Anda di halaman 1dari 11

Nama : Asyifa Faradita

NPM : 191300029
Prodi : IAT 4A
MK : Perkembangan Tafsir di Indonesias
Dosen : Wahyudi, M.Ag

RANGKUMAN
BAB II
“Sejarah Kajian Al-Qur’an di Indonesia”

A. Munculnya Kajian Al-Qur’an di Indonesia


Pada bagian ini akan diuraikan tentang proses sejarah muncul dan terbentuknya
pengajaran Al-Qur’an di Nusantara serta kajian akademis terhadap Al-Qur’an. Yang
pertama memberikan penjelasan tentang model-model kajian awal terhadap Al-Qur’an,
meliputi ruang-ruang sosialnya dan tata-aturan membaca Al-Qur’an dengan baik dan
benar. Sedangkan yang kedua mengarah pada proses pergumulan Muslim Nusantara
dengan Al-Qur’an yang lebih bersifat akademis dalam bentuk karya tulis.
1. Awal Pembelajaran Al-Qur’an
Sejak pertama Islam masuk ke Aceh tahun 1290 M, pengajaran Islam mulai lahir
dan tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai. Waktu itu banyak ulama yang
mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam, dll.
Analisis Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia
memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap Muslim sejak
kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian Al-Qur’an” di surau, langgar, dan
masjid. Yunus mengklaim bahwa pendidikan Al-Qur’an waktu itu adalah pendidikan
Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik, sebelum diperkenalkan dengan
praktik-praktik ibadah (fiqh).
Di Sumatera terutama Aceh, dapat kita lihat bahwa pada abad ke-16 M, telah
muncul upaya penafsiran Al-Qur’an. Naskah Tafsir surah Al-Kahfi {18}:9, yang tidak
diketahui penulisnya, diduga ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636). Masih diwilayah Sumatera, perkembangan penting yang harus
dicatat adalah ketika para generasi muda Muslim mulai berkenalan dengan pemikiran-
pemikiran pembaruan Islam dari Mesir, terutama yang dikembangkan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Tafsir Al-Manar karya kedua tokoh ini pun
kemudian diperkenalkan dalam beberapa pengajaran kitab.
Di Jawa, penyebaran Islam yang dilakukan oleh Wali Songo, juga tak terpisah
dari upaya pengajaran Al-Qur’an . Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Ampel Denta
misalnya, mendirikan pesantren Ampel, dan Raden Fatah putra Brawijaya yang pernah
nyantri di pesantren Ampel Denta mendirikan pesantren di hutan Glagah Arum, pada
tahun 1475 M.
Pengajaran Al-Qur’an semakin nyata pada abad-abad selanjutnya, Mengutip
Brumund, Zamakhsyari menjelaskan bahwa pada 1847, meski sistem pendidikan di
Indonesia belum memiliki sebutan tertentu, pengajaran Al-Qur’an pada waktu itu
berlangsung ditempat yang biasa disebut nggon ngaji, yang berarti tempat murid
belajar membaca Al-Qur’an.
Munculnya pesantren di Jawa secara meyakinkan dan lembaga pendidikan dengan
sistem klasikal, menyebabkan pengajaran Al-Qur’an semakin menemukan
momentumnya. Di Jawa Timur, lahirnya pesantren Tebuireng, Pesantran Rejoso
Jombang, dan beberapa pesantren lainnya, selain memberikan pengenalan awal
terhadap Al-Qur’an meliputi membaca Al-Qur’an sesuai kaidah tajwidnya.
Untuk wilayah Jakarta, berdiri Madrasah Jami’at Kheir, Madrasah Al-Irsyad, dll.
Madrasah di Jakarta ini dalam tahap awal memperkenalkan Al-Qur’an melalui
pelajaran membaca Al-Qur’an sesuai kaidah tajwid yang diberikan pada murid tingkat
dasar, sedangkan untuk tingkat lanjut diberikan materi tafsir dan pemahaman atas
kandungan Al-Qur’an.
Di wilayah Sulawesi, berdiri Madrasah Amiriah Bone, dan Madrasah Tarbiyah
Islamiyah, di Nusa Tenggara berdiri Madrasah Wathan, di Kalimantan berdiri
Madrasah An-Najah wal Falah, Madrasah Perguruan Islam Assulthaniah, dan
Madrasah Al-Raudlatul Islamiyah, di Kalimantan berdiri Normal Islam Amuntai,
Madrasah Islam, dan beberapa lembaga pendidikan yang lain. Melalui lembaga-
lembaga pendidikan ini, Al-Qur’an diperkenalkan kepada para generasi muda Islam,
mulai dari tingkat pengenalan, yang meliputi bidang baca tulis, hingga kandungan Al-
Qur’an dengan kajian-kajian atas beberapa kitab tafsir.
2. Literatur Nusantara Seputar Kajian Al-Qur’an
Pada akhir tahun 1920-an mulai muncul beberapa literatur berbahasa Melayu
yang mencoba memberikan kemudahan dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Di era
ini, Mahmud Yunus telah memulai menyusun tafsir Al-Qur’an yang ditulis dalam
tulisan Jawi (bahasa Indonesia atau Melayu yang ditulis dengan tulisan Arab). Ahmad
Hassan, pada tahun 1928, juga telah memulai menafsirkan Al-Qur’an. Waktu itu ia
telah menerbitkan juz satu dari karyanya itu, dan menjelang tahun 1940 ia telah
menyelesaikan terjemahannya sampai surat Maryam.
Kurang dari satu dekade, pada tahun 1930an, Munawar Khalil menulis buku
Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-sunnah, yang mengintrodusir suatu promosi
tentang prinsip-prinsip kaum modernis untuk membangun kembali suatu ajaran bagi
umat islam, sebagai pengganti mazhab Syafi’i yang telah berakar kuat di Indonesia.
Bersamaan dengan itu, buku terjemahan kedalam bahasa Indonesia yang dilakukan
oleh Muslim Indonesia mulai bermunculan. Abdul Karim Amrullah menerbitkan karya
tafsir Juz Amma yang diberi judul Al-Burhan.
Dua dekade kemudian disusul sederet penulis lain, misalnya, Munawar Khalil,
menulis buku Al-Qur’an dari Masa ke Masa, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975)
menulis Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, A. Halim Hasan (1901-1969),
Zainal Arifin Abbas, dan Abdur Rahim Haitami, menulis buku Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim sebanyak 2 jilid, Ahmad Hassan (1887-1962) menulis Al-Furqan:Tafsir
Qur’an.
Pada dekade 1960-an tepatnya ditahun 1965, Tudjimah menerbitkan Al-Qur’an
dan Ajaran-Ajarannya yang berasal dari ceramahnya di Universitas Indonesia, yang
merupakan sebuah analisis terhadap tema-tema Al-Qur’an.
Dekade 1970-an kajian Al-Qur’an di Indonesia semakin beragam dengan berbagai
kecenderungan: (1) melakukan penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an lengkap 30
juz (2) mengurai tema-tema tertentu didalam Al-Qur’an misalnya yang disusun
Muhammad Ali Usman, Makhluk Halus dalam Al-Qur’an, (3) konsentrasi pada tema
ayat tertentu, misalnya: Q.A. Dahlan Shaleh dan M.D. Dahlan, Ayat-ayat Hukum,
Tafsir dan Uraian Perintah-Perintah dalam Al-Qur’an. (4)Manafsirkan surat-surat
tertentu. (5) menegaskan keyakinan umat Islam bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci.
(6) mempermudah dalam mencari posisi dan tema ayat dengan menyusun Indeks Al-
Qur’an. (7) petunjuk praktis membaca Al-Qur’an. (8) disiplin ilmu tafsir dan (9)
menunjukkan Al-Qur’an sebagai landasan studi ilmiah, misalnya karya M. Munir
Faurunnama, Al-Qur’an dan Perkembangan Alam Raya.
Keragaman kajian atas Al-Qur’an di Indonesia itu berlangsung pada dekade 1980-
an, yaitu tentang: (1) petunjuk membaca Al-Qur’an yang benar, misalnya karya Ismail
Tekan Pelajaran Tajwid, (2) terjemah Al-Qur’an, (3) teknik membaca, melagukan,
dan menghafal Al-Qur’an, (4) indeks Al-Qur’an misalnya karya Sukmadjaja Asy’ari
dan Rosy Yusuf Indeks Al-Qur’an. Dll.
