam mempersiapkan peserta didik
menghadapi tantangan dunia modern yang semakin kompleks, yang
membutuhkan pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi. Lulusan
madrasah seringkali kalah bersaing dalam pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi dibandingkan dengan lulusan sekolah
umum. Padahal, setiap warga negara Indonesia membutuhkan
keterampilan tersebut untuk mencapai kehidupan yang layak.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya meningkatkan mutu
pendidikan di madrasah agar sejajar dengan sekolah umum. Upaya ini
diwujudkan melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri yang dikenal sebagai SKB 3 M. SKB 3 M merupakan
kesepakatan antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan SK No. 37/U/1975, dan
Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, yang

4
Zulkifli, Laila, Asep Supriyanto, dkk, “Kapita Selekta Pendidikan Islam”, (Padang: PT
Global Eksekutif Teknologi), hlm. 16
diterbitkan pada tanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu
Madrasah. Dalam konteks madrasah SKB 3 M, pendidikan agama
Islam tetap menjadi mata pelajaran utama dengan porsi minimal 30%,
sementara mata pelajaran umum juga diberikan. Sebelum adanya SKB
3 M, kurikulum madrasah terdiri dari 70% pelajaran agama dan 30%
pelajaran umum.5
SKB 3 M bertujuan untuk meningkatkan kualitas madrasah
sehingga tingkat pendidikan umum di madrasah dapat mencapai
tingkat yang setara dengan sekolah umum yang sejajar, yaitu: (1)
Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkat dasar, (2) Madrasah
Tsanawiyah (MTs) untuk tingkat SMP, (3) Madrasah Aliyah (MA)
untuk tingkat SMA.6

Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka :

1. Ijazah madrasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari
sekolah umum yang setingkat;
2. Murid madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat;
dan
3. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang
setingkat lebih tinggi.
Agar dapat mencapai tingkat yang setara dengan sekolah umum,
perlu dilakukan upaya peningkatan yang meliputi: (1) perbaikan
kurikulum; (2) penyediaan buku pelajaran, alat pembelajaran, dan
fasilitas pembelajaran secara umum; dan (3) peningkatan kualitas
pengajar/pendidik. Dengan upaya peningkatan tersebut, maka tingkat

5
Arjanto Dwi, (2017), Pekan Aksioma di Yogya, Menteri Lukman Sanjung Peran
Madrasah, vol 99, [online], tersedia https://nasional.tempo.co/read/897979/pekan-aksioma-di-
yogya-menterilukman-sanjung-peran-madrasah#UcF7HAG0UoRwdAoo.99 diakses pada
Minggu 25 February 2024
6
Muzayyin Arifin. (2011). Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-5. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
pendidikan di madrasah akan sejajar dengan tingkat pendidikan di
sekolah umum.

C. Pendidikan Islam Sebagai Disiplin Ilmu

Sumber-sumber utama pendidikan islam sebagai disiplin ilmu


adalah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Selain itu,
pendapat para sahabat dan para ulama atau ilmuwan muslim juga dijadikan
sebagai tambahan. Sebagai disiplin ilmu, pendidikan islam bertugas pokok
mengilmiahkan wawasan atau pandangan tentang kependidikan yang
terdapat di dalam sumber-sumber pokok dengan bantuan dari pendapat
para sahabat dan ulama atau ilmuwan muslim. Bahan-bahan fundamental
yang mengandung nilai kependidikan atau implikasi-implikasi
kependidikan yang masih berserakan dalam sumber-sumber pokok
tersebut perlu disistematisasikan dan diteorisasikan sesuai dengan kaidah
(norma-norma) yang ditetapkan dalam dunia pengetahuan.
Dunia ilmu pengetahuan yang akademik telah menetapkan norma-
norma, syarat-syarat, dan kriteria-kriteria oleh suatu ilmu yang ilmiah.
Persyaratan keilmuan yang ditetapkan itu tampak bersifat sekuler, dalam
arti bahwa mengilmiahkan suatu pandangan atau konsep dalam banyak
seginya, yang melibatkan nilai-nilai ketuhanan dipandang tidak rasional
karena metafisik dan tidak dapat dijadikan dasar pemikiran sistematis dan
logis. Nilai-nilai ketuhanan berada di atas nilai keilmiahan dan ilmu
pengetahuan. Agama adalah bukan ilmu pengetahuan, karena bukan
ciptaan budaya manusia. Agama adalah wahyu tuhan yang diturunkan
kepada umat manusia melalui rasul-rasulnya untuk dijadikan pedoman
hidup yang harus diyakini kebenarannya. Ilmu pengetahuan pendidikan
islam pada khususnya tersusun dari konsep-konsep dan teori-teori yang
disistematisasikan menjadi suatu kebulatan yang terdiri dari komponen-
komponen yang satu sama lain saling berkaitan. Teori tersebut dijadikan
pedoman untuk melaksanakan proses kependidikan islam itu antara teori
dengan proses oper.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, pendidikan Islam adalah kumpulan
ide dan konsep intelektual yang terbentuk dan diperkuat melalui
pengalaman dan pengetahuan. Dengan kata lain, pengalaman dan
pengetahuan menjadi dasar dari konseptualisasi manusia yang kemudian
membentuk ilmu pengetahuan. Nabi Adam as. diajarkan nama-nama benda
sebagai dasar konseptual untuk pembentukan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, pendidikan Islam harus didasarkan pada gagasan-gagasan yang
berdialog dengan pengalaman empiris yang terdiri dari fakta atau
informasi yang kemudian diolah menjadi teori yang valid. Hal ini menjadi
dasar bagi ilmu pengetahuan yang ilmiah. Dengan demikian, pendidikan
Islam dapat dibedakan antara ilmu pengetahuan teoritis dan ilmu
pendidikan praktis. Lebih jauh lagi, pendidikan Islam menuntut adanya
teori yang menjadi pedoman dalam praktik pendidikan.7
Pengetahuan kita tentang pandangan islam terhadap pendidikan
yang bersumberkan Al-Qur'an dapat digunakan untuk merumuskan
konsepsi pendidikan islam teoritis dan praktis yang dapat diterapkan
secara fleksibel dalam praktiknya. Terdapat tiga komponen dasar yang
perlu dibahas dalam teori pendidikan islam yang kemudian dapat diuji
validitasnya dalam pelaksanaannya, yaitu:
1. Tujuan pendidikan islam harus dirumuskan dan ditetapkan dengan
jelas dan sama bagi seluruh umat islam agar bersifat universal.
Meskipun tujuan pendidikan tersebut memiliki idealitas yang tinggi,
namun jika metode dan materinya tidak memadai, maka proses
pendidikan tersebut akan mengalami kegagalan.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan tidak dapat hanya menjadi suatu
proses yang terpisah dari metode dan isi (content). Jika pendidikan
islam menetapkan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan idealitas

7
Muh Idris and Sabil Mokodenseho, “Model Pendidikan Islam Progresif,” J-PAI: Jurnal
Pendidikan Agama Islam 7, no. 2 (2021): 72–86, https://doi.org/10.18860/jpai.v7i2.11682.
budaya masyarakat masing-masing, maka manusia ideal menurut citra
islam yang memiliki nilai universal tidak akan dapat mencerminkan
hakikat islam yang memiliki kualitas moral dan ideal yang berbeda-
beda pula. Padahal, cara hidup islami telah ditetapkan oleh ajaran Al-
Qur'an yang harus menjadi acuan dalam ilmu pendidikan islam.
Sebagai intinya, tujuan pendidikan Islam yang sejalan dengan
tuntutan Al-Qur'an adalah sikap totalitas dalam menyerahkan diri
kepada Allah Swt., yang kita ikrarkan dalam pelaksanaan shalat setiap
hari. Sebagaimana yang diterangkan dalam al quran yang berbunyi :
َ َ َ ْ ّ َ َّ َ َ َ َ َ ْ َ َ ُ ُ َ َ َ َّ
‫اَلين‬
ِ ‫َلِل ر ِب الع‬
ِ ِ ‫ِإن صَل ِتي ووس ِكي ومحياي ومما ِتي‬

Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku,


hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.”

Dengan demikian, kita tidak menginginkan adanya rumusan-


rumusan lain yang ditetapkan oleh para ahli pemikir yang tidak
mengacu pada petunjuk Al-Qur'an. Bagi umat Islam, Al-Qur'an
merupakan kriteria dasar yang digunakan untuk menetapkan segala hal
yang memiliki karakteristik Islami.
2. Metode pendidikan Islam yang kita ciptakan harus berfungsi secara
efektif dalam proses pencapaian tujuan pendidikan Islam. Keterpaduan
dari tujuan pendidikan tersebut harus sejalan dengan beragamnya
metode, mulai dari metode verbalistik-simbolisme hingga interaksi
langsung dengan situasi belajar mengajar, seperti kegiatan diskusi.
Metode Islam atau Al-Qur’ani al-hikmah dan maukizhah al-hasanah
serta mujadalah yang terbaik, menuntut pendidik untuk berfokus pada
kebutuhan pendidikan dari siswa, di mana faktor human nature (Fitrah)
yang merupakan potensi setiap individu siswa dijadikan pusat proses
pendidikan hingga mencapai perkembangan maksimalnya. Sebagai
contoh, mengajar sesuai dengan tingkat kemampuan jiwa siswa,
memberikan teladan yang baik, mendorong kreativitas dalam berpikir,
menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif (saat marah atau
tertekan, guru tidak boleh mengajar).
Keharmonisan antara metode dan tujuan pendidikan dalam prosesnya
akan terganggu jika tidak ada nilai atau ide yang hadir. Isi kurikulum,
pada dasarnya, memiliki makna sebagai panduan bagi guru dan murid
dalam mengembangkan kualitas hidup manusia sebagai khalifah di
dunia ini, yang memiliki kepribadian yang utuh dalam aspek mental-
rohaniah (iman dan takwa) dan material-jasmaniah (kemampuan
jasmaniah yang seimbang dan serasi). Konsepsi Al-Qur'an tentang
ilmu pengetahuan tidak membedakan antara ilmu pengetahuan agama
dan umum. Kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena semua ilmu adalah
manifestasi dari ilmu pengetahuan yang satu, yaitu ilmu pengetahuan
Allah. Oleh karena itu, dalam Islam tidak ada pemisahan antara ilmu
pengetahuan yang bersifat religius dan non-religius (sekuler).
Klasifikasi ilmu pengetahuan yang ditetapkan oleh para filsuf seperti
al-Farabi, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Sina menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan Islam, termasuk yang paling eksternal, tetap memiliki
sifat sakral selama ilmu-ilmu tersebut tetap setia pada prinsip-prinsip
wahyu, karena semua ilmu pengetahuan berasal dari firman Allah Swt.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam wahyu pertama, yaitu
dalam Surah Al-Alaq ayat 1-5.

Artinya: Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih, lagi


Maha Penyayang. Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang
Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) pena. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dalam klasifikasi sains dari para ahli pikir imuslim, tidak terdapat
diskriminasi antara ilmu keagamaan dan ilmu sekuler, semuanya
merupakan ilmu yang harus dipelajari oleh umat islam. Oleh karena
itu, kurikulum pendidikan islam harus mencerminkan berbagai jenis
ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia muslim untuk
mendukung peran sebagai wakil Tuhan di dunia.

Pendidikan islam saat ini masih berada di pinggiran masyarakat,


belum memiliki peran sentral dalam proses pembudayaan umat
manusia sepenuhnya. Oleh karena itu, ilmu pendidikan islam yang
menjadi pedoman operasionalisasi pendidikan perlu diperbarui sesuai
dengan standar akademik yang berlaku, yaitu sebagai berikut :8

a. Meskipun memerlukan pengetahuan dari luar islam, pendidikan


yang islami memiliki objek pembahasan yang jelas dan khas.
b. Dalam lingkup kependidikan yang islami, terdapat wawasan,
pandangan, asumsi, hipotesis, dan teori yang bersumberkan dari
ajaran islam.
c. Metode analisis yang digunakan dalam pendidikan yang
berdasarkan islam harus relevan dengan perkembangan ilmu
pendidikan dan memiliki pendekatan yang seirama dengan corak
keislaman sebagai kultur.
d. Struktur keilmuan dalam pendidikan yang islami harus sistematis
dan mengandung totalitas yang tersusun dari komponen-
komponen yang saling mengembangkan satu sama lain, serta
menunjukkan kemandiriannya sebagai ilmu yang bulat.

8
Muzayyin Arifin. (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Karena itu, ilmu yang ilmiah harus didasarkan pada adanya teori-
teori. Oleh karena itu, teori-teori pendidikan Islam juga harus
memenuhi persyaratan yang sama. Sebagai berikut:

a. Dalam teori, harus ada hubungan yang ditetapkan antara fakta


yang ada.
b. Teori harus mengembangkan sistem klasifikasi dan struktur
konsep-konsep, karena alam tidak menyediakan sistem yang siap
pakai.
c. Teori harus mengikhtisarkan fakta dan kejadian, sehingga dapat
menjelaskan banyak fakta.
d. Teori harus mampu meramalkan fakta atau kejadian yang belum
terjadi, karena itu adalah tugas teori.

Dalam ilmu pendidikan Islam, corak teoritisnya harus disusun


secara sistematis dan terorganisir dengan baik. Hal ini dapat
memberikan deskripsi tentang fakta dari pengalaman operasional
dalam bentuk pengertian yang sederhana. (Gilbert Sax, 1968: 15-16).

