DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................................i
Abstrak...............................................................................................................................ii
I. Pendahuluan.................................................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah.....................................................................................4
2. Rumusan Masalah...............................................................................................5
II. Pembahasan.................................................................................................................6
A. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh dan Contoh Kasusnya.........................................................6
I. Kaidah Keenam.............................................................................................................6
II. Kaidah Ketujuh..............................................................................................................8
III. Kaidah Kesebelas..........................................................................................................9
IV. Kaidah Ketiga Puluh Empat.........................................................................................12
V. Kaidah Ketiga Puluh Delapan......................................................................................13
III. PENUTUP.....................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
iii
Abstrak
Segala puji hanya milik Allah ‘azza wa jalla. Sholawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam.
Indana Zulfa
1
I. Pendahuluan
Umat Islam saat ini menghadapi dua tantangan besar, menurut Naquib
Al-Attas tantangan yang pertama ialah tantangan eksternal berupa
tantangan religious kultural dan sosio-politik yang dating dari Barat. Dan
yang kedua, tantangan internal yang terjadi di tengah umat Islam yaitu,
kekeliruan ilmu (confusion of knowlwdge), hilangnya adab (the lost of adab)
dan munculnya kepemimpinan yang tidak amanah. Al-attas mengatakan
dalam karyanya, Risalah untuk Kaum Muslimin bahwa adab menjadi prioritas
utama yang harus dibenahi dari ketiga masalah tersebut. 1
Dalam bukunya, al-Attas menyebutkan arti dari adab ialah satu istilah
yang khas dalam tradisi Islam. Sehingga tidak mudah menemukan padanan
makna yang tepat dalam bahasa lainnya. Dalam memaknai Adab, Al-attas
menyatakan pengertian Adab pada asalnya adalah undangan kepada suatu
jamuan. Konsep jamuan ini membawa makna bahwa tuan rumah adalah
seorang yang mulia dan terhormat.
2
Ibid, hlm 7
3
َولََق ۡد ٰاتَ ۡينَا لُ ۡق ٰم َن ا ۡل ِۡحكَمةَ اَ ِن ا ۡش ُك ۡر لِ ٰلِّه َو َم ۡنيَّ ۡش ُك ۡرفَِانَّ َما يَ ۡش ُك ُر لِنَ ۡف ِس ۚه
Yang lebih dahulu ilmu atau adab? Ilmu harus dipelajari dengan adab.
Sebaliknya, untuk manjadi manusia beradab juga harus ada ilmunya. Dalam
pandangan al-Attas menilai adab sebagai pengenalan dan pengakuan, dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Fase pertama, menjadi manusia beradab, yaitu melalui belajar,
berpikir dan latihan jiwa.
2. Fase kedua, adab dimaknai sebagai tindakan yang benar yang
bersumber dari hikmah.
4
3
Ibid, hlm 107
4
Fatih Madini, Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita, (Depok: At-Taqwa, 2020), hlm 212
5
2. Rumusan Masalah
6
II. Pembahasan
I. Kaidah Keenam
2) Barang siapa yakin dalam keadan suci dan ragu-ragu mempunyai hadats
maka ia adalah suci.6
5
H. Sukanan, Khairudin , Ushul Fiqih, Terjemah Mabadi Awwaliyah Fii Ushul Fiqh wa Qowaidul
Fiqhiyyah (Bekasi: e-Book, 2019), hlm 35
6
Ibid
7
3) Seseorang yang ragu-ragu terhadap air yang ada dalam suatu wadah,
apakah air tersebut masih suci ataukah tidak, maka ia mengembalikan
pada hukum asalnya, yaitu hukum asal air adalah suci (tidak najis),
sampai muncul keyakinan bahwa air tersebut memang telah berubah
menjadi tidak suci lagi karena terkena najis. Demikian pula, hukum asal
segala sesuatu adalah suci. Maka kapan saja seseorang ragu-ragu
tentang kesucian air, baju, tempat, bejana, atau selainya maka ia
menghukuminya dengan hukum asal tersebut, yaitu asalnya suci. Oleh
karena itu, jika seseorang terkena air dari suatu saluran air, atau
menginjak suatu benda basah, padahal ia tidak mengetahui apakah
benda tersebut suci ataukah tidak, maka asalnya benda tersebut adalah
suci (tidak najis).
4) Seseorang yang sedang melaksanakan thawaf di Baitullâh, jika ia
menemui keraguan tentang jumlah putaran yang telah ia lakukan, maka
ia menentukan sesuai yang ia yakini, yaitu ia kembali pada jumlah yang
paling sedikit. Demikian pula seseorang yang ragu-ragu ketika
melaksanakan sa’i.
5) Barang siapa yakin mempunyai hadats dan ragu-ragu dalam keadan suci,
maka ia adalah orang yang mempunyai hadats. 7
7
H. Sukanan, Khairudin , Ushul Fiqih, Terjemah Mabadi Awwaliyah Fii Ushul Fiqh wa Qowaidul
Fiqhiyyah (Bekasi: e-Book, 2019), hlm 35
8
Misalnya :
1) Barang siapa yang makan sahur diakhir malam dan ragu-ragu telah
muncul fajar, maka sah puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah
masih tetapnya malam.
2) Barang siapa yang berbuka puasa diakhir siang dengan tanpa ijtihad,
dan ia ragu-ragu pada terbenamnya matahari, maka batal puasanya,
karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya siang.
3) Kedua suami istri hidup susah dalam waktu yang cukup lama, kemudian
istrinya menggugat suaminya tidak pernah memberikannya pakaian,
dan nafkah, maka ucapan yang dipegang adalah ucapan si istri itu,
karena pakaian dan nafkah itu berada pada tanggungan suaminya dan
suami tidak dapat memenuhi keduanya (pakaian dan nafkah).
4) Suami istri yang berselisih/berseteru tentang masalah tamkin
(perlakuan istri melayani suami), maka ucapan yang dipegang adalah
ucapan suami, karena asalnya itu tidak adanya tamkin, maka tidak wajib
bagi suami untuk memberikan nafkah, karena nafkah itu wajib jika
adanya tamkin.
5) Seseorang yang telah membeli air kemudian menggugat bahwa air itu
najis, dan hendak mengembalikannya, maka ucapan yang mesti
dipegang adalah ucapan si penjual, karena sesungguhnya asalnya air itu
adalah suci.
9
6) Seseorang yang meragukan air suci yang berubah, apakah perubahan itu
sedikit atau banyak, maka air itu masih tetap suci.
Sebagaimana Kaidah yang lain:
َوالْ َي ِقنْي ُ َال يَ ُز ْو ُل اِب لشَّ ِّك,ْاَأل ْص ُل ب َ َقا ُء َما اَك َن عَىَل َما اَك َن
“Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Tetap Dalam Keadaannya Semula,
Dan Keyakinan Tidak Bisa Hilang Karena Keraguan”
Hukum asal air itu suci selama tidak ada dalil yang merubahnya. Sampai
muncul keyakinan bahwa air tersebut memang telah berubah menjadi tidak
suci lagi karena terkena najis. Demikian pula, hukum asal segala sesuatu adalah
suci. Maka kapan saja seseorang ragu-ragu tentang kesucian air, baju, tempat,
bejana, atau selainya maka ia menghukuminya dengan hukum asal tersebut,
yaitu asalnya suci. Oleh karena itu, jika seseorang terkena air dari suatu saluran
air, atau menginjak suatu benda basah, padahal ia tidak mengetahui apakah
benda tersebut suci ataukah tidak, maka asalnya benda tersebut adalah suci
(tidak najis).
Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
10
Misalnya:
1) Ketika seseorang tidak bisa berdiri dalam sholat fardhu maka baginya
diperbolehkan sholat sambil duduk, begitu pula jika ia tidak bisa untuk
duduk maka diperbolehkan sholat sambil berbaring miring.
Didalam QS Ali Imran : 191 disebutkan, bahwa:
ي َ ُق ْو ُم الْ َبدَ ُل َم َقا َم الْ ُم ْبدَ لِ َولَ ِك ْن َال ي ُ َص ُار لَ ْي ِه الَّ َذا تَ َع َّذ َر ْاَأل ْص ُل
ِإ ِإ ِإ
11
Diantara dalil yang mendasari kaidah ini yaitu firman Allâh Azza wa Jalla:
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu.” [al-Mâidah/5:6]
darah akibat luka, bisul, kotoran jalan, dan bekas najis yang susah untuk
dihilangkan.
4) Imam Syafi'i ra, berkata: "Ketika seorang perempuan tidak mempunyai
wali dalam perjalanannya, maka ia boleh menyerahkan sepenuhnya
kepercayaan kepada orang lain yang dipercayanya."
5) Ucapan Imam Syafi'i yang lain tentang tempat-tempat yang dibuat dari
tanah dan dipanaskan dengan kotoran itu boleh dipergunakan untuk
berwudhu.
Misalnya :
3) Jika seseorang tidak mampu melakukan ruku' dan sujud tetapi ia masih
mampu berdiri, maka berdiri dalam sholatnya itu tetaplah wajiblah
baginya.
4) Barang siapa hanya memiliki setengah sha' (1 sha = 3 liter lebih, untuk
kadar zakat fitrah), maka tetap wajib baginya untuk mengeluarkannya
sebagai zakat fitrah.
5) Bagi yang hanya mampu membaca setengah dari surat al-fatihah dalam
sholat, maka lakukanlah (bacalah), dan kekurangannya diganti dengan
membaca surat yang lain (yang ia bisa).
6) Barang siapa memiliki 1 nishab (kadar zakat) dimana separuhnya ada
pada dirinya dan yang separuhnya itu ghaib (tidak bersamanya), maka
pendapat yang lebih Shahih (Qaul Ashoh) sesungguhnya wajib baginya
mengeluarkan zakatnya itu dari harta yang ada pada dirinya saja.
7) 'Ulama-ulama Iraq menuqil nash pendapat imam Syafi'i yang
menyatakan bahwa sesungguhnya orang yang gagu (bisu) itu wajib
menggerak-gerakkan lisannya sebagai ganti dari menggerakkan lisannya
dalam membaca fatihah, seperti halnya isyarat dengan ruku' dan sujud.
8) Bagi orang yang pada anggota tubuhnya terdapat luka yang mencegah
masuknya air pada anggota tubuh itu, maka pendapat madzhab
mengungkapkan tetap wajib mencuci anggota tubuh yang lain kemudian
melakukan tayammum pada anggota tubuh yang luka itu.
Misalnya:
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Ushul Fiqh ialah dalil hukum fiqih yang dibuat secara
global/ijmal, seperti pendapat „ulama bahwa muthlaqnya perintah itu
adalah suatu kewajiban, dan muthlaqnya larangan adalah suatu yang
diharamkan, serta muthlaqnya perbuatan Nabi Saw, muthlaqnya Ijma‟
dan Qiyas adalah Hujjaj (dalil). Definisi Fiqih secara etimologi (bahasa)
ialah Faham, sedang menurut terminologi ialah ilmu yang mempelajari
hukum-hukum syar‟i yang dihasilkan dari Ijtihad. Misalnya : mengetahui
bahwa niat ketika wudhu hukumnya wajib, Nabi Sawbersabda : “Setiap
Sesungguhnya pekerjaan itu dengan niat” dan wudhu termasuk dari
salah satu perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
AL Bassam, Abdullah Ibn Abdurrahman, Ilmu: Mustholah Hadits, Ushul Fiqh, Qowaid
Fiqhiyyah, Maqoshid Syahri’ah (Jakarta: Pembela Islam Media, 2014).
Khairudin, H. Sukanan, Ushul Fiqih, Terjemah Mabadi Awwaliyah Fii Ushul Fiqh wa
Qowaidul Fiqhiyyah ( Bekasi: e-Book, 2019).