Anda di halaman 1dari 297

❑⬧  ◆◆

  ❑⧫⬧


❑➔⬧ ➔ ➔
 ❑→◆⬧ ◼⧫
 ❑⬧ ❑❑→◆◆

9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Generasi yang lemah : pendidikan,ekononomi sosial, budaya (keterampilan),suka
bohong,tidak jujur, solusi bertakwa

PERTEMUAN KE I KONTRAK KULIAH

PERTEMUAN KE II
PENGERTIAN TAUHID

A. SECARA BAHASA DAN ISTILAH

“Tauhid”, secara bahasa, berasal dari kata wahhada–yuwahhidu, yang


bermakna ‘menunggalkan sesuatu’.
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-
satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya. Dari makna ini
sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan
oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau
bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya
menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

1
Perkataan ulama tentang tauhid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: Orang yang mau
mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka
bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa serta taat kepada rasulullah . Sebaliknya semua kejelekan di muka
bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya
adalah menyelisihi rasulullah dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-
benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di
luar dirinya"
Karena kenyataannya demikian dan pengaruh-pengaruhnya yang terpuji ini,
maka setan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk
menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan
membahayakan tauhid itu. Setan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai
cara yang diharapkan membuahkan hasil. Jika setan tidak berhasil
(menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, setan tidak akan putus asa untuk
menjerumuskan ke dalam syirik kecil dalam berbagai kehendak dan lafadz
(yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan
menjerumuskan ke dalam berbagai bid’ah dan khurafat.

Pembegaian Tauhid dibagi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan


Asma wa Sifat.
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah
dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta
menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta
semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka.
Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan
mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya
diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang
mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di
nyatakan dalam Al Qur’an:
⧫◼   ☺⧫
◆◆ ◆❑☺
◆→ ➔◆
⧫ ➔  ◆❑◆
⧫ 
 ❑➔⧫

Artinya :“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik
mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka

2
menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al
Qur’an:
 ⧫ ⬧◆
  ❑→◆⬧ ⬧◼
 ⧫❑⬧⬧ ⬧
Artinnya :“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir
jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan
menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

 ⧫ ⬧◆


◆❑☺ ⧫◼
⧫◆ ◆◆
⧫☺⬧◆ ▪☺
⬧   ❑→◆⬧
⧫❑⬧⬧
Artinya : “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir
jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan
matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al
Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika
Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak
mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti
mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah”
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah
kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan
para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan
mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang
kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah
kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk
peribadahan baik yang zhahir maupun batin. Dalilnya:
‫َّاك نَ ْست َ ِعي ُن‬
َ ‫َّاك نَ ْعبُدُ َو ِإي‬
َ ‫ِإي‬
Artinya : “Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu
segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala
sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat,
3
puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta,
bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah
hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada
yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah
mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah
yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul
seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:

َّ ‫اجتَنِبُوا‬
َ ‫الطا ُغ‬
‫وت‬ َّ ‫وًل أ َ ِن ا ْعبُدُوا‬
ْ ‫اَّللَ َو‬ ‫س ا‬ُ ‫َولَقَ ْد بَعَثْنَا فِي ُك ِِّل أ ُ َّم ٍة َر‬
Artinya : “Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan
untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An
Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling
ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul,
dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di
jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar
penghambaan kepada selainNya ditinggalkan”.
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat
bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun
mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal
tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah.
Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid
uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid
uluhiyyah??

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala


dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan
bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama
dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama
dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil
dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang
artinya:
 ◆
 ◼❑⬧ ⧫

Artinya : “Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah
kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” …(QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat
Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya
kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

4
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah.
Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit
dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama
sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang
mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha
menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih
dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Padahal Allah berfirman yang artinya:
  ☺ ▪⬧ .…
☺ ◆❑➔◆
 ⧫
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan
menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala
memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna
istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah
Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar
hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan
bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka
sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam
Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

Kedudukan tauhid dalam Islam

Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung
dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat
diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan
rasulullah.
Sedangkan Ilmu Tauhid - Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas
pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli
maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua
keraguan atau ilmu yang di sebut tentang meng ESAkan Allah. ilmu tauhid
adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan
paling utama. Allah SWT berfirman:

  ◼⬧
  ⧫⬧
⧫◆
5
⬧
⧫✓⬧☺◆
 ⬧☺◆
◼➔⧫ ◆
⧫⬧⧫
◆❑⧫◆
Artinya : Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan,
Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Muhammad: 19)

Pentingnya mempelajari tauhi


Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka,
apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang
dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang
mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan
nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain
seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah
yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu
nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib
dipenuhinya. Yang akibatnya,
Firman Allah swt:

☺ ◼➔⧫ ☺⬧


  ⬧ ⧫
◆❑➔ ☺ ⧫
⧫⧫   ☺
⧫ ❑
Artinya : “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang
buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran.” (QS: Ar-Ra’d: 19)

Tauhid mempunyai beberapa pembahasan diantaranya ada 6 yakni:


a. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-
Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.
b. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui
sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah,
mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan
khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya
mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.

6
c. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul
sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang
panjang.
d. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan
mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.
e. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan
bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).
f. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan
takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Allah swt berfirman:

☺ ❑▪ ⧫◆


◼▪  ⬧ ⧫
  ⧫❑⬧☺◆
 ⧫◆
◆ ⬧◼⧫◆
✓⧫   ◆
   
◆➔☺ ❑⬧◆
⧫⧫  ➔⬧◆
⬧◆ ◆
 ☺

285. Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.
(mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun
(dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami
dengar dan Kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami
dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS: Al-Baqarah: 285)

Rasulullah saw. ditanya tentang iman, lalu beliau pun menjawab;


.
“Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.”
(HR. Muslim).

OBJEK KAJIAN ILMU TAUHID


7
Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus
Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah
ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal
yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti),
seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap
ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan
sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan
nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah
(golongan-golongan) lainnya.

TUJUAN MEMPELAJARI ILMU TAUHID


Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya
dengan dalil dalil yang pasti dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah
dari sifat sifat yang sempurna dan mensucikan Allah dari tanda tanda
kekurangan dan membenarkan semua rasul rasul Nya.

Adapun perkara yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan
dzat para rasul Nya dilihat dari segi apa yang wajib (harus) bagi Allah dan
Rasul Nya, apa yang mustahil dan apa yang jaiz (boleh atau tidak boleh).
Jelasnya, ilmu Tauhid terbagi dalam tiga bagian:
1. Wajib
2. Mustahil
3. Jaiz (Mungkin)
Macam sifat Allah

Sifat Wajib/Tsubutiyyah
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat yang ditetapkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala bagi diri-Nya di dalam Al-Qur-an atau melalui perkataan Rasulullah
. Semua sifat-sifat ini adalah sifat kesempurnaan, serta tidak menunjukkan
sama sekali adanya cela dan kekurangan. Contohnya: Hayaah (hidup): ‘Ilmu
(mengetahui), Qudrah (berkuasa), Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy,
Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-
lainnya. Sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut wajib ditetapkan
benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-
Nya, berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli.

Sifat Tsubutiyyah ada dua macam, yaitu Dzaatiyah dan Fi’liyah.


Sifat Dzaatiyyah adalah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada
Diri Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti, Hayaah (hidup), Kalam (berbicara):
‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Iradah (ke-inginan), Sami’
(pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah
(kebijaksanaan): ‘Uluw (ketinggian, di atas makhluk): ‘Azhamah (keagungan).

8
Dan yang termasuk dalam sifat ini adalah Sifat Khabariyyah seperti adanya
wajah, yadan (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).
Sifat Fi’liyyah adalah sifat yang terikat dengan masyi-ah (kehendak) Allah Azza
wa Jalla, seperti Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan Nuzul (turun) ke
langit terendah, atau pun datang pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah
Azza wa Jalla:
→◼☺◆ ◆ ◆◆
  

Artinya : “Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris.” (Al-


Fajr: 22)
Suatu sifat bisa terpenuhi kedua-duanya (sifat dzaatiyyah-fi’liyyah) ditinjau
dari dua segi, yaitu asal (pokok) dan perbuatannya. Seperti sifat Kalaam
(pembicaraan), apabila ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat
dzaatiyyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara, tetapi
jika ditinjau dari segi satu persatu terjadinya Kalaam adalah sifat fi’liyyah
karena terikat dengan masyiah (kehendak), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
berbicara apa saja yang Dia kehendaki jika Dia menghendaki. Sebagaimana
firman-Nya:
⬧ ◼ ☺
⧫❑→⧫   ◆
 ❑◆⬧  ⬧
Artinya : “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu
hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka terjadilah.” (Yaasiin: 82)

Sifat Mustahil/Salbiyyah
Sifat Salbiyyah adalah setiap sifat yang dinafikan (ditolak) Allah Subhanahu
wa Ta’ala bagi diri-Nya melalui Al-Qur-an atau sabda Rasul-Nya . Dan
seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan tercela, contohnya; maut
(kematian), naum (tidur), jahl (kebodohan), nis-yan (kelupaan), ‘ajz
(kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kelelahan). Sifat-sifat tersebut wajib
dinafikan (ditolak) dari Allah Azza wa Jalla, dengan disertai penetapan sifat
kebalikannya secara sempurna. Misalnya, menafikan sifat maut (mati) dan
naum (tidur) berarti telah menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah adalah
Dzat Yang Maha Hidup, menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan
bahwasanya Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna.
alam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

1- WAJIB

Wajib dalam ilmu Tauhid berarti menentukan suatu hukum dengan


mempergunakan akal bahwa sesuatu itu wajib atau tidak boleh tidak harus
9
demikian hukumnya. Hukum wajib dalam ilmu tauhid ini ditentukan oleh akal
tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil.
Contoh yang ringan, uang seribu 1000 rupiah adalah lebih banyak dari 500
rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum
bahwa 1000 rupiah itu lebih banyak dari 500 rupiah. Tidak boleh tidak, harus
demikian hukumnya. Contoh lainnya, seorang ayah usianya harus lebih tua
dari usia anaknya. Artinya secara akal bahwa si ayah wajib atau harus lebih
tua dari si anak.
Hukum wajib yang dapat ditentukan bukan dengan akal tapi harus
memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya, Bumi itu
bulat. Sebelum akal dapat menentukan bahwa bumi itu bulat, maka wajib atau
harus diadakan dahulu penyelidikan dan mencari bukti bahwa bumi itu betul
betul bulat. Jadi akal tidak bisa menerima begitu saja tanpa penyelidikan lebih
dahulu. Contoh lainnya, sebelum akal menghukum dan menentukan bahwa
”Allah wajib atau harus ada”, maka harus diadakan dahulu penyelidikan yang
rapi yang menunjukkan kewujudan atau keberadaan bahwa Allah itu wajib
ada. Tentu hal ini perlu dibantu dengan dalil-dalil yang bersumber dari Al
Quran.

2- MUSTAHIL
Mustahil dalam ilmu tauhid adalah kebalikan dari wajib. Mustahil dalam ilmu
tauhid berarti akal mustahil bisa menentukan dan mustahil bisa menghukum
bahwa sesuatu itu harus demikian.
Hukum mustahil dalam ilmu tauhid ini bisa ditentukan oleh akal tanpa lebih
dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil. Contohnya , uang
500 rupiah mustahil lebih banyak dari 1000 rupiah. Artinya akal atau logika
kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 500 rupiah itu mustahil akan
lebih banyak dari 1000 rupiah. Contoh lainnya, usia seorang anak mustahil
lebih tua dari ayahnya. Artinya secara akal bahwa seorang anak mustahil lebih
tua dari ayahnya.
Sebagaimana hukum wajib dalam Ilmu Tauhid, hukum mustahil juga ada yang
ditentukan dengan memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat.
Contohnya: Mustahil bumi ini berbentuk tiga segi. Jadi sebelum akal dapat
menghukum bahwa mustahil bumi ini berbentuk segi tiga, perkara tersebut
harus diselidik dengan cermat yang bersenderkan kepada dalil kuat. Contoh
lainnya: Mustahil Allah boleh mati. Jadi sebelum akal dapat menghukum
bahwa mustahil Allah boleh mati atau dibunuh, maka perkara tersebut
hendaklah diselidiki lebih dahulu dengan bersenderkan kepada dalil yang kuat.

3- JAIZ (MUNGKIN):
Apa arti Jaiz (mungkin) dalam ilmu Tauhid? Jaiz (mungkin) dalam ilmu
tauhid ialah akal kita dapat menentukan atau menghukum bahwa sesuatu
benda atau sesuatu dzat itu boleh demikian keadaannya atau boleh juga tidak
demikian. Atau dalam arti lainya mungkin demikian atau mungkin tidak.
10
Contohnya: penyakit seseorang itu mungkin bisa sembuh atau mungkin saja
tidak bisa sembuh. Seseorang adalah dzat dan sembuh atau tidaknya adalah
hukum jaiz (mungkin). Hukum jaiz (Mungkin) disini, tidak memerlukan
hujjah atau dalil.
Contoh lainya: bila langit mendung, mungkin akan turun hujan lebat, mungkin
turun hujan rintik rintik, atau mungkin tidak turun hujan sama sekali. Langit
mendung dan hujan adalah dzat, sementara lebat, rintik rintik atau tidak turun
hujan adalah Hukum jaiz (Mungkin).
Seperti hukum wajib dan mustahil, hukum jaiz (mungkin) juga kadang
kandang memerlukan bukti atau dalil. Contohnya manusia mungkin bisa hidup
ratusan tahun tanpa makan dan minum seperti terjadi pada kisah Ashabul
Kahfi yang tertera dalam surat al-Kahfi. Kejadian manusia bisa hidup ratusan
tahun tanpa makan dan minum mungkin terjadi tapi kita memerlukan dalil
yang kuat diambil dari al-Qur’an..
Contoh lainnya: rumah seseorang dari di satu tempat mungkin bisa berpindah
dengan sekejap mata ke tempat yang lain yang jaraknya ribuan kilometer dari
tempat asalnya seperti terjadi dalam kisah nabi Sulaiman as telah
memindahkan istana Ratu Balqis dari Yaman ke negara Palestina yang
jaraknya ribuan kilo meter. Kisah ini sudah barang tentu memerlukan dalil
yang diambil dari al-Qur’an.

Penderitaan Kaum Muslimin Ketika Mengabaikan Tauhid


Tatkala ummat Islam mengabaikan aqidah yang benar melalui ilmu tauhid
yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat, mulailah kelemahan masuk
ke dalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin lalu berakibat
mempengaruhi amal dan produktifitas mereka, kemudian meluaslah kerusakan
sehingga mudah bagi musuh-musuh Islam untuk mengalahkan mereka dan
menjajah negeri mereka, serta menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan
nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah
(golongan-golongan) lainnya.

NAMA-NAMA LAIN DAN SEBAB PENAMAANNYA


Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1. Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang di-sebutkan dalam
Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi saw. karena ‘aqidah membahas rukun iman
yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan
al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril as.
Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman
dalam kitab-kitab mereka.
2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
11
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah
‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab
mereka.
3. Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar
Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan
Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling
mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut
dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.
4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para
penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. dan para
Sahabat di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur
(populer) pada tiga generasi pertama.
5. Ushuluddin
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah
yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi ke-sepakatan para ulama.
6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu
kumpulan hukum-hukum ijtihadi.
7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling
pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan
adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menama-kan ‘aqidah mereka
dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran
Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

PENAMAAN AQIDAH MENURUT SEKTE LAIN:

Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh sekte selain Ahlus Sunnah sebagai
nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin
(pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah dan kelompok
yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam
itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai
prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak
dilandasi ilmu.
Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan
dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

12
2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini
adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu
adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat
tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-
orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai
dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di
dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-
pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.

Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini
terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan
keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah


Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh
kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu
domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan
kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam
memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata
cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di
dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita
memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir
(belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di
dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan
melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-
an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit
Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi saw. dan para Sahabat beliau ra, yang
mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari para hamba-Nya (setelah para
Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf
diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta kezuhudan
Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal
kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang
dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitab-nya,


Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar)
paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu
dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya .
13
Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat
sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama
Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran
Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme,
Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”

4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama
yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para
pengikutnya. Ini juga merupakan pena-maan yang salah sehingga nama ini
tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum
filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah ta’ala
menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik


Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang
yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya
berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an
dan As-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip
atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu
(bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya
‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw. yang
shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.
Kesimpulan
• Ilmu tauhid mengedepankan dalil-dalil naqli dan ‘aqli terhadap kebenaran
aqidah islamiyyah.
• Pembahasan ilmu tauhid adalah rukun iman: iman kepada Allah, malaikat,
kitab-kitab, para nabi dan
rasul, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk.
• Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia, karena ia terkait dengan Allah
swt pencipta alam semesta,
dimana urgensi ilmu tauhid berasal dari keagungan Allah swt.
• Mempelajari kadar minimal dari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain, yaitu
sampai seorang muslim meyakini
berdasarkan ilmu tentang kebenaran aqidah islam yang dianutnya sehingga
imannya kepada enam rukun
iman di atas menjadi kokoh dan kuat.
• Perhatian Al-Quran terhadap pembahasan ilmu tauhid amat besar sehingga
ayat-ayat makkiyyah hampirsemuanya berisi tentang tauhid dan masalah-
masalah yang terkait dengannya.

14
• Ummat islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka
mulia dan memimpin dunia, namun tatkala ummat Islam
mengabaikannnya aqidah mereka menjadi lemah lalu menyebabkan
kelemahan perilaku dan amal mereka sehingga orang-orang kafir dapat
menjajah negeri dan tanah air mereka.

PERTEMUA KE III
PEMBAGIAN TAUHID DAN DALIL NAQLINYA

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama
sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid
terbagi menjadi tiga: Tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat.
Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian
yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa
Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah
yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. Meyakini rububiyah yaitu
meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta,
misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah,
Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan,
Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:

⧫◼   ☺⧫


◆◆ ◆❑☺
◆→ ➔◆
…  ◆❑◆

Artinya :“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
Mengadakan gelap dan terang”… (QS. Al An’am: 1)
Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap
Rububiyyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah
dalam ibadah pun mengakui keesaan dan sifat Rububiyyah-Nya. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:

◆❑☺ ▪ ⧫ ➔


➔ ◆◆ 
 →➔
⬧ ➔   ❑❑→◆
 ❑→⬧
❑⧫ ◼◆ ⧫ ➔
◆  ◆❑➔◆  →

15
 
◼⧫ 
 ⧫❑⬧➔⬧
⬧ ➔   ❑❑→◆
 ⬧➔
Artinya : 86 Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan
yang Empunya 'Arsy yang besar?"
87. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah
kamu tidak bertakwa?"
88. Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
(azab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
89. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau
demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?"[Al-Mu’-minun: 86-89]

Firman Allah Ta’ala dalam Q.S.Yunus : 31 – 32 yang berbunyi :

 ➔⧫ ⧫ ➔


 ◆ ☺
☺ →☺⧫
⚫ ⧫◆ ⧫◆
☺  
 ☺ ⚫◆
◼ ⧫◆ 
  ⧫❑❑→◆⬧  
 ⧫❑→⬧ ⬧ →⬧
◆  ⬧
➔⧫ ⬧☺⬧  ⧫
 ◼  ⬧
 ❑➔◆➔ ⬧
Artinya : 31.Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari
langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur
segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"

32. Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya;
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?

16
[689] Sebagian mufassirin memberi misal untuk ayat ini dengan
mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga
diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul
tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah. [Yunus: 31-32]

Juga firman-Nya:
⧫◼  ⧫ ⬧◆
◆◆ ◆❑☺
⬧◼ ❑→◆⬧
 ➔ ➔
Artinya : “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya
diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf:
9]

Kaum musyrikin mengakui bahwasanya hanya Allah sajalah Pencipta segala


sesuatu, Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi dan Pengatur alam semesta,
namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai
penolong, yang mereka bertawassul dengan berhala tersebut dan menjadikan
mereka pemberi syafa’at. Dengan perbuatan tersebut, maka mereka tetap
dalam ke-adaan musyrik, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
➔⬧ ⬧ ⧫◆
⧫❑ ➔◆  

Artinya :“Dan tidaklah sebagian besar dari mereka beriman kepada Allah,
melainkan (mereka) dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain ).” [Yusuf: 106]
Sebagian ulama Salaf berkata: “Jika kalian tanyakan pada mereka: ‘Siapa yang
menciptakan langit, bumi dan gunung-gunung?’ Mereka pasti menjawab:
‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain-
Nya.” [3]
Jadi, tauhid Rububiyyah ini diakui semua orang. Tidak ada ummat manapun
yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk
mengakui-Nya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya.
Sebagaimana perkataan para Rasul yang difirmankan Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
  ➔ ⬧⬧
◆❑☺ ⬧ 
 ◆
Artinya : “Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap
Allah, Pencipta langit dan bumi?’…” [Ibrahim: 10]

17
Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun
demikian di hatinya masih tetap meyakini keberadaan Allah. Sebagaimana
perkataan Musa Alaihissallam kepadanya:
⧫⧫ ⧫ ⧫ ⬧⬧ ⧫⬧
◆  →⬧
◆ ◆❑☺
→ ◆ ⧫⧫
❑⧫ ❑⧫⧫
Artinya : “Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa
tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang
memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan
sesungguhnya aku mengira kamu, wahai Fir’aun, adalah seorang yang akan
binasa.’” [Al-Israa:102]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya:


 ⬧◆
⬧◆
 ❖❑➔◆ ☺→ →
⧫  →⬧
⧫☺ ➔⧫⧫

Artinya : “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan ke-
sombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya…” [An-
Naml: 14]

Kemudian ayat lain tentan, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik
mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka
menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al
Qur’an:
َّ ‫سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ُه ْم لَيَقُولُ َّن‬
ُ‫اَّلل‬ َ ‫َولَئِ ْن‬
Artinnya :“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir
jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan
menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

⧫◼  ⧫ ⬧◆


◆◆ ◆❑☺
▪☺ ⧫◆
 ❑→◆⬧ ⧫☺⬧◆
 ⧫❑⬧⬧ ⬧ 

18
Artinya : “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir
jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan
matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al
Ankabut 61)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik
mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka
menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al
Qur’an:
 ⧫ ⬧◆
 ❑→◆⬧ ⬧◼
Artinya : “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir
jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan
menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

⧫◼  ⧫ ⬧◆


◆◆ ◆❑☺
▪☺ ⧫◆
 ❑→◆⬧ ⧫☺⬧◆

Artinya : “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir
jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan
matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al
Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika
Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak
mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti
mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj
Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah
kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan
para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan
mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang
kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah
kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Di dalam surat al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 ▪ ▪ 
⧫ ❑ ❑◆❑➔
☺◆ ☺
19
⧫◆ ⧫ ▪ ⬧◆
❑◆◆ 
◼☺◆ 
⧫◆
◆
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, Malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi…” [Al-
Baqarah: 177][1]

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi


wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika
Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak
mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti
mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah”
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah
kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan
para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan
mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang
kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah
kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk
peribadahan baik yang zhahir maupun batin. Dalilnya:

‫َّاك نَ ْست َ ِعي ُن‬


َ ‫َّاك نَ ْعبُدُ َو ِإي‬
َ ‫ِإي‬
Artinya : “Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu
segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala
sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat,
puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta,
bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah
hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada
yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah
mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah
yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul
seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:

20
َّ ‫اجتَنِبُوا‬
َ ‫الطا ُغ‬
‫وت‬ َّ ‫وًل أ َ ِن ا ْعبُدُوا‬
ْ ‫اَّللَ َو‬ ‫س ا‬ُ ‫َولَقَ ْد بَعَثْنَا فِي ُك ِِّل أ ُ َّم ٍة َر‬
Artinya : “Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan
untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An
Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling
ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul,
dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di
jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar
penghambaan kepada selainNya ditinggalkan”.
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat
bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun
mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal
tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah.
Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid
uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid
uluhiyyah??
Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam
penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi
diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat
Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat
yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa
takyif Allah Ta’ala berfirman :
 ◆
◼❑⬧ ⧫
⬧◆  
 ⬧ ⧫
 ☺
Artinya : “Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah
kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

Kemudian ada istilah menolak terhadap asma’ wasifat yaitu :


Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat
Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya
kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah.
Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit
dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama
sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang
mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha
menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

21
Tauhid Asma' was Shifat merupakan bagian dari mentauhidkan (mengesakan)
Allah dalam akidah Islam. Tauhid ini merupakan bentuk penerapan pengesaan
dari makhluk terhadap Allah mengenai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya,
yang mana nama-nama dan sifat-sifat ini telah diatributkan oleh-Nya sendiri.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih
dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Padahal Allah berfirman :
  ☺ ▪⬧ 
☺ ◆❑➔◆
 ⧫
Artinya : “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia
Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan
menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala
memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna
istiwa terdapat pada :
1. Q.S. Yunus : 3. Yang berbunyi :
  ◆ 
◆❑☺ ⧫◼
   ◆◆
◼⧫ ◆❑⧫ ▪➔
◼  ➔
   ⧫  ⧫
  ➔⧫ 
→◆  →⬧
⬧  ◼⬧
 ⬧
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk
mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at
kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan
kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
2. Al-Araf : 54 yang berbunyi :
  ◆ 
◆❑☺ ⧫◼
   ◆◆
◼⧫ ◆❑⧫ ▪➔
  
➔⧫ ◆
▪☺◆ 
22
⧫❑→◆ ⧫☺⬧◆
  ◼ ⧫
 ◆ ⬧ ⬧
◆  ◆⧫⬧
 ⧫✓⬧➔
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548].
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.
[548] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan
kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
3. Ar-Ra’du : 2 yang berbunyi :
⬧◆  
◆ ⧫ ◆❑◆
◆❑⧫ ▪➔  ⧫⧫⬧
⧫◆  ➔ ◼⧫
  ⧫☺⬧◆ ▪☺
   ⬧
 ⧫ ◼
➔⬧ ⧫
◼◆ ⬧
 ⧫❑❑➔
.Artinya : Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan
matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan.
Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu
4. Al-Furqan : 59 yang bebunyi :
◆❑☺ ⧫◼ 
☺◆⧫ ⧫◆ ◆◆
➔   
 ➔ ◼⧫ ◆❑⧫
 ⧫⬧ ☺▪

Artinya : Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy[1071],
(Dialah) yang Maha pemurah, Maka Tanyakanlah (tentang Allah) kepada
yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.
[1071] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan
kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
23
Manusia yang diberi akal jangan gampang menyandarkan kepada kata yang
paling singkat kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena
Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar
hamba-hamba-Nya mengetahui kebenaran berdasarkan sumber yang pasti.
Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami.
Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap
perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifat-Nya
CATATAN : Menyerupai > kapir, mngingkari > sama dengan kapir, tapi kalo
menyebutkan sifat Allah dengan menyebutkan kelemahan yang
menyampaikan berarti dia ada dalam menempuh petunjuk Allah,contoh Allah
pengasih dan penyayang, tapi kasih saying manusia ada batasnya, dan sebalik-
Nya.
Di samping ayat di atas, banyak sekali hadits shahih yang menegaskan hal
serupa. Di antara sejumlah hadits tersebut ter-dapat sebuah hadits masyhur
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu, bahwasanya Malaikat Jibril pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Iman, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Iman itu adalah engkau (1) beriman kepada Allah, (2) Malaikat-malaikat-
Nya, (3) Kitab-kitab-Nya, (4) Rasul-rasul-Nya, dan (5) hari Akhir, serta (6)
beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.”
Keenam prinsip keimanan tersebut adalah (rukun iman), maka tidak sempurna
iman seseorang kecuali apabila ia mengimani seluruhnya menurut cara yang
benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka barangsiapa
yang mengingkari satu saja dari rukun iman ini, maka ia telah kafir.

Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya berikrar dengan macam-


macam tauhid yang tiga, serta beri’tiqad dan beramal dengannya, yaitu (1)
Tauhid Rububiyyah, (2) Tauhid Uluhiyyah, dan (3) Tauhid Asma’ wa Shifat.

Dan Allah Azza wa Jalla berfirman:


  ❑
❑◆ 
  ◆
▪☺ ⧫◆
⬧ → ⧫☺⬧◆
 →⬧   
 ☺ ⬧ ◆
 ❑⬧ ⧫◆
 ❑⧫ ⧫ 
☺

24
Artinya : Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke
dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan
menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah
Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.
[Faathir: 13]

Allah Ta’ala berfirman:


  →  
  ◼⧫ ◆❑➔◆
 ◆
Artinya : . Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia
memelihara segala sesuatu. [Az-Zumar: 62]
Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan
makhluk lainnya. Allah berfirman:
   ⧫◆
 ◼⧫  
◼➔⧫◆ ➔
▪⬧⧫
   ⧫❑⧫◆
 ✓ ⧫
Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfuzh). . [Huud: 6]
[709] Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.
[710] Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia
dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud
tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim.
Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang
mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan,
Mahakuasa atas segala sesuatu, Pengatur adanya siang dan malam, Yang
menghidupkan dan Yang mematikan.

Allah menyatakan pula tentang keesaan-Nya dalam Rububiyyah-Nya atas


segala alam semesta. Firman Allah Ta’ala:
◆  ☺⬧
 ✓☺◼➔
Artinya : Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3]. [Al-Faatihah :2]
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena
perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan
25
seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah
karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal
Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul
bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari
berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan,
benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.

Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap


Rububiyyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah
dalam ibadah pun mengakui keesaan dan sifat Rububiyyah-Nya. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
◆❑☺ ▪ ⧫ ➔
➔ ◆◆ 
 →➔
⬧ ➔   ❑❑→◆
 ❑→⬧
❑⧫ ◼◆ ⧫ ➔
◆  ◆❑➔◆  →
  ◼⧫ 
⧫❑⬧➔⬧
⬧ ➔   ❑❑→◆
 ⬧➔
Artinya : 86 Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan
yang Empunya 'Arsy yang besar?"
87. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah
kamu tidak bertakwa?"
88. Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
(azab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
89. Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau
demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?"[Al-Mu’-minun: 86-89]
Firman Allah Ta’ala dalam Q.S.Yunus : 31 – 32 yang berbunyi :

 ➔⧫ ⧫ ➔


 ◆ ☺
☺ →☺⧫
⚫ ⧫◆ ⧫◆
☺  
 ☺ ⚫◆
◼ ⧫◆ 
  ⧫❑❑→◆⬧  
26
 ⧫❑→⬧ ⬧ →⬧
◆  ⬧
➔⧫ ⬧☺⬧  ⧫
 ◼  ⬧
 ❑➔◆➔ ⬧
Artinya : Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit
dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur
segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
32. Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya;
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?

[689] Sebagian mufassirin memberi misal untuk ayat ini dengan


mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga
diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul
tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah. [Yunus: 31-32]
Juga firman-Nya:
⧫◼  ⧫ ⬧◆
◆◆ ◆❑☺
⬧◼ ❑→◆⬧
 ➔ ➔
Artinya : “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya
diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf:
9]
Kaum musyrikin mengakui bahwasanya hanya Allah sajalah Pencipta segala
sesuatu, Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi dan Pengatur alam semesta,
namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai
penolong, yang mereka bertawassul dengan berhala tersebut dan menjadikan
mereka pemberi syafa’at, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa ayat. :
Dengan perbuatan tersebut, maka mereka tetap dalam ke-adaan musyrik,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
➔⬧ ⬧ ⧫◆
⧫❑ ➔◆  

Artinya :“Dan tidaklah sebagian besar dari mereka beriman kepada Allah,
melainkan (mereka) dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain ).” [Yusuf: 106]

27
Sebagian ulama Salaf berkata: “Jika kalian tanyakan pada mereka: ‘Siapa yang
menciptakan langit, bumi dan gunung-gunung?’ Mereka pasti menjawab:
‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain-
Nya.” [3]
Jadi, tauhid Rububiyyah ini diakui semua orang. Tidak ada ummat manapun
yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk
mengakui-Nya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya.
Sebagaimana perkataan para Rasul yang difirmankan Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
  ➔ ⬧⬧
◆❑☺ ⬧ 
 ◆
Artinya : “Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap
Allah, Pencipta langit dan bumi?’…” [Ibrahim: 10]
Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun
demikian di hatinya masih tetap meyakini keberadaan Allah. Sebagaimana
perkataan Musa Alaihissallam kepadanya:
⧫⧫ ⧫ ⧫ ⬧⬧ ⧫⬧
◆  →⬧
◆ ◆❑☺
→ ◆ ⧫⧫
❑⧫ ❑⧫⧫
Artinya : “Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa
tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang
memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan
sesungguhnya aku mengira kamu, wahai Fir’aun, adalah seorang yang akan
binasa.’” [Al-Israa:102]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya:


 ⬧◆
⬧◆
 ❖❑➔◆ ☺→ →
⧫  →⬧
 ⧫☺ ➔⧫⧫
Artinya : “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan ke-
sombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya…” [An-
Naml: 14]

Kaidah tentang Nama dan Sifat Allah


Beberapa kaidah dalam memahami dan mengimani Tauhid Asma was Shifat

28
1. Nama dan sifat Allah adalah sesuatu yang tauqifiyah (hanya berdasarkan
wahyu; tidak ditetapkan kecuali hanya berdasarkan lafal al-Quran dan as-
Sunnah).
2. Keyakinan tentang sifat Allah seperti keyakinan tentang Dzat-Nya.
Maksudnya, sifat, dzat, dan perbuatan Allah tidak serupa dengan apapun.
Karena Allah memiliki dzat secara hakiki dan dzat-Nya itu tidak serupa
dengan dzat apapun selain-Nya, maka demikian pula sifat-sifat Allah yang ada
di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah menyandang sifat-sifat tersebut
secara hakiki dan tidak serupa dengan apapun.
3. Semua nama Allah adalah baik dan sama sekali tidak ada yang buruk,
karena nama-nama itu menunjukkan dzat yang memiliki nama tersebut yaitu
Allah. Nama-nama itu menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan yang tidak
mengandung kekurangan sedikitpun dari segala sisi.
4. Nama-nama Allah tidak terbatas pada jumlah tertentu. Nabi bersabda:
“Aku meminta kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang telah Kau
namakan diri-Mu dengannya, atau Kau turunkan dalam kitab-Mu, atau Kau
ajarkan kepada salah satu hamba-Mu atau Kau simpan di dalam ilmu ghaib
yang ada di sisi-Mu.” (HR. Ahmad )

Kaidah Dasar Oleh Imam Syafi'i


Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak
menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika
berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku
beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan
apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa
yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh
Rasulullah.

Landasan hukum Asma Wasifat


Dalil mengenai Tauhid Asma' dan Sifat dari al-Quran di antaranya ialah
firman Allah :
 ◆
 ◼❑⬧ ⧫
⧫ ⬧◆ 
 ☺  ⬧
❑ ⧫ ⧫⧫
 ⧫❑➔☺➔⧫
Artinya : Hanya milik Allah asmaa-ul husna[585], Maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-
orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-
Nya[586]. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjak(QS. al-A’raaf: 180)
29
[585] Maksudnya: Nama-nama yang Agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah.
[586] Maksudnya: janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan Nama-
nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai asmaa-
ul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan asmaa-ul husna
untuk Nama-nama selain Allah.
⧫⧫  ◆❑➔◆
◼➔ ➔ ⧫
 ◼⧫ ◆❑ ◆❑➔◆
◼ ⬧☺ ⬧◆
 ◆ ◆❑◆ 
➔ ◆❑➔◆
 ⬧
Artinya : Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian
mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu
adalah lebih mudah bagi-Nya. dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di
langit dan di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Ruum: 27)
 ⧫⬧  ❑➢⬧ ⬧
 ◆ ◼➔⧫  
 ⧫❑⬧➔⬧
Artinya : “Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan
bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak
mengetahui.” (An-Nahl: 74)
Dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah perkataan Nabi :
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa
menghafalnya maka ia akan masuk surga.” (HR. at-Tirmidzi)
“Aku meminta kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang telah Kau
namakan diri-Mu dengannya, atau Kau turunkan dalam kitab-Mu, atau Kau
ajarkan kepada salah satu hamba-Mu atau Kau simpan di dalam ilmu ghaib
yang ada di sisi-Mu.” (HR. Ahmad)

Faedah
Dalam Al-Qur'an disebutkan :
 ☺ ▪⬧ 
☺ ◆❑➔◆ 
 ⧫
Artinya :"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”—Asy-Syuura: 11
Lafal ayat “Tidak ada yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan kepada
orang yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk.
Sedangkan lafal “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah
bantahan kepada orang yang menafikan (mengingkari/menolak) adanya sifat
bagi Allah.
30
PERTEMUAN KE IV
Hakikat Ilmu: Pengertian, Syarat dan Karakteristik Ilmu
1. Pengertian Ilmu
Apakah ilmu itu? Moh. Nazir, Ph.D. ilmu adalah suatu pengetahuan, baik
natural atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta tersusun secara
sistematik menurut kaidah umum.
Ahmad Tafsir. memberikan batasan bahwa ilmu sebagai pengetahuan logis
dan mempunyai bukti empiris.
Lorens Bagus. mengemukakan bahwa ilmu menandakan seluruh kesatuan ide
yang mengacu ke obyek (atau alam obyek) yang sama dan saling keterkaitan
secara logis.
Sikun Pribadi. merumuskan pengertian ilmu secara lebih rinci (ia
menyebutnya ilmu pengetahuan), bahwa:
“Obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya
berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara
seperti observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang
tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian
ditentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas. Konsepsi-
konsepsi dan relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang
merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif. Keseluruhan integratif itu kita
sebut ilmu pengetahuan.”
Dari beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pada
prinsipnya ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan pengetahuan atau fakta yang berasal dari
pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan
dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan
menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian
ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan lain-lain)
Secara bahasa, al-ilmu adalah lawan dari al-jahl (kebodohan), yaitu
mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan
pengetahuan yang pasti.
Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah
(pengetahuan) sebagai lawan dari al-jahl (ketidaktahuan). Menurut ulama
lainnya, ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.
Adapun ilmu yang kita maksud adalah ilmu syar’i, artinya ilmu yang
diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk.
Maka ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu
wahyu, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah saja. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
‫ يُفَ ِقِّ ُههُ فِي ال ِدِّ ْي ِن‬،‫اَّللُ بِ ِه َخي اْرا‬
َّ ‫َم ْن ي ُِر ِد‬

31
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan
menjadikannya faham tentang agamanya”
Dalam hadits lainnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, yang mereka
wariskan hanyalah ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia
mengambil bagian yang banyak”
Suatu hal yang sudah kita ketahui bahwa yang diwariskan oleh para Nabi
hanyalah ilmu tentang syari’at Allah Azza wa Jalla, bukan yang lainnya. Maka
para Nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi kepada manusia atau yang
berkaitan dengannya. Bahkan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang tengah mengawinkan
pohon kurma. Beliau mengatakan kepada mereka bahwa hal itu tidak
diperlukan, lalu merekapun mengikuti ucapan beliau dan tidak
mengawinkannya, akan tetapi pohon kurma itu menjadi rusak, kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka.
ْ ُ‫أ َ ْنت ُ ْم أ َ ْعلَ ُم ِبش‬
‫ؤُو ِن دُ ْنيَا ُك ْم‬
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”
Seandainya hal ini termasuk ilmu yang terpuji, maka pasti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengetahui
tentangnya, karena orang yang terpuji dengan ilmu dan amalnya adalah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika demikian, maka ilmu syar’i adalah ilmu yang didalamnya terkandung
pujian dan sanjungan bagi para pemiliknya. Akan tetapi meskipun demikian
saya tidak mengingkari bahwa ilmu lainnya pun mengandung faedah, namun
faedah ini memiliki dua batasan. Jika dia bisa membantu dalam melaksanakan
kataatan kepada Allah dan membela agama-Nya serta bermanfaat bagi
manusia, maka ilmu itu merupakan ilmu yang baik dan maslahat. Terkadang
menjadi wajib dalam kondisi tertentu jika hal itu termasuk dalam firman
Allah.
 ⬧ ◆
◆ ▪❑➔  ➔⬧⧫
 ⧫
  ❑➔
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat…” [Al-Anfaal : 60]
2. Syarat-Syarat Ilmu :
Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi
persyaratan-persyaratan, sebagai berikut
1. ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan
dengan alam (kosmologi) maupun tentang manusia (Biopsikososial). Ilmu
mensyaratkan adanya obyek yang diteliti. Lorens Bagus (1996) menjelaskan
bahwa dalam teori skolastik terdapat pembedaan antara obyek material dan
obyek formal. Obyek formal merupakan obyek konkret yang disimak ilmu.
32
Sedang obyek formal merupakan aspek khusus atau sudut pandang terhadap
ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah obyek formalnya. Sementara obyek
material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.

2. ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi


pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode
ilmiah. Dalam hal ini, Moh. Nazir, mengungkapkan bahwa metode ilmiah
boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur
oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk
memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilimiah
berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan
pendekatan kesangsian sistematis.

