2. Miffah Khadijah (220103020157) 3. Mirnawati (220103020199) Mata Kuliah : Sejarah Al-Qur’an Dosen Pengampu : Fakhrie Hanief, S. Th.I, MA Judul : Sejarah Singkat Penulisan Mushaf Al-Qur’an Penulis : Cece Abdulwaly Penerbit : Farha Pustaka Tahun Terbit : 2021
Sejarah Al-Quran Pada Masa ‘Pasca’ Utsman bin ‘Affan RA
1. Dimusnahkannya Mushaf-Mushaf Lain
Setelah penyelesaian penulisan al-Qur'an dengan sempurna, ‘Utsman ibn ‘Affan ra. memerintahkan kepada para sahabat untuk memusnahkan mushaf- mushaf lain dengan cara dibakar. Hal ini dicatat dalam riwayat dari Anas ibn Mâlik ra. dalam Shahih al-Bukhari, di mana disebutkan: وَأَم َر بما ِس َو اُه ِم َن الُقْر آِن في ُك ِّل َص ِح يَفٍة أْو ُم ْص َحٍف أْن ُيْح َر َق. “… dan ia memerintahkan agar selain al-Qur'an, semua lembaran atau mushaf dibakar.” Para sahabat dengan baik merespons perintah tersebut dan sepakat bahwa tindakan ‘Utsman adalah yang benar. Mereka kemudian secara sukarela membakar mushaf-mushaf yang mereka tulis sendiri. Meskipun ‘Abdullâh ibn Mas’ûd ra. awalnya menolak, namun setelah melihat bahwa perintah ‘Utsman adalah benar dan bermanfaat, akhirnya ia pun membakar mushafnya. Bahkan, Ibn Abî Dâwud menulis sebuah bab dalam al-Mashâẖif yang menunjukkan persetujuan ‘Abdullâh ibn Mas’ûd terhadap pengumpulan al-Qur'an yang dilakukan oleh ‘Utsman ibn ‘Affan ra. Dalam sebuah riwayat dari Suwaid ibn Ghafalah, bahkan disebutkan bahwa ‘Alî ibn Abî Thâlib ra. pernah berkata: َلو لْم يْص َنْعُه عثماُن َلَص نْع ُتُه "Seandainya ‘Utsman tidak melakukannya, maka pasti aku yang sudah melakukannya." Mush’ab ibn Sa’d (w. 103 H) pernah mengatakan: ك منهمp لم ُينِك ْر ذل: الpك أو قpأْع َج بهم ذلp ف، أْد َر ْكُت الَّناَس ُم توافرين حيَن حَّرق عثماُن المصاِح َف أحٌد “Ketika ‘Utsmân membakar mushaf, aku menjumpai banyak sahabat dan sikap ‘Utsmân membuat mereka heran. Namun tidak ada seorangpun yang mengingkarinya" Nampak sekali bahwa jasa ‘Utsmân ibn ‘Affân ra. sangat besar dalam hal ini. Atas izin Allah, beliau mampu menyatukan umat dari perbedaan dan perselisihan tentang al-Qur’an, dan mengarahkan mereka untuk berpegang pada mushaf yang telah disepakati tersebut, sejak zaman sahabat hingga zaman sekarang. 2. Pengiriman Mushaf ke Berbagai Wilayah Islam Para ulama berbeda-beda pendapat mengenai jumlah mushaf yang dikirimkan oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai wilayah dan negeri Islam. Menurut as-Suyûthî (w. 911 H), berdasarkan pendapat yang masyhur, ada lima mushaf. Namun, dalam keterangan Ibn Abî Dâwud, ada yang mengatakan empat mushaf, dan ada yang menyebut tujuh mushaf yang dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, serta satu mushaf yang tetap dipegang oleh ‘Utsmân sendiri. Ibn ‘Amr ad-Dâni (w. 444 H) dalam al-Muqni’ menyebutkan bahwa kebanyakan ulama menyatakan bahwa total yang ditulis adalah empat mushaf, yaitu yang dikirim ke Kufah, Bashrah, Syam, dan satu yang dipegang oleh ‘Utsmân sendiri. Pendapat lain menyebutkan jumlah total mencapai enam mushaf. Namun, karena