Oleh :
YOGYAKARTA
2022
A. Latar Belakang Kodifikasi
Tersebarnya Al-Qur’an di beberapa negeri ternyata berdampak
negatif terhadap persatuan umat Islam karena masing-masing daerah
memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu
egosentris masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka
bahwa riwayat qiro’at merekalah yang paling benar dan lebih baik dari
qiro’at yang lain. Yang lebih ironinya adalah timbul konflik antara murid-
murid yang belajar Al-Qur’an dari guru yang berbeda. Tak menghiraukan
Al-Qur’an lagi dan tak menghormati guru (sahabat) yang mengajar di
antara mereka saling mengkafirkan yang lain.
Terjadi perbedaan cara membaca (qiro’at) di beberapa negara
Islam. Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering
dibaca Rasulullah. Dia satukan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan
bacaan tadi dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang
lain. Ras Utsmani merupakan bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Perilaku menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir terhadap
sesama muslim itu akhirnya didengar oleh Usman bin Affan. Berita
tersebut merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat. Menyikapi
berita itu dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di
hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal
jauh dari ku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat prilaku kaum
muslimin ini adalah Huzaifah. Dia sangat menyayangkan sikap kaum
muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang qiro’at.
Maka serta dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan
dan menghentikan perselisihan qiro’at. Ketika terjadi perselisihan tentang
Al-Qur’an seyogyanya tidak menghukum sendiri akan tetapi merujuk
kepada orang yang ahli. Sebaiknya adalah menghindari terjadinya
perselisihan tersebut. Menurut As-Sayyid Nada hendaknya seseorang
membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang Al-Qur’an
sebagaimana dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-
Qur’an. Jika terjadi perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur’an,
lafazh-lafazh, hukum-hukumnya, atau yang selainnya dan perselisishan itu
berlarut-larut hingga dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat buruk,
hendaknya mereka membubarkan diri. Sebab, dikhawatirkan syaitan akan
menjadikan mereka bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim penulis
wahyu setelah melalui penelitian. Mereka yang terpilih adalah orang yang
paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu Zaid bin Tsabit
Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek
Arabnya sangat mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah
bin Zubair. Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap
shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan
Umar. Shuhuf yang disimpan Hafsah itulah yang mewarnai Mushaf
pertama yang dijadikan sebagai pegangan
B. Metode Kodifikasi dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya
Terdapat dua riwayat yang menjelaskan bagaimana utsman
melakukan tugas pengumpulan al-Qur’an, satu diantaranya yang lebih
masyhur menyatakan, bahwa Utsman membuat naskah mushaf semata-
mata berdasarkan kepada suhuf yang disimpat dibawah penjagaan Hafsah,
bekas istri Nabi Muhammad saw. Riwayat kedua yang tidak begitu
terkenal menyatakan, Utsman terlebih dahulu memberi wewenang
pengumpulan mushaf dengan menggunakan sumber lama, sebelum
membandingkannya dengaan suhuf yang sudah ada. Kedua versi riwayat
tersebut sepaham, bahwa suhuf yang ada pada Hafsah memainkan peranan
penting dalam pembuatan mushaf Utsmani. Berdasarkan dengan riwayat
pertama, utsma memutuskan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
melacak suhuf dari hafsah, mempercepat penulisan lalu memperbanyak
naskah. Al-Bara’ meriwayatkan, kemudian Utsman mengirim surat kepada
hafsah yang mmennyatakan “ kirimkanlah suhuf kepada kami, agar kami
dapat mmembuat naskahh yang sempurna dan kemudian suhuf akan kami
kembalikan kepada anda.” Hafsah lalu mengirimkannya kepada Utsman,
yang memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin
al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam agar memperbanyak
salinan naskah. Dalam riwayat lain Utsman juga membentuk panitia yang
berjumlah 12 orang yang di tunjuk untuk mengawasi tugas ini.