Almack, mengatakan bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-


prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Ostle, berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu
untuk memperoleh sesutu interrelasi.
Moh. Nazir mengemukakan beberapa metode ilmiah dalam perspektif
penelitian kuantitatif, diantaranya: (a) berdasarkan fakta, (b) bebas dari
prasangka, (c) menggunakan prinsip-prinsip analisa, (d) menggunakan
hipotesa, (e) menggunakan ukuran obyektif dan menggunakan teknik
kuantifikasi. Belakangan ini berkembang pula metode ilmiah dengan
pendekatan kualitatif. Nasution, mengemukakan ciri-ciri metode ilimiah
dalam penelitian kualitatif, diantaranya : (a) sumber data ialah situasi yang
wajar atau natural setting, (b) peneliti sebagai instrumen penelitian, (c) sangat
deskriptif, (d) mementingkan proses maupun produk, (e) mencari makna, (f)
mengutamakan data langsung, (g) triangulasi, (h) menonjolkan rincian
kontekstual, (h) subyek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan
peneliti, (i) mengutama- kan perspektif emic, (j) verifikasi, (k) sampling yang
purposif, (l) menggunakan audit trail, (m)partisipatipatif tanpa mengganggu,
(n) mengadakan analisis sejak awal penelitian, (o) disain penelitian tampil
dalam proses penelitian.

3. Pokok permasalahan(subject matter atau focus of interest). ilmu


mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang akan dikaji. Mengenai
focus of interest ini Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan
Pendidikan Islam Al-Jawad menjelaskan bahwa ketika masalah-masalah itu
diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka masalah masalah yang
sederhana tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah
dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang
sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-
masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang
diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan

33
perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada
gilirannya muncul perbedaan ideology.
3. Karakteristik Ilmu
Di samping memiliki syarat-syarat tertentu, ilmu memiliki pula karakteristik
atau sifat yang menjadi ciri hakiki ilmu. Randall dan Buchler mengemukakan
beberapa ciri umum ilmu, yaitu : (1) hasil ilmu bersifat akumulatif dan
merupakan milik bersama, (2) Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan
bisa terjadi kekeliruan, dan (3) obyektif tidak bergantung pada pemahaman
secara pribadi.
Pendapat Ralph Ross dan Enerst Van den Haag bahwa ilmu memiliki sifat-
sifat rasional, empiris, umum, dan akumulatif
Sementara, Lorens Bagus, tentang pengertian ilmu dapat didentifikasi bahwa
salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak kontradiksi dengan kenyataan.
Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu memiliki ciri-
ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat. Artinya, usaha untuk
memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan
menggunakan alat ukur yang memiliki keterandalan dan keabsahan yang
tinggi, serta penarikan kesimpulan yang memiliki akurasi dengan tingkat
siginifikansi yang tinggi pula. Bahkan dapat memberikan daya prediksi atas
kemungkinan-kemungkinan suatu hal
Sementa, Ismaun, mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
(1) obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak
berdasarkan pada emosional subyektif,
(2) koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan;
(3) reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat
ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi,
(4) valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur
dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun
eksternal,
(5) memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum,
(6) akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi,
dan
(7) dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas
kemungkinan-kemungkinan suatu hal.
Banyak ulama yang menerangkan bahwa (hukum) mempelajari teknologi
termasuk fardhu kifayah, hal itu disebabkan karena manusia pasti mempunyai
peralatan memasak, minum dan selainnya yang bermanfaat bagi mereka.
Apabila tidak ada orang yang menggarap industri di bidang ini maka
mempelajarinya menjadi fardu kifayah. Ini adalah masalah yang
diperdebatkan oleh para ulama.
Sekalipun demikian maka saya ingin mengatakan bahwa ilmu yang di
dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu syar’i yang
merupakan pemahaman tentang Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun ilmu selain itu yang bisa menjadi sarana
34
kebaikan ataupun sarana kejelekan, maka hukumnya sesuai dengan
pemanfaatannya.
Mu’adz bin Jabal, salah seorang sahabat, meriwayatkan bahwa
Rasulullah pernah bersabda, “Pelajarilah ilmu, sebab mencari
ilmu karena Allah adalah kebaikan, menuntutnya adalah ibadah,
mempelajarinya tasbih, mengkajinya adalah jihad, dan
mengajarkannya adalah sedekah. Dengan ilmu, seorang hamba
sampai pada kedudukan orang-orang baik dan tingkatan paling
tinggi. Memikirkannya setara dengan berpuasa dan mengkajinya
sama dengan menegakkan shalat. Dengannya Allah ditaati,
disembah, diesakan, dan ditakuti. Dengannya pula tali
silaturrahim diikatkan. Ilmu adalah pemimpin dan pengamalan
adalah pengikutnya. Dengannya, Allah mengangkat bangsa-
bangsa, lalu Dia menjadikan mereka pemimpin, penghulu, dan
pemberi petunjuk pada kebajikan, karena ilmu adalah kehidupan
hati dari kebutaan, cahaya dari kedzaliman, dan kekuatan tubuh
dari kelemahan.”
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Aku bertanya pada Jibril, ‘Apakah
kepemimpinan itu?’ Jibril menjawab, ‘Akal.’.”
Saat ini, ilmu pengetahuan telah berkembang dengan amat pesat. Berbagai
cabang ilmu pun banyak dipelajari orang. Kita bahkan dapat dengan mudah
mengikuti perkembangan dunia hanya dengan duduk di depan televisi. Namun
apakah dengan adanya berbagai penemuan itu, hidup menjadi mudah, tenang,
dan damai? Bukankah salah satu tujuan memperdalam ilmu agar kualitas
hidup meningkat?
Kenyataannya di mana-mana masih terlihat berbagai kasus, mulai kelaparan,
kemiskinan, bunuh diri, hingga penyakit fisik seperti AIDS, kanker,
chikungunya, flu burung, demam berdarah, maupun penyakit mental seperti
penyimpangan perilaku seksual, misalnya pemerkosaan, hemofili, dan
homoseksual. Juga munculnya berbagai masalah dunia seperti peperangan, isu
nuklir, pemanasan global, krisis energi, hingga adanya perubahan iklim,
rusaknya lapisan Ozon, naiknya permukaan dasar laut, yang semuanya itu
sebagai akibat dari pencemaran udara disebabkan gas buang kendaraan dan
pabrik, dieksploitasinya perut bumi secara berlebihan, dan juga musibah banjir
yang disebabkan penebangan liar serta pembuangan sampah yang
sembarangan, kemudian juga ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum
lemah. Lalu di manakah manfaat ilmu mereka itu?
Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah bumi dan sebagai
konsekwensinya ia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya itu
kepada Sang Pemberi Mandat. Dan dengan demikian, manusia juga adalah
sekaligus hamba Allah. Sebagai khalifah bumi, ia diberi kebebasan untuk
35
mengelola dan memanfaatkan bumi agar hidupnya menjadi mudah dan tenang,
dengan syarat tidak merusak keseimbangan alamnya. Firman Allah :
⧫◆ ☺ ⧫◆
 ◼⧫ ◆ 
 ⧫⧫ ⬧ ◆
☺ ◆  ◆
◆  ⬧  
  ⬧
⧫     
 ⧫☺
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS. Al-Qashash [28] : 77).
Untuk itulah manusia memerlukan ilmu. Hanya dengan akal dan keimanan
sajalah manusia akan berhasil menggali ilmu yang menuju kebenaran. Firman
Allah :
⧫ ⧫
⬧  ⬧ ❑⧫◆
▪☺  ❑⬧⬧
 ⧫ ❑⬧⬧
 ⬧◆  ⬧
→⬧ →
⧫  ⬧⧫
⧫◆  ❑⧫◆
➔ ❑➔
☺ ◆  ◆
 ⧫❑➔☺➔⬧
Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Mujadillah [58] : 11).
Al-Ghazali mengingatkan, seseorang hendaknya menuntut ilmu
tidak hanya sekedar kebutuhan, melainkan harus hingga tuntas,
hingga sampai kepada hakekat atau inti ilmu tersebut. Karena
hanya dengan inti ilmu inilah seseorang akan mencapai suatu
36
tingkat penyingkapan akan rahasia dan kebesaran Sang Maha
Pencipta, Allah Azza wa Jalla. Itulah keutamaan ilmu, karena
puncak ilmu adalah pengenalan Allah SWT. Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah
petunjuknya, maka ia akan bertambah jauh dari Allah.”
Ilmu yang hanya dimaksudkan untuk memperoleh kekuasaan, harta, dan
pangkat, tidak akan sampai kepada hakekat hidup yang sebenarnya. Islam
bukanlah sekedar agama yang menghubungkan antara manusia dengan
Tuhannya sebagaimana kebanyakan agama, melainkan ia adalah nafas
kehidupan yang memperlihatkan segala yang ada di alam semesta, termasuk
hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Islam
adalah juga sains. Firnman Allah :
⧫ ⧫⧫ ⬧◆
 
◆◆ ◆❑☺
◆ ⧫⧫
➔◆  ☺⧫⬧
  ☺ 
 ⧫❑⬧ ⬧  
Artinya : “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya [21] :
30).
Kemudian di ayat lain :
◆☺ ❑⧫ ⧫❑⧫
 →  ⬧
 ⧫ ⧫⧫ ☺
◼⧫ ◆  ◼➔
✓➔⬧   
Artinya : “(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan
pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti
Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al-
Anbiya [21] : 104).
Kedua ayat di atas dalam dunia sains membuktikan akan kebenaran teori “Big
Bang” dan “Big Crunch”, yaitu awal penciptaan alam semesta dan
kebalikannya, yakni akhir dari alam semesta atau kiamat. Itu semua terjadi
atas kehendak Allah SWT, atas izinNya. Firman Allah:
  
⬧ ⧫
37
 ◆⬧ ⬧
⧫  ☺
◆⧫⬧  ➔⬧◆
 ⚫⬧ ⬧⬧❑
 ⬧⬧  ◼
 ⧫ ⧫ 
 ⬧ ◼⧫
 ⧫⧫
Artinya : “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan
awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya,
dan menjadikannya bergumpal-gumpal; Lalu kamu lihat hujan ke luar dari
celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya
yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS. Ar-Rum [30]
: 48).
Kemudian di ayat lain :
◼ ◆❑⧫ ▪➔
⬧ ◆ ◆
◆ ⚫ ⧫⬧⬧
  ❑⬧ ◆
⧫✓➔⬧ ⬧ ⧫⬧⬧
Artinya : “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap,
lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya
menurut perintahKu dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab,
“Kami datang dengan suka hati.”.” (QS. Al-Fushilat [41] : 11).
Itulah hukum alam atau sunnatullah, ia tunduk-patuh kepada perintahNya.
Jadi, bila saat ini alam memperlihatkan kemurkaannya dengan terjadinya
berbagai bencana, hal ini sudah pasti, karena manusia tidak lagi memegang
amanah yang dipikulkan kepadanya, yaitu untuk memelihara dan menjaga
keseimbangan alam, tidak malah merusaknya sebagaimana tersirat dalam surat
Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi :
⧫◆ ☺ ⧫◆
 ◼⧫ ◆ 
 ⧫⧫ ⬧ ◆
☺ ◆  ◆
◆  ⬧  
  ⬧
⧫     
 ⧫☺
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
38
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.
di atas dan banyak lagi ayat lain dalam Al-Qur’an. Maka atas izinNya-lah
akibatnya harus kita terima. Pada akhirnya, ilmu yang sedemikan canggih pun
tidak memberikan manfaat pada manusia. Rasulullah bersabda, “Manusia yang
paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah seorang alim yang Allah tidak
memberikan manfaat pada ilmunya.”

Kedudukan Ilmu Tauhid


1. Kedudukan tauhid dalam Islam adalah sebagai azas, landasan yang
mendasari sikap, gerak dan pola pikir seorang muslim.
Tauhid yang dibawa oleh para Rasul adalah aqidah yang universal (syamil),
yaitu aqidah yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan manusia.
Konsekuensinya adalah penyerahan (islamisasi) manusia secara total, mulai
dari kalbu, akal pikiran, ucapan, hingga amal, hanya kepada Allah semata.
2. Allah al’alim Ayat Qur’aniyah & Kauniyah Sejarah Ilmu Tauhid
Kedudukan Ilmu Tauhid diantara Semua Ilmu
1). Allah Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui) 1. Ilmunya mencakup seluruh
wujud
⧫⬧  ❑⬧ ▪⧫◼◆ .3
  ❑⧫
⬧ ◆   ⬧◆
   ❑➔ ⧫
  ◼◆ ◆⧫
 → ◼◆ ◆
 ⧫⧫⬧ ⬧  ☺
Artinya : Dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu
hendak membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah
memberi petunjuk kepadaku". dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari)
sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala
Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku
meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) ?" (Q.S. al-An’am [6] : 80)
⧫ ◼◆
 ☺◼➔⧫  ⧫
 ⧫ ◼➔⧫◆  ◆❑➔
 ⬧⧫◆ 
 ⬧◆◆  →◼ ⧫◆
  ◆ ☺◼➔⧫
◆ ◆  ☺➔→

39
⧫   ▪⧫ ◆
 ✓
2). Artinya : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak
ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi,
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam
Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Q.S. al-An’am [6] : 59)
3). Segala aktivitas lahir dan batin manusia Firman Allah :
✓ ⬧◆⬧ ◼➔⧫
   ⧫◆
Artinya : Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat[1318] dan apa
yang disembunyikan oleh hati. . Q.S. al-Mu’min [40] : 19
[1318] Yang dimaksud dengan pandangan mata yang khianat adalah pandangan yang dilarang,
seperti memandang kepada wanita yang bukan muhrimnya.
4). Mengetahui yang lebih tersembunyi dari rahasia bahkan yang telah
dilupakan manusia firman Allah :
❑⬧  ◆
▪ ◼➔⧫ ⬧
 ⬧◆
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, Maka Sesungguhnya Dia
Artinya :
mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi[914]. Q.S. Thaahaa [20] : 7.
[914] Maksud ayat ini Ialah: tidak perlu mengeraskan suara dalam mendoa, karena Allah
mendengar semua doa itu walaupun diucapkan dengan suara rendah.
5). Mengetahui yang belum terjadi Firman Allah :
 ⧫   ⧫
→  ◆ 
 ⬧  ⧫  
⬧   ◆
  ◼⧫
Artinya :Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. QS. Al-Hadid [57] : 22
Mengenal Allah ada empat cara yaitu
1. mengenal wujud Allah,
2. mengenal Rububiyah Allah,
3. mengenal Uluhiyah Allah,
4. dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di
dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.
Ibnul Qoyyim mengatakan:

40
“Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an
dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang
kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah
seperti dalam firman-Nya:
◆❑☺   
◼◆ ◆
◆ 
⧫  ⧫
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan
malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190) .
Juga dalam firman-Nya yang lain:
◆❑☺   
◼◆ ◆
◆ 
  →◆
⧫ ☺ ⬧⧫ 
 
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian
malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan membawa apa yang
bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)
Mengenal Wujud Allah.
Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah,
akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk,
warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu
tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya.
Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang
yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah
mengabulkannya.
Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al
Qur’an:
 ◆ ⬧ ◆
❑→  ⧫◆ ⧫
➔◆ ⧫☺➔
→⬧ → ◼⧫
 ◼⧫ ❑⬧  ◼⧫
❑❑→⬧   ⧫
 ☺◆ ⧫❑⧫
⧫  ⧫ →
❑❑→⬧  
41
⬧ 
⬧  ⧫⧫⧫◆
 ➔ →◆
◆☺⬧  ➔⧫
⧫❑➔☺ ➔⬧ 

Artinya : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab:
‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang
demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya
kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu)
atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami
telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-
anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui
adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya
mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at
Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh
makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha
Bijaksana.
Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu
penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. Maknanya, menyakini
bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan,
memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat.
Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari
segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang
menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan:
   ◆❑➔ ➔
⬧  ☺ 
⬧◆  ⬧❑ ⬧◆ ⧫
  ❑→→  ⧫
Artinya : “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak
diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al
Ikhlash: 1-4).
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki
kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah
mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah, sebagian orang kafir jahiliyah tidak
mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu
42
melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa
apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal
yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak
itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak
bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua
tujuan, yaitu :
Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya
sebagaimana firman Allah:
⬧   
 ⬧ ◆ 
⧫ ◆◆ 
 ➔➔⧫
 ◼ ⧫❑⬧
⧫⬧   ⬧
 ➔ ⧫  ⧫
    ❑→⧫⬧
 ◆❑➔ ⧫ ⧫
 
Artinya : Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan
memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat
ingkar. (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah
berfirman:
   ➔⧫◆
◆ ➔➢  ⧫
❑❑→⧫◆ ➔⧫
 ⧫→⬧➔ →⬧
❑◆➔ ➔  
 ◼➔⧫  ☺ 
 ◆ ◆❑☺
⬧  
❑ ☺⧫ ◼➔⬧◆

Artinya : Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan,
dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada Kami di sisi
43
Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang
tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?"[678] Maha suci
Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu). (QS.
Yunus: 18,)
[678] Kalimat ini adalah ejekan terhadap orang-orang yang menyembah berhala, yang
menyangka bahwa berhala-berhala itu dapat memberi syafaat Allah.
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah
dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:
 ⧫ ⬧◆
  ❑→◆⬧ ⬧◼
 ⧫❑⬧⬧ ⬧
Artinya : “Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan
mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87) “
⧫◼  ⧫ ⬧◆
◆◆ ◆❑☺
▪☺ ⧫◆
 ❑→◆⬧ ⧫☺⬧◆
 ⧫❑⬧⬧ ⬧ 
Artinya : Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah
yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?"
tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah mereka (dapat)
dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS. Al Ankabut: 61) “
⧫  ⧫ ⬧◆
⧫ ☺ 
 ◆  ◆⬧
❑→◆⬧ ❑⧫ ➔⧫
  ☺⬧ ➔  
⧫❑➔➔⧫  ➔⬧ ⧫
Artinya : Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu
bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah:
"Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).
(QS. Al Ankabut: 63)
Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid
Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan
mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta
mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum
muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-
saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang
mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam
ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit.

44
Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan
orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung
atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini,
merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam
penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam
manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan
kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari
segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan
seseorang, kecuali Allah.
Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan
tidak kepada selain-Nya. Mengenal Uluhiyah Allah Uluhiyah Allah adalah
mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta,
tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari
jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah
termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan
dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
◆ ➔⧫ 
 ✓➔⧫◼
Artinya : Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan[7]. (QS. Al Fatihah: 5)
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh
perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan
bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk
dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau: “Dan apabila kamu minta maka
mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah
kepada Allah.” (HR. Tirmidzi) Allah berfirman:
 ◆ 
 ❑➔ ◆

36. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman:
 ⧫
 ◆ 
 ⧫◆ ⬧◼⬧

45
⧫❑→⬧ ➔⬧ ⬧

Artinya : “Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21) Dengan ayat-ayat dan
hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak
bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain
Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka
yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan
apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus
dirimu? Dia menjawab ya”.
Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari
ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan
kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik
Radhiallahu ‘Anhu ).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam
hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa
yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku
maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )
Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika
seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah
tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada
seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di
tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa
melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut
jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan
bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari
musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah
dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap
Allah.”
Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah Maksudnya, kita beriman bahwa
Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang
telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-
sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh
Rasul-Nya.
Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan
firman Allah:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)


◼ ⬧☺ ◆ 
46
Artinya “Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60).
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak
menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika
berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku
beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan
apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa
yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh
Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin hal 36).
Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang
dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara
tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan
dibenci dalam agama.
Allah berfirman:
◼◆ ⧫▪ ☺ [➔
⧫⬧ ⧫ ◆❑
⬧⧫ ⧫◆ 
⧫◆ ◆
◆  ⧫
⬧ ⧫  ❑➔
◆ ⬧  ⧫
 ⧫  ◼⧫ ❑❑→⬧
 ⧫❑⬧➔⬧
Artinya : “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk
itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.”
(QS. Al A’raf: 33)
 ⬧ ▪⬧ ⧫ ⬧ ◆
☺   
⬧→◆ ◆⧫◆
⧫ ⧫ ⬧ 
 ❑⧫
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Isra: 36)
Perbedaan ilmu manusia & ilmu Allah
Pertama, dalam hal objek, Allah mengetahui segala sesuatu, manusia tidak
mungkin dapat mendekati pengetahuan Allah

47
  ⧫◆
 ⬧  ➔
Artinya : “Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” Q.S. al-Isra
[17]:85
⬧⧫ ⧫ ❑ ➔
◼◆ ☺⬧ 
 ⬧ ⬧⧫ ◆⬧
◼◆ →☺ ⬧
☺ ◆ ❑⬧◆
 ⧫
Artinya : “Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habis lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula)” Q.S. al-Kahf [18]:109
Kedua, kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat mencapai
kejelasan ilmu Allah •
Ketiga, ilmu Alllah bukanlah hasil dari sesuatu tetapi sesuatu itulah yang
merupakan hasil dari ilmuNya. Ilmu manusia dihasilkan dari adanya sesuatu •
Keempat, ilmu Allah tidak berubah dengan perubahan objek yang
diketahuiNya. Tidak ada kebetulan di sisi Allah karena pengetahuanNya
tentang apa yang akan terjadi dan saat kejadiannya sama saja di sisi Allah
Kelima, Allah mengetahui tanpa alat, sedang ilmu manusia diraihnya dengan
pancaindra, akal dan hatinya yang didahului oleh ketidaktahuan Firman Allah
:
 ⧫ ◆
  ❑
➔◆  ❑☺◼➔⬧
☺ ⬧
 ◼◆ ⧫◆
 ⬧ ➔⬧
Artinya : “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur (dengan menggunakan untuk meraih ilmu)”
Q.S. an-Nahl [16] : 78
Keenam, ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak dilupakanNya.Firman Allah
:
  ⧫⧫⧫ ⧫◆
⧫✓⧫ ⧫ ⬧  ◼◆
 ⧫◆ ◆
⧫◆  ⬧ ✓⧫ ⧫◆
 ◼ ◆ ⧫
48
Artinya : Dan tidaklah Kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu.
kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di
belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah
Tuhanmu lupa.Q.S. Maryam [19] : 64
PERBEDAAN OBJEK ILMU ALLAH ILMU MANUSIA Mengetahui segala
sesuatu Tidak mungkin mendekati pengetahuan Allah Sumber ilmu Dihasilkan
dari adanya sesuatu SIFAT Sangat jelas, Tidak berubah walau objek berubah,
tidak hilang, tidak lupa, tidak ada kebetulan Bagai melihat dibalik
tabir,Berubah, tergantung objek, hilang ALAT Mengetahui tanpa alat
Pancaindra, akal, hati, didahului ketidak tahuan Kekal Sementara
PEROLEHAN ILMU WAKTU
Manusia ‘Alim Anugrah Allah Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-
nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat lalu berfirman:
◆ ⧫◆ ⧫◆
◼⧫ ⧫ ▪➔ 
⧫⬧⬧ ⬧◼☺
☺ ❑
  →⬧
❑⬧  ⧫✓
 ◆⬧   ⬧
   ⧫☺⧫ ⧫
 ⧫ ➔
Artinya : 31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!"
32. Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[35]." Q.S. al-
Baqarah [2] : 31-32
[35] Sebenarnya terjemahan hakim dengan Maha Bijaksana kurang tepat, karena arti hakim
Ialah: yang mempunyai hikmah. Hikmah ialah penciptaan dan penggunaan sesuatu sesuai
dengan sifat, guna dan faedahnya. di sini diartikan dengan Maha Bijaksana karena dianggap
arti tersebut hampir mendekati arti Hakim.
Pengetahuan hakiki :  Menimbulkan dampak dalam kehidupan  Bukan apa
yang diperoleh melalui proses belajar mengajar, tetapi cahaya yang
ditampakkan Tuhan ke dalam hati orang-orang yang dikehendakiNya  Bukan
hanya terbatas pada kemampuan mengekspresikannya dalam bentuk kata,
tetapi ada pula yang menyentuh hati sehingga melahirkan amal-amal yang
sesuai dengan petunjuk Ilahi KESADARAN AKAN JATI DIRI SEBAGAI
MAKHLUK YANG DHAIF

49
Ilmu I L M U W A N Motivasi, Tujuan, Pemanfaatan Keimanan Keikhlasan
& Ketundukkan, firman Allah :
 ◼➔◆◆
 ➔ ❑➔
  ⬧
⬧  ❑⬧⬧
◆  ❑➔➔ ⬧
⧫ ⬧ 
◆ ◼ ❑⧫◆
 ⧫
Artinya : Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini
bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman
dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi
petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. Q.S. al-
Hajj [22]:54.
Ayat qauliyah dan ayat kauniyah
Konsep kebenaran ilmu  Ayat Qauliyah/Wahyu (Qur’an & Sunnah) : Mutlak
 Ayat Kauniyah : nisbi (relatif ) dan tajribi (eksprimentatif )  Pemahaman
terhadap wahyu memungkinkan beberapa alternatif pemahaman manusia tidak
bersifat mutlak.  Kebenaran yang mutlak harus dijadikan burhan/alat untuk
mengukur kebenaran nisbi, BUKAN TERBALIK, kebenaran mutlak
diragukan karena bertentangan dengan kebenaran yang nisbi (relatif dan
eksprimentatif).  jika terjadi pertentangan antara kesimpulan yang didapat
dari al kaun dengan wahyu, maka : diuji kembali kesimpulan tersebut, atau
menguji kembali pemahaman manusia terhadap wahyu.  Logikanya, wahyu
dan alam semesta semuanya berasal dari Allah swt. mustahil terjadi
pertentangan
. Sejarah ilmu tauhid 1. Masa Rasulullah SAW  Penyusunan peraturan,
penetapan pokok aqidah, penyatuan umat, membangun kedaulatan Disinari
wahyu dan petunjuk al-Qur’an Aqidah kuat Semua permasalahan
dikembalikan ke Rasulullah Menghindar dari perpecahan dan konflik Q.S. An
Nahl 16:125
◼◆  ◼ 
☺⧫
⬧→❑☺◆
◆  ◆⧫
    
☺ ◼ ◆❑➔ ◆
◆❑➔◆   ⧫ 
⧫⧫☺ ◼

50
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
[845] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bathil.
Khalifah Abu Bakar & Umar bin Khatab : •Aqidah kuat •Tidak ada ta’wil
al Qur’an •Ayat mutasyabihah diimani & diserahkan kepada Allah
.Khalifah Utsman & Ali bin Abi Thalib •Konflik politik, Utsman terbunuh
•Umat Islam terpecah •Terbuka pintu takwil nash al-Qur’an & hadits •Muncul
hadits-hadits palsu •Pembahasan aqidah meluas
Bani Umayah dan Bani Abbasiyah Muncul aliran&golongan dalam aqidah:
Khawarij : pendukung Ali, kecewa,keluar. Berdosa besar, KAFIR Syi’ah :
Pendukung Ali Murji’ah : berdosa besar, MU”MIN. Terserah Allah,
mengampuni /tidak Mu’tazilah : Berdosa besar, bukan kafir bukan Mu’min,
(almanzilah bain al-manzilatain). Teologi liberal: Menggunakan rasio, tidak
berpegang teguh pada sunnah, pendirinya Washil bin Atha’ Asy’ariyah &
Maturidiyah (ahl sunnah wa al-jama’ah) : menentang Mu’tazilah Qadariyah :
(Free will & free act) Jabariyah : tidak bebas berbuat,
(predestination/fatalism)
Reaksi terhadap Asyariyah: • gerakan salafiyah (beriman pada al-Quran dan
Hadits tanpa takwil): Hambaliyah, Sayid jamaluddin alAfghani, Muhammad
Abduh dan Sayid Rasyid Ridha di Mesir • Abad 8 H, Tauhid secara keilmuan
mulai dibahas: Ibnu Taimiyah dilanjutkan muridnya Ibnu Qaiyim al-Jauziyah:
kembali kepada Qur’an dan Sunnah • Selanjutnya umat muslim mempelajari
ilmu tauhid dari kiab-kitab yang ada.

PERTEMUAN KE V
Mengaplikasikan makna LaaIllaaha Illa Allah Dalam Kehidupan

51
Pengertian Ilah
Kata “Ilah” mempunyai pengertian yang sangat luas, mencakup pengertian
Rububiyah dan Mulkiyah, maka kata inilah yang dipilih Allah SWT untuk
kalimat Tayyibah yaitu: La Ilaha Illallah. Iqrar la Ilaha Illallah bersifat
konprehensif, mencakup pengertian:
• La Khaliqa Illallah ( Tidak Ada Yang Maha Pencipta Kecual Allah)
• La Razika Ilallah ( Tidak Ada Yang Maha Memberi Rezeki Keuali Allah)
• La Hafiza Ilallah ( Tiadak Ada Yang Maha Memelihara Kecuali Allah)
• La Mudabbira Illallah ( Tidak Ada Yang Maha Mengelola Kecuali Allah)
• La Malika Ilallah ( Tidak Ada Yang Maha Memiliki Kecuali Allah, Tidak
Ada Yang Maha Memiliki Kerajaan Kecuali Allah)
• La Waliya Illallah ( tidak ada maha memimpin kecuali Allah)
• La Hakima Ilallah ( tidak ada yang maha menentukan aturan kecuali Allah)
• La Ghayata Illallah ( tidak ada yang maha menjadi tujuan kecuali Allah)
• La Ma’buda Illallah ( Tidak Ada Yang Maha Disembah Kecuali Allah).
1.Wujud ( Ada ) Adanya Allah itu bukan karena ada yang mengadakan atau
menciptakan, tetapi Allah itu ada dengan zat-Nya sendiri. Sifat mustahil-Nya
adalah : Adam yang berarti tidak ada.
2.Qidam ( Dahulu atau Awal ) Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah SWT
sebagai Pencipta lebih dulu ada daripada semesta alam dan isinya yang Ia
ciptakan. Sifat mustahil-Nya adalah : Hudus yang artinya baru. Allah SWT
bukan mahluk melainkan Khalik (Maha Pencipta).
3. Baqa’ ( Kekal ) Kekalnya Allah SWT tidak berkesudahan atau penghabisan.
Sifat mustahilnya adalah : Fana’ artinya rusak atau binasa. Semua mahluk
yang ada di alam semesta seperti manusia, binatang, tumbuhan, planet dan
bintang akan rusak atau binasa sehingga disebut baru sebab ada awal dan ada
akhirnya.
52
4.Mukhalafatu lil hawadits ( berbeda dengan Ciptaannya ) Berbeda dengan
semua yang baru (mahluk). Sifat mustahil-Nya adalah : Mumasalatu lil
hawadisi Artinya serupa dengan semua yang baru(mahluk).
5. Qiyamuhu binafsihi ( Allah berdiri sendiri ) Qiyamuhu Binafsihi berarti,
keberadaan Allah SWT itu ada dengan sendirinya tidak ada yang mengadakan
atau menciptakan. Sifat mustahil-Nya adalah : Ihtiyaju lighairihi artinya
membutuhkan bantuan yang lain. Berbeda sekali dengan manusia, manusia
hidup di dunia ini tidak bisa hidup sendiri-sendiri.
6.Wahdaniyyah ( Esa atau Tunggal ) Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha
Esa., baik itu Esa zat-Nya, sifat-Nya, maupun perbuatannya. Sifat mustahil-
Nya adalah : Ta’adud Artinya berbilang atau lebih dari satu.
7.Qudrat ( Berkuasa ) Kekuasaan Allah SWT, atas segala sesuatu itu mutlak,
tidak ada batasnya dan tidak ada yang membatasi, baik terhadap zat-Nya
sendiri maupun terhadap makhluk- Nya. Sifat mustahil-Nya adalah : ‘Ajzu,
artinya lemah. Allah SWT tidak mungkin bersifat lemah.
8.Iradat ( Berkehendak ) Allah SWT menciptakan alam beserta isinya atas
kehendak-Nya sendiri. Sifat mustahil-Nya adalah : Karahah, Artinya terpaksa.
Jika Allah SWT bersifat karahah (terpaksa) pasti alam jagat raya yang kita
tempai ini tidak terwujud sebab karahah itu adalah sifat kekurangan,
sedangkan Allah SWT, wajib bersifat kesempurnaan.
9. Ilmu ( Mengetahui ) Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, meskipun pada
hal yang tidak terlihat. Sifat mustahil-Nya adalah : Jahlun yang artinya bodoh.
Allah SWT memiliki pengetahuan atau kepandaian yang sangat sempurna,
artinya ilmu Allah SWT itu tidak terbatas.
10. Hayat ( Hidup ) Hidupnya Allah tidak ada yang menhidupkannya
melainkan hidup dengan zat-Nya sendiri karena Allah Maha Sempurna,
berbeda dengan makhluk yang diciptakan-Nya. Sifat mustahil-Nya adalah :
Mautun yang artinya mati.
11. Sam’un ( Mendengar ) Allah SWT mendengar setiap suara yang ada di
alam semesta ini. Tidak ada suara yang terlepas dari pendengaran Allah SWT
walaupun suara itu lemah dan pelan., seperti suara bisikan hati dan jiwa
manusia. Sifat mustahil-Nnya adalah : Summun artinya tuli (tidak
mendengar)..
12. Basar ( Melihat ) Allah SWT melihat segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini . penglihatan Allah bersifat mutlak, artinya tidak dibatasi oleh
jarak( jauh atau dekat) dan tidak dapat dihalangi oleh dinding (tipis atau tebal).
Sifat mustahil-Nya adalah : ‘Umyun, artinya buta. Allah SWT wajib bersifat
kesempurnaan.
13. Kalam ( Berbicara / Berfirman ) Allah SWT bersifat kalam artinya Allah
SWT berfirman dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-
Nya. Sifat mustahi-Nya adalah : Bukmun, artinya Bisu.
Sehubungan dengan Al-Asma’ was-shifat ini ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:

53
a) Jangan memberi nama Allah SWT dengan nama-nama yang tidak
disebutkan didalam Al-Qur’an dan Sunnah.
b) Jangan menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah SWT,
sifat-sifat dan af’al (perbuatan) Nya dengan mahluk apapun.
c) Mengimani al-asma’ was-shifat bagi Allah SWT
Dan diantara makna Ilah diatas maka yang paling asasi adalah makna ‘abada
(‘ain-ba-dal) yang mempunyai beberapa arti, antara lain: hamba sahaya
(‘abdun), patuh dan tunduk(‘ibadah), yang muliadan agung (al- ma’bad),
selalu mengikutinya (‘abada bih). Jika arti kata kata ini diurutkan maka dia
menjadi susuan kata yang sangat logis, yaitu: bila seseorang menghambakan
diri terhadap seseorang maka ia akan mengikutinya, mengagungkannya,
memuliakan, mematuhi dan tunduk kepadanya,serta bersedia mengorbankan
kemerekaannya. Dalam konteks ini “al- Ma’bud” berarti yang memiliki, yang
dipatuhi, dan yang diagungkan. Jadi, Tauhid Ilahiyah adalah mengimani Allah
SWT sebagai satu-satunya Al-Ma’bud (yang disembah).
Antara tiga dimensi Tauhid di atas berlaku dua teori (dua dalil) yaitu:
a. Dalil at-Talazun/ kemestian. Maksudnya setiap orang yang menyakini
Tauhid Rububiyah, semestinya menyakini Tauhid Mulkiyah, dan menyakini
Mulkiyah semestinya meyakini Tauhid Ilahiyah. Dengan kata lain Tauhid
Mulkiyah adalah konsekuensi logis dari Tauhid Rububiyah. Tauhid Ilahiyah
adalah konsekuensi logis dari Tauhid Mulkiyah. Apabila terhenti pada
Rububiyah saja, atau pada Mulkiyah saja tentu ada sesuatu yang tidak logis.
b.Dalil at-Tadhamun/cakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah sampai
ketingkat Tauhid Ilahiyah tentunya sudah melalui dua Tauhid sebelumnya.
Kenapa kita beribadah kepada Allah SWT semata? Karena Allahw SWT
adalah rajanya ( Wali, Hakim, dan Ghayah). Kenapa Allah SWT Rajanya?
Karena Allah SWT adalah Rabb-nya.
Inti ajaran islam adalah ‫ ًل إله إًل أهلل‬yang bermakna ‫ًل معبد بحق إ ًل هللا‬
yang berarti tiada yang diibadahi di segala langit dan bumi dengan haq
kecuali hanya Allah.
Kalimat Tauhid Laa ilaaha illallaah memiliki dua rukun yaitu
‫( النفي‬An-Nafiyu = menafikan/meniadakan) dan ‫( اإلثبات‬Al-Itsbat =
menetapkan),
mengenai rukun ‫( النفي‬An-Nafiyu) dan ‫( اإلثبات‬Al-Itsbat),
1. An-Nafy (pada kalimat: Laa ilaaha), yaitu menafikan segala bentuk
sesembahan yang ada.
2. Al-Itsbat (pada kalimat: Illallaah), dan menetapkan penyembahan hanya
kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
1. An-Nafiyu
An-Nafiyu mencakup empat perkara, yaitu
2. An-Nafy (meniadakan)
3. Al-Alihah, Ath-Thaghut,

54
4. Al-Andad (tandingan-tandingan) dan Al-Arbab.

a) Al-Alihah

Alihah adalah jamak daripada ilah, yaitu apa yang dituju dengan sesuatu hal
(dengan tindakan atau perbuatan) dalam rangka mencari manfaat atau menolak
bala (bencana) .yang berbunyi :
⬧ ❑ 
 ⧫⬧  ⚫ 
 ⧫⧫ 
 ⧫❑❑→⧫◆
❑⧫⬧
⧫ ◆
 ❑
Artinya : “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka:
“Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)
mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya
kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair
gila?” (QS. As Shaffat [37]: 35-36)
“Apakah dengan menjadikan kebohongan kamu menghendaki sembahan-
selain Allah”. (QS Ash-Shaffat 37:86).
 ❑◆
 ➔◆
⧫⬧◆  
 ⧫⬧
  ⬧
⬧⚫ ➔
  ◼◆ ⬧
 ⬧ 

Artinya : “Dan mereka (orang-orang kafir) heran bahwa telah datang kepada
mereka seorang pemberi peringatan dari mereka. Dan telah berkata orang-
orang kafir ini adalah penyihir pendusta. Apakah dia telah menjadikan
sembahan-sembahan menjadi sembahan yang satu. Sesungguhnya ini benar-
benar suatu yang mengherankan”. (QS. Shad :4-5)
Contoh dari sesuatu hal yang dianggap ibadah disini misalnya memberikan
sesajian-sesajian pada batu atau pohon keramat, melemparkan makanan ke
laut untuk persembahan, menyembelih tumbal untuk jin penunggu, meminta

55
do’a kepada penghuni kubur, dan yang semacamnya dengan maksud menolak
bala ataupun meminta manfaat dengan perbuatan tersebut.
Meskipun batu, pohon, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan
tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah.
Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah musyrik, meski mereka
mengaku muslim.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata:
“Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat
dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap
muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan
melepaskan diri darinya”. Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik,
maka dia telah meninggalkan Tauhid”
b) Al-Arbab
Arbab adalah bentuk jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan yang mengatur
dan menentukan hukum. Allah disebut Rabbul ‘alamin karena Allah yang
mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy
(syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia
berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai Rabb.

KONSEKWENSI SYAHADAT
Ketahuilah, jika seseorang telah bersaksi dengan dua kalimat syahadat, ada
hak dan kewajiban yang harus ia lakukan. Diantara hak yang didapatkannya
adalah haramnya darah dan hartanya. Maksudnya, seseorang yang telah
bersaksi dengan dua kalimat syahadat tidak boleh untuk diperangi,
ditumpahkan darahnya, dan dirampas hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai
mereka mau bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah,
dan mendirikan sholat, serta menunaikan zakat. Apabila mereka telah
melakukan hal tersebut, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku,
kecuali dengan hak islam. Adapun hisab mereka adalah urusan Allah Ta’ala”
(HR. Bukhori dan Muslim)

Adapun kewajiban yang harus dilakukan adalah :

1. Kewajiban setelah bersaksi Asyahadu alla ilaaha illallah


Konsekuensi syahadat la ilaha illallah juga meninggalkan segala bentuk
peribadahan dan ketergantungan hati kepada selain Allah. Selain itu ia
juga melahirkan sikap mencintai orang yang bertauhid dan membenci orang
yang berbuat syirik. Sedangkan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah
adalah menaati Nabi, membenarkan sabdanya, meninggalkan
larangannya, beramal dengan sunnahnya dan meninggalkan bid’ah, serta
mendahulukan ucapannya di atas ucapan siapapun. Selain itu, ia juga
melahirkan sikap mencintai orang-orang yang taat dan setia dengan sunnahnya
56
dan membenci orang-orang yang durhaka dan menciptakan perkara-perkara
baru dalam urusan agama yang tidak ada tuntunannya.

2. Kewajiban setelah bersaksi Asyahadu anna Muhammadar Rasulullah


Orang yang telah bersaksi Asyahadu anna Muhammadar Rasulullah maka
konsekuensinya ia wajib membenarkan segala yang dikabarkan oleh
Rasulullah tanpa meragukannya, melakukan apa yang Beliau perintahkan,
menjauhi apa yang beliau larang, mendahulukan dan menghormati sabda
beliau di atas perkataan selainnya, beribadah kepada Allah sesuai tuntunannya,
tidak menambah-nambah ajarannya, serta melahirkan sikap cinta terhadap
orang yang taat dengan sunnah beliau dan benci terhadap orang yang
mengingkari sunnah beliau. Dan termasuk pula meyakini beliau sebagai
penutup para Nabi dan Rasul, tidak ada lagi nabi setelah beliau.
Wallahua’lam.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang
memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran,
dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia
disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia
mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya
sebagai Rabb.
Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman:
➔◆⧫ ⬧
⧫ ◆⧫◆
☺◆   
⧫◆ ⧫⧫ 
➔◆  
⧫⬧   ◆ ⬧
☺⧫ ⬧  ◆❑➔ 
❑→
Artinya : “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih
putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9] :31)

Di dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani
kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membacakan
ayat itu dihadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah,
kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan
para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan
apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya?
Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian
57
ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul”
lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang
Nashrani kepada mereka itu” [HR. At Tirmidzi]

Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum


mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum/undang-undang,
maka dia mengkalim bahwa dirinya sebagai Rabb. Sedangkan orang yang
mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah
memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah
kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi
musyrik.firman Allah yang berbunyi :
     
 ➔⬧  ⧫⧫
⬧  ◼
⬧ 
 ◆⬧ ⬧◆
 ❑☺◼➔⧫ 
Artinya : “Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf 12:40)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak
menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan,
undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak
menyandarkan hukum kecuali kepada Allah. Dalam ayat ini penyandaran
hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah
kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah
kepada selain Allah, itulah dien yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia
tidak mengetahui.

Fir’aun ketika mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan


dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai
sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi dia maksudkan “Sayalah pembuat
hukum bagi kalian yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan


surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap
orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi
apa yang Allah syri’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu
sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]

58
Jadi, kesimpulannya bahwa Arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya
berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab
adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang
mengikuti hukum buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan
peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar
atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas
terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun,
Allah berfirman :
⬧ ❑⬧⬧
◆ ◆⧫
◆⬧ ☺❑⬧◆
 ⧫⧫
Artinya : “Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua
orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah
orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mu’minun [23] :47)
Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada
Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang
yang taat kepada hukum buatan para Arbab itu adalah disebut orang yang
beribadah kepada Arbab tersebut. Inilah penjelasan tentang Arbab yang
menjadi bagian kedua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.

c)Al-Andad
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah
tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya
sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain
terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah berfirman tentang nidd ini atau
tentang Andad ini Allah berfirman :
 ❑➔➔ ⬧ 
◆ 
 ❑☺◼➔⬧
Artinya : “…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah sedang kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah 2: 22)
Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam, atau
sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam atau Tauhid, baik itu
anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan
seseorang daripada Tauhid atau memalingkan seseorang dari pada Al Islam
atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan,
maka sesuatu hal itu sudah menjadi Andad, tandingan bagi Allah
Subhanahuwata’ala.Firman Allah yang berbunyi :
⧫  ◆
   ⧫
59
⧫❑⧫ 
  ⬧
❑⧫◆ ⧫◆
⧫⧫ ❑⬧◆    
 ❑◼⬧ ⧫
 ➔ ⧫⧫⧫
➔☺  ◼▪❑→
  ◆
 ➔
Artinya : …Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah (QS. Al-Baqarah [2] :165).
Singkatnya, segala sesuatu yang memalingkan seseorang daripada Tauhid dan
Al Islam disebut Andad.
d) Ath-Thaghut
Thagut adalah yang disembah dan diminta dari selain Allah, dan dia (yang
diminta dan disembah) ridlo terhadap yang demikian itu.
Thagut itu banyak macamnya ,tokoh-tokohnya ada lima: :
1] Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah.
2] Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela.
3] Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
4] Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan
5] Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah
diturunkan oleh Allah.
Sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam
adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala
sebagaimana yang Dia firmankan :
→  ◆➔⧫ ⬧⬧◆
 ❑▪ 
 
❑ ❑⧫◆
   ☺⬧ 
◼⧫   ◆
60
 ⬧  ⬧◼
 →⬧ 
➔⧫⧫ 
 ✓⬧☺
Artinya : Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[826] itu",
(QS. An Nahl [16] :36)
[826] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran
semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama
diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang
apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah ta’ala berfirman:
❑ →⧫ ☺⬧ 
⬧⬧  ⬧◆
◆➔ ☺⧫
⧫  ⬧❑
⧫  ◆  ⚫

Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al
Baqarah [2]:256)

[162] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t
Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi
dia tidak kufur terhadap thaghut maka dia itu bukan muslim dan amal
ibadahnya tidak diterima.

Sayyidina Umar ibn al-Khattab mengatakan, “Thogut adalah syaitan”


Jabir bin Abdullah berkata: “Thaghut adalah para dukun yang setan turun
kepada mereka di suatu daerah.”

Menurut Mujahid, “Thagut adalah setan yang berbentuk manusia, dia


dijadikan sebagai hakim pemutus perkara dan dialah orang yang
mengendalikan urusan mereka”

Imam Malik mengatakan, “thagut adalah semua hal selan Allah yang disembah
manusia. Semisal, berhala, pendeta, ahli sihir, atau semua hal yang
menyebabkan syirik.”

61
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan “orang yang dijadikan pemutus
perkara seperti hakim yan memutuskan perkara dengan selain Kitabullah (Al-
Qur’an) adalah toghut”

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata,”Thaghut adalah segala sesuatu yang


melampaui batas yang berupa ma’bud (yang diibadahi) atau matbu’ (yang
diikuti) atau mutha’ (yang ditaati). Sehingga toghut adalah semua orang yang
dijadikan pemutus perkara, selain Alloh dan Rasul-Nya didalam suatu kaum,
atau mereka yang dibadahi selain Alloh, atau yang mereka ikuti tanpa dasar
keterangan dari Alloh, atau yang mereka taati pada perkaraperkara yang
mereka tidak mengetahui bahwa taat kepadanya merupakan taat pada Alloh”
Menurut Sayid Qutb, “Thagut adalah segala sesuatu yang menentang
kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah swt untuk
hamba-Nya. Thagut bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban, dan lain-lain
yang tidak berlandaskan ajaran Allah”

Menurut Syaikh Muhammad Qutb, “Thogut adalah seseorang, organisasi atau


institusi, jama’ah, pemerintahan tradisi atau kekuatan yang menjadi panutan
atau aturan manusia, dimana manusia tidak dapat membebaskan diri dari
perintahnya dan larangannya.”
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
◆❑ ⬧ ⧫ ⬧
⧫  ◆
 ➔⧫ ⧫◆
❑⬧ ❑⬧
 ⧫◆⧫ 
 ⧫➔⬧ ☺◆
⧫  
◆⧫ ⧫◆ 
◆⧫◆
◆➔
⧫ ⧫◆
 ❑⬧➔ 
62
⧫❑⬧  ◼◆
 ⧫⧫
⧫◆ ⬧ ⧫⧫
   ⬧ →
 
ArtinyaSesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada
kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada
apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah
nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja. …(QS. Al Mumtahanah [60] : 4)

[1470] Nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah
: ini tidak boleh ditiru, karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan
untuk orang-orang kafir (Lihat surat An Nisa ayat 48).

Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, dan
meninggalkan empat hal tadi: Alihah (sembahan-sembahan), Arbab (tuhan-
tuhan pengatur), Andad (tandingan-tandingan), dan Thaghut.
1. Al-Itsbat

Al-Itsbat mencakup empat perkara, yaitu Al-Qashdu, At-Ta’zhim dan Al-


Mahabbah, Al-Khauf dan Ar-Raja’, dan At-Taqwa.

a) Al-Qashdu, adalah tidaklah ibadah itu ditujukan melainkan hanya kepada


Allah.
b) At-Ta’zhim adalah pengagungan hanya untuk Allah. Dan Al-Mahabbah,
adalah cinta hanya untuk dan karena Allah.Firman Allah :
⧫◆ 
 ❑⧫◆
 
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman lebih dahsyat/hebat cintanya
kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah 2:165).

c) Al-Khauf adalah rasa takut/khawatir mendapat kemurkaan dan siksa/adzab


Allah (neraka).
d). Dan Ar-Raja’, adalah berharap mendapat rahmat dan ni’mat dari Allah
(surga). Ayat yang berkenaan dengan berharap ni’mat Allah dan takut
terhadap siksa Allah. Berbunyi :
❑ 
 ❑
◆
63
◆ ⧫❑⧫◆
❑◆  ◆◆
 ✓➔ ◆⬧
Artinya : “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada
Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang
khusyuk kepada Kami.’ (QS. An-Anbiya’[21] : 90)
⬧ ⬧ ☺
⬧ ◼◆◆ ❑⬧
 ❑➔⬧◆ ➔❑➔⬧
⧫✓⬧ 
Artinya : “Sesungguhnya demikianlah syetan beserta pengikut-pengikutnya
menakut-nakuti (orang-orang beriman). Maka janganlah kalian takut kepada
mereka (setan dan wali-wali syetan), namun takutlah kepada-Ku, jika kalian
orang-orang yang beriman”. (QS. Ali ‘Imran 3:175)
❑⧫ ⧫ ☺⬧ 
◼◆ ◆⬧
◆⧫ ☺➔◆⬧
 ◆ ⬧
◼◆ ⧫➔
 ☺⧫◼
Artinya : “Maka barangsiapa berharap berjumpa Rabbnya (Allah), hendaklah
beramal dengan amalan Shalih, dan tidak menyekutukan dalam beribadah
kepada Rabbnya (Allah) dengan seseorangpun”. (QS. Al-Kahfi 18:110)

e). At-Taqwa, adalah takut mendapat kemurkaan dan siksa Allah dengan
meninggalkan amalan syirik dan maksiat, ikhlas beribadah kepada Allah,
mengikuti perintah Allah dan Syari’at Allah.Firman Allah yang berbunyi :
⬧ ⧫⬧◆ 
 ◆
 ◆❑
Artinya : “Maka berbekallah kalian (untuk menjumpai kematian dan alam
akhirat), maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah Taqwa”. (QS. Al-
Baqarah 2:197)
berkata ‘Abdullah bin Mas’ud ‫ رضىاهلل عنه‬tentang Taqwa :
“Sesungguhnya kamu beramal ta’at kepada Allah, di atas cahaya (petunjuk)
dari Allah, kamu berharap pahala Allah, dan bahwa kamu meninggalkan
maksiat/durhaka kepada Allah di atas cahaya (petunjuk) dari Allah, kamu
takut (khawatir,cemas) siksa Allah”.

64
Semua muslim pasti telah memahami bahwa segala macam bentuk ibadah
tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.
Misalnya saja shalat. Ibadah ini tidak akan diterima kecuali jika terpenuhi
syaratnya seperti wudhu. Begitu juga dengan puasa, haji dan ibadah lainnya,
semua ibadah tersebut tidak akan diterima kecuali dengan memenuhi syarat-
syaratnya. Maka begitu juga dengan kalimat yang mulia ini. Kalimat laa ilaha
illallah tidak akan diterima kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.

Oleh karena itu, para ulama terdahulu (baca : ulama salaf) telah
mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya memperhatikan syarat laa
ilaha illallah. Lihatlah di antara perkataan mereka berikut ini.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah diberitahukan bahwa orang-orang


mengatakan,”Barang siapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia akan
masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa
menunaikan hak kalimat tersebut dan juga kewajibannya, maka dia akan
masuk surga.”
Wahab bin Munabbih telah ditanyakan,”Bukankah kunci surga adalah laa
ilaha illallah?” Beliau rahimahullah menjawab,”Iya betul. Namun, setiap
kunci itu pasti punya gerigi. Jika kamu memasukinya dengan kunci yang
memiliki gerigi, pintu tersebut akan terbuka. Jika tidak demikian, pintu
tersebut tidak akan terbuka.” Beliau rahimahullah mengisyaratkan bahwa
gerigi tersebut adalah syarat-syarat kalimat laa ilaha illallah.

SYARAT MEYAKINI KALIMAT TAUHID

Dari hasil penelusuran dan penelitian terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, para
ulama akhirnya menyimpulkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidaklah
diterima kecuali dengan memenuhi tujuh syarat berikut :
1 Mengilmui maknanya yang meniadakan kejahilan (bodoh)
2 Yakin yang meniadakan keragu-raguan
3 Menerima yang meniadakan sikap menentang
4 Patuh yang meniadakan sikap meninggalkan
5 Jujur yang meniadakan dusta
6 Ikhlas yang meniadakan syirik dan riya’
7 Cinta yang meniadakan benci
Penjelasan ketujuh syarat di atas adalah sebagai berikut.
Syarat pertama adalah mengilmui makna laa ilaha illallah
Maksudnya adalah menafikan peribadahan (penghambaan) kepada selain
Allah dan menetapkan bahwa Allah satu-satunya yang patut diibadahi dengan
benar serta menghilangkan sifat kejahilan (bodoh) terhadap makna ini.
Allah Ta’ala berfirman,

65
َّ ‫فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ ََل إِلَهَ إِ ََّل‬
ُ‫اّلل‬
Artinya : “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang
benar selain Allah.” (QS. Muhammad [47] : 19)
Begitu juga Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫ش ِهدَ ِب ْال َح‬
َ‫ق َو ُه ْم يَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫ِإ ََّل َم ْن‬
Artinya : “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang
mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(nya).” (QS.
Az Zukhruf : 86)
⧫ ❑⧫  ➔  
 ⧫◆ ⧫❑⬧➔⧫
⧫⧫ ☺  ⧫❑☺◼➔⧫
 ⧫ ❑
Artinya : “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39] : 9)
‫اّللَ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْالعُلَ َما ُء‬
َّ ‫إِنَّ َما يَ ْخشَى‬
Artinya : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35] : 28)
Dalam kitab shohih dari ‘Utsman, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ‫اّللُ دَ َخ َل ْال َجنَّة‬
َّ َّ‫ات َوه َُو يَ ْعلَ ُم أَنَّهُ َلَ إِلَهَ إَِل‬
َ ‫َم ْن َم‬
Artinya : “Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR.
Muslim no.145)

Syarat kedua adalah meyakini kalimat laa ilaha illallah


Maksudnya adalah seseorang harus meyakini kalimat ini seyakin-yakinnya
tanpa boleh ada keraguan sama sekali. Yakin adalah ilmu yang sempurna.
Allah Ta’ala memberikan syarat benarnya keimanan seseorang kepada Allah
dan Rasul-Nya, dengan sifat tidak ada keragu-raguan. Sebagaimana dapat
dilihat pada firman Allah,
‫سو ِل ِه ث ُ َّم لَ ْم يَ ْرت َابُوا‬ ِ َّ ِ‫ِإنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ الَّذِينَ آ َ َمنُوا ب‬
ُ ‫اّلل َو َر‬
‫اّلل أُولَ ِئ َك ُه ُم‬ ِ َّ ‫س ِبي ِل‬َ ‫َو َجا َهدُوا ِبأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم ِفي‬
َ‫صا ِدقُون‬
َّ ‫ال‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-
orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS.
Al Hujurat [49] : 15)

66
Apabila seseorang ragu-ragu dalam keimanannya, maka termasuklah dia
dalam orang-orang munafik –wal ‘iyadzu billah [semoga Allah melindungi
kita dari sifat semacam ini]. Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang
munafik tersebut,

ْ َ‫ارت َاب‬
‫ت‬ ِ َّ ‫ِإنَّ َما يَ ْست َأ ْ ِذنُ َك الَّذِينَ ََل يُؤْ ِمنُونَ ِب‬
ْ ‫اّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر َو‬
َ‫قُلُوبُ ُه ْم فَ ُه ْم فِي َر ْي ِب ِه ْم يَت ََردَّدُون‬
Artinya : “Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-
orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka
ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.”(QS. At
Taubah : 45)

Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan


laa ilaha illallah akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada
keraguan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫اّلل َلَ يَ ْلقَى‬


‫اّللَ ِب ِه َما‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫اّللُ َوأَنِى َر‬ َّ َّ‫أ َ ْش َهدُ أ َ ْن َلَ ِإلَهَ ِإَل‬
َ‫َاك ِفي ِه َما ِإَلَّ دَ َخ َل ْال َجنَّة‬
ٍّ ‫َع ْبدٌ َغي َْر ش‬
Artinya : “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang
bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan membawa keduanya dalam
keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke surga” (HR.
Muslim )
Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫اّلل َلَ يَ ْلقَى‬


‫اّللَ بِ ِه َما‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫اّللُ َوأَنِى َر‬َّ َّ‫أ َ ْش َهدُ أ َ ْن َلَ إِلَهَ إَِل‬
‫ب َع ِن ْال َجنَّ ِة‬
َ ‫َاك فَيُ ْح َج‬
ٍّ ‫َع ْبدٌ َغي َْر ش‬
Artinya : “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu Allah
dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu, Allah tidak akan
menghalanginya untuk masuk surga.” (HR. Muslim no. 148)

Syarat ketiga adalah menerima kalimat laa ilaha illallah


Maksudnya adalah seseorang menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan
lisan, tanpa menolaknya.
Allah telah mengisahkan kebinasaan orang-orang sebelum kita dikarenakan
menolak kalimat ini. Lihatlah pada firman Allah Ta’ala,

67
‫ِير إِ ََّل قَا َل ُمتْ َرفُوهَا إِنَّا‬ ٍّ ‫س ْلنَا ِم ْن قَ ْب ِل َك فِي قَ ْريَ ٍّة ِم ْن نَذ‬ َ ‫َو َكذَ ِل َك َما أ َ ْر‬
‫) قَا َل أ َ َولَ ْو ِجئْت ُ ُك ْم‬23( َ‫ار ِه ْم ُم ْقتَدُون‬ ِ َ ‫َو َج ْدنَا آَبَا َءنَا َعلَى أ ُ َّم ٍّة َو ِإنَّا َعلَى آَث‬
)24( َ‫رون‬ ُ ِ‫ِبأ َ ْهدَى ِم َّما َو َج ْدت ُ ْم َعلَ ْي ِه آَبَا َء ُك ْم قَالُوا إِنَّا ِب َما أ ُ ْر ِس ْلت ُ ْم ِب ِه َكاف‬
)25( َ‫ك ِذ ِبين‬َ ‫عاقِبَةُ ْال ُم‬َ َ‫ْف َكان‬ َ ‫ظ ْر َكي‬ ُ ‫فَا ْنتَقَ ْمنَا ِم ْن ُه ْم فَا ْن‬
Artinya : “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-
bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut
jejak-jejak mereka”.(Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya
juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi
petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?”
Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu
diutus untuk menyampaikannya.” Maka Kami binasakan mereka maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”
(QS. Az Zukhruf [43] : 23-25)

Dalam kitab shohih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
‫اب‬ َ ‫ص‬ َ َ ‫ير أ‬ ِ ِ‫ث ْال َكث‬ ِ ‫اّللُ ِب ِه ِمنَ ْال ُهدَى َو ْال ِع ْل ِم َك َمث َ ِل ْالغَ ْي‬ َّ ‫« َمث َ ُل َما بَعَثَنِى‬
، ‫ير‬ َ ‫ب ْال َك ِث‬ َ ‫ت ْال َكأل َ َو ْالعُ ْش‬ ِ َ ‫ فَأ َ ْنبَت‬، ‫ت ْال َما َء‬
ِ َ‫ فَ َكانَ ِم ْن َها نَ ِقيَّةٌ قَ ِبل‬، ‫ضا‬ ً ‫أ َ ْر‬
‫ فَش َِربُوا‬، ‫اس‬ َ َّ‫اّللُ ِب َها الن‬َّ ‫ فَنَفَ َع‬، ‫ت ْال َما َء‬ ِ ‫س َك‬ َ ‫ِب أ َ ْم‬ُ ‫َت ِم ْن َها أ َ َجاد‬ ْ ‫َو َكان‬
ُ
َ‫ان َل‬ ٌ َ‫ِى قِيع‬ َ ‫ إِنَّ َما ه‬، ‫طائِفَةً أ ْخ َرى‬ َ ‫ت ِم ْن َها‬ ْ َ ‫صاب‬ َ َ ‫ َوأ‬، ‫سقَ ْوا َوزَ َر ُعوا‬ َ ‫َو‬
‫اّلل َونَفَعَهُ َما‬ ِ َّ ‫ِين‬ِ ‫ فَذَ ِل َك َمث َ ُل َم ْن فَ ِقهَ فِى د‬، ً ‫ َوَلَ ت ُ ْن ِبتُ َكأل‬، ‫ت ُ ْمسِكُ َما ًء‬
‫ َولَ ْم يَ ْقبَ ْل‬، ‫سا‬ ً ْ‫ َو َمث َ ُل َم ْن لَ ْم يَ ْرفَ ْع ِبذَ ِل َك َرأ‬، ‫ فَعَ ِل َم َو َعلَّ َم‬، ‫اّللُ ِب ِه‬ َّ ‫بَعَثَنِى‬
. » ‫اّلل الَّذِى أ ُ ْر ِس ْلتُ ِب ِه‬ ِ َّ ‫ُهدَى‬
Artinya : “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah
seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang
subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga ada
tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun dapat
menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah
tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan
ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah
lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan
air dan tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang
yang memahami agama Allah dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu,
pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan mengajarkannya. Permisalan
lainnya adalah permisalah orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen)
68
dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Syarat keempat adalah inqiyad (patuh) kepada syari’at Allah


Maksudnya adalah meniadakan sikap meninggalkan yaitu seorang yang
mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari’at Allah serta
tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Karena dengan inilah, seseorang akan
berpegang teguh dengan kalimat laa ilaha illallah.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
◆  ⧫◆ 
⬧⬧ ⧫➔ ◆❑➔◆  ◼
◆➔ ☺⧫
 ◼◆  ⬧❑
 ❑ ➔⧫⧫
Artinya : “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman [31] : 22). Yang dimaksudkan
dengan ‘telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh’ adalah telah
berpegang dengan laa ilaha illallah.

