Anda di halaman 1dari 13

ILMU AL-QUR’AN DI NEGARA MAROKO DAN DI INDONESIA

M. TAUFIK
230201310007
A. LATAR BELAKANG
Salah satu ketertarikan masyarakat Maroko terhadap Al-Qur'an adalah ketertarikan
mereka terhadap ilmu-ilmu Al-Qur'an yang merupakan alat yang berguna dan diperlukan
untuk memahami Kitab Tuhan Yang Maha Esa secara benar. Selain itu dengan banyaknya
jumlah penduduk muslim di Indonesia, Studi mengenai al-Qur’an di Indonesia menjadi salah
kajian yang menarik hingga saat ini. Hal yang perlu diperhatikan, studi al-Qur’an di Maroko
dan khususnya Indonesia mempunyai kekhasan dan karakteristik lokal Indonesia baik secara
lisan maupun yang tertulis.
Adapun penulisan ini lebih menekankan pemetaan terhadap perkembangan studi al-
Qur’an dan tafsir secara umum yang ada di wilayah Maroko dan Indonesia. Hal ini bertujuan
untuk meneropong sejauh mana peta perkembangan kajian al-Qur’an di kawasan Maroko dan
Indonesia. Untuk memahami perkembangan penulisan ilmu Al Qur’an di wilayah Maroko
didasarkan pada kitab Addirosat Al-Qur’aniyah bil Maghrib” mengenai sejarah penulisan
ilmu Al Qur’an di wilayah Maroko, perkembangan penulisan kajian ilmu Al Qur’an dari
masa ke-masa, alasan Ulama di wilayah Maroko menulis Ilmu-Ilmu Al-Qur’an pada masa
kontemporer dan klasifikasi penulisan ilmu Al Qur’an.
Sedangkan fokus kajian penulis pada aktifitas keilmuan Al Qur’an yang berada di
Indonesia adalah dalam hal ilmu tafsir yang merupakan salah satu ilmu Al Qur’an yang
berkembang di Indonesia dengan kekhasan dan karakteristik lokal Indonesia baik secara lisan
maupun yang tertulis. Dikatakan sebagai tafsir Indonesia jika ditulis oleh orang Indonesia dan
atau dengan menggunakan bahasa daerah (Melayu, Jawa, Sunda, dan lain-lain) maupun
nasional (bahasa Indonesia). Salah satu karya tafsir yang mewakili tafsir Indonesia seperti:
Tarjuman al Mustafid karya Abdurrahman al-Sinkili (1615- 1693), Marah Labid oleh Imam
Nawawi al-Bantani (1813-1879), Tafsir al-Qur’an karya Mahmud Yunus (ditulis tahun 1922-
1938), Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab (ditulis tahun 2000), dan masih banyak karya
tafsir lainnya.1
Oleh sebab itu muncul pertanyaan apa yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini,
Bagaimana metode dalam pengkajian dilakukan, Mengapa perlu melakukan kajian tersebut,
Apa hasil dari kajiannya, serta bagaimana analisisnya. Dari pertanyaan itulah nantinya akan
memunculkan jawaban dan menjawab semua pertanyaan tersebut.

1
Cholid Maarif, Kajian Alquran Di Indonesia: Telaah Historis, Jurnal QOF, Volume 1 Nomor 2 Juli 2017,
B. KAJIAN LITERATUR
1. Pengertian Ilmu Al-Qur’an
‘Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dua kata
(idhafi), yaitu “ ’ulum ” dan “ Al-Qur’an ”. Kata ‘ulum secara etimologis adalah bentuk
jamak dari kata ‘ilmu, berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-ilman’. ‘Ilmu merupakan bentuk
masdhar yang artinya pengetahuan dan pemahaman. maksudnya pengetahuan ini sesuai
dengan makna dasarnya, yaitu “Al-fahmu wa al-idrak” (pemahaman dan pengetahuan).
Kemudian pengertiannya dikembangkan pada berbagai masalah yang beragam dengan
standar ilmiah. Kata ‘ilm juga berarti “idrak al-syai’i bi haqiqatih” (mengetahui dengan
sebenarnya).2
Al-Qur’an secara bahasa berasal dari bahasa Arab ‫ ُقرٓان‬-‫َ يقرُٔا‬-‫ َقرَٔا‬yang merupakan
isim masdhar yaitu artinya bacaan. Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa
walaupun kata Al-Qur’an adalah masdhar (bacaan), namun Al-Qur’an bermakna maf’ul
(yang dibaca). Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai mukjizat yang di dalamnya terkandung bacaan dan isi yang
menarik untuk dijadikan studi sehingga melahirkan beragai macam pengetahuan
diantaranya adalah ‘Ulumul Qur’an.
Menurut para ulama Ushul, ulama Fiqh, dan ulama Bahasa, Al- Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang lafadzh-lafadzhnya
mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara
mutawatir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas.
Gabungan kata ‘Ulum dengan kata Al-Qur’an memperlihatkan adanya penjelasan
tentang jenis-jenis ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Al-Qur’an; ilmu yang
bersangkutan dengan pembelaan tentang keberadaan Al-Qur’an dan permasalahannya;
berkenaan dengan proses hukum yang terkandung di dalamnya berkenaan dengan
penjelasan bentuk mufradat dan lafal Al-Qur’an. Al- Qur’an sebagai way of life tentunya
memahami dinamika kehidupan, kemasyarakatan, hukum-hukum pidana dan sebagainya.
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an di Negara Maroko dan di Indonesia
Al-Qur’an masuk ke Maroko terkait dengan ekspansi kekuasaan Islam besar-
besaran ke Andalus dan Maroko, sebelum akhir abad 1 H. Hal ini juga terkait dengan
ajaran Islam yang mulai menyebar.
Sejarah mencatat bahwa Al-Qur’an masuk ke Maroko, melalui dua cara, melalui
cara: (1) Dihafalkan (mahfûzhan fi al-shudûr) dan; (2) Melalui mushaf-mushaf

