Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril, dan
kemudian Rasulullah membacakannya kepada para sahabat. Para sahabat
memperoleh ayat-ayat al-Quran dengan mendengarkan, membaca dan
menghafalkan secara lisan dari mulut ke mulut, penyampaian seperti ini
dilakukan lantaran al-Quran belum dibukukan seperti saat sekarang. Kemudian
pada masa sahabat sudah disatukan dalam satu mushhaf. Penyatuan al-Quran
dalam satu mushaf tersebut merupakan ijtihad khalifah Abu Bakar r.a. atas
usulan Umar bin Khattab r.a. Setelah itu, pada masa khalifah Usman bin Affan
r.a. mushhaf al-Quran disalin dan diperbanyak, dan dikirim ke daerah-daerah
Islam. Hal ini dilakukan khalifah Usman, lantaran adanya perselisihan diantara
kaum muslimin mengenai bacaan al-Quran, mereka berlainan dalam menerima
bacaan ayat-ayat al-Quran karena Nabi mengajarkan cara bacaan yang sesuai
dengan dialek masing-masing. Hal ini menimbulkan perselisihan, karena
sebagian umat Islam membenarkan bacaan yang mereka baca dan menyalahkan
bacaan yang lain, bisa dikatakan bahwa kejadian ini merupakan pangkal
munculnya ilmu qiraat. Selanjutnya makalah ini akan membahas tentang ilmu
qiraat, mulai dari definisi qiraat, objek kajian ilmu qiraat, sejarah munculnya
ilmu qiraat dan manfaat mempelajari ilmu qiraat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian qiraat?


2. Apa saja syarat-syarat qiraat yang muktabar?
3. Apa saja macam-macam qiraat?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Qiraat


Ilmu qiraat adalah dua susunan kata yaitu ilmu dan qiraat. Qira’at (‫)قراءات‬
secara bahasa adalah bentuk plural (jamak) dari qira’ah (‫ )قراءة‬yang mana qira’ah
merupakan masdar sima’iy (kata dasar tidak beraturan)1.
Sedangkan menurut istilah, imam al-Zarkasyi mendefinisikan sebagai “
Perbedaan-perbedaan lafal-lafal al-Quran baik yang menyangkut huruf-huruf yang
tersusun di dalam al-Quran ataupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti
takhfif, tasydid dan lain-lain”2 . Jika dilihat dari sudut pandang al-Zarqani, qiraat
adalah suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang
berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an dengan kesesuaian
riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf
ataupun pengucapan bentuknya.3 Walaupun dari dua definisi diatas keliatan sedikit
berbeda karena al-Zarqani memberikan definisi yang lebih rinci dengan
menyebutkan penyebab terjadinya perbedaan qiraat itu terjadi, namun pada
dasarnya kedua definisi tersebut secara umum menjelaskan tentang ragam bacaan
al-Quran. Dengan demikian ilmu Qiraat adalah ilmu yang mempelajari tentang
ragam bacaan al-Quran.
Dalam mempelajari ilmu qiraat ada beberapa term yang harus diketahui
terlebih dahulu, ada Qiraat, Riwayat dan Thariqah.
1. Qiraat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari
qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Seperti qiraat Nafi dan qiraat
Ibnu Katsir.

1
Muhammad Abu al-Azhim Al-Zarqani, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1988) hal. 412
2
Muhammad Abdullah al-Zarkasyî, Al-Burhân fî Ulûmi al-Qurân (Beirut : Dâru al-Kitabu
‘Ilmiyyah, 1988) hal. 419
3
Muhammad Abu al-Azhim Al-Zarqani, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân hal. 412

2
2. Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi,
dimana perawi tersebut meriwayatkan bacaan dari para qurra’ yang tujuh,
sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi,
yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan “ riwayat Qalun ‘an Nafi ”
atau “ riwayat Warsy ‘an Nafi”.
3. Thariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil
qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani,
maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-
Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min
tariq al-Azraq.

B. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Qiraat


1. Qiraat Sebelum Masa Kodifikasi
Al-Quran diturunkan kepada Nabi saw. kemudian Nabi saw
membacakannya kepada para sahabat, sahabat membacakannya kepada
sahabat lain hingga sampai kepada tabiin dan orang-orang setelah mereka.
dengan ini bisa dilihat bahwa tumpuan utama periwayatan al-Quran adalah
dari lisan ke lisan lain yang artinya bahwa periwayatan al-Quran pada
dasarnya berdasarkan hafalan hati , bukan berdasarkan tulisan mushaf dan
kitab. Penjagaan al-Quran dengan hati ini sangat berbeda dengan penjagaan
kitab-kitab sebelumnya oleh Ahl Kitab karena mereka tidak mampu
menajaga hafalan mereka kecuali dengan tulisan dan mereka tidak membaca
kitab mereka kecuali sedikit saja4. Pada masa Rasulullah, para sahabat
berbeda satu sama lain dalam mengambil periwayatan dari Rasulullah, ada
yang mengambil satu huruf, ada yang mengambil dua huruf dan ada yang
mengambil lebih dari dua huruf dan kemudian meriwayatkannya lagi
kepada sahabat yang lain5.

4
Ibn Al-Jazarî, An-Nasyr fî al-Qira’ât al-Asyr (Beirut: Dâru al-Fikr, tt) hal.6
5
Muhammad Abu al-Azhim Al-Zarqani, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân hal. 413

3
Setelah Nabi saw. wafat timbul kericuhan diantara sahabat-sahabat Nabi
yang disebabkan oeh perbedaan bacaan al-Quran. Perbedaan ini
dikarenakan perbedaan pengambilan qiraat atau bacaan dari para sahabat,
kebanyakan orang-orang mengambil qiraat sahabat yang terkenal
dikalangan mereka, misalnya warga syam menggunakan qiraat Ubay ibn
Ka’ab, warga kufah menggunakan qiraat Abdullah ibn Mas’ud dll6.
Sebagian umat Islam membenarkan bacaanya dan menyalahkan bacaan
yang lain, klaim kebenaran ini berlanjut hingga terjadi perselisihan diantara
umat Islam bahkan pertikaian ini menyebabkan sebagain orang
mengkafirkan sebagian yang lain. Untuk mencegah pertikaian yang terjadi
itu maka Usman memerintahkan Said ibn Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sai’d
ibn ‘As dan Abdurrahman ibn Haris untuk menyalin ayat al-Quran dalam
satu mushaf. Mushaf yang ditulis pada masa Usman adalah mushaf standar
yang tulisannya mencakup atau menampung beragam bacaan yang ada, dan
jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang
lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf
sab’ah dan berbagai qira’at yang ada7.
2. Qiraat Pada Masa Tadwin
Setelah proses kodifikasi atau pengumpulan ayat al-Quran ini selesai,
maka Usman megirimkan mushaf dan qari yang sesuai dengan mushaf yang
dibawanya untuk dibacakan ke seluruh kawasan Islam. Masing-masing
umat dala satu kawasan membaca mushaf yang ada pada mereka, mereka
belajar membaca ayat al-Quran dari para sahabat yang mendengar bacaan
al-Quran dari Nabi saw. Periwayatan dan Talaqqi (guru membaca dan murid
mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqah dan dipercaya
merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan
tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw. kepada para sahabatnya.
Ahli-ahli qiraat di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai
kawasan Islam. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara

6
Muhammad Abu al-Azhim Al-Zarqani, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân hal. 210
7
Ibn Al-Jazarî, An-Nasyr fî al-Qira’ât al-Asyr hal.7-8

