Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. Ketika al-Qur’an diturunkan, kondisi

masyarakat pada umumnya belum pandai membaca dan menulis. Kemampuan

baca dan tulis di kalangan masyarakat Arab, khususnya pada awal masa Islam,

sangat rendah. Sehingga ada riwayat yang menyebutkan bahwa jumlah

masyarakat yang pandai menulis pada saat itu tidak lebih dari belasan orang. Hal

ini karena jarangnya alat tulis dan ketidakmampuan menulis yang menyebabkan

mereka lebih mengandalkan pada hafalan. 1

Atas dasar itulah, kecerdasan seseorang dikalangan masyarakat Arab pada

saat itu, dibuktikan dengan kekuatan hafalannya. Sebagaimana perkataan seorang

penyair, Zurrummah kepada seseorang yang melihatnya sedang menulis agar

tidak memberitahukannya kepada orang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya

kemampuan menulis di kalangan kami adalah sebuah aib.”2 Mereka disebut

“ummi” karena tidak dapat membaca dan menulis. Mereka juga dikenal sebagai

bangsa yang memiliki daya hafalan yang kuat serta mampu menghafal ratusan

1
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2013), h. 20.
2
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), h. 72.

1
2

ribu syair, mengetahui hitungan dengan baik, dan hafal jalur pertalian nasab di

luar kepala.3

Hal senada juga dilakukan oleh para sahabat. Sebagian mereka belajar al-

Qur’an dari Nabi, berdasarkan hafalan dan tulisan. Walaupun kuatnya hafalan

para sahabat dan masyarakat saat itu, tidak berarti membuat Rasulullah Saw lupa

akan pentingnya baca-tulis. Hal ini terbukti pada saat turunnya wahyu. Beliau

secara rutin memanggil para penulis wahyu tersebut. “... Zaid bin Ṡābit

menceritakan, bahwa ia sering kali dipanggil diberi tugas penulisan wahyu

turun....”4

Berdasarkan dari kebiasaan Rasulullah Saw, dapat dikatakan bahwa pada

masa itu penulisan al-Qur’an sudah tersedia ke dalam bentuk tulisan, meskipun

masih tercecer dalam berbagai bentuk seperti di kulit binatang, pelepah kurma,

kepingan-kepingan tulang, kayu yang diletakkan dipunggung unta dan bebatuan.5

Namun, pada masa Nabi belum ada upaya untuk melakukan kodifikasi al-Qur’an.

Selain karena wahyu masih turun, juga belum adanya kebutuhan yang mendesak

untuk melakukan upaya tersebut.6

Sepeninggal Rasulullah Saw, Abū Bakar diangkat menjadi khalifah

menggantikannya. Pada masa ini terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-

orang murtad, seperti Musailamah al-Każżāb, memproklamasikan dirinya sebagai

3
Enang Sudrajat, “Pentashihan Mushaf al-Qur’an di Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 6, no.
1 (2013): h. 60.
4
M. Mustofa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, jilid 1.
Penerjemah Sohirin Solihin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 73.
5
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah: Kajian Atas Ilmu
Rasm,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, 2017),
h. 2.
6
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 28.
3

seorang Nabi baru.7 Saat itu, Abū Bakar mengambil inisiatif untuk melawan

pergolakan dengan mengirim pasukan ke beberapa suku yang menentang agar

kembali kepada Islam yang benar.8

Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah

besar sahabat qurra’ (penghafal al-Qur’an).9 Jumlah qurra’ yang meninggal

menurut suatu riwayat disebutkan mencapai 70 orang, dalam riwayat lain

dinyatakan 500 orang. Dari peristiwa itulah menggerakan hati ‘Umar bin al-

Khaṭṭāb untuk meminta kepada Khalifah Abū Bakar agar al-Qur’an dikumpulkan

dan ditulis dalam satu mushaf. Sebab, ‘Umar khawatir akan hilangnya al-Qur’an

jika hanya berpegang pada hafalan para sahabat saja.10

Pada awalnya, Abū Bakar menolak usulan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dengan

berkata, “Wahai ‘Umar, bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah

dilakukan oleh Rasulullah Saw?” Namun ‘Umar tetap bersikukuh dan menjawab,

“Demi Allah, hal ini (pengumpulan al-Qur’an) adalah baik.” Dan ‘Umar selalu

berusaha meyakinkan Abū Bakar dengan usulannya, hingga pada akhirnya Abū

Bakar menyetujui usulan tersebut dan menunjuk Zaid bin Ṡābit sebagai ketua tim

pengumpulan dan penulisan mushaf al-Qur’an. Setelah terkumpul, mushaf itu

berada di tangan Abū Bakar hingga ia wafat. 11

7
M. M. al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an; Dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta:
Gema Insani, 2014), h. 35.
8
Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-
Qur’an dengan Rasm Usmani”, Jurnal Ṣuḥuf, vol. 5, no. 1 (2012): h. 4.
9
Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, jilid, 1. Penerjemah Aunur Rafiq el-
Mazni (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 158.
10
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 28.
11
Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-
Qur’an dengan Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 5.
4

Setelah wafatnya Abū Bakar, pemerintahan berpindah kepada ‘Umar bin

al-Khaṭṭāb. Pada periode inilah, mushaf zaman Khalifah Abū Bakar disalin dalam

lembaran (ṣaḥīfah). Setelah selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah,

istri Rasulullah Saw, untuk disimpan. Pertimbangannya, selain istri Rasulullah

Ḥafṣah juga dikenal sebagai orang yang pandai membaca dan menulis.12

Sepeninggal ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, jabatan khalifah dipegang oleh ‘Uṡmān

bin ‘Affān. Pada masa ini, Islam mengalami banyak perkembangan. Wilayah

Islam semakin luas, dan kebutuhan umat untuk mengkaji al-Qur’an juga semakin

meningkat. Para qurra’ ditugaskan ke berbagai daerah untuk menjadi imam dan

ulama di masing-masing daerah, dengan beragam versi qirā’at (bacaan) yang

dimiliki setiap imam.13

Menurut riwayat al-Bukhārī dari Anas bin Mālik, proses penyalinan

mushaf al-Qur’an di zaman ‘Uṡmān bin ‘Affān bermula ketika Hużaifah bin al-

Yamanī datang menemui ‘Uṡmān, setelah sebelumnya ikut berperang dengan

penduduk Syam dan Irak dalam penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Ia merasa

cemas dengan pertengkaran yang terjadi diantara penduduk dari Syam dan Irak

mengenai qirā’ah al-Qur’an. Ḥużaifah berkata kepada ‘Uṡmān, “Wahai Amīrul-

Mu’minīn, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertengkar mengenai qirā’ah

al-Qur’an, sebagaimana yang terjadi kepada kaum Yahudi dan Nasrani.”

Selanjutnya, ‘Uṡmān mengirim utusan kepada Ḥafṣah dengan berpesan,

“Kirimkanlah kepada kami Ṣuḥuf (lembaran-lembaran al-Qur’an hasil kodifikasi

Abū Bakar), kami akan menyalinnya ke dalam beberapa mushaf, kemudian kami

12
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 29.
13
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 29.
5

akan kembalikan kepadamu.” Selanjutnya Ḥafṣah mengirimkan Ṣuḥuf kepada

‘Uṡmān, kemudian ‘Uṡmān memerintahkan kepada Zaid bin Ṡābit, Sa‘ad bin al-

‘Āṣ, ‘Abdullāh bin al-Zubair, dan ‘Abdurraḥmān bin Ḥāriṡ untuk menyalinnya ke

dalam beberapa mushaf. ‘Uṡmān berpesan kepada keempat orang dalam

kelompok itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Ṡābit mengenai al-

Qur’an, maka tulislah al-Qur’an dalam dialek Quraish, karena al-Qur’an

diturunkan dengan bahasa mereka.” “Selanjutnya mereka mengerjakan, sehingga

setelah menyalin ṣuḥuf tersebut ke dalam beberapa mushaf, ‘Uṡmān mengirim

mushaf yang telah mereka salin ke setiap daerah, dan ia memerintahkan agar

selain al-Qur’an (mushaf yang baru distandarkan) seluruhnya dibakar....”14

Setelah pengkodifikasian pada masa pemerintahan ‘Uṡmān, tidak lagi

muncul persoalan mengenai penulisan mushaf al-Qur’an. Seiring meluasnya

Islam, persoalan kembali muncul pada masa dinasti Bani Umayyah. Masalah

tersebut tidak lagi menyangkut penulisan al-Qur’an, namun justru hanya terkait

tanda diakritik al-Qur’an. Tepatnya pada masa Marwān ibn al-Ḥakam. Pada masa

itu, Marwān bermaksud meminta ṣuḥuf Abū Bakar yang disimpan oleh Ḥafṣah

binti ‘Umar untuk dimusnahkan dengan cara dibakar. Dia beralasan bahwa

Mushaf Usmaniyah sudah ada, dan dengan keberadaan ṣuḥuf itu, dikhawatirkan

belakangan akan memunculkan kembali perselisihan yang baru.15

Persoalan tentang al-Qur’an, tidak hanya pada pengkodifikasiannya namun

adanya perbedaan pandangan ulama terkait hukum penulisan al-Qur’an dengan

14
Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Riyāḍ: Mansyūrāt al-‘Aṣr al-Ḥdīṡ,
1393 H/ 1973 M), h. 129.
15
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani:Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd (Jakarta:
Azzamedia, 2018), h. 40.
6

rasm usmani. Sebagian ulama berpendapat bahwa rasm mushaf bersifat tauqīfī

dengan alasan bahwa “...Para penulis wahyu merupakan para sahabat yang

ditunjuk dan dipercaya oleh Nabi, sehingga pola penulisannya bukan atas ijtihad

para sahabat. Hal ini dikarenakan, para sahabat tidak mungkin melakukan

kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang bertentangan dengan Nabi.”16

Adapun pendapat yang kedua mengatakan bahwa rasm mushaf bukanlah

tauqīfī, melainkan ijtihādī atau sebuah bentuk tulisan yang disetujui oleh Khalifah

‘Uṡmān. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa rasm mushaf

bersifat istilāḥī, yakni mereka membolehkan menulis mushaf selain dengan rasm

‘Uṡmāni.17

Terlepas dari perbedaan diatas, seiring perkembangannya mushaf usmani

tersebar hampir ke seluruh kawasan seperti Basrah, Kuffah, Syam, Makkah,

Madinah dan selanjutnya masuk ke daerah timur seperti Turki, India, Persia,

hingga Afrika. Salah satu wilayah Timur Tengah yang menggunakan kaidah rasm

usmani dalam penulisan al-Qur’an adalah Kerajaan Saudi Arabia.18

Adapun di Indonesia, berdasarkan kesepakatan ulama dalam Musyawarah

Kerja (MUKER) Ulama Ahli al-Qur’an pada tahun 1984 M. Surat Keputusan

Menteri Agama No. 25 menetapkan adanya Mushaf Standar Indonesia (MSI)

memiliki tiga macam, yaitu: 1) Mushaf Standar Usmani untuk orang awas, 2)

Mushaf Bahriyah untuk penghafal al-Qur’an dan 3) Mushaf Braille untuk

16
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 94.
17
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabī al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Jurnal-Refleksi, vol. 13, no. 2 (April 2012): h. 277 -278.
18
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 7.
7

tunanetra. Keputusan ini sebagai pedoman dalam mentashih al-Qur’an serta para

penerbit di Indonesia.19

Peredaran mushaf al-Qur’an di Indonesia mengalami perkembangan yang

sangat pesat. Terbukti dari adanya lembaga yang menangani persoalan

permushafan yaitu, Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Museum Bayt

al-Qur’an Jakarta.20

Salah satu penyebab peredaran mushaf terbitan luar negeri di Indonesia

adalah peran jamaah haji yang membawa al-Qur’an cetakan dari Madinah, dimana

dalam peredarannya tidak melalui tanda tashih dari LPMQ.21 Walaupun Mushaf

Standar Indonesia (MSI) dan Mushaf Madianh (MM) sama-sama menggunakan

rasm usmani, penulis menemukan adanya perbedaan antara Mushaf Standar

Indonesia dengan mushaf terbitan Madinah.

Salah satu contoh perbedaan rasm dalam Mushaf al-Qu’an Standar

Indonesia dan Mushaf Madinah adalah pada kata ‫ابصارهم‬.22 Dalam Mushaf Standar

Indonesia, tetap menggunakan huruf alif diantara huruf ṣad dan ra’. Sedangkan

dalam Mushaf Madinah, membuang huruf alif diantara huruf ṣad dan ra’, dan

memberikan tanda fathah berdiri.23

19
Muhammad Shohib dan Zainal Arifin Madzkur, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia, jilid 1 (Jakarta: LPMA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013), h. 12.
20
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 91
21
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 91
QS. al-Baqarah/2: 7. ‫اب َع هظ ْي ٌم‬ ‫ختم اهلل علَى قُلُو ِبههم وعلَى َسَْعه ه م وعلَى أَب ه ه‬
ٌ ‫صا هرهم غ َش َاوةٌ َّوََلُم َع َذ‬ َ ُ َ ََ
22
َ ْ ََ ْ ََ
23
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa. Menara
Qudus pada mushaf edisi revisi 16 Mei 1974 M/ 23 Rabi’ul Akhir 1394 H., h.3. Dan Mushaf
Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-Ḥaramain al-Syarīfaini al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-
Muṣḥaf pada mushaf edisi tahun 1439 H., h. 3.
8

Contoh lainnya seperti kata ‫صراط‬.24 Dalam Mushaf al-Qur’an Standar

Indonesia, dengan tetap meletakkan huruf alif antara huruf ra’ dan ṭa. Sedangkan

dalam Mushaf Madinah, dengan membuang huruf alif antara huruf ra’ dan ṭa, dan

memberikan tanda fathah berdiri.25

Dari latar belakang diatas, penulis hendak mengkaji lebih dalam perbedaan

rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,

dengan judul Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf Standar Indonesia dan

Mushaf Madinah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu melebar, penulis membatasi

penelitian ini hanya pada dua kajian; Pertama, studi kajian rasm usmani dalam

Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa.

Menara Qudus pada mushaf edisi revisi 16 Mei 1974 M/ 23 Rabi’ul Akhir 1394

H. Dan Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-Ḥaramain al-

Syarīfaini al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-Muṣḥaf pada mushaf edisi tahun 1439 H.

Kedua, hanya pada aspek rasm usmaninya saja, bukan pada harakat dan tanda

diakritiknya.

QS. al-Baqarah/2: 142. ‫اط ُّمستَ هقي ٍم‬


ٍ ‫هصر‬ ‫َل‬ ‫هدى من َ ه‬‫ قُل لِّلَّ هه املش هر ُق و املغ هرب ي ه‬...
َ َ ‫يشآءُ إ‬
24
َ َ َ ُ َ َ
25
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa. Menara
Qudus, h.21. Dan Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-Ḥaramain al-Syarīfaini
al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-Muṣḥaf pada mushaf edisi tahun 1439 H., h. 22.
9

Adapun alasan penulis mengambil Mushaf Menara Kudus, karena mushaf

ini adalah mushaf yang disalin dari Mushaf Turki.Dan Mushaf Turki ini

didasarkan informasi bahwa mushaf ini kurang lebih 99% berasal dari teks al-

Qur’an Usmani. Karena mushaf asli yang distandarkan Khalifah ‘Uṡmān, dewasa

ini tidak akan ditemui sebab mushaf ini musnah bersama dengan terbunuhnya

Khalifah ‘Uṡmān dan jikapun ada itu duplikat orang-orang terdahulu.26 Dan

Mushaf terbitan Menara Kudus ini juga mushaf yang telah distandarkan oleh

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an dengan tanda;

“Berdasarkan Laporan dari Lajnah Pentashihan Mushaf al-


Qur’an Departemen Agama R.I. tanggal 16 Mei 1974, maka dengan ini
dinyatakan: al-Qur’an 30 Juz ukuran 3 cm x 12 cmx 15 cm ang diterbitkan
oleh Fa. “Menara” Kudus, telah selesai ditashih pada tanggal 16 Mei
1974 M / 23 Rabi’ul Akhir 1394 H. Dengan demikian al-Qur’an tersebut
dapat diterbitkan dari diedarkan kepada masyarakat.”27

Rasm usmani yang dimaksud disini adalah batang tubuh tulisan atau

huruf-huruf al-Qur’an yang ditulis dengan menafikan tanda titik dan diakritiknya.

Sebab, titik dan diakritik telah menjadi ilmu sendiri didalam kajian ilmu ḍabṭ28.29

Sedangkan fokus kajiannya, terletak pada rasm yang terdapat dalam surah

al-Baqarah. Surah al-Baqarah adalah surah ke-2 dalam al-Qur’an. “…Surah ini

terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf dan tergolong surah Madaniah.

Surah ini dinamai al-Baqarah yang artinya sapi betina sebab di dalam surah ini

terdapat kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah Swt

26
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 10.
27
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa. Menara
Qudus, pada halam terakhir mushaf sebelum lembaran asmā al-ḥusna.
28
Yaitu harakat, tanda baca atau tanda diakritik pada al-Qur’an. Untuk istilah di luar
pembahasan al-Qur’an biasanya lebih dikenal dengan sebutan syakl. Lihat Zainal Arifin Madzkur,
Perbedaan Rasm Usmani, h. 320.
29
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 16.
10

kepada Bani Israil (ayat 67-74).”30 Adapun alasan penulis mengambil surah ini

karena, merupakan surah dengan jumlah ayat terbanyak dan surah terpanjang

didalam al-Qur’an.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka ada beberapa

permasalahan yang penulis anggap dapat dijadikan kajian utama pada pembahasan

penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana perbedaan antara rasm usmani dalam Mushaf Standar Indonesia

dan Mushaf Madinah?

2. Apa saja faktor penyebab perbedaan antara rasm dalam Mushaf Standar

Indonesia dan Mushaf Madinah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perbedaan antara rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an

Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab perbedaan antara rasm dalam Mushaf al-

Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

30
https://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Baqarah diakses pada tanggal 11 Desember
2018, pukul 13. 40 WIB.
11

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khazanah ilmu

pengetahuan dalam bidang ‘Ulūm al-Qur’ān.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat

luar agar mengenal dan memahami bentuk penulisan (rasm) yang

digunakan dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai salah satu naskah akademik untuk memahami perbedaan rasm

usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.

b. Penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan kajian keilmuan dan

menggerakkan para peneliti-peneliti yang selanjutnya.

E. Kajian Pustaka
Kajian tentang rasm usmani pada dasarnya, bukan kajian pertama dalam

keilmuan al-Qur’an. Beberapa penelitian terdahulu yang telah membahas kajian

yang serupa, akan tetapi tidak menggunakan arah dan fokus pembahasan yang

sama dengan penulis. Diantara hasil tinjauan pustaka terkait mushaf al-Qur’an

Standar Indonesia, Mushaf Madinah, dan kajian ilmu rasm yang ditinjau dari

beberapa aspek, yang penulis temukan diantaranya sebagai berikut:

Eva Nugraha dalam skripsinya yang berjudul, Kaidah Rasm Utsmani Pada

Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,31 dalam skripsi ini penulis menjelaskan

bahwa penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia merujuk pada kaidah rasm

usmani, namun jika dilihat pada penerapannya terdapat beberapa hal yang tidak

31
Eva Nugraha, “Kaidah Rasm Utsmani pada Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,”
(Skripsi S1 Universitas Islam Negeri Bandung, 1995)
12

sesuai dengan apa yang dikaidahkan. Apalagi jika dibandingkan dengan mushaf

usmani terbitan dari luar negeri. Dari hasil kesimpulannya penulis menyebutkan

Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, memang memakai rujukan kaidah rasm

ustmani pada sebagian ayat-ayatnya. Penggunaan kaidah rasm usmani penulis

menyebutkan dengan isitlah Kaffatan dan Kaffatan bil Istisna, namun pada

sebagian lainnya kaidah-kaidah rasm usmani tidak dipakai didalamnya penulis

menyebutnya dengan istilah Tarotan dan Tarotan bil Istisna wal Ikhtilaf.

Muhammad Mustafa al-A’zami dalam bukunya yang berjudul The History

of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation yang dialih bahasakan ke

dalam Bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai

Kompilasi32 yang diterjemahkan oleh Sohirin Solihin dan Ugi Suharto. Buku ini

mencakup pengenalan ringkas tentang al-Qur’an dari segi penulisan dan

sejarahnya. Buku ini juga sebagai bantahan bagi para orientalis yang mengkritik

tentang al-Qur’an dari berbagai dimensi pemikiran. Diantaranya, tudingan

terhadap perbedaan susunan surah-surah, sistem bacaan yang berbeda, kelainan

mushaf sahabat dengan mushaf usmani.

Asep Saefullah menulis dalam jurnalnya Aspek Rasm, Tanda Baca, dan

Kaligrafi pada Mushaf-mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal

jakarta,33 kesimpulan dalam tulisan ini bahwa dalam aspek rasm, mushaf-mushaf

kuno koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal pada umumnya menggunakan

rasm imla’i atau qiyasi. Rasm imla’i tampaknya menjadi gejala umum, sehingga

32
Muhammad Mustafa al-A’zami, The History The Qur’ānic text From Revelation to
Complication dialih bahasakan Sejarah Teks al-Qur’an dari wahyu sampai Kompilasi, jilid 1.
Penerjemah Sohirin Solihin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2005)
33
Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca, dan Kaligrafi pada Mushaf-mushaf Kuno
Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal jakarta,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 1, no. 1 (2008): h. 87-
110.
13

hanya satu dua mushaf saja yang menggunakan rasm usmani. Ini menandakan

bahwa tradisi rasm usmani dalam tradisi penulisan mushaf di Indonesia masa lalu

bukanlah gejala umum. Oleh karena itu, perlu pendalaman lebih lanjut tentang

rasm imlai’i yang merupakan gejala umum dalam tradisi penulisan mushaf di

Indonesia.

Mustofa dalam jurnalnya menulis Pembakuan Qira’at Aṣim Riwayat Ḥafṣ

dalam Sejarah dan Jejaknya di Indonesia,34 dalam tulisan ini ia menjelaskan

bahwa terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi pembakuan dan

penyebaran qira’at ‘Asim riwayat Hafs. Selain kualitas sanad dan kemudahan

qira’at, faktor lain yang turut menyebabkan meluasnya qira’at ‘Asim adalah

faktor kekuasaan. Jejak qira’at ini bisa dilihat melalui penerbitan al-Qur’an di

sejumlah negara, termasuk di Indonesia.

Enang Sudrajat menulis dalam jurnalnya yang berjudul Pentashihan

Mushaf al-Qur’an di Indonesia,35 dalam tulisannya penulis menjelaskan

bagaimana upaya dalam menjaga kesahihan Mushaf al-Qur’an khususnya di

Indonesia sendiri. Diantaranya penulis menyimpulkan ada beberapa upaya dalam

menjaganya, yaitu: pemerintah membentuk Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an

untuk mentashih semua mushaf yang akan dicetak. Usaha lainnya dilakukan oleh

masyarakat muslim melalui pesantren, kajian, dan tahfiz al-Qur’an.