2
Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu, (PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2013),
hlm. 1-2.
(mudawwinan fi al- mashâhif).
a. Al-Qur’an masuk Maroko melalui hafalan
Para pahlawan penyebar Islam, adalah para pejuang di siang hari dan ahli
ulama di malam hari. Selain rajin melakukan ekspansi, mereka juga rajin
menyebarkan Islam dan al-Qur’an. Dengan begitu, Al-Qur’an menyebar dengan
cepat, seiring perluasan wilayah kekhilafahan Islam. Al-Qur’an pun diterima oleh
orang-orang Maroko, mula-mula dalam bentuk hafalan, minimal hafalan ayat atau
surah yang biasa dibaca dalam shalat.
Disamping itu, Islam juga merupakan agama yang mewajibkan setiap
pemeluknya untuk membaca al-Qur’an. Karena itulah, di awal masuk dan
menyebarnya Islam di Maroko, bacaan al-Qur’an terdengar di mana-mana, di
seantero negeri ini. Meski pada mulanya, masyarakat tidak banyak paham makna al-
Qur’an.
Baru beberapa masa kemudian, ketika penduduk Maroko merasa perlu
memahami makna kandungan Al-Qur’an dan bukan sekedar membacanya saja,
maka kemudian muncullah upaya-upaya untuk mempelajari bahasa Arab. Bukan
sekedar itu, upaya ini pada akhirnya menjadi gerakan ta’rîb (arabisasi) di Maroko.
Ini semua dilakukan untuk tujuan mulia, memahami bahasa Al-Qur’an.3
b. Mushaf Al-Qur’an masuk Maroko
Dalam sejarah Al-Qur’an dinyatakan, bahwa penulisan mushaf Al-Qur’an
mengalami beberapa tahap, tahap penulisan, pengumpulan (pembukuan) dan
penyatuan. Tahap penulisan Al-Qur’an dimulai dan sempurna pada masa Rasulullah
SAW masih hidup, meskipun belum dibukukan. 4 Dalam hal ini penulisan dilakukan
oleh sahabat atas petunjuk Rasul Muhammad SAW sendiri. Di antaranya dengan
sabda Nabi sebagai berikut: (letakkanlah surah ini disamping surah itu, dan
letakkanlah ayat ini di hadapan ayat itu).5
Tahap pengumpulan (pembukuan), dimulai pada masa Abu Bakar ra, di mana
Al- Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf untuk pertama kalinya. Ini berdasarkan
hafalan para sahabat dan juga berdasarkan apa yang sudah ditulis pada masa Rasul.
Mushaf masa Abu Bakar inilah kemudian yang digunakan Umar ibn al-Khathab ra,
yang disimpan oleh Hafsah binti Umar.
Tahap penyatuan, terjadi pada masa Utsman bin Affan, dengan melakukan
penyeragaman penulisan mushaf yang sebelumnya beragam, menjadi satu macam
3
Aisyah Abd al-Rahman, Lughatuna wa al-Hayah, (Kairo: al-Ma’arif, 1971), h. 61
4
Aisyah Abd al-Rahman, Hadza balaghu li al-nas, h. 16
5
Abd al-Fatih al-Qadhi, Tarikh al-Mushaf al-Syarif, (TK: al-Masyhad al-Husaini, TT), h. 41
penulisan dengan rasm utsmâni dan disebut sebagai mushaf Imam. Kemudian
Utsman bin Affan sebagai khalifah saat itu memerintahkan pengiriman mushaf-
mushaf hasil salinan dari mushaf Imam itu ke berbagai wilayah dengan menyertakan
sahabat yang ahli qira’at Al-Qur’an. Diutuslah Zaid bin Tsabit untuk wilayah
Madinah, Abdullah bin Saib di Makkah, Abu Abdullah al-Silmi untuk wilayah
Kufah dan Amin bin Qais ke wilayah Bashrah. 6 Dan dari para sahabat tersebut para
tabi’în dari masing-masing wilayah mempelajari qira’at (model bacaan).
Pada masa tabi’în, di penghujung abad pertama, beberapa orang
mengkosentrasikan diri dan memperhatikan dengan serius ketelitian (dan peletakan
kaidah) dalam qira’at (bacaan) Al-Qur’an, karena kondisi saat itu mengharuskan
demikian. Dan mereka menjadikannya (qira’at) sebagai satu bidang ilmu,
sebagaimana yang mereka lakukan pada ilmu-ilmu syari’at yang lainnya. Maka
jadilah mereka imam- imam yang menjadi panutan dalam qira’at.
Selain masalah pembukuan Al-Qur’an dan penyebarannya, dan qira’atnya,
sejarah juga mencatat bahwa mushaf menyebar seiring gerakan ekspansi tentara-
tentara muslim ke penjuru dunia. Para tentara Islam ini membawa-bawa mushaf,
dengan tujuan agar bisa dibaca di sela-sela peperangan, saat perang berhenti atau
pasukan istirahat. Tentara Syam, membawa-bawa mushaf sewaktu berperang di
perang Shiffîn. Yang demikian itu, menjadi kebiasaan umum, karena memang
tentara-tentara Islam berperang di bawah bendera Al-Qur’an (Islam). Diceritakan
bahwa di akhir abad 1 H, 92-93 H, setelah berhasil menaklukan Andalus (Spanyol),
tentara-tentara Islam yang menumpang perahu besar diterjang badai dahsyat, perahu
besar terombang-ambing di lautan, binatang- binatang ternak dan perabotan-
perabotan berantakan porak-poranda, sampai kemudian para tentara itu berdo’a
kepada Allah dengan membaca mushaf Al-Qur’an yang mereka bawa dalam perahu
itu. Dengan seizin Allah badaipun reda.7
Sejarah banyak menyebut kisah sahabat yang berperang dan membawa
mushaf Al- Qur’an. Seperti cerita tentang Hanasy bin Abdullah al-Siba’i al-
Shan’ani, yang syahid bersama Musa bin Nushair dalam peperangan penaklukan
Andalus (Spanyol). Hanasy, jika ia shalat malam dan beribadah sampai subuh,
disampingnya tersedia bejana berisi air, bila ia haus, ia minum, dan bila ia lelah ia
melihat mushaf (membacanya). Disebutkan, bahwa Ismail bin Ubaid al-Anshori,
tentara yang ikut berperang dalam peperangan Sisilia, syahid, dengan tenggelam di

