Anda di halaman 1dari 17

KODIFIKASI AL-QUR’AN PADA MASA UTSMAN BIN ‘AFFAN

Dosen Pengampu : Abdul Jalil, S.Th.I., M.Si.

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikh Al-Qur’an

Oleh :

Amirah Saniyah Serepa 20105030115

M. Alif Fajri 20105030136

Muh. Sahlan Yunus 20105030127

Mochammad Ridwan Al-Haq 20105030134

Revi Mahersa 20105030139

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2022
A. Latar Belakang Kodifikasi
Tersebarnya Al-Qur’an di beberapa negeri ternyata berdampak
negatif terhadap persatuan umat Islam karena masing-masing daerah
memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu
egosentris masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka
bahwa riwayat qiro’at merekalah yang paling benar dan lebih baik dari
qiro’at yang lain. Yang lebih ironinya adalah timbul konflik antara murid-
murid yang belajar Al-Qur’an dari guru yang berbeda. Tak menghiraukan
Al-Qur’an lagi dan tak menghormati guru (sahabat) yang mengajar di
antara mereka saling mengkafirkan yang lain.
Terjadi perbedaan cara membaca (qiro’at) di beberapa negara
Islam. Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering
dibaca Rasulullah. Dia satukan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan
bacaan tadi dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang
lain. Ras Utsmani merupakan bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Perilaku menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir terhadap
sesama muslim itu akhirnya didengar oleh Usman bin Affan. Berita
tersebut merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat. Menyikapi
berita itu dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di
hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal
jauh dari ku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat prilaku kaum
muslimin ini adalah Huzaifah. Dia sangat menyayangkan sikap kaum
muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang qiro’at.
Maka serta dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan
dan menghentikan perselisihan qiro’at. Ketika terjadi perselisihan tentang
Al-Qur’an seyogyanya tidak menghukum sendiri akan tetapi merujuk
kepada orang yang ahli. Sebaiknya adalah menghindari terjadinya
perselisihan tersebut. Menurut As-Sayyid Nada hendaknya seseorang
membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang Al-Qur’an
sebagaimana dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-
Qur’an. Jika terjadi perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur’an,
lafazh-lafazh, hukum-hukumnya, atau yang selainnya dan perselisishan itu
berlarut-larut hingga dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat buruk,
hendaknya mereka membubarkan diri. Sebab, dikhawatirkan syaitan akan
menjadikan mereka bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim penulis
wahyu setelah melalui penelitian. Mereka yang terpilih adalah orang yang
paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu Zaid bin Tsabit
Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek
Arabnya sangat mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah
bin Zubair. Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap
shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan
Umar. Shuhuf yang disimpan Hafsah itulah yang mewarnai Mushaf
pertama yang dijadikan sebagai pegangan
B. Metode Kodifikasi dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya
Terdapat dua riwayat yang menjelaskan bagaimana utsman
melakukan tugas pengumpulan al-Qur’an, satu diantaranya yang lebih
masyhur menyatakan, bahwa Utsman membuat naskah mushaf semata-
mata berdasarkan kepada suhuf yang disimpat dibawah penjagaan Hafsah,
bekas istri Nabi Muhammad saw. Riwayat kedua yang tidak begitu
terkenal menyatakan, Utsman terlebih dahulu memberi wewenang
pengumpulan mushaf dengan menggunakan sumber lama, sebelum
membandingkannya dengaan suhuf yang sudah ada. Kedua versi riwayat
tersebut sepaham, bahwa suhuf yang ada pada Hafsah memainkan peranan
penting dalam pembuatan mushaf Utsmani. Berdasarkan dengan riwayat
pertama, utsma memutuskan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
melacak suhuf dari hafsah, mempercepat penulisan lalu memperbanyak
naskah. Al-Bara’ meriwayatkan, kemudian Utsman mengirim surat kepada
hafsah yang mmennyatakan “ kirimkanlah suhuf kepada kami, agar kami
dapat mmembuat naskahh yang sempurna dan kemudian suhuf akan kami
kembalikan kepada anda.” Hafsah lalu mengirimkannya kepada Utsman,
yang memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin
al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam agar memperbanyak
salinan naskah. Dalam riwayat lain Utsman juga membentuk panitia yang
berjumlah 12 orang yang di tunjuk untuk mengawasi tugas ini.
Diantaranya, Sa’id bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair, Zaid bin Tsabit, Ubayy
bin Ka’ab, ‘Abdullah bin az-Zubair, Abdur-Rahman bin Hisyam, Kathir
bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir,
Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Identitas ke dua
belas tokoh ini di lacak melalui berbagai macam sumber.1
Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka
hal itu merupakan sebuah langkah yang sangat benar untuk mengatasi
kenyataan pahit yang terjadi. Apabila pada masa-masa khalifah
sebelumnnya, mushaf Abu Bakar yang hanya disimpan di rumah, maka
Utsman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu. Langkah Utsman
memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan mushaf Abu Bakar
sekaligus menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap
menyertakan Zaid bin Tsabit di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman
Rasulullah dan Abu Bakar terlibat langsung dalam penulisan dan
penghimpunan al-Qur’an, dapat dipastikan didalam kepanitiaan ini lebih
banyak berperan ketimbang ketiga anggota panitia lainnya. Sehingga
kemungkinan terjadinya perubahan, penambahan, serta hilangnya kalimat
tertentu dapat di tekan sampai denga titik nol dan keaslian al-Qur’an tetap
terjamin.2
Zaid pun juga mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada
daun kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia
mendengarkan dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokannya
dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak
mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokan

1
M.M al-A’zami, Sejarah teks Al-Qur’an – Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005) hal.98
2
Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleks Al-Qur’an (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1992) hal. 75
kepada yang di tulis. Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan
“Al-Mushaf”, dan paniti menulisnya menjadi lima buah naskah, empat
buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah, dan Kuffah, agar
ditempat-tempat itu disalin juga masing-masing mushaf itu, dan satu buah
diantaranya ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinami dengan
“Mushaf Al-Imam”. Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan
semua lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis
sebelum itu dan membakarnya. Ia khawatir kalau mushaf yang bukan
salinan panitia empat itu beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang
peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur’an.
Karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ juga
terdapat beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan kalimat
Allah.
C. Hasil Kodifikasi Di Masa Itu
Setelah selesai melakukan kodifikasi al-Qur’an, beberapa salinan
dari mushaf tersebut disembarkluaskan ke berbagai kota islam. Untuk
penyebarannya sendiri terdapat beberapa Riwayat yang menjelaskan
tentang jumlah mushaf yang di kirim ke berbagai daerah islam. Riwayat
pandangan luasnya, satu mushaf al-Qur’an di simpan di Madinah dan 3
dari salinanya dikirim ke kota Kuffah, Bashrah dan Damaskus. Penulis
Itqan memegang pendapat popular lainnya, menyebutkan terdapat lima
eksemplar dan menambahkan kota Makkah kedalam empat kota diatas.
Sementara al-Zarqani berpendapat bahwa mushaf yang digandakan itu ada
enam eksemplar, lima diantaranya dikirim ke lima kota diatas dan sisa satu
eksemplarnya di simpan oleh utsman. Mushaf inilah yang disebut dengan
al-Imam (mushaf induk). Kemudian Ibn abi Dawud menyampaikan
pandangan Abu Hatim al-Sijistani, bahwa mushaf yang telah diselesaikan
terdapat tujuh eksemplar dengan tambahan kota Yaman dan Bahrain
kedalam jajaran lima kota penerima Salinan mushaf.
Setelah mushaf utsmani tersebut disebarluaskan, kemudian mushaf
fragmen al-Qur’an lainnya dimusnahkan atas perintah dari Khalifah.
Hanya saja pemusnahan ini dilakukan di lima kota yang disebutkan diatas
bahkan terbatas pada daerah Irak dan Siria. Juga Ibn Mas’ud dan Abu
Musa yang menolak untuk menyerahkan mushafnya untuk dimusnahkan.
Pemusnahan dilakukan dengan cara dirobeknya – Kharaqa. Sebagian
kalangan tidak membenarkannya karena sisa-sisa dari sobekannya bisa
disalahgunakan. Kebanyakan otoritas Muslim membenarkannya
pemusnahan al-Qur’an dilakukan dengan cara membakarnya – haraqa
dengan demikian tidak tertinggal sesuatupun.
Dalam penyebaran mushaf utsmani ini, nyatanya tidak sempurna
secara absolut. Kenyataan ini diakui oleh sejumlah otoritas, yang paling
popular adalah Riwayat yang mengungkap bahwa Utsman sendiri yang
menemukan ungkapan-ungkapan keliru tersebut akan tetapi Utsman
mengatakan kekeliruan itu tidak perlu diubah, karena orang-orang Arab
dengan lisan mereka dapat membetulkannya. Riwayat popular lainnya
mengemukakan bahwa Aisyah menemukan beberapa kekeliruan penulisan
antara lain: dalam 2:17, “wa-l-mûfûna … wa-l-shãbirîna” (untuk “wa-l-
shãbirûna”); (ii) dalam 4:162, “lãkini-l-rãsikhûna…wa-l-muqîmîna … wa-
l-mu’tûna” (untuk “lãkinna …wa-l-muqîmûna”); dalam 5:69, “inna-
lladzîna ãmanû … wa-l-shãbi’ûna” (untuk “wa-l-shãbi’îna”); dan dalam
20:63, “in hãdzãni la-sãhirãni” (untuk “hãdzayni”)
Al-Qur’an yang telah disebarkan ke beberapa kota Islam memiliki
sejumlah Variasi yang keberadannya dikaitkan dengan kesalahan yang
dilakukan secara tidak sengaja oleh para penyalin al-Qur’an. Varian
mushaf ini sampai ke tangan kita melalui kitab Fadla’il al-Qur’an karya
Abu Ubayd dan kitab al-Muqni’ fi Ma’rifat Marsumi Mashahif Ahl al-
Amshar karya Abu Amr al-Dani. Kedua kitab ini sejatinya saling
menguatkan, sehingga memperkuat derajat kepercayaan terhadap
kandungannya. Berikut uraian dari Bergstraesser yang menjelaskan varian-
varian tersebut.
Dalam surat 2, ada dua varian yang direkam. Pertama adalah yang
terdapat pada permulaan 2:116, di mana mushaf Damaskus menyalin kata
‫وقالوا‬sebagaimana tertulis dalam mushaf-mushaf lain – tanpa ‫ ( و‬yakni ‫قالوا‬
). Kasus kedua ditemukan pada permulaan 2:132, di mana dalam mushaf
Madinah, Damaskus, dan imãm tertulis ‫ واوصي‬sementara mushaf lainnya
menyalin dengan ‫ و وصي‬. Dalam surat 3, ada dua varian. Yang pertama
terdapat dalam 3:133, di mana ungkapan ‫ – و سارعوا‬sebagaimana terdapat
dalam mushaf mushaf lainnya disalin dalam mushaf Madinah, Damaskus
dan imãm, tanpa ‫ ( و‬yakni ‫ارعوا‬XX‫)س‬. Varian kedua dalam 3:184, pada
ungkapan‫ والزبر‬yang disalin dalam mushaf Damaskus dengan ‫ر‬XX‫الز ب‬XX‫ وب‬.
Sementara satu varian ditemukan dalam 4:66, tepatnya pada ungkapan ‫قليل‬
-) dalam berbagai mushaf. Kata ini direkam dalam mushaf Damaskus
dengan ‫قليال‬-) . Dua varian lagi direkam dalam surat 5. Pertama adalah
dalam 5:53, di mana ungkapan ‫ – ويقول‬dalam berbagai mushaf – disalin
dalam mushaf Madinah dan Damaskus tanpa $ (yakni ‫) يقول‬. Dalam 5:54,
ungkapan ‫د‬XX‫ – يرت‬sebagaimana terdapat dalam mushaf lainnya – disalin
dalam mushaf Madinah, Damaskus dan imãm sebagai‫ يرتدد‬.
Daftar varian dalam dua riwayat di atas hanyalah sebagian kecil
varian yang tercatat dari keberadaan varian-varian naskah awal
Utsmaniyah. Mencermati hubungan antara varian yang satu dengan yang
lain, terlihat bahwa tulisan-tulisan manuskrip Damaskus – yang paling
banyak ragam bacaannya – berada pada posisi dengan manuskrip Madinah
pada titik-titik yang bias dari manuskrip-manuskrip lainnya. Naskah
Damaskus ini juga tidak pernah bertentangan dengan naskah Madinah, bila
selaras dengan naskah lainnya
Karateristik Mushaf Utsmani yaitu Sejumlah pandangan
mengungkapkan bahwa susunan dalam mushaf utsmani bersifat ijtihadi.
Al-suyuthi bahwa utsman mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an
kedalam satu mushaf menurut tertib suratnya. Lebih jelas lagi pernyataan
dari Ya’qub,”Utsman mengkodifikasikan al-Qur’an, Menyusun (allafa)
dan mengumpulkan surat-surat pendek dengan surat pendek dan surat-
surat Panjang dengan surat Panjang. Jumlah surat pada mushaf utsman
terdapat pada pertengahan antara mushaf Ubay dan Ibn Mas’ud, mushaf
Ustman (114 surat) sedangkan Ubay (116 surat) dan Ibn Mas’ud (111 atau
112 surat)

