Anda di halaman 1dari 11

PENULISAN AL-QUR’AN

(Sejarah, Proses, dan aturan penulisan Al-Qur’an Rasm Utsmani)


Dosen Pengampu : Muhammad Rifqi Ridho, B.Sc, M.H

Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah

Tashih Terjemah dan Penulisan al-Qur’an.

oleh :

Sulam Hidayatullah

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ)
MIFTAHUL HUDA RAWALO BANYUMAS
TAHUN AKADEMIK 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada
beliau Bapak Muhammad Rifqi Ridho, B.Sc., M.H selaku dosen mata kuliah Tashih Terjemah,
yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa menyusun makalah yang kami beri
judul “PENULISAN AL-QUR’AN (Sejarah, Proses, dan aturan penulisan Al-Qur’an Rasm
Utsmani)”
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan bisa memotivasi para pembacanya
untuk lebih bersemangat lagi dalam meningkatkan kreatifitasnya di bidang karya tulis, karena
dengan kemampuan menulis yang memadai maka akan memudahkan seseorang untuk menyusun
sebuah karya tulis. Terlepas dari semua itu, kami menyadari akan banyaknya kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik dari segi materi maupun dari segi tata bahasa.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari teman-teman sangat membantu kami dalam memperbaiki
makalah ini.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Rawalo, 11 Januari 2023

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci bagi orang Islam dan merupakan kalamullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi manusia.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa unsur di dalamnya, di antaranya: unsur bacaan
yang dibahas ilmu qira’at, unsur kandungan yang dibahas ilmu tafsir, dan unsur tulisan
yang dibahas ilmu rasm. Ilmu rasm al-Qur’an yaitu ilmu yang mempelajari tentang
penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan
lafallafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan.
Pada masa Nabi Muhammad saw penulisan mushaf al-Qur’an yang dipegang oleh
para sahabat tidak memiliki pola standar, sehingga mushaf tersebut berbeda satu dengan
yang lainnya, karena memang dikhususkan untuk kebutuhan pribadi dan tidak
direncanakan untuk diwariskan ke generasi setelahnya.
Namun, banyaknya tragedi-tragedi sejarah umat Islam sehingga mengharuskan
untuk menyamaratakan tulisan al-Qur’an tersebut. Penulisan al-Qur’an bermula saat
kekhalifahan Abu Bakar atas usul Umar bin Khattab yang merasa khawatir akan semakin
menghilangnya para penghafal al-Qur’an. Karena itu, tujuan pokok dalam penyalinan al-
Qur’an di zaman Abu Bakar masih dalam rangka pemeliharaan. Setelah itu, di zaman ke
khalifahan Usman bin Affan untuk menyempurnakannya menjadi mushaf yang mana
dalam penulisannya maupun pada urutannya ditentukan oleh para sahabat dengan tujuan
untuk menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf dengan menyeragamkan
bacaan serta menyatukan tertib susunan ayat-ayatnya. Dengan demikian tidak terjadi
perbedaan pemahaman antara mushaf dengan mushaf yang lain.
Sehingga, penulisan ayat-ayat al-Qur’an pun, berawal dari membaca alQur’an,
menjaganya dan untuk mengingat hafalannya. Aktivitas penulisannya juga membutuhkan
nilai-nilai spiritual dan kesungguhan yang luar biasa, agar penulisan naskah al-Qur’an 30
juz selesai dengan baik. Sebab al-Qur’an, adalah kitab suci umat Islam yang senantiasa
terjaga otentifikasinya, maka kesalahan penulisan bisa berakibat fatal. Sehingga
standarisasi al-Qur’an sangat dibutuhkan untuk menyamakan semua tulisan mushaf al-
Qur’an tersebut. Indonesia memiliki mushaf al-Qur’an standar yang menjadi patokan
dalam penulisan dan penerbitan al-Qur’an sejak tahun 1984.
Ada tiga varian Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, yaitu Mushaf al-Qur’an
Standar Usmani untuk orang awas, Mushaf al-Qur’an Standar Bahriyah untuk para
penghafal alQur’an, dan Mushaf al-Qur’an Standar Braille untuk para tunanetra.
Di masyarakat telah beredar tradisi penulisan buku-buku amaliah yang hanya
mencantumkan beberapa surah tertentu, seperti surah Yāsīn, al-mulk, al- wāqi`ah, dan
lain-lain serta tak lupa do’a-do’a pilihan sebagai amaliah sehari-hari untuk memudahkan
masyarakat . Pada perkembangan berikutnya banyak lapisan masyarakat yang mencoba
membukukan surah tertentu dalam al-Qur’an terutama surah Yāsīn, apabila sanak
keluarga yang meninggal maka para keluarga berusaha mencetak buku Yāsīn tersebut
sebagai washilah pahala apabila dibaca kepada yang telah meninggal dan bahkan di
majelis-majelis tertentu pun juga memiliki buku Yāsīn tersendiri yang dibaca sebelum
memulai majelis tersebut, hingga memiliki variasi tersendiri dari ukuran kecil, sedang
dan besar, tentu saja hal ini sudah biasa beredar di masyarakat, namun diduga dalam
penulisan surah Yāsīn yang kini beredar di masyarakat belum memenuhi standarisasi al-
Qur’an Indonesia.
Dengan demikian, peredaran buku-buku amaliah yang memuat surah Yāsīn
tersebut perlu diwaspadai dan penting untuk dikaji. Keberadaannya yang terus
berkembang di masyarakat menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah penerbitan buku-
buku amaliah yang memuat surah Yāsīn sudah sesuai dengan Mushaf Standar al-Quran
Indonesia. Apa faktor pendukung yang memicu terus beredarnya buku-buku amaliah
yang memuat surah Yāsīn tersebut. Adakah para pentashih al-Qur’an di Indonesia untuk
menstandarisasikan buku-buku amaliah yang memuat surah Yāsīn yang beredar. Inilah
hal-hal yang di dikaji dalam penelitian ini.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah penulisan Al-qur’an?
2. Bagaimana proses penulisan Al-Qur’an?
3. Bagaimana aturan pada rasm utsmani?
B. Tujuan Masalah
1. Supaya mengetahui sejarah penulisan al qur’an.
2. Supaya mengetahui proses penulisan al qur’an.
3. Supaya mengetahui aturan pada rasm utsmani.
BAB III

PEMBAHASAN

A. PROSES PENULISAN AL QUR’AN

Penulisan Al Quran telah dimulai pada zaman Rasulullah ‫ﷺ‬. Namun, Al-Quran lebih
banyak dihapalkan dari pada ditulis karena kemampuan menghapal para Sahabat radhiyallahu
‘anhum sangat kuat dan cepat, dan jumlah penghapal sangat banyak.
Di sisi lain, pada masa itu jumlah orang yang dapat membaca dan menulis sedikit, serta
sarananya masih terbatas, yakni pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau
tulang belikat unta.
Pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu (573-634 Masehi)
tahun dua belas Hijriah, banyak penghapal Al-Quran yang wafat terbunuh dalam beberapa
peperangan. Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan para sahabat untuk
mengumpulkan Al-Quran agar tidak hilang.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Umar Ibn Khaththab radhiyallahu
‘anhu mengemukakan gagasan untuk menulis Al-Quran kepada Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu setelah selesainya perang Yamamah (632 Masehi).
Namun Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak mau melakukannya karena takut dosa,
sehingga Umar radhiyallahu ‘anhu terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah
‫ ﷻ‬membukakan pintu hati Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Kemudian, beliau memanggil Zaid Ibn Tsabit radhiyallahu ‘anhu guna mencari dan
mengumpulkan naskah Al-Quran yang ditulis di atas pelepah kurma, permukaan batu cadas dan
dari hapalan para sahabat.
Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hingga wafat, kemudian
dipegang oleh Umar radhiyallahu ‘anhu hingga wafat, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti
Umar radhiyallahu ‘anha.
Seiring dengan penyebaran Islam ke luar wilayah Arab, pada zaman Khalifah Utsman Ibn
Affan radhiyallahu ‘anhu (577-656 Masehi) pada tahun dua puluh lima Hijriah, muncul
perbedaan di antara kaum Muslimin dalam hal dialek bacaan Al-Quran. Perbedaan itu sesuai
dengan mushaf-mushaf yang berada di tangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Perbedaan dialek itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, sehingga Utsman radhiyallahu
‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf guna
menyamakan bacaan Al-Quran.
Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan
Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskan kembali naskah-
naskah Al-Quran yang telah ada sebelumnya (dipegang oleh Hafshah) dan memperbanyaknya.
Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy.
Setelah menyelesaikan penulisan Al-Quran dalam dialek Quraisy (karena Al-Quran
diturunkan dengan dialek tersebut), Utsman radhiyallahu ‘anhu mengembalikan mushaf itu
kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam.
Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu juga memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-
Qur’an selainnya.
Kebijakan Utsman radhiyallahu ‘anhu menjadikan mushaf Al-Quran tak berubah dari
awal sampai sekarang, disepakati oleh seluruh kaum Muslimin serta diriwayatkan secara
akuntabel menurut kaidah periwayatan dalam Islam.