Diantaranya, Sa’id bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair, Zaid bin Tsabit, Ubayy
bin Ka’ab, ‘Abdullah bin az-Zubair, Abdur-Rahman bin Hisyam, Kathir
bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir,
Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Identitas ke dua
belas tokoh ini di lacak melalui berbagai macam sumber.1
Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka
hal itu merupakan sebuah langkah yang sangat benar untuk mengatasi
kenyataan pahit yang terjadi. Apabila pada masa-masa khalifah
sebelumnnya, mushaf Abu Bakar yang hanya disimpan di rumah, maka
Utsman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu. Langkah Utsman
memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan mushaf Abu Bakar
sekaligus menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap
menyertakan Zaid bin Tsabit di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman
Rasulullah dan Abu Bakar terlibat langsung dalam penulisan dan
penghimpunan al-Qur’an, dapat dipastikan didalam kepanitiaan ini lebih
banyak berperan ketimbang ketiga anggota panitia lainnya. Sehingga
kemungkinan terjadinya perubahan, penambahan, serta hilangnya kalimat
tertentu dapat di tekan sampai denga titik nol dan keaslian al-Qur’an tetap
terjamin.2
Zaid pun juga mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada
daun kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia
mendengarkan dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokannya
dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak
mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokan
1
M.M al-A’zami, Sejarah teks Al-Qur’an – Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005) hal.98
2
Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleks Al-Qur’an (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1992) hal. 75
kepada yang di tulis. Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan
“Al-Mushaf”, dan paniti menulisnya menjadi lima buah naskah, empat
buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah, dan Kuffah, agar
ditempat-tempat itu disalin juga masing-masing mushaf itu, dan satu buah
diantaranya ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinami dengan
“Mushaf Al-Imam”. Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan
semua lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis
sebelum itu dan membakarnya. Ia khawatir kalau mushaf yang bukan
salinan panitia empat itu beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang
peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur’an.
Karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ juga
terdapat beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan kalimat
Allah.
C. Hasil Kodifikasi Di Masa Itu
Setelah selesai melakukan kodifikasi al-Qur’an, beberapa salinan
dari mushaf tersebut disembarkluaskan ke berbagai kota islam. Untuk
penyebarannya sendiri terdapat beberapa Riwayat yang menjelaskan
tentang jumlah mushaf yang di kirim ke berbagai daerah islam. Riwayat
pandangan luasnya, satu mushaf al-Qur’an di simpan di Madinah dan 3
dari salinanya dikirim ke kota Kuffah, Bashrah dan Damaskus. Penulis
Itqan memegang pendapat popular lainnya, menyebutkan terdapat lima
eksemplar dan menambahkan kota Makkah kedalam empat kota diatas.
Sementara al-Zarqani berpendapat bahwa mushaf yang digandakan itu ada
enam eksemplar, lima diantaranya dikirim ke lima kota diatas dan sisa satu
eksemplarnya di simpan oleh utsman. Mushaf inilah yang disebut dengan
al-Imam (mushaf induk). Kemudian Ibn abi Dawud menyampaikan
pandangan Abu Hatim al-Sijistani, bahwa mushaf yang telah diselesaikan
terdapat tujuh eksemplar dengan tambahan kota Yaman dan Bahrain
kedalam jajaran lima kota penerima Salinan mushaf.
Setelah mushaf utsmani tersebut disebarluaskan, kemudian mushaf
fragmen al-Qur’an lainnya dimusnahkan atas perintah dari Khalifah.
Hanya saja pemusnahan ini dilakukan di lima kota yang disebutkan diatas
bahkan terbatas pada daerah Irak dan Siria. Juga Ibn Mas’ud dan Abu
Musa yang menolak untuk menyerahkan mushafnya untuk dimusnahkan.
Pemusnahan dilakukan dengan cara dirobeknya – Kharaqa. Sebagian
kalangan tidak membenarkannya karena sisa-sisa dari sobekannya bisa
disalahgunakan. Kebanyakan otoritas Muslim membenarkannya
pemusnahan al-Qur’an dilakukan dengan cara membakarnya – haraqa
dengan demikian tidak tertinggal sesuatupun.
Dalam penyebaran mushaf utsmani ini, nyatanya tidak sempurna
secara absolut. Kenyataan ini diakui oleh sejumlah otoritas, yang paling
popular adalah Riwayat yang mengungkap bahwa Utsman sendiri yang
menemukan ungkapan-ungkapan keliru tersebut akan tetapi Utsman
mengatakan kekeliruan itu tidak perlu diubah, karena orang-orang Arab
dengan lisan mereka dapat membetulkannya. Riwayat popular lainnya
mengemukakan bahwa Aisyah menemukan beberapa kekeliruan penulisan
antara lain: dalam 2:17, “wa-l-mûfûna … wa-l-shãbirîna” (untuk “wa-l-
shãbirûna”); (ii) dalam 4:162, “lãkini-l-rãsikhûna…wa-l-muqîmîna … wa-
l-mu’tûna” (untuk “lãkinna …wa-l-muqîmûna”); dalam 5:69, “inna-
lladzîna ãmanû … wa-l-shãbi’ûna” (untuk “wa-l-shãbi’îna”); dan dalam
20:63, “in hãdzãni la-sãhirãni” (untuk “hãdzayni”)
Al-Qur’an yang telah disebarkan ke beberapa kota Islam memiliki
sejumlah Variasi yang keberadannya dikaitkan dengan kesalahan yang
dilakukan secara tidak sengaja oleh para penyalin al-Qur’an. Varian
mushaf ini sampai ke tangan kita melalui kitab Fadla’il al-Qur’an karya
Abu Ubayd dan kitab al-Muqni’ fi Ma’rifat Marsumi Mashahif Ahl al-
Amshar karya Abu Amr al-Dani. Kedua kitab ini sejatinya saling
menguatkan, sehingga memperkuat derajat kepercayaan terhadap
kandungannya. Berikut uraian dari Bergstraesser yang menjelaskan varian-
varian tersebut.
Dalam surat 2, ada dua varian yang direkam. Pertama adalah yang
terdapat pada permulaan 2:116, di mana mushaf Damaskus menyalin kata
وقالواsebagaimana tertulis dalam mushaf-mushaf lain – tanpa ( وyakni قالوا
). Kasus kedua ditemukan pada permulaan 2:132, di mana dalam mushaf
Madinah, Damaskus, dan imãm tertulis واوصيsementara mushaf lainnya
menyalin dengan و وصي. Dalam surat 3, ada dua varian. Yang pertama
terdapat dalam 3:133, di mana ungkapan – و سارعواsebagaimana terdapat
dalam mushaf mushaf lainnya disalin dalam mushaf Madinah, Damaskus
dan imãm, tanpa ( وyakni ارعواXX)س. Varian kedua dalam 3:184, pada
ungkapan والزبرyang disalin dalam mushaf Damaskus dengan رXXالز بXX وب.
Sementara satu varian ditemukan dalam 4:66, tepatnya pada ungkapan قليل
-) dalam berbagai mushaf. Kata ini direkam dalam mushaf Damaskus
dengan قليال-) . Dua varian lagi direkam dalam surat 5. Pertama adalah
dalam 5:53, di mana ungkapan – ويقولdalam berbagai mushaf – disalin
dalam mushaf Madinah dan Damaskus tanpa $ (yakni ) يقول. Dalam 5:54,
ungkapan دXX – يرتsebagaimana terdapat dalam mushaf lainnya – disalin
dalam mushaf Madinah, Damaskus dan imãm sebagai يرتدد.
Daftar varian dalam dua riwayat di atas hanyalah sebagian kecil
varian yang tercatat dari keberadaan varian-varian naskah awal
Utsmaniyah. Mencermati hubungan antara varian yang satu dengan yang
lain, terlihat bahwa tulisan-tulisan manuskrip Damaskus – yang paling
banyak ragam bacaannya – berada pada posisi dengan manuskrip Madinah
pada titik-titik yang bias dari manuskrip-manuskrip lainnya. Naskah
Damaskus ini juga tidak pernah bertentangan dengan naskah Madinah, bila
selaras dengan naskah lainnya
Karateristik Mushaf Utsmani yaitu Sejumlah pandangan
mengungkapkan bahwa susunan dalam mushaf utsmani bersifat ijtihadi.
Al-suyuthi bahwa utsman mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an
kedalam satu mushaf menurut tertib suratnya. Lebih jelas lagi pernyataan
dari Ya’qub,”Utsman mengkodifikasikan al-Qur’an, Menyusun (allafa)
dan mengumpulkan surat-surat pendek dengan surat pendek dan surat-
surat Panjang dengan surat Panjang. Jumlah surat pada mushaf utsman
terdapat pada pertengahan antara mushaf Ubay dan Ibn Mas’ud, mushaf
Ustman (114 surat) sedangkan Ubay (116 surat) dan Ibn Mas’ud (111 atau
112 surat)
3
Al-Khatib, Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid1 op.cit: 2 hal 954
hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak
bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat
at-Taubah tersebut ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian
Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat
tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada
kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan
kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun
lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-
Qur`an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka
saja. Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat
berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini
bukan pengumpulan al-Qur`an untukditulis dalam satu mushhaf, tetapi
sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan
Rasulullah saw ke dalam satu tempat. Lembaran-lembaran al-Qur`an ini
tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada
Umar bin al-Khaththab selama hidupnya.
Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra
sesuai wasiat Umar. Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan
untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih
Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan
pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah
selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena
takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya
sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar
untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di
samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid :
“Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal
cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis
wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang
carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun
mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan
batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada ditangan
Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian dipegang oleh umar hngga
wafatnya, dan kemudian dipegang oleh Hafsah Binti Umar bin khattab
rahiyallahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang
dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai
nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib ra.
mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an
adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat
kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan
Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Daftar Pustaka
Adnan, Taufik Amal. (2011). Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital,
Jakarta : Divisi Muslim Demokratis