Anda di halaman 1dari 16

Secara ideologis Keaksaraan merupakan "Jiwa" dari satu program pendidikan dan budaya yang

memberikan serangkaian nilai yang bermanfaat.

Secara luat Keaksaraan didefinisikan sebagai pengetahuan yang dasar dan keterampilan yang
diperlukan oleh semua warga negara dan menjadi salah satu pondasi bagi penguasaan kecakapan -
Kecakapan hidup yang lain.

Pendidikan Keaksaraan ialah usaha untuk membimbing dan membelajarkan pengetahuan mengenal
Keaksaraan (calistung). agar bermanfaat.

Pendidikan Keaksaraan dindonesia lebih dikenal dengan program Pendidikan Keaksaraan Fungsional.
Sehingga secara terminologi (istilah) fungsional dalam keaksaraan berkaitan erat dengan fungsi
dan /atau tujuan dilakukannya pendidikan Keaksaraan.

Filsafat keaksaraan memandang hakekat Keaksaraan sebagai instrumen yang sangat terkait dengan
peradapan manusia berupa kemampuan Calistung sebagai indur bahasa yang digunakan oleh setiap
bangsa didunia.

Filosofi Keaksaraan dindonesia.

Qiraat
Sejarah dan Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’ah
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid
Al-Qasim bin Sallam (W. 224 H). Ia menulis sebuah kitab dengan nama Al Qira’at yang menghimpun qira’at
dari 25 orang perawi.
Adapun latar belakang antusias para ulama memelihara qira’at yang diriwayatkan, menurut Ibnul Jazari, karena
pada abad ke 3 H kebohongan meluas, sedangkan ilmu mengenal Al-Qur’an dan as-Sunnah telah banyak sekali
cabang-cabangnya.
Di sisi lain kaum muslimin sangat memerlukan ilmu qira’at sebagai upaya menjaga dan memelihara Al- Qur’an
dari perubahan-perubahan dan pemutarbalikan.
Ilmu qira’ah ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Hanya saja belum dibukukan pada abad ke 3 H. Pada
masa itu qira’ah terbatas pada para sahabat yang menekuni bacaan (qira’ah) Al-Qur’an, mengajarkan ayat-ayat
yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW., kemudian menghapalkannya. Terkadang mereka
membaca ayat-ayat itu di hadapan Nabi agar disimak.
Sebagian sahabat menjadi guru. Orang-orang yang belajar kepada mereka yang meriwayatkannya dengan
menyebutkan sanadnya dan mereka sering mengahafalkan qira’ah yang diriwayatkan dari guru mereka.
Pengahapalan dan periwayatan dengan cara seperti ini adalah sesuai dengan masanya. Sedang tulisan yang
digunakan pada waktu itu adalah tulisan Kufi yang tanpa baris dan/atau titik. Dalam tulisan satu ini dapat dibaca
dengan beberapa cara. Konsekuensinya sesorang harus belajar langsung kepada guru, kemudian menghapalkan
dan meriwayatkan.
Selain itu, kebanyakan orang pada waktu itu masih buta huruf, tidak bisa baca tulis dan belum mengenal cara
menjaga pelajaran selain menghafal dan meriwayatkan. Cara ini dapat terus diikuti dalam masa-masa
berikutnya. Maka melihat metode penerimaan dan periwayatan qira’ah ini, para imam qurra’ itu dapat
digolongkan dalam kelompok-kelompok yang mewaikili pada masanya. Dimulai para Imam Qurra pertama, dari
kalangan para sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar di masa hidup beliau. Sebagian dari mereka telah
menghimpun Al-Qur’an secara lengkap. Di antara mereka Usman, Ali, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tzabit,
Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari.
Kelompok kedua adalah para Tabi’in, yang merupakan para murid kelompok pertama yang mempunyai halaqah
di kota-kota seperti Makkah, Madinah, Kufah, Basrah dan Suriah. Di Makkah antara lain Ubaid bin Umair,
Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus, Mujahid dan Ikrimah. Di Madinah, Ibnul Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin
Abdul Aziz, Sulaiman bin Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundub dan Zaid bin Aslam. Di Kufah, ‘Alqamah, Al
Aswad, Masruq, Ubaidah dan lain-lain. Di Basrah, Abu Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin Ashim, Hasan Al Basri,
Ibnu Sirin, Qafadah dan Yahya bin Ya’mar.  Sedangkan yang tinggal di Syuriah antara lain Mughirah bin Abi
Syihab, Seorang murid Usman dan Khalifah bin Sa’id seorang murid Abu Darda.
Kelompok ketiga adalah para ulama qurra’ yang hidup pada abad pertengahan kedua abad Hijriyah. Mereka
adalah kelompok yang belajar pada imam qurra’ kedua. Di antara mereka, di Makkah, Ibnu Katsir, salah
seorang dari tujuh imam qurra’ah; Humaid bin Qais Al A’raj dan Muhammad bin Abu Muhaisin. Di Madinah,
Abu Ja’fah Yazid bin Al Qa’qa, Syaibah bin An Nafah dan Nafi bin Nuaim, salah seorang dari tujuh imam
Qira’ah. Di Kufah, Yahya bin Wastab, Ashim bin Najud, Hamzah dan Kisa’i. Tiga orang terakhir termasuk
tujuh imam Qira’ah. Di Basrah, Abdullah bin Abi Ishak, Isa bin Umar, Abu Amr bin Al A’la salah seorang dari
tujuh imam Qira’ah, Ashim al Jahdari dan Ya’kub Al Hadhrami. Di Syuriah, Abdullah bin Amir, salah seorang
dari tujuh imam Qira’ah, Athiyah bin Qais Al Kijabi dan lain-lain.
Kelompok keempat adalah mereka yang meriwayatkan Qira’ah dari kelompok ketiga, antara lain Ibnu Iyasy,
Hafsh dan Khalaf. Sedangkan kelompok kelima adalah para pengkaji dan penyusun ilmu qira’ah antara lain,
Abu UbaidAl Qusaim bin Salam, yang disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun buku tentang qira’ah;
Ahmad bin Jubair Al Kufi dan Ismail bin Ishak Al Malikim, dua orang murid Dalun, Abu Ja’far bin Jarir At-
Thabari dan Mujahid. Sesudah kelompok kelima medan pembahasan dan pengkajian ilmiah tentang ilmu qira’ah
bertambah luas sehingga orang-orang seperti Abu Dani dan As Syatibi menulis risalah dalam bentuk prosa
maupun puisi.
Setelah mengetahui pemaparan tentang sejarah dan latar belakang timbulnya ilmu qira’ah, maka penulis
berpendapat bahwa ilmu qira’ah ini sangat penting, karena memelihara dan menjaga Al-Qur’an dari
pemutarbalikkan mengingat telah banyak cabang-cabang ilmu untuk mengenal Al-Qur’an sehingga takut jika
ada kebohongan, meskipun ada perbedaan dialek yang dikarenakan bangsa Arab juga terbagi-bagi menjadi
beberapa suku yang berbeda dan perbedaan kapasitas intelektual, selain itu tulisan Arab dahulu adalah tulisan
yang tanpa baris, yang dapat dibaca dengan berbagai cara, serta cara penerimaan qira’ah juga berbeda-beda.

https://udhadotme.wordpress.com/2015/01/23/ilmu-qiraah/ diakses 23 febuari 2023


Kesimpulan
1. Jika melihat dari segi bahasa dan istilah maka, pengertian umum dari qira’ah adalah cara pengucapan Al-
Qur’an yang berbeda-beda. Adapun sejarah tentang munculnya ilmu qira’ah dikatakan bahwa orang yang
pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam dan adapun latar belakang
timbulnya disebabkan ingin menjaga Al-Qur’an dari perubahan dan pemutarbalikan, karena banyaknya
kebohongan. Adapun muncul perbedaan pelafalan karena bangsa Arab sendiri terdiri dari berbagai banyak suku
yang berbeda dialek, perbedaan intelektual dan tulisan dahulu adalah tulisan yang tidak ada barisnya, dapat
dibaca dengan berbagai cara karena cara penerimaan qira’ah juga berbeda.
2. Macam-macam qira’ah yakni Qira’ah Sab’ah, Qira’ah ‘Asyrah dan Qira’ah Arba’a Asyrah. Adapun syarat-
syarat serta di dalamnya memuat kriteria qira’ah yakni setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu (kaidah bahasa
Arab), sesuai dengan tulisan Mushaf Usmani, benar sanadnya, itulah bacaan. Ketiga sendi ini, bila rusak salah
satunya, itu cacat, meski itu datangnya dari qira’ah sab’ahi.
3. Perbedaan qira’ah ternyata dapat mempengaruhi penafsiran, misalnya surah Al-Maidah ayat 2.
4. 10 Imam Qira’ah adalah Ibnu Katsir, Imam Nafi’, Imam ‘Ashim bin Nujub bin Bahladah Al Asadi Al Kufi,
Imam Hamzah, Imam Al Kuzai, Imam Abu Amr, Imam Abu Amir, Ya’qub, Khalaf dan Abi Ja’far. Sejarah
terpilihnya 10 Imam Qira’ah ini adalah berdasarkan kapasitas intelektualnya.
B. Saran
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan mengenai qira’at, yang merupakan salah satu cabang dari Ulumul
Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Chirzin, M. Ag., Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1954.
Subhi Ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Muhammad Ibn ‘Alawi Al Maliki, Samudera Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2003.
Manná Khalil Al Qattán, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: Litera AntarNusa, 1973.
http://cakrowi.blogspot.com/2012/07/qiraat-terhadap-studi-tafsir-jami-al.html
Belajar Ulumul Quran
Senin, 12 Februari 2018

Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at

1. Latar Belakang Historis


Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini,
yaitu:

Suatu ketika Umar bin Khathtab membaca Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan
membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah SAW. Maka beliau menjawab dengan
sabdanya, yang artinya :
“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam
tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,”

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu
pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di
berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti
qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari
guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang
empat belas.

Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu
Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transpormasi
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada
akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.

Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar
dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at, mengembangkan wajah-
wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang dan
yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang
mereka utamakan.

2. Latar Belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)

Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula
dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau
diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar
dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri.

Hal itulah yang mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk


perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :

a) Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk
kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil
Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya,
sehingga dibaca “Bil Bakhli”, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga
menjadi “Bil Bukhli”.

b) Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya
pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak
perjalanan kami”. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id”
karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca “ba’ada” yang berarti kedudukannya
menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh.

c) Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya,
sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat
259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami
menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya
(kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf (Za’) diganti dengan huruf
(ra’) sehingga berubah bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).

d) Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya
tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya
“……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan”. Dalam ayat tersebut terdapat
bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-
bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.

e) Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya
pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”.

f) Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah


dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-
benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at
sakrat al-haqq bin al-maut”. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan
kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah
sekarat yang benar-benar dengan kematian”.

g) Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam
surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa
menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan
sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.

3. Penyebab Perbedaan Qira’at

Sebab-sebab munculnya beberapa Qira’at yang berbeda adalah:


a) Perbedaan Qira’at Nabi, artinya dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya,
Nabi memakai beberapa versi Qira’at.

b) Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai Qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin
waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di
dalam Al-Qur’an.

Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”.

Padahal ia menghendaki “hatta hin”.

Ada riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi Qira’at yang ada atau
perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.

c) Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya Al-
Qur’an.

d) Perbedaan syakh, harakah atau huruf.

Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222:

Kata yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”.

Jika dibaca Qira’at pertama, maka berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-
istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu).

Sedangkan Qira’at kedua berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu)
sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”
http://belajarulumulquran.blogspot.com/2018/02/latar-belakang-timbulnya-
perbedaan.html?m=1
di Februari 12, 2018
Berbagi

3 komentar:

1.

Unknown12 Mei 2020 pukul 20.55

Trimakasih kasih banyak atas informasinya, semoga blog ini bermanfaat buat
semuanya
Balas

2.

Unknown14 Mei 2020 pukul 20.01

Penyebab terjadinya qiraat apa ya


Balas

3.
4. Penyebab munculnya perbedaan qira’at menjadi

5. perdebatan yang cukup serius di kalangan ulama

6. mutaqaddimin. Ada yang mengatakan bahwa perbedaan

7. qira’at itu disebabkan karena Allah Swt yang yang me-

8. nurunkan melalui malaikat Jibril AS, kemudian bacaan yang

9. berbeda-beda tersebut diajarkan oleh Nabi Saw kepada para

10. Sahabat, adanya perbedaan taqrir dari Nabi Saw yang ber-

11. kaitan dengan adanya berbagai macam lahjat di kalangan

12. orang-orang Arab. Dan ada pula yang menyebutkan bahwa

13. perbedaan qira’at itu hasil rekayasa dari Imam qira’at.

14. Sedangkan menurut kalangan Orientalis, adanya per-

15. bedaan qira’at disebabkan karena tidak adanya tanda titik

16. dan harkat.

17. Berdasarkan analisis pendapat-pendapat para ulama,

18. menurut hemat penulis ada dua faktor yang melatar-

19. belakangi munculnya perbedaan qira’at tersebut. Adapun

20. kedua faktor itu adalah sebagai berikut;

21. BAB III

SEBAB MUNCULNYA PERBEDAAN

A. Faktor Internal Al-Qur’an

Turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf seperti yang

disebutkan di dalam beberapa riwayat pada bab sebelumnya

menjadi pintu masuk munculnya perbedaan qira’at,

meskipun para ulama masih memperdebatkan pengertian

sab‘atu ahruf. Namun, terlepas dari perbedaan dalam

pemaknaan sab‘atu ahruf itu, tersirat makna bahwa Allah


Swt memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk

membaca dan memahami isi kandungan Al-Qur’an.

Berbicara tentang faktor internal, ada beberapa hal

yang menyebabkan munculnya perbedaan qira’at dari Al-

Qur’an itu sendiri, seperti;

Pertama, perbedaan qira’at yang diajarkan oleh Nabi

Saw. Ketika mengajarkan Al-Qur’an, Nabi tidak hanya

mengajarkan dalam satu bacaan, ini dikuatkan dengan

hadis yang mengatakan bahwa Al-Qur’an turun dengan

tujuh huruf. Ketika terdapat perbedaan, Sahabat selalu

menyandarkan kepada Nabi, kemudian Nabi membenar-

kan mereka. Inilah yang menjadi dalil bagi qira’at mutawatir

dengan sanad yang sahih sampai kepada Nabi.

Kedua, perbedaan turunnya Al-Qur’an. Setiap bulan

Ramadhan, Jibril AS selalu datang kepada Nabi untuk

mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, kemudian Nabi

mengulang pula bacaan tersebut kepada para Sahabat

dengan beberapa huruf. Sesama mereka adakalanya

berbeda dengan yang lain, tetapi tidak banyak. Perbedaan

turun ini dapat dilihat dalam kisah Umar bin Khattab

berdebat dengan Hisyam bin Hakim tentang bacaan pada

surat al-Furqan sebagai berikut;

Telah bercerita kepada kami Said ibn ‘Ufair, dia berkata:

telah bercerita kepada kami al-Laith, dia berkata: telah

bercerita kepada kami ‘Uqail dari Ibn Shihab, dia berkata

telah bercerita kepada kami ‘Urwah ibn Zubair bahwa

Miswar ibn Makhzamah dan ‘Abdurrahman ibn ‘Abd al-


Qari’ telah mengabarinya, bahwa keduanya mendengar

‘Umar ibn Khattab berkata: Suatu hari semasa Rasulullah

masih hidup, aku mendengar Hisyam bin Hakim

membaca surat al-Furqan, dan aku mendengar baik-baik

bacaannya, tapi tiba-tiba ia membaca beberapa huruf yang

tidak pernah aku dengar dari Rasulullah, sehingga aku

hampir mengingkarinya ketika ia sedang shalat. Akhirnya

aku tunggu sampai ia selesai dari shalatnya. Setelah itu,

aku menarik bajunya lalu aku katakan kepadanya, “Siapa

yang membacakan surat ini kepadamu?”, ia menjawab,

“Rasulullah yang membacakan kepadaku”. Aku pun

berkata keadanya, “Engkau berdusta, demi Allah,

Rasulullah tidak pernah membacakan surat itu kepadaku

seperti apa yang telah kamu baca”, lalu aku mengajak

Hisyam untuk menghadap kepada Rasulullah, kemudian

aku bertanya, “Wahai Rasulullah, aku mendengar orang

ini membaca surat al-Furqan dengan huruf-huruf yang

tidak pernah engkau ajarkan kepadaku”. Rasulullah pun

menjawab, “Wahai ‘Umar lepaskan dia. Bacalah wahai

Hisyam!”. Hisyam lalu membaca sebagaimana yang aku

dengar tadi. Kemudian Rasulullah bersabda,

“Demikianlah Al-Qur’an itu diturunkan.” Dan bacalah,

wahai ‘Umar, aku pun membaca seperti yang aku dengar

dari Nabi. Rasulullah bersabda, “Demikianlah Al-Qur’an

itu diturunkan”. Sesungguhnya Al-Qur’an itu

diturunkan dengan tujuh huruf. Oleh karena itu, bacalah

mana yang mudah dari salah satu dari tujuh huruf

tersebut”.
Perbedaan yang ada pada mushaf utsmani hanya

sedikit, para Sahabat memisahkan perbedaan tersebut pada

catatan mereka masing-masing.

46 Ketiga, tidak adanya naqt (tanda titik)dan syakl (tanda

harkat/baris), sehingga memunculkan ijtihad Imam qira’at

terhadap kalimat Al-Qur’an yang diperselisihkan. Pendapat

ini muncul dari kalangan orientalis seperti Ignaz Goldziher

dan Theodore Noldeke. Menurut Noldeke, perbedaan karena

tidak adanya titik pada huruf-huruf resmi dan perbedaan

karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk

dari huruf-huruf yang diam (tidak terbaca) merupakan

faktor utama lahirnya perbedaan qira’at dalam teks yang

tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya kurang

jelas.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ignaz Goldziher

bahwa perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an adalah akibat

kekeliruan dalam penulisan bahasa Arab zaman dulu, yang

tidak ada titik dan tidak ada tanda harakat. Goldziher

menyuguhkan contoh potensial sebagai berikut; ْُ


ْ ََ‫و‬

َ ُ‫ ِ ْنو‬

 َ ْ َ
   ْََْ ِ
ِ َ dapat dibaca; َ ُ‫ ِ ْنو‬
 َْ
 ْَِْَ
ْُ
ْ ََ ‫و‬.

Pendapat kalangan Orientalis ini mendapat tentangan

dari sarjana Muslim karena terkesan mengada-ada dan

meminggirkan sisi ke-mukjizatan dan intrinsik Al-Qur’an

itu sendiri. Disamping itu, kalangan Orientalis melupakan

tradisi pengajaran lisan yang sangat kental di kalangan

orang Arab. Tradisi lisan ini menjamin bacaan-bacaan Al-

Qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir sampai kepada

Nabi dan Al-Qur’an itu sendiri terjaga keaslian dan ke-


murniannya sampai akhir zaman.

B. Faktor Eksternal

Selain faktor dari Al-Qur’an itu sendiri, juga terdapat

faktor eksternal yang menjadi sebab munculnya perbedaan

qira’at. Sebagai kitab suci, Al-Qur’an dibaca dan dipelajari

oleh semua kalangan umat Islam yang berasal dari berbagai

suku, bahasa dan budaya mereka masing-masing. Terkait

hal ini, ada beberapa faktor eksternal yang menjadi sebab

terjadinya perbedaan qira’at, seperti berikut;

Pertama, perbedaan taqrir Nabi terhadap qira’at Sahabat.

Misalnya ketika orang Huzail membaca “  ‫ى‬


َ

” dengan

“ْ ‫ى‬
َ

” , padahal yang dikehendaki adalah
“   ‫ى‬
َ

” .

Nabi tidak menyalahkan karena begitulah orang Huzail

mengucapkan dan menggunakannya. Begitu juga ketika

orang Asadi membaca “َ ْ‫ن‬



 َُْ ْ
 َُْ ُ” dengan “َ
ْ‫ن‬ 
 ُِْ ْ
 ُِْ ُ” , bacaan

“ ُ‫ ْه‬‫و‬
 ُ ُ َ‫د‬ ْ 
َ ” dengan “ُ‫ ْه‬‫و‬
 ُ ُ ‫ َد‬

 ِْ” . Nabi pun memperbolehkan

karena begitulah orang Asadi melafalkannya. Maka karena

itulah Allah memberikan kelapangan sesuai bahasa mereka

sebagai kemudahan dalam agama.

Kedua, perbedaan riwayat dari Sahabat. Sahabat

mengambil qira’at yang berbeda-beda dari Nabi, diantara

mereka ada yang mengambil satu huruf, ada yang dua

huruf atau lebih. Selanjutnya para Sahabat mengajarkan

kepada para Tabi’in qira’at yang didapatnya tersebut, dan

para Tabi’in mengajarkan pula kepada generasi sesudahnya,

sampai seterusnya sehingga qira’at tersebut masyhur di

kalangan umat Islam.


Ketiga, perbedaan bahasa dan dialek(lahjat). Masyarakat

Arab yang heterogen tentunya memiliki bermacam-macam

bahasa dan dialek antara satu dengan yang lainnya.

Sebagian sarjana Muslim, diantaranya Ibnu Qutaibah dan

Abu Syamah mengatakatan bahwa perbedaan qira’at Al-

Qur’an muncul karena perbedaan bahasa dan dialek (lahjat)

yang terjadi di kalangan suku bangsa Arab waktu itu.

Pendapat tersebut didasarkan atas sebuah riwayat dari al-

Dahak dari Ibnu Abbas bahwa Allah Swt menurunkan Al-

Qur’an sesuai dengan bahasa suku-suku di kalangan bangsa

Arab.

Menurut Abu Syamah, membaca Al-Qur’an selain

dengan dialek Quraisy merupakan suatu kebolehan, dalam

rangka memberikan dispensasi kepada orang-orang Arab.

Dengan demikian, sangat tidak layak jika suatu kaum atau

suku dipaksa harus membaca Al-Qur’an dengan dialek

kaum atau suku yang lain (yang tidak mereka kuasai). Ini

artinya, seorang tidak boleh dipaksa (ada takhfif) dan perlu

diberi kelonggaran untuk membaca Al-Qur’an sesuai

kemampuan yang ia miliki.

Jika ada suatu kaum yang dialek sehari-harinya meng-

gunakan imalah (suku Tamim, Qais, dan Asad), meringan-

kan hamzah, membaca idgham, membaca dhammah mim

jama‘atau yang lainnya, maka mereka tidak boleh dipaksa

membaca yang lain.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thaha Husayn,

pemikir modern asal Mesir yang mengatakan di dalam

buku terkenalnya Fi al-Adab al-Jahili seperti yang dikutip


oleh Taufik Adnan Amal, bahwa munculnya perbedaan

qira’at Al-Qur’an disebabkan adanya perbedaan dialek di

kalangan para pembaca awal, yang berasal dari berbagai

suku di Arabia. Menurutnya, Al-Qur’an dibaca dalam satu

bahasa dan satu dialek, yaitu dialek Quraisy. Tetapi, ketika

para qurra’ dari berbagai suku mulai melakukan pembacaan

atas kitab suci Al-Qur’an, keragaman bacaan pun muncul,

kondisi itu merefleksikan perbedaan-perbedaan dialek di

kalangan mereka.

Gagasan Husayn ini agak berbeda dari ide pemaknaan

sab‘atu ahruf sebagai keragaman dialek dalam pembacaan

Al-Qur’an. Di sini, secara tegas dikemukakan penolakan

terhadap ragam-ragam bacaan yang bervariasi sebagai

bacaan otentik dari Nabi. Bahkan menurut Husayn, ketujuh

bacaan (al-qira’at al-sab’), yang dipandang oleh kalangan

tradisional sebagai bacaan yang mutawatir,sama sekali tidak

ada kaitannya dengan wahyu, tetapi karena keragaman

dialek suku-suku di kalangan kaum Muslimin Arab awal.

Karena itu, setiap Muslim memiliki hak untuk memper-

debatkannya, menolak atau menerimanya secara keselu-

ruhan atau sebagian.

Pembahasan tentang qira’at menunjukkan bahwa ilmu

qira’at merupakan ilmu yang membahas tentang tata cara

pengucapan kata-kata Al-Qur’an berikut cara penyampai-

annya, hal ini bisa diwujudkan ketika seorang Imam qira’at

lansung ber-talaqqi kepada sang guru. Bacaan-bacaan

tersebut adakalanya disepakati dan adakalanya diikhtilaf-

kan. Perbedaan-perbedaan yang bacaan harus sesuai


dengan bacaan Imam qira’at yang dirujuk dengan cara

menyandarkan setiap bacaannya kepada salah seorang

imam qira’at.

Sejarah sudah mencatat bahwa perbedaan qira’at

sudah ada semenjak masa Rasulullah Saw, kemudian

berkembang pada masa selanjutnya sehingga menjadi salah

satu cabang di dalam ‘ulumul qur’an.

Tidak semua ayat memiliki perbedaan qira’at. Ayat-

ayat yang padanya terdapat perbedaan terkadang berim-

plikasi terhadap penafsiran dan tak jarang pula meng-

hasilkan hukum yang berbeda. Adapun yang berpengaruh

terhadap penafsiran mencakup wilayah kajian sharf

(morfologi) dengan berbagai perbedaan pada bentuk

ataupun susunan kalimatnya.

C. Aspek-aspek Perbedaan Qira’at

Perbedaan qira’at Al-Qur’an dapat dikelompokkan

berdasarkan beberapa aspek, para ulama telah menge-

lompokkan beberapa segi perbedaan tersebut, antara lain

Ibnu Qutaibah, Ibnu al-Jazari yang bersumber dari al-

Qurtubi, sebagai berikut:

1) Perbedaan harakat dan syakl, tanpa adanya perbedaan

makna ataupun bentuk tulisan. Ini terdapat pada QS.

Al-Baqarah [2]: 282;

ٌ ْ َ ٌ‫و‬ 


 ‫َُر‬ ‫َُْ ْ َو‬
   
َ
 


  ‫اَذِا‬
ُْ‫او‬
  ْ ‫اَو‬

Kata “‫ر‬
َ
ُ  َ ‫“ )و‬dibaca fathah ra-nya) dapat pula dibaca

“‫ر‬
َ
ُ  َ ‫“ )و‬dibaca dhammah ra-nya), hal ini tanpa

merubah makna maupun tulisan.

2) Perbedaan harakat dan syakl, yang berimplikasi


terhadap perbedaan makna namun tulisannya tetap.

Contohnya pada QS. Al-Baqarah [2]: 37

ِ
ْ َ َ‫ب‬ 
 
ٍ
  ْ‫ ر‬ِُَ‫اد‬

 

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari

Tuhan-Nya”.

Dapat pula dibaca:

ِ
ْ َ َ‫ب‬ 
 
ً
  ْ‫ ر‬ِُَ‫اد‬

 

“Kemudian Adam diberikan kalimat dari Tuhan-Nya”.

3) Perbedaan huruf, yang berimplikasi terhadap perbedaan

makna dan bentuk tulisannya. Contoh pada QS. Al-

Baqarah [2]: 259

َ
ُِْُ ‫ ْ َم‬

 ِْ  ِ  ِ‫ ْ ْا‬ْ‫ا َمو‬
‫ ا‬

Kata “َ

ُِْُ ‫“ م‬dengan huruf zal yang berarti Kami (Allah)

menyusunnya kembali tulang-belulang itu. Kemudian

dapat juga dibaca “َُِْ 


   
ُِْ  ‫“ م‬dengan huruf ra yang berarti

Kami menghidupkannya kembali.

4) Perbedaan huruf, dan berbeda tulisan, namun makna-

nya tetap. Contohnya terdapat pada QS. Al-Qari’ah

[101]: 5

ْ 
‫ش‬ 
   َْ ‫ ا‬  

ِْ ُ‫ل‬
َِ ْ‫ا ُ ن‬
   ََ ‫و‬

Kata “ِْ 


  
” bisa pula dibaca ِ ْ‫ف‬ yang
bermakna

sama yaitu, bulu. ) Perbedaan huruf, dan berbeda tulisan serta berimplikasi

terhadap perbedaan makna. Contohnya pada QS. Al-

Waqi’ah [56]: 29

ٍ‫ ْد‬

 ُْ  ‫َطو‬

Kata “‫“ َطو‬dengan huruf ha yang berarti pohon pisang

bisa dibaca “‫“ َطو‬dengan huruf ‘ain yang berarti


pemandangan.

6) Perbedaan dalam hal al-taqdim (mendahulukan) dan al-

ta’khir (mengakhirkan) kalimat tertentu dalam susunan

ayat. Contohnya dalam QS. At-Taubah [9]: 111

َ ْ‫ن‬ 
  ُ
َُ ْ‫ َو ن‬

 َُ ََُ
ُ ِ‫ ا‬
ْ 
ِ 
َ

ْ ِَ ْ‫ن‬

 ُِ  ُُِ
ِ

Bisa juga dibaca terbalik:

َ ْ‫ن‬ 
  َ
َُ ْ‫ َو َن‬

 َُ َُُ
َ ِ‫ ا‬
ْ 
ِ 
َ

ْ ِَ ْ‫ن‬

 ُِ  ُُِ
ِ

7) Perbedaan dalam bentuk al-ziyadah (penambahan) dan

al-nuqsan (pengurangan) kalimat atau lafaz tertentu

dalam susunan ayat. Contohnya pada QS. At-Taubah [9]:

100

ُ
 ْ ‫م‬‫ا‬
َْ     ْ‫ي‬
 
َْ   
ٍَّ َُْ   َ  ‫اَو‬


Ditambah huruf “ْ


ِ” sebelum kata “ ” sehingga

berbunyi:

ُ
 ْ ‫م‬‫ا‬
َِْ     ْ
ِ ْ‫ي‬
َْ   
ٍَّ  َُْ   َ  ‫اَو‬


. Hikmah Perbedaan Qira’at

Terlepas dari faktor-faktor yang menjadi latarbelakang

munculnya perbedaan qira’at di atas, tidak dapat dipungkiri

bahwa dengan adanya perbedaan qira’at terkandung

banyak hikmah, di antaranya sebagai berikut:

a) Adanya perbedaan qira’at dapat memperkokoh

kesatuan umat Islam. Karena dengan diturunkannya Al-

Qur’an yang mengandung variasi bacaan tentunya akan

sesuai dengan kemampuan mereka, sehingga setiap

kelompok umat Islam tidak saling mengklaim Al-

Qur’an adalah milik kelompok tertentu saja.

b) Perbedaan qira’at merupakan keringanan dan ke-


mudahan bagi umat Islam secara keseluruhan

c) Menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an terutama dari

aspek lughawi-nya, karena dengan adanya berbagai

macam qira’at dapat menggantikan kedudukan ayat-

ayat yang bisa menjadi banyak jika tidak dipadatkan

dalam qira’at

d) Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-

Qur’an

e) Merupakan kemuliaan dan keutamaan umat Muham-

mad Saw atas umat-umat terdahulu. Karena bisa jadi

kitab-kitab terdahulu turun hanya dengan satu segi dan

dalam satu qira’ah saja, berbeda dengan Al-Qur’an yang

turun dalam sab’atu ahruf.

Anda mungkin juga menyukai