Anda di halaman 1dari 13

RASM AL-QUR’AN

Siti Khairani Itsnainy


Uin Alauddin Makassar
sitikhairaniitsnainy@gmail.com

A. PENDAHULUAN
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Qur’an telah ditulis dan
didokumentasikan oleh para penulis wahyu yang langsung ditunjuk oleh
Rasulullah SAW. Di samping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan atau
diriwayatkan secara mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan, ditulis dan
dibukukan dalam satu mushaf.
Al-Qur’an yang dimiliki umat Islam sekarang mengalami proses sejarah
yang unik hingga menjadi satu mushaf. Ilmu yang membahas penulisan Al-
Qur’an ini dikenal dengan ilmu Rasm Al-Qur’an. Sebagian besar menisbatkan
Rasmul Qur’an ini kepada khalifah Utsman bin Affan yang telah memberikan
tugas, sehingga disebut juga Rasm Utsmani.
Para ahli tata bahasa Arab atau dikenal dengan Nuhat, telah menciptakan
berbagai aturan dasar dan kaidah (al-qawa’id al-imla’) tetapi ada perbedaan pada
bentuk tertentu dalam mushaf yang dikodifikasi para sahabat pada zaman
khalifah Utsman ini. Dalam perkembangannya pula, beberapa ulama berbeda
pendapat tentang status Rasm Utsmani ini, apakah bersifat tauqify atau ijtihadi,
mengingat Rasm Utsmani ini disusun oleh manusia.
Untuk mengerucutkan pembahasan ilmiah ini, maka penulis merumuskan
masalah dalam empat pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa pengertian Rasm Qur’an atau Rasm Utsmani?
2. Apa latar belakang munculnya Rasm Utsmani?
3. Apa saja kaidah dalam Rasm Utsmani?
4. Apa pendapat para ulama tentang Rasm Utsmani?
5. Bagaimana modifikasi Rasm Utsmani seiring waktu?
2

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Rasm Al-Qur’an
Secara terminologi rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, rasman
yang berarti gambar atau coretan atau bentuk tulisan. Kata rasm juga bisa
diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut aturan. Jadi rasm adalah
bentuk penulisan yang mempunyai aturan tertentu.1
Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu
metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang disetujui oleh khalifah
Utsman bin Affan. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-
Rasmul ‘Utsmání lil Mushaf (penulisan mushaf Utsmani), dengan dinisbahkan
kepada Utsman.2
Majma’ al-Buhus al-Islamiyat dalam Ichwan mengemukakan bahwa
rasm Al-Qur’an (rasm al-mushaf) adalah ketentuan atau pola yang digunakan
oleh Utsman bin Affan bersama sahabat-sahabatnya dalam penulisan Al-
Qur’an, berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya yang terdapat dalam
mushaf yang dikirim ke berbagai daerah dan kota serta mushaf imam yang
berada di tangan Utsman bin Affan sendiri.3Rosihon Anwar juga menjelaskan
bahwa rasm Al-Qur’an ialah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan
pada masa Khalifah Utsman bin Affan.4
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Rasm Al-
Qur’an atau Rasm al-Mushaf atau Rasm Utsmani adalah tata cara penulisan
kalimat-kalimat dan huruf-huruf Al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat
sesuai dengan kaidah yang disetujui oleh Utsman bin Affan. Sedangkan
mushaf yang berhasil dikodifikasi ini disebut mushaf al-Imam.

1
Abdul Ghofur Amin, Rasm Al-Qur’an: Penulisan Al-Qur’an,
2
Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 182.
3
Mohammad Nor Ichwan, Belajar Al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Melalui
Pendekatan Historis-Metodologis (Semarang: Rasai;, 2005), h. 133.
4
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 83.
3

2. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Utsmani


Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antar satu dengan yang
lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar,
karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak
direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Ali al-Shobuni membagi ke dalam dua masa tentang pengumpulan dan
penulisan Al-Qur’an, yaitu masa rasulullah SAW, dan masa
khulafaurrasyidin. Telah diketahui bahwa pengumpulan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) pengumpulan dalam
dada dengan cara menghafal, dan (2) pengumpulan dalam wujud tulisan, yaitu
menulis dan mengukirnya.5 Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah
penyusunan surah dan ayat secara sistematis, namun belum terkumpul dalam
satu mushaf melainkan dalam keadaan terpisah pisah. Ada sejumlah bahan
yang digunakan untuk menyalin atau menulis wahyu-wahyu yang diturunkan
Allah kepada Muhammad, antara lain: riqa’ (lembaran lontar), likhaf (batu
tulis berwarna putih, terbuat dari batu kapur), ‘asib (pelepah kurma), aktaf
(tulang belikat unta), adlla’ (tulang rusuk unta), dan adim (lembaran kulit).6
Dalam proses penulisan di zaman Rasulullah SAW. yang bertugas
menulis Al-Qur’an yaitu Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Said,
Khalid bin Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Setiap kali menerima
wahyu Rasulullah SAW memanggil para sekretarisnya untuk menulis wahyu
yang baru diterimanya. Wahyu yang ditulisnya, satu naskah disimpan Nabi
SAW, dan lainnya untuk penulis.7
Di zaman khalifah Abu Bakar, terjadi perang Yamamah sehingga
banyaknya para qura’ yang terbunuh. Maka Umar Bin Khattab dengan segera
pergi ke tempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Umar

5
Muhammad Ali al-Shobuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an, terj. Muhammad Qodirun Nur (Jakarta:
Pustaka, t.th), h. 69.
6
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 151.
7
Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 163.
4

khawatir meninggalnya para qura’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang


Yamamah, kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam. Kemudian Abu
Bakar mengutus Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu di zaman
Rasulullah untuk mengemban tugas ini. Setelah Al-Qur’an selesai
dikumpulkan dan ditulis, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, dan beliau
menyimpan baik-baik hingga wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia digantikan
oleh Umar bin Khattab yang kemudian disimpannya naskah itu. Dan setelah
wafatnya Umar Bin Khattab, naskah itu kembali diserahkan kepada Siti
Hafsah.8
Di zaman khalifah Utsman, terjadi perang Armenia dan Azerbaijan
dengan penduduk Irak. Hudzaifah yang ikut menyerbu kedua tempat itu
melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian
bacaan itu bercampur dengan kesalahan, bahkan mereka saling mengkafirkan.
Melihat kenyataan demikian, Hudzaifah segera menghadap khalifah Utsman.
Setelah mendengar laporan Hudzaifah tersebut, Utsman mengirimkan utusan
kepada Hafsah untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Kemudian Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said
bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Hisyam, yang kemudian disebut ‘panitia
empat’,9 untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Kata Utsman, “Jika
kalian bertiga dan Zaid bin Tsabit berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an,
maka tulislah dengan ucapan atau lisan Quraish karena Al-Qur’an
diturunkan dengan lisan Quraish.”10
Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban
oleh ‘panitia empat’ tersebut antara lain: (a) Tidak menulis sesuatu dalam
mushaf, kecuali telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Qur’an yang dibaca

8
Munawir Khalil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa (Semarang: Ramadhani, 1952), h . 24.
9
Riwayat lain mengatakan bahwa sahabat yang diberi tugas ini oleh khalifah Utsman adalah 12
orang, Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), 99.
10
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2011), h. 192-193.
5

Nabi; (b) Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Qur’an, tulisan mushaf
bebas dari titik dan syakal; (c) Lafadz yang tidak dibaca dengan bermacam-
macam bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafadz yang dibaca
dengan lebih satu qira’at ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tiap
mushaf; dan (d) Menggunakan bahasa Quraish karena Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa tersebut. 11
Setelah ‘panitia empat’ menyelesaikan tugasnya, Utsman
mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian mengirimkan
beberapa mushaf ke berbagai kota. Para ulama menyebut cara penulisan ini
sebagai Rasm al-Mushaf. Karena cara penulisan ini disetujui oleh Utsman,
maka para ulama menyebutnya dengan Rasm al-Utsman atau Rasm Utsmani.

3. Kaidah Penulisan Mushaf


Rasm Utsmani memiliki kaidah tertentu yang diringkas oleh para ulama
menjadi enam kaidah. Kaidah-kaidah tersebut sekaligus membedakannya
dengan kaidah imla’. Selanjutnya kaidah-kaidah ini, menurut Adnan Amal,
merupakan karakteristik ortografi mushaf Utsmani. Dalam karyanya al-
Muqni’ fi Ma’rifah Marsum Mashahif Ahl al-Amshar, Abu Amr al-Dani
sebagaimana dikutip oleh Adnan Amal, mendokumentasikan karakteristik
ortografi mushaf Utsmani yang menyimpang dari kaidah-kaidah ortografi
yang lazim dikenal di kalangan sarjana bahasa Arab. 12 Dari beberapa literatur,
penulis meringkas keenam kaidah tersebut, yaitu:13
1. Hazf al-harf
Dalam kaidah ini dielaskan bahwa terdapat 3 huruf yang secara umum di
buang, yaitu alif, ya‘, dan waw. Ada juga yang menambahkan lam dan nun
a) Membuang alif; jika berada pada ya‘ nida‘, ha‘ tanbih, dhamir Naa
(mutakallim ma‘al ghair) ditengah kalimat, isim ‘ajam, jamak mudzakkar
salim, jamak muannats salim, alif tasniyah, alif diantara dua lam,

11
Anwar, Ulum al-Quran, 45.
6

beberapa lafadz khusus seperti ‫ ذلك‬,‫ لكن‬,‫الرّحمن‬


b) Membuang ya’ mufrodah ashliyah, ya’ mufrodah za’idah, membuang
ya‘ ganda.
c) Membuang waw yang pada fiil mudhori‘ mu‘tal akhir (yang tanpa sebab,
bukan karena posisinya majzum) dan pada waw yang ganda.
d) Membuang lam jika ganda.
e) Membuang nun jika ganda
Contohnya : (‫ يوم يدعو‬,‫ يأتي هللا( )يوم يدع‬,‫)و سوف يأت هللا‬
2. Ziyadah al-harf
Penambahan huruf ada 3 macam, yaitu penambahan alif, ya‘, waw. Seperti:
(‫)مالقوا ربهم()أللى األلباب()من وراءى حجاب‬
3. Penulisan hamzah
Hamzah ditulis dengan bentuk alif ‫ ؤ‬,‫ ئ‬,‫ أ‬atau tanpa bentuk (menggunakan
kepala ain saja (‫)ء‬, seperti ‫ أول‬,‫ يؤمنون‬,‫ملئكة‬
4. Ibdal al-harf
Penggantian huruf adakalnya mengganti alif dengan waw, waw dengan alif,
ya‘ dengan alif, penggantian ta‘ marbuthah dengan ta‘ maftuhah, seperti (
‫ نعمت هللا‬, ‫ دعو( )نعمة هللا‬,‫ الصلوة( )دعا‬,‫)الصالة‬
5. (Pemisahan kata pada 17 kata-kata sebagaimana berikut:
‫في ما – كل ما – ابن أم – يوم هم – حيث ما – فمال – الت حين – أم من – أن ما – إن لم – أن لم‬
‫ أن ال‬- ‫– إن ما – من ما‬
Penyambungan pada 17 kata sebagaimana berikut :
– ‫فيم – أما – نعما – عم‬- ‫مهما – ويكأن – ألن – ربما‬- ‫وزنوهم – مم – كأنما‬- ‫يبنؤم – كالوهم‬
‫ أينما‬- ‫بئسما‬- ‫كيال‬
6. Penulisan kata yang mempunyai dua bacaan qira‘at ditulis dengan salah
satuny, seperti ‫ مالك‬,‫ملك‬

4. Pendapat Para Ulama Tentang Rasm Utsmani


Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan Rasm
7

Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah seputar hukum Rasm
Utsmani ini apakah dapat dihukumkan tauqifi, yaitu diajarkan langsung oleh
Rasulullah SAW, atau ini adalah hasil ijtihad para sahabat terdahulu.
Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada tiga (3) golongan, antara
lain:

a) Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani itu bersifat


tauqifiy, yakni bukan produk budaya manusia dan wajib dipakai dalam
penulisan Al-Qur’an, dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah
sahabat-sahabat yang ditunjuk12 dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan
tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat
tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.13 Untuk pendapat ini,
mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi
pernah berpesan kepada Mu’awiyah: “Letakkanlah tinta. Pergunakanlah
pena. Luruskan huruf ba’, bedakan hurus sin dan janganlah kamu
miringkan huruf mim. Dan perbaguslah tulisan lafadz Allah,
panjangkan lafdz al-rahman, baguskan lafadz al-rahim, dan letakkanlah
penamu di telinga bagian kirimu, karena dengan demikian akan
mengingatkan kamu.”
b) Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah bersifat
tauqifiy, melainkan bersifat istilahi, yaitu hanya sebuah istilah atau tata
cara dalam penulisan Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak ada salahnya
menuliskan Al-Qur’an dengan metode atau pola yang berbeda dengan
metode yang terdapat pada Rasm Utsmani.14 Di antara ulama yang
berpendapat seperti itu adalah Imam bin Khaldun dalam
“Muqaddimah”nya dan Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dalam “Nukat al-
Intishar”. Pendapat mereka karena Rasm Utsmani ini tidak ada dalil nash
12
Anwar, Ulum Al-Qur’an, h. 50.
13
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 95.
14
Ichwan, Belajar Al-Qur’an, h. h143.
8

dari Al-Qur’an, hadits atau perkataan ulama yang memerintahkan dan


melarang secara terang-terangan terhadap penulisan Al-Qur’an dengan
rasm tertentu. Menurut al-Baqillani, Rasulullah SAW tidak pernah
memerintahkan para sahabat untuk menulis Al-Qur’an dengan satu bentuk
tulisan, karena itulah banyak perbedaan penulisan Al-Qur’an dalam
mushaf. Sebagian sahabat menulis kalimat berdasarkan makharijul huruf,
dan yang lain ada yang menambah atau mengurangi tulisan tersebut,
karena mereka tahu bahwa tulisan itu hanya ijtihad para sahabat.
c) Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifiy dari
Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman
dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang
wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Di antara para ulama
yang berpendapat demikian adalah Imam Malik. Asyhab berkata: Malik
ditanya,”Apakah mushaf boleh ditulis menurut kaidah menulisan lain?”
Malik menjawab,”Tidak, kecuali menurut tata cara penulisan pertama.”15
Selain Imam Malik, ulama lain yang sependapat dengan hal ini adalah
Imam Ahmad Bin Hanbal, Nidham al-Din al-Naisaburi dan Imam al-
Baihaqi.

5. Perbaikan dan Penyempurnaan Rasm Utsmani


Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang yang telah
dilengkapi oleh tanda-tanda baca, seperti harakat (syakl) dan tanda titik
(nuqthah). Para sahabat belum menemukan kesulitan membacanya karena
rata-rata masih mengandalkan hafalan. Kesulitan mulai muncul ketika dunia
Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab. Ketika Ziyad bin
Samiyyah menjabat Gubernur Bashrah, pada masa khalifah Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’ali untuk segera membuat
tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-
Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al-Qur’an. Atas perintah tersebut, al-
15
Al-Qaththan, Pengantar, 184.
9

Du’ali memberi tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas
huruf, sebuah titik di bawah huruf sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda
dhammah berupa wawu kecil di antara dua huruf, dan tanpa tanda apa-apa
untuk huruf konsonan mati.
Pada perkembangan selanjutnya, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al –
Azdi membuat kaidah-kaidah tanda baca seperti tanda fathah dengan
membubuhkan tanda sempang di atas huruf, tanda kasrah dengan
membubuhkan tanda sempang di bawah huruf, tanda dhammah dengan
membubuhkan wawu kecil di atas huruf, tanda sukun dengan membubuhkan
tanda kepala huruf ha’ di atas huruf, tanda sajdah dengan membubuhkan
h uruf sin di atas huruf.16
Usaha penyempurnaan penulisan Al-Qur’an ini dilanjutkan pada masa
Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ia memerintahkan al-Hajjaj bin Yusuf al-
Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth Al-Qur’an). Ia
memberikan tugas itu kepada Nashid bin ‘Ashim dan Yahya bin Ma’mur, dua
orang murid al-Du’ali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik di sejumlah
huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, penambahan titik di atas huruf dal yang kemudian menjadi huruf
dzal. Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah huruf dasar ba’, yang
kemudian menjadi huruf ba’, nun, dan ta’. Dan huruf dasar ha’ yang
kemudian berubah menjadi kha’, ha’, dan jim. Huruf ra’ dibedakan dengan
huruf za’, huruf sin dibedakan dengan syin, huruf shad dibedakan dengan
dhad, huruf tha’ dibedakan dengan zha’, huruf ‘ain dibedakan dengan gha’in,
serta huruf fa’ dibedakan dengan qaf. Dari pola penulisan tersebut,
berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola
Kufi, Maghribi, dan Naqsh.17
Kemudian pada perkembangan selanjutnya para ulama berusaha

