Anda di halaman 1dari 15

A.

Pendahuluan
Alquran merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw. yang menjadi
panduan bagi umat Islam sejak dulu hingga sekarang. Berbagai aspek dalam
Alquran telah dikaji dan dipelajari oleh umat Islam untuk menemukan hikmah dan
kesempurnaan dari Alquran itu sendiri. Dalam perkembangannya, pengkajian
terhadap Alquran kemudian didukung dengan munculnya berbagai ilmu-ilmu
tentang Alquran yang lazim disebut dengan „ulumul quran.
Salah satu cabang „ulumul quran yang memiliki peran tersendiri dalam
pengkajian Alquran adalah ilmu qiraat. Ilmu ini termasuk ilmu yang cukup rumit,
karenanya hanya dipelajari dan dikuasai oleh orang-orang tertentu dan yang
tertarik dengannya. Selain itu, ilmu qiraat tidak mempelajari masalah-masalah
yang berkaitan langsung dengan hukum-hukum tertentu di kehidupan manusia.
Meski demikian, sebagai salah satu „ulumul quran, maka peran ini dalam
mengkaji Alquran juga tak dapat disepelekan. Mengetahui aspek-aspek yang
terkait dengannya serta historisitas perkembangan qiraat juga menjadi sesuatu
yang penting.
Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan memaparkan kajian terhadap
ilmu qiraat. Adapun beberapa uraian yang akan kami paparkan dimulai dari
definisi qiraat. Selanjutnya yang tidak boleh terlupa adalah sejarah perkembangan
qiraat sejak masa Nabi saw. hingga menjadi ilmu yang mapan serta jenis qiraat.
Terakhir, kami mencoba mengulas sebuah karya orientalis yang juga
menyinggung tentang qiraat pada suatu bagian dari karyanya yakni madzāhib al-
tafsīr karya Ignaz Goldziher.

1
2

B. Definisi Qiraat
Secara etimologi qirā'at (‫ )لساءة‬merupakan bentuk masdar dari qara'a (‫)لسأ‬
yang berarti membaca. Adapun secara terminologi, qirâ'at dalam pandangan
ulama memiliki beberapa pengertian. Imam Zarkasyi (w. 794 H) mengemukakan
bahwa qirā'at ialah perbedaan lafal-lafal Al-Qur'an, baik mengenai huruf-
hurufnya maupun tentang cara pengucapan huruf tersebut. Definisi lain dari al-
Dimyāti yang juga diamini oleh al-Qasthalani bahwa qirā'at ialah ilmu untuk
mengetahui cara pengucapan lafal Alquran baik yang disepakati maupun
diikhtilafkan oleh para ahli qiraat yang diperoleh dengan cara periwayatan.1
Akan tetapi adapula ulama lain yang mendefinisikan qiraat dengan
menisbahkannya kepada imam qiraat. Manna al-Qathan menyatakan bahwa
qiraat merupakan salah satu mazhab dalam pengucapan Alquran yang dipilih oleh
salah seorang imam qiraat sebagai mazhab yang berbeda dan khas dengan
mazhab lainnya. Definisi serupa juga diuraikan oleh Muhammad Ali Ash-
Shabuni.2
Secara umum, ada tiga konsep yang terkandung dalam qiraat, yakni:
a. Cara mengucapkan lafal Alquran
b. Qiraat tersebut diperoleh berdasar riwayat dari Nabi saw
c. Qiraat adakalanya hanya satu versi adakalanya beberapa versi
Suatu qiraat atau bacaan al-Quran dapat diterima jika memenuhi tiga
persyaratan, yaitu:
1) bersumber dari Nabi saw. melalui sanad yang shahih serta diriwayatkan
secara mutawatir.
2) Sesuai dengan kaidah bahasa Arab
3) Tidak menyalahi Rasm Usmani

C. Sejarah Perkembangan Qiraat


Secara historis, ilmu qiraat telah ada sejak zaman Rasulullah meskipun belum
dibukukan secara baku seperti pada masa setelahnya. Alquran pertama-tama turun

1
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur‟an: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap
Istinbath Hukum dalam Alquran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 111-113.
2
Ahmad Izzan, „Ulumul Qurān, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 202-203.
3

di Mekkah yang dihuni oleh orang-orang Quraisy. Pada periode Mekkah, qiraat
mungkin belum begitu berkembang dan belum menjadi suatu kebutuhan karena
bahasa Alquran yang turun telah disesuaikan dengan bahasa mayoritas penduduk
Mekkah yakni Quraisy. Hal ini lantas berbeda sejak Nabi saw. hijrah ke Madinah
dan ketika itu Islam mulai berkembang. Dalam perkembangannya itulah, Islam
mulai dipeluk dan bersentuhan dengan berbagai bahasa dari berbagai suku selain
Quraisy. Bagi umat Islam non Quraisy mungkin ada beberapa kesulitan ketika
melafalkan ayat Alquran yang sangat ‘Quraisy’. Karena itu, muncul berbagai cara
pembacaan terhadap Alquran yang kemudian disebut dengan qiraat.
Meski demikian, pada masa itu, qiraat terbatas pada para sahabat yang
menekuni bacaan (qiraat) Alquran, mengajarkan dan mempelajarinya langsung
dari Nabi saw. Alquran dengan beragam qiraatnya tidak saja yang dibaca Nabi,
tetapi juga yang dibaca sahabat di hadapan Nabi dan Nabi tidak menyalahkan.
Nabi saw. memang memberikan kebebasan untuk membaca Alquran kepada para
sahabat namun harus tetap mengikuti kaidah yang ditetapkan Nabi saw. Ketika
Nabi saw. mendengar bacaan para sahabat dan beliau tidak menyalahkan artinya
bacaan mereka memenuhi kaidah yang dikehendaki Nabi saw. Kebijaksanaan
Nabi saw. ini karena beliau memahami kondisi dimana pemeluk Islam saat itu
tidak hanya dari kalangan Quraisy saja. Karena itu, muncul pula hadis yang
memberi izin kepada umat Islam untuk membaca yang mudah dari Alquran.3
Pada masa Nabi, sebagian sahabat menjadi guru bagi sebagian lainnya.
Orang-orang yang belajar kepada mereka pun segera meriwayatkan dan
menghafalkan bacaan itu dengan menyebutkan sanadnya. Penghafalan dan
periwayatan dengan cara seperti ini sesuai dengan masanya, sedangkan tulisan
yang digunakan waktu itu adalah tulisan tanpa baris dan titik yang memungkinkan
dibaca dengan beberapa cara. Karena itu, untuk mengetahui qiraat seseorang
harus belajar secara langsung kepada guru untuk kemudian dapat menghafal dan
meriwayatkannya. Pada masa Nabi inilah telah muncul para imam qiraat pertama

3
Yakni hadis dari Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari ‫إِ َّن ْالمُسْ آنَ أُ ْو ِز َل َعلًَ َس ْب َع ِت‬
ٍ ‫أَحْ س‬. Lihat Abū ‘Abdullāh Muhammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah
‫ُف فَا ْل َس ُءوا ِم ْىهُ َما تَ َي َّس َس‬
ibn Barzibah al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāīî, Juz 2, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1403 H),
hlm. 181.
4

dari generasi sahabat seperti Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Zayd bin Tsabit,
Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, dan Usman bin Affan.4
Perlu diingat bahwa para ahli qiraat di masa Nabi pada umumnya tidak
mendalami semua qiraat, akan tetapi hanya satu versi qiraat yang sesuai dengan
dialeknya atau dua versi qiraat, dan sebagian kecil lebih dari dua qiraat. Selain
itu, para sahabat yang belajar pada Nabi berasal dari banyak kabilah sehingga
tidak mustahil jika ada banyak versi bacaan yang disetujui Nabi. Pada masa Abu
Bakar, untuk menyeragamkan Alquran dan bacaannya, maka beliau memberikan
miqyās (ukuran/kaidah) berupa bukti tulisan serta bacaan yang memang pernah
dibacakan di hadapan Nabi saw. dengan dibuktikan oleh dua saksi. Pada masa
Nabi saw. perkembangan dan pengetahuan umat terhadap adanya perbedaan
qiraat masih sangat terbatas kecuali di kalangan imam qiraat tersebut.
Sementara itu, pada masa Usman Islam semakin tersebar luas dan telah
bersentuhan dengan banyak suku dan negara sehingga perbedaan cara baca
Alquran mulai terlihat. Karena tidak semua mengetahui adanya perbedaan qiraat
yang diperbolehkan Nabi, maka di kalangan para murid muncul perasaan bahwa
qiraatnya yang paling benar dan berasal dari Nabi saw. Untuk menghindari
kekacauan dan perpecahan yang lebih besar, Usman pun berinisiatif untuk
melakukan standarisasi Alquran yakni menghimpun mushaf Usmani, tetapi bukan
berati membatasi pada satu qiraat saja. Hal itu karena mushaf Usmani itu sendiri
mengandung dan dapat dibaca dengan beberapa qiraat. Mushaf itu belum
memiliki baris dan tanda baca sehingga bisa dibaca dengan beberapa versi qira’at
meskipun tulisannya sama.
Dalam penghimpunannya, Usman terlebih dahulu merujuk pada mushaf yang
pernah dihimpun di masa Abu Bakar. Usman kemudian memberikan tambahan
miqyas —selain syarat tentang adanya riwayat/sanad dari bacaan tersebut—
kepada Zaid bin Tsabit yakni jika ada bacaan Zaid yang berbeda dengan bacaan
lain, maka hendaklah Zaid mengambil bacaan Quraisy. Semenjak itu, yang
menjadi standar bacaan bagi umat Islam saat itu bukan lagi guru atau imam qiraat
akan tetapi Alquran yakni mushaf Usmani.

4
Ahmad Izzan, „Ulumul Qurān, … hlm. 205-206.
5

Imam qiraat kedua berasal dari generasi tabi’in yang merupakan murid dari
imam qiraat pertama dari kalangan sahabat. Para tabi’in ini membentuk dan
mempunyai halaqah di kota-kota besar seperti Makah, Madinah, Kufah, Basrah,
dan Syam. Di Makah seperti Mujahid dan Ikrimah. Di Madinah ada Umar bin
Abdul Aziz dan Ibnu Syihah az-Zuhri. Di Kufah ada Sa’id bin Jabir dan Alqamah.
Di Basrah ada Ibnu Sirin dan Qatadah. Di Syam ada al-Mughirah dan Khulayfah
bin Sa’ad.5
Imam qiraat ketiga adalah ulama ahli qiraat yang hidup pada pertengahan
kedua abad dua Hijriah yang belajar pada imam qiraat kedua, termasuk di
dalamnya tujuh orang imam qiraat sab‟ah. Di antara mereka yakni Ibnu Katsir
(salah satu imam qiraat sab‟ah) di Makah, Nafi bin Nuaim di Madinah, Ashim,
Hamzah dan Kisai di Kufah, Abu Amr bin al-A’la di Basrah, dan Abdullah bin
Amir di Suriah.6
Imam qiraat pada generasi ketiga ini berupaya meneliti dan menyeleksi
berbagai versi qiraat yang ada dan berkembang saat itu. Dengan upaya tersebut
diharapkan dapat dibedakan mana qiraat yang bisa dipertanggungjawabkan serta
diakui qur‟aniyyat nya dan mana yang tidak. Upaya tersebut dilatarbelakangi
antara lain, oleh suatu kondisi di mana pada saat itu ada sebagian qiraat yang
tidak menyalahi rasm usmani, tetapi tidak seorang ahli qiraatpun sebelumnya
pernah membacanya. Dengan kata lain, saat itu telah berkembang qiraat di
kalangan kaum muslimin yang diragukan kebenarannya. Hal ini mengingat makin
meluasnya daerah kekuasaan Islam, serta semakin banyak pula pemeluk agama
Islam dari luar kalangan bangsa Arab.7
Pada masa ini, para imam telah memiliki miqyas yang berbeda-beda dalam
menerima dan menolak suatu qiraat. Ketika menetapkan suatu miqyas dan
ternyata menemukan beberapa qiraat yang dapat diterima maka imam qiraat tentu
akan memilih bacaan yang mudah baginya atau mengajarkan suatu versi qiraat
pada seorang murid dan versi qiraat lain pada murid yang berbeda. Jadi, ketika
proses menentukan qiraat seorang imam memiliki miqyas dan kemudian berhak
5
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur‟an, … hlm. 132.
6
Ahmad Izzan, „Ulumul Qurān, … hlm. 206.
7
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur‟an, … hlm. 134-136.
6