6
Abd al-Fatih al-Qâdhi, Târîkh al-Mushaf, h. 50
7
Khursyid, al-Qur’an wa ‘Ulumuhu, cet I,
lautan, dan dia menggenggam mushaf Al-Qur’an.8
Qadhi Iyadh dalam kaeryanya Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik
menyebutkan bahwa Abdullah bin Thalib bin Sufyan bin ‘Aqal bin Hafafah al-
Yamani yang lebih sebagai dikenal sebagai Ibnu Thalib al-Qadhi, adalah penguasa
yang paling baik dan dermawan pada masanya, banyak memberi hutang harta dan
banyak bersedekah, mengirim puluhan dinar, baik kepada orang yang dikenalnya
maupun kepada orang yang tidak dikenalnya, ketika ia sendiri kekurangan harta, ia
tetap bersedekah dengan tali kekang kudanya, sedekah dengan mushaf, dengan arang
bakar keluarganya dan bahkan kadang dengan baju yang dipakainya.9
Bukan hanya dikalangan tentara atau para pemimpin, mushaf di awal-awal
penyebaran Islam, menyebar juga ke berbagai lapisan masyarakat, sampai lapisan
yang paling bawah. Disebutkan bahwa Abi Muhammad Yunus bin Muhammad al-
Wardani, penggembala kambing yang selalu membawa mushaf al-Qur’an. Setiap
pagi, ia mengambil mushaf dan tongkat dari kantung, dan keluar untuk menghalau
gembalanya, memberi minum sapi dan menjauhkannya dari keramaian kabilah,
kemudian dia menyempatkan membaca Al-Qur’an. Jika malam al-Wardani juga
membaca Al-Qur’an.10
Dari catatan sejarah di atas, cukuplah untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an
masuk ke Maroko berbarengan dengan brigade pertama para pahlawan yang
membawa Islam ke negeri ini. Kemudian seiring dengan masuknya penduduk
Maroko ke agama Islam, mushaf Al-Qur’an pun menjadi rujukan dan pembimbing
hidup. Mushaf ada di setiap rumah penduduk Maroko, baik di desa maupun di kota.
Orang Islam, baik kalangan elit maupun rakyat biasa, kala itu, bangga memiliki
mushaf. Di masjid, biasanya mushaf- mushaf dikumpulkan, untuk mempermudah
bagi orang yang hendak memabacanya, ini berlangsung sampai sekarang.11
Di Maroko, selain mushaf utsmâni dikenal juga mushaf yang dinisbatkan pada
Uqbah bin Nafi al-Fihri, seorang pahlawan yang membawa Islam ke Maroko.
Mushaf ini dikenal dengan nama al-mushaf al-kabîr al-‘uqbâni. Ini diwariskan
kerajaan, setelah mushaf utsmâni. Uqbah sendiri menuliskan mushafnya ini dengan
menyalin dari mushaf utsmâni. Kemudian mushaf ini jatuh ke tangan dua zaid,
sampai pada kekuasaan Sultan Maula Abdullah bin Sultan Maula Ismail al-Alawi,
mushaf ini dibawa dari Maroko (Maghrib) ke Masyriq.12
8
Ibnu al-Diba’, Ma’alim al-Iman, ditahqiq oleh Ibarhim Syabuh, (TK: TP, 1971), jilid I, h. 188
9
Qadhi Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, (Rabat: Wuzarat al-Auqaf, TT), jilid 4,
10
Qadhi Iyâdh, Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik, h. 419
11
Al-Manûni, al-Mushaf al-Syarif: Da’wah al-Haqq, (TK: TP, 1968), h. 71
12
Al-Muqri, Nafh al-Thayib min Ghisni al-Andalusi al-Rathib, (Beirut: Dar Shadir, 1968), Jilid 1,
Setiap dinasti yang berkuasa di Maroko, selalu memiliki kebijakan penyalinan
dan penyebaran mushaf ke rakyat banyak. Ini dengan tujuan, agar kekuasaannya di
kenang dan juga bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Hingga sering
disebutkan mushaf dengan khath ini atau mushaf yang ditulis masa kekuasaan A atau
B. Contoh termudah misalnya saja, Mushaf Malik Hasan Tsani, yang dicetak dengan
tinta emas di launching di Festival Nasional Maroko, dibagikan ke negeri-negeri
Islam lain, kampus- kampus dan pusat-pusat kajian, ke para ulama dan para pemikir
Islam.
Sedangkan perkembangan penafsiran al-Qur’an di Indonesia jelas berbeda
dengan yang terjadi di dunia Arab, terutama di tempat awal turunnya. Perbedaan
tersebut disebabkan adanya perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Bangsa
Arab tidak akan terlalu menemui kesulitan memahami al-Qur’an karena ditulis
dengan bahasa mereka sendiri. Sedangkan bangsa Indonesia harus melalui
penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian baru karenanya, tafsir al-
Qur’an di Indonesia melalui proses lebih lama jika dibandingkan dengan yang
terjadi di tempat asalnya.13
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa fase penerjemahan dan penyusunan
tafsir al- Qur’an yang –khususnya- ditujukan untuk pembaca di Indonesia. Terdapat
empat periode menurut pembagian Nashruddin Baidan: Periode Klasik (Abad ke 7-8
H /15 M); Periode Tengah (Abad ke16-18 M); Periode Pra- Modern (Abad ke 19);
Periode Modern (Abad ke 20 (1900-1950, 1951-1980, 1981-2000, 2001-sekarang).
1) Periode Klasik (Abad ke 7-8 H / 15 M)
Sebagaimana disinggung di awal, abad ke 7-8 hingga ke 15 merupakan
masa-masa masuknya pengaruh Islam ke Indonesia. Masa ini –lebih tepatnya-
disebut sebagai masa Islamisasi bangsa Indonesia yang bermula dari penganut
(kepercayaan) animisme menjadi pengannut Islam.
2) Periode Tengah (Abad ke16-18 M)
Perkembangan penafsiran pada masa ini ditandai dengan perkenalannya
dengan karya- karya tafsir dari Timur Tengah, seperti Tafsir al-Jalalain. Tafsir
tersebut biasanya dibacakan kepada murid-murid mereka, lalu diterjemahkan ke
dalam bahasa murid (Melayu, Jawa, dll). Para guru tafsir tidak melakukan
inisiatif dalam upaya pengembangan pemahaman suatu ayat, kecuali sebatas
yang mereka pahami dari penafsiran yang sudah dibeberikan di dalam kitab-

