Anda di halaman 1dari 10

MATA KULIAH

TAUHID DAN PAI

Disusun Oleh:
Hafiz Firmansyah
NIM: 18810688

FAKULTAS HUKUM S1 ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI BANJARMASIN
2019
TAUHID

A. Pengertian

Tauhid adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap hamba Allah.

Tauhid merupakan dasar atau pokok dari syariat Islam yang paling agung dan

hakikat Islam yang paling besar. Ilmu ini sebagai pondasi pokok yang mempelajari

tentang pencipta makhluk dan bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada-

Nya. Inilah ilmu yang paling tinggi.

Tauhid merupakan hal wajib untuk dipelajari karena dengan

mempelajarinya kita akan tahu bahwa ternyata tauhid adalah satu-satunya batas

pemisah yang membedakan antara muslim dan kafir.

Tauhid juga merupakan syarat diterimanya amal perbuatan di samping

harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena

berkaitan erat dengan keikhlasan niat dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Sehingga mempelajari ilmu tauhid merupakan kewajiban pertama atas setiap

hamba.

Tauhid adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan

Allah. Islam mengajarkan bahwa Allah esa (satu) tidak dari segi bilangan.

Melainkan dari segi bahwa Allah tidak mempunyai sekutu atau serupa. Allah satu

dari segi Dzatnya, dengan makna bahwa tidak ada dzat yang serupa dengan Dzat

Allah. Karena Dzat Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda,

karena Allah-lah yang menciptakan seluruh benda beserta segenap sifat-sifatnya.

Allah sudah ada sebelum seluruh ciptaan ini ada. Allah tidak dapat dibayangkan

karena bayangan benak manusia hanya bisa menjangkau hal-hal yang biasa

dijumpai, dilihat, didengar atau dirasakannya dengan panca indera. Allah tidaklah

serupa dengan hal-hal demikian. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik


merupakan konsekuensi dari kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh seorang

muslim.

Tauhid dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari fi’il (kata tugas)

wahhada-yuwahhidu-tauhiidan: ‫( َو َّح َد – يُ َوحِّ ُد – تَوْ ِح ْيدًا‬dengan huruf ha di tasydid). Arti

tauhid secara bahasa adalah: ‫“ َو َّح َد ال َش ْي َء ِإ َذا َج َعلَهُ َوا ِحدًا‬menjadikan sesuatu menjadi satu

saja”.

Tauhid secara istilah adalah mengesakan Allah dalam sesuatu yang

menjadi kekhususan-Nya baik dalam perbuatan Allah, perbuatan hamba (berupa

peribadatan) serta dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah, bersamaan dengan

menafikan semua kekhususan tersebut dari selain Allah.

Sebagian para ulama menamakan tauhid aswa wa sifat dan tauhid

rububiyah dengan nama ma’rifat wal itsbat. Yakni meyakini bahwa Allah Maha

Esa, tidak ada sekutu bagiNya dalam perbuatanNya. Kemudian kita tetapkan nama-

nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang tertera di Al-Qur’an dan

hadits-hadits yang shahih. Tauhid yang kedua adalah al-qaswa tlahab. Jadi didalam

kita beribadah, niat dan tujuan kita hanya Allah subhanahu wa ta’ala.

Pada dasarnya, itu hanya sekedar istilah untuk memudahkan kita dalam

memahami pembahasan tauhid ini. Yang pada hakikatnya mencakup tiga macam

pembagian tauhid. Tauhid uluhiyyah, rububiyah dan asma wa sifat.


Keimanan dan aqidah harus dilandasi keyakinan. Tidak bisa dicampuri

dengan keraguan. Harus kita yakini dan terpatri kokoh didalam hati kita. Itulah

aqidah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau

berkata:

Antara Nabi Nuh dengan Nabi Adam ada sepuluh generasi, mereka semua

berada di atas syari’at yang haq, tetapi kemudian mereka berselisih, maka Allâh

mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi kabar peringatan”.

Dan penyebab perselisihan manusia pertama kali di muka bumi adalah

kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum Nabi Nûh Alaihissallam , disebabkan oleh

sikap ghuluw (melewati batas) dalam mengagungkan orang-orang shalih. Allâh

Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum Nabi Nûh Alaihissallam :

Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan

(penyembahan) ilah-ilah (tuhan-tuhan) kamu dan jangan pula sekali-kali kamu

meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan

Nasr”.

Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum Nabi Nuh di atas, asalnya adalah

orang-orang shalih yang telah mati. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbâs

Radhiyallahu anhu:
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Patung-patung yang dahulu ada pada

kaum Nabi Nûh setelah itu berada pada bangsa Arab. Adapun Wadd berada pada

suku Kalb di Daumatul Jandal. Suwâ’ berada pada suku Hudzail. Yaghûts berada

pada suku Murâd, lalu pada suku Bani Ghuthaif di al-Jauf dekat Saba’. Ya’uq

berada pada suku Hamdan. Dan Nasr berada pada suku Himyar pada keluarga Dzil

Kila’. Itu semua nama-nama orang-orang shalih dari kaum (sebelum-pen) Nuh.

Ketika mereka mati, syaithan membisikkan kepada kaum mereka: “Buatlah patung

yang ditegakkan pada majlis-majlis mereka, yang mereka dahulu biasa duduk. Dan

namakanlah dengan nama-nama mereka!”. Lalu mereka melakukan. Patung-patung

itu tidak disembah. Sehingga ketika mereka (generasi pembuat patung) mati, ilmu

(agama) telah hilang, patung-patung itu tidak disembah”.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Ini memberikan

faidah berhati-hati dari ghuluw dan sarana-sarana kemusyrikan, walaupun niatnya

baik. Karena sesungguhnya syaithan memasukkan mereka (orang-orang di zaman

Nabi Nuh–pen) dari pintu ghuluw (melampaui batas) terhadap orang-orang shalih

dan berlebihan di dalam mencintai mereka. Sebagaimana telah terjadi semisal itu di

dalam umat ini. Syaithan menampakkan kepada mereka berbagai bid’ah dan ghuluw

dengan bentuk mengagungkan orang-orang sholih dan mencintai mereka. Sehingga

akhirnya syaithan menjerumuskan mereka di dalam perkara yang lebih besar dari

itu, yaitu menyembah orang-orang shalih itu dari selain Allâh Azza wa Jalla ”.

Tauhid harus selalu diajarkan pertama kali kepada manusia dengan

sebenar-benarnya. Kewajiban pertama kali atas manusia adalah dengan mengenal

Allah dengan penuh keyakinan. Dan setiap orang yang beramal tidak disadari
dengan ilmu maka amal nya tidak diterima/ditolak, tulis Kiai As'ad mengutip dari

kitab Zubad, dalam muqadimah Risalah at-Tauhid. Dalam kitab tersebut, Kiai As'ad

menjelaskan tauhid dengan mengutip dari kitab Risalah al-Qusyairiyyah.

Kiai As'ad mengatakan bahwa tauhid adalah hukum tentang sesuatu yang

satu, sedangkan ilmu adalah hukum tentang sesuatu yang satu juga. Menurut Kiai

As'ad, tauhid juga bisa diartikan hati yang mendominasi atas yang haq.

Barang siapa yang berkeyakinan atau mengetahui terhadap dalil-dalil

bahwasanya Allah adalah tunggal atau pandangan hati mendominasi terhadap yang

Haq, sehingga melupakan yang tidak haq (makhluk). Maka, dia adalah orang yang

bertauhid.

Sebagai seorang ulama, Kiai As'ad benar-benar menekankan tauhid dalam

diri umat Islam. Hal ini juya bisa dilihat di kitab Risalah at-Tauhid. Di awal kitab

tersebut, Kiai As'ad langsung menjelaskan tentang sifat dua puluh yang wajib

diketahui dan sifat dua puluh yang harus ditentang. Sifat-sifat tersebut harus

diketahui secara minimum oleh seorang Islam untuk mengenal Tuhannya.

Kiai As'ad juga pernah mengatakan bahwa segala ilmu yang sebelumnya

tidak dijiwai ketauhidan jangan diharap memuaskan hasilnya. Segala ilmu yang

hinggap ke lubuk hati seseorang yang kosong tauhidnya, ilmu tersebut malah bisa

mencelakakan orang tersebut. Namun, jika tauhidnya sudah melekat, ilmu tersebut

akan bermanfaat dan berkah.

Kiai As'ad menilai, kenakalan dan kebrutalan para pelajar juga

disebabkan karena sistem pendidikan yang keliru. Pelajaran agama yang diterapkan

di sekolah amat minim. Jiwa mereka sangat gersang lantaran ilmu tauhid tidak

terpatri di hati mereka. Padahal, tauhid meru pakan fondasi segala sesuatu.
Dengan tauhid, seseorang tidak akan mudah goyah dan tertipu ekstasi

keduniawian. Karena itu, Kiai As'ad menganggap tauhid juga sangat penting

diajarkan di sekolahsekolah sejak dini.

B. Pembagian Tauhid

Pembahasan ilmu tauhid meliputi pembelajaran tentang hal-hal yang

wajib kita tetapkan bagi AllahSubhanahu wa Ta’ala, baik itu yang berupa sifat

kemuliaan yang ada padaNya maupun sifat kesempurnaan yang dimilikiNya.

Bahasan ilmu tauhid juga meliputi hal-hal yang mustahil ada pada diri Allah dan

tidak layak disandangNya, baik itu yang berupa (sifat-sifat) maupun perbuatan-

perbuatan. Selain itu, bahasan ilmu tauhid juga mencakup hal-hal yang wajib kita

tetapkan bagi para Nabi dan Rasul dan hal-hal yang mustahil ada pada mereka. Dan

juga mencakup hal-hal yang berhubungannya seperti permasalahan iman terhadap

kitab-kitab yang diturunkan Allah, malaikat-malaikatNya yang suci, hari

kebangkitan dan hari pembalasan, serta qadha dan qadar. Adapun faidah dari ilmu

tauhid yaitu memperbaiki akidah dan sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan di

dunia dan di akhirat.

Setelah melakukan pengkajian terhadap dalil-dalil di dalam al-Quran,

maka para ulama membagi tauhid menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: tauhid

rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma wa sifat. Dan ketiga macam tauhid

ini tercakup dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara

keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepadaNya.
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut

disembah)?.” (QS. Maryam [19]: 65).

Ilmu tauhid dalam Islam dibagi lagi ke dalam tiga macam. Untuk lebih

mudah memahaminya, berikut ini adalah macam-macam ilmu tauhid.

1. Tauhid Rububiyyah

Tauhid rububiyah adalah ilmu tauhid yang mana mengesakan Allah

dalam segalanya, seperti penciptaan, pemberi rezeki, pemilikan, dan lain

sebagainya. Seorang muslim wajib percaya bahwa segala hal yang terjadi

adalah karena Allah dan Allah tidak memiliki sekutu atau bantuan apapun

dalam melakukan segalanya. Allah berfirman,

Tauhid rububiyah dapat diartikan meyakini hanya Allah yang mampu

melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan-Nya, seperti

menciptakan makhluk, mengaturnya, memberi rezeki, memberi manfa’at,

menimpakan musibah/mudhorot, menghidupkan, mematikan dan lainnya yang

menjadi kekhususan Allah.

“Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia Yang

hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya; tidak mengantuk dan

tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat

memberi syafa’at disisi Alloh tanpa izin-Nya. Alloh mengetahui apa-apa yang

di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-

apa dari ilmu Alloh melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Baqoroh ayat

255)

2. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid uluhiyah adalah pengesaan ibadah hanya kepada Allah SWT.

Seorang muslim harus beribadah sesuai dengan perintah Allah dan menjauhi

segala larangan Allah SWT. Tauhid uluhiyah bisa diartikan meyakini hanya

Allah yang berhak diibadahi, tidak boleh mempersembahkan peribadatan

kepada selain-Nya, dalam bentuk ibadah yang lahir maupun yang batin, ucapan

maupun perbuatan.

3. Tauhidul Asma` was Shifat

Tauhid asma’ wa shifat adalah tauhid yang isinya pengesaan sifat dan

nama Allah. Allah mempunyai nama dan sifat yang begitu istimewa yang tidak

mungkin ada pada mahluk manapun. Sebagai seorang muslim, kita hendaknya

mengetahui dan mengamalkan nama dan sifat Allah yang banyak disebutkan

dalam Al Quran.

Barangsiapa yang meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah-Nya, yaitu

meyakini bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam menciptakan

makhluk, mengaturnya, memberi rezeki, memberi manfa’at, menimpakan

musibah/keburukan, menghidupkan, mematikannya, dan lainnya yang menjadi

kekhususan Allah, maka keyakinan tersebut mengharuskannya mempertuhankan-

Nya dalam beribadah, mengesakan, dan mentauhidkan-Nya dalam segala bentuk

peribadatan. Karena hanya Dzat yang mampu menciptakan makhluk, mengaturnya,

memberi rezeki kepadanya, dan yang selainnya dari makna-makna rububiyyah itu

sajalah yang pantas dan wajib disembah, selain-Nya tidak boleh dan tidak pantas

disembah.

Setiap orang yang mentauhidkan Allah dalam peribadatan dan tidak

melakukan kesyirikan, pastilah terkandung keyakinan dalam hatinya bahwa

Allahlah satu-satunya Dzat yang menciptakan dan memiliki alam semesta,

mengaturnya, memberi rezeki kepada makhluk-Nya. Ini berarti ia meyakini bahwa


satu-satunya Tuhan yang berhak disembah adalah Allah yang Esa dalam

rububiyyah-Nya, tidak ada tandingan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai