Anda di halaman 1dari 14

Nama: Nabila Aulia Lukita

NPM: 202243501409
Mata Kuliah: Agama Islam

1. Terangkan/jelaskanlah pengertian ilmu tauhid?


2. Apa yang menjadi sasaran atau pembahasan ilmu tauhid?
3. Apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah dan rububiyyah?
4. Terangkan pengertian Iman (Mu’min), Nifak (Munafik), dan Syirik (Musyrik)!
5. Jelaskanlah maksud dari hadits berikut: Rasulullah saw bersabda:

Artinya: fikirkanlah/renungkanlah pada ciptaan Allah dan jangan fikirkan pada zat-
Nya

Pengertian Ilmu Tauhid


Dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya yang paling penting adalah
menetapkan keesaan (wahidah) Allah SWT dalam zat-Nya, dalam menerima peribadatan dari
makhluk-Nya, dan meyakini bahwa Dia-lah tempat kembali, satu-satunya tujuan.
Tauhid secara istilahadalah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala itu Esa dan tidak ada
sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat syahadat. Laa ilaha illa Allah
(tidak ada Tuhan selain Allah). Sedangkan menurut bahasa, tauhid berasal dari bahasa Arab
yakni bentuk masdar (infinitif) dari kata wahhada, yang artinya al-i’tiqaadu
biwahdaniyyatillah (keyakinan atas keesaan Allah).
Tauhid artinya mengesakan Allah. Esa berarti Satu. Allah tidak boleh dihitung dengan satu,
dua atau seterusnya, karena kepada-Nya tidak layak dikaitkan dengan bilangan.
Beberapa ayat Alquran telah dengan jelas mengatakan keesaan Allah. Di antaranya surah al-
Ikhlas ayat 1-4 sebagai berikut:

Artinya: Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula-diperanakkan, dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”
ari ayat di atas dapat ditangkap penjelasan bahwa Allah itu Maha Esa. Keesaan Allah SWT
itu menurut M Quraish Shihab mencakup keesaan Zat, keesaan Sifat, keesaan Perbuatan,
serta keesaan dalam beribadah kepada Nya.

Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah Swt. tidak
terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian. Karena, bila Zat Yang Maha Kuasa itu terdiri
dari dua unsur atau lebih—betapapun kecilnya unsur atau bagian itu—maka ini berarti Dia
membutuhkan unsur atau bagian itu, atau dengan kata lain, unsur atau bagian ini merupakan
syarat bagi wujud-Nya.
Adapun keesaan dalam sifat-Nya, mengandung pengertian bahwa Allah memiliki sifat yang
tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi
bahasa kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata rahim
merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang
makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan
rahmat makhluk-Nya.
Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan kapasitas
tersebut. Keesaan dalam perbuatan-Nya mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada
di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya, kesemuanya adalah hasil
Perbuatan Allah semata. Sedangkan keesaan dalam beribadah merupakan perwujudan dari
ketiga keesaan di atas.

Katakanlah: ”sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya karena Allah,
Pemelihara seluruh alam.” (Q.S. al-An’am[6]:162).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa segala bentuk peribadatan harus ditujukan hanya kepada
Allah semata. Hanya Allah yang wajib disembah. Tidak boleh peribadatan itu ditujukan
kepada selain Allah Swt.

Keesaan Allah SWT sangat penting ditanamkan dalam hati setiap orang yang mengimani
adanya Allah Swt. Oleh karena itu, untuk mendukung ketercapaian keimanan tersebut harus
didukung dengan pemahaman mengenai llmu tauhid dan cabang-cabang lain dari ilmu tauhid.

Pembahasan Ilmu Tauhid

Dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya yang paling penting adalah
menetapkan keesaan (wahidah) Allah SWT dalam zat-Nya, dalam menerima peribadatan dari
makhluk-Nya, dan meyakini bahwa Dia-lah tempat kembali, satu-satunya tujuan. Keyakinan
tauhid inilah yang menjadi tujuan utama bagi kebangkitan Nabi Muhammad Saw.
Kata Tauhid berasal dari bahasa Arab, bentuk masdar dari kata "wahhada
yuwahidu" yang secara etimologis berarti keesaan. Yaitu percaya bahwa Allah itu
esa atau tunggal. Dengan demikian maka yang disebut Tauhid
adalah tauhidullah (mengesakan Allah swt). Jadi pernyataan atau pengakuan bahwa
Allah itu esa atau tunggal yaitu terdapat pada kalimat tahlil yaitu Lailaha illallah yang
diartikan dalam bahasa Indonesia "tiada Tuhan selain Allah".