13
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an, hlm. 31
kitab tafsir yang dibacakan.14
3) Periode Pra- Modern (Abad ke 19)
Pada masa ini juga ditemukan penulisan tafsir secara utuh, yakni Tafsīr
Munīr li Ma’ālim al-Tanzīl karya Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-
1879 M). Tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Meski ditulis oleh
orang Indonesia, tafsir ini di tulis di luar Indonesia, yakni Makkah. Tafsir ini
selesai ditulis pada hari Rabu, 5 Rabi’ul Akhir 1305 H dan mendapat respon
yang baik dari ulama Makkah dan Madinah saat itu. Ia kemudian diberi gelar
‚Sayyid Ulama al-Hijaz‛ (pemimpin ulama Hijaz).
4) Periode Modern (Abad ke 20 (1900-1950, 1951-1980, 1981-2000, 2001-
sekarang).
Awal abad ke-20 menjadi fase penting bergeliatnya perkembangan tafsir
Al-Qur’an. Tafsir pada masa awal abad ini disusun dengan sistematika yang
sederhana, dengan mengungkapkan arti ayat yang kemudian diberi keterangan
singkat.
3. Tokoh Ilmu Al-Qur’an
Dijelaskan bahwa ada beberapa tokoh Ilmu Al-Qur’an yang cukup terkenal di
Negara Maroko maupun di Indonesia. Salah satu tokoh yang terkenal di Negara Maroko
adalah :
1. Ibnu ‘Abbâs (w. 68 H). Dicetak pertama kali oleh Dâr al-Kutub di Mesir pada tahun
1387 M dengan judul Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn Abbâs.
2. Hasan Bisri (w. 110 H). Tafsir ini, masuk ke Andalus (dan kemudian ke Maroko)
pada awal abad ke-3 H.
3. Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam (w. 182 H). Tafsir ini dibawa ke Andalus
(kemudian diketahui oleh orang Maroko) oleh Yahya bin Abdullah bin Yahya al-
Laitsi, seorang penduduk Cordova.
4. Abd al-Razzaq al-Shan’ani (w. 211 H). Ibnu al-Fardhi, menceritakan tentang Tamam
bin Abdillah bin Tamam al-Ma’arifi (350-377 H), seorang Maroko yang pergi haji,
lalu di Makkah mendengar (berguru) dari dari Ibnu al-Arabi dan dari Ibnu Abi
Muhammad Abdirrahman bin Yahya al-Zuhri, dan juga mendengar dari Abi Farras
dan dari Ibnu Raja al-Muqri.
5. Abdullah bin Nafi; (w. 180 H). Ibnu al-Fardhi,
6. Abi Abd al-Qasim bin Salam (224 H). Abi Abd al-Qasim bin Salam menulis
beberapa karya, seperti Gharîb al-Qur’ân, al-Qirâ’at, al-Nâsikh wa al-Mansûkh,