Abdul Hakim menulis dalam jurnalnya yang berjudul Perbandingan Rasm

Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan Mushaf Madianah Analisa

34
Mustofa, “Pembakuan Qira’at Aṣim Riwayat Ḥafṣ dalam Sejarah dan Jejaknya di
Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 4, n. 2 (2011): h. 221-245.
35
Enang Sudrajat, “Pentashihan Mushaf al-Qur’an di Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 6, no.
1 (2013): h. 59-81.
14

Rasm Kata Berkaidah Ḥażf al-Ḥurūf ,36 tulisan ini secara garis besar

membandingkan Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan Mushaf

Madinah dengan fokus pada juz 7, juz 14 dan juz 24. Perbandingan dilakukan

pada kata yang mengandung kaidah ḥazf al-ḥuruf (membuang huruf). Kajian yang

bersifat deskriptif-analitik ini menemukan bahwa Mushaf Standar Usmani dalam

hal rasm memiliki kedekatan dengan Mushaf Pakistan dengan riwayat ad-Dānī,

sedangkan Mushaf Madinah merujuk pada riwayat Abū Dawūd.

Atifah Thoharoh dalam skripsinya yang berjudul, Mushaf al-Qur’an

Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm),37

dalam skripsi ini penulis membandingkan antara Mushaf Standar Indonesia dan

Mushaf Madinah dengan mengacu pada Mushaf Standar Usmani terbitan Turki.

Yang mana menurut penulis dari data yang didapatkan, mushaf Turki ini kurang

lebih 99% berasal dari teks al-Qur’an Usmani. Fokus kajian penulis membahas

rasm usmani yaitu dalam surah al-Qiyamah. Adapun dalam kesimpulannya,

penulis mengatakan bahwa Mushaf Madinah lebih mendekati dalam penulisan

rasm usmani dengan mushaf acuan.

Mungkin dalam judul penelitian, penulis dan judul skripsi ini memiliki

kesamaan namun, dalam fokus kajian tentu berbeda. Didalam skripsi ini, Atifah

ingin melihat diantara dua mushaf yaitu Mushaf al-Qur’an Standar Usmani

Indonesia dan Mushaf Madinah yang paling mendekati kepada mushaf usmani

dengan acuan kepada Mushaf Turki. Adapun dalam fokus kajian penelitannya,

36
Abdul Hakim, “Perbandingan Rasm Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan
Mushaf Madianah Analisa Rasm Kata Berkaidah Ḥażf al-Ḥurūf,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 10, no. 2
(Desember 2017): h. 371-386.
37
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah: Kajian Atas Ilmu
Rasm,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negaeri Tulungagung,
2017)
15

Atifah membahas kepada rasm dan ḍabṭ (tanda diakritik). Sedangkan fokus kajian

penulis dalam penilitian ini hanya terfokus pada kajian rasm usmaninya saja. Dan

perbedaan lainnya, dalam fokus surah yang diambil Atifah yaitu al-Qur’an surah

al-Qiyamah ayat 1-40 sedangkan penulis mengambil contoh al-Qur’an surah al-

Baqarah ayat 1-286.

Adapun hasil dari penelitian Atifah menurut penulis tidak cukup kuat

untuk mengatakan Mushaf Madinah lebih Usmani dibandingkan dengan Mushaf

Standar Indonesia. Karena, contoh yang dijadikan fokus kajiaanya terlalu sedikit,

seharusnya Atifah mengambil beberapa contoh pada surah-surah yang lain.

Dalam hasil penelitiannya disebutkan perbedaan rasm usmani dan ḍabṭnya bahwa

Mushaf Madinah memiliki dua perbedaan kata dengan Mushaf Standar Usmani

sedangkan Mushaf Standar Indonesia memiliki enam perbedaan kata dengan

Mushaf Standar Usmani. Menurut penulis hasil yang dilakukan Atifah terlalu

sempit. Bisa jadi jika dibahas pada surah-surah yang lain, Mushaf Standar

Indonesia lebih banyak mengacu pada Mushaf Standar Usmani dibandingkan

Mushaf Madinah. Jika fokus Atifah ingin mencari mushaf mana yang lebih

usmani seharusnya Atifah membandingkan lebih banyak lagi surah-surah yang

lain. Sehingga hasilnya lebih nampak secara jelas dan signifikan manakah mushaf

yang lebih mendekati pada muhaf acuan.

Zainal Arifin Madzkur dalam bukunya yang berjudul Perbedaan Rasm

Usmani Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia

dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd. Penulis merupakan staf Lajnah

Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kementrerian Agama.