4
lain: Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman
dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan
Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri,
Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam. Yang tinggal di Makkah, yaitu:
‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn
Abu Malikah. Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad,
Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun,
Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’,
Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu
Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d8.
Kemudian sebagian dari orang-orang yang belajar al-Quran itu ada
yang sangat bersungguh-sungguh dan tekun sehinnga menghabiskan waktu
siang dan malamnya untuk mempelajari bacaan al-Quran, sehingga warga
setempat sepakat untuk mengikuti bacannya. Para imam yang bersungguh-
sungguh inilah yang pada akhirnya dinisbatkan qiraah kepada mereka9.
3. Peranan Beberapa Ulama dalam Pertumbuhan Ilmu Qiraat
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa
pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang
pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin
Salam yang (w: 224 H). Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang
menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa
orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman
bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan
demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-
Qur’an.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at
Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam

8
Ibn Al-Jazarî, An-Nasyr fî al-Qira’ât al-Asyr hal.8-9
9
Ibn Al-Jazarî, An-Nasyr fî al-Qira’ât al-Asyr hal.9

5
qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam
mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih
banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya,
akan tetapi ia membatasi dengan hanya memasukkan tujuh orang yang
dianggap paling tsiqah dan amanah saja. Pembatasan terhadap tujuh orang
yang dilakukan oleh ibnu mujahid ini tidak dimaksudkan untuk membuang
qiraat-qiraat yang lainnya, atau tidak membenarkan qiraat-qiraat yang
lainnya10. Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah
mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan
hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang
awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis
Nabi.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab
Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qira’at
al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi
Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya
Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara
karya Imam al-Dimyati al-Banna.

C. Macam-Macam Qira’at
1. Qira’at dari segi kualitas
Klasifikasi qira’at berdasarkan pada jumlah perawi menurut al-
Suyuti yang didukung oleh Ibn al-Jazari, membagi menjadi 6 (enam)
macam11, yaitu:
a. Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari sekelompok orang yang tidak mungkin terjadi
kesepakatan diantara mereka untuk berbuat kebohongan. Para ulama
maupun para ahli hukum Islam sepakat bahwa qira’at yang

10
Muhammad Abu al-Azhim Al-Zarqani, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân hal. 415
11
Jalaluddin as-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 2008) h. 109-118

6
berkedudukan mutawâtir adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai
qira’at Al-Qur’an.12 Ia sah dibaca di dalam maupun di luar shalat.
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu
mutawâtir.13
Contoh: Qira’at sab’ah
b. Qira’at Masyhur
Qira’at Masyhur adalah qira’at yang memiliki kualitas sanad shahih
yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm Utsmani. Jenis qira’at
ini cukup masyhur dikalangan ahli qira’at dan sama sekali tidak
mengandung unsur kekeliruan maupun syadz. Hanya saja jumlah perawi
dalam sanadnya tidak mencapai mutawatir.
Contoh dari qira’at ini banyak dijumpai dalam bab farsy al-huruf
baik dalam kitab al-Syathibi, Ibn al-Jazari, maupun al-Dani. Qira’at ini
boleh dibaca dan wajib diyakini keberadaannya dan tidak boleh
diingkari.
c. Qira’at Ahad
Qira’at Ahad adalah qiraat yang kualitas sanadnya bersih dari cacat,
akan tetapi menyalahi rasm Utsmani dan tidak sesuai dengan kaidah
bahasa Arab. Jenis qira’at ini tidak boleh dibaca dalam shalat dan tidak
wajib meyakininya keberadaannya.
Contoh qira’at ini adalah qira’at yang diriwayatkan oleh al-Hakim
dari jalur ‘Ashim al-Jahdari, dari Abu Bakrah. Sesungguhnya Nabi Saw.

membaca ( ‫حسان‬ ‫) متكئين على رفارف خضر وعباقري‬


d. Qira’at Syadz
Qira’at Syadz adalah qira’at yang kualitas sanadnya tidak shahih.

Contoh: ( ‫ ) ملك يوم الدين‬lafadz maliki pada ayat tersebut dibaca dengan
shighat fi’il madhi, dan lafadz yaum dibaca dengan i’rab nashab.

12
Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh,
(Kuala Lumpur: Nurulhas, t.t.), h. 42-43.
13
Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân (t.tp.: Maktabah al-Ma’arif,
1421 H/ 2000 M), h. 179.

7
e. Qira’at Maudhu’
Qira’at Maudhu’ adalah qira’at yang diriwayatkan oleh seorang perawi
tanpa memiliki asal-usul yang jelas.
Contoh: Dalam hal ini Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i (w. 408/1017)
telah menghimpun beberapa qira’at yang dikategorikan sebagai qira’at
maudhu’.
f. Qira’at Mudraj
Qira’at Mudraj adalah bacaan yang disisipkan dalam al-Qur’an oleh
perawinya sebagai penafsiran.
Contoh: pada qira’at Ibn ’Abbas, yakni

‫ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضال من ربكم فى مواسم الحج أخرجها البخارى‬
2. Qira’at dari segi kuantitas
Berdasrkan jumlah perawi dan mengacu pada validitas keabsahan qira’at,
ulama’ membagi qira’at pada tiga kategori, yaitu:
1. Qira’ah Sab’ah
Adalah qira’at yang diriwayatkan oleh tujuh imam qira’at dengan
masing-masing imam mempunyai dua orang perawi. Tujuh qira’at ini
dihimpun dan dipopulerkan oleh Abu Bakar ibn Mujahid (w. 324 H).
2. Qira’ah ’Asyrah
Adalah qira’at yang diriwayatkan oleh sepuluh imam qira’at.
Jumlah sepuluh tersebut terdiri atas qira’ah sab’ah ditambah tiga qira’at
lain.14

D. Peran Ibnu Mujahid dalam Perkembangan Ilmu Qiraat


Walaupun kehadiran Mushaf Ustmani telah meredam polemik varian bacaan
pada saat itu, namun mushhaf itu belum mampu menghapus perbedaan bacaan yang

14
Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits…, hal. 180

8
muncul, bahkan semakin lama semakin banyak qirâ`ah yang muncul sehingga sulit
dibedakan mana bacaan yang benar dan mana yang batil. Untuk menghentikan
gejala ini, para ulama yang ahli dalam bidang qirâ`ah segera bertindak melakukan
penyeleksian qirâ`ah yang berkembang saat itu15. Gerakan ini, pada abad ke-2 dan
ke-3, melahirkan banyak sekali ahli qirâ`ah. Sehingga muncul lagi inisiatif untuk
membatasi qirâ`ah, yakni qirâ`ah yang diakui adalah yang sesuai dengan rasm
mushaf ‘Utsmani. Pada abad ke-4, kemudian muncul Ibn Mujâhid (w.324 H) yang
menghimpun dan membatasi qirâ`ah dan imamqirâ`ah menjadi tujuh. Semenjak
Ibn Mujâhid mengenalkan qirâ`ah imam yang tujuh itu, maka ketujuh qirâ`ah itu
menjadi populer di dunia Islam.
Nama lengkap Ibnu Mujahid adalah Ahmad bin Musa bin Al 'Abbas bin
Mujahid At Taimi Al Baghdadi. Dilahirkan di sebuah daerah yang dinamakan Suq
Al 'Athasy di kota Bagdad pada tahun 245 H. Beliau meninggal dunia pada hari
Rabu pada tanggal 11 Sya'ban tahun 324 H16. Ibnu Mujahid adalah seorang yang
tekun dalam menuntut ilmu. Hingga bila dihitung, guru-gurunya lebih dari lima
puluh orang. Namun dalam makalah ini tidak semuanya disebutkan, diantaranya;
Abdurrahman bin Abdus, Muhammad bin Abdurrahman al Makhzumi al Makî,
Abdullah bin Katsir al Muadib al Bagdadi. Beliau juga mengajarkan ilmunya
kepada murid-muridnya, diantaranya; Abu Tohir Abdul Wahid bin Umar bin Abi
Hisyam, Al Hasan bin Said al Mathu’I, Abu Ahmad Abdullah bin al Husain as
Samiri.
Kehadiran Ibnu mujahid dengan mengumpukan qiraat saba’ah dalam kitabnya
maka setelah itu dikenallah sebutan qira’ah sab’ah, yaitu bacaan yang disandarkan
kepada tujuh imam yang masyhur yang dipilih oleh Ibnu Mujahid sebagai imam
terbaik, namun kesalahan yang sering terjadi adalah orang-orang menyamakan
antara qiraah sab’ah yang disusun oleh Ibnu Mujahid sebagai Imam terbaik dengan
sab’atu ahruf yang mana al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, sehingga banyak
yang beranggapan bahwa al-Quran tujuh huruf adalah bacaan-bacaan yang disusun

15
A. Athaillah, Sejarah Alquran Verisikasi otensitas Alquran, (Banjarmasin, Antasari
Press, 2006), hal. 194
16
Ibnu al Jazary ad Dimasyqi, Ghoyatu an Nihayah fi Tobaqati al Qura', (Dar al Kutub al
'Ilmiah; Baerut tth), hal: 61.

9
oleh Ibnu Mujahid. Maka komentar-komentar mirng tentang Ibnu Mujahid
bermunculan, bahwa ia telah membuat keraguan antara qiraat sab’at dan sab’atu
ahru, pada dsarnya Ibnu Mujahid tidak menyamakan antara qiraat sab’ad dan
sab’atu ahruf, qiraat-qiraat yang muncul disebabkan oleh sab’atu ahru sangatlah
banyak dan kemudia ia menyusun tujuh qiraat terbaik dan termashur sebagai upaya
memudahkan orang-orang dalam mempelajari ilmu qiraat.

E. Faedah mempelajari ilu qiraat Ilmu Qiraat


Hukum memoBerdasarkan penjelasan-penjelasan diatas bisa disimpulkan
bahwa faedah mempelajari il Qiraat sangatlah banyak, diantaranya adalah :
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan
dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-
Qur’an.
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at
menunjukkan sesuatu hukum tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.

BAB III
PENUTUP

10
A. KESIMPULAN
Ilmu Qiraat adalah ilmu yang mempelajari ragam bacaan al-Quran. Al-
Quran diturunkan dalam bentuk tujuh huruf. Tujuh huruf diartikan dengan
tujuh bahasa, tujuh dialek dan tujuh bentuk. Al-Quran yang diturunkan dengan
tujuh huruf ini lah yang akhirnya membuat al-Quran dibaca dengan beragam
bacaan. Sebelum alquran dikodifikasi pada masa usman terjadi berbagai
kericuhan lantaran beragamnya bacaan al-Quran yang ada ditengah
masyarakat, yang berujung pada pengumpulan mushaf, yaitu mushaf standar
yang menampung beragam bacaan dalam mushaf tersebut. Setelah proses
kodifikasi selesai khalifah Usman memerintahkan mengutus para sahabat
dengan membawa mushaf usmani ke seluruh kawasan Islam, para utusan ini
lah yang mengajarkan al-Quran di tempatnya masing-masing. Prosese
pembelajaran tersebut tidak terhenti begitu saja dan terus berlanjut sehingga
melahirkan para Imam Qurra yang termashur.

DAFTAR PUSTAKA

11
As-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 2008).

Athaillah, Sejarah Alquran Verisikasi otensitas Alquran, (Banjarmasin, Antasari


Press, 2006).

Ibn Al-Jazarî, An-Nasyr fî al-Qira’ât al-Asyr (Beirut: Dâru al-Fikr, tt).

Ibnu al Jazary ad Dimasyqi, Ghoyatu an Nihayah fi Tobaqati al Qura', (Dar al


Kutub al 'Ilmiah; Baerut tth).

Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat
Tujuh, (Kuala Lumpur: Nurulhas, t.t.).

Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân (t.tp.: Maktabah al-


Ma’arif, 1421 H/ 2000 M).

Muhammad Abdullah al-Zarkasyî, Al-Burhân fî Ulûmi al-Qurân (Beirut : Dâru al-


Kitabu ‘Ilmiyyah, 1988)

Muhammad Abu al-Azhim Al-Zarqani, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân


(Beirut: Dâr al-Fikr, 1988)

Muhammad Abu al-Azhim Al-Zarqani, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân.

12

Anda mungkin juga menyukai