14
Cholid Ma’arif, Kajian AlQuran di Indonesia, Jurnal QOF, Volume 1 Nomor 2 Juli 2017)
Ma’âni al-Qur’ân, Majâz fi al-Qur’ân, dan ‘Adad Ayy al-Qur’ân.
15
7. Ibnu Jariral-Thabari (w.310H). Tafsiral-Thabari memiliki peran yang besar di
Maroko, bahkan dikatakan perannya paling besar di Maroko dibanding dengan tafsir
yang ditulis sesudahnya dan sebelumnya.
Walaupun sebenarnya masih banyak lagi tokoh Ilmu Qur’an di Maroko. Namun
tokoh-tokoh diatas memang yang paling terkenal dan yang membawa pertama kali Ilmu
Al-Qur’an ke Negara Maroko. Kemudian jika di Indonesia tokoh-tokoh Ilmu Al-Qur’an
adalah sebagai berikut :

1. Turjumanul Mustafid(ditulis 1675 M) oleh Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693)


2. Tasdiqul Ma’arif yang di tulis di Aceh namun tidak diketahui pengarangnya
3. Tafsīr Munīr li Ma’ālim al-Tanzīl karya Imam Muhammad Nawawi al-Bantani
(1813-1879 M)
4. Mahmud Yunus Mulai ditulis 1922-1938 Tahap I: juz 1-3; Tahap II juz 4 bersama
Ilyas Muhammad Ali; Tahap III juz 5-18 bersama Kasim Bakri; Tahap IV tahun
1938. Ditulis dengan huruf arab melayu.
5. A.Hassan Sjarikat Kwekschool
6. Iskandar Idris Ditulis 1934. Dikenal sebagai tafsir berbahasa Sunda, tetapi hanya
judulnya saja
7. Munawwar Khalil
8. H.A Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami
9. Mahmud Aziz
10. Oemar Bakry, Ditulis 1983
11. Misbah Mustafa Ditulis 1987 Koreksi tafsir al-Iklil , hanya sampai 4 juz sebelum
akhirnya meninggal
12. Harifuddin Cawidu, Ditulis 1991. Berasal dari disertasi di UIN Syarif Hidayatullah.
13. Quraish Shihab, Ditulis 1992
14. Jalaluddin Rakhmat, Ditulis tahun 1993
15. Dawam Rahardjo, Ditulis 1996
16. Radiks Purba, Ditulis 1998
17. Nasaruddin Umar, Tahun 1999
18. Quraisy Shihab, Ditulis 2000

15
Al-Suyûthi, Thabaqât al-Mufassirîn, jilid I, h. 18.
Itulah tadi beberapa tokoh-toh Ilmu Al-Qur’an yang berada di Indonesia, berbeda
dengan Negara Maroko, jika mereka sudah banyak sekali tokoh Ilmu Al-Qur’an di Abad
15, maka di Indonesia pada Abad tersebut masih baru mengenal Ilmu Al-Qur’an.

