Anda di halaman 1dari 18

BEBERAPA PRINSIP DASAR EPISTEMOLOGI ISLAM

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Metodologi Studi Islam”

Dosen Pengampuh: Drs. Annasaiburi, M. Ag

Disusun oleh:
Kelompok 2

Ade Tasya Wahida NIM: 0101173133


Putri Balqis Lubis NIM: 0101173135
Rasyid Hidayat NIM: 0101173134

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Metodologi Studi Islam tentang “Beberapa Prinsip Dasar
Epistemologi Islam”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
terhadap pembaca.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

Bab I : Pendahuluan.................................................................................................1

Bab II : Pembahasan.................................................................................................2

A. Pengertian Epistemologi dan Islam........................................................2

1. Epistemologi......................................................................................2

2. Islam..................................................................................................2

B. Sumber Pengetahuan..............................................................................5

1. Wahyu................................................................................................5

2. Akal....................................................................................................8

3. Rasa....................................................................................................9

C. Kriteria dalam Epistemologi Islam..........................................................9

D. Peran dan Fungsi Pengetahuan Islam...................................................11

Bab III: Penutup.....................................................................................................14

Daftar Pustaka........................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu keistimewaan Islam adalah sikapnya terhadap akal dan menghargai
dinamikanya dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Manusia yang diciptakan oleh
Allah swt mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.
Manusia diciptakan begitu sempurna, yaitu dilengkapi dengan daya berpikir, dan
dengan daya itu pula manusia dapat meningkatkan kualitas kehidupannya. Berpikir
adalah aktivitas berdialog dengan diri sendiri dan dengan manifestasinya, yaitu
mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasan-alasan,
membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik
kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari kualitas dan lain sebagainya.
Pikiran mempunyai potensi untuk berkembang,merenung, menganalisa dan
menyingkap misteri yang tersembunyi tanpa adanya ikatan yang membelenggu,
sesuai dengan apa yang diinginkan. Di samping ketinggian ajaran Islam yang datang
dari sisi Allah dan apa-apa yang datang dari sisi Allah selalu benar. Maka
sesungguhnya, penghargaan Islam terhadap akal, juga merupakan salah satu aspek
yang menjadikan Islam itu benar mempunyai ketinggian.
Oleh karena itu, pengetahuan adalah merupakan salah satu tujuan akal,
meskipun bukan tujuan paling mendasar. Akibat dari kerja akal, akhirnya manusia
tidak pernah berhenti untuk berpikir dalam menginterprestasikan suatu objek,
sehingga berdirilah arus-arus filsafat yang berbeda-beda juga.
Agar manusia tidak sesat menggunakan energi akalnya dalam memperoleh
pengetahuan, maka Allah swt menurunkan wahyu sebagai sumber yang paling valid
untuk dijadikan sebagai penjaga dan pengarah kebebasan akal. Sehingga meskipun
manusia berpikir luar biasa, namun dia akan tetap kembali kepada pengakuan
kekuasaan Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi dan Islam


1. Epistemologi
Upaya untuk memperoleh pengetahuan disebut dengan epistemologi. Kata
epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti knowledge atau
pengetahuan dan logy yang berarti theory.1
Dengan demikian epistemologi berarti teori pengetahuan (theory of
knowledge). Secara etimologi, epistemologi dimaksudkan sebagai filsafat
pengetahuan yang berusaha mencari, mempelajari, melacak dan menentukan kodrat
dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta pertanggung
jawabannya atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
Runes menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which
investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya
kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan
hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan
oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854.2

2. Islam
Kita perhatikan kata Islam, maka sesungguhnya Islam itu berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari akar kata aslaama-yusliimu-islaaman yang berarti selamat, damai,
sejahtera, patuh dan tunduk.3

1
Hartono, Kamus Popular Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 23.
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 23.
3
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 12.

2
Muhammad Arkoun dalam buku Rethinking Islam menyebutkan bahwa kata
Islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri kepada Tuhan”.4
Harun Nasution berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang ajaran-
ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui nabi Muhammad Saw sebagai
rasul Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bersumber pada al-Quran dan
hadits mengenai kehidupan manusia.5
Dari istilah Islam yang telah dipaparkan di atas, maka sesungguhnya Islam itu
adalah sikap religius seseorang yang ditunjukkan melalui ketundukan, kepatuhan dan
ketaatan dalam menjalankan perintah Allah Swt. Maka orang yang tunduk dan taat
pada aturan Allah Swt, pada akhirnya akan mencapai keselamatan disisi Allah Swt,
itulah definisi Islam yang sesungguhnya.
Dalam paham dan keyakinan ummat Islam al-Quran mengandung sabda
tuhan yaitu Kalamullah yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw, seperti
firman Allah didalam ayat As Syura ayat 51-52 yang berbunyi:

ِِ ِ ِ ٍ ‫وما َكا َن لِب َش ٍر أَن ي َكلِّمهُ اللَّهُ إِاَّل و ْحيا أَو ِمن وراء ِحج‬
ُ‫اب أ َْو يُْرس َل َر ُسواًل َفيُوح َي بِِإ ْذنه َما يَ َشاء إِنَّه‬ َ ََ ْ ً َ َ ُ َ ََ
ِ ِ ِ ِ
ُ َ‫نت تَ ْد ِري َم ا الْكت‬
‫اب َواَل اإْلِ ميَ ا ُن‬ َ ‫ك أ َْو َحْينَ ا إِلَْي‬
َ ‫ك ُروحًا ِّم ْن أ َْم ِرنَ ا َم ا ُك‬ َ ‫﴾ َو َك َذل‬٥١﴿ ‫يم‬
ٌ ‫َعل ٌّي َحك‬
﴾٥٢﴿ ‫اط ُّم ْستَ ِقي ٍم‬
ٍ ‫َّك لََته ِدي إِىَل ِصر‬
َ
ِ ِ ِ ‫ولَ ِكن جع ْلنَاه نُورا نَّه ِدي بِِه من ن‬
ْ َ ‫َّشاء م ْن عبَادنَا َوإِن‬
َ َْ ْ ً ُ ََ َ

51. “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
52. “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah
Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak
4
Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, Terj. Yudian W dan Latiful Khuluq, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 17.
5
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 24.

3
pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Islam dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw sebagai agama yang benar
yang dimenangkan Allah Swt walaupun orang musyrik tidak menyukainya , islam
diturunkan untuk memperkenalkan mana yang benar dan mana yang salah, mana
yang Haq dan mana yang Bathil. Islam dalam hal ini telah ada sejak manusia itu ada
dan diutus seorang rasul hingga datangnya rasul akhir zaman yaitu Nabi Muhammad
Saw sehingga islam untuk seluruh ummat manusia dan berlaku sepanjang zaman.6
Agama merupakan satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga
menjelaskan maksudnya, akan tetapi sangat sulit memberikan batasan (defenisi) yang
tepat. Hal ini disebabkan untuk menjelaskan sesuatu secara ilmiah mengharuskan
adanya rumusan yang mampu mennyatukan semu aunsur yang didefenisikan dan
mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Tiga alasan lain yang
diungkapkan oleh Mukti Ali tentang kesulitan untuk memberi batasan (defenisi)
agama, yaitu : Pertama, pengalaman agama adalah soal bathin, subyektif dan sangat
individualis sifatnya. Kedua,selalu ada emosi dan perasaan yang mengikat setiap
pembahasan tentang agama. Ketiga, konsepsitentang agama dipengaruhi oleh tujuan
dari orang yang memberikan defenisi tersebut.7
Quraish Shihab menyatakan bahwa, “Agama adalah ketetapan-ketetapan
Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia”.8
Sementara itu, Kata diin sendiri mengandung makna hubungan antara dua pihak, di
mana pihak pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pihak yang kedua. Jika
arti kata diin seperti tersebut di atas, kemungkinan hubungan yang terjadi ada tiga

6
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2011), hlm.
23-24.
7
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : Raja Grafindo Peerkasa, 1998) hlm. 8
8
Mahmud Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung : Mizan, 1992) hlm. 209-210

4
pola relasi. Pertama, hubungan manusia dengan Allah. Kedua, hubungan manusia
dengan manusia dan Ketiga, hubungan manusia dengan alam sosial.9
Agama Islam adalah agama yang benar, yang hanya memiliki satu tujuan
penghambaan kepada Allah, satu ketaatan hanya kepada Allah dan takut kepada
hukuman Allah sebagai pertanggungjawaban terhadap apa yang kita kerjakan selama
hidup di dunia ini.

B. Sumber Pengetahuan
1. Wahyu
Sumber artinya tempat asal digalinya sesuatu. Jika disebut sumber air,
maksudnya adalah tempat asal air mengalir atau mata air. Maka ungkapan yang
menyebutkan sumber pengetahuan bermakna sebagai sumber asal dari satu
pengetahuan tersebut.10
Sumber harus dapat berdiri sendiri, baik dari sisi asal-usul dan kemurnian
nilai-nilai yang dikandungnya yang dapat diterjemahkan menjadi petunjuk-petunjuk
praktis untuk dipraktekkan.
Wahyu dalam bentuk pertama merupakan pengetahuan yang muncul secara
tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Wahyu bentuk kedua bisa
didefenisikan sebagai pengalaman dan penglihatan didalam keadaan tidur atau
didalam keadaan ru’ya. Sedangkan wahyu bentuk ialah yang diberikan melalui
utusan, atau malaikat yaitu Jibril dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk
kata-kata.11
Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi kekuatan yang
sangat besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan
berbagai bentuk ajaran normatif menjadi teori-teori yang bisa diandalkan. Disamping
itu, wahyu memberikan bantuan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan
rasional dan empiris, sehingga pengetahuan yang berdasarkan wahyu memiliki
9
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Etika Bisnis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001 ), hlm. 2.
10
Ibid, hlm. 3
11
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 25.

5
khazanah intelektual yang lebih lengkap dari pada sains. Wahyu bisa dijadikan
rujukan pencarian pengetahuan kapan saja dibutuhkan, baik bersifat inspiratif
maupun terkadang ada juga yang bersifat eksplisit. Dengan begitu, pengetahuan yang
bersumber dari wahyu memilki sambungan vertikal, yakni Allah sebagai pemilik ilmu
di seluruh alam ini.12
Wahyu pada asalnya ialah sesuatu yang di beritahukan dalam keadaan
tersembunyi dan cepat, wahyu Allah kepada nabi-nabiNya ialah pengetahuan yang
Allah tuangkan ke dalam jiwa nabi agar mereka sampaikan kepada manusia untuk
menunjuki mereka dan memperbaiki di dunia serta membahagiakan mereka di
akhirat, nabi sesudah menerima wahyu mempunyai kepercayaan yang penuh bahwa
yang diterimanya adalah dari Allah Swt.

a. Al-Quran
Quraish Shihab menerangkan pada kutipan buku Abdul Adzim Al Zarqani,
secara lughawial al-Quran adalah akar dari kata qara’a yang berarti membaca,
sesuatu yang dibaca. Membaca yang dimaksud adalah huruf-huruf dan kata-kata
antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan secara istilah al-Quran didefinisikan
dalam ragam pandangan yang dilatarbelakangi oleh bidang ilmu masing-masing.
Salah satunya al-Quran yaitu wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad
saw, yang ditulis dalam bentuk mushaf berdasarkan penulisan secara mutawatir.
Wahyu Allah yang sudah ditulis dan ditrunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah
al-Quran. Wahyu Allah yang tidak tertulis bukan al-Quran. Demikian pula wahyu
Allah yang turun kepada nabi-nabi lain bukanlah al-Quran. Demikian juga, wahyu
Allah yang turun kepada makhluk lainnya tidak juga disebut dengan al-Quran.13
Al-Quran dikatakan sebagai ilmu pengetahuan dikarenakan segala
interprestasi dalam segala bidang pengetahuan ada di dalam al-Quran, mulai dari ilmu
yang ada pada kehidupan maupun di luar kehidupan (akhirat). Segala macam hukum
12
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 105.
13
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2011), hlm.
156.

6
mempunyai sumber utama yaitu al-Quran, segala bukti tentang terciptanya alam,
manusia, dan segala perintah Allah swt. Oleh sebab itu, tidak ada perselisihan
pendapat diantara kaum muslimin tentang al-Quran itu sebagai argumentasi yang kuat
serta hukum-hukum yang wajib ditaati.

b. Sunnah
Secara lughawi sunnah atau hadits adalah sesuatu yang baru dikatakan baru
setelah diangkatnya Muhammad menjadi Rasul, termasuk baru, walaupun isi ajaran
Rasulullah tidak semuanya baru. Sedangkan secara istilah, hadits adalah perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw yang sudah tertulis kita sebut saja al
sunnah, tetapi setelah al sunnah diriwayatkan oleh para sahabat dangen erasi
selanjutnya secara bersambung, itulah hadits.
Seperti halnya al-Quran, sunnah juga mengandung informasi tentang beberapa
hakikat yang berkaitan dengan masalah-masalah ghaib. Sunnah juga memuat
informasi tentang kejadian masa lalu, tentang awal penciptaan, tentang rasul dan nabi.
Sunnah juga mengandung peristiwa yang berkaitan dengan masa lalu dan masa
depan.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan kedua, hadits atau sunnah telah menjadi
faktor pendukung utama kemajuan ilmu pendidikan. Banyak hadits yang berbicara
tentang ilmu terutama ilmu pengetahuan. Landasan hadits sebagai sumber ilmu
adalah firman Allah pada Q.S. An Najm ayat 3-4:
ِ ِ ِ
َ ُ‫﴾ إ ْن ُه َو إاَّل َو ْح ٌي ي‬٣﴿ ‫َو َما يَنط ُق َع ِن اهْلََوى‬
﴾٤﴿ ‫وحى‬
3. “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya.”
4. “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

2. Akal

7
Selanjutnya pandangan islam mengenai akal manusia mendapat kedudukan
yang lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat al-Quran, pengetahuan lewat
akal disebut pengetahuan aqli akal dengan indera dalam indra yang berkaitan dengan
pengetahuan satu dengan yang lainnya. akal berbeda dengan otak, akal dalam
pandangan islam bukan otak, melainkan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa
manusia.14
Meskipun islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak
menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam membatasi ruang lingkup akal
sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan
mungkin bisa menggapai hakikat segala sesuatu. Maka Islam memerintahkan akal
agar tunduk dan melaksanakan perintah syar’i walaupun belum sampai kepada
hikmah dan sebab dari perintah itu. Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh
makhluk adalah ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena
lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah perintah Allah
tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan penciptaan Adam, Iblis
berkata: ”Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah..” (QS.Shaad ; 76).
Karena inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang diluar
jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat ruh, dan yang
semacamnya, Rasulullah bersabda: ”Pikirkanlah nikmat-nikmat Allah, janganlah
memikirkan tentang Dzat Allah. Firman Allah didalam surah Al Isra’:

﴾٨٥﴿ ً‫وح ِم ْن أ َْم ِر َريِّب َو َما أُوتِيتُم ِّمن الْعِْل ِم إِالَّ قَلِيال‬ ُّ ‫وح قُ ِل‬
ُ ‫الر‬ ُّ ‫ك َع ِن‬
ِ ‫الر‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".”
3. Rasa

14
Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Peerkasa, 1998) hlm. 106-
110.

8
Rasa merupakan daya yang penting dalam pengetahuan manusia. Karena
begitu pentingnya, ini dianggap atau diyakini sebagai satu-satunya tolak ukur
pengetahuan, pandangan inilah yang disebut sebagai empirisisme.
Dalam epistimologi islam, fakultas indriawi terdiri dari dua bentuk, yaitu
pancaindra lahir dan pancaindra batin. panca indra merupakan alat untuk
memperoleh pengetahuan dan segala kenikmatan Allah di dunia serta segala
pengetahuan yang dapat diperoleh manusia lewat kelima indranya (panca indra).
Pengetahuan tersebut ialah pengetahuan indra (naqli) atau pengetahuan empiris.
Pengetahuan indra terwujud sentuhan indrawi manusia dengan alam, dari sentuhan itu
manusia memperoleh pengetahuan.
Dalam pandangan Islam, tubuh memiliki karakteristik yang fundamental bagi
manusia. Tubuh adalah tempat beroperasinya panca indera, sehingga dengan manusia
dapat melihat, meraba, mencium, mendengar dan merasa. Oleh sebab itulah, manusia
dapat melihat dan membaca ayat-ayat dan tanda-tanda yang tertabur di alam semesta.

C. Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam


Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia. Kebenaran ini ditemukan dan diuji lewat proses keilmuan yang
dikembangkan oleh manusia. Kebenaran ini sangat dinamis dan relatif. Kebenarannya
selalu berubah dan tidak mutlak. Hal ini sejalan dengan pendekatan kajian ilmiah
yang selalu berusaha untuk menemukan kebenaran terkini.15
Terdapat beberapa teori kebenaran yang sudah dikembangkan hingga saat ini.
Jujun S. Sumantri menyatakan, ada tiga teori kebenaran: teori koherensi,
korespondensi, dan pragmatisme.

1. Teori Korespondensi
15
Moh. Ali Aziz, Kebenaran Pesan Dakwah, Jurnal Komunikasi Islam Vol. 01, No. 02,
Desember 2011, hlm. 112.

9
Sesuatu dianggap benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pernyataan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Karenanya, kebenaran
adalah kesesuaian atau terjadinya korespondensi antara pernyataan dan fakta. Dengan
kata lain, kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan realita. Suatu proposisi atau
pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu
apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran itu adalah yang sesuai dengan fakta,
selaras dengan realitas, serta serasi dengan situasi aktual. Teori ini banyak dianut oleh
kaum realis. Pelopornya adalah Plato, Aristoteles dan Moore. Ia dikembangkan lebih
lanjut oleh Ibnu Sina dan Thomas Aquinas. Pada abad moderen, ia dikembangkan
kembali oleh Bertrand Russel. Teori ini melandasi cara berpikir ilmiah induktif dalam
pengembangan ilmu pengetahuan moderen.16

2. Teori Konsistensi/Koherensi
Menurut teori konsistensi/koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika di
dalam pernyataan tersebut tidak terdapat pertentangan. Pernyataan tersebut harus
konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang berkaitan. Selain itu, ia juga harus
konsisten dengan pernyataan yang hadir sebelum pernyataan tersebut serta dianggap
benar.. Dengan kata lain, suatu pernyataan menjadi benar jika ia sesuai dengan
pernyataan sebelumnya yang sudah dinyatakan benar. Jadi, kebenaran adalah sistem
yang koheren; kebenaran adalah konsistensi (truth is a systematic coherence, truth is
consistency). Suatu proposisi itu cendrung untuk benar jika proposisi itu saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar. Setidaknya, arti yang
dikandung oleh proposisi saling berhubungan dengan pengalaman. Teori Konsistensi
sudah ada sejak zaman pra Socrates. Pada abad moderen dikembangkan oleh
Benedictus Spinoza dan George Hegel.17

16
Moh. Ali Aziz, Kebenaran Pesan Dakwah, Jurnal Komunikasi Islam Vol. 01, No. 02,
Desember 2011, hlm. 110.

17
Moh. Ali Aziz, Kebenaran Pesan Dakwah, Jurnal Komunikasi Islam Vol. 01, No. 02,
Desember 2011, hlm. 110.

10
3. Teori Pragmatisme
Berbeda dengan kedua teori sebelumnya, dalam pragmatisme, sebuah teori
memiliki kebenaran jika teori tersebut memiliki kegunaan dan manfaat bagi manusia.
Untuk mengukur sebuah teori benar atau tidak, pragmatisme menggunakan kriteria
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan akibat yang memuaskan
(satisfactory consequence). Karena itu, kebenaran sebuah teori sangat tergantung
pada kerja, manfaat, serta dampak atau akibat yang ditimbulkannya. Teori ini
dikembangkan di Amerika oleh Charles S. Piece, William James, dan John Dewey.18

D. Peran dan Fungsi Pengetahuan Islam


Pengetahuan berasal dari bahasa arab yaitu ‘ilm. Dan pengetahuan itu sendiri
terdiri dari dua jenis yaitu: pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan
Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti
perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindera, untuk mengetahui sesuatu tanpa
memperhatikan objek dan cara kegunaannya. Pengetahuan ilmiah juga merupakan
keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan
memperhatikan objek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan pengethuan
tersebut. Pengetahuan ilmiah memperhatikan objek ontologis, landasan
epistemologis, dan landasan epistemologi, dan landasan aksiologis dari pengetahuan
itu sendiri.
Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut
(nyata). Istilah yang paling tepat untuk mendefenisikan pengetahuan adalah al’ilm,
karena memiliki dua komponen. Pertama, bahwa sumber asli seluruh pengetahuan
adalah wahyu atau Al Qur’an yang mengandung kebenaran absolut. Kedua, bahwa
metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren sumanya sam-sama
valid, semuanya menghasilkan bagian dari sutu kebenaran dan realitas.19

18
Ibid, hlm. 111.
19
Ziauddin Sardar, Dimensi Ilmiah Al-‘Ilm, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 25.

11
Menurut Nur Cholis Madjid, ilmu merupakan hasil pelaksanaan perintah
Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam, sebagai manifestasi atau
penyingkapan tabir akan rahasia-Nya. Peran dan fungsi pengetahuan dalam Islam ini
dapat kita lihat dari 5 ayat pada surat Al-Alaq. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’,
selain dapat diartikan membaca juga berarti menelaah, mengobservasi,
membandingkan, mengukur, mendeskripsikan, menganalisa, dan penyimpulan secara
induktif.20
Secara rinci dapat digambarkan empat fungsi ilmu pengetahuan :
1. Fungsi Deskriptif yaitu menggambarkan, melukiskan dan memaparkan
atau masalah sehingga mudah dipelajari.
2. Fungsi pengembangan yaitu melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan
menemukan hasil penemuan yang baru.
3. Fungsi fredeksi yaitu meramalkan kejadian-kejadian yang besar
kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-
tindakan yang perlu usaha untuk menghadapinya.
4. Fungsi kontrol yaitu berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwayang
tidak dikehendaki.

Sedangkan sebagian lagi cenderung menjadikan pengetahuan sebagai alat


untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara
keseluruhan.Menurut Ali-Attas, ilmu pengetahuan dikatakan bermanfaat apabila :

1. Mendekatkan pada kebenaran Allah, bukan menjauhkannya.


2. Dapat membantu umat dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.
3. Dapat memberi pedoman bagi sesama.
4. Dapat memberikan solusi.21

20
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Study Islam, (Bandung: PT.Rosda Karya,
2000), hlm. 18.
21
Syed Muhammad Naqib Al Attas, Islam dan filsafat sains, terj. Saiful Muzanmi, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1995), hlm. 53-55.

12
Demikianlah pentingnya ilmu, sehingga Islam memandang memandang
bahwa orang menuntut ilmu sama nilainya dengan berjuang di jalan Allah. Islam
menempuh cara demikian, karena dengan ilmu pengetahuan seseorang dapat
meningkatkan kualitas dirinya, ibadahnya, serta kualitas imannya.

13
BAB III
PENUTUP

Upaya untuk memperoleh pengetahuan disebut dengan epistemologi. Kata


epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti knowledge atau
pengetahuan dan logy yang berarti theory.
Sumber pengetahuan dalam epistemologi islam terdiri dari wahyu, akal dan
rasa. Wahyu mencakup al-Quran dan al-Hadist. Pandangan islam mengenai akal
manusia mendapat kedudukan yang lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari beberapa
ayat al-Quran, pengetahuan lewat akal disebut pengetahuan aqli akal dengan indera
dalam indra yang berkaitan dengan pengetahuan satu dengan yang lainnya. akal
berbeda dengan otak, akal dalam pandangan islam bukan otak, melainkan daya
berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Rasa merupakan daya yang penting
dalam pengetahuan manusia. Karena begitu pentingnya, ini dianggap atau diyakini
sebagai satu-satunya tolak ukur pengetahuan, pandangan inilah yang disebut sebagai
empirisisme.
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia. Kebenaran ini ditemukan dan diuji lewat proses keilmuan yang
dikembangkan oleh manusia. Kebenaran ini sangat dinamis dan relatif. Kebenarannya
selalu berubah dan tidak mutlak. Hal ini sejalan dengan pendekatan kajian ilmiah
yang selalu berusaha untuk menemukan kebenaran terkini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hartono. 1986. Kamus Popular Filsafat. Jakarta: Rajawali.

Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Arkoun, Muhammad. 1996. Rethinking Islam, Terj. Yudian W dan Latiful Khuluq.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.

Makbuloh, Deden. 2011. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja


GrafindoPersada.

Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Raja Grafindo Peerkasa.

Quraish, MahmudnShihab. 1992. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan.

Ahmad, Nur Fadhil Lubis. 2001. Etika Bisnis. Jakarta: Hijri Pustaka Utama.

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.

Ali, Moh Aziz. Desember 2011. Kebenaran Pesan Dakwah. Jurnal Komunikasi
Islam Vol. 01, No. 02.

Sardar, Ziauddin. 2002. Dimensi Ilmiah Al-‘Ilm. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdul, Atang Hakim dan Jaih Mubarak. 2000. Metodologi Study Islam. Bandung:
PT.Rosda Karya.

15

Anda mungkin juga menyukai