Anda di halaman 1dari 11

Tauhid Rububiyah, Uluhiyyah dan Asma

Wash-Shifat

Memahami Arti Tauhid


Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fiil wahhada-yuwahhidu (dengan
huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Ibnu Sholeh Al
Utsaimin berkata: Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan
segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya
(Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).
Secara istilah syari, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan
yang benar dengan segala kekhususannya (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Dari makna ini
sesungguhnya dapat dipahami bahwa sesungguh banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh
manusia, bisa jadi mereka menyembah Malaikat, menyembah para Nabi, menyembah orangorang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya
menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu
hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi 3 aspek: Tauhid
Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Nama dan Sifat Allah (Asma Wash-Shifat).
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dengan amalan dan
penyataan yang tegas bahwa Allah Taala adalah Tuhan, Raja, Pencipta semua makhluk. Dan
Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Lihat Al Jadid Syarh Kitab
Tauhid).
Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam
semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang
memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintangbintang, dll. Di nyatakan dalam Al Quran:
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan
terang (Al Anam: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin,
maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah
kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Quran:
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), Siapa yang

telah menciptakan mereka?, niscaya mereka akan menjawab Allah . (Az Zukhruf: 87)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahualaihi wasallam bernama
Abdullah,yang artinya hamba Allah. Padahal Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah
tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis yang atheis. Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu berkata: Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan.
Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang
kafir jahiliyah (Lihat Firqotun Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak
dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka
berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin?
Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid
uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang
zhahir maupun batin (Lihat Al Jadid Syarh Kitab Tauhid). Dalilnya:
Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Apa maksud yang dicintai Allah? Yaitu segala sesuatu yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila
melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga
berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan istianah.
Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah
semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah
kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah
yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya,
mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: Dari tiga bagian
tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para
rasul, dan alas an diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan
Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada
selainNya ditinggalkan (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).
Maka perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat
bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak
memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad
adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir
tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid
uluhiyyah??
Sedangkan Tauhid Nama dan Sifat Allah adalah mentauhidkan Allah Taala dengan nama dan
sifat yang telah Ia tetapkan bagi dirinya dalam Al Quran dan Hadits Rasulullah
shallallahualaihi wasallam. Bertauhid nama dalam dan sifat Allah ialah dengan cara
menetapkan nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi dirinya dan menafikan nama dan sifat
yang Allah nafikan dari dirinya, dengan tanpa tahrif, tanpa tathil dan tanpa takyif (Lihat

Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Taala berfirman yang artinya:


Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama-Nya (Al Araf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna
zhahirnya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata istiwa yang artinya
bersemayam dipalingkan menjadi menguasai.
Tathil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian
orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di
mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa
dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat
wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk
wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah
berfirman yang artinya: Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia
Maha Mendengar Lagi Maha Melihat (Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak mau menetapkan pengertian sifat-sifat Allah, misalnya
sebagian orang menolak bahwa Allah bersemayam (istiwa) di atas Arsy kemudian berkata
kita serahkan makna istiwa kepada Allah. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Taala
telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Quran dan Sunnah agar hamba-hambaNya
mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami.
Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah
mengabarkan sifat-sifatNya adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.
Pentingnya mempelajari tauhid
Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid,
bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh
ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja
begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari.
Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang
disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak
mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak
mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Waliyydzubillah.
Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan
inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Sesungguhnya ilmu tauhid
adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib
mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang
Allah Subhanahu wa Taala, tentang asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas
hamba-Nya (Lihat Syarh Ushulil Iman).

Tauhid Rububiyah Dan Pengakuan Orang-Orang


Musyrik Terhadapnya
Oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan
Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, ikhlas beribadah kepadaNya, serta
menetapkan bagiNya Nama-nama dan Sifat-sifatNya. Dengan demikian, tauhid ada tiga
macam: Tauhid Rububiyah , Tauhid Uluhiyah serta Tauhid Asma wa Sifat. Setiap macam
dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar menjadi terang
perbedaan antara ketiganya.
Makna Tauhid Rububiyah
Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Taala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini
bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. Allah Subhanahu wa Taala
berfirman:
Allah menciptakan segala sesuatu [Az-Zumar: 62]
Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rizkinya, [Hud : 6]
Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan
menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu.
Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Allah
Subhanahu wa Taala berfirman:
Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan
siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan
yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab
(batas). [Ali Imran: 26-27]
Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia
menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. Allah Subhanahu wa Taala
berfirman:
Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh
sembahan-sembahan (mu) selain Allah [Luqman: 11]
Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya? [Al-Mulk:
21]
Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta.
Firman Allah Subhanahu wa Taala :
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. [Al-Fatihah: 2]
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam

enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam. [Al-A'raf: 54]
Allah menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya.
Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui
keesaan rububiyah-Nya.
Katakanlah: Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang
besar? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah: Maka apakah kamu
tidak bertakwa? Katakanlah: Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika
kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah: (Kalau
demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu? [Al-Mu'minun: 86-89]
Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya.
Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan
terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah:
Berkata rasul-rasul mereka: Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit
dan bumi? [Ibrahim: 10]
Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Firaun. Namun demikian di
hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa alaihis salam kepadanya:
Musa menjawab: Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan
mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti
yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa.
[Al-Isra': 102]
Ia juga menceritakan tentang Firaun dan kaumnya:
Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati
mereka meyakini (kebenaran) nya. [An-Naml: 14]
Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya
menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara
diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa
Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang membuatnya, dan tidak ada
pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempengaruhinya. Firman Allah Subhanahu wa
Taala :
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). [Ath-Thur: 35-36]
Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala
bagian-bagiannya, anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat, Pencipta
dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta semua itu, sama
halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.
Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena
kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang
seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk

menertawakan dirinya.
[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1,
Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan
Bashori Lc, Penerbit Darul Haq] http://www.almanhaj.or.id/content/1978/slash/0

Tauhid Uluhiyyah
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Artinya, mengesakan Allah Subhanahu wa Taala melalui segala pekerjaan hamba, yang
dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala apabila hal
itu disyariatkan oleh-Nya, seperti berdoa, khauf (takut), raja (harap), mahabbah (cinta),
dzabh (penyembelihan), bernadzar, istianah (minta pertolongan), isthighotsah (minta
pertolongan di saat sulit), istiadzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang
disyariatkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata
dan ikhlas karena-Nya. Dan tidak boleh ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah
tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar
(syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1]
Al-Ilah artinya al-Maluh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta
pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang haq melainkan
Dia. Yang Mahapemurah lagi Maha-penyayang [Al-Baqarah: 163]
Berkata Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sadi Rahimahullah (wafat th. 1376
H): Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya.
Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada
yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada
sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya
Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Tidak
boleh Dia disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya[2]
Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
Allah menyatakan bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
demikian). Tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain-Nya, Yang Maha-perkasa
lagi Mahabijaksana [Ali Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Taala berfirman mengenai Lata, Uzza dan Manat yang disebut sebagai
tuhan, namun tidak diberi hak Uluhiyah:
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya,
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya[An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Taala adalah bathil, dalilnya
adalah firman Allah Azza wa Jalla.

(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang bathil, dan
sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'alaihis Sallam yang berkata kepada
kedua temannya di penjara:
Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacammacam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah selain
Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuatbuatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu[Yusuf:
39-40]
Oleh karena itu para Rasul Alaihimus Salam berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya
kepada Allah saja[3]
Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain
daripada-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya) [ Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan
selain Allah Subhanahu wa Taala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan
kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Taala .
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh
Allah Subhanahu wa Taala dengan dua bukti.
Pertama.
Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyah sedikit pun, karena
mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak
dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan
itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk
(menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu
kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula)
membangkitkan. [Al-Fur-qaan: 3]
Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Katakanlah: Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka
tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak
mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit. Dan bumi dan sekali-kali tidak ada
di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi
Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat.. [Saba: 22-23]
Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat
menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu tidak mampu memberi
pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhalaberhala itu tidak dapat memberi pertolongan. [Al-Araaf: 191-192]

Apabila keadaan tuhan-tuhan itu demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim
apabila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.
Kedua:
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Taala adalah satusatunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga
mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungiNya. Ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan
Rububiyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk
melaksanakan Tauhid Uluhiyah (beribadah hanya kepada Allah saja).
Hai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu
dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui[Al-Baqarah: 21-22]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil
Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha, Ikrimah, asy-Syabi,
Qatadah dan lainnya. Lihat Fathul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40) tahqiq Dr. Walid
bin Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[2]. Lihat Min Ushuuli Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaaah dan Aqidatut Tauhiid (hal. 36)
oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fathul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah
(Tiga Landasan Utama).
[3]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63, cet. Mak-tabah
al-Maarif , 1420 H). http://www.almanhaj.or.id/content/1587/slash/0

Tauhid Al-Asma Wash-Shifat


Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu
alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun SifatSifat Allah Subhanahu wa Taala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan,
sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya
Shallallahu alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat
dalam al-Quran dan as-Sunnah dan tidak boleh dita'wil.
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auzaiy, al-Laits bin
Saad dan Sufyan ats-Tsaury tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka
semua menjawab:
Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu
persoalkan (jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu).[1]
Imam Asy-Syafi Rahimahullah berkata:
Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa
yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang

dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah"[2]


Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus
Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang
Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa
sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan tathil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6].
Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa tathil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan
menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya
Firman Allah Subhanahu wa Taala:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi
Mahamelihat" [Asy-Syuura':11]
Lafazh ayat : Tidak ada yang serupa dengan-Nya merupakan bantahan kepada golongan
yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat : Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat adalah bantahan
kepada orang-orang yang menafikan/mengingkari Sifat-Sifat Allah.
Itiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanhu wa Taala didasari atas dua
prinsip:
Pertama.
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Taala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara
mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
Kedua.
Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga,
tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.[7]
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak menolak sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya,
tidak menyelewengkan kalam Allah Subhanahu wa Taala dari kedudukan yang semestinya,
tidak mengingkari tentang Asma (Nama-Nama) dan ayat-ayatNya, tidak menanyakan
tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan Sifat-Nya dengan sifat
makhluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu
apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding
dengan-Nya Azza wa Jalla, serta Allah tidak dapat diqiaskan dengan makhluk-Nya.
Yang demikian itu dikarenakan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan DiriNya dan selain Diri-Nya. Dialah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik Kalam-Nya
daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah orang-orang yang benar,
jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan
terhadap Allah Azza wa Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa
Taala berfirman:
Mahasuci Rabb-mu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan
kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian
alam."[Ash-Shaffat: 180-182]

Allah Jalla Jalaluhu dalam ayat ini mensucikan diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya
oleh penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa jalla melimpahkan
salam sejahtera kepada para Rasul, karena bersihnya perkataan mereka dari hal-hal yang
mengurangi dan menodai keagungan Sifat Allah.[8]
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menuturkan Sifat dan AsmaNya, memadukan antara anNafyu wal Itsbat (menolak dan menetapkan)[9] Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak
menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus
(ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya
para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin[10]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil
Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no.
930). Lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, tahqiq Hamd bin Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-Uluw lil Aliyil
Ghaffar (hal. 142 no. 134). Sanadnya shahih.
[2]. Lihat Lumatul Itiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh
Muhammad Shalih bin al-Utsaimin (hal. 36).
[3]. Tahrif atau tawil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau
menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4]. Tathil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh
atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Taala.
Perbedaan antara tahrif dan tathil ialah, bahwa tathil itu mengingkari atau menafikan makna
yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Quran atau hadits Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang
sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[5]. Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan:
Bagaimana Sifat Allah itu?. Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya begini,
seperti menanyakan: Bagaimana Allah bersemayam? Dan yang sepertinya, karena
berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla
mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah Azza wa Jalla
yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[6]. Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah
Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya. Lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah (I/86-100) oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Aqidah al-Wasithiyah (hal 66-69) oleh
Syaikh Muhammad Khalil Hirras, Tahqiq Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihat al-Lathifah ala
Mahtawat alaihil Aqidah al-Wasithiyah (hal 15-18) oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir asSadi, tahqiq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah an Maanil Wasithiyah
oleh Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[7]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8]. Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9]. Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya dalam
al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu (penolakan) dalam al-Quran secara garis besarnya menolak adanya kesamaan atau
keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta menolak
adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi Allah. Dan nafyu bukanlah semata-mata

menolak, tetapi penolakan yang di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan
bagi Allah, misalnya disebutkan dalam al-Quran bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak
tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian dan
kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat Allah yang rinci
seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat
Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwiy as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10]. Lihat QS. An-Nisaa 69 dan at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 19-20.

Anda mungkin juga menyukai