D. Pendidikan Islam Sebagai Nilai

Pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan dan keterampilan,


tetapi juga tentang nilai-nilai. Banyak ahli pendidikan yang percaya bahwa
penanaman nilai-nilai yang berkaitan dengan pembentukan karakter
peserta didik adalah bagian esensial dari pendidikan. Tokoh pendidikan
Indonesia telah menegaskan bahwa pendidikan memiliki dua aspek utama:
(1) aspek pengajaran dan latihan untuk menyampaikan pengetahuan dan
keterampilan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat; (2) aspek
pembentukan kepribadian melalui pendidikan budi pekerti.
Penanaman nilai-nilai adalah bagian penting dari pendidikan,
sehingga bagi calon pendidik, penting untuk memahami aksiologi atau
ilmu tentang nilai-nilai, termasuk nilai estetis, moral, dan spiritual.
Pertanyaan utama adalah nilai-nilai mana yang seharusnya ditanamkan
dalam proses pendidikan. Jawabannya bervariasi tergantung pada filosofi
hidup yang dianut oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Untuk lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang menganut
falsafah hidup Pancasila, seharusnya dibahas tentang penanaman nilai-
nilai Pancasila dalam proses pendidikan. Sementara itu, lembaga-lembaga
pendidikan agama Islam yang memiliki falsafah hidup "Islami",
seharusnya membahas tentang penanaman nilai-nilai Islami dalam proses
pendidikan. Islam memandang nilai sebagai sesuatu yang absolut dan
relatif sekaligus. Perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan (wahyu)
yang dinyatakan secara jelas dan tegas dalam kitab suci, terutama pada
dimensi ibadah khas, bagi Islam merupakan nilai-nilai yang absolut,
sedangkan norma-norma kemanusiaan merupakan nilai-nilai yang relatif.
Pada nilai pertama, karena bersifat absolut dan berlaku universal bagi
semua umat Muslim tanpa memandang kapan dan di mana mereka hidup,
maka nilai-nilai tersebut harus diterima dan dilaksanakan apa adanya.
Sedangkan pada nilai yang kedua, karena bersifat relatif, selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal (wahyu), manusia diperbolehkan
untuk mengembangkan kreativitasnya.
Pada nilai-nilai muamalat ini, tidak selalu sama antara umat Islam
yang satu dengan yang lain, tergantung pada masa dan tempat di mana
mereka hidup. Agama Islam yang diwahyukan Allah kepada Nabi
Muhammad saw. Pada hakikatnya merupakan ajaran yang sarat dengan
nilai-nilai, baik nilai yang absolut universal maupun nilai-nilai yang
bersifat relatif. Hal ini dapat dilihat dari beberapa informasi wahyu dan
sunnah Rasul seperti sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya aku diutus
hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". Akhlak mulia tersebut
mencakup akhlak mulia kepada Allah swt. atau dimensi ubudiyah, akhlak
mulia kepada sesama manusia (muamalat), dan makhluk-makhluk Tuhan
yang lain.
Aspek nilai dalam Islam, meskipun dapat dibedakan ke dalam
kategori ubudiyah dan mu’amalat, namun nilai dan moralitas Islami
sebenarnya bersifat menyeluruh dan terpadu, tidak terpecah-pecah menjadi
bagian-bagian yang berdiri sendiri. Nilai-nilai tersebut, bila dilihat secara
normatif, mengandung dua kategori yaitu pertimbangan tentang baik dan
buruk, benar dan salah, hak dan batil, diridhoi dan dikutuk oleh Allah
SWT. Nilai-nilai tersebut mengandung lima pengertian kategorial yang
menjadi prinsip standarisasi perilaku manusia:
a. Wajib atau fardhu, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat
pahala dan bila ditinggalkan orang akan mendapat siksa dari Allah
SWT.
b. Sunnah atau mustahab, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat
pahala dan bila ditinggalkan orang tidak akan mendapat siksa.
c. Mubah atau jaiz, yaitu bila dikerjakan orang tidak akan mendapat
siksa dan bila ditinggalkan juga tidak akan mendapat siksa.
d. Makruh, yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya tidak
disukai oleh Allah dan bila ditinggalkan orang akan mendapat
pahala.
e. Haram, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat siksa dan bila
ditinggalkan akan mendapat pahala.