C. ILMU AL-QUR’AN DI NEGARA MAROKO


Dalam kajian ini membahas tentang Ilmu Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangan Al-
Qur’an di Negara Maroko yang kemudian dibandingkan dengan Sejarah dan Perkembangan
Al-Qur’an di Indonesia. Ilmu-ilmu tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian : Pertama, Ilmu-
ilmu yang membahas tentang sejarah Al-Qur’an dari segi turunnya wahyu, sebab-sebab
diturunkannya, keadaan mekkah Madinah, nasikh mansukhnya, penulisannya, penjagaannya,
dan bacaanya, dan susunan penulisannya dari surah dan ayat. Kedua, Ilmu-ilmu lain yang
membantu dalam memahami Al-Qur’an antara lain ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu majaz,
ilmu perumpamaan, ilmu perubahan, persamaan yang umum dan mukjizat Al-Quran yang
tepat, serupa dan lain-lain.
Sebagaimana diketahui, ilmu-ilmu Al-Qur'an dan ilmu-ilmu terkait yang membantu
dalam memahami teks Al-Qur'an, seperti ilmu tentang kaidah-kaidah fiqih, sangat diperlukan
bagi seorang penafsir, dan ia harus menguasainya dan dengan Sunnah Nabi sebelum
menyikapi penafsiran Al-Qur'an.16
Adapun bagi para ulama dan peneliti Maroko, usaha mereka dalam ilmu-ilmu Al-
Qur'an tidaklah sedikit, dan sedikit sekali keberuntungan mereka dalam merawatnya. Mereka
menyadari betapa pentingnya ilmu-ilmu Al-Qur'an dalam memahami Kitab Al-Qur'an tahun
kuno dan modern, dan mereka mengabdikan upaya mereka untuk merawat ilmu-ilmu ini dan
menulis tentangnya dan kepedulian ini berlanjut hingga hari ini dalam mempelajarinya.
Al-Muqri meriwayatkan dalam Azhar al-Riyadh bahwa alasan menulis ada tujuh yaitu
sesuatu yang tidak disebutkan sebelumnya, lalu disusun, atau sesuatu yang disusun tidak
lengkap dan selesai, atau kesalahan dan diperbaiki, atau suatu masalah lalu dijelaskan, atau
panjang lebar lalu dipersingkat, atau diterbitkan lalu disusun, atau terpisah dan digabungkan,
dan bisa dilihat bahwa hal ini mungkin berlaku bagi para sarjana Maroko dalam produksi
ilmiah mereka, karena kebiasaan mereka untuk tidak mengklasifikasikan dalam suatu
klasifikasi yang tidak didorong oleh kebutuhan mereka untuk mengklasifikasikan, sehingga
mereka pada umumnya miskin, tetapi mereka baik dari segi kemanfaatan ilmiahnya, oleh
karena itu kita mendapati mereka tertarik untuk memasukkan ke dalam komposisinya apa
yang membedakannya dengan tambahan lainnya.
Penelitian ilmiah, revisi, koreksi, penyajian dan pembahasan pendapat, dan ini hampir

16
Ibrahim Al-Wafi, Addirosat Al Qur`Aniyah bil Maghrib, Volume 1, 1999,
menjadi sifatnya sejak mulai jenuh dengan budaya Arab-Islam. Oleh karena itu, ulama
Maroko pada umumnya tidak melampaui lingkupnya. Jika dia menulis, maka dia memenuhi
syarat untuk itu, dan jika dia menahan diri, berarti dia tidak akan ambil pusing, karena dia
sendiri adalah orang yang paling berpengetahuan dan mengetahui mereka dalam batas
kemampuannya. Oleh karena itu, sebagian besar generasi sekarang di antara mereka tidak
membatasi sifat-sifat tersebut, seperti yang akan kita lihat dengan menyajikan kombinasinya
dalam ilmu-ilmu alam dan Alquran.
Banyak ditemukan bahwa para mufasir besar biasa memberikan pengenalan pengantar
Ilmu Al-Qur`an, pendapat mereka dan penelitian mereka dalam pembahasan-pembahasan ini
mungkin akan panjang lebar, oleh sebab itu mereka memilih penulis khusus yang disertai
berupa pendahuluan. Semua itu dimaksudkan untuk mempersiapkan diri secara keilmuan
memasuki ranah penafsiran Kitab Allah yang dikhawatirkan oleh para ulama alim, sekaligus
sebagai pembuktian kredibilitas penafsirannya dan landasan pemahamannya atas landasan
keilmuan yang kokoh yang menjadi landasan umat Islam dan sudah menjadi terbiasa.
Namun bukan berarti ilmu-ilmu Al-Qur'an hanya dianut oleh pengenalan tafsir saja,
hal ini sudah menjadi tradisi para imam tafsir sejak zaman Muhammad bin Jarir al-Tabari (w.
310 H) dan Ibnu Atiyya (w.546 H), Al-Qurtubi (w. 671 H), Ibnu Jazi (w. 751 H), dan Al-
Suyuti (w. 911 H) hingga Jamal Al-Din Al-Qasimi, dan Syekh Muhammad Al-Tahir Ibnu
Ashour pada masa kontemporer.17
Mereka tidak melakukan penyelidikan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur'an dan klarifikasi
seperti ini. Kontrol penafsiran dan prinsip-prinsipnya, serta pemikirannya, kecuali karena
keadaan yang dipaksakan oleh zaman dimana penafsir hidup, dan dimana bangsa ini sedang
dilanda gejolak kekerasan yang dapat menimbulkan ketimpangan pemikiran dan keyakinan,
sehingga masyarakat membutuhkan seseorang yang meneguhkan agama dan bahasanya
dengan kata-kata yang tegas dan mengembalikannya ke jalan yang benar dalam memahami
Kitab tentang Tuhan Yang Maha Esa dan tafsirnya.
Dari hasil kajian ini tersebut maka bisa ditelusuri apa yang ditulis orang-orang
Maroko tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an pada masa kontemporer, Penulis menemukan bahwa
upaya mereka dalam bidang ini dapat dibatasi pada tiga jenis tulisan: Pertama, penulisan dan
investigasi; Kedua, Tesis dan disertasi Universitas; Ketiga: Artikel ilmiah. Sifat yang ada
pada jenis kepenulisan ini memerlukan klasifikasinya juga dibagi menjadi tiga kategori yaitu
(1) Pengantar interpretasi, (2) Bidang ilmu-ilmu Al-Qur'an. (3) Karya penyuntingan tentang
ilmu-ilmu Al-Qur'an.