Dalam ayat ini, Allah mempersyaratkan untuk berserah diri (patuh) pada
syari’at Allah dan inilah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid) yang
berbuat ihsan (kebaikan). Maka barangsiapa tidak berserah diri kepada Allah
maka dia bukanlah orang yang berbuat ihsan sehingga dia bukanlah orang
yang berpegang teguh dengan buhul tali yang kuat yaitu kalimat laa ilaha
illallah. Inilah makna firman Allah pada ayat selanjutnya,

َّ ‫َو َم ْن َكفَ َر فَ ََل يَ ْح ُز ْن َك ُك ْف ُرهُ إِلَ ْينَا َم ْر ِجعُ ُه ْم فَنُنَبِئ ُ ُه ْم بِ َما َع ِملُوا إِ َّن‬
َ‫اّلل‬
ٍّ‫ب َغلِيظ‬ ٍّ ‫ط ُّر ُه ْم ِإلَى َعذَا‬ َ ‫ض‬ ْ َ‫يَل ث ُ َّم ن‬ ً ‫) نُ َمتِعُ ُه ْم قَ ِل‬23( ‫ُور‬ِ ‫صد‬ ُّ ‫ت ال‬ ِ ‫َع ِلي ٌم ِبذَا‬
)24(
Artinya : “Dan barangsiapa kafir (tidak patuh) maka kekafirannya itu
janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu
Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka
bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam
siksa yang keras.” (QS. Luqman [31] : 23-24).

(Jadi perbedaan qobul (menerima, syarat ketiga) dengan inqiyad (patuh, syarat
keempat) adalah sebagai berikut. Qobul itu terkait dengan hati dan lisan.
Sedangkan inqiyad terkait dengan ketundukkan anggota badan,ed).
Syarat kelima adalah jujur dalam mengucapkannya

69
Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ikhlas laa ilaha
illallah harus benar-benar jujur (tidak ada dusta) dalam hatinya dan juga
diikuti dengan pembenaran dalam lisannya.
Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang munafik -karena kedustaan
mereka- pada firman-Nya,
)8( َ‫اّلل َوبِ ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر َو َما ُه ْم ِب ُمؤْ ِمنِين‬
ِ َّ ‫اس َم ْن يَقُو ُل آ َ َمنَّا ِب‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
)9( َ‫س ُه ْم َو َما يَ ْشعُ ُرون‬ َ ُ‫اّللَ َوالَّذِينَ آ َ َمنُوا َو َما يَ ْخدَ ُعونَ ِإ ََّل أ َ ْنف‬
َّ َ‫يُخَا ِد ُعون‬
‫اب أ َ ِلي ٌم ِب َما َكانُوا‬ ٌ َ‫ضا َولَ ُه ْم َعذ‬ ً ‫اّللُ َم َر‬َّ ‫ض فَزَ ا َد ُه ُم‬ ٌ ‫فِي قُلُو ِب ِه ْم َم َر‬
)10( َ‫يَ ْك ِذبُون‬
Artinya : “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada
Allah dan Hari kemudian ,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-
orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak
sadar. Dalam hati mereka ada penyakit , lalu ditambah Allah penyakitnya;
dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al
Baqarah [2] : 8-10).

Begitu juga pada firman-Nya,


ُ‫سولُه‬
ُ ‫اّللُ يَ ْعلَ ُم إِنَّ َك لَ َر‬
َّ ‫اّلل َو‬ ُ ‫إِذَا َجا َء َك ْال ُمنَافِقُونَ قَالُوا نَ ْش َهدُ إِنَّ َك لَ َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
ْ ‫اّللُ يَ ْش َهدُ ِإ َّن‬
)1( َ‫ال ُمنَافِقِينَ لَ َكا ِذبُون‬ َّ ‫َو‬
Artinya : “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
“Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar
orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun [63] : 1)

Untuk mendapatkan keselamatan dari api neraka tidak hanya cukup dengan
mengucapkan kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus disertai dengan
pembenaran (kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan tanpa
disertai dengan kejujuran dalam hati, tidaklah bermanfaat.
Lihatlah hadits dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
‫ص ْدقًا ِم ْن‬ ُ ‫اّللُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
ِ ‫اّلل‬ َّ َّ‫َما ِم ْن أ َ َح ٍّد يَ ْش َهدُ أ َ ْن َلَ ِإلَهَ ِإَل‬
ِ َّ‫اّللُ َعلَى الن‬
‫ار‬ َّ ُ‫قَ ْلبِ ِه إَِلَّ َح َّر َمه‬
Artinya : “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan
kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka
baginya.” (HR. Bukhari no. 128)

Syarat keenam adalah ikhlas dalam beramal


70
Maksudnya adalah seseorang harus membersihkan amal -dengan benarnya
niat- dari segala macam kotoran syirik.
Allah Ta’ala berfirman,
ُ ‫ِين ْالخَا ِل‬
‫ص‬ ِ َّ ِ ‫أ َ ََل‬
ُ ‫ّلل الد‬
Artinya : “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah ketaatan (baca: ibadah) yang
ikhlas (bersih dari syirik).” (QS. Az Zumar [39] : 3)

‫صينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَا َء‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا إِ ََّل ِليَ ْعبُدُوا‬
ِ ‫اّللَ ُم ْخ ِل‬
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98] : 5)

‫صا لَهُ الدِي َن‬


ً ‫اّللَ ُم ْخ ِل‬
َّ ‫فَا ْعبُ ِد‬
Artinya : “Maka sembahlah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan
kepada-Nya.” (QS. Az Zumar [39] : 2)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ َّ‫شفَا َعتِى يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َم ْن قَا َل َلَ ِإلَهَ ِإَل‬
، ُ‫اّلل‬ َ ‫اس ِب‬ ِ َّ‫أ َ ْسعَدُ الن‬
‫صا ِم ْن قَ ْل ِب ِه أ َ ْو نَ ْف ِس ِه‬ ً ‫خَا ِل‬
Artinya : “Orang yang berbahagia karena mendapat syafa’atku pada hari
kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas
dalam hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari no. 99)

Syarat ketujuh adalah mencintai kalimat laa ilaha illallah


Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ini mencintai (tidak
benci pada) Allah, Rasul dan agama Islam serta mencintai pula kaum
muslimin yang menegakkan kalimat ini dan menahan diri dari larangan-Nya.
Dia juga membenci orang yang menyelisihi kalimat laa ilaha illallah, dengan
melakukan kesyirikan dan kekufuran yang merupakan pembatal kalimat ini.
Yang menunjukkan adanya syarat ini pada keimanan seorang muslim adalah
firman Allah Ta’ala,

َ‫اّلل َوالَّذِين‬ ِ ‫اّلل أ َ ْندَادًا يُ ِحبُّونَ ُه ْم َك ُح‬


ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫اس َم ْن يَت َّ ِخذُ ِم ْن د‬
ِ َّ ‫ُون‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
َ َ ‫آ َ َمنُوا أ‬
ِ َّ ِ ‫شدُّ ُحبًّا‬
‫ّلل‬
Artinya : “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2] : 165)

Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta
kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan
71
sesuatu pun dalam cinta ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai
sesembahan-sesembahan mereka sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda
kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-
Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan juga membenci apa yang
dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai bentuk cinta pada
Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya,
juga mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan hidupnya
dan menerima petunjuknya.

Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa mendapatkan


keutamaan laa ilaha illallah. Jadi, untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan
laa ilaha illallah bukanlah hanyalah di lisan saja, namun hendaknya seseorang
memenuhi syarat-syarat ini dengan amalan/ praktek (tanpa mesti dihafal).
Karena itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia,
sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu bukti adanya
‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa sikap orang-
orang musyrik adalah :
 ⧫ ⬧◆
◆❑☺ ⧫◼
❑→◆⬧ ◆◆
  
38. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. (Az
Zumar)

dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala sifat-
sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut, karena itu
jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua nama-nama/sifat-sifat-Nya telah
tercakup oleh kata tersebut. Disisi lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka
sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah. Demikian juga ketika anda
menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang membalas kesalahan), namun kandungan
makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha Pengasih) tidak tercakup didalam
pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya yang lain. Itulah salah satu sebab
mengapa dalam syahadat seseorang selalu harus menggunakan kata ‘Allah’
ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan
menggantinya dengan nama-nama-Nya yang lain.

Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat
di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar
memperbanyak zikir menyebut nama Allah, karena itu setiap perbuatan yang
72
penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, nama Allah.
Rasulullah bahkan mengajarkan lebih rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan
sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah,
tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan
sebutlah nama Allah…”Fitrah kita adalah sesuatu yang dikaruniakankepada
setiap manusia. la seperti sumber air segar, jernih, sejuk, atau sumur air manis.
Menurut Al-Qur'an, penciptaan dimulai dengan perintah Ilahi, Jadilah!
 ◆❑⬧ ☺
⧫❑→  ⧫◆ ⬧
 ❑◆⬧  ⬧
40. Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka
jadilah ia.( QS. 16:40; )

 ⧫   ⧫ ⧫


⬧  ⬧  ⬧◆
❑→⧫ ☺⬧  ⬧
 ❑◆⬧  ⬧
35. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha suci Dia. apabila Dia telah
menetapkan sesuatu, Maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", Maka
jadilah ia.(v QS. 19 : 35; )
⬧ ◼ ☺
⧫❑→⧫   ◆
 ❑◆⬧  ⬧
82. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. ( QS.36:82) .

Di bawah perintah itu terkandung seluruh kitab Hakikat. Dari sisi pandang
sufi, setiap hati ( qalb ) mengandung cetak biru kebenaran. Kebanyakan orang
tahu apa itu kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, kepuasan dan ketidakpuasan.
Bagaimana mereka mengetahuinya? Bagaimana saya mengetahui bahwa saya
tak bahagia? Bagaimana saya mengetahui bahwa saya sedang resah? Jasad
saya boleh jadi sama sekali tak seimbang, namun saya tetap akan mengetahui
apa itu keseimbangan dan ketenteraman, dan apa itu keresahan serta ketidak
seimbangan.

Ada sesuatu yang berharga di dalam inti setiap orang yang mengungkapkan
kebenaran. Bahwa sesuatu tidak berubah, karena ia bersifat asali dan
subgenetik. Secara fisik, setiap orang nampak berbeda, tetapi apa yang
melekat secara subgenetik dalam diri manusia adalah sifatnya yang dibawa
73
sejak lahir, seperti telah kami sebutkan sebelumnya. Dalam bahasa Arab kata
untuk sifat bawaan lahir itu ialah fitrah. Cetak biru hukum Ilahi yang asli
terpelihara dalam fitrah manusia ini. Kalau cetak biru tersebut tidak pudar,
maka akan lebih mudah bagi manusia untuk mengenal dan mengakui para
rasul dan Hakikat. Dengan kata lain, jika seseorang dibesarkan dalam
lingkungan yang sehat, bersih, dan alami maka peluang untuk menemukan
kebenaran dan jalan menuju kebebasan lebih besar daripada peluang orang
yang terperangkap dalam batas-batas lingkungan, rasial atau budaya yang
tidak cocok.

Kaum sufi selalu mengatakan bahwa jika Anda mengikuti hati Anda, maka
Anda akan selamat. Allah juga berkata dalam Al-Qur'an bahwa hati tak pernah
berdusta. Bagaimana seseorang membedakan antara bimbingan yang datang
dari hati, dan yang datang dari emosi, hawa nafsu, rasa takut dan imajinasi?
Bagaimana orang membedakan fitrah dengan imajinasi? Fitrah pada diri setiap
orang telah memudar hingga tingkat yang bermacam-macam karena pengaruh
keluarga dan lain-lain selama masa muda kita. Untuk kembali kepada keadaan
fitrah yang asli, kita memerlukan lagi bimbingan syariat Ilahi. Inilah sebabnya
maka Islam yang asli jauh lebih mudah dijkuti oleh orang-orang yang tidak
dididik atau dilatih untuk menganalisis, meragukan dan mendebat.

Pengetahuan Hudhuri dan Hushuli


Dalam rangka mengenal Allah, ada dua cara :
Pertama dengan pengetahuan Hudhuri ( presentif ), yaitu seseorang dapat
mengetahui dan mengenal Allah dengan jalur hati dan bathin tanpa perantara
pemahaman yang berupa gambaran konseptual (argumentasi rasional)
Kedua, pengetahuan Husuli ( representatif ) , yaitu seseorang mengenal Allah
melalui konsep-konsep universal, seperti sang pencipta, Mahakaya, Maha
mengetahui, Mahakuasa dll. Dan meyakini keberadaan-Nya, sehingga dia
dapat memperoleh satu pandangan dunia yang utuh.

Fitrah kita adalah sesuatu yang dikaruniakan kepada setiap manusia. la


seperti sumber air segar, jernih, sejuk, atau sumur air manis. Namun, dalam
masa pengasuhan dan pendidikan seseorang, dan karena kekusutan intelektual
dan budaya yang berangsur-angsur terakumulasi, sumur itu mulai penuh
dengan sampah, dan saat pun tiba ketika ternyata tidak ada lagi air segar yang
mengalir, karena sumur fitrah telah dipenuhi puing. Banyak orang yang hidup
dalam masyarakat industri di kota-kota modern yang padat penduduk, harus
melakukan banyak penggalian dan pekerjaan arkeologi sebelum mencapai

74
fondasi asli dan sumber mata air dalam sumur itu. Orang-orang ini
memerlukan lebih banyak disiplin dan kerja keras, seperti meditasi, tafakur,
dan pembersihan pikiran dari indoktrinasi ketimbang orang-orang yang hidup
di lingkungan pedesaan yang sederhana yang terbuka ke alam di mana
tuntutan materi dan persaingan lebih sedikit, dan fitrah mereka masih
terpelihara sehingga bagian cetak biru dari hukum Ilahi yang asli masih dapat
dibaca.

Perbedaan antara kaum sederhana yang bijaksana, yang masih mempunyai


akses ke fitrah mereka, dan para nabi adalah bahwa nabi menerima ajaran Ilahi
dengan jalan wahyu, sementara kaum sederhana itu menerima pemahaman
melalui penyaksian, pemikiran dan wawasan. Banyak lainnya juga dianugerahi
inspirasi (ilham) bilamana ada celah dalam selubung mereka; selubung itu tak
lain dari nafsu rendah, dan begitu nafsu rendah tersebut disingkirkan,
muncullah kilasan hakikat yang aneh dan menakjubkan.

Kita telah melihat bahwa Islam, tata perilaku asli yang dikehendaki Tuhan
untuk manusia, yang, apabila ditaati, membawa manusia kepada Penciptanya,
bukanlah agama yang baru muncul sekitar 1.400 tahun yang lalu, melainkan
suatu jalan yang bermula sejak Nabi Adam, yang tercetak pada penciptaan
pertama sejak permulaan umat manusia. Dengan bangkitnya kesadaran Adami,
maka muncullah pula pada saat bersamaan suatu celah batin, atau pengetahuan
atau pemahaman yang fitri, mengenai bagaimana berperilaku dalam kehidupan
ini untuk menghindari kebingungan.

Jalan Islam adalah jalan perilaku Adami. Setiap nabi, setiap orang yang sadar
dan merdeka, telah berada dalam penyerahan, dan karena itu ia adalah seorang
Muslim. Setiap pemikir, filosof dan orang bijak adalah seorang Muslim dalam
berbagai derajat kejemihan dan kesadaran. Seluruh manusia sebenarnya
dilahirkan dalam ketundukan kepada hakikat alami dan karena itu berada
dalam Islam. Masyarakat dan orang tualah yang kemudian sering merusak
keadaan Islami yang fitri itu. Ada orang-orang dari seluruh dunia yang
menemukan Islam dalam dirinya pada suatu masa hidupnya, dan bukan karena
telah menemukan agama Islam yang konvensional. Melainkan, lebih
merupakan suatu gema dari sesuatu yang jauh lebih dalam dan azali yang
terpusat dalam hati semua makhluk manusia. Namun, konvensi-konvensi, baik
yang berhubungan dengan perilaku maupun konseptual, yang dipaksakan oleh
75
kebiasaan masyarakat, komunitas dan pribadi terhadap seseorang itu, menabiri
pengenalan atas hakikat tersebut. Karenanya kita memerlukan hukum Ilahi
untuk membimbing kita menjalani kehidupan yang dipersatukan dan yang
membawa kepada pengetahuan tentang keesaan.

Islam yang asli telah ada persis sejak awal umat manusia dan diwahyukan
dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda sampai kesempurnaan totalnya
diwahyukan melalui Nabi Muhammad, sedemikian rupa sehingga Allah
berjanji kepada manusia bahwa wahyu itu akan terpelihara selama-lamanya.
Karena itu, tak ada alasan bagi siapa pun untuk mencoba merusak atau
mengubahnya. Perbedaan yang ada di antara berbagai mazhab hukum Islam
adalah kecil dan tak berarti. Namun, apabila orang ingin melihat perbedaan,
maka mereka melihat perbedaan-perbedaan besar, dan ini sering terjadi pada
orang-orang yang tidak mempunyai akses kepada fitrah mereka.
Betapa seringnya Al-Qur'an berusaha membangkitkan fitrah ketuhanan ini dari
kedalaman hati orang-orang yang mengingkari wujud Allah Ta'ala.

Simaklah ayat-ayat berikut, yang berbicara mengenai fitrah ketuhanan :


1. Surat Rum ayat 30 :

 ◆ ⬧


 ⧫  
 ⧫⬧⬧ 
 ⬧   ◼⧫
 ⬧  
◆⬧ ⬧◆ ⬧
 ⧫❑☺◼➔⧫  
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168], (Surat Rum ayat 30 ):
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan

Pada ayat ini jelas sekali, bahwa Din merupakan fitrah manusia dan bagian
dari fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah.

76
Syekh Muhammad Taqi Mishbah, menyatakan, bahwa ada dua penafsiran
yang dapat diambil dari ayat ini,

Pertama, maksud ayat ini ialah, bahwa prinsip-prinsip agama, seperti Tauhid
dan Hari Akhir, dan hukum-hukum agama secara global, seperti membantu
orang-orang miskin, menegakkan keadilan dan lainnya, sejalan dengan
kecenderungan manusia.
Kedua, tunduk kepada Allah Ta'ala mempunyai akar dalam diri manusia.
Lantaran manusia secara fitrah, cenderung untuk bergantung dan mencintai
kesempurnaan yang mutlak.

Kedua penafsiran di atas bisa diselaraskan. Penafsiran pertama mengatakan,


bahwa mengenal agama adalah fitrah, sedangkan penafsiran kedua
menyatakan bahwa yang fitri adalah ketergantungan, cinta dan menyembah
kepada Yang Sempurna. Namun, menyembah kepada Yang Sempurna tidak
mungkin dilakukan tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Dengan demikian,
penafsiran kedua kembali kepada yang pertama.

Allamah Thaba'thabai memberikan penjelasan mengapa Din itu merupakan


fitrah. Dalam kitab Tafsir Al-Mizan, beliau berkata, "(Lantaran) Din tidak lain
kecuali tradisi kehidupan dan jalan yang harus dilalui manusia, sehingga dia
bahagia dalam hidupnya. Tidak ada tuhan yang ingin dicapai manusia,
melainkan kebahagiaan."

Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa setiap fitrah mendapat bimbingan


untuk sampai kepada tujuannya masing-masing. Sebagaimana terungkap
dalam firman Allah berikut
⬧ ✓ ◆◆ ⧫⬧
  ▪➔ ⬧  
,
Artinya : Musa berkata: "Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan
kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya
petunjuk[925]. (QS. Thaha: 50)

[925] Maksudnya: memberikan akal, instink (naluri) dan kodrat alamiyah


untuk kelanjutan hidupnya masing-masing.

Manusia, seperti juga makhluk lainnya, mempunyai tujuan dan mendapat


bimbingan agar sampai kepada tujuannya. Bimbingan tersebut berupa fitrah
yang akan mengantarkan dirinya kepada tujuan hidupnya.

2. Surat Al-Araf ayat 172 :

77
⧫  ◆ ⬧ ◆
❑→  ⧫◆
◼⧫ ➔◆ ⧫☺➔
 ◼⧫ →⬧ →
  ⧫  ◼⧫ ❑⬧
☺◆ ⧫❑⧫ ❑❑→⬧
⧫  ⧫ → 


Artinya : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak-anak


Adam keturunan mereka dan mengambil kesaksian dari mereka atas diri
mereka sendiri, Bukankah Aku ini Tuhan kalian ? Seraya mereka menjawab,
Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi. (Hal ini Kami lakukan),
agar di hari kiamat nanti kalian tidak mengatakan, Sesungguhnya kami lengah
atas ini (wujud Allah)."). ( Surat Al-Araf ayat 172) :

Dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka
bumi ini pernah dimintai kesaksiannya atas wujud Allah Ta'ala dan mereka
menyaksikan atau mengenal-Nya dengan baik. Kemudian, hal itu mereka
bawa terus hingga lahir ke dunia.

Oleh karena itu, manusia betapapun dia besar, kuat dan kaya, namun dia tetap
tidak dapat mengingkari bahwa dirinya tidak memiliki wujud dirinya sendiri
dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya. Sekiranya
dia memiliki dirinya sendiri, niscaya dia dapat mengatasi berbagai kesulitan
dan kematian. Dan sekiranya dia pun berdiri sendiri dalam mengurus segala
urusannya, maka dia tidak akan membutuhkan fasilitas-fasilitas alam.

Ketidakberdayaan manusia dan ketergantungannya kepada yang lain,


merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Jadi, selamanya manusia
membutuhkan dan bergantung kepada yang lain. Dan dia tidak akan
mendapatkan tempat bergantung yang sempurna, kecuali Allah Ta'ala semata.
Itulah yang dinamakan fitrah bertuhan.

Selanjutnya ayat tersebut menyatakan, bahwa dengan dibekalinya manusia


(dengan) fitrah, maka ia tidak punya alasan untuk mengingkari dan lengah atas
wujud Allah Ta'ala.

Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa pengetahuan dan pengakuan


manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya
hudhuri-syuhudi (ilmu hudhuri) dan bukan hushuli.
2. Surat Yasin, ayat 60-61:
⧫⧫ ⬧  ⬧ 
➔⬧   ⧫◆
78
⧫ ⬧   ⬧
  ◆  ✓
 ⧫ ◆ 
Artinya : ''Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-
anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu
adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus.
(Surat Yasin, ayat 60-61)
"
Sebagian ulama, seperti Ayatullah Syahid Muthahhari berpendapat bahwa
perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia dan dijadikan sebagai bukti
bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah
3. Surat Al-Ankabut ayat 65 :
→  ❑◆ ⬧⬧
⬧ ⧫✓➔  ❑⧫
◼  ☺◼⬧ ⧫
⧫❑ ➔ ⬧ 

Artinya : Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya[1158]; Maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah) (Surat Al-Ankabut ayat 65)

[1158] Maksudnya: dengan memurnikan ketaatan semata-mata kepada Allah.

Ayat ini menjelaskan bagaimana fitrah bertuhan itu mengalami pasang surut
dalam diri manusia. Biasanya fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya
tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan.

Dalam kitab tafsir Namuneh disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat
menjadikan fitrah tumbuh karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap
manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup disebabkan oleh tradisi dan
tingkah laku yang menyimpang atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika
bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak
berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang
Pencipta. (Tafsir Namumeh, juz 16, halaman 340-341)
.
Oleh karena itu para ahli ma'rifat dan hikmah meyakini bahwa dalam suatu
musibah terdapat hikmah yang besar, yaitu kesadaran manusia terhadap
(keberadaan) Allah muncul kembali.

Ayat-ayat Aqli

Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, Al-Qur'an juga


berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya, bahwa di balik
79
terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya
(membuktikan) adanya Sang Pencipta.

Allamah Al-Hilli menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan


wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya adalah dengan jalan
membuktikan wujud Allah melalui fenomena alam yang membutuhkan sebab,
seperti diisyaratkan dalam ayat Al-Qur'an berikut ini:
 ◆⧫◆ 
→ ◆ ⬧
 ⬧ ⧫✓⧫⧫ 
⧫ ⬧◆  ⧫
 ◼⧫  ◼⧫
 
Artinya : "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam
raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka
bahwa sesungguhnya Dia itu benar (Haq)." (QS. Fushilat: 53).

Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim a.s. Pengembaraan rasional Nabi
Ibrahim a.s. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya beliau tujukan
untuk mengajak kaumnya berpikir merupakan metode Afaqi yang efektif
sekali.

Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan
pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as tersebut dalam Al-Qur'an surat Al-
An'am ayat 75 sampai 79.

Ayat-ayat Al-Qur'an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam


dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya sangatlah banyak.
Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikannya dalam dua kelompok:

Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya


ayat yang berbunyi,
◆❑☺   
◼◆ ◆
⧫ ◆ 
 ⧫ 

Artinya : "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta


pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
memiliki akal." (QS. Ali Imran:190).

Atau ayat lain yang berbunyi,


 ◼  
  ⧫◼ ⧫◆ ◆
80
⧫ ◆ ◆❑☺
❑→⧫ ❑⬧

Artinya : ''Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang dan apa yang
Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang bertakwa." (QS. Yunus: 6). Untuk menambah wawasan tentang ayat-ayat
semacam ini, bacalah pula surat An-Nahl ayat 3 sampai 17.

Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya
serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti
wujud Allah ta'ala. Karena secara akal tidak mungkin semua itu ada dengan
sendirinya, di samping semua itu akan mengalami perubahan atau hadits.

Demikian pula yang terdapat pada peristiwa peredaran matahari dan bulan
serta benda-benda langit lainnya yang teratur, tanam-tanaman di dalam bumi
yang disirami air yang tumbuh besar lalu mengeluarkan ranting-ranting yang
dihiasi dengan dedaunan yang rindang dan memberikan berbagai buah-buahan
dengan seribu rasa.

Begitulah semuanya berlangsung dengan sangat teratur. Tiada lain semua hal
itu menunjukkan wujud Allah Ta'ala semata.

Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Diantaranya ayat


yang berkenaan dengan kehidupan lebah berikut ini,

⧫ ◼ ◆ ◆


⧫   
☺◆  ◆ ❑
  ▪➔  ⧫❑➔⧫
➔⬧ ⧫☺ 
 ⚫⬧  ➔ ◼◆ 
⧫ ◆ ❑
  ◆❑
⧫ ⬧    
 ⧫⧫⧫ ❑⬧
Artinya : Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang
di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia",
69. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah
jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan. (QS. An-Nahl: 68-69).
81
Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain untuk
menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu darinya dihasilkan madu
yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.
Al-Qur'an dan Konsep Ketuhanan

Ayat-ayat tentang ketuhanan yang telah anda baca pada tulisan sebelumnya,
disamping ayat fitrah dan afaqi terdapat pula beberapa ayat Qur'an yang
menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional
(burhan aqli).

Dalam hal ini kami akan mencoba mengupas beberapa ayat tentangnya, antara
lain :
1. Surat Al-Anbiya ayat 22
 ⚫◆ ☺ ⧫ ❑⬧
 ⬧⬧  ⬧⬧ 
⧫❑→⧫ ☺⧫ ➔ ◆

Artinya : Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang
mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (Surat Al-Anbiya ayat
22)

Dalam terminologi ilmu mantiq (logika Aristotelian) argumentasi di atas


disebut dengan Qiyas Istitsna'i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut
dengan muqaddam dan tali. Ia mempunyai beberapa bentuk, salah satunya
ialah jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali itu keliru
maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-
hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka
siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit.

Sehubungan dengan ayat tersebut, jika Tuhan itu berbilang teratur dan
seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti
Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut oleh para mutakalimin dan filosof
dengan istilah dalil tamanu.

Yang menentukan benar tidaknya qiyas istitsna'i ini, adalah sejauh mana
konsekuensi logis

(mulazamah aqliyyah) atau keterkaitan antara muqaddam dan tali. Jika


konsekuensi logis dan keterkaitan itu dapat dipertanggung jawabkan, maka
qiyas itu benar. Sebaliknya, jika keduanya tidak dapat dipertanggung
jawabkan, maka qiyas itu tidak benar.
2. Surat Al-Mukminun ayat 91
82
⧫◆ ⬧◆   ⬧ ⧫
  ⬧  ➔⧫ 
⧫◼ ☺ ⬧  ⬧
 ➔⧫ ◼⧫ →➔⧫ ➔⬧◆
 ❑→⧫ ☺⧫  ⬧
Artinya : Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada
Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing
Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari
tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari
apa yang mereka sifatkan itu,(Surat Al-Mukminun ayat 91)

Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya.
Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-
masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti
kekuasaannya dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka.
Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka.

Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang
lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat
dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan.

Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak maka mampukah sebagian
mengalahkan yang lainnya ? Jika dapat, maka yang kalah bukan Tuhan,
sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan
yang lain sebenarnya bukan Tuhan karena Tuhan adalah Maha Kuasa.
3. Surat Al-Isra ayat 42
⚫◆ ➔⧫ ⧫ ❑ ➔
❑⧫⧫  ⧫❑❑→⧫ ☺
    ◼
Artinya : Katakanlah: "Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya,
sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan
kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy". (Surat Al-Isra ayat 42)

Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan dua ayat
sebelumnya, yaitu qiyas istitsna'i.
Allamah Thabathaba'i dalam mengomentari ayat di atas berkata, "Kesimpulan
dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa Tuhan di samping Allah Ta'ala,
sebagaimana yang mereka yakini dan setiap mereka dapat meraih apa yang
dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-
Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran keinginan untuk
berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun
yang dapat melakukan hal itu.

Dalam ayat tersebut disinggung kata-kata Arsy sebagai tempat yang sangat
83
agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang
paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya sebagai bukti kebesaran
mereka.
4.Surat Al-Qashash ayat 71-72
 ➔  ◆◆ ➔
◼ ⧫  →◼⧫
⬧ ⧫ ☺◆ ❑⧫
 ◆ →⧫  
➔  ❑➔☺◼ ⬧
 ➔  ◆◆
⧫ ◆ →◼⧫
⧫ ☺◆ ❑⧫ ◼
→⧫   ⬧
⬧   ❑◼ ◼
 ➔
71. Katakanlah: "Terangkanlah kepadaKu, jika Allah menjadikan untukmu
malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah
yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka Apakah kamu tidak
mendengar?"
72. Katakanlah: "Terangkanlah kepadaKu, jika Allah menjadikan untukmu
siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang
akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka
Apakah kamu tidak memperhatikan?"

"Katakanlah, Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian


malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang
akan mendatangkan sinar terang kepada kalian ?
Maka apakah kalian tidak mendengar ?
"
"Katakanlah, Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian
siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang
akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat ? Tidakkah kalian
perhatikan ?
"
Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap
patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka
mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang
Maha Kuasa.
5. Surat Al-Baqarah ayat 258

"Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari


dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat ? Maka terdiamlah orang
kafir
84
"
Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja
Namrud yang mengaku sebagai Tuhan. Beliau ingin mematahkan argumen
Namrud, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan
keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk
timur.

Sudah tentu permintaan Nabi Ibrahim a.s. seperti ini tidak mungkin dapat
dilakukan oleh Raja Namrud, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak,
bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam.

Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang Nabi yang bijak dan cerdik, yang
sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana
namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik.

Sehubungan hal di atas, Allah Ta'ala sering mengutip dalam kitab-Nya tentang
perdebatan beliau dengan orang-orang musyrik, misalnya dalam surat Al-
Anbiya ayat 62 sampai ayat 65.
6. Surat Al-Maidah ayat 17

"Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah Al-
Masih putera Maryam. Katakanlah, Maka siapakah yang dapat menahan
Allah, jika hendak mematikan Al-Masih putera Maryam dan ibunya atau
seluruh yang hidup di muka bumi ini ?
"
Penuhanan Nabi Isa a.s. sudah berlangsung ada sejak zaman diturunkannya
Al-Qur'an, bahkan jauh sebelumnya.

Dengan ayat di atas Allah ingin menyatakan, bahwa Isa Al-Masih a.s.
bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut
kaum Nashrani), bahwa Al-Masih telah meninggal, apapun alasan
kematiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Masih itu tidak lain dari
ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.
7. Surat Al-An'am ayat 101

"(Tuhan) Pencipta langit dan bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai


putera, padahal Dia tidak beristri ? Dia telah menciptakan sesuatu dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu."
8. Surat Fathir ayat 15

"Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara


Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
"
Kata faqir berarti sesuatu atau seorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah
85
ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir, artinya benar-benar
ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta
wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Shadra,
seorang filosof muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta'aliyah, yaitu
bahwa selain Allah adalah faqr wujudi. Pengertian benar-benar faqir diambil
dari huruf alif lam ta'rif pada kata al-fuqara (lihat teks arabnya yang
berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr).
Sedangkan kata al-Ghani berarti yang tidak membutuhkan apapun. Sifat ghani
hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan
apa-apa. Ketidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain,
merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.
9. Surat Al-Hadid ayat 3

"Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
"
Termasuk keMaha Sempurnaan Allah, adalah Dia yang paling pertama dan
terdahulu sehingga tiada yang lebih dahulu dari-Nya. Akan tetapi, pada saat
yang sama Dia yang paling akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya
.
Demikian pula Dia yang paling tampak dan jelas, dan tiada yang lebih jelas
dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi. Itu semua
ada pada-Nya, karena Dialah illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak
tergantung kepada selain-Nya (al-ghani), sementara segala sesuatu bergantung
kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).
10. Surat Asy-Syura ayat 11

"Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.

Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan
Allah Ta'ala. Tiada satupun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena
andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa.
Dia sangat jauh dan berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya
dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat
dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-
Nya dan dalam liputan-Nya.

PERTEMUAN KE VI
KONSEP IMAN, ISLAM, IHSAN

Pengertian Iman
Pengertian iman (bahasa Arab) artinya percaya. Sedangkan pengertian iman
menurut istilah adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan
diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman
86
kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar
ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya, kemudian
pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal
perbuatan secara nyata.
Rasulullah Shallahu‟alaihi wa sallam bersabda,”Iman lebih dari tujuh
puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan ‫ هلل‬dan yang paling
rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang
dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614).
Secara pokok iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang disebutkan
dalam hadist Jibril (Hadist no. 2 pada hadist arba‟in an-Nawawi) tatkala
Sahabat bertanya kepada Nabi Shallahu‟alaihiwa sallam tentang iman, lalu
beliau menjawab,”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para
malaikatNya, kitab-kitab-Nya, pararasul-Nya, hari akhir, dan percaya kepada
taqdir-Nya, yang baik dan yang buruk.”(Mutafaqqun ‘alaihi).
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman)
sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang
mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan
dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur
keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk
amal kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu
Allah menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman
dalam firmanNya,”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” Firman
Allah :
➔ ◆
❑❑→⧫ ◆ 
 ◼⧫ ◆→
❑▪ ⧫❑⧫◆
⧫◆  ◼⧫
⬧⬧ ➔
 ◼⧫  
⧫ ⧫ ◼➔◆
◼⧫ ☺⬧⧫ ⧫❑▪
⧫ ◆  ⧫⧫
⧫ ◼⧫  ◆⬧⬧
 ⧫ ⧫◆  
  ☺ 
⧫⬧  
▪

87
Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul
dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah:143).
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ‟imanmu‟ adalah shalatmu
tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun
perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka‟bah) para sahabat mengahadap ke
Baitul Maqdis.

Golongan Manusia berdasarkan Keimanan


Imam al Ghazali adalah ulama yang produktif sehingga mendapat gelar
“Sang Hujjatul Islam” (julukan ini diberikan karena kemampuan daya ingat
yang kuat dan bijak dalam berhujjah) ini sangat dihormati di dua dunia Islam
yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam.
Al Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat (4) golongan;
Golongan Pertama; Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri ~ Yaitu orang
yang Tahu (berilmu), dan dia Tahu kalau dirinya Tahu.
Orang ini bisa disebut ‘alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita
lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam
golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah
seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya
akan menjadi pengobat hati.
“Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki
kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia
menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-
benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh
umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang
sukses dunia dan akhirat,” ujarnya.
Golongan Kedua; Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri ~ Yaitu orang
yang Tahu (berilmu), tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu.
Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah
tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki
ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki
ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita.
Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang
luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia
seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia
tapi rugi di akhirat.

88
Golongan Ketiga; Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri ~ Yaitu
orang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi dia tahu alias sadar diri
kalau dia tidak tahu .
Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini
jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi
dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia
tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.Dengan belajar itu, sangat
diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu.
Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.
Golongan Keempat; Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri ~
Yaitu orang yang Tidak Tahu (tidak berilmu), dan dia Tidak Tahu (tidak tahu
diri) kalau dirinya Tidak Tahu.
Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini
jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa
memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia jenis seperti
ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa
tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari
kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga
merugi di akhirat.

TINGKATAN DAN JENIS IMAN

Tingkatan dan jenis iman :

1. Iman taqlid dan Iman ilmu


2. Iman `ayyan
3. Iman haq dan Iman haqiqat

Iman Taqlid Dan Iman Ilmu

Iman orang yang bertaqlid atau iman turut-turutan atau iman ikut-ikutan,
imannya adalah tepat yaitu dia percaya kepada Allah dan Rasul tetapi
kepercayaannya tanpa dalil, tanpa keterangan dan tanpa ilmu
pengetahuan.Orang begini tidak kuat dan tidak teguh imannya, Imannya
mudah goyang dan goncang
.
Begitu juga iman ahli ilmu. Imannya tepat. Tetapi walaupun keyakinannya
kepada Allah dan Rasul dapat disokong dengan dalil-dalil, keterangan dan
hujah-hujah namun iman peringkat ini baru sekadar sah, Jiwanya belum
kuat sedangkan kekuatan seseorang itu adalah pada jiwanya. Iman seperti ini
belum sanggup melawan syaitan dan hawa nafsu. Kerana itu orang yang
peringkat imannya di tahap ilmu akan melanggar perintah Allah dalam
KEADAAN SADAR. Orang yang mempunyai iman ilmu hanya pandai
berkata-kata kerana dia ada ilmu tetapi tidak dapat mengatakan kata-katanya.
89
Mereka dalam golongan ini akan menjadi mukmin `asi (durhaka) atau mukmin
yang fasik atau mukmin yang berpura-pura.

Orang mukmin seperti ini setakat boleh mengucap dua kalimah syahadah
dengan lidahnya dan akalnya percaya adanya Allah Taala dengan segala
sifat-sifat yang wajib bagi-Nya. Tetapi dia belum dapat menanam
kekuatan iman di dalam hatinya. Hatinya belum merasai yang Allah
sentiasa melihat dan memerhatikan tingkah laku dan gerak-geriknya. Mukmin
seperti ini, walaupun ilmunya tinggi melangit dan di dadanya penuh Al
Quran dan Hadis, namun nafsunya masih besar, Sifat-sifat mazmumah
seperti riyak, ujub, hasad, sombong, pendendam, bakhil, gila puji, gila
pangkat dan lain-lain masih banyak bersarang di dalam hatinya dan
syaitan pula sentiasa menggodanya
.
Orang-orang mukmin seperti ini tidak sanggup menghadapi ujian-ujian hidup
sama ada yang berbentuk kesenangan maupun yang berbentuk kesusahan,
Artinya, kalau dia berhadapan dengan kesenangan, dia akan lupa dirinya dan
akan terus terjebak ke dalam perangkap nafsu dan syaitan. Manakala kalau dia
berhadapan dengan kesusahan pula, dia akan cemas dan akan hilang daya
pertimbangan, Dia akan bertindak di luar kehendak dan batas syariat.
Iman yang sejati itu, dari mana akan lahir taqwa, setidak-tidaknya adalah
peringkat iman `ayyan yaitu iman orang yang cukup yakin dengan Allah dan
Rasul, lengkap dengan pengertian dan fahamannya serta diikuti dengan tindak-
tanduk dan perbuatan.
Orang yang beriman taqlid perlu meningkatkan imannya ke peringkat iman
ilmu dengan cara belajar dan menambah ilmu. Orang yang beriman ilmu pula
perlu meningkatkan imannya ke peringkat iman `ayyan dengan cara
mengamalkan ilmu-ilmu yang diketahuinya dengan faham dan khusyuk.