Nilai-nilai yang termasuk dalam lima kategori tersebut bersifat operatif


dan berlaku dalam situasi dan kondisi biasa. Namun, ketika manusia
berada dalam situasi darurat, penerapan nilai-nilai tersebut dapat berubah.
Sebagai contoh, ketika seseorang mengalami kelaparan karena tidak ada
makanan halal, maka orang tersebut diizinkan untuk mengonsumsi
makanan yang biasanya dianggap haram, seperti daging babi, anjing,
bangkai, dan sebagainya.

Pendidikan Islam bertujuan utama untuk membentuk karakter seorang


muslim. Karakter muslim yang dimaksud adalah karakter yang seluruh
aspek kehidupannya selalu dipenuhi oleh nilai-nilai Islam. Karakter yang
dalam seluruh aspek kehidupannya dipenuhi oleh nilai-nilai Islam ini
disebut sebagai karakter akhlakul karimah. Esensi dari tujuan pendidikan
Islam adalah membentuk manusia berkepribadian muslim. Oleh karena itu,
kurikulum dan pelaksanaan pendidikan Islam sangat menekankan
pentingnya penanaman nilai-nilai moral agama. Meskipun isi kurikulum
dan cara pelaksanaan pendidikan Islam mungkin bervariasi, nilai-nilai
Islam tetap menjadi fokus atau hadir sebagai pengendali operasionalisasi
pendidikan.

E. Model-Model Pendidikan Islam dan Orientasinya

Pendidikan Islam bertugas untuk menggali, menganalisis, dan


mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam yang bersumberkan Al-
Qur’an dan Al-Hadis. Diperlukan bimbingan dan arahan dari makna yang
terungkap dari kedua sumber tersebut. Ajaran Islam haruslah lentur,
kenyal, dan responsif terhadap tuntutan kehidupan manusia yang semakin
maju dan modern di berbagai aspek kehidupan.9 Diantara model-model
pendidikan Islam adalah sebagai berikut
1. Model pendidikan Islam esensialistik.
Model ini didasarkan pada prinsip-prinsip tradisional yang membentuk
karakter seorang muslim yang kuat dalam menghadapi perubahan
zaman.
2. Model Pendidikan Islam Perenialistik
Model ini berdasarkan pada nilai-nilai tradisional yang membentuk
pribadi seorang muslim yang tangguh dalam menghadapi perubahan
zaman.
3. Model Pendidikan Islam yang Individualistik
Model ini, potensi aloplastik (mengubah dan membangun) masyarakat
dan alam sekitar kurang mengacu kepada kebutuhan sosiokultural.
4. Model Pendidikan Islam yang bercorak teknologi
Model ini berorientasi pada nilai-nilai pragmatis realistis kultural
daripada nilai-nilai samawi.
5. Model Pendidikan Islam Dialogis

9
Muyazin Arifin. (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm.24.
Model ini menggambarkan bagaimana manusia mengalami perubahan
yang mengarah pada kehilangan nilai-nilai Ilahi yang menjadi dasar
fitrahnya.
Dari berbagai jenis model pendidikan Islam di atas, terdapat berbagai
masalah yang muncul. Hal ini terlihat dari institusi Pendidikan Islam yang
ada baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, institusi
pendidikan Islam telah diakui secara hukum melalui UU Pendidikan No.
20 tahun 2003. Setiap jenjang pendidikan Islam telah disamakan dengan
pendidikan umum, dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki oleh masing-masing lembaga.10

Al-Qur'an memberikan dorongan dan rangsangan yang kuat


terhadap pengembangan iman dan taqwa melalui ilmu pengetahuan
manusia. Kitab suci tersebut tidak hanya menjadi pedoman hidup umat
manusia, tetapi juga memberikan wawasan mendalam terhadap masa
depan manusia dengan akal pikirannya yang luas. Al-Qur'an menekankan
pentingnya penggunaan akal manusia sebanyak 300 kali, serta menguatkan
kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan keimanan sebanyak 780 kali, yang
semuanya diperkuat dengan lebih dari 810 ayat. Ayat-ayat yang
mendorong manusia untuk berilmu dan menggunakan teknologi tertuang
dalam Surah Al An'aam ayat 79, di mana Nabi Ibrahim menggunakan
akalnya untuk menemukan Tuhan yang sejati, serta dalam pengolahan dan
pemanfaatan besi dan tembaga sebagai bahan teknologi.11

Q.S Al An’am ayat 79:

10
Yundi, Problematika, metode, dan model pendidikan Islam.[online]. Tersedia http://blog
konsultasi problematika, metode, dan model pendidikan Islam// diakses pada senin 26 February
2024
11
Muzayyin Arifin. (2003). Kapita selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
hlm.25
Artinya: Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit
dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk oramg-orang musyirik.