17
brahim Al-Wafi, Addirosat Al Qur`Aniyah bil Maghrib. h.114
Kumpulan tafsir ulama Maroko kontemporer meliputi perkenalan dan diskusi tentang
ilmu-ilmu Al-Qur'an, sebuah kitab yang di dalamnya para penulisnya mengikuti hadis-hadis
orang-orang sebelum mereka, dan mereka menelusuri jejak-jejak para pendahulu mereka, dan
tidak ada salahnya jika mereka mengambil manfaat dari apa yang telah ditulis sebelum
mereka. Diantaranya adalah Kitab Al Rayyan, Tanbih al-Anam, dan Al Itqan. 18
D. ANALISIS TETNTANG ILMU AL-QUR’AN DI NEGARA MAROKO DAN INDONESIA
Demikianlah studi pendahuluan mengenai sejarah penyebaran, qirâ’at dan tafsir Al-
Qur’an di Maroko. Dari penjelasan di atas, penulis bisa mengambil gambaran beberapa hal
yaitu masuknya Al-Qur’an di Maroko seiring dengan masuknya Islam di negeri ini dengan
dibawa oleh para pejuang penegak panji-panji Islam. Penyebaran Al-Qur’an di Maroko
dilakukan melalui misi-misi ilmiah yang dipelopori pemerintah muslim saat itu melalui
masjid, kutab- kutab dan ribath. Qirâ’at al-Qur’an di Maroko didominasi Qira’at Warsy dari
Imam Nafi, ini sejalan dengan madzhab fiqih yang mereka anut, fiqih madzhab Maliki, di
mana Imam Malik adalah guru Imam Nafi. Perkembangan qirâ’at al-Qur’an dan Tafsir di
Maroko adalah merupakan akibat perkembangan qirâ’at dan Tafsir di wilayah Timur Islam,
juga dikarenakan gerakan rihlah ilmiah orang-orang Maroko yang belajar ke wilayah Timur
Islam dan kemudian menyebarkannya serta mengembangkannya di Maroko. Di abad ke-4 H
sampai 6-H saja terlihat bahwa di Maroko mulai ada perkembangan ‘ulûm al-Qur’ân dan
tafsir Al-Qur’ân. Ini diindikasikan dari munculnya beberapa ulama dan karya dalam dua
bidang ini. Di atas semua itu, sungguh ini adalah studi pendahuluan, yang memerlukan kajian
pendalaman dan kajian lanjutan.
Kemudian ulama Maroko mrmbagi Ilmu-ilmu tersebut menjadi dua bagian : Pertama,
Ilmu-ilmu yang membahas tentang sejarah Al-Qur’an dari segi turunnya wahyu, sebab-sebab
diturunkannya, keadaan mekkah Madinah, nasikh mansukhnya, penulisannya, penjagaannya,
dan bacaanya, dan susunan penulisannya dari surah dan ayat. Kedua, Ilmu-ilmu lain yang
membantu dalam memahami Al-Qur’an antara lain ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu majaz,
ilmu perumpamaan, ilmu perubahan, persamaan yang umum dan mukjizat Al-Quran yang
tepat, serupa dan lain-lain.
Mereka tidak melakukan penyelidikan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur'an dan klarifikasi
seperti ini sebenarnya mempunyai tujuan yaitu karena keadaan yang dipaksakan oleh zaman
dimana penafsir hidup, dan dimana bangsa ini sedang dilanda gejolak kekerasan yang dapat
menimbulkan ketimpangan pemikiran dan keyakinan, sehingga masyarakat membutuhkan
seseorang yang meneguhkan agama dan bahasanya dengan kata-kata yang tegas dan
mengembalikannya ke jalan yang benar dalam memahami Kitab tentang Tuhan Yang Maha
18
brahim Al-Wafi, Addirosat Al Qur`Aniyah bil Maghrib. h. 112
Esa dan tafsirnya.
Dari hasil kajian ini tersebut maka bisa ditelusuri apa yang ditulis orang-orang
Maroko tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an pada masa kontemporer adalah upaya mereka dalam
bidang ini adalah untuk melanjutkan tradisi literatur yang memang sudah turun temurun sejak
nenek moyang mereka aktif menulis dan membukukan hasil karya tulisannya. Kumpulan
tafsir ulama Maroko kontemporer meliputi perkenalan dan diskusi tentang ilmu-ilmu Al-
Qur'an, sebuah kitab yang di dalamnya para penulisnya mengikuti hadis-hadis orang-orang
sebelum mereka, dan mereka menelusuri jejak-jejak para pendahulu mereka, dan tidak ada
salahnya jika mereka mengambil manfaat dari apa yang telah dipelajari.
Sedangkan di Indonesia jelas berbeda dengan yang terjadi di dunia Arab ataupun di
Maroko, terutama di tempat awal turunnya. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan
latar belakang budaya dan bahasa. Bangsa Arab tidak akan terlalu menemui kesulitan
memahami al-Qur’an karena ditulis dengan bahasa mereka sendiri. Sedangkan bangsa
Indonesia harus melalui penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian baru karenanya,
tafsir al-Qur’an di Indonesia melalui proses lebih lama jika dibandingkan dengan yang terjadi
di tempat asalnya.
Namun jika dilihat dari sejarah ternyata banyak sekali Ulama Indonesia yang mahir
dan mampu berbahasa Arab dengan baik, beberapa penulis dari Ulama Indonesia bahkan ada
yang menulis di Makkah. Walaupun membutuhkan proses yang lama, tetapi Ulama Indonesia
sangat bersemangat dalam melakukan penulisan dan pengkajian Ilmu Al-Qur’an. Hal ini
dilakukan agar masyarakat Indonesia lebih semngat lagi dalam blajar Al-Qur’an seperti
halnya yang dicontohkan para Wali Songo dan Ulama terdahulu.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai perkembangan ilmu Al Qur’an di Maroko dan
Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Perkembangan ilmu Al Qur’an di Maroko berkembang sejak zaman Nabi Muhammad
SAW hingga abad ke 4 H, berkembang dari masa ke masa pada abad ke 5-10 Hijriyah
hingga pada abad terakhir, penulisan ilmu-ilmu Al-Qur'an menjadi aktif setelah
mengalami stagnasi dan penghentian yang hampir total sejak era penulis Al-Itqan.
Adapun perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur’an pada masa kontemporer, dapat dibatasi
pada tiga jenis tulisan: Pertama, penulisan dan investigasi; Kedua, Tesis dan disertasi
Universitas; Ketiga: Artikel ilmiah. Sifat yang ada pada jenis kepenulisan ini
memerlukan klasifikasinya juga dibagi menjadi tiga kategori yaitu (1) Pengantar
interpretasi, (2) Bidang ilmu-ilmu Al-Qur'an. (3) Karya penyuntingan tentang ilmu-ilmu
Al-Qur'an.
2. Kajian tentang studi al-Qur’an mulai berkembang seiring dengan semakin menyebarnya
pengaruh Islam di Nusantara abad ke-15. Perkembangan ilmu Al Qur’an khususnya tafsir
di Indonesia terbilang agak lambat. Dalam hal ini secara runtut terdiri dari : Periode
Klasik (Abad ke 7-8 H /15 M); Periode Tengah (Abad ke 16-18 M); Periode Pra-Modern
(Abad ke 19); Periode Modern (Abad ke 20 (1900- 1950, 1951-1980, 1981-2000, 2001-
sekarang).