Allah swt. memerintahkan agar kita memeluk ajaran atau agama tauhid. Para Nabi
dan Rasul sebelumnya juga mewasiatkan ajaran tauhid ini. Dalam al-Quran surat al-
Anbiya ayat 92 dan surat al-Baqarah ayat 133 Allah swt. berfirman.

Artinya: “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama
yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Q.S. al-Anbiya: 92)

Artinya: Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata
kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami
akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. al-
Baqarah: 133)
Nabi Muhammad saw. (sebagaimana para Nabi dan Rasul sebelumnya) diutus untuk
menyampaikan ajaran tauhid kepada seluruh umat manusia sebagaimana yang disebutkan
dalam al-Quran surat al-Jin ayat 20 sebagai berikut :

Artinya; Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak
mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya". (Q.S. al-Jin: 20)

Ajaran tauhid bukan hanya wajib untuk dipelajari tetapi, melainkan juga harus
diyakini dan dihayati dengan benar. Berpegang teguh pada ajaran tauhid akan
melahirkan keyakinan bahwa, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah
ciptaan Allah dan dalam urusanNya serta akan kembali kepadaNya.

Ajaran tauhid ini sangat positif bagi hidup dan kehidupan, sebab tauhid mengandung
sifat:

1. Melepaskan jiwa manusia dari kekacauan dan kegoncangan hidup yang


dapat membawanya ke dalam kesesatan.
2. Sebagai sumber dan motivasi untuk berbuat kebajikan dan keutamaan
3. Membimbing manusia ke jalan yang benar, dan mendorongnya mengerjakan
ibadah penuh ikhlas
4. Membawa manusia kepada keseimbangan dan kesempurnaan hidup lahir
dan batin.

Tauhid sebagai salah satu ilmu dalam Islam, dibahas dalam ilmu tauhid, yaitu suatu
muatan pengetahuan yang membahas tentang keesaan Allah swt.

Ruang lingkup dalam ilmu tauhid meliputi:

1. Hal-hal yang berkaitan dengan Allah swt. (mabda), diantaranya masalah


takdir
2. Hal-hal yang berkaitan dengan utusan Allah sebagai penghubung antara
manusia dengan Allah. Mereka adalah malaikat, nabi, dan rasul dan kitab-
kitab suci
3. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan yang akan datang termasuk
masalah surga dan neraka
Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Rububiyyah
Tauhid Uluhiyyah
Pengertian tauhid uluhiyah adalah upaya mengesakan Allah dalam ibadah dan ketaatan,
atau bisa juga di artikan Tauhid uluhiyah  atau ubudiyah, yakni tekad orang-orang Islam
dalam meniatkan ibadah, pujian dan amal-amal perbuatannya semata-mata guna mengabdi
kepada Allah swt., sebagaimana yang terucap dalam do'a iftitah ketika melaksanakan shalat;
"sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah penelihara alam
semesta.”
Tauhid uluhiyah berarti menyembah Allah dalam ibadah yang disyariatkan seperti salat,
puasa, zakat, haji, nazar, berkurban, rasa takut, rasa harap, dan cinta.
Maksudnya semua itu dilakukan karena umat Islam melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan-Nya sebagai bukti ketaatan dan semata-mata untuk mencari rida
Allah.
Dalil mengenai tauhid uluhiyah tertera dalam surah Al-Fatihah ayat 5:

Artinya: “Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami
meminta," (Q.S. Al-Fatihah [1]: 5).
Tauhid uluhiyah  atau ubudiyah, yakni tekad orang-orang Islam dalam meniatkan ibadah,
pujian dan amal-amal perbuatannya semata-mata guna mengabdi kepada Allah swt.,
sebagaimana yang terucap dalam do'a iftitah ketika melaksanakan shalat; "sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah penelihara alam semesta.”