F. Pandangan Dari Para Ahli Tentang Model-Model Pendidikan Islam


dan Orientasinya.

Pandangan dari seorang dokter bedah berkebangsaan Prancis, yaitu


Dr. Maurice Bucaille, yang telah melakukan studi perbandingan mengenai
Bibel dan Al-Qur’an serta sains modern, sungguh menarik perhatian umat
Islam yang setiap hari membaca kitab suci Al-Qur’an. Menurut beliau,
berdasarkan standar ilmiah modern melalui analisis komparatif dan
akademik terhadap kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu murni, baik
secara tekstual maupun materiil, menunjukkan bahwa "Al-Qur’an
diwahyukan setelah kitab suci sebelumnya".
Dengan demikian, pendidikan Islam dapat menjadi agen sumber
daya yang memotivasi secara teknologi dan budaya dalam berbagai model
yang dapat mengubah pola pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis,
kurang dinamis, dan berkembang secara bebas. Kita harus yakin bahwa
agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi dapat berperan secara
konstruktif bersama-sama, saling mempengaruhi karena nilai-nilai agama
kita mendukung ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebaliknya nilai-
nilai ilmu pengetahuan dan teknologi akan memperkuat agama kita. Di
sinilah peran minimal agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yaitu memberikan makna kemanusiaan yang menuntut
tanggung jawab bersama dalam menjaga planet bumi agar lestari dan tahan
lama.
Peran maksimalnya adalah mendasari dan memotivasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan Iman, Islam, dan
Ihsan sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi diabdikan untuk
kepentingan hidup manusia, bukan sebaliknya, manusia mengabdi pada
ilmu pengetahuan dan teknologi. Prinsip orientasi ini telah menjadi
landasan proses pendidikan Islam sejak awal sejarahnya.Pada awal
risalahnya, Rosulullah telah meletakkan orientasi dasar pendidikan Islam
yang bertujuan untuk mengembangkan sistem kehidupan sosial yang
penuh kebajikan dan kemakmuran. Selain itu, orientasi dasar ini juga
bertujuan untuk meratakan kehidupan ekonomi yang berkeadilan sosial,
baik di dunia maupun di akhirat, dengan berlandaskan pada nilai-nilai
moral yang tinggi. Orientasi dasar ini juga berorientasi kepada kebutuhan
pendidikan yang dapat mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir
intelektual, sehingga teknologi sosial yang adil dan makmur dapat
terwujud.

Ketiga dimensi orientasi dasar tersebut menjadi modal utama


dalam menggerakkan umat manusia pada awal sejarah pendidikan Islam,
terutama pada zaman Nabi dan para sahabat besar Nabi
(khulafa'urrosyidin). Pendidikan Islam pada masa itu berhasil menjadikan
umat Muslim sebagai pelaku positif dalam pembangunan diri dan
masyarakatnya. Pendidikan Islam sejak awal perkembangannya selalu
menempatkan manusia didik sebagai sasaran sentral, sebagai makhluk
Tuhan yang memiliki potensi dasar fitrah, dengan religiusitas-Islami
sebagai intinya. Pendidikan ini dikembangkan secara vertikal dan
horizontal, menuju kehidupan yang bahagia dalam arti luas, baik dalam
kehidupan lahir maupun batin.Oleh karena itu, sendi-sendi fundamental
dalam kehidupan psikologis manusia, seperti iman tauhid yang berdimensi
ketakwaan kepada Allah, berhasil didorong dan diarahkan untuk berperan
nyata dalam segala aspek kehidupan, yang menghasilkan sikap hidup yang
berlomba-lomba dalam kebaikan.
Para filsuf-pendidikan muslim seperti Ibnu Sina (985M), AL
Ghozali (1058 M), dan Ibnu Khaldun (1332M) yang hidup pada masa
keemasan perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Benua Arabia, Afrika
Utara, dan Spanyol Islam, secara prinsip telah menetapkan konsepsi
pendidikan Islam yang berfokus pada kebutuhan perkembangan anak
didik.Menurut Al-Ghozali, pengetahuan secara potensial telah ada dalam
jiwa manusia seperti benih yang ada di dalam tanah. Pendekatan empiris
Al-Ghozali dalam pendidikan terlihat dari sisi lain, seperti pentingnya
seorang pendidik untuk memperbaiki sikap dan perilaku saat mengajar. Ia
menganggap kemampuan rasional manusia lebih penting daripada
kemampuan jiwa lainnya.
Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang serupa dengan Al-
Ghozali. Baginya, akal pikiran (rasio) adalah kekuatan yang menciptakan
kehidupan dan kerjasama dengan anggota masyarakat serta menerima
wahyu Tuhan melalui Rosul-Nya. Sementara itu, Ibnu Sina berpendapat
bahwa pendidikan lebih menekankan pembinaan akhlak dan moralitas.
Muhammad Abduh, seorang cendekiawan, ulama, dan mahaguru
Universitas Al-Azhar, melihat bahwa sistem pendidikan memiliki peran
yang sangat besar dalam proses modernisasi kehidupan umat Islam.
Pendidikan harus didasarkan pada moral dan agama. Pendidikan agama
diintegrasikan ke dalam ilmu pendidikan agama, dan pendidikan
dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan pembaharuan
atau perubahan.
Para filsuf-pendidikan muslim seperti Ibnu Sina (985M), AL
Ghozali (1058 M), dan Ibnu Khaldun (1332M) yang hidup pada masa
keemasan perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Benua Arabia, Afrika
Utara, dan Spanyol Islam, secara prinsip telah menetapkan konsepsi
pendidikan Islam yang berfokus pada kebutuhan perkembangan anak
didik. Menurut Al-Ghozali, pengetahuan secara potensial telah ada dalam
jiwa manusia seperti benih yang ada di dalam tanah. Pendekatan empiris
Al-Ghozali dalam pendidikan terlihat dari sisi lain, seperti pentingnya
seorang pendidik untuk memperbaiki sikap dan perilaku saat mengajar. Ia
menganggap kemampuan rasional manusia lebih penting daripada
kemampuan jiwa lainnya.
Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang serupa dengan Al-
Ghozali. Baginya, akal pikiran (rasio) adalah kekuatan yang menciptakan
kehidupan dan kerjasama dengan anggota masyarakat serta menerima
wahyu Tuhan melalui Rosul-Nya. Sementara itu, Ibnu Sina berpendapat
bahwa pendidikan lebih menekankan pembinaan akhlak dan moralitas.
Muhammad Abduh, seorang cendekiawan, ulama, dan mahaguru
Universitas Al-Azhar, melihat bahwa sistem pendidikan memiliki peran
yang sangat besar dalam proses modernisasi kehidupan umat Islam.
Pendidikan harus didasarkan pada moral dan agama. Pendidikan agama
diintegrasikan ke dalam ilmu pendidikan agama, dan pendidikan
dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan pembaharuan
atau perubahan.
DR. Fadhil Al-Djamly menjelaskan bahwa tuntutan kehidupan
masyarakat (Islam) terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam
harus mencakup berbagai jenis ilmu pengetahuan yang diinginkan oleh
AL-Qur’an dan diajarkan kepada anak didik. Ilmu-ilmu tersebut meliputi
ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu hitung, ilmu hukum dan
perundangan, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, biologi,
sosiologi, ekonomi, ilmu balaghoh, adab, dan lain-lain.
Sejalan dengan pandangan tersebut, umat Islam perlu mengubah
pandangan lama terhadap lembaga pendidikan Islam yang hanya berperan
sebagai tempat penyimpanan ilmu atau transfer pengetahuan, menjadi
tempat pengolahan ilmu yang alamiah dan ilmiah sesuai dengan tuntunan
masyarakat yang baik dan penuh rahmat. Berbagai model pendidikan
Islam yang tidak memenuhi tuntutan umat dapat dilihat dari:
a. Model pendidikan Islam yang cenderung mempertahankan nilai-nilai
konservatif dan asketis dalam diri individu Muslim, yang pada
akhirnya kurang mampu menjawab tantangan zaman.
b. Pendidikan Islam yang menekankan nilai-nilai Islami yang dapat
mengubah masa lalu ke masa kini sebagai inti kurikulum,
menunjukkan model perenialistik yang hanya menginternalisasikan
nilai-nilai yang sudah terbukti bertahan lama, sementara nilai-nilai
yang dapat membawa semangat pembaharuan dikesampingkan.
c. Pendidikan Islam yang terlalu fokus pada personalisasi kebutuhan
pendidikan dalam segala aspeknya, cenderung bersifat individualistis
dan kurang memperhatikan potensi untuk mengubah dan membangun
masyarakat serta lingkungan sekitar sesuai dengan kebutuhan
sosiokultural.
d. Jika pendidikan Islam berfokus pada masa depan sosial, masa depan
teknologi, dan masa depan biologi, di mana ilmu dan teknologi
menjadi agen perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan sosial,
maka pendidikan Islam yang berbasis teknologi, di mana nilai-nilai
ilahi digantikan dengan nilai-nilai pragmatis-realistis kultural.
e. Namun, jika pendidikan Islam berorientasi pada perkembangan
masyarakat melalui proses dialogis di mana manusia dianggap sebagai
penghitung geiger, pendekatan sinar radioaktif pada elemen-elemen
sosial yang memiliki potensi kontroversial ganda, yaitu memberikan
kebahagiaan dan kesejahteraan. Maka mekanisme reaksi dalam
perkembangan manusia akan kehilangan nilai-nilai Ilahi yang menjadi
dasar fitrahnya.12