DAFTAR PUSTAKA
Cholid Maarif, Kajian Alquran Di Indonesia: Telaah Historis, Jurnal QOF, Volume
1 Nomor 2 Juli 2017,
Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu, (PT Remaja
Rosdakarya : Bandung, 2013),
Aisyah Abd al-Rahmân, Lughatunâ wa al-Hayah, (Kairo: al-Ma’ârif, 1971).
Aisyah Abd al-Rahmân, Hadzâ balâghu li al-nâs,
Abd al-Fatih al-Qâdhi, Târîkh al-Mushaf al-Syarîf, (TK: al-Masyhad al-Husaini,
TT)
Khursyid, al-Qur’ân wa ‘Ulûmuhu, cet I
Ibnu al-Dibâ’, Ma’alim al-Imân, ditahqiq oleh Ibarhim Syabuh, (TK: TP, 1971),
jilid I,
Qadhi Iyâdh, Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik, (Rabat: Wuzârat al-Auqaf,
TT), jilid 4,
Al-Manûni, al-Mushaf al-Syarif: Da’wah al-Haqq, (TK: TP, 1968),
Al-Muqri, Nafh al-Thayib min Ghisni al-Andalusi al-Rathîb, (Beirut: Dâr Shâdir,
1968), Jilid 1,
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an,
Al-Suyûthi, Thabaqât al-Mufassirîn, jilid I,
Ibrahim Al-Wafi, Addirosat Al Qur`Aniyah bil Maghrib, Volume 1, 1999,

Anda mungkin juga menyukai