Anda di halaman 1dari 19

QAWA’IDUL FIQHIYYAH

Hukum dan Contoh Kasus

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Disusun Oleh : Indana Zulfa

Dosen Pengampu : Ainur Rofiq, S.S, M.Pd.I

THE eLKISI INSTITUTE


MOJOKERTO
2021
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................................i
Abstrak...............................................................................................................................ii
I. Pendahuluan.................................................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah.....................................................................................4
2. Rumusan Masalah...............................................................................................5
II. Pembahasan.................................................................................................................6
A. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh dan Contoh Kasusnya.........................................................6
I. Kaidah Keenam.............................................................................................................6
II. Kaidah Ketujuh..............................................................................................................8
III. Kaidah Kesebelas..........................................................................................................9
IV. Kaidah Ketiga Puluh Empat.........................................................................................12
V. Kaidah Ketiga Puluh Delapan......................................................................................13
III. PENUTUP.....................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
iii

Abstrak

ِ ِ‫ ونَعوذُ ب‬،‫إن الـحم َد لِلّ ِه نَـحم ُده ونَستَعِينُه ونَسَت ْغ ِفره‬


‫اهلل ِم ْن ُش ُرو ِر أَْن ُف ِسنَا َو ِم ْن‬ ُ َ ُُ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َ ْ ْ َ َّ
ِ ِ ْ ‫ ومن ي‬،‫ض َّل لَه‬
ِ ‫ من يه ِد ِه اهلل فَاَل م‬،‫ات أ َْعمالِنَا‬
ِ ‫سيِّئ‬
َ‫ َوأَ ْش َه ُد أَن الَّ إِلَه‬،ُ‫ي لَه‬
َ ‫ضل ْل فَاَل َهاد‬ ُ ْ ََ ُ ُ ُ َْ ْ َ َ ََ

‫ أ ََّما َب ْع ُد‬.‫ـح َّمداً َعْب ُدهُ َو َر ُسولُه‬


َ ‫َن ُم‬ َ ْ‫إِالَّ اهلل َو ْح َدهُ اَل َش ِري‬
َّ ‫ك لَهُ َوأَ ْش َه ُد أ‬

Segala puji hanya milik Allah ‘azza wa jalla. Sholawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam.

Alhamdhulillah Buku ini…… Masih Proses

Indana Zulfa
1

I. Pendahuluan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas ialah seorang ilmuwan Muslim


kontemporer. Nama beliau memiliki pengaruh besar di zaman modern ini,
sebagaimana pemikirannya yang menggagas konsep adab dalam pendidikan.
Pendidikan yang Ideal itu adalah pendidikan adab (ta’dib). Kampus yang
dibina oleh al-Attas yaitu ISTAC Kuala Lumpur ditahun 2002.

Umat Islam saat ini menghadapi dua tantangan besar, menurut Naquib
Al-Attas tantangan yang pertama ialah tantangan eksternal berupa
tantangan religious kultural dan sosio-politik yang dating dari Barat. Dan
yang kedua, tantangan internal yang terjadi di tengah umat Islam yaitu,
kekeliruan ilmu (confusion of knowlwdge), hilangnya adab (the lost of adab)
dan munculnya kepemimpinan yang tidak amanah. Al-attas mengatakan
dalam karyanya, Risalah untuk Kaum Muslimin bahwa adab menjadi prioritas
utama yang harus dibenahi dari ketiga masalah tersebut. 1

Problem the loss of adab akan terselesaikan jika konsep keilmuan


diluruskan. Dalam hal ini Al-attas menyampaikan gagasan pendidikan untuk
menyelesaikan problem tersebut yaitu dengan istilah ta'dib. Pendidikan
seperti ini akan melahirkan manusia beradab yang mampu mewujudkan
tujuan pendidikan berupa kebaikan yang sebenarnya. Pendidikan yang
berarti penyerapan Adab dan pengamalannya pada setiap individu yang
kemudian membentuk masyarakat beradab dan melahirkan perdaban.

Konsep ta'dib Al-attas memiliki empat ciri penting dalam pendidikan.


Pertama, proses penyempurnaan insan secara bertahap (al-tarbiyah).
1
Muhammad Ardiansyah, Konsep Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Aplikasinya di
Perguruan Tinggi, (Depok: At-Taqwa, 2020), hlm 3
2

Kedua, pengajaran dan pembelajaran (al-ta'lim wa al-ta'allum) yang


memperhatikan aspek kognitif, intelektual dan akal seorang murid. Ketiga,
disiplin diri (riyadhah al-nafs) yang merangkumi jasad, ruh dan akal. Dan
Keempat, proses penyucian dan pemurnian akhlak (ta'dib al-akhlaq).2

Dalam bukunya, al-Attas menyebutkan arti dari adab ialah satu istilah
yang khas dalam tradisi Islam. Sehingga tidak mudah menemukan padanan
makna yang tepat dalam bahasa lainnya. Dalam memaknai Adab, Al-attas
menyatakan pengertian Adab pada asalnya adalah undangan kepada suatu
jamuan. Konsep jamuan ini membawa makna bahwa tuan rumah adalah
seorang yang mulia dan terhormat.

Dalam bukunya, Risalah untuk Kaum Muslimin al-Attas menyatakan


adab yang berkaitan dengan ilmu: Adab itu suatu kelakuan yang harus
diamalkan atau dilakukan terhadap diri sendiri, adab tidak terbatas pada
hubungan etika sesama, tapi meliput segala yang wujud sesuai
kedudukannya yang tepat. Adab berkaitan dengan Tuhan, dengan diri
sendiri, dengan manusia, dengan ilmu, dengan alam, dan sebagainya.
Sedangkan adab yang berkaitan dengan hikmah, yang mana adab dimaknai
sebagai tindakan yang benar yang bersemi dari disiplin diri yang dibangun di
atas ilmu dan bersumberkan hikmah.

Hikmah berarti pengetahuan akan segala yang wujud dan berbuat


kebaikan kepadanya. Dari pengertian ini bisa diambil contoh, hikmah yang
diberikan Luqman al-Hakim sebagaimana yang disebutkan dalam Qs.
Luqman ayat 12:

2
Ibid, hlm 7
3

‫َولََق ۡد ٰاتَ ۡينَا لُ ۡق ٰم َن ا ۡل ِۡحكَمةَ اَ ِن ا ۡش ُك ۡر لِ ٰلِّ‌ه َو َم ۡنيَّ ۡش ُك ۡرفَِانَّ َما يَ ۡش ُك ُر لِنَ ۡف ِس ۚ‌ه‬

‫َو َم ۡن َك َف َر فَِا َّن ال ٰلّهَ غَنِ ٌّى َح ِم ۡي ٌد‬

”Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu,

"Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah),


maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa
tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha
Terpuji.”

Luqman berhasil menempatkan segala yang wujud sesuai dengan


kedudukannya. Menempatkan Allah sebagai Tuhan yang tidak boleh
disekutukan dengan apapun.

Menempatkan orangtua untuk mendapat perlakuan yang baik sesuai


perintah Allah, mendirikan shalat, puasa, muraqbatullah, amr ma'ruf dan
nahi munkar, bersabar menghadapi kehidupan, dan tidak sombong kepada
sesama.

Yang lebih dahulu ilmu atau adab? Ilmu harus dipelajari dengan adab.
Sebaliknya, untuk manjadi manusia beradab juga harus ada ilmunya. Dalam
pandangan al-Attas menilai adab sebagai pengenalan dan pengakuan, dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Fase pertama, menjadi manusia beradab, yaitu melalui belajar,
berpikir dan latihan jiwa.
2. Fase kedua, adab dimaknai sebagai tindakan yang benar yang
bersumber dari hikmah.
4

3. Fase ketiga, dimana seorang manusia sudah diberi ilmu ladunni


sehingga memperoleh hikmah. 3

Manusia yang beradab pasti berilmu. Sedangkan yang berilmu belum


tentu beradab. Pendidikan itu penanaman nilai. Ia berbeda dengan
pengajaran, yakni sekadar transfer ilmu dari guru ke murid. Pendidikan tidak
selalu soal memperkaya ilmu, tidak sibuk mencari ijazah dan gelar, serat
menjadi manusia yang ditempa dengan mental pekerjaan demi materi dunia.

1. Latar Belakang Masalah

Prof. Syed Muhamamd Naquib Al-Attas menuturkan, “The purpose for


seeking knowledge in islam is to inculcate goodness or justice in man as
man” (Tujuan menuntut ilmu di dalam Islam, adalah untuk menanamkan
nilai-nilai kebaikan dan keadilan dalam diri manusia sebagai manusia) 4

Inti makna daripada pendidikan adalah penanaman nilai, maka jangan


mengubah inti tersebut menjadi sekolah. Kalau membicarakan penanaman
nilai, maka rumah adalah tempat yang paling tepat, bukan sekolah. Dan guru
terbaik, ialah orangtua.

Peran penting bagi orangtua untuk selalu mendidik anaknya, yakni


menanamkan nilai diin dan adab. Yang mana ini adalah ilmu yang tergolong
fardhu 'ain. Dan kita tanamkan pada anak kita yang terpenting bagi seorang

3
Ibid, hlm 107
4
Fatih Madini, Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita, (Depok: At-Taqwa, 2020), hlm 212
5

murid itu bukan bagaimana cara ia belajar dan dimana ia mendapatkan


pelajaran. Tetapi, apa yang ia pelajari dan kepada siapa ia belajar.

Maka kembali lagi peran orangtua dalam memilihkan tempat belajar


sang anak. Karena tanggung jawab pendidik utama adalah orangtua. Tempat
pendidikan bukan sebatas sekolah, tapi yang utama adalah rumah. Pendidik
utama dan terbaik adalah orangtua.

2. Rumusan Masalah
6

II. Pembahasan

A. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh dan Contoh Kasusnya

I. Kaidah Keenam

‫الْ َي ِقنْي ُ َال يَ ُز ْو ُل اِب لشَّ ِ ّك‬


“Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan”
Misalnya :

1) Barang siapa ragu-ragu dalam hitungan sholatnya apakah 3 atau 4 maka


peganglah 3 karena itulah yang lebih meyakinkan.5
Kaidah yang berkaitan dengan kasus tersebut ialah:

‫َال ي ُ ْع َترَب ُ الشَّ ُّك ب َ ْعدَ الْ ِف ْع ِل َو ِم ْن َك ِثرْي ِ الشَّ ِ ّك‬


“Rasa ragu setelah melakukan perbuatan dan rasa ragu dari
orang yang sering ragu itu tidak dianggap”

Orang yang mengalami keragu-raguan dalam suatu amalan. Jika rasa


ragu itu muncul setelah melakukan suatu amalan, maka rasa itu tidak
perlu dihiraukan. Demikian pula, jika rasa ragu itu muncul dari orang
yang sering ragu.

2) Barang siapa yakin dalam keadan suci dan ragu-ragu mempunyai hadats
maka ia adalah suci.6
5
H. Sukanan, Khairudin , Ushul Fiqih, Terjemah Mabadi Awwaliyah Fii Ushul Fiqh wa Qowaidul
Fiqhiyyah (Bekasi: e-Book, 2019), hlm 35
6
Ibid
7

3) Seseorang yang ragu-ragu terhadap air yang ada dalam suatu wadah,
apakah air tersebut masih suci ataukah tidak, maka ia mengembalikan
pada hukum asalnya, yaitu hukum asal air adalah suci (tidak najis),
sampai muncul keyakinan bahwa air tersebut memang telah berubah
menjadi tidak suci lagi karena terkena najis. Demikian pula, hukum asal
segala sesuatu adalah suci. Maka kapan saja seseorang ragu-ragu
tentang kesucian air, baju, tempat, bejana, atau selainya maka ia
menghukuminya dengan hukum asal tersebut, yaitu asalnya suci. Oleh
karena itu, jika seseorang terkena air dari suatu saluran air, atau
menginjak suatu benda basah, padahal ia tidak mengetahui apakah
benda tersebut suci ataukah tidak, maka asalnya benda tersebut adalah
suci (tidak najis).
4) Seseorang yang sedang melaksanakan thawaf di Baitullâh, jika ia
menemui keraguan tentang jumlah putaran yang telah ia lakukan, maka
ia menentukan sesuai yang ia yakini, yaitu ia kembali pada jumlah yang
paling sedikit. Demikian pula seseorang yang ragu-ragu ketika
melaksanakan sa’i.
5) Barang siapa yakin mempunyai hadats dan ragu-ragu dalam keadan suci,
maka ia adalah orang yang mempunyai hadats. 7

Dan kaidah Yang lain menyebutkan :

‫إن ما ثبت بيقني ال يرتتفع إ آل يقيين‬


“Sesungguhnya sesuatu yang tetap dengan keyakinan itu tidak akan
hilang kecuali dengan keyakinan pula”

7
H. Sukanan, Khairudin , Ushul Fiqih, Terjemah Mabadi Awwaliyah Fii Ushul Fiqh wa Qowaidul
Fiqhiyyah (Bekasi: e-Book, 2019), hlm 35
8

II. Kaidah Ketujuh

‫ْاَأل ْص ُل ب َ َقا ُء َما اَك َن عَىَل َما اَك َن‬


“Asalnya itu tetapnya sesuatu atas sesuatu”

Misalnya :

1) Barang siapa yang makan sahur diakhir malam dan ragu-ragu telah
muncul fajar, maka sah puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah
masih tetapnya malam.
2) Barang siapa yang berbuka puasa diakhir siang dengan tanpa ijtihad,
dan ia ragu-ragu pada terbenamnya matahari, maka batal puasanya,
karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya siang.
3) Kedua suami istri hidup susah dalam waktu yang cukup lama, kemudian
istrinya menggugat suaminya tidak pernah memberikannya pakaian,
dan nafkah, maka ucapan yang dipegang adalah ucapan si istri itu,
karena pakaian dan nafkah itu berada pada tanggungan suaminya dan
suami tidak dapat memenuhi keduanya (pakaian dan nafkah).
4) Suami istri yang berselisih/berseteru tentang masalah tamkin
(perlakuan istri melayani suami), maka ucapan yang dipegang adalah
ucapan suami, karena asalnya itu tidak adanya tamkin, maka tidak wajib
bagi suami untuk memberikan nafkah, karena nafkah itu wajib jika
adanya tamkin.
5) Seseorang yang telah membeli air kemudian menggugat bahwa air itu
najis, dan hendak mengembalikannya, maka ucapan yang mesti
dipegang adalah ucapan si penjual, karena sesungguhnya asalnya air itu
adalah suci.
9

6) Seseorang yang meragukan air suci yang berubah, apakah perubahan itu
sedikit atau banyak, maka air itu masih tetap suci.
Sebagaimana Kaidah yang lain:

‫ َوالْ َي ِقنْي ُ َال يَ ُز ْو ُل اِب لشَّ ِّك‬,‫ْاَأل ْص ُل ب َ َقا ُء َما اَك َن عَىَل َما اَك َن‬
“Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Tetap Dalam Keadaannya Semula,
Dan Keyakinan Tidak Bisa Hilang Karena Keraguan”

Hukum asal air itu suci selama tidak ada dalil yang merubahnya. Sampai
muncul keyakinan bahwa air tersebut memang telah berubah menjadi tidak
suci lagi karena terkena najis. Demikian pula, hukum asal segala sesuatu adalah
suci. Maka kapan saja seseorang ragu-ragu tentang kesucian air, baju, tempat,
bejana, atau selainya maka ia menghukuminya dengan hukum asal tersebut,
yaitu asalnya suci. Oleh karena itu, jika seseorang terkena air dari suatu saluran
air, atau menginjak suatu benda basah, padahal ia tidak mengetahui apakah
benda tersebut suci ataukah tidak, maka asalnya benda tersebut adalah suci
(tidak najis).

III. Kaidah Kesebelas

َ ‫املَشَ قَّ ُة جَت ْ ِل ُب التَّي ِْسرْي‬

"Kesulitan itu akan menghasilkan kemudahan”


Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami.
Karena, seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan
wujud dari kaidah ini.

Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
10

َ ‫يُ ِريدُ اهَّلل ُ ِبمُك ُ الْيُرْس َ َواَل يُ ِريدُ ِبمُك ُ الْعُرْس‬


Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. [al-Baqarah/2:185].

‫اَل يُلَك ِ ّ ُف اهَّلل ُ ن َ ْف ًسا اَّل ُو ْس َعهَا‬


‫ِإ‬
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
[al-Baqarah/2:286].

Ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini.


Dikarenakan seluruh syari’at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus
tauhidnya, terbangun atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun.

Misalnya:

1) Ketika seseorang tidak bisa berdiri dalam sholat fardhu maka baginya
diperbolehkan sholat sambil duduk, begitu pula jika ia tidak bisa untuk
duduk maka diperbolehkan sholat sambil berbaring miring.
Didalam QS Ali Imran : 191 disebutkan, bahwa:

َّ ‫ون يِف َخلْ ِق‬


‫الس َم َاو ِات‬ َ ‫اذَّل ِ َين ي َ ْذ ُك ُر‬
َ ‫ون اهَّلل َ ِق َيا ًما َوقُ ُعودًا َوعَىَل ٰ ُجنُوهِب ِ ْم َوي َ َت َفكَّ ُر‬
‫َواَأْل ْر ِض َربَّنَا َما َخلَ ْق َت َهٰ َذا اَب ِطاًل ُس ْب َحان ََك فَ ِقنَا عَ َذ َاب النَّ ِار‬
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, sambil duduk dan
diatas rusuk mereka..”

2) Jika seseorang tidak boleh menggunakan air maka ia boleh


bertayammum.

‫ي َ ُق ْو ُم الْ َبدَ ُل َم َقا َم الْ ُم ْبدَ لِ َولَ ِك ْن َال ي ُ َص ُار لَ ْي ِه الَّ َذا تَ َع َّذ َر ْاَأل ْص ُل‬
‫ِإ ِإ ِإ‬
11

“Pengganti Menempati Posisi Yang Digantikan, Namun Pengganti Tidak


Dijalankan Kecuali Jika Pelaksanaan (Ibadah) Yang Diganti Terhalang”

Kaidah ini menjelaskan bahwa badal (pengganti atau ibadah pengganti)


diberi hukum yang sama dengan mubdal (yang digantikan atau ibadah yang
digantikan). Artinya, jika yang digantikan adalah suatu yang wajib maka
penggantinya juga wajib. Jika yang digantikan hukumnya sunnah maka
penggantinya pun Sunnah.

Diantara dalil yang mendasari kaidah ini yaitu firman Allâh Azza wa Jalla:

ُ ‫َو ْن ُك ْنمُت ْ َم ْرىَض ٰ َأ ْو عَىَل ٰ َس َف ٍر َأ ْو َج َاء َأ َح ٌد ِم ْنمُك ْ ِم َن الْغَائِطِ َأ ْو اَل َم ْسمُت‬


‫ِإ‬
ُ‫ال ِن ّ َس َاء فَمَل ْ جَت ِدُ وا َم ًاء فَتَ َي َّم ُموا َص ِعيدً ا َط ِ ّي ًبا فَا ْم َس ُحوا ب ُِو ُجوهِمُك ْ َوَأيْ ِديمُك ْ ِمنْ ُه ۚ َما يُ ِريد‬
ْ ‫اهَّلل ُ ِل َي ْج َع َل عَلَ ْيمُك ْ ِم ْن َح َرجٍ َولَٰ ِك ْن يُ ِريدُ ِل ُي َطهّ َِرمُك‬

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu.” [al-Mâidah/5:6]

Namun demikian, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengerjakan


ibadah pengganti kecuali jika sudah ia tidak mampu untuk mengerjakan ibadah
yang digantikan tersebut. Jika ia langsung mengerjakan ibadah pengganti
padahal ia mampu mengerjakan ibadah yang digantikan maka itu tidak sah dan
ia berdosa karena mengabaikan sesuatu yang menjadi hukum asal.

3) Ketika dirasakan sukar bagi seseorang untuk menghindari/menghilagkan


najis pada dirinya, maka najis itu diampuni oleh Allah Swt, seperti najis
12

darah akibat luka, bisul, kotoran jalan, dan bekas najis yang susah untuk
dihilangkan.
4) Imam Syafi'i ra, berkata: "Ketika seorang perempuan tidak mempunyai
wali dalam perjalanannya, maka ia boleh menyerahkan sepenuhnya
kepercayaan kepada orang lain yang dipercayanya."
5) Ucapan Imam Syafi'i yang lain tentang tempat-tempat yang dibuat dari
tanah dan dipanaskan dengan kotoran itu boleh dipergunakan untuk
berwudhu.

Dan dengan pengertian kaidah ini, Imam Syafi'i berkata

‫األمر إذا ضاق اسع‬


"Perkara itu kerika dalam kondisi sempit, maka ikut akan menjadi longgar”

Dan ucapan sebagian ulama:

‫األشياء اذا ضاقت السفت‬


"Setiap sesuatu itu jika dalam kondisi sempit maka ia akan menjadi longgar”

IV. Kaidah Ketiga Puluh Empat

" ‫" امليسور ال يسقط ابِٱلۡ َم ۡعسور‬


"Kemudahan itu tidak akan hilang oleh sebab kesukaran

Misalnya :

1) Ketika seseorang terpotong ujung jari-jari tangannya, maka wajib


baginya mencuci yang tersisa dalam bersuci.
2) Bagi yang hanya mampu menutupi sebagian auratnya, maka itu
dibolehkan sesuai dengan kadar kemampuannya dalam menutup aurat.
13

3) Jika seseorang tidak mampu melakukan ruku' dan sujud tetapi ia masih
mampu berdiri, maka berdiri dalam sholatnya itu tetaplah wajiblah
baginya.
4) Barang siapa hanya memiliki setengah sha' (1 sha = 3 liter lebih, untuk
kadar zakat fitrah), maka tetap wajib baginya untuk mengeluarkannya
sebagai zakat fitrah.
5) Bagi yang hanya mampu membaca setengah dari surat al-fatihah dalam
sholat, maka lakukanlah (bacalah), dan kekurangannya diganti dengan
membaca surat yang lain (yang ia bisa).
6) Barang siapa memiliki 1 nishab (kadar zakat) dimana separuhnya ada
pada dirinya dan yang separuhnya itu ghaib (tidak bersamanya), maka
pendapat yang lebih Shahih (Qaul Ashoh) sesungguhnya wajib baginya
mengeluarkan zakatnya itu dari harta yang ada pada dirinya saja.
7) 'Ulama-ulama Iraq menuqil nash pendapat imam Syafi'i yang
menyatakan bahwa sesungguhnya orang yang gagu (bisu) itu wajib
menggerak-gerakkan lisannya sebagai ganti dari menggerakkan lisannya
dalam membaca fatihah, seperti halnya isyarat dengan ruku' dan sujud.
8) Bagi orang yang pada anggota tubuhnya terdapat luka yang mencegah
masuknya air pada anggota tubuh itu, maka pendapat madzhab
mengungkapkan tetap wajib mencuci anggota tubuh yang lain kemudian
melakukan tayammum pada anggota tubuh yang luka itu.

Allah Swt. Berfirman dalam surat ali-Imran : 104


ِ ‫ون ِبٱلۡ َم ۡع ُر‬
‫وف َویَهۡن َ ۡو َن َع ِن ٱلۡ ُمن َك ۚ ِر َوُأ ۟ولَ ٰۤـ ِِٰٕٕى َك‬ ‫ٱ‬
َ ‫ُون ىَل لۡ َخرۡی ِ َوی َ ۡأ ُم ُر‬
َ ‫َولۡ َت ُكن ِ ّمنمُك ۡ ُأ َّمة یَدۡ ع‬
‫ِإ‬
‫ٱ‬
َ ‫مُه ُ لۡ ُم ۡف ِل ُح‬
‫ون‬
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung."
14

V. Kaidah Ketiga Puluh Delapan

" ‫" الرىض ابلشين رىض مبا يتودل منه‬


. "Ridha terhadap sesuatu itu ridha dengan apa yang terlahir darinya”

Misalnya:

1) Ridhonya suami istri terhadap faib (encat) salah satunya, walaupun


kemudian bertambah cacatnya itu, maka tidaklah ada khiyar, menurut
pendapat Qaul Shahih.
2) Murtahin (orang yang menggadaikan) yang telah memberikan izin
kepada Rahin (orang yang menggadai) dalam memukul hamba sahaya
yang digadaikan, walaupun sampai rusak karena dipukul, tidaklah
mendapatkan hukuman mengganti, karena itu merupakan
dampak/akibat dari izinnya murtahin.
3) Jika seseorang berkata : Potonglah tangan saya, maka kemudian
dipotong tetapi selanjutnya tangannya terputus-putus akibat dari
pemotongan itu, maka biarkanlah menurut Qaul Adzhar. adilar.
4) Memakai wewangian pada waktu sebelum Ihram, kemudian wewangian
itu terus menerus sampai melakukan ihram, maka tidaklah wajib
membayar fidyah.
5) Beristinja dengan batu itu diampuni walaupun ketika berkeringat
kotorannya itu menjadi basah, maka hukum asalnya tetap diampuni.
6) Jika seseorang yang sedang berpuasa terlanjur meminum air ketika
madlmadlah dan istinsyaq padahal ia tidaklah mubalaghah dalam
melakukannya, maka ia tidaklah batal pinsanya menurut Qaul Ashoh,
berbeda hukumnya (batal puasanya) bagi yang melakukannya dengan
mubalaghoh, karena terlanjur meminum air itu disebabkan melakukan
yang dicegah (mubalaghah bagi orang yang berpuasa)

Seiring dengan kaidah diatas, yaitu kaidah


15

: ‫" التوةل من مأذون فيه ال أثر هل‬


“Yang wuncular kehir dari yang telah dicin mak ndaklah ada masalah”

III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Ushul Fiqh ialah dalil hukum fiqih yang dibuat secara
global/ijmal, seperti pendapat „ulama bahwa muthlaqnya perintah itu
adalah suatu kewajiban, dan muthlaqnya larangan adalah suatu yang
diharamkan, serta muthlaqnya perbuatan Nabi Saw, muthlaqnya Ijma‟
dan Qiyas adalah Hujjaj (dalil). Definisi Fiqih secara etimologi (bahasa)
ialah Faham, sedang menurut terminologi ialah ilmu yang mempelajari
hukum-hukum syar‟i yang dihasilkan dari Ijtihad. Misalnya : mengetahui
bahwa niat ketika wudhu hukumnya wajib, Nabi Sawbersabda : “Setiap
Sesungguhnya pekerjaan itu dengan niat” dan wudhu termasuk dari
salah satu perbuatan.

Berbeda dengan mengetahui hukum syara‟ yang tidak melalui


jalan ijtihad seperti mengetahui bahwa sholat lima waktu itu hukumnya
wajib, dan berzina itu hukumnya haram, semua itu termasuk dari
masalah Qath‟iyyah (pasti) maka pengetahuan itu bukan disebut fiqih.

Karena kurangnya ibarat atau contoh yang diberikan untuk


setiap kaidah-kaidahnya, maka untuk itu dalam makalah ini dijelaskan
dengan mudah tentang kaidah-kaidah ushul fiqh beserta
contoh/perumpamaan nya, karena untuk menghafal satu kaidah dengan
tidak adanya pengetahuan tentang contoh kaidah tersebut, maka hal itu
tidak akan memberikan kemanfa‟atan dan akan membuang waktu
dengan sia-sia.
16

DAFTAR PUSTAKA

AL Bassam, Abdullah Ibn Abdurrahman, Ilmu: Mustholah Hadits, Ushul Fiqh, Qowaid
Fiqhiyyah, Maqoshid Syahri’ah (Jakarta: Pembela Islam Media, 2014).

Khairudin, H. Sukanan, Ushul Fiqih, Terjemah Mabadi Awwaliyah Fii Ushul Fiqh wa
Qowaidul Fiqhiyyah ( Bekasi: e-Book, 2019).

Anda mungkin juga menyukai