Buku yang berasal dari penelitian disertasi ini ditulis dengan tujuan untuk
16

menemukan argumentasi ilmiah perbedaan penyalinan rasm usmani dalam

Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam

perspektif dua mazhab rasm usmani yakni Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dawūd.

Dalam aspek penelitian Zainal Arifin hanya terfokus perbedaan penulisan rasm

usmani dalam al-Qur’an dalam bab ḥażf al-ḥurf yaitu membuang huruf. 38

Dalam penelitian ini penulis menjadikan buku Zainal Arifin diatas sebagai

data sekunder penulis. Adapun kesamaan penulis dengan penelitian Zainal Arifin

yaitu sama-sama membandingkan rasm usamani diantara Mushaf Standar

Indonesia dengan Mushaf Madinah. Namun dalam fokus kajian dengan penulis

tentu berbeda. Zainal Arifin membandingkan rasm usmani hanya terfokus pada

kaidah ḥażf alif saja. Sedangakan penulis ingin melihat pada semua kaidah rasm

usmani yaitu; ḥażf (membuang huruf), ziyādah (penambahan huruf), hamzah

(penulisan hamzah), al-badal (penggantian huruf), al-waṣl wal faṣl (menyambung

dan memisah kata). Adapun dalam fokus surah Zainal Arifin yaitu semua surah

didalam al-Qur’an 30 juz. Sedangkan fokus penulis hanya mengambil surah al-

Baqarah ayat 1-286.

Selain menulis di dalam buku Zainal Arifin Madzkur juga menulis di

dalam jurnalnya yang berjudul Legalisasi Rasm ‘Uthmānī dalam Penulisan al-

Qur’ān,39 jurnal ini membahas perdebatan tentang penggunaan rasm ‘Uthmānī

dalam menulis al-Qur’an. Membandingkan dan menganalisa pendapat dari tiga

mazhab. Penulis berpendapat bahwa perdebatan harus diakhiri, karena pada

38
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani: Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd (Jakarta:
Azzamedia, 2018)
39
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm ‘Uthmānī dalam Penulisan al-Qur’ān,” Jurnal
Ṣuḥuf, vol. 1, no. 2 (Desember 2012): h. 215-236.
17

prinsipnya, pembacaan Al-Qur'an tidak hanya mengacu pada tulisan teks, tetapi

juga pada jalur riwayatnya. Dalam jurnalnya yang lain Zainal Arifin Madzkur

juga menulis beberapa judul artikel yang menjadi kajian pustaka penulis,

diantaranya:

Mengenal Rasm Usmani Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-

Qur’an dengan Rasm Usmani,40 sedangkan dalam tulisan ini penulis ingin melihat

kembali pembahasan tentang sejarah, kaidah dan hukum penulisan al-Qur’an

dengan rasm usmani. Misalnya dalam konteks kesesuaian penulisan (muwāfaqah

bil-maṣaḥif al-‘uṡmāniyah), pada hakikatnya, secara displin keilmuan rasm

usmani memiliki tiga kategori, yaitu sesuai secara utuh (muwāfaqah tasrīkhiyah),

secara perkiraan (muwāfaqah taqdīriyah), dan sesuai secara memungkinkan

(muwāfaqah ihtimāliyah). Dengan demikian tidak selalu sama persis. Judul

lainnya, Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani

Indonesia,41 pada tulisan ini penulis ingin menjawab sikap skeptis sebagian

kalangan tentang status rasm Usmani Mushaf al-Qur’an Standar Usmani

Indonesia dari aspek riwayat dan epistemologi keilmuannya.

Dari beberapa penulisan dan tinjauan pustaka di atas. Penulis belum

menemukan secara lebih mendetail tentang perbedaan penyalinan rasm usmani

dengan melihat kaidah rasm yang lainnya. Beberapa tulisan pada umumnya hanya

terfokus pada satu kaidah yaitu, dalam kaidah hażf al-ḥuruf (membuang huruf).

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran perbedaan rasm usmani

40
Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-
Qur’an dengan Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 5, no. 1 (2012): h. 1-18.
41
Zainal Arifin, “Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, v. 4, no. 1 (2013): h. 35-58.
18

Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah khususnya dalam surah al-

Baqarah.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data

Penelitan ini adalah penelitian kualitatif. Langkah pertama yang penulis

lakukan yaitu penelitian kepustakaan (library research). Dengan mengumpulkan

sumber-sumber primer dan sekunder dalam ilmu rasm usmani, studi ilmu-ilmu al-

Qur’an (‘ulūm al-Qur’an), Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, Mushaf Madinah

Saudi Arabia. Serta penulis juga menggunakan internet research, untuk mencari

bahan-bahan yang sulit didapatkan.