Tauhid Rububiyyah
Menurut istilah, Tauhid Rububiyah berarti mengesakan Allah, mengimani bahwa Allah SWT
itu Maha Esa; tiada Tuhan selain-Nya; tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah tidak diduakan dan
tidak pula memiliki mitra setara dengan-Nya. Allah itu tidak melahirkan atau tidak
mempunyai istri; dan tidak pula dilahirkan atau mempunyai ayah. Allah itu benar-benar unik,
tidak ada yang sesuatu pun yang setara dengan-Nya, sebagaimana telah disebutkan dalam Qs.
Al-Ikhlas: 1-4
Secara definitif, tauhid rububiyah artinya keyakinan bahwa Allah SWT merupakan satu-
satunya Zat Pencipta dan Pengatur alam semesta,

Dalam bahasa Arab, rabb (asal kata rububiyah) artinya mengatur, mengurus, dan memiliki.
Tauhid rububiyah bermakna bahwa hanya Allah SWT yang mampu mengatur dan mengurus
semua makhluk-Nya. Dalil mengenai tauhid rububiyah tertera dalam Al-Quran surah Al-A'raf
ayat 54:

Artinya: “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Rabb semesta alam.” (QS. Al-A’raf [7]: 54).
Akan tetapi, tauhid rububiyah saja tidak cukup. Ia harus disertai dengan tauhid uluhiyah.
Sebab, mengakui bahwa Allah SWT sebagai Zat Maha Pencipta dan Pengurus semesta juga
mesti diikuti dengan rasa tunduk dan patuh pada perintah-Nya. Berdasarkan hal itu, tauhid
uluhiyah merupakan keyakinan bahwa hanya Allah SWT merupakan sesembahan yang benar.
Tidak ada Zat yang layak disembah kecuali Allah SWT. Dengan demikian, manusia hanya
patut beribadah dan menyembah kepada Allah SWT.
Perbedaan Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah dalam Islam Berikut ini sejumlah perbedaan
antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah dalam perkara akidah Islam.
1. Perbedaan dalam perkara substansi akidahnya Tauhid uluhiyah berhubungan dengan segala
sesuatu yang bersifat kauniyah (alam semesta), mulai dari perkara penciptaan, memberi rizki,
menghidupkan, mematikan, dan lain sebagainya. Sementara itu, tauhid uluhiyah berkaitan
dengan perkara ibadah: perintah dan larangan Allah. Hal-hal dalam tauhid uluhiyah berkisar
pada perkara wajib, haram, makruh, dan lainnya.
2. Perbedaan status keimanan orang yang meyakininya Seseorang bisa saja meyakini tauhid
rububiyah, namun menyangkal tauhid uluhiyah. Sebagai misal, ada orang yang berikrar
bahwa Allah adalah pencipta alam semesta (orang Nasrani dan Yahudi), namun mereka tidak
memeluk Islam. Berbeda halnya dengan tauhid uluhiyah, apabila ia meyakini tauhid uluhiyah
sekaligus mengimani tauhid rububiyah, statusnya otomatis menjadi seorang muslim. Karena
itu juga, tauhid uluhiyyah dikenal sebagai konsekuensi dari pengakuan seseorang terhadap
tauhid rububiyyah.
3. Konsekuensi tauhid rububiyah dan uluhiyah Orang yang meyakini tauhid rububiyah cukup
dengan mengimani bahwa hanya Allah Zat yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Akan
tetapi, konsekuensi tauhid uluhiyah berkaitan dengan amal dan perbuatan, tidak sekadar
keyakinan saja. Orang yang mengimani tauhid uluhiyah akan menerapkannya dalam tingkah
laku sejalan dengan perintah Allah dan larangan-Nya, mulai dari mendirikan salat, menjauhi
zina, menunaikan zakat, puasa, dan sebagainya.
Iman (Mu’min), Nifak (Munafik), dan Syirik (Musyrik)

A. IMAN
1. Pengertian Iman
Secara etimologi pengertian iman etimologis berarti 'percaya'. Perkataan iman
diambil dari kata kerja ‘aamana’ ‘yukminu’ yang berarti 'percaya' atau
'membenarkan'. Percaya dalam Bahasa Indonesia artinya meyakini atau yakin bahwa
sesuatu (yang dipercaya) itu memang benar atau nyata adanya.  Sedangkan secara
istilah syar’i iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan
anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan
maksiat.
Menurut WJS. Poerwadarminta iman adalah kepercayaan, keyakinan, ketetapan hati
atau keteguhan hati . Sedangkan Abul ‘Ala al-Mahmudi menterjemahkan iman dalam
Bahasa inggris Faith, yaitu to know, to believe, to be convinced beyond the last
shadow of doubt yang artinya, mengetahui, mempercayai, meyakini yang didalamnya
tidak terdapat keraguan apapun .
Al Qur’an mendefinisikan iman dengan ayat-ayat yang sangat jelas tentang ciri-ciri
orang-orang beriman. Iman dalam ayat-ayat Al-Qur’an selalu menghubungkan
sebagai aktifitas hati dengan amal saleh (amalan yang baik) sebagai aktifitas. Orang-
orang yang cinta kepada Allah dan Kitab Suci-Nya harusnya selalu membaca Al Qur-
an, mengkaji kandungannya, dan mengamalkan isinya. Mereka juga menunaikan
rukun Islam: menegakkan syahadat, mendirikan sholat, puasa, berzakat, dan haji bagi
yang sudah mampu.
Jadi seseorang dapat dikatakan sebagai seorang mukmin (orang yang beriman)
sempurna apabila memenuhi unsur yang ada dalam definisi iman di atas. Apabila
seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak ucapkan
dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat
dikatakaan sebagai mukmin yang sempurna, sebab unsur-unsur keimanan tersebut
merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana
dengan Firman Allah:
- “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang
Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfaal: 2-3)

2. Dalil-dalil tentang Iman


- “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka
itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-hujurat: 15).
- “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami
tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-
Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa):
"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS. Al-
baqarah: 285).

B. NIFAQ
1. Pengertian Nifaq
Kata nifaq secara bahasa berasal dari kata nafiqa berarti lobang tempat keluar hewan
sejenis tikus (yarbu’) dari sarangnya, jika hendak ditangkap dari satu lobang maka ia
akan berlari ke lobang lainnya dan keluar darinya. Ada yang berpendapat, berasal dari
kata an-nafaq berarti lobang terowongan yang digunakan untuk bersembunyi .
Sedangkan menurut syar’i, makna nifaq ialah menampakkan keislaman dan kebaikan
serta menyembunyikan kekafiran dan keburukan.
Sedangkan kata nifaq Secara gramatikal bahasa Arab, merupakan mashdar (kata
jadian) dari tsulatsi mazid biharfin wahid, yaitu naafaqa, yunaafiqu, munaafaqah, dan
nifaaq yang berarti memasukkan sesuatu dengan mengeluarkan yang lain . Sedangkan
kata munafiq adalah kata sifat atau isim fa’il dari kata naafaqa yang menunjukkan
orang yang menyandang sifat tersebut. Berdasarkan pengertian kebahasan di atas,
maka orang munafik adalah orang yang menampakkan kebaikan pada satu sisi dan
menyembunyikan keburukan pada sisi lain atau melaksanakan ajaran agama pada satu
sisi dan menyembunyikan kekufuran pada sisi lain .
Sedangkan makna nifaq secara terminologi adalah menampakkan Islam dengan
menyembunyikan kekufuran. Kata nifaq merupakan suatu termasuk yang
diperkenalkan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu masyarakat Arab tidak mengetahui
makna lain selain makna yang dimaksud oleh al-Qur’an itu sendiri. Dari situ bisa di
artikan sifat  orang-orang  munafik,  ia masuk  dalam kelompok orang-orang yang
beriman dengan pengakuan mereka “saya beriman”, dan  masuk pula dalam kelompok
orang-orang yang kufur dengan ucapan “aku seperti kalian.”
2. Macam-macam Nifaq
Menurut Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan  nifaq dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Nifaq i’tiqadi (nifak keyakinan)
Nifaq I’tiqadi disebut juga dengan nifaq besar. Yaitu menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekafiran. Nifaq jenis ini dapat menyebabkan pelakunya keluar dari
agama Islam secara total dan menempatkannya di neraka yang paling bawah. Nifaq
I’tiqadi  ada 4 macam, yaitu:
1) Mendustakan rasul atau mendustakan sebagian ajaran yang beliau bawa.
2) Membenci rasul atau membenci sebagian ajaran beliau bawa.
3) Senang jika melihat agama islam kemunduran.
4) Tidak senang melihat islam menang.
b. Nifaq Amali
Yaitu, melakukan suatu amalan orang-orang munafik dengan masih menyisakan iman
di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
“ada empat sifat, jika semuanya ada dalam diri seseorang maka ia seorang munafik
tulen. Barangsiapa dalam dirinya terdapat salah sifat itu, berarti dalam dirinya ada
satu sifat kemunafikan hingga ia meninggalkannya, yaitu jika dipercaya ia berkhianat,
jika ia berbicara ia berdusta, jika berbanji ia menyalahinya, dan jika bertikai ia berkata
kotor.” (HR Mutaffaq ‘Alaih).

3. Dalil-dalil Nifaq
- “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit
dalam hatinya berkata: "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami
melainkan tipu daya". (Qs.Al-Ahzab 33:12)
- "Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain
adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang
ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah,
maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-
orang yang fasik."(Qs.At-Taubah 9:67)

C. SYIRIK
1. Pengertian Syirik
Menurut Ibnu Manzur, kata syirik berasal dari “syaraka” yang bermakna bersekutu
dua orang, misalnya seseorang berkata asyraka billah artinya bahwa dia sederajat
dengan allah SWT . Sedangkan menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia syirik ialah
penyekutuan Allah dengan yang lain.
Adapun dari segi syara’ syirik adalah segala sesuatu yang membatalkan tauhid atau
mencemarinya, dari apa saja yang dinamakan syirik dalam al-Qur’an dan as-Sunnah .
Dengan kata lain syirik adalah mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu
selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan atau tempat menggantungkan
harapan dan dambaan .

2. Macam-macam Syirik
a. Syirik Akbar (Besar)
Pengertian syirik akbar yaitu menjadikan sekutu bagi Allah, baik dalam masalah
rububiyah, uluhiyah atau asma dan sifat-Nya . Syirik ini dapat menyebabkan
keluarnya seseorang dari agama Islam, dan orang yang bersangkutan jika meninggal
dalam keadaan demikian akan kekal di dalam neraka, kecuali jika ia mau bertobat
pada Allah SWT. Misalnya memohon dan taat kepada selain Allah, takut kepada
mayat, kuburan, jin/setan disertai keyakinan bahwa hal-hal tersebut dapat memberi
bahaya dan mudharat kepadanya juga meminta jodoh kepada dukun.
Menurut Shalih Bin Fauzan dalam bukunya, ada empat macam syirik akbar yaitu :
1) Syirkud Da’wah (syirik do’a), yaitu berdo’a memohon kepada selain Allah
disamping memohon kepada Allah.
2) Syirkun Niyyah wal Iradah wal Qashd (syirik niat), yaitu memperuntukkan dan
meniatkan suatu ibadah kepada selain Allah.
3) Syirk Tha’ah (syirik ketaatan), Yaitu ketaatan kepada makhluk, baik wali ataupun
ulama dan lain-lainnya, dalam mendurhakai Allah Ta’ala. Seperti mentaati mereka
dalam menghalal-kan apa yang diharamkan Allah Ta’ala, atau mengharamkan apa
yang dihalalkan-Nya.
4) Syirkul Mahabbah (syirik kecintaan), menyamakan kecintaan kepada selain Allah
dengan kecintaan pada Allah SWT.
b. Syirik Ashgar (Kecil)
Syirik ashgar yaitu setiap ucapan atau perbuatan yang dinyatakan syirik oleh syara
tetapi tidak mengeluarkan dari Agama Islam. Namun dapat mengurangi nilai tauhid
dan dapat menjadi perantara kepada syirik besar.
Macam-macam syirik asghar:
1) Syirik Dzahir/al-Jaliy (Syirik yang Nampak), yaitu berupa perkataan dan
perbuatan.
2) Syirik Khafiy (Tidak Nampak), yaitu kesyirikan yang terdapat pada keinginan dan
niat.

3. Dalil-dalil Syirik
- "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (Qs An-
Nisa: 48)

Selain itu, surga juga diharamkan atas orang musryik. Allah ta’ala berfirman:
- "Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun." (Qs.Al-Maidah: 72)

Kesyrikan itu menghapus amal kebajikan. Allah ta’ala berfiman:


"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan
yang telah mereka kerjakan." (Qs.Al-An'am : 88)
Jadi syirik merupakan dosa yang paling besar. Nabi bersabda, “maukah kalian
kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?’ para sahabat menjawab ‘Ya, wahai
Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘(Yaitu) menyekutukan Allah dan durhaka kepada
kedua orang tua.” (HR. Bukhari dan muslim)

E. PERBEDAANAN ANTARA IMAN, KUFR, NIFAQ DAN SYIRK


Perbedaan iman, kufur, nifaq dan syirk yaitu terletak pada iman yang berarti,
beriktikad dalam hati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala
dosa.
Nifaq ialah menampakkan keislaman dan kebaikan serta menyembunyikan kekafiran
dan keburukan. Lalu yang dimaksud dengan syrik ialah menyamakan selain Allah
dengan Allah dalam hal-hal yang seharusnya ditujukan khusus untuk Allah, seperti
berdoa meminta kepada selain Allah disamping berdoa memohon kepada Allah.
Masing-masing syrik, kufur dan nifaq masih terbagi menjadi dua, yaitu akbar (besar)
dan ashghar (kecil).
Perbedaan kufur, nifaq dan syirik yang akbar, semuanya mengeluarkan pelakunya dari
islam dan jika pelakunya mati dalam keadaan tidak bertaaubat, maka ia kekal selama-
lamanya di neraka.
Sedangkan kufur, nifaq dan syirk ashgar/ kecil tidaklah sampai mengeluarkan
pelakunya dari islam dan jika pelakunya mati dalam keadaan tidak bertaubat, maka ia
berada dibawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak untuk mengampuninya,
maka Allah pun akan mengampuninya, namun jika tidak, Allah pun akan
menyiksanya.

maksud dari hadits berikut:

Intinya, larangan memikirkan zat Allah itu karena ilmu manusia itu hanya bekerja di wilayah
yang bisa diketahuinya. Sehingga, tidak ada aktivitas pemikiran di luar jangkauan ilmu
manusia. Sementara, esensi Allah tidak bisa digapai dan dideskripsikan oleh ilmu manusia.

Dalam arti bahwa Allah adalah zat yang tidak memiliki padanan dengan apapun di dunia ini.
Akal manusia, sebagaimana makhluk lain, adalah terbatas. Sebagai bagian dari makhluk, akal
manusia hanya bekerja dengan segala sesuatu yang bisa dikenali di dunia ini. Itulah mengapa
Allah meminta manusia agar tidak memikirkan esensi-Nya karena memang itu di luar
kapasitasnya.

Tapi, keinginan untuk mengetahui Allah rupanya tidak pernah habis. Manusia, dengan
berbagai alasannya, selalu terobsesi untuk mengetahui siapa itu Allah. Bahkan, Ilmu kalam
atau Teologi adalah satu disiplin ilmuan keislaman yang sejak awal mendedikasikan dirinya
secara sadar untuk membahas keberadaan Allah. Mulai dari alasan keberadaannya sampai
kepada sifat dan zat-Nya didiskusikan sangat intens dalam ilmu ini. Tidak mengherankan jika
di dalam ilmu ini kita menemukan perdebatan tentang apakah Allah itu memiliki sifat;
apakah sifatnya sama dengan zat-Nya; apakah zat Allah itu berwujud jism (badan wadag)
seperti manusia; dsb.

Penjelasan al-Shan’ani di atas jauh mendahului penjelasan Immanuel Kant tentang wilayah
kerja rasio manusia dan ketidakmungkinan rasio manusia mengetahui hal-hal yang berada di
luar pengalaman inderawi, termasuk Tuhan. Kant membagi rasio manusia menjadi verstand
dan vernunft. Verstand adalah rasio yang membuat putusan-putusan hukum ilmiah
berdasarkan pengalaman inderawi. Di wilayah inilah sesungguhnya ilmu pengetahuan terjadi.
Jadi, ilmu manusia hanya mungkin terjadi di wilayah pengalaman inderawi.

Anda mungkin juga menyukai