Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Al-Qur’an


Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan

Oleh:
Hafiz Firmansyah
NPM. 18810688

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai umat Islam tentu kita wajib tahu betapa pentingnya Al-
Qur’an bagi kita. Al-Qur’an sebagaimana yang dimiliki umat Islam
sekarang ternyata mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan
upaya penulisan dan pembukuan (kodifikasi). Pada zaman Nabi
Muhammad SAW, Al-Qur’an belum dibukukan ke dalam satu mushaf.
Tetapi masih terpisah-pisah penulisannya. Al-Qur’an baru ditulis dalam
menggunakan kepingan-kepingan tulang, pelapah-pelapah kurma,
lempengan batu-batu dan lain-lain, yang sesuai dengan kondisi peradaban
masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat-alat tulis menulis,
seperti kertas dan pensil.
Pada hakikatnya Allah menjamin kemurnian dan kesucian Al-
Qur’an, selamat dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau
pengurangan-pengurangan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah
dalam surat Al-Hijr:9 dan juga dalam surat Al-Qiyamah: 17-19. Dalam
catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan penulisan
Al-Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan. Al-Qur’an
ditulis sejak Nabi masih hidup.Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi
langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk
menuliskannya secara hati-hati.Begitu mereka tulis, kemudian mereka
hafalkan sekaligus mereka amalkan.
Usaha pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an telah dimulai
sejak masa Rasulullah SAW. Secara resmi kodifikasi Al-Qur’an dimulai
pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman,
Al-Qur”an kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi
menghindari beberapa hal. Mushaf yang diseragamkan inilah yang
kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian
diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa
perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan
dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para
penghapal Al-Qur’an dan karena turunnya Al-Qur’an memang tidak
berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsmani.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini merumuskan masalah menjadi tiga poin yaitu:
1. Apa pengertian kodifikasi Al-Qur’an?
2. Bagaimana pemeliharan Al-Qur’an pada masa Rasulullah?
3. Bagaimana pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar?
4. Bagaimana pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman bin
Affan?

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengertian kodifikasi Al-Qur’an;


2. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Rasulullah;
3. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar;
4. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman bin Affan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kodifikasi Al-Qur’an


Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kodifikasi
merupakan himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; hal
penyusunan kitab perundang-undangan; pencatatan norma yang telah
dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, seperti
pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman pembentukan istilah, atau
kamus.1 Jadi, kodifikasi Al-Qur’an adalah kaidah penulisan kalimat-
kalimat Al-Qur’an yang mengalami perkembangan dan penyempurnaan
dari waktu ke waktu, hingga tulisan kalamullah itu tercatat sampai saat ini.
Dalam sejarah penulisan Al-Qur’an, dijelaskan bahwa simbol
atau lambang tulisan Al-Qur’an tidak langsung utuh sebagaimana kita
kenal saat ini. Al-Qur’an mengalami berbagai perkembangan yang cukup
memakan waktu dan pikiran. Penggunaan simbol dan pelambang yang
ada, dimaksudkan agar lidah non-Arab (ajam) dapat memahami kaidah
pembacaan Al-Qur’an yang benar. Berbeda dengan orang Arab sendiri,
bahkan tanpa simbol tulisan pun, mereka mampu mengungkapkan bacaan
Al-Qur’an dengan benar karena firman Allah ini diturunkan dengan
bahasa mereka, bahasa Arab.
Pakar tafsir Al-Qur’an, Prof. K.H. Muhammad Quraish Shihab,
menjelaskan, setidaknya ada dua alasan penggunaan bahasa Arab dalam
Al-Qur’an. Pertama, karena Al-Qur’an diturunkan pertama kali di tanah
Arab. Kedua, karena bahasa Arab adalah alat pengantar komunikasi
manusia yang memiliki kosa kata sangat banyak (kompleks). “Kurang
lebih, bahasa Arab memiliki 12 juta kosa kata. Makin banyak kosa kata
yang dimiliki suatu bahasa, maka bisa kian jelas pengertian yang
diantarkannya,”2 kata Prof. Quraish dalam tayangan Tafsir Al-Mishbah
episode “QS Az-Zukhruf 1-10” di Metro TV, Jumat, 24 April 2020.
1
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2
Prof. Quraish Shihab, 24 April 2020 di Metro TV
“Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menerangkan [2] Sesungguhnya
Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 3).
Karena Al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab,
maka bagi orang non-Arab begitu penting adanya kodifikasi atau kaidah
penulisan Al-Qur’an agar mereka dapat membacanya dengan baik dan
benar. Mengungkapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an menurut hukum
bacaan bahasa Arab, serta dipahami dengan lebih baik oleh kaum
muslimin di seluruh penjuru dunia.

B. Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah


Yang sering kita dengar selama ini adalah bahwa bangsa Arab
pada umumnya, dan suku Quraisy pada khususnya, adalah bangsa
terbelakang yang buta huruf. Sejujurnya penulis merasa ragu akan
keabsahan pendapat ini. Banyak bukti yang menangkal anggapan tersebut
termasuk bukti nash Al-Qur’an sendiri. Yang paling konkrit ialah fakta
bahwa sastra Arab pada saat itu sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi
dan diakui oleh para peneliti sejarah maupun pakar sastra masa kini.
Pencapaian semacam itu mustahil dimiliki oleh bangsa yang berperadaban
terbelakang. Penulis meyakini peradaban mereka sudah sangat maju
bahkan jauh sebelum Nabi SAW lahir. Hanya saja bisa dikatakan bahwa
meski pengetahuan tentang tulis-menulis sudah sangat maju namun tidak
merata ke seluruh lapisan masyarakat. Sementara faktor yang
menyebabkan terjadinya hal ini penulis curiga ada peraturan yang
melarang sebagian kaum untuk belajar tulis menulis. Motif yang
mendasarinya bisa saja keinginan sejumlah pihak yang ingin memonopoli
politik dan ekonomi kaum Quraisy pada masa itu, walaupun sampai saat
ini penulis belum menemukan bukti atau tanda yang merujuk pada
kebenaran asumsi sementara tersebut. Alasan lain yang masuk akal adalah
biaya belajar yang cukut tinggi sehingga masyarakat menengah ke bawah
tidak mampu membayar dan berakhir dengan hidup tanpa tahu baca-tulis.
Wallahu a’lam.
Meski saat itu bangsa Arab sudah ada yang bisa baca-tulis,
namun mereka belum mengenal kertas, sebagai kertas yang dikenal
sekarang. Adapun kata “Al-qirthas” yang daripadanya terambil kata-kata
Indonesia “kertas” dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada benda-benda
(bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu: kulit
binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah tamar (korma), tulang binatang
dan lain-lain sebagainya.3 Setelah wafatnya Nabi SAW dan umat Islam
berhasil menaklukkan Persia, barulah mereka mengenal kertas. Akhirnya
kata “Al-qirthas” pun dipakaikan sebagai nama pada kertas yang kita kenal
sekarang.
Pada periode ini Nabi SAW menerima wahyu lalu
menghafalkan dan menyampaikannya pada para Sahabat. Kebanyakan
Mereka (para Sahabat) akan menghafalkannya seperti yang dilakukan
Nabi SAW. Sebab seperti yang kita tahu tidak semua masyarakat suku
Quraisy bisa baca tulis dan mayoritas pemeluk agama Islam saat itu adalah
dari kalangan menengah kebawah. Meski demikian Allah memberi
kelebihan pada bangsa Arab yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, yaitu
daya ingat yang sangat kuat. Terbukti banyak dari Sahabat yang mampu
menghafal seluruh Al-Qur’an walau tanpa teks pendukung (catatan).
Diantara para penghafal itu ialah Khalifah yang empat, Zaid bin Tsabit,
Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’b, Abdullah bin Mas’ud, dll. Mereka
adalah para Sahabat yang sering disebut oleh Nabi dalam Hadits-haditsnya
sebagai penghafal Al-Qur’an. Ini karena Nabi sendiri sering memeriksa
hafalan mereka dan teruji kebenarannya. Tidak hanya itu, para Sahabat
lain juga ada yang menghafalakan Al-Qur’an walau tidak seluruhnya,
namun kemudian mereka menyempurnakan hafalannya setelah Nabi SAW
wafat. Mereka meneladani Nabi sebagai penghafal Al-Qur’an terbaik yang