Dalam perspektif tafsir muncul juga model penafsiran psikologis dan
fenomenologis, yaitu suatu upaya penafsiran yang berusaha mengungkap makna-
makna dalam Al-Qur’an bukan melalui ontologi teksnya, tetapi merujuk pada struktur
teks serta karakter-karakternya yang terdapat dalam ayat, juz dan surat. Upaya ini
muncul pertama di Indonesia dilakukan oleh Lukman Abdul Qohar Sumabrata
bersamaan Anharuddin dan Luqman Saksono, sebagaimana mereka tulis dalam buku
Fenomenologi Al-Qur’an dan Pengantar Psikologi Al-Qur’an Dimensi Keilmuan di
Balik Mushaf Usmani.
Luqman memulai kajiannya dengan beberapa asumsi. Pertama, Al-Qur’an sebuah
kitab yang berisi susunan sandi dan simbol. Kedua semua surat dalam Al-Qur’an
merupakan gambaran tentang perjalanan hidup dan eksistensi manusia. Ketiga
manusia dan alam semesta adalah dua variasi dalam satu eksistensi.
B. Geliat Penulisan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Pada abad ke-16 di Nusantara telah muncul proses penulisan tafsir, seperti yang
dapat kita lihat dari naskah Tafsir Surah Al-Kahfi [18]:9. Teknis tafsir ini ditulis secara
parsial berdasarkan surat tertentu, yakni surat Al-Kahfi dan tidak diketahui penulisnya.
Dilihat dari corak atau nuansa tafsir, Tafsir Surah Al-Kahfi, ini sangat kental dengan
warna sufistik. Ini tentu mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai
pandangan spiritual yang tinggi, atau bahkan pengikut tarekat yang mapan pada saat itu
di Aceh, yaitu tarekat Qadiriah. Dari sisi referensi, merujuk pada Tafsir Al-Khazin dan
Tafsir Al-Baydlawi. Hal ini juga menunjukkan bahwa penulisnya seorang yang
menguasai bahasa Arab dengan baik dan mempunyai keilmuan yang tinggi.
Satu abad kemudian, muncul karya tafsir Tarjuman Al-Mustafid yang ditulis oleh
‘Abd al-Rauf al-Sinkili (1615-1693 M). Tahun penulisan karya ini tidak bisa diketahui
dengan pasti. Peter Riddel, sebagaimana dirujuk Ichwan, setelah melihat informasi dari
manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan tentatif, karya ini ditulis sekitar tahun
1675 M.
Pada abad ke-19 muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-
Jawi, yaitu Kitab Faraidl Al-Qur’an, tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya. Ditulis
dalam bentuk yang sangat sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya
terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Naskahnya masuk dalam
sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama Aceh.
Pada abad 19 M ini, kita juga mendapati literatur tafsir utuh yang ditulis oleh
ulama asal Indonesia, Imam Muhammad Nawawi Al-Bantani (1813-1879 M), yaitu
Tafsir Munir Li Ma’alim Al-Tanzil. Penulisan Tasir ini selesai pada hari Rabu, 5 Rabiul
Akhir 1305 H. Atas kecemerlangannya dalam menulis tafsir itu, oleh ulama Mesir, Imam
Nawawi diberi gelar “Sayyid Ulama Al-Hijaz” (Pemimpin Ulama Hijaz.
Pada awal abad ke-20 M, kemudian bermunculan beragam literatur tafsir yang
mulai ditulis oleh kalangan Muslim Indonesia. Seperti yang kita kenal Mahmud Yunus,
A. Hassan, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, dan Hamka, sebagai generasi terkemudian yang
masing-masing menulis tafsir genap 30 juz dengan model penyajian runtut (tahlili) sesuai
dengan urutan surat dalam mushaf Utsmani.
1. Keragaman Teknis Penulisan Tafsir Al-Qur’an
Secara kronologis, dari dekade ke dekade , literatur tafsir Al-Qur’an di
Indonesia mengalami dinamika yang menarik, baik dari segi penyampaian, tema-tema
kajian, serta sifat penafsir. Pada dekade 1920-an , muncul Alqoeranoel Hakim Beserta
Toedjoean dan Maksoednja, karya Iljaz dan Abd. Jalil (Padang Panjang; 1925) yang
menggunakan model penafsiran kolektif. Penafsiran yang bersifat kolektif ini, pada
dekade 1930-an kemudian disusul oleh beberapa orang misalnya A. Halim Hassan,
Zainal Arifin Abbas, dll.
Pada akhir abad ke 19 M, sistematika penyajian tafsir tematik juga telah
dikenal, meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana. Ini dapat dilihat dalam
karya tafsir anonim, yang berjudul Fara’id Al-Qur’an, dalam Ismail bin Abd Al-
Muthallib Al-Asi(ed), Jam’ Al-Jawami Al-Mushannafat: Majmu’ beberapa kitab
karangan ulama Aceh. Karya ini menafsirkan surat An-Nisa ayat 11 dan 12 yang
berbicara tentang hukum waris.
Pada awal dekade 1930-an, sistematika penyajian tafsir tematik ini, meskipun
sangat sederhana dan tidak memenuhi standar untuk ukuran sekarang juga muncul,
yaitu Zedeleer uit den Qor’an (Etika Qur’an), karya Syaikh Ahmad Soerkattie
(Griningen, Den Haag, Batavia: J.B. Wolters’, 1932).
Pada sisi lain, berkembang pula model sistemtika penyajian tafsir yang
berkonsentrasi pada surat-surat tertentu. Misalnya, untuk surah Al-Fatihah, lahir Tafsir
Al-Qur’anul Karim, surah Al-Fatihah ( Jakarta: Widjaja, 1955) karya Muhammad Nur
Idris. Untuk khusus surat Yasin misalnya, Tafsir Surah Yasien dengan Keterangan
(Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan. Ada juga yang berkonsentrasi pada juz-juz
tertentu, misalnya Juz Amma, yaitu Al-Burhan, Tafsir Juz’Amma (Padang: Al-Munir,
1922) karya H. Abdulkarim Amrullah.
Perkembangan yang menarik adalah munculnya tafsir runtut sesuai urutan mushaf
yang ditulis utuh 30 juz. Untuk bagian ini Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Bahasa
Indonesia, ditulis oleh Mahmud Yunus adalah termasuk karya pelopor. Setelah tafsir
karya Mahmud Yunus ini, muncul Tafsir Qur’an yang ditulis A. Hassan. Buku tafsir
ini diberi nama Al-Furqan Tafsir Qur’an. Pada waktu ini muncul pula Tafsir Al-
Qur.an Al-Karim karya tiga orang serangkai dari Sumatera Timur, yaitu: Al-Ustadz A.
Halim Hassan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahim Haitami. Dll.
Dalam dekade 1990-an sebagaiamana akan diuraikan nanti, di Indonesia telah
muncul beragam karya tafsir yang ditulis oleh Para Muslim Indonesia. Keragaman itu
bisa dilihat dari model teknis penulisan, hermeneutik tafsir serta tema-tema yang
diangkat. Keragaman itu telah menjadi wacana baru didalam sejarah dan dinamika
penulisan tafsir di Indonesia.
2. Bahasa Melayu-Jawi dalam Penulisan Tafsir Al-Qur’an di Nusantara
Karya-karya tafsir pada periode permulaan sebagian ditulis dalam bahasa Melayu-
Jawi (Arab Pegon). Karya tafsir Al-Qur’an di Nusantara dengan munculnya literatur
tafsir dalam bahasa Melayu-Jawi, misalnya Tarjuman Al-Mustafid karya Abd Al-Rauf
Al-Sinkili. Dipakainya bahasa Melayu-Jawi inisemakin menemukan kekuatannya,
karena bahasa ini merupakan linguafranca yang dipakain di Nusantara dan menjadi
bahasa resmi yang dipakai dalam pemerintahan, hubungan antar-negara, dan
perdagangan. Namun, dalam masyarakat yang bahasa daerahnya non Melayu-Jawi
bahasa dan aksara ini hanya dkuasai oleh orang-orang tertentu saja. Itu sebabnya
literatur tafsir dalam bahasa melayu-jawi ini dalam perkembangannya menjadi kurang
populer. Apalagi setelah di introdusirnya aksara roman atau rumi oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Namun demikian, sebagaimana analisis Ichwan, bahasa Melayu-Jawi sebagai
media pengungkapan tafsir Al-Qur’an masih kita dapati setidaknya sampai pada
dekade 1920-an. Kita bisa menyebut beberapa karya misalnya: Tafsir surah Al-Kahfi
dengan bahasa Melajoe karya Abdoel Wahid Kari Moeda bin Muhammad Siddik,
terbit di Makassar pada tahun 1920 M, Tafsir Al-Burhan, tafsir atas Juz’Amma karya
Haji Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan Haji Rasul (ayah Hamka) terbit di
Padang tahun 1922 M, Dll.
Dalam dekade 1980-an meskipun bahasa Melayu-Jawi semakin tidak populer
dalam karya tafsir , kita masih dapat meemukan karya tafsir dalam bahasa-bahasa non
melayu yang menggunakan aksara jawi (arab pegon) sebagai media penulisan.
Misalnya Al-Ibriz karya Bisri Musthofa yang menggunakan bahasa Jawa dengan
aksara Arab pegon. Selanjutnya memang harus diakui bahwa aksara roman(latin)
semakin dominan. Kita bisa menemukan karya tafsir ditulis dalam bahasa Jawa,
namun tetap menggunakan aksara roman, misalnya Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi
terbit pertama kalipada tahun 1981.dll.
Di Indonesia bagi Muslim yang tidak menguasai bahasa Arab dengan baik,
merekapun kini lebih suka membaca literatur tafsir berbahasa Indonesia ketimbang
yang berbahasa daerah. Dalam perkembangannya sekarang literatur tafsir Al-Qur’an di
Indonesia lebih banyak ditulis dengan bahasa Indonesia dan aksara latin, misalnya
yang dilakukan oleh A. Hassan, Mahmud Yunus, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hamka
dan untuk generasi 1990-an muncul M. Quraish Shihab, serta yang lain.
Literatur-literatur tafsir Al-Qur’an yang muncul dari tangan para Muslim
Nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan diatas,
mencerminkan adanya “hierarki” baik hierarki tafsir itu sendiri ditengah karya-karya
tafsir lain, maupun hierarki pembaca yang menjadi sasarannya.
C. Periodesasi Literasi Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Lepas dari kerancuan pemetaan yang dilakukan Federspiel, dengan konsisten pada
periodesasi tahun, pemetaan karya-karya tafsir Al-Qur’an di Indonesia tetap penting
dilakukan untuk melihat dinamikanya, baik dari segi teknis penulisan maupun metode
tafsir, serta sifat penafsir dalam setiap dekade. Berdasarkan pertimbangan tersebut
berikut ini dipaparkan kategori tafsir Al-Qur’an di Indonesia dengan mengacu pada
periodesasi tahun dengan menampilkan bentuk-bentuk teknis penulisannya.
1. Periode Pertama: Permulaan Abad ke-20 hingga 1960-an
Dalam peride pertama ini, tradisi tafsir di Indonesia bergerak dalam model dan
teknis penulisan yang masih sederhana. Dari segi material teks Al-Qur’an yang
menjadi objek tafsir, literatur tafsir pada periode pertama ini cukup beragam.
Pertama, ada literatur tafsir yang berkonsentrasi pada surat-surat tertentusebagai
objek penafsirannya, misalnya Tafsir Al-Qur’anul Karim, Yaasin (Medan: Islamiyah)
karya Adnan Yahya Lubis.
Kedua, tafsir yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu. Pada bagian ini yang
muncul hanya juz ke-30 (Juz’Amma) yang menjadi objek tafsirnya. Contoh: Al-
Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (Padang: Al-Munir, 1922) karya H. Abdul Karim
Amrullah,
Ketiga, ada yang menafsirkan Al-Qur’an utuh 30 juz, yaitu Tafsir Qur’an Qarim
(Jakarta : Pustaka Mahmudiya, 1957, cetakan VII) karya H. Mahmud Yunus yang
untuk kali pertama diselesaikan penulisannya pada tahun 1938.
Dari segi sifat mufassir, pada periode pertama ini muncul penulisan tafsir yang
dilakukan secara kolektif , yaitu ditulis oleh lebih dari satu orang mufassir. Hal ini bisa
dilihat misalnya pada Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Medan: Firma Islamiyah, 1956,
edisi ke-9) karya H.A. Halim Hassan, H.Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman
Haitami, dan Tafsir Al-Qur’an ( Jakarta: Wijaya, 1959) yang disusun oleh H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.
2. Periode Kedua: Tahun 1970-an hingga 1980-an
Beberapa model teknis penyajian dan objek tafsir dalam periode pertama juga
masih muncul dalam periode kedua. Literatur tafsir yang mengarahkan objek tafsirnya
pada surat tertentu masih dapat kita temukan, misalnya karya tafsir yang
mengkhususkan surah Al-Fatihah, yaitu: Samudra Al-Fatihah (Surabaya: Al-Ikhlas,
1981) karya Bey Arifin. Lieratur tafsir yang berkonsentrasi pada keseluruhan Al-
Qur’an30 juz juga kita temukan dalam peride kedua, yaitu Terjemah dan Tafsir Al-
Qur’an: Huruf Arab dan Latin(Bandung: F.A. Sumatera, 1978) karya Bachtiar Surin.
Dalam hal penyusunan tafsir, yang dilakukan secara kolektif, muncul juga pada
periode kedua, yaitu: Butir-Butir Mutiara Al-Fatihah (Surabaya: Bintang Pelajar,
1986) karya Labib MZ dan Maftuh Hanan.
Perkembangan baru terjadi dalam periode kedua ini, dimana muncul karya tafsir
yang berkonsentrasi pada ayat-ayat hukum. Model seperti ini dapat dilihatpada buku
Ayat-ayat Hukum, Tafsir, dan Uraian Perintah-perintah dalam Al-Qur’an
(Bandung:CV. Diponegoro, 1976) yang ditulis oleh Q.A. Dahlan Shaleh dan M.D.
Dahlan, dan Tafsir Ayat Ahkam, tentang Beberapa Perbuatan Pidana dalam Hukum
Islam (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984) karya Nasikun.
3. Periode Ketiga: Dasawarsa 1990-an
Pada periode ketiga, yaitu rentang waktu sepuluh tahun, dari tahun 1990 hingga
2000, proses kreatif dalam penulisan tafsir terus terjadi. Dalam periode ini muncul
beragam karya tafsir dari para intelektual Muslim Indonesia. Setidaknya ada 24 karya
tafsir yang terlacak dalam dekade 1990-an ini yaitu:
a) Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir
Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) karya Harifuddin Cawidu,
b) Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an, Suatu Kajian Tafsir Tematik
(Jakarta: Bulan Bintang, Mei 1992) karya Jalaluddin Rahman.
c) Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta, LESFI, 1992)
karya Musa Asy’arie.
d) Tafsir Bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-Qur’an (Bandun:Rosdakarya, 1993) karya
Jalaluddin Rakhmat.
e) Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf Universitas Islam
Indonesia (1995) Tim Badan Wakaf UII.
f) Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci
(Jakarta:Paramadina, 1996) karya M. Dawam Rahardjo.
g) Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) karya Machasin.
h) Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Mudhu’i Pelbagai Pesoalan Umat (Bandung: Mizan,
1996) Karya M. Quraish Shihab.
i) Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997) karya M. Quraish
Shihab.
j) Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir atas surat-surat Pendek berdasarkan Urutan
Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) karya M. Quraish Shihab.
k) Memahami Surat Yaa Siin (Jakarta: Golden Terayon Press, 1998) karya Radiks
Purba.
l) Ayat Suci dalam Renungan 1-30 juz (Bandung: Pustaka, 1998) karya Moh. E.
Hasim.
m) Ahl Al-Kitab, Makna dan Cakupanyya (Jakarta: Paramadina, 1998) karya
Muhammad Ghalib M.
n) Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999)
karya Nasaruddin Umar.
o) Tafsir bi Al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) karya Nashruddin Baidan.
p) Tafsir Kebencian, Studi Bias Jender dalam Tafsir (Yogyakarta, LKIS, 1999) karya
Zaitunah Subhan.
q) Tafsir Sufi Surat Al-Fatihah (Bandung:Rosdakarya, 1999) karya Jalaluddin
Rahmat.
r) Tafsir Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa (Jakarta: Logos, 2000) karya
Didin Hafidhuddin.
s) Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama
(Yogyakarta: Pustaka SM, 2000) Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam PP Muhammadiyah.
t) Memasuki Makna Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) karya Abdurrasyid
Ridha.
u) Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Sosial Politik Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia,
2000) karya Syu’bah Asa.
v) Jiwa dalam Al-Qur’an, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (Jakarta,
Paramadina, 2000) karya Achmad Mubarok.
w) Tafsir Juz ‘Amma disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000)
Rafi’udin dan Edham Syifa’i.
x) Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000) karya M. Quraish Shihab.

Anda mungkin juga menyukai