hanya memiliki mushaf saja tidak cukup untuk memastikan umat Islam membaca al-Qur'an dengan tepat, bersamaan dengan pengiriman mushaf-mushaf tersebut, para sahabat juga diutus ke masing-masing wilayah untuk mengajar dan memastikan pembelajaran al-Qur'an secara langsung. Misalnya, Zaid ibn Tsâbit sebagai muqri’ untuk daerah Madinah, ‘Abdullâh ibn as-Sâ’ib untuk daerah Mekkah, al-Mughîrah ibn Syihâb untuk daerah Syam, Abû ‘Abdirraẖman as-Sulamî untuk daerah Kufah, dan ‘Âmir ibn ‘Abdilqais untuk daerah Bashrah. Pendekatan ini kemudian diteruskan oleh para tabi'in dan generasi berikutnya yang menggantikan peran para sahabat, dan ini memberikan dasar untuk munculnya imam-imam Qiraat.
3. Penyempurnaan Tulisan Mushaf Utsmani
Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an, dari sejak pengumpulan, pembukuan serta penggandaan dapat dikategorikan sebagai “Tulisan Kufi”, yaitu salah satu jenis khat yang dibangsakan kepada nama kota Kaufah. Penulisan Al-Qur’an tersebut belum diberi tanda-tanda perbedaan huruf berupa titik-titik (titik-titik satu, dua, dan tiga baik di atas ataupun di bawah) dan berupa syakl (tanda-tanda bunyi: seperti fathah; kasrah; dhommah, saknah dan lain sebagainya), dan juga tanpa pemisah satu ayat dengan ayat yang lainnya, serta tanda baca lainnya seperti yang telah sempurna dalam mushaf-mushaf Al-Qur’an yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, cara penulisan demikian membuka peluang dan kemungkinan terjadinya beraneka ragam bacaan yang berkembang di berbagai kota dan negeri yang berlainan dialek dan bahasanya, serta mempunyai kekhususan adat kebiasaan masing-masing. Padahal waktu itu banyak orang- orang yang menulis Al-Qur’an pada lembaran-lembaran kertas dan akhirnya tersebar luas. Dengan demikian muncul kekhawatiran terjadinya perubahan nash- nash Al-Qur’an jika penulisan mushaf dibiarkan tanpa tanda-tanda bacaan Al- Qur’an tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 65 hijriyah (empat puluh tahun sesudah masa penggandaan mushaf utsman) tampil lah generasi yang terdiri dari beberapa orang pembesar pemerintahan untuk memelihara umat dari kekeliruan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an. Mereka berusaha memikirkan tanda- tanda tertentu yang dapat membantu dan memelihara pembacaan Al-Qur’an yang benar. A. Pemberian Tanda Pemisah Ayat Meskipun tidak ada kepastian mengenai tahun penggunaan tanda-tanda ini, kebanyakan ulama sepakat bahwa tanda-tanda ini telah diterima oleh sebagian umat Muslim sejak abad pertama Hijriah, khususnya setelah kodifikasi yang dilakukan oleh ‘Utsman. Hal ini diperkuat dengan keberadaan Mushaf Samarqand atau dikenal sebagai Mushaf Tashkent yang menggunakan tanda pemisah antar ayat. Mushaf ini dinisbatkan kepada ‘Utsman, dan kemungkinan besar dianggap sebagai salinan asli dari Mushaf ‘Utsmani. Tentang bentuk tanda tersebut, belum ada kesepakatan bersama. Beberapa mushaf memberikan nomor pada setiap ayat, sementara yang lain menggunakan tanda