B. PROSES PENULISAN AL QUR’AN


Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang, antara lain :
1. Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini
penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena
hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping
sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja
dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya
atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit,
permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an
sangat banyak.
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang
disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari
suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di
kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an,
seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu
Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda
Radhiyallahu ‘anhum.
2. Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas
Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-
Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah
seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk
mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2]
disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut
kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu
Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus
mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan
pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit
Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan
kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan
berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis
wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-
Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan
mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari
hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia
wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang
oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari
secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan
oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan
keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu
mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah
Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu
Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
3. Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu
pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin
pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang
berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan
menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk
mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum
muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu
Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu
‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat
perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul
Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab
Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!”
Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma :
“Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-
mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”,
Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-
Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu
‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit
berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy.
Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid
Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek
Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu
mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada
Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri
Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat
kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia
mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan
pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”,
Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia
hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”.
Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.
Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika
Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”,
atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal
itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan
Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu
adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan
yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari
pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan
mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak
tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu
mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan
yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-
Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman
Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam
satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk
bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang
mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya
kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya :
Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang.
Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah :
Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan
permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh
seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh
anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor
para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang
menyeleweng.

C. ATURAN PADA RASM UTSMANI


Rasm bisa diartikan atsar (bekas), khat (tulisan) atau metode penulisan. Rasm
Utsmani atau disebut juga Rasmul Qur’an adalah tata cara penulisan Al-Qur’an yang
ditetapkan pada masa khlalifah Utsman bin Affan. Istilah Rasmul Qur’an diartikan
sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-
sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh
panitia empat yang terdiri dari Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin
Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Kaidah rasm utsmani ada 6:
1. Hadzf (‫)ال َح ْذف‬
ْ
Hadzf artinya membuang. Nah dalam penulisan Al-Qur’an ada beberapa huruf yang
dibuang. Huruf yang dibuang diantaranya alif, wau, ya’, lam dan nun.
ِّ
2. Ziyadah (‫)الزيَادَة‬
Ziyadah artinya menambah. Maksudnya dalam kaidah imlai huruf-huruf tersebut
tidak ada, namun dalam penulisan di Al-Qur’an dimunculkan walaupun tidak
memengaruhi bacaan. Huruf yang ditambahkan diantaranya alif, wau, ya’ dan Ha’.
3. Badal (‫)البَ ْدل‬
Badal artinya mengganti. Adapun dalam rasm utsmani, badal adalah mengganti huruf
dengan huruf yang lain.
ْ
4. Hamzah (‫)الهَ ْمزَ ة‬
Hamzah ditulis dalam bentuk alif, ya’, wau, atau seperti kepala ain.
5. Fashal dan Washal (‫)الفَصْ ُل َو ْال َوصْ ل‬
ْ
Yang dimaksud fashal atau washal adalah pemisahan atau penggabungan dalam
penulisan. Istilah lainnya adalah maqthu’ dan maushul namun maksudnya sama.
Dalam Al-Qur’an, ada dua kata yang ditulis bersambung, namun kadang pula ditulis
terpisah.
6. Kata yang terdapat dua qiraat dan ditulis salah satunya.
Apabila ada kata yang dibaca berbeda oleh para ahli qiraat, maka penulisannya hanya
satu saja diambil dari yang paling banyak menggunakan.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pertama kali Rasul menerima wahyu yakni ketika usianya 40 tahun. Beliau
sedang menyendiri di Gua Hira pada tanggal 17 Ramadhan. Ayat yang pertama kali turun
yaitu ayat 1-5 dari surat Al-‘Alaq.

Ayat Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2


bulan, 22 hari sesuai dengan peristiwa-peristiwa pentahapan dalam penetapan hukum.
Setiap kali Rasul menerima wahyu, beliau langsung menghafalkan ayat-ayatnya dan
disampaikan kepada para sahabatnya. Para sahabatnya pun disuruh menghafalkan ayat-
ayat Al-Qur’an dan menuliskannya di atas pelepah kurma, lempengan-lempengan batu,
dan keping-kepingan tulang.

Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup sampai satu surat, kemudian


beliau memberi nama surat tersebut untuk membedakan nyadari yang lain, juga memberi
petunjuk kepada para sahabatnya tentang penempatan surat dan susunannya di dalam Al-
Qur’an.

Dalam menjagakemurnian Al-Qur’an, setiap tahun malaikat Jibril datang kepada


Rasulullah untuk memeriksa dan mengoreksi bacaan Rasul dengan cara
menyuruhnya untuk mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian
Rasul pun melakukan hal yang sama kepada para sahabatnya, agar tidak terjadi
kekeliruan dan kesalahan.

Al-Qur’an merupakan  kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT.
kepada Nabi Muhamad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah
pedoman dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA

https://almanhaj.or.id/2198-penulisan-al-quran-dan-pengumpulannya.html

Anda mungkin juga menyukai