16
Ichwan, Belajar Al-Qur’an, 151.
17
Ahmad Izzan, ‘Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an
(Bandung: Humaniora, 2009), h. 115.
10

membuat tanda-tanda pada tiap-tiap kepala surah, peletakan tanda yang


memisahkan antara satu ayat dengan ayat lainnya (fashilah), tanda-tanda
waqaf, 30 pembagian Al-Qur’an menjadi juz-juz, dan juz-juz dibagi lagi
menjadi ahzab, dan dari ahzab dibagi lagi menjadi arba’.
Menurut Subhi as-Shalih, Al-Qur’an untuk pertama kalinya dicetak di
Bunduqiyah (Venesia-Italia) pada tahun 1530 M. Pada tahun 1694 M,
Hinkelman mencetak mushaf di kota Hanburg. Lalu tahun 1698 M, Marraci
juga mencetak mushaf di kota Padoue, Italia Utara. Namun tidak ada satupun
dari mushaf tersebut sampai ke tangan orang Islam. Baru kemudian pada
tahun 1787 M, berdiri percetakan Islam yang didirikan oleh Maulaya Utsman
di kota St. Petersbourg (Rusia) dan Qazan. Kemudian di Iran terbit dua
mushaf, satu dicetak di Teheran (1828 M), dan satunya diTibris (1833 M).18

C. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan
antara lain:
1. Rasm Al-Quran (Rasm al-Mushaf atau Rasm Utsmani) adalah tata cara
penulisan kalimat-kalimat dan huruf-huruf Al-Qur’an yang dilakukan oleh
para sahabat sesuai dengan kaidah yang disetujui oleh Utsman bin Affan.
Disebut Rasm Utsmani karena dinisbatkan kepada khalifah Utsman bin Affan
yang menyetujui pola penulisan al-Quran yang ditempuh oleh panitia empat.
2. Sahabat yang diberi tugas oleh Utsman bin Affan untuk mengumpulkan dan
menulis mushaf yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash
dan Abdurrahman bin Hisyam, yang selanjutnya disebut ‘Panitia Empat’.
3. Rasm Usmani mempunyai beberapa kaidah antara lain:
a) Kaidah buang (al-Hadzf)
b) Kaidah panambahan (al-Ziyadah)

18
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), h. 116-117.
11

c) Kaidah hamzah (al-Hamzah)


d) Kaidah penggantian (al-Badal)
e) Kaidah sambung dan pisah (al-Washl wa al-Fashl)
f) Lafadz yang memiliki dua bacaan
4. Ada tiga golongan yang mengemukakan pendapat tentang kedudukan Rasm
Utsmani, yaitu:
a) Jumhur ulama yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani bersifat
tauqifiy, yang tidak boleh dibantah.
b) Ulama yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah bersifat tauqifiy,
melainkan bersifat istilahi, yaitu hanya sebuah istilah atau tata cara dalam
penulisan Al-Qur’an.
c) Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifiy dari
Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman
dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang
wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
5. Perbaikan dan penyempurnaan Rasm Utsmani terus dilakukan oleh para ahli
bahasa dan ulama yang mendalami ilmu Al-qur’an. Dimulai dengan
pemberian tanda titik sebagai penanda harokat oleh Abul Aswad Ad-dualiy.
Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidy membuat tanda baca berupa harokat fathah,
kasroh dan dhommah. Lalu ada Nashid bin ‘Ashim dan Yahya bin Ma’mur,
dua orang murid Abul Aswad al-Du’ali, yang membubuhi titik di sejumlah
huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu daengan lainnya.
12

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta. 1992.

Al-A’zami, M. M. Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Terj.


Sohirin Solihin. Jakarta: Gema Insani Press. 2005.

Al- Qattan, Manna’ Khalil. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terj. Mifdhol
Abdurrahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005.

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa. 2011.

Al-Shobuni, Muhammad Ali. Ikhtisar Ulumul Qur’an. Terj. Muhammad Qodirun


Nur. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. t. th.

Al-Zarqani, Muhammad Abdul ‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an.


Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiy. 1998.

Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Quran. Yogyakarta: FkBA. 2001.

Amin, Abdul Ghofur. Rasm Al-Qur’an: Penulisan Al-Qur’an,


Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia. 2009.

As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus.


Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999

Ichwan, Mohammad. Belajar Al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu Al-


Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis. Semarang: Rasail.
2005.

Izzan, Ahmad. ‘Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-


Qur’an. Bandung: Humaniora. 2009.

Khalil, Munawir. Al-Qur’an dari Masa ke Masa. Semarang: Ramadhani. 1952.

Shihab, M. Quraish, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2001.

Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu. Studi Ulumul Quran: Telaah Atas
13

Mushaf Utsmani. Terj. Taufiqurrahman. Bandung: Pustaka Setia. 1992.

Anda mungkin juga menyukai