huruf ‘ain ( )عsetiap sepuluh ayat, dan ada pula yang menggunakan huruf khâ' ( )خsetiap lima ayat. B. Pemberian Tanda diakritikal (Titik dan Harakat) Meskipun belum ada kepastian mengenai tahun kapan tanda-tanda diakritikal muncul, banyak ulama sepakat bahwa penggunaan tanda ini dimulai pada masa pemerintahan ‘Abdulmâlik ibn Marwân, salah satu penguasa Dinasti Umayyah, pada tahun 65 H. Pada periode tersebut, kesalahan dalam bacaan al- Qur'an menjadi umum, sehingga al-H̲ ajjâj ibn Yûsuf al-Tsaqafî (w. 95), gubernur provinsi Irak, memerintahkan para penulis untuk menambahkan tanda diakritikal yang dapat membedakan huruf-huruf yang serupa dengan meletakkan titik-titik di atas atau di bawah huruf yang memiliki kemiripan. Selain itu, al-H̲ ajjâj juga memerintahkan pembuatan tanda baca (syakl) dalam al-Qur'an. Berdasarkan keterangan Ibn Abî Dâwud, Subẖi S̲ âlih̲ menjelaskan bahwa al-H̲ ajjâj mengedit teks al-Qur'an pada 11 tempat untuk memastikan bahwa al- Qur'an dapat dibaca dengan lebih jelas dan dipahami dengan mudah. Dalam riwayat lain, ‘Ubaidillah ibn Ziyâd (w. 67 H) memerintahkan seseorang berkebangsaan Persia untuk menambahkan huruf alif pada 2000 kata yang huruf alif-nya sebelumnya dihilangkan. Sebagai contoh, kata قالتdigantikan oleh ()قلت dan kata ( )كانتmenggantikan kata ()كنت. Meskipun ada beberapa laporan, kebanyakan ulama memiliki pendapat berbeda mengenai siapa yang pertama kali merumuskan tanda diakritikal untuk teks al-Qur'an. Beberapa laporan menyebutkan Abû al-Aswad ad-Du‘ali (10 SH - 69 H) atas perintah ‘Abul Mâlik ibn Marwân, sementara laporan lain menyebutkan Umar ibn al-Khaththâb atau ‘Alî ibn Abî Thâlib. Selain Abû al- Aswad ad-Du‘ali, nama-nama seperti Yaẖyâ ibn Ya’mar (45-129 H) dan Nashr ibn ‘Âshim (w. 89 H) juga disebutkan sebagai perumus tanda baca al-Qur'an. Menurut as-Suyu̱ thî, al-Hasan al-Bashrî dan al-Khalîl ibn Aẖmad al-Azdî (w. 175 H) juga berperan dalam pengembangan tanda diakritikal ini. Tanda diakritikal yang pertama kali diciptakan oleh Abû al-Aswad ad- Du‘alî belum seberhasil dan sesempurna yang kita kenal sekarang. Pada awalnya, tanda tersebut hanya berupa titik-titik, seperti titik di atas huruf sebagai tanda fatẖah, titik di bawah huruf sebagai tanda kasrah, dan titik yang menyatu dengan huruf sebagai tanda dhammah, dengan sukun ditandai oleh dua titik. Namun, tanda ini terus mengalami penyempurnaan hingga membentuk tulisan teks al- Qur'an seperti yang kita temui saat ini. Meski Abû al- Aswad ad-Du‘alî mendapat pandangan negatif dari sebagian ulama yang menganggapnya sebagai bid'ah, lambat laun masyarakat menerima tanda diakritikal ini untuk mencegah kesalahan dalam membaca dan memahami al-Qur'an. Ornamen juga diletakan pada awal setiap surat, yang berisi nama dan jenis surat (makkiyyah/madaniyyah), juga mulai diperkenalkan sebagai bentuk perhatian terhadap al-Qur'an. C. Pemberian Tanda Bagian (Juz) Al-Qur’an Pembagian al-Qur'an menjadi beberapa bagian atau juz sebenarnya sudah dikenal sejak masa Nabi Muhammad saw. Beliau konon membagi al-Qur'an berdasarkan panjang surat menjadi empat bagian, yaitu ath-Thuwâl, al-Mi‘ûn, al- Matsânî, dan al-Mufashshal. Para Qurrâ’ dan H̲ uffâzh yang dikumpulkan oleh al- H̲ ajjâj menghitung jumlah huruf al-Qur'an sebanyak 340.740 huruf, yang memungkinkan pembagian menjadi beberapa bagian. Pembagian tersebut dimulai dengan separuh al-Qur'an, yang terletak pada huruf fa dalam kalimat "walyatalaththaf" ( ْفppp )وليتلطdalam surah al-Kahfi. Kemudian dibagi menjadi 1/3, dengan bagian pertama terletak pada huruf terakhir ayat ke-100 surah Barâ’ah, dan bagian kedua pada huruf terakhir ayat ke-100 atau 101 surah asy-Syu’arâ’. Selanjutnya, pembagian dilakukan pada akhir al-Qur'an, yang dibagi menjadi 1/7 atau lebih dikenal dengan istilah “famiîbisyawqin”((َفمي ْو ٍقppبش. Tujuan dari pembagian ini adalah untuk memudahkan penyelesaian al- Qur'an sesuai dengan pembagian masing-masing. Dua hari diperuntukkan untuk menyelesaikan separuh al-Qur'an, tiga hari untuk 1/3, dan satu minggu untuk 1/7. Teori pembagian al-Qur’an yang digagas oleh al-Hajjâj terus dikembangkan oleh para ulama, hingga pada akhirnya al-Qur’an terbagi menjadi 30 juz, yang memungkinkan untuk diselesaikan dalam waktu satu bulan. D. Pemilihan Bentuk Tulisan (Khat) Al-Quran Al-Qur'an, mulai dari masa ‘Utsman, ditulis dengan menggunakan khat Kufi hingga akhir abad ke-4 H. Setelah itu, pada awal abad ke-5 H, khat Kufi digantikan oleh khat Nashki yang dilengkapi dengan tanda diakritikal. Khat Nashki ini kemudian menjadi khat standar untuk penulisan al-Qur'an yang diterima oleh masyarakat Muslim hingga saat ini. E. Penerbitan Al-Quran Edisi Cetak Dalam kitab "Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur’ân" Shubẖî ash-Shâliẖ dengan singkat menjelaskan bahwa edisi cetak pertama untuk al-Qur'an ditemukan di Bundukia sekitar tahun 1530 M. Namun, penguasa gereja mengeluarkan keputusan untuk menghapuskan manuskrip tersebut. Selanjutnya, Hinkelmann mencetak al-Qur'an di Hanboutg pada tahun 1694 M, diikuti oleh Marracci di Padoue pada tahun 1698 M. Ketiga edisi cetak al-Qur'an ini awalnya hanya dipegang oleh orang Barat pada waktu itu. Al-Qur'an yang dicetak oleh umat Islam sendiri pertama kali muncul di Saint-Petersbourg, Rusia, yang didanai oleh pemerintah Turki Ottoman pada tahun 1787. Selanjutnya disusul dua cetakan al-Qur’an di Teheran Iran, pada tahun 1828 M dan di Tigris pada tahun 1833 M, di tahun 1834 ditemukan lagi di Leipzig dan India. Serta di tahun 1877 di Istanbul Turki didirikan sebuah percetakan mushaf. Terakhir, edisi cetak diterbitkan di Mesir pada tahun 1923 atas dukungan Masyîkhah al-Azhar (Kantor Grand Syaikh al-Azhar) serta persetujuan Raja Fuad I. Mushaf edisi Mesir ini dicetak dengan menggunakan bacaan qirâ’ah riwayat Hafsh dari ‘Âshim. Edisi inilah yang selanjutnya dijadikan teks standar al-Qur’an yang diterima oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, baik barat maupun timur, dan yang beredar hingga kini.