memilih (ikhtiyār) satu atau beberapa versi dari sejumlah versi yang memenuhi
miqyasnya. Karena itu, suatu qiraat yang tidak dipilih dan diajarkan oleh imam
qiraat —meskipun riwayatnya ada dan memenuhi miqyas— otomatis tidak
tersampaikan pada murid-murid dan sanadnya menjadi putus pada akhirnya akan
menjadi qiraat syadz.
Selanjutnya imam qiraat generasi keempat yakni mereka yang belajar dari
kelompok ketika seperti Ibnu Iyasy, Hafsh, dan Khalaf. Adapun generasi qiraat
kelima adalah para pengkaji dan penyusun ilmu qiraat seperti Abu ‘Ubaid al-
Qasim bin Salam, Ahmad Jubair al-Kufi, Abu Ja’far Ibn Jarir ath-Thabari, dan
Ismail Ishak al-Maliki. Setelah generasi kelima ini pengkajian dan pengembangan
ilmu qiraat semakin meluas, di antaranya penulisan qiraat dalam bentuk prosa
dan puisi oleh al-Dani dan al-Syathibi.8
Demikian seterusnya hingga generasi ke generasi. Dengan demikian
penyampaian qiraat Alquran dilakukan sebagaimana penyampaian hadis. Tak
seorang pun dari ahli qiraat yang boleh diambil qiraatnya kecuali ada kepastian
bahwa dia telah menerima qiraat tersebut dari ulama sebelumnya (gurunya),
hingga rangkaian sanad itu berakhir pada seorang sahabat Nabi yang langsung
menerima qiraat itu dari Nabi saw. Atas dasar itu pula mereka melarang mutlak
qiraat berdasarkan qiyas. Karena suatu qiraat tidak akan diterima jika tidak
memiliki sanad yang sampai kepada Nabi saw. meskipun sesuai dengan kaidah
bahasa Arab dan tulisan pada mushaf Usmani.9
Oleh karena itu, periwayatan yang bermuara kepada Nabi saw. merupakan
sumber asli serta sumber satu-satunya bagi qiraat Alquran yang dikenal di
kalangan kaum muslimin. Dengan begitu, jelaslah bahwa qiraat Alquran itu
bersifat tawqifiyyat dan bukan bersifat ikhtiyariyat atau hasil ijtihad dan rekayasa
para ahli qiraat. Karena itu pula, para sahabat tidak memandang adanya satu versi
qiraat yang lebih baik atau lebih utama dari versi qiraat yang lainnya karena
keduanya sama-sama berasal dari Nabi berdasarkan firman Allah swt.10

8
Ahmad Izzan, „Ulumul Qurān, … h. 206.
9
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm.
325-326.
10
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur‟an, … hlm. 123.
7

Orang yang disebut-sebut pertama kali menyusun ilmu qiraat adalah Abu
‘Ubaid al-Qasim bin Sallam. Selain Abu Ubaid, adapula Abu Ja’far al-Thabari
dan Abu Hatim al-Sajistani yang telah menghimpun sejumlah sistem qiraat dalam
karya mereka. Adapun orang pertama yang menghimpun qiraat sab‟ah adalah
Abu Bakar Ahmad bin Musa al-Abbas atau yang lebih dikenal dengan Ibnu
Mujahid (w.324 H). Beliaulah yang pada awal 300 H di Baghdad menghimpun
tujuh qiraat dari tujuh imam Mekah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam.11

Ketujuh tokoh itu dipilih oleh Ibnu Mujahid dengan pertimbangan bahwa
merekalah yang paling terkemuka, paling masyhur bacaannya bagus, memiliki
keadalaman ilmu dan panjang umurnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah
bahwa merekalah yang dijadikan imam qiraat di masyarakat mereka masing-
masing. Kemasyhuran ketujuh tokoh qiraat tersebut semakin meluas setelah Ibnu
Mujahid secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka.12 Meski demikian,
selain mereka sebenarnya masih ada pula imam qiraat lain yang tidak kalah
menguasai qiraat, hanya saja secara kebetulana bagi Ibnu Mujahid tujuh imam
itulah yang dianggapnya tepat. Sejak penghimpunan Ibnu Mujahid itulah istilah
tujuh qiraat mulai dikenal. Belakangan banyak pula yang mengira bahwa istilah
tujuh qiraat tersebut adalah yang dimaksud hadis Nabi saw. dengan tujuh huruf,13
padahal pembatasan pada angka tujuh tersebut hanyalah kebetulan semata.

D. Macam-Macam Qiraat
Ada tiga mazhab Qiraat yang termasyhur yakni qiraat sab‟ah, siraat „asyrah,
dan qiraat arba‟a „asyrah. Qiraat pertama adalah Qiraat sab‟ah yakni qiraat
yang merujuk pada tujuh imam termasyhur, yakni:

11
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, … hlm. 321-324.
12
Acep Hermawan, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), hlm. 136.
13
Ada beragam versi hadis ‘tujuh huruf’ yang dimuat dalam beberapa kitab hadis seperti
Shahīh al-Bukhārī, Shahīh Muslim, Sunan al-Tirmidzī, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat
tentang apa yang dimaksud dengan ‘tujuh huruf’ dalam hadis-hadis tersebut. Ada yang
memaknainya dengan tujuh bahasa, tujuh aspek hukum/ajaran dalam Alquran, juga tujuh ragam
cara baca atau yang disebut qiraat. Pandangan terakhir yakni yang menghubungkan dengan qiraat
kiranya cukup banyak terutama setelah munculnya himpunan tujuh qiraat oleh Ibnu Mujahid
tersebut.
8

Pertama, Ibn Katsir dari Makkah yang nama lengkapnya adalah Abu Ma’bad
Muhammad Abdullah bin Katsir bin Umar bin Zadin ad-Dari al-Makki (45-120
H). Ia belajar qiraat kepada sahabat Nabi saw. rawinya adalah Abu bakar Syu’bah
bin Ilyas dan Abu Amr Hafs bin Sulaiman.
Kedua, Imam Nafi’ dari Isfahan (Madinah) yang nama lengkapnya adalah
Abi Nu’aim Nafi bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi al-Isfahani al-
Madani (70-169 H). Ia belajar qiraat pada Zaid bin Qa’qa al-Qurri Abu Ja’far dan
Abu Maimunah. Perawinya adalah Qalun Abu Musa Isa bin Mina (120-220 H)
dan Warasy Abu Said (Abu Umar atau Abu Qasim) Usman bin Said (110-197 H).
Ketiga, Imam ‘Ashim bin Abi Nujuh bin Bahdalah al-Asadi al-Kufi (w.127
H). Ia belajar qiraat pada Sa’ad bin Iyasy asy-Syaibani, Abu Abdurrahman
Abdullah bin Habib as-Salami. Rawinya adalah Abu Bakar Syu’bah bin Iyasy bin
Salim al-Asadi (95-193 H) dan Abu Amr Hafs al-Kufi. Versi lain menyebut Ibnu
Khalaf dan Ibnu Khallad.
Keempat, Imam Hamzah dari Kufah yang nama lengkapnya ialah Abu Imarah
Hamzah bin Habib az-Zayyat al-Fardhi Attaini (156-216 H). Ia belajar qiraat pada
Mansyur bin Mu’tamir dan Ja’far ash-Shadiq. Rawinya adalah Abu Muhammad
bin Khallaf bin Hisyam bin Thalib al-Bazzaz (150-229 H) dan Abu Isa bin
Khallad bin Khalid asy-Syairafi (w.220 H).
Kelima, Imam al-Kuzai dari Kufah. Nama lengkapnya yaitu Abu Hasan Ali
bin Hamzah bin Abdullah bin Fairuz al-Farizi al-Kuzai al-Nahwi (119-189 H). Ia
belajar qiraat pada Imam Hamzah dan Imam Su’bah bin Iyasy. Rawinya adalah
Abu Harits al-Laitsi bin Khalid al-Mawarzi al-Muqri dan Imam Hafzh ad-Duri.
Keenam, Imam Abu Amr dari Basrah. Nama lengkapnya adalah Abu Amr
Zabban bin al-A’la bin Ammar al-Basri (70-154 H). Ia belajar qiraat kepada al-
Baghdadi dan Hasan al-Basri. Rawinya adalah ad-Dauri Abu Amr Hafzh bin
Umar al-Muqri (w.246 H) dan as-Susi Abu Syu’aib Shalil bin Ziyad (w. 261 H)
Ketujuh, Imam Abu Amir dari Damaskus. Nama lengkapnya ialah Abu
Nu’aim Abu Imran Abdullah bin Amir asy-Syafi’I Alyas Hubi (21-118 H). Ia
belajar qiraat kepada Abu Darda dan Mughirah bin Syu’bah. Rawinya adalah al-
9

Bazzi Abu Hazan Hamid bin Muhammad bin Qunbul. Versi lain menyebut nama
Hisyam Abu Walid dan Ibnu Zaqwan.
Qiraat kedua yakni qiraat „asyrah yakni qiraat sab‟ah yang ditambah tiga
imam qiraat lainnya. Pertama, Imam Ya’qub dari Basrah. Nama lengkapnya
adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq al-Basri al-Madhrami (w.205 H).
Rawinya adalah Ruwais Muhammad bin al-Mutawakkil dan Rauf bin Abdul
Mu’min. Kedua, Imam Khallaf dari Kufah. Nama lengkapnya adalah Abu
Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Thalib al-Makki al-Bazzaz (w.229 H).
Rawinya adalah Ishaq al-Warraq dan Idris al-Haddad. Ketiga, Imam Abu Ja’far
dari Madinah. Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa al-
Makhzumi al-Madani (w.230 H). Rawinya adalah Isa Ibnu Wardan dan Sulaiman
Ibnu Jammaz. Adapun Qiraat ketiga adalah qiraat arba‟a „asyrah yakni qiraat
„asyrah ditambah empat imam qiraat lainnya yakni Imam Hasan al-Basri, Imam
Ibnu Mahisy, Imam Yahya al-Yazidi, dan Imam asy-Syambudzi.14