D. Beberapa Wacana Dan Kritikan Tentang Kodifikasi Al-Qur’an Di


Masa Utsman
Telah dikemukakan bahwa setelah selesai melakukan Al-Qur’an,
sejumlah salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai kota metropolitan
islam. Riwayat-riwayat tentang jumlah mushaf yang berhasil diselesaikan
penulisannya dan ke kota-kota mana saja ia dikirim sangat beragam.
Menurut pandangan yang diterima secara luas, satu mushaf Al-Qur’an
disimpan di madinah, dan tiga salinannya dikirim ke kufah, Bashrah dan
Damaskus. Pendapat popular lainnya, yang dipegang penulis Itqan,
menyebut lima eksemplar menambahkan kota Makkah ke jajaran empat
kota di atas. Sementara al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang
digandakan itu ada 6 eksemplar. Lima di antaranya dikirim ke lima kota
yang baru disebutkan, dan sisanya satu eksemplar disimpan oleh Utsman.
Mushaf di tangan Utsman inilah yang kemudian dikenal sebagai al-imãm
(mushaf induk). Sedangkan Ibn abi Dawud menuturkan pandangan Abu
Hatim al-Sijistani (w. 863) bahwa mushaf yang berhasil diselesaikan
penulisannya sejumlah 7 eksemplar, serta menambahkan kota Yaman dan
Bahrain ke dalam jajaran lima kota penerima salinan mushaf.
Berbagai sudut pandang yang diutarakan di atas menimbulkan
permasalahan tentang riwayat mana yang paling dapat dipegang
sehubungan dengan mushaf-mushaf Utsman. Seperti terlihat dalam latar
belakang kodifikasi Utsman, pengumpulan pada masa itu terkait erat
dengan perbedaan bacaan di kalangan pasukan Muslim yang direkrut dari
Siria dan Irak. Jadi, riwayat pertama – yang menyebutkan eksistensi 4
salinan mushaf, 3 di antaranya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus –
merupakan yang paling sesuai dengan latar belakang kodifikasi tersebut.
Kota-kota Kufah, Bashrah dan Damaskus ketika itu merupakan kota-kota
terpenting di propinsi Irak dan Siria. Di kota-kota inilah garnisun-garnisun
kekhalifahan direkrut dan ditempatkan. Selain itu, dalam riwayat
pengumpulan Utsman, yang ditonjolkan sebagai pusat perhatian. Khalifah
ketika itu adalah bagaimana mengakhiri pertikaian di dalam pasukan
Muslim tentang bacaan al-Quran. Dengan demikian, tujuan lanjutan untuk
menyatukan seluruh wilayah kekhalifah kepada satu teks standar al-Quran,
bukan merupakan kebutuhan utama, sekalipun Utsman mungkin saja telah
memikirkannya.
Penyebutan kota Makkah, dalam riwayat lainnya,barangkali terkait
secara langsung dengan makna kota ini sebagai tanah kelahiran Nabi dan
tanah suci pertama Islam di mana Ka’bah berada. Sementara penyebutan
tujuh kota dalam riwayat terakhir di atas barangkali terkait dengan
“kesakralan” angka tujuh: al-Quran telah diwahyukan dalam tujuh ahrûf,
yang belakangan juga ditafsirkan sebagai tujuh bacaan dalam qirã’ãt al-
sab‘.Setelah penyebaran mushaf utsmani, berbagai mushaf atau fragmen
al-Quran lainnya – seperti disebutkan dalam riwayat versi mayoritas di
atas – dimusnahkan atas perintah Khalifah. Menurut Schwally, seluruh
riwayat tentang pemusnahan mushaf atau fragmen al-Quran non-utsmani
hanya menyebutkan kejadiannya di kota-kota yang disebutkan di atas,
bahkan terbatas pada daerah Irak dan Siria. Para penguasa kota-kota
tersebut tentunya memiliki kekuasaan untuk menjalankan amanat Khalifah
sejauh menyangkut pemilikan umum, tetapi tidak demikian halnya dengan
mushaf atau fragmen yang menjadi milik pribadi.
Ketika membahas mushaf Ibn Mas‘ud dan Abu Musa dalam bab 5,
telah dikemukakan bahwa kedua sahabat Nabi ini termasuk orang yang
menolak menyerahkan mushafnya untuk dimusnahkan. Pemusnahan
mushaf dan fragmen non-utsmani, menurut sebagian riwayat di atas,
dilakukan dengan merobeknya – kharaqa (;S), atau sinonimnya syaqqa dan
mazaqa. Tetapi hal ini barangkali tidak dapat dibenarkan, karena sisa-sisa
sobekan tentunya masih bisa disalahgunakan. Kebanyakan otoritas Muslim
memberitakan pemusnahan dilakukan dengan membakarnya – haraqa (;) –
dan, dengan demikian, tidak tertinggal sesuatupun. Boleh jadi bahwa
riwayat pertama ini – secara sengaja atau tidak – telah mengalami
penyimpangan dalam proses transmisi tertulisnya, karena kata “merobek”
dan “membakar” dalam kedua riwayat itu jelas didasarkan pada kerangka
konsonantal yang sama (;), dan perbedaannya hanya terletak pada ada
tidaknya satu titik diakritis di atas huruf pertama. Pemusnahan materi-
materi al-Quran non-utsmani, dengan tujuan utama menyebarluaskan edisi
kanonik resmi, tidak dicapai dalam waktu singkat. Yang paling popular
darinya adalah riwayat yang mengungkapkan bahwa Utsman sendiri,
ketika memeriksa salah satu eksemplar yang telah selesai ditulis,
menemukan ungkapan-ungkapan keliru dan mengatakan bahwa kekeliruan
itu tidak perlu diubah, karena orang-orang Arab dengan lisãn mereka –
bisa membetulkannya. seperti ditegaskan Utsman dalam riwayat di atas.
Pandangan semacam ini kemudian berkembang, dan Ashim al-Jahdari
merupakan salah satu penganutnya yang terkemuka. Perkembangannya
bahkan sampai ke sistem pembacaan teks resmi. Mengenai nasib mushaf-
mushaf yang disebarkan Utsman, tidak terdapat pemberitaan yang pasti
tentangnya. Dengan pengecualian mushaf al-imãm – yang paling sering
dirujuk – mushaf-mushaf tersebut memiliki riwayat yang gelap dan
hampir-hampir tidak memainkan peran berarti dalam kajian-kajian al-
Quran. Menurut Ibn Qutaibah (w. sekitar 276H), mushaf al-imãm – setelah
terbunuhnya Khalifah Ketiga – berpindah ke tangan puteranya,Khalid, dan
kemudian diwariskan secara turun-temurun. Sementara Malik ibn Anas
(w. 179H) menjelaskan bahwa mushaf tersebut telah hilang. Menurut al-
Kindi, mushaf tersebut terbakar dalam peristiwa pemberontakan Abu al-
Saraya pada 200H. Tetapi, Abu Ubayd mengaku melihat mushaf tersebut
yang masih berbekas darah Utsman.
Pada abad pertengahan, pengembara termasyhur Ibn Batutah (w.
779H) menceriterakan telah melihat salinan atau lembaran yang dibuat
Utsman di Granada, Marakesh, Bashrah, dan kota- kota lainnya.33
Sementara Ibn Katsir (w. 774H) mengemukakan pernah melihat kopi al-
Quran, sangat mungkin dibuat pada masa Utsman, yang dipindahkan pada
518H dari Tiberia ke Damaskus. Dikatakannya bahwa mushaf itu “besar
dan lebar dengan tulisan yang indah, jelas, rapih dan sempurna, di atas
kertas kulit yang menurut saya – terbuat dari kulit unta”.Mushaf ini,
menurut riwayat lain, kemudian dibawa ke Leningrad dan akhirnya ke
Inggris. Sebagian sarjana berpendapat bahwa mushaf tersebut masih tetap
tersimpan di masjid Damaskus dan musnah ketika masjid itu terbakar pada
1310H. Ibn Jubair (w. 614H) menuturkan pernah melihat sebuah
manuskrip di masjid Madinah pada 580H. Beberapa riwayat menerangkan
bahwa naskah tersebut tetap berada di sana sampai kekhalifahan Turki
Utsmani mengambilnya pada 1334H. Ketika perang Dunia Pertama
berakhir, mushaf ini dibawa ke Berlin dan diserahkan kepada mantan
Kaisar William II, dan sesuai dengan pasal 246 dari Perjanjian Versailles –
di mana Turki merupakan pihak yang kalah perang – naskah ini tetap
berada di Jerman serta akan dipelihara oleh negara tersebut: “Dalam
jangka waktu 6 bulan sejak diberlakukannya perjanjian ini, Jerman akan
selalu menjaga naskah asli al-Quran milik Yang Mulia Raja Hijaz, yang
diambil dari Madinah oleh penguasa Turki, dan pernah dipersembahkan
kepada bekas Kaisar William II.”36 Tetapi, akhirnya mushaf tersebut
dikembalikan lagi ke Istanbul.
Terdapat sebuah manuskrip al-Quran yang disimpan di masjid al-
Hussain di Kairo. Mushaf ini dinisbatkan kepada Utsman dan ditulis
dengan tulisan kufi kuno. Tetapi, bisa dikemukakan dugaan bahwa naskah
tersebut merupakan salinan dari Mushaf Utsman. Semisal dengannya
adalah manuskrip yang tersimpan di Tashkent. Mushaf ini dikabarkan
sebagai mushaf yang tengah dibaca Utsman ketika terbunuh. Pada masa
kekhalifahan Umaiyah, naskah tersebut dibawa ke Andalusia dan
kemudian ke Fez di Maroko. Dari Maroko, mushaf tersebut kemudian
dibawa ke Samarkand, dan tetap berada di sana hingga 1868. Pada 1869,
naskah ini dibawa ke St. Petersburg dan disimpan di kota ini hingga 1917.
Pada 1924, naskah ini akhirnya kembali ke Tashkent dan tetap tersimpan
di sana hingga dewasa ini.Berbagai kesimpangsiuran tentang mushaf-
mushaf utsmani ini pada gilirannya mengantarkan sejumlah sarjana
Muslim pada keyakinan bahwa naskah-naskah tersebut telah hilang tanpa
bekas. Manuskrip-manuskrip kuno yang ada dewasa ini hanya dipandang
sebagai salinan sempurna dari mushaf-mushaf utsmani. Pandangan
semacam ini, misalnya, diekspresikan oleh al-Zarqani.39 Sejalan
dengannya, penelitian-penelitian tentang naskah kuno al-Quran
mengungkapkan bahwa manuskrip-manuskrip al-Quran tertua – baik
dalam bentuk lengkap atau hanya sebagian saja – yang ada dewasa ini
adalah yang berasal dari abad ke-2H.
E. Perbedaan antar kodifikasi di masa Abu Bakr dan Utsman
Pertama: Penulisan Al-Qur’an di masa Abu Bakar As Shiddiq.
Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra,
terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan banyak sekali para qurra’/
para huffazh (penghafal al-Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut,
Umar bin Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-
ayat al-Qur`an akibat wafatnya para huffazh. Maka beliau berpikir tentang
pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di lembaran-lembaran. Zaid bin
Tsabit ra berkata: Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang
korban Perang Ahlul Yamamah. Saat itu Umar bin Khaththab berada di
sisinya. Abu Bakar ra berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia
berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan
menimpa para qurra’ (para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan
sengitnya peperangan terhadap para qurra (sehingga mereka banyak yang
terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar
al-Qur`an. ”Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul saw. ”Umar
menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik. ”Umar selalu
mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan
kelapangan pada dada Abu Bakar tentang perkara itu. Lalu Abu Bakar
berpendapat seperti apa yang dipandang oleh Umar.
Zaid bin Tsabit melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah
mengatakan kepadaku, “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas.
Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan
engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw sehingga engkau selalu
mengikuti al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia. ”Demi Allah seandainya
kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka
sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku
mengenai pengumpulan al-Qur`an. Aku bertanya: “Bagaimana kalian
melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw? ”
Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu
mengulang ulang perkataaannya sampai Allah memberikan kelapangan
pada dadaku seperti yang telah diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar
ra.3
Maka aku mulai menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari
pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan para
sahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah
al-Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu: “Artinya:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-
orang mukmin”. (QS. At-Taubah [9]: 128)Pengumpulan al-Qur`an yang
dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para huffazh saja,
melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan
Rasulullah saw.
Lembaran-lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima, kecuali
setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di
hadapan Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi
dua syarat: 1) Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2)
Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat. Saking telitinya,

3
Al-Khatib, Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid1 op.cit: 2 hal 954
hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak
bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat
at-Taubah tersebut ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian
Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat
tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada
kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan
kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun
lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-
Qur`an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka
saja. Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat
berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini
bukan pengumpulan al-Qur`an untukditulis dalam satu mushhaf, tetapi
sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan
Rasulullah saw ke dalam satu tempat. Lembaran-lembaran al-Qur`an ini
tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada
Umar bin al-Khaththab selama hidupnya.
Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra
sesuai wasiat Umar. Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan
untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih
Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan
pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah
selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena
takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya
sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar
untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di
samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid :
“Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal
cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis
wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang
carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun
mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan
batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada ditangan
Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian dipegang oleh umar hngga
wafatnya, dan kemudian dipegang oleh Hafsah Binti Umar bin khattab
rahiyallahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang
dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai
nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib ra.
mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an
adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat
kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan
Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua: Penulisan Al-Qur’an di masa Usman bin 'Affan.

Untuk pertama kali Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan


ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah binti
Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan
ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari
perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab
penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash
dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis
tanpa titik dan baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan
sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam. Dalam penulisan ini
sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari
perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab
penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash
dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis
tanpa titik dan baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan
sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam.
F. Kesimpulan
Terjadi perbedaan cara membaca (qiro’at) di beberapa negara
Islam. Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering
dibaca Rasulullah. Dia satukan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan
bacaan tadi dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang
lain. Ras Utsmani merupakan bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Terdapat dua riwayat yang menjelaskan bagaimana utsman
melakukan tugas pengumpulan al-Qur’an, satu diantaranya yang lebih
masyhur menyatakan, bahwa Utsman membuat naskah mushaf semata-
mata berdasarkan kepada suhuf yang disimpat dibawah penjagaan Hafsah,
bekas istri Nabi Muhammad saw. Riwayat kedua yang tidak begitu
terkenal menyatakan, Utsman terlebih dahulu memberi wewenang
pengumpulan mushaf dengan menggunakan sumber lama, sebelum
membandingkannya dengaan suhuf yang sudah ada. Dengan
ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu
merupakan sebuah langkah yang sangat benar untuk mengatasi kenyataan
pahit yang terjadi. Apabila pada masa-masa khalifah sebelumnnya, mushaf
Abu Bakar yang hanya disimpan di rumah, maka Utsman melihat perlunya
memasyarakatkan mushaf itu. Dia tidak mencukupkan dari sumber yang
didengarnya saja, tapi juga mencocokan kepada yang di tulis.
Selain itu, juga terdapat perbedaan yang signifikan terhadap masa
kodifikasi abu bakr dengan kodifikasi di masa utsman. Dan juga terlepas
dari perbedaan itu semua hikmah yang dapat di pahami yakni setiap masa
kodifikasi al-qur’an kala itu adalah baik dan sangat bermanfaat bagi umat
muslim sekarang.

Daftar Pustaka
Adnan, Taufik Amal. (2011). Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital,
Jakarta : Divisi Muslim Demokratis

Al-Khatib. Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj.

Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi. 1992. Ulumul Qur’an – Studi Kompleks


Al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Mustafa, M. al-A’zami. (2005). Sejarah Teks Al-Qur’an. Jakarta : Gema
Insani

Anda mungkin juga menyukai