Anda di halaman 1dari 14

Assalamu’laikum Warahmatullahi

Wabarakatuh
Sejarah Awal Pemikiran Islam Di Indonesia
Ukhtifah Munawwarah
Abad ke-16 dapat dianggap sebagai tonggak awal
terbentuknya tradisi pemikiran Islam Nusantara yang
lebih mapan, dalam pengertian awal lahirnya karya-
karya keislaman dalam berbagai cabang ilmu,
khususnya tasawuf, tauhid, hadis, tafsir, dan fikih.
Awal Pembentukan Pemikiran
Islam di Nusantara
 Hamzah Fansuri (w. 1527)
dapat dianggap sebagai tokoh
 Di antara karya-karya Hamzah yang
naskah-naskahnya masih dapat
dijumpai, ada tiga risalah dalam bentuk
pemikir Melayu Islam pertama
prosa yang patut disebut, yakni Syarb
yang mewariskan karya-karya
al-‘Asyiqin, Asrar al-‘Arifin, dan al-
sastra sufistis dalam bentuk
Muntahi.
syair.
 Corak pemikiran sufistik Hamzah
 Karya-karya Hamzah Fansuri
Fansuri dilanjutkan oleh ulama Aceh
memiliki karakter yang kuat
berikutnya, yaitu; Syamsuddin al-
sebagai penafsir pengetahuan
Sumatra’i (1550-1630), yang diketahui
dan doktrin mistiko filosofis,
menjadi Syaikh al-Islam, atau ulama
yang dalam tradisi Islam
istana di zaman tiga Sultan, yakni
sering dinisbatkan kepada Al-
‘Alauddin Ri’ayat Syah (1588-1604),
syaikh al-akbar Ibn ‘Arabi
‘Ali Ri’ayat Syah (1604-7), dan yang
paling dekat di antaranya, Iskandar
Muda (1607-36).
Global dan Penguatan Pemikiran Islam N
 Pembentukan pemikiran Islam  Kita bisa menyebut beberapa  Seperti halnya terjadi di wilayah
pada periode pasca Hamzah nama yang memiliki mata lain tempat berkembangnya
Fansuri dan Syamsuddin al- rantai jelas sebagai ulama Islam, dunia Melayu-Nusantara
Sumatra’i ditandai dengan adanya Melayu-Nusantara yang juga telah menghasilkan teks-teks
hubungan sosial dan intelektual pernah belajar ilmu-ilmu bernilai tinggi dalam berbagai
keagamaan yang lebih jelas dan keislaman di Haramayn, dan keilmuan Islam, seperti tafsir,
tegas antara dunia Islam Melayu- dikenal sebagai bagian dari hadis, tasawuf, fikih, tauhid, dan
Nusantara dengan dunia Islam lain, jamaūat al-Jawiyin berbagai karya keislaman lainnya.
khususnya Mekkah dan Madinah (komunitas Jawi) di Mekah,
(Haramayn) mulai abad ke-17. seperti Nuruddin al-Raniri  Meskipun hampir semua bidang
(w. 1658), Abdurrauf bin Ali ilmu berkembang pada masa awal
al-Jawi al-Fansuri (1615- di dunia Islam Nusantara, akan
1693), Muhammad Yusuf al- tetapi karya-karya di bidang
Makassari (1629-1699), dll. tasawuf tampak lebih dominan,
terutama yang terkait dengan
ajaran tarekat tertentu seperti
Syatariyyah, Qadiriyyah, dan
Naqsyabandiyah.
ran Tasawuf: Perkembangan dan Perdeba
 Dalam sejarah awal hubungan antar Muslim di Nusantara, salah satu isu yang memicu pertentangan serta
kontestasi ortodoksi dan heterodoksi adalah berkaitan dengan penafsiran doktrin-doktrin tasawuf filosofis di
kalangan para pemuka dan pemeluk agama. Ini tentu sejalan dengan teori yang umum diterima bahwa corak
Islam awal yang masuk ke Nusantara adalah tasawuf.

 Diawali sejak abad ke-16, ajaran tasawuf, baik aspek zikir dan ritual amalinya, maupun rumusan-rumusan
filosofisnya, menyebar mulai dari Aceh hingga ke berbagai pelosok Nusantara,

 Nama-nama Sufi awal di Kepulauan Melayu Nusantara, khususnya Aceh,


diantaranya ialah: Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatra’i, Nuruddin
al-Raniri, Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri (1615-1693) dan sejumlah
ulama lainnya dari luar Aceh.

 Wujud penolakan tersebut pun cukup beragam, mulai dari sekedar


penolakan pada level gagasan hingga penolakan ekstrim yang berujung
pada tindakan represif dari satu pihak terhadap pihak lain.
Al-Tuhfah al-Mursalah (Kitab ajaran dasar
tasawuf filosofis)
Muara Kontroversi Pemikiran Tasawuf
 Adalah Kitab yang ditulis pada tahun 1590 oleh seorang ulama India, yakni Fadl Allah
al-Hindi al-Burhanpuri (w. 1620).

Filosofis di Nusantara


Pengaruh al-Tuhfah al-mursalah kemudian diadopsi, diakomodasi, dan bahkan
ditafsirkan ulang oleh para ulama Sufi Nusantara lain, yang menganggap bahwa pada
dasarnya tidak ada masalah dengan ajaran yang terkandung di dalamnya, hanya saja
perlu penjelasan dan penafsiran yang kemungkinan dapat diterima oleh kalangan
Muslim ortodoks sekalipun.

 Dalam karya terjemahannya ‘Abd al-Samad al-Falimbani (kitab


Mulakhkhas li al-Tuhfah, yang merupakan terjemahan harfiah antarbaris
dalam bahasa Melayu dari al-Tuhfah al-Mursalah) terkesan ingin
melakukan “akomodasi” atas teks aslinya, al-Falimbani malah melakukan
perubahan yang sangat signifikan menyangkut pilihan kata-kata dan
susunan kalimat bahasa Arabnya
Respon dan Kritik terhadap Pemikiran
Tasawuf Filosofis
 Nuruddin Al-Raniri (seorang Indo-Arab asal Randir (Gujarat) yang fasih berbahasa
Melayu) membagi Wujudiyyah tersebut menjadi dua:
1. Muwahhid : label pertama untuk menyebut ajaran Wujudiyyah yang benar, lurus,
dan sesuai dengan ajaran syariat Islam.
2. Mulhid : label kedua digunakan untuk menyebut faham wujudiyyah yang sesat dan
heterodoks, khususnya dialamatkan kepada Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-
Sumatra’i.
 Dalam sejarah perkembangan sosial keagamaan di Kesultanan Aceh, tahun
1637 sering dianggap sebagai tahun kegelapan bagi penganut faham Hamzah
Fansuri dan al-Sumatra’i, dengan pergantian kekuasaan dari Sultan Iskandar
Muda kepada Sultan Iskandar Tsani yang memberikan otorisasi keagamaan
kepada al-Raniri untuk memfatwakan ajaran keduanya sebagai sesat dan perlu
diperangi.

 Akibat fatwa kafir dan sesat yang dikeluarkan al-Raniri, ditambah dengan
legitimasi kekuasaan dari Sultan Iskandar Tsani itulah, pemberangusan ajaran
dan penganut faham Wujudiyyah pun berlangsung dengan sangat tragis berupa
pembakaran karya-karya dan pembantaian penganutnya
Fath al-Mubin dan Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan
Puncak Penghakiman Pemikiran Tasawuf Filosofis
 Sejarah mencatat bahwa argumen-argumen serta penafsiran teologis sufistis al-
Raniri-lah yang kemudian dianggap benar oleh sang Sultan, dan dijadikan
landasan untuk membumi-hanguskan karya-karya yang mengandung
penafsiran berbeda, serta mengeluarkan fatwa sesat bagi penganutnya.

 Dalam teks Fath al-mubin, al-Raniri melukiskan bahwa di antara hal yang
dikemukakan oleh kaum wahdat al-mutlaq adalah mereka menyandarkan
pandangan teologisnya tentang Wujudiyyah itu pada ayat-ayat mutasyabihat
dalam al-Quran, seperti ‘yad Allah fawqa aydihim’ (Tangan Allah di atas tangan
mereka), pada hadis-hadis sifat Tuhan, dll.

 Karya al-Raniri lain yang dianggap sebagai salah satu yang terpenting dalam
konteks pengkafiran ajaran Wujudiyyah adalah Tibyan fi ma’rifat al-adyan
(Tibyan.) Kitab yang membahas tentang argumen-argumen kesesatan ajaran
Hamzah Fansuri dan al-Sumatra’i.
Moderasi Pemikiran Tasawuf
Filosofis  Gejolak sosial keagamaan di Aceh yang mulai terjadi pada akhir masa
Pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) akibat perbedaan pandangan
terhadap ajaran tasawuf falsafi.

 Hal ini terbukti dari dijumpainya sebuah teksberbahasa Arab yang


mengandung ‘laporan’ terkait peristiwa tersebut. Teks yang dimaksud adalah
Ithaf al-Dzaki bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ila Nabi Salla Allahu ‘Alayhi
wa-Sallama – Karya Ibrahim ibn Hasan al-Kurani (Madinah)

 Melalui Ithaf al-dzaki ini, di satu sisi tampak bahwa al-Kurani ingin
menunjukkan ortodoksinya dengan menegaskan pentingnya pemahaman dan
praktik tasawuf yang sesuai dengan tuntunan syariat. Dan disisi lain, ia juga
tidak dapat membenarkan sikap pengkafiran terhadap siapapun sejauh
statusnya sebagai seorang Muslim.

 Saat ini catatan tersebut menjadi salah satu informasi penting dan langka
berkaitan dengan gejolak sosial keagamaan yang terjadi di Aceh pada abad ke-
17 tersebut.
Pemikiran Ulama Nusantara di
Bidang Hadis Di penghujung abad ke-19, masih ada ulama Nusantara lain yang memiliki
perhatian terhadap bidang keilmuan hadis, yakni Ahmad al-Fathani, anak
ulama Fathani lainnya, Muhammad Zayn al-Fathani.

 Ia menulis sejumlah kitab hadis, baik berbahasa Arab maupun Melayu, antara
lain Bisharat al-‘amilin wa-nazarat al-ghafilin, Hadis memulakan makan
dengan garam dan disudahi dengannya, Hadis-hadis pilihan, serta Daftar rijal
hadis.

 Di antara ulama Nusantara yang paling terkemuka sebagai ahli hadis di


penghujung abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah Mahfudz Termas, yang
memiliki nama lengkap Muhammad Mahfuz bin Abdullah bin Abdul Manan
bin Abdullah bin Ahmad al-Tarmasi.

 Memasuki abad ke-20, setidaknya tercatat kitab Hadith ‘Ataqah, karya


Muhammad Mukhtar bin Ataridi al-Jawi al-Batawi al-Bawaqiri, seorang ulama
asal Bogor, Jawa Barat.
Lebih Dekat dengan Hidayat al-
habib  Hidayat al-habib ditulis oleh salah seorang ulama Melayu-Nusantara di Aceh,
Nuruddin al-Raniri.

 Sikap al-Raniri dalam melakukan pemberontakan kepada para pengikut


Hamzah Fansuri yang harus menanggung tindak kekerasan aparat kerajaan.
Mereka dikejar-kejar dan dipaksa melepaskan keyakinannya terhadap doktrin
wujudiyah, bahkan karya-karya mistik Hamzah Fansuri dikumpulkan dan
dibakar di depan mesjid besar Banda Aceh, Baiturrahman, karena karya-karya
tersebut dianggap sebagai sumber penyimpangan akidah umat Islam

 Al-Raniri adalah tokoh ulama awal di Nusantara yang cukup kontroversial,


sebagai tokoh pembaharu yang produktif menghasikan karya-karya keilmuan
Islam di satu sisi, tetapi juga tokoh ulama ortodoks yang agak ekstrim.
Kandungan Pemikiran dalam
Hidayat al-habib
 Hidayat al-habib mengandung 831 buah hadis tentang berbagai
kebaikan yang dianjurkan untuk dilakukan serta aneka keburukan
yang harus ditinggalkan.

 Sebagai sebuah kitab di bidang hadis, al-Raniri tampak ingin


menyandarkan karyanya ini pada sumber-sumber terpercaya di
bidang hadis yang sudah masyhur dan diakui validitasnya di
kalangan para sarjana hadis khususnya, dan masyarakat Muslim pada
umumnya.
Jazakumullahu Khoiron
Katsiron…

Anda mungkin juga menyukai