G. Model Pendidikan Islam yang Berorientasi Pada Pandangan Falsafah

Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis, model


pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai
berikut:
1. Filosofis: melihat manusia didik sebagai hamba Tuhan yang diberi
kemampuan fitrah, dinamis, sosial-religius, dan psiko-fisik. Cenderung
untuk menyerahkan diri secara total kepada sang pencipta.
12
Muyazin Arifin. (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm.30-
31
2. Etimologis: memiliki potensi berilmu pengetahuan yang berlandaskan
pada iman dan berilmu pengetahuan untuk memperkuat iman yang bersifat
tauhid, yang bersyari'ah-dharuriyah, menjadi teladan manusia muslim
sejati yang mulia.
3. Pedagogis: manusia adalah makhluk yang belajar sejak dari ayunan hingga
liang lahat, dengan proses perkembangannya didasari oleh nilai-nilai
Islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan
sosial. Lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara
kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya didorong
oleh misi kekhalifahan di muka bumi.

Dalam konteks kurikuler, terdapat beberapa model yang didesain dengan


berbagai macam tujuan, antara lain:

1. Model Konten: Lebih difokuskan pada masalah sosio-kultural masa kini


yang dapat diproyeksikan ke masa depan, dengan tujuan agar anak didik
mampu mengungkapkan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Tuhan.
2. Peran Pendidik: Bertanggung jawab dalam menciptakan situasi komunitas
yang dapat dipercaya.
3. Peran Anak Didik: Dalam proses belajar mengajar, anak didik diajak untuk
bersama-sama menghayati persepsi terhadap realitas kehidupan dan
memperhatikan pandangan orang lain.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan Islam adalah proses bimbingan dan pengarahan yang


dilakukan secara terencana dan bertahap oleh seorang dewasa kepada terdidik
agar memiliki kepribadian muslim sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat
atau bangsa. Sebagai disiplin ilmu, pendidikan Islam merupakan kumpulan
ide dan konsep intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman
dan pengetahuan.
Aspek nilai dalam Islam, meskipun dapat dibedakan ke dalam kategori
ubudiyah dan mu’amalat, namun nilai dan moralitas Islam sebenarnya
bersifat menyeluruh dan terpadu, tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian
yang berdiri sendiri. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Model pendidikan Islam berorientasi pada pandangan falsafah, yaitu:
Filosofis, Etimologis, dan Pedagogis.

B. Kritik dan Saran

Mohon kritik dan saran dalam pengembangan makalah ini. Dalam


pembuatan model-model pendidikan dalam islam haruslah sesuai dengan
tujuan dan konsep awal yang diruangkan berdasarkan disipilin ilum nilai dan
kelembagan.

Kurang dan lebihnya mohon maaf, semoga apa yang penulis sajikan
bermanfaat.Amiin.
DAFTAR PUSTAKA

Jamaludin, H. & Abdullah Aly. (1999). Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-2.

Bandung: CV. Pustaka Setia.

Thoib, Ismail.(2009).Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan

islam) Cet Ke-3. Halaman 133-134. Mataram : Alam Tara Institute.

Arifin, Muyazin. (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Arifin,. Muyazin (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Yundi, Problematika, metode, dan model pendidikan Islam.[online]. Tersedia

http://blog konsultasi problematika, metode, dan model pendidikan Islam//

Zulkifli, Laila, Asep Supriyanto, dkk, “Kapita Selekta Pendidikan Islam”, (Padang: PT

Global Eksekutif Teknologi)

Idris, Muh, and Sabil Mokodenseho. “Model Pendidikan Islam Progresif.” J-PAI:

Jurnal Pendidikan Agama Islam 7, no. 2 (2021): 72–86.

https://doi.org/10.18860/jpai.v7i2.11682.

Anda mungkin juga menyukai