3
T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al Malik Fahd li
thiba’at al Mush-haf asy Syarif) hal. 18.
tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya karna Allah SWT senantiasa
menjaga hafalan Beliau. Sejarah menyebutkan bahwa setiap tahun pada
malam bulan Ramadhan Jibril datang dan memeriksa hafalan Nabi. Ada
Hadits shahih yang mendukung kisah ini;
ْ Kِ‫ َو ُد ب‬Kْ‫لَّ َم أَج‬K‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
َ ِ ‫ فَلَ َرسُو ُل هَّللا‬، َ‫َار ُسهُ ْالقُرْ آن‬
ِ ‫ فَيُد‬، َ‫لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َر َمضَان‬
ِ ‫ ِّر‬K‫الخَ ي ِْر ِم ْن ال‬K
‫يح‬
)‫ْال ُمرْ َسلَ ِة (صحيح البخاري‬
“Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak
kemurahannya pada bulan Ramadhan ketika Ia ditemui oleh Jibril. Ia
ditemui Jibril pada setiap malam Bulan Ramadhan; Jibril membacakan Al-
Qur’an kepadanya. Dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril itu Ia sangat
pemurah sekali”.4
Sedangkan sebagian Sahabat terkemuka lain memenuliskan
ayat-ayat Al-Qur’an pada kulit dan tulang binatang, batu dan pelepah
kurma. Memang tidak semuanya, Sahabat yang diperintahkan menulis
ayat-ayat tersebut adalah mereka yang sudah diakui oleh Nabi SAW dan
Sahabat lain sebagai orang yang ahli dalam bidang tulis menulis. Diantara
Sahabat yang dikenal ahli dan diangkat menjadi sekretaris Nabi SAW
ialah Ali bin Abu Thalib, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. 5
Mereka menuliskan ayat dan surat Al-Qur’an untuk Nabi SAW sesuai
petunjuk Beliau dan untuk Beliau. Catatan tersebut dilakukan dihadapan
Nabi SAW sekalipun ada sebagian Sahabat yang menulis untuk dirinya
sendiri (disimpan sendiri). Dengan begitu tahulah kita bahwa pada masa
Nabi SAW pelestarian Al-Qur’an dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Dihafalkan oleh para penghafal Al-Qur’an.
2. Catatan-catatan yang ditulis untuk Nabi SAW.
3. Catatan-catatan yang ditulis untuk para Sahabat sendiri.

Perlu diingat bahwa saat itu Al-Qur’an sama sekali belum


dibukukan, hanya dituliskan pada benda-benda yang dapat ditulisi dan
dikumpulkan. Karenanya penulis menamai periode ini sebagai periode

4
Manna’ Khalil Al-Qattan, op.cit, hal. 186.
5
Manna’ Khalil Al-Qattan, op.cit, hal. 185-186.
penghafalan dan pengumpulan, bukan pembukuan. Yang menjadi alasan
para Sahabat tidak membukukannya adalah:

1. Bangsa Arab belum mengenal kertas ataupun istilah pembukuan.


2. Nabi tidak memerintahkan mereka untuk membukukannya.
3. Nabi masih hidup yang berarti masih ada kemungkinan wahyu
akan turun lagi.
4. Alasan lain yang belum penulis ketahui

C. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar RA


Sepeninggal Nabi SAW, muncullah beberapa kelompok yang
menentang ajaran Islam. Penentangan itu ada yang berupa penolakan
untuk membayar zakat, mengaku nabi, dll. Menghadapi hal ini, Khalifah
terpilih, Abu Bakar r.a mengambil tindakan tegas dengan memerangi
mereka. Dia menyiapkan pasukan besar yang sudah teruji di berbagai
medan perang. Tahu akan hal ini, para penentang bergeming dan menolak
bertaubat. Maka perangpun tak terelakkan yang kemudian dikenal dengan
perang Yamamah. Akibatnya banyak dari kalangan penghafal Al-Qur’an
gugur.
Umar bin Khattab, yang dibukakan hatinya oleh Allah SWT,
menyadari kerugian sangat besar yang akan menimpa kaum Muslimin jika
ini terus dibiarkan, yaitu kehilangan Al-Qur’an. Dia bergegas menemui
Abu Bakar dan mengutarakan keprihatinannya soal banyak penghafal yang
gugur di medan perang serta akibatnya. Dia mengusulkan agar Khalifah
menunjuk seseorang untuk membukukan Al-Qur’an, namun Abu Bakar
menolak. Khalifah beralasan bahwa itu tidak pernah dilakukan ataupun
diperintahkan oleh Nabi SAW. Umar bersikukuh bahwa ini adalah
perbuatan/ tindakan yang baik dan benar. Akhirnya Abu Bakar juga
dibukakan hatinya oleh Allah SWT dan menyetujui usulan Umar,
kemudian dia memanggil Zaid bin Tsabit, salah satu pemuda cerdas yang
menjadi sekretaris kepercayaan Nabi SAW. Abu Bakar menceritakan
tentang kedatangan Umar dan usulannya pada Zaid. Seperti Abu Bakar
sebelumnya, Zaid meragukan keputusan yang diambil Abu Bakar, namun
rupanya Allah pula yang membukakan hati Zaid yang akhirnya dia mau
menuruti perintah tersebut. Zaid melaksanakan perintah tersebut dengan
sangat teliti. Dia mengumpulkan catatan-catatan dari para Sahabat yang
lain untuk dicocokkan dengan miliknya dan hafalan mereka dengan
hafalannya. Ayat dan surat yang sudah tersusun sesuai dengan petunjuk
Nabi dulu itu kemudian disalin ke dalam lembaran-lembaran (Shahifah).
Setelah penyalinan selesai shahifah tersebut diikat dengan rapi dan
diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar.6 Al-Qur’an setengah jadi itu terus
berada di tangan Abu Bakar sampai meninggal dan berpindah tangan
kepada Umar, Khalifah berikutnya. Sepeninggal Umar Shahifah itu
disimpan oleh Hafsah, putri Umar, sampai tiba masa pemerintahan
Khalifah Utsman Bin Affan.

D. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman bin Affan

Pada masa Nabi SAW, keringanan membaca Al-Qur’an


diberikan oleh Beliau untuk mempermudah penghafalan umat Islam
dengan dialek mereka, bukan dialek Quraisy. Kendatipun demikian ini
tidak merubah esensi makna lafadz Al-Qur’an. Hasilnya ada sekitar 7
macam huruf/ bacaan (qira’ah sab’ah) yang diakui oleh Nabi
kebenarannya. Ketika itu fenomena ini bukanlah masalah yang besar
karena Nabi SAW masih hidup untuk dijadikan tempat mengadu.
Sebaliknya ini menjadi masalah besar yang bahkan hampir menyebabkan
pertumpahan darah pada masa Khalifah Utsman.

Berawal dari Hudzaifah bin Yaman yang bertugas memimpin


ekspedisi ke wilayah Asia tengah melalui Syria dan Irak, dia kaget setelah
mengetahui bahwa umat Islam di sana tengah berselisih tentang perbedaan
dalam bacaan Al-Qur’an. Kedua belah pihak sama-sama merasa paling

6
Meski disebut lembaran, penulis menduga shahifah itu tidak terbuat dari kertas, melainkan
kulit binatang. Sebab seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya, bangsa Arab baru
mengenal kertas setelah penaklukan Persia oleh Islam.
benar dan menyalahkan bacaan pihak lain. Bahkan sebagian mereka
menuduh kafir kepada sebagian yang lain. Perseteruan yang memanas ini
hampir saja menyebabkan pertumpahan darah di kalangan sesama umat
Islam. Hudzaifah yang merasa miris melaporkan kejadian tersebut pada
Khalifah Utsman. Dia menyarankan agar Khalifah segera menyelamatkan
umat Islam dari perang saudara. Opsi yang ditawarkan Hudzaifah adalah
penentuan satu bacaan Al-Quran yang menjadi pedoman seluruh umat
Islam dimanapun berada. Upaya ini bisa dikatakan merupakan
standardisasi bacaan Al-Qur’an yang bertujuan untuk menyeragamkan
umat. Khalifah yang mengerti maksud usulan tersebut langsung
memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’d bin ‘Ash dan
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk membentuk panitia pembukuan
dan pembakuan Al-Qur’an dan melantik Zaid sebagai ketuanya. Pelantikan
Zaid ini bukan tanpa alasan, melainkan karena dia adalah orang yang
dianggap paling mumpuni melaksanakan tugas ini setelah sebelumnya
pernah ditugasi serupa oleh Khalifah Abu Bakar. Selain itu Khalifah juga
meminjam shahifah yang berada di tangan Hafshah untuk kemudian
disalin dan dikembalikan lagi padanya. Khalifah memutuskan bahwa
standard tulisan dan bacaan Al-Qur’an yang akan dipakai secara resmi
adalah dialek Quraisy dengan alasan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
mereka. Tidak lupa pula bahwa Al-Qur’an standard ini disalin menjadi 4
kitab untuk disebar nantinya. Mendapat perintah demikian Zaid dan
anggotanya lalu bekerja keras mencurahkan segala daya dan upaya mereka
mengumpulkan semua catatan-catatan Al-Qur’an yang dimilikinya dan
dimiliki para Sahabat pencatat lain. Penulis belum mendapatkan data yang
akurat mengenai berapa lama proyek ini berjalan. Yang pasti setelah
panitia kecil ini berhasil, ke-4 kitab salinan tersebut kemudian disebarkan
ke Basrah, Kufah (Irak) dan Damaskus (Syria), sedangkan 1 kitab lainnya
tetap di Madinah untuk disalin kembali dan disebarluaskan. Kitab inilah
yang kemudian disebut “Mushaf al-Imam” (Kitab Induk). Tidak sampai di
situ saja, Khalifah memerintahkan agar semua catatan Al-Qur’an selain
salinan Al-Qur’an standard ini dibakar dan agar umat Islam menyalin dari
kitab tersebut. Maksudnya supaya tidak terjadi perselisihan lagi karena
perbedaan bacaan setelah upaya penyalinan dilakukan.

Terlepas dari upaya penyeragaman tersebut, para pencatat Al-


Qur’an adalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan lupa, bukan
seperti mesin fotokopi yang kita kenal sekarang. Oleh karenanya masih
ada beberapa perbedaan teks di sana-sini dari ke-4 kitab tersebut meski
tidak fatal. Selain itu macam bacaan Al-Qur’an yang sanadnya
bersambung pada kita sekarang adalah bacaan yang diakui kebenarannya
oleh Nabi SAW.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dihafalkan oleh para penghafal Al-Qur’an, catatan-catatan yang
ditulis untuk Nabi SAW dan catatan-catatan yang ditulis untuk para
Sahabat sendiri;
2. Mengumpulkan Al-Qur’an ke dalam Shahifah yang kemudian
disimpan oleh Khalifah. Alasan yang mendasarinya adalah
kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur’an karena banyak para
penghafal yang syahid di medan perang;
3. Standardisasi teks dan bacaan Al-Qur’an. Alasannya adalah karena
terjadi perselisihan di kalangan umat Islam di Irak dan Syria tentang
mana teks dan bacaan yang benar. Untuk menghindari meluasnya
perbedaan semacam ini maka dilakukan standardisasi sebagai proses
penyeragaman.

Anda mungkin juga menyukai