E. Pandangan Goldziher tentang Qiraat


Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis asal Hungaria yang meragukan
keaslian qiraat. Ia berpandangan bahwa qiraat bukanlah bersumber dari Nabi
saw. akan tetapi hanyalah buatan dari tokoh-tokoh qiraat setelahnya dengan
beragam motif yang ada. Dalam karyanya madzāhib al-tafsīr, Goldziher
mengemukakan beberapa argumen terhadap pandangannya tentang kemunculan
perbedaan Alquran yang tidak original dari Nabi saw. Berikut ini beberapa
argumen Goldziher beserta bantahan yang telah dikemukakan oleh para ulama
Islam:
1. Faktor lahirnya perbedaan qiraat adalah karena tulisan mushaf Usmani yang
belum ada tanda baca titik dan baris. Artinya, menurut Goldziher tumbuhnya
qiraat itu yakni setelah adanya tulisan (al-khath). Goldzhiher mengemukakan
dua bukti yang menjadi titik penyebab munculnya perbedaan tersebut, yakni
 Pertama, perbedaan karena ketiadaan titik pada bentuk huruf tertulis.
Contohnya pada QS. Al-A’raf: 48

14
Ahmad Izzan,„Ulumul Qurān, … hlm. 203-204.
10

‫ووادي أصحاب األعساف زجاال يعسفىوهم بسيماهم لالىا ما أغىً عىكم جمعكم وما كىتم تستكبرون‬
Menurut Goldziher, sebagian sarjana (ulama) qirâ'at membaca lafadz
‫ تستكبسون‬yang tertulis dengan huruf ba' (dengan satu titik) dengan bacaan
‫ تستكثسون‬yaitu dengan huruf tsa' (bertitik tiga).15
 Kedua, perbedaan karena harakat, salah satu contohnya pada QS. Al-Hijr:
8 yakni
‫ما ننزل المالئكت إال بالحك وما كاوىا إذا مىظسيه‬
Goldziher menjelaskan dengan mengikuti perbedaan bacaan diantara
imam qiraat pada lafadz yang menunjukan turunnya malaikat, apakah itu
‫ وُىَ ِّزل‬atau ‫ تَىزل‬atau diturunkan ‫ تُىزل‬maka secara praktis menunjukan bahwa
sebuah pengamatan yang obyektif mengenai perbedaan harakat,
menurutnya turut berperan dalam menyebabkan munculnya perbedaan
qira'at.16
Argumen Goldziher ini kemudian telah dibantah oleh beberapa tokoh
termasuk komentator langsung pada buku madzāhib al-tafsir karyanya yakni
Abdul Halim an-Najar. An-Najar terutama mengomentari beberapa riwayat dan
versi qiraat yang dijadikan rujukan oleh Goldziher. Dari komentarnya terlihat
bahwa Goldziher merujuk versi qiraat yang memiliki kualitas yang berbeda-beda
dari yang diterima hingga yang ditolak. Karena itu, terlihat adanya
ketidakkonsistenan dan pemaksaan Goldziher hanya untuk mendapatkan contoh-
contoh yang sesuai dengan argumenya.
Selain itu, pendapatnya bahwa kemunculan qiraat disebabkan tulisan juga
salah besar. Sejarah mencatat, Alquran termasuk beragam qiraatnya telah ada
dalam hafalan sejak para sahabat di masa Nabi, sebelum mushaf Usmani dibentuk
bahkan sebelum mushaf di masa Abu Bakar. Goldziher telah melupakan tradisi
pengajaran secara lisan atau oral yang yang menjadi tradisi penuturan Al-Quran
sejak masa Nabi. Selain itu, persyaratan sanad yang bersambung sampai kepada
Nabi sebagai syarat diterima qiraat menjadi bukti bahwa qiraat tidak mungkin
direkayasa oleh imam qiraat. Seandainya penyebabnya adalah tulisan mushaf baik
15
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj. Alaika Salamullah, dkk,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 3.
16
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, … 13-14.
11

karna tidak adanya tanda baca atau tanda huruf, maka tentu setiap qiraat yang
memungkinkan dibaca sesuai rasm Usmani akan dianggap sebagai qiraat, tetapi
kenyataanya tidaklah demikian.17
2. Goldziher juga menganggap bahwa bahwa di zaman masyarakat Muslim
terdahulu, mengubah sebuah kata dalam ayat Al-Qur'an untuk mencari
kesamaan sangatlah dibolehkan. Bersumber dari ketetapan Umar, yang
menyatakan bahwa sesungguhnya Alquran adalah benar seluruhnya. Selain
itu, ia mengutip riwayat lain yang menyatakan, “sesuatu yang cukup
memadai selagi ayat rahmat tidak dijadikan ayat azab, dan ayat azab
dijadikan ayat rahmat". Artinya, menurut Goldziher, pada masa itu, selama
tidak terjadi perbedaan prinsipil dalam makna lafadz, maka pembacaan
Alquran dengan cara apapun diperbolehkan.18 Ia lantas mengemukakan
beberapa riwayat yang mendukung argumennya tersebut.19
 Goldzhier menjelaskan bahwa Abdullah bin Mas'ud mengganti lafaz
pertama pada ayat ‫ اهدوا الصساط المستميم‬dengan sinonim lafaz itu, yaitu ‫ازشدوا‬
‫ الصساط المستميم‬.
 Goldzhier menyitir sebuah riwayat yang menyebut bahwa Nabi pernah
mendiktekan Alquran dengan lafaz ‫عزيز حكيم‬, lalu sahabat yakni Abdullah
bin Abi Sarah bertanya bolehkah ia menulis dengan ‫عزيز عليم‬. Nabi
menjawab, “ya boleh karena semuanya itu betul.”
Abdul Halim an-Najar kembali mengoreksi riwayat-riwayat yang dijadikan
sandaran oleh Goldziher dan menyatakan bahwa riwayat tersebut dipahami keliru
oleh Goldziher. Selain itu, Abdullah bin Abi Sarah20 yang disebutnya sebagai
sahabat itu ternyata adalah orang yang oleh komentator sejarah dinilai sebagai
orang yang banyak melakukan penggantian dalam Alquran.21 Dari kritikan an-

17
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur‟an, hlm. 174.
18
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir,… hlm. 51.
19
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir,… hlm. 52-54.
20
Ia adalah saudara sesusuan Usman yang masuk Islam sebelum penaklukkan kota Mekah
kemudian murtad setelah wafatnya Rasulullah. Kemudian dia masuk Islam untuk kedua kalinya
dan mendapatkan kedudukan mulia pada periode Usman.
21
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, … hlm. 54.
12

Najar tersebut jelaslah bahwa argumen yang dilontarkan oleh Goldziher sama
sekali tidak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Alquran adalah wahyu Allah yang tidak seorangpun, bahkan Nabi
Muhammad sekalipun, memiliki wewenang untung mengubah lafaz yang ada di
dalamnya. Bahkan mengubah satu huruf dalam Alquran pun tidak diperbolehkan
apalagi jika menambah-nambah dan mengganti sesuai kehendak hati seperti yang
diungkapkan Goldziher. Nabi Muhammad hanya menerima dan mengikuti apa
yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada beliau. Jika Hal ini telah ditegaskan oleh
Allah dalam firman-Nya pada QS.Yusuf: 15 dan QS. Al-Haqqah: 44.

              

22
  

             

23

Apabila Nabi Muhammad saja dilarang keras untuk mengubah atau mengganti
sesuatu yang menyangkut lafaz ataupun huruf Alquran, maka terlebih lagi bagi
para sahabat, tabi’in, ataupun yang lainnya. Allah telah menjanjikan untuk
menjaga dan memelihara Alquran dari hal-hal yang memungkinkan terjadinya
pengubahan, penggantian, dan lain-lain.24 Hingga hari ini tidak satu kitab samawi
pun selain Alquran yang diriwayatkan secara mutawatir melalui sanad yang
shahih dari generasi ke generasi.25

3. Selain mengemukakan alasan terjadinya perbedaan qiraat, Goldziher juga


mengkritik tidak diterimanya qiraat Abdullah bin mas’ud dan Ubay bin
Ka’ab. Padahal menurutnya, kedua sahabat tersebut memiliki posisi terhormat

22
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu
mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf:
"Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka
tiada ingat lagi."
23
Seandainya Dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya
benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya.
24
Lihat QS. Al-Hijr: 9 dan QS. Fushshilat: 41-42.
25
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur‟an, … hlm. 176-178.
13

sebagai sesepuh para guru pada tahap awal Islam. Keduanya juga mendapat
pujian dan keistimewaan dari Nabi saw. Goldziher mengatakan bahwa
masyarakat Islam saat itu tidak setuju dengan tindakan Usman untuk
membakar mushaf keduanya pada saat penghimpunan mushaf Usmani.
Tudingan Goldziher jelas tidak beralasan karena pada saat penghimpunan
mushaf Usmani dan pembakaran terhadap mushaf-mushaf yang lain yang
tidak sesuai —bukan hanya dilakukan pada mushaf kedua sahabat ini— telah
didukung oleh umat Islam saat itu. Hal ini karena kondisi pada saat itu
mengharuskan adanya satu mushaf saja yang menjadi rujukan umat Islam
untuk menghindari perpecahan. Adapun terkait keistimewaan kedua sahabat
ini tentu umat Islam pun tidak meragukannya. Pujian itu juga tidak
menujukkan bahwa selain keduanya tidak ada sahabat lain yang kompeten
terutama dalam hal qiraat. Pada kenyataannya, qiraat keduanya telah
tercampur dengan penafsiran sehingga tidak dapat dianggap sebagai qiraat
yang termasuk Alquran namun dapat membantu dalam memahami ayat
Alquran. Berikut ini beberapa contoh dari qiraat Abdullah bin Mas’ud dan
Ubay bin Ka’ab yang tercampur penafsiran.26
 Qiraat Abdullah bin Mas’ud
‫ق َوالسَّازلَتُ فَا ْلطَعُىْ ا أّ ْي َماوَهُ َما‬
ُ ‫َّاز‬
ِ ‫َوالس‬
Lafaz (‫ )أّ ْي َماوَهُ َما‬merupakan tafsir atau penjelasan terhadap lafaz (‫)أَ ْي ِديَ ُه َما‬
yang terdapat dalam firman Allah pada QS. Al-Maidah: 38 berikut:
‫ق َوالسَّازلَتُ فَا ْلطَعُىْ ا أّ ْي ِديَهُ َما‬
ُ ‫َّاز‬
ِ ‫َوالس‬
 Qiraat Ubay bin Ka’ab
‫لِلَّ ِر ْيهَ ي ُْؤلُىْ نَ ِم ْه وِ َسائِ ِه ْم تَ َسبُّصُ اَزْ بَ َع ِت اَ ْشه ٍُس فَا ِ ْن فَا ُؤا ف ْي ِه َّه فَا ِ َّن للاَ َغفُىْ ز َز ِحيْم‬
Lafaz (‫ )ف ْي ِه َّه‬merupakan tafsir atau penjelasan dari firman Allah pada QS.
Al-Baqarah: 226 berikut:
‫لِلَّ ِر ْيهَ ي ُْؤلُىْ نَ ِم ْه وِ َسائِ ِه ْم تَ َسبُّصُ اَزْ بَ َع ِت اَ ْشه ٍُس فَا ِ ْن فَا ُؤا فَا ِ َّن للاَ َغفُىْ ز َز ِحيْم‬
Oleh karena itu, jelaslah bahwa qiraat itu tidak diterima bukan karena posisi
orang yang meriwayatkan itu saja baik sebagai sahabat yang mendapat pujian dari
26
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur‟an, … hlm. 153.
14

Nabi atau apapun. Qiraat itu hanya dapat diterima jika memenuhi tiga syarat yang
telah ditetapkan yakni sesuai kaidah bahasa Arab, sesuai tulisan mushaf Usmani,
dan yang paling penting adalah diriwayatkan oleh sanad yang shahih secara
mutawatir dan sampai kepada Nabi saw.

F. Penutup
Dari uraian di atas kita dapat merumuskan beberapa kesimpulan:
 Ilmu qiraat adalah salah satu dari „ulumul quran yang mengkaji tentang
ragam cara baca Alquran baik yang diterima maupun yang ditolak oleh para
imam qiraat. Suatu qiraat dapat diterima hanya jika memenuhi tiga syarat
yakni sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan tulisan mushaf
Usmani, dan memiliki sanad yang shahīh yang sampai pada Nabi.
 Sebagai sebuah ilmu, qiraat telah ada sejak masa Nabi hanya saja
perkembangannya masih sederhana yakni berupa pengajaran secara langsung.
Pada masa sahabat dan tabi’in qiraat semakin dikenal seiring dengan
perkembangan pemeluk Islam dari berbagai suku dan daerah. Qiraat mulai
mendapat tempat sebagai bagian dari „ulumul quran sejak bermunculannya
banyak karya yang meneliti dan menghimpun qiraat dimulai dari Abu Ubaid
Qasim bin al-Sallam hingga Ibnu Mujahid yang memperkenalkan qiraat
sab‟ah. Qiraat sab‟ah, siraat „asyrah, dan qiraat arba‟a „asyrah adalah tiga
mazhab Qiraat yang termasyhur hingga saat ini.
 Ignaz Goldzhiher berpandangan bahwa perbedaan qiraat bukanlah bersumber
dari Nabi saw, akan tetapi muncul pada masa setelah Nabi saw.
Pandangannya ini kemudian dibantah oleh para tokoh Islam dengan mengkaji
riwayat-riwayat yang dijadikan legitimasi hingga bantahan secara historis.
15

DAFTAR PUSTAKA

AF, Hasanuddin, Anatomi Al-Qur‟an: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya


Terhadap Istinbath Hukum dalam Alquran, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995.

Al-Bukhārī, Abū ‘Abdullāh Muhammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah
ibn Barzibah, Shahīh al-Bukhāīî, Juz 2, Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah,
1403 H.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj. Alaika
Salamullah, dkk, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Hermawan, Acep, ‘Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2011.

Izzan, Ahmad, „Ulumul Qurān, Bandung: Tafakur, 2011.

As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Firdaus,


1999.

Anda mungkin juga menyukai