Sebagai Sumber data primer adalah; Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia

terbitan oleh Penerbit Menara Qudus pada mushaf edisi revisi 16 Mei 1974 M/ 23

Rabi’ul Akhir 1394 H. Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-

Ḥaramain al-Syarīfaini al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-Muṣḥaf pada mushaf edisi

tahun 1439 H, dan al-Iṭqān fī ‘Ulūm al-Qur’an karya Jalaluddīn al-Suyūṭī.

Adapun Sumber data sekundernya adalah; al-Muqni’ fī Ma’rifāti Marsum

Maṣāḥif Ahli al-Amṣār karya Abū ‘Amr ‘Uṡmān Ibn Sa‘īd al-Dānī, Mukhtaṣar al-

Tabyin li Hija’ al-Tanzil karya Abū Daud Sulaimān Ibn Najah, Perbedaan Rasm

Usmani Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia

dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Daūd karya Zainal Arifin Madzkur, dan buku-

buku lain, skripsi, thesis, jurnal, artikel dari penelitian terdahulu yang mengambil

fokus penelitian serupa.


19

2. Analisis Data

Adapun metode yang penulis gunakan untuk menganalisa data dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Deskriptif-analisis

Yaitu sebuah metode bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan

yang berdsarkan data-data, dengan menggunakan teknik deskriptif yaitu

penelitian, analisa dan klasfikasi. Selain menyajikan data, peneltian ini juga

menganalisis dan menginterpretasi sejumlah data.42 Dalam penelitian ini,

penulis bermaksud meneliti dan memaparkan data-data terkait Mushaf al-

Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah dalam kajian ilmu rasm.

b. Analisis Hitoris

Adapun dalam pendekatan historis yaitu untuk melihat kembali latar

belakang penulisan dan perkembangan mushaf al-Qur’an dari masa usman,

kemudian penyebarannya di wilayah Madinah hingga sampai di Indonesia.

c. Analisis Komparatif

Setelah penulis menganalisis data, selanjutnya yaitu membandingkan

penulisan rasmnya antara Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf

Madinah. Adapun tujuannya yaitu, untuk mengetahui banyaknya perbedaan

rasm yang digunakan pada kedua mushaf tersebut.

3. Metode Pengumpulan Data

Secara umum metode pengumpulan data terbagi menjadi tiga, yaitu:

Observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun pada penelitian ini,

42
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 138-
139.
20

menggunakan metode dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian ini dengan

mencakup sumber-sumber tertulis mengenai sejarah Mushaf al-Qur’an Standar

Indonesia dan Mushaf Madinah. Kemudian dokumen yang telah didapatkan

dianalisis, dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) membentuk hasil kajian yang

sistematis dan utuh. Jadi, teknik dokumentasi tidak hanya mengumpulkan data

dan menuliskannya atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang

sejumlah data yang searah dengan penelitian, melainkan menampilkan hasil

analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut.43

G. Sistematika Penulisan

Penulisan terhadap masalah pokok yang disebutkan di atas, dibagi menjadi

lima bab yang terdiri dari:

Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,

rumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian

pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan pembahasan tentang dua kajian mushaf yang dijadikan

sumber penelitian dalam skripsi ini yakni, Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia

dan Mushaf Madinah. Dalam bab ini berisi dua sub bab: Pertama, Mushaf al-

Qur’an Standar Indonesia yang mencakup pembahasan defenisi Mushaf al-Qur’an

Standar Indonesia, latar belakang penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,

lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Indonesia, ciri-ciri Mushaf

al-Qur’an Standar Indonesia, dan landasan penulisan Mushaf al-Qur’an Standar

43
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet. 14 (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2010), h. 274-275.
21

Indonesia. Kedua, defenisi Mushaf Madinah yang berisi tentang pembahasan latar

belakang penulisan Mushaf Madinah, lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-

Qur’an Madinah, ciri-ciri Mushaf Madinah, dan landasan penulisan Mushaf

Madinah.

Bab III merupakan pembahasan perkembangan rasm usmani, yang terbagi

kepada lima sub bab: Pertama, defenisi rasm ‘uṡmāni. Kedua, sejarah dan

perkembangannya. Ketiga macam-macam rasm dalam penulisan al-Qur’an.

Keempat kaidah-kaidah rasm ‘uṡmāni. Kelima pola dan kedudukan menulis al-

Qur’an dalam rasm ‘uṡmāni.

Bab IV yang didalamnya akan dijelaskan perbandingan Mushaf Al-Qur’an

Standar Indonesia dan Mushaf Madinah dalam penulisan rasm. Adapun dalam bab

ini berisikan tiga sub bab diantaranya: Pertama, persamaan rasm usmani dalam

Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah. Kedua, perbedaan

rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.

Ketiga, faktor penyebab perbedaan rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar

Indonesia dan Mushaf Madinah.

Bab V merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari

penulis terkait dengan hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai