Secara luat Keaksaraan didefinisikan sebagai pengetahuan yang dasar dan keterampilan yang
diperlukan oleh semua warga negara dan menjadi salah satu pondasi bagi penguasaan kecakapan -
Kecakapan hidup yang lain.
Pendidikan Keaksaraan ialah usaha untuk membimbing dan membelajarkan pengetahuan mengenal
Keaksaraan (calistung). agar bermanfaat.
Pendidikan Keaksaraan dindonesia lebih dikenal dengan program Pendidikan Keaksaraan Fungsional.
Sehingga secara terminologi (istilah) fungsional dalam keaksaraan berkaitan erat dengan fungsi
dan /atau tujuan dilakukannya pendidikan Keaksaraan.
Filsafat keaksaraan memandang hakekat Keaksaraan sebagai instrumen yang sangat terkait dengan
peradapan manusia berupa kemampuan Calistung sebagai indur bahasa yang digunakan oleh setiap
bangsa didunia.
Qiraat
Sejarah dan Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’ah
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid
Al-Qasim bin Sallam (W. 224 H). Ia menulis sebuah kitab dengan nama Al Qira’at yang menghimpun qira’at
dari 25 orang perawi.
Adapun latar belakang antusias para ulama memelihara qira’at yang diriwayatkan, menurut Ibnul Jazari, karena
pada abad ke 3 H kebohongan meluas, sedangkan ilmu mengenal Al-Qur’an dan as-Sunnah telah banyak sekali
cabang-cabangnya.
Di sisi lain kaum muslimin sangat memerlukan ilmu qira’at sebagai upaya menjaga dan memelihara Al- Qur’an
dari perubahan-perubahan dan pemutarbalikan.
Ilmu qira’ah ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Hanya saja belum dibukukan pada abad ke 3 H. Pada
masa itu qira’ah terbatas pada para sahabat yang menekuni bacaan (qira’ah) Al-Qur’an, mengajarkan ayat-ayat
yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW., kemudian menghapalkannya. Terkadang mereka
membaca ayat-ayat itu di hadapan Nabi agar disimak.
Sebagian sahabat menjadi guru. Orang-orang yang belajar kepada mereka yang meriwayatkannya dengan
menyebutkan sanadnya dan mereka sering mengahafalkan qira’ah yang diriwayatkan dari guru mereka.
Pengahapalan dan periwayatan dengan cara seperti ini adalah sesuai dengan masanya. Sedang tulisan yang
digunakan pada waktu itu adalah tulisan Kufi yang tanpa baris dan/atau titik. Dalam tulisan satu ini dapat dibaca
dengan beberapa cara. Konsekuensinya sesorang harus belajar langsung kepada guru, kemudian menghapalkan
dan meriwayatkan.
Selain itu, kebanyakan orang pada waktu itu masih buta huruf, tidak bisa baca tulis dan belum mengenal cara
menjaga pelajaran selain menghafal dan meriwayatkan. Cara ini dapat terus diikuti dalam masa-masa
berikutnya. Maka melihat metode penerimaan dan periwayatan qira’ah ini, para imam qurra’ itu dapat
digolongkan dalam kelompok-kelompok yang mewaikili pada masanya. Dimulai para Imam Qurra pertama, dari
kalangan para sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar di masa hidup beliau. Sebagian dari mereka telah
menghimpun Al-Qur’an secara lengkap. Di antara mereka Usman, Ali, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tzabit,
Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari.
Kelompok kedua adalah para Tabi’in, yang merupakan para murid kelompok pertama yang mempunyai halaqah
di kota-kota seperti Makkah, Madinah, Kufah, Basrah dan Suriah. Di Makkah antara lain Ubaid bin Umair,
Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus, Mujahid dan Ikrimah. Di Madinah, Ibnul Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin
Abdul Aziz, Sulaiman bin Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundub dan Zaid bin Aslam. Di Kufah, ‘Alqamah, Al
Aswad, Masruq, Ubaidah dan lain-lain. Di Basrah, Abu Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin Ashim, Hasan Al Basri,
Ibnu Sirin, Qafadah dan Yahya bin Ya’mar. Sedangkan yang tinggal di Syuriah antara lain Mughirah bin Abi
Syihab, Seorang murid Usman dan Khalifah bin Sa’id seorang murid Abu Darda.
Kelompok ketiga adalah para ulama qurra’ yang hidup pada abad pertengahan kedua abad Hijriyah. Mereka
adalah kelompok yang belajar pada imam qurra’ kedua. Di antara mereka, di Makkah, Ibnu Katsir, salah
seorang dari tujuh imam qurra’ah; Humaid bin Qais Al A’raj dan Muhammad bin Abu Muhaisin. Di Madinah,
Abu Ja’fah Yazid bin Al Qa’qa, Syaibah bin An Nafah dan Nafi bin Nuaim, salah seorang dari tujuh imam
Qira’ah. Di Kufah, Yahya bin Wastab, Ashim bin Najud, Hamzah dan Kisa’i. Tiga orang terakhir termasuk
tujuh imam Qira’ah. Di Basrah, Abdullah bin Abi Ishak, Isa bin Umar, Abu Amr bin Al A’la salah seorang dari
tujuh imam Qira’ah, Ashim al Jahdari dan Ya’kub Al Hadhrami. Di Syuriah, Abdullah bin Amir, salah seorang
dari tujuh imam Qira’ah, Athiyah bin Qais Al Kijabi dan lain-lain.
Kelompok keempat adalah mereka yang meriwayatkan Qira’ah dari kelompok ketiga, antara lain Ibnu Iyasy,
Hafsh dan Khalaf. Sedangkan kelompok kelima adalah para pengkaji dan penyusun ilmu qira’ah antara lain,
Abu UbaidAl Qusaim bin Salam, yang disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun buku tentang qira’ah;
Ahmad bin Jubair Al Kufi dan Ismail bin Ishak Al Malikim, dua orang murid Dalun, Abu Ja’far bin Jarir At-
Thabari dan Mujahid. Sesudah kelompok kelima medan pembahasan dan pengkajian ilmiah tentang ilmu qira’ah
bertambah luas sehingga orang-orang seperti Abu Dani dan As Syatibi menulis risalah dalam bentuk prosa
maupun puisi.
Setelah mengetahui pemaparan tentang sejarah dan latar belakang timbulnya ilmu qira’ah, maka penulis
berpendapat bahwa ilmu qira’ah ini sangat penting, karena memelihara dan menjaga Al-Qur’an dari
pemutarbalikkan mengingat telah banyak cabang-cabang ilmu untuk mengenal Al-Qur’an sehingga takut jika
ada kebohongan, meskipun ada perbedaan dialek yang dikarenakan bangsa Arab juga terbagi-bagi menjadi
beberapa suku yang berbeda dan perbedaan kapasitas intelektual, selain itu tulisan Arab dahulu adalah tulisan
yang tanpa baris, yang dapat dibaca dengan berbagai cara, serta cara penerimaan qira’ah juga berbeda-beda.
Suatu ketika Umar bin Khathtab membaca Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan
membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah SAW. Maka beliau menjawab dengan
sabdanya, yang artinya :
“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam
tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,”
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu
pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di
berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti
qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari
guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang
empat belas.
Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu
Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transpormasi
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada
akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.
Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar
dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at, mengembangkan wajah-
wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang dan
yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang
mereka utamakan.
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula
dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau
diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar
dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri.
a) Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk
kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil
Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya,
sehingga dibaca “Bil Bakhli”, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga
menjadi “Bil Bukhli”.
b) Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya
pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak
perjalanan kami”. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id”
karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca “ba’ada” yang berarti kedudukannya
menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh.
c) Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya,
sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat
259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami
menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya
(kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf (Za’) diganti dengan huruf
(ra’) sehingga berubah bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d) Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya
tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya
“……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan”. Dalam ayat tersebut terdapat
bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-
bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e) Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya
pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”.
g) Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam
surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa
menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan
sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.
b) Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai Qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin
waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di
dalam Al-Qur’an.
Ada riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi Qira’at yang ada atau
perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
c) Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya Al-
Qur’an.
Kata yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”.
Jika dibaca Qira’at pertama, maka berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-
istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu).
Sedangkan Qira’at kedua berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu)
sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”
http://belajarulumulquran.blogspot.com/2018/02/latar-belakang-timbulnya-
perbedaan.html?m=1
di Februari 12, 2018
Berbagi
3 komentar:
1.
Trimakasih kasih banyak atas informasinya, semoga blog ini bermanfaat buat
semuanya
Balas
2.
3.
4. Penyebab munculnya perbedaan qira’at menjadi
10. Sahabat, adanya perbedaan taqrir dari Nabi Saw yang ber-
tersebut”.
Perbedaan yang ada pada mushaf utsmani hanya
jelas.
َ ُ ِ ْنو
َ ْ َ
ََْْ ِ
ِ َ dapat dibaca; َ ُ ِ ْنو
َْ
ََِْْ
ُْ
ْ ََ و.
B. Faktor Eksternal
“ْ ى
َ
” , padahal yang dikehendaki adalah
“ ى
َ
” .
“ ُ ْهو
ُ ُ َد ْ
َ ” dengan “ُ ْهو
ُ ُ َد
ِْ” . Nabi pun memperbolehkan
Arab.
kaum atau suku yang lain (yang tidak mereka kuasai). Ini
kalangan mereka.
imam qira’at.
Kata “ر
َ
ُ َ “ )وdibaca fathah ra-nya) dapat pula dibaca
“ر
َ
ُ َ “ )وdibaca dhammah ra-nya), hal ini tanpa
ِ
ْ َ َب
ٍ
ْ رَُِاد
Tuhan-Nya”.
ِ
ْ َ َب
ً
ْ رَُِاد
َ
ُُِْ ْ َم
ِْ ِ ِ ْ ْاْا َمو
ا
Kata “َ
ُُِْ “ مdengan huruf zal yang berarti Kami (Allah)
[101]: 5
ْ
ش
َْ ا
ِْ ُل
َِ ْا ُ ن
ََ و
sama yaitu, bulu. ) Perbedaan huruf, dan berbeda tulisan serta berimplikasi
Waqi’ah [56]: 29
ٍ ْد
ُْ َطو
َ ْن
ُ
َُ ْ َو ن
َُ ََُ
ُ ِ ا
ْ
ِ
َ
ْ َِ ْن
ُِ ُُِ
ِ
َ ْن
َ
َُ ْ َو َن
َُ َُُ
َ ِ ا
ْ
ِ
َ
ْ َِ ْن
ُِ ُُِ
ِ
100
ُ
ْ ما
َْ ْي
َْ
ٍَّ َُْ َ اَو
berbunyi:
ُ
ْ ما
َِْ ْ
ِ ْي
َْ
ٍَّ َُْ َ اَو
dalam qira’at
Qur’an