Iman `Ayyan (iman Orang-orang soleh)

Ini iman orang yang soleh atau iman ashabul yamin atau iman golongan
abrar yaitu orang yang sentiasa sadar bahwa Allah Taala sentiasa
mengawasi dirinya. Dengan kata-kata lain, orang yang memiliki iman `ayyan
hatinya sentiasa dapat merasakan kehebatan Allah. Dia ada hubungan hati
dengan Allah. Kalau ada pun lupa dan lalainya kepada Allah, hanya terlalu
kecil dan sedikit. Karena itu, orang yang memiliki iman `ayyan ini adalah
orang yang sentiasa takut kepada Allah dan kuat sekali penyerahan dirinya
kepada Allah. Kalau iman ilmu, keyakinan cuma bertempat di fikiran, tetapi
iman `ayyan, keyakinan bertempat di hatiIni digambarkan dalam sepotong
ayat Al Quran:

 ⧫⧫ ⧫


◼⧫◆ ❑➔➔◆ ☺◆
90
 ⧫⧫⧫◆ ❑
◆❑◆ 
⧫ ◆◆ ◆
⧫  ◼
⧫ ⬧ ⬧

Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah
Kami dari siksa neraka. (Ali Imran:191)

Iman `ayyan mampu memacu umat ini menjadi umat yang gigih dalam
memikul beban perintah Allah SWT. Iman `ayyan juga merupakan benteng
yang kukuh yang melindungi umat dari terjebak dan terjerumus kepada
berbagai anasir negatif, kemungkaran dan kemaksiatan. Iman `ayyan
menjadikan seseorang itu memiliki kekuatan jiwa, gigih, kuat cita-cita, tahan
diuji dan sanggup berkorban. Oleh kerana orang mukmin yang sejati itu,
perasaan bertauhid menghayati jiwanya, maka dia sentiasa takut dengan Allah
malah rasa takutkan Allah itu bergelora di hatinya. Orang seperti ini sajalah
yang boleh tunduk kepada syariat Allah Taala.

Firman Allah SWT:


❑⬧☺ ☺
 ⧫➔ ⬧ ⧫
⬧◆ ❑➔➔ ◼◆
◼⧫ ◆➔
 ⧫◆
◼◆ ◼⧫◆ ☺
 ⧫❑➔◆❑⧫⧫

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, ialah mereka yang bila


disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-
ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Q.S. Al Anfal:2)
Sikap orang mukmin yang sejati itu, apabila Allah Taala mendatangkan
hukum hakam dan peraturan hidup, dia tidak memilih mana yang sesuai
mengikut kehendak nafsunya dan menolak mana yang bertentangan dengan
kehendak nafsunya. Orang mukmin yang sejati tidak menyoal dan
mempertikaikan hukum Allah dan bersikap lurus dalam melaksanakan hukum
Allah atau dalam meninggalkan larangan-Nya walau pun apa yang terjadi. Dia
akan terus melaksanakan perintah Allah tanpa ragu oleh karena jiwa tauhidnya
91
berakar umbi di dalam hati. Dia patuh dan akan memberikan perhatian yang
sepenuhnya terhadap segala perintah Allah.

Firman Allah Taala:


⧫❑⬧ ⧫ ☺
❑ ⬧ ⧫✓⬧☺
❑◆◆  ◼
 ⧫ ◆⬧◆
◆➔☺ ❑❑→⧫
 ◆➔⬧◆
Artinya : “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila dipanggil
kepada Allah dan Rasul-Nya agar menghukum di antara mereka, mereka
ucapkan,“kami dengar dan kami patuh“. ( An Nur:51 )

Berbeda dengan orang yang tidak takut dengan Allah, dia akan memilih-milih
hukum Allah dalam perlaksanaannya. Dia akan mengamalkan sesetengahnya
dan meninggalkan sesetengahnya pula. Inilah sikap orang yang bukan mukmin
sejati. Dia Allah golongkan ke dalam golongan orang yang sesat akibat dari
sikapnya yang memilih-milih itu.
Firman Allah SWT:

◆ ⬧☺ ⧫ ⧫◆


 ⬧ ⬧ ◆⬧
  ➔❑◆◆
◆ ⬧ ⧫❑⧫
➔⧫ ⧫◆   
 ⬧⬧ ⬧❑◆◆ 
  ◼
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Iman Haq Dan Iman Haqiqat


Iman yang paling baik ialah iman haq dan iman haqiqat. Ini merupakan
puncak iman yaitu iman bagi orang-orang yang dekat dengan Allah atau apa
yang dinamakan sebagai golongan muqarrabin . yaitu iman yang sempurna.
Orang yang memiliki iman haq dan haqiqat adalah orang yang sangat
bertaqwa dan kuat penyerahan dirinya kepada Allah.
THARIQUL IMAN (Jalan Menuju Iman)

92
Pengaruh Pemikiran Terhadap Kebangkitan
Bangkitnya manusia tergantung pemikiranya tentang manusia (al insan),
kehidupan(al hayah) dan alam semesta (al kaun), serta hubungan ketiganya
dengan apa apa yang ada sebelum kehidupan di dunia ini dan apa apa yang ada
sesudah kehidupan dunia. Oleh karena itu harus ada perubahan yang mendasar
dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian
diganti dengan pemikiran lain agar ia mampu bangkit, sebab pemikiran lah
yang membentuk mafahim terhadap segala sesuatu serta yang
memperkuatnya. sedangkan manusia selalu bertingkah laku sesuai dengan
mafahimnya tentang kehidupan. Sebagai contoh mafahim seseroang terhadap
orang yang dicintainya akan membentuk prilaku terhadap orang tersebut yang
tentu berlawan dengan perilaku terhadap orang lain yang dibencinya, dimana
ia memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Berbeda lagi sikap perilakunya
terhadap orang yang sama sekali belum dikenalnya, dimana ia belum memiliki
mafhum apapun terhadap orang tersebut. Demikianlah perilaku manusia selalu
berkaitan erat dengan mafahimnya. Oleh karena itu, apabila kita hendak
mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur (sebagai hasil
kebangkitan), maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhumnya
terlabih dahulu. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang berbunyi :
⧫ ⧫    
⧫  ❑⬧
 → ⧫
Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum,
sebelum kaum itu sendiri merubah apa yang ada pada diri mereka (Q.S.Ar
Ra’d ayat 11”)

Pemikiran yang menyeluruh sebagai Aqidah dan sebagai problem


solving
Satu satunya jalan untuk merubah pemahaman seseroang adalah dengan
mewujudkan suatu pemikiran tentang khidupan dunia sehingga dapat terwujud
mafahim yang benar akan kehidupan tersebut pada dirinya. Namun, pemikiran
yang demikian tidak akan mengkristal secara produktif, kecuali apabila
terbentuk dalam dirinya pemikiran tentang alam semesta, manusia dan
kehidupanya; tentang apa saja yang ada sebelum kehidupan didunia dan apa
saja yang ada sesudahnya; serta hubungan ketiga unsur dunia itu dengan
hakikat dari apa apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan di dunia.
Semua itu dapat dicapai dengan dengan memberikan kepada manusia
pemikiran yang menyeluruh (fikroh kullliyah) tentang apa yang berdiri dibalik
alam semesta, kehidupan dan manusia. sebab pemikiran menyeluruh ini yang
akan menjadi landasan berfikir (qa’idah fikriyah) yang dapat melahirkan
seluruh cabang tentang kehidupan dunia. memberikan pemikiran yang
menyeluruh mengenai tiga unsur tadi merupakan pemecahan “al uqdatul
qubra” pada diri manusia. Apabila al uqdatul al kubro ini teruraikan, maka

93
terurailah berbagai masalah lainya. sebab, seluruh problem kehidupan manusia
pada dasarnya merupakan bagian atau cabang dari al uqdah al kubro tadi.
Namun demikian, pemecahan tersebut tidak akan menghantarkan kita pada
kebangkitan yang benar (nahdloh shohihah), kecuali apabila pemecahanya itu
sendiri adalah benar, yaitu pemecahan yang sesuai dengan fitrah manusia dan
memuaskan akal sehingga memberikan ketenangan hati.

Pemecahan Yang Benar Dengan Fikiran yang cemerlang


Pemecahan yang benar itu tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan fikr
mustanir, yaitu pemikiran yang dalam dan cemerlang tentang alam semesta,
manusia dan kehidupan. Karena itu, bagi mereka yang menghendaki
kebangkitan dan menginginkan kehidupan berada pada jalan yang mulia, mau
tidak mau mereka harus terlebih dahulu memecahkan al uqdatul qubra ini
secara benar dengan melalui fikr al msutanir. Pemecahan itu adalah aqidah
sekaligus merupakan landasan berpikir yang melahirkan setiap pemikiran
cabang tentang perilaku manusia di dunia dan serta peraturanperaturan hidup

Aqidah Islam Menjawab Siapa Di Balik Ketiga Perkara


Islam telah menangani al udah al kubro ini. Islam memecahkanya untuk
manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan fitrah manusia, benar benar
memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Isam menjadikan
prosedur masuk Islam tergantung dari pengakuan seseorang terhadap
pemecahan ini, yaitu pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Oleh sebab
itu, Islam dibangun diatas satu dasar yaitu aqidah. Aqidah tersebut
menjelaskan bahwa dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat
pencipta (al khaliq) yang telah menciptakan segala sesuatunya dari tidak ada
menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud atau wajib adanya. Dia bukan makhluk.
kalo tidak demikian, bagaimana pula Ia menjadi khaliq. Sifatnya sebagai
pencipta memastikan bahwa dirinya memastikan Dia bukanlah makhluk, serta
dengan pasti pula Dia mutlak adanya, karena adanya segala sesuatu
menyandarkan wujud atau eksistensi kepada dirinya. sementara Ia tidak
bersandar pada apapun

Lemah dan Terbatasnya Ketiga Unsur Itu Butuh Pencipta


Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya pencipta yang
menciptakanya, sesungguhnya adapat diterangkan sebagai berikut: bahwa
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal manusia terbagi kedalam tiga
unsur, yaitu manusia, alam semesta dan kehidupan.

Ketiga unsur ini bersifat terbatas(mahdud). Sehingga benda-benda tersebut


bersifat lemah, serba kurang, serta membutuhkan kepada yang lain. Manusia
terbatas sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang dalam batas tertentu yang
tidak dapat dilampoinya lagi. Maka, jelas bahwa manusia bersifat
terbatas. Kehidupan bersifat terbatas karena penampakanya bersifat individual
94
semata. Bahkan apa yang kita lihat menunjukan bahwa apa yang ada di
kehidupan ini berakhir pada satu individu saja. Maka, jelas bahwa kehidupan
ini bersifat terbatas. Alam semesta pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta
merupakan himpunan dari benda-benda angkasa yang setiap bendanya
memiliki keterbatasan. Himpunan segala sesuatu yang terbatas tentu tergbatas
pula sifatnya. Jadi, alam semesta pun terbatas sifatnya. Kini jelaslah bahwa
manusia, kehidupan dan alam semesta keitganya bersifat terbatas.

Asal Usul Pencipta:Wajibul Wujud (Wajib Adanya)


Apabila kita memperhatinan kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, kita
akan menyimpulkan bahwa semuanya tidak “azali” . Sebab bila bersifat azali
tentu tidak akan bersifat terbatas. Dan segala yang terbatas itu mesti diciotakan
oleh “Sesuatu yang lain”. “Sesuatu yang lain inilah yang menciptakan
manusia, khidupan dan alam semesta. Ada tiga kemungkinan asal usul Sang
Pencipta itu: Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua Ia menciptakan
dirinya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali yakni wajibul wujud atau wajib
adanya. Kemungkinan bahwa Ia diciptakan oleh sesuatu yang lain adalah
kemungkinan yang bathil atau salah, tidak dapat ditermia akal sehat. Sebab, itu
berarti ia bersifat terbatas. Sama bathilnya dengan kemungkinan yang
menyatakan bahwa ia menciptakan dirinya sendiri. Sebab, jika demikian ia
sebagai makhluq dan khaliq pada waktu yang bersamaan. Suatu hal yang jelas
jelas tidak dapat diterima oleh akal sehat. Oleh karena itu al khaliq haruslah
bersifat azali yaitu wajibul wujud alias wajib adanya. Dialah Allah SWT

Pengamatan Alam, Manusia, dan Kehidupan menemukan al khaliq yang


Menciptakanya
Sesungguhnya siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan -
hanya dengan adanya benda benda yang dapat diinderanya–bahwa di balik
benda benda tiu pasti terdapat pencipta yang telah menciptakanya. Sebab fakta
menunjukan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah dan
membutuhkan kepada yang lain. Hal itu secara pasti menunjukan bahwa
segala sesuatu yang ada itu hanyalah makhluq belaka. Oleh karena itu, untuk
menbuktikan adanya al Khaliq yang Maha Pengatur ( al khaliq al mudabbir) ,
sebenarnya cukuo hanya dengan menarik perhatian manusia agar terfokus
kepada benda benda yang ada di alam semesta, fenomena kehidupan dan
dirinya sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta
atau dengan merenungi fenomena khidupan atau meneliti salah satu bagian
dari diri manusia, tentulah akan kita dapati bukti nyata (dilalah qoth ‘iyyah)
dan meyakinkan akan adanya Allah SWT.

Oleh karena itu, kita jumpai al Quran menarik perhatian dan menyeru manusia
untuk memperhatikan benda-benda yang ada di sekitarnya, memperhatikan
apa saja diseputar objek tersebut, dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan objek tersebut agar dapat membuktikan adanya Allah SWT.
95
Sebab, dengan mengamati benda-benda tersebut, bagaimana benda-benda itu
membutuhkan yang lain, akan memberikan suatu pemahaman yang
meyakinkan dan pasti akan keberadaan Allah Yang Maha Pencipta dan Maha
Pengatur. Dalam al Quran telah dibeberkan ratusan ayat yang berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman-firman Allah SWT:
◆❑☺   
◼◆ ◆
◆ 
⧫  ⧫
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang orang
yang berakal“. (TQS Ali Imran 190)
 ⧫◆ ◆
◆ ◆❑☺
→ ◼◆
   ◆❑◆
⧫✓☺➔ ⧫ ⬧

Artinya :“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakan-Nya
langit dan bumi serta berlain-laninanya bahasa dan warna kulitmu”. (TQS Ar
Rum 22)

◼ ⧫→⧫ ⬧


 ⬧  
 ◆ ◼◆
◼◆  ➔
⧫  ⧫
  ◼◆ 
 ⬧
Artinya : “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia
diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung,
bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?”. (QTA
Al-Ghasyiyah 17-20)
▪  →◆⬧
  ⧫  ⧫
 ⚫⬧  
 ✓⧫
 ◆◆

96
Artinya :“Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan? Dia
diciptakan dari air yang memancar, yang keluar antara tulang sulbi laki-laki
dengan tulang dada perempuan” (TQS At Thariq 5-7)
◆❑☺   
◼◆ ◆
◆ 
  →◆
⧫ ☺ ⬧⧫ 
 ⧫⧫ ⧫◆ 
  ☺ 
➔⧫ ◆  ◆⬧
  ⧫◆ ❑⧫
⬧◆  →
⬧◆ ⧫
⧫✓⧫ ☺
◆ ☺
⧫❑➔➔⧫ ❑⬧ ⧫


Artinya :“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, slilih bergantinya


malam dan siang . Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang
berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air,
lalu dengan air itu Ia menghidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengisaran air dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya semua itu terdapat tanda-
tanda kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan”. (TQS Al Baqarah 164)

Banyak lagi ayat serupa lainya, yang mengajak manusia untuk memperhatikan
benda-benda dengan cara yang mendalam, melihat apa yang ada di
sekelilingnya, dan memperhatikan segala yang berhubungan dengan
keberadaan dirinya. Agar denganya manusia mendapatkan bukti untuk
argumentasi akan adanya Pencipta Yang Maha Pengatur (al Khaliq al
Mudabbir), sehingga dengan demikian imanya kepada ALlah SWT menjadi
iman yang mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang nyata.

IMAN DAN AMAL SHALEH SEBAGAI STANDAR KEBAIKAN

Al-Qur’ân memberikan petunjuk bahwa standar baiknya seseorang adalah


keimanan dan amal shalehnya. Al-Qur’ân juga menunjukkan bahwa mengukur
kebaikan seseorang berdasarkan pengakuan hampa, kekayaan yang Allâh

97
Azza wa Jalla berikan kepada seseorang atau berdasarkan jabatan adalah
metode orang-orang menyimpang

Kaidah ini menunjukan bahwa bukti baiknya keadaan seseorang adalah


keistiqamahannya dalam iman dan amal shaleh serta semangatnya untuk selalu
bergegas melakukan kebaikan, bukan harta melimpah, bukan pula pengakuan-
pengakuan hampa. Orang yang senantiasa melakukan perbuatan taat dan
konsisten menjalankan al-Qur’an dan sunnah, dialah orang baik, sebaliknya
yang tidak seperti itu berarti dia buruk, bagaimanapun pengakuan dan
perkataannya.
Kaidah dijelaskan dalam banyak ayat, diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla
:
◆ ◆❑ ⧫◆
 ⬧
⧫ ⬧➔
⧫◆ ⧫  ⬧
⬧⬧ ⬧ ☺⧫◆
➔ ⧫ ⚫
 ➔◆ ❑➔ ☺
 ⧫❑◆ ⬧
Artinya : Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu
yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang memperoleh
Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan;
dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).
[Saba’/34:37]

Juga firman-Nya :
◆ ⧫ ⧫  ⧫❑⧫
 ⧫ ⧫   ⧫❑⧫
  ⬧
Artinya : (Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allâh dengan hati yang bersih, [As-
Syu’ara/26:88-89]

Sebagian orang mengira bahwa harta melimpah yang diberikan oleh Allâh
Azza wa Jalla kepada seseorang adalah tanda kedekatan mereka kepada Allâh
Azza wa Jalla dan kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka. Ini
merupakan sangkaan yang keliru. Seandainya karunia harta itu merupakan
bukti kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka tentu Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang paling banyak menerima anugerah
ini. Namun faktanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam miskin dan

98
beliau n menjelaskan bahwa dunia diberikan kepada siapa saja yang
dikehendaki sedangkan akhirat hanya diberikan kepada insan yang bertaqwa.
Adapun tentang kelompok kedua yaitu kelompok menyimpang. Allâh Azza
wa Jalla menceritakan perkataan orang-orang yahudi dan Nashara :
⧫ ⬧ ❑⬧◆
❑➔ ⧫ ⧫  ⬧
  ⧫⧫ 
❑➔ ➔  →⧫
→  →◆
 ✓
Artinya : Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan
masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”.
demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah,
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. [Al-
Baqarah/2:111]
Kemudian Allâh Azza wa Jalla menyebutkan burhân (bukti) yang bisa
menghantarkan seseorang masuk surga dengan firman-Nya :
◆ ◼ ⧫ ◼⧫
⬧⬧ ⧫➔ ◆❑➔◆ 
◆ ◼◆  ◼
➔ ◆ ◼⧫ ❑
 ⧫❑⧫⧫⬧
Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa menyerahkan diri kepada
Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya
dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. [Al-Baqarah/2:112]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :


◼⧫ ◼➔ ⬧◆
⧫⬧ ⧫ ◆⧫◆
 ⧫
 ❑⧫◆ ⧫
⬧  ✓⬧
 ⧫ ◆
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang terang
Artinya :
(maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang
yang beriman, “Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin) yang
lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuan(nya)?”
[Maryam/19:73]

Dalam ayat ini, mereka menjadikan kebagusan tempat tinggal dan tempat
pertemuan mereka sebagai indikasi baiknya keadaan mereka.
99
Juga firman-Nya :
 ⧫ ❑⬧ ❑⬧◆
◆ ◼⧫ ◆→
→⧫ ✓⧫⧫⬧ 

Artinya : Dan
mereka berkata, “Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada
seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini
?”[ukhruf/43:31]

Diantara para Ulama ahli tafsir ada yang menjelaskan bahwa yang mereka
maksud dengan orang besar adalah al-Walîd bin al-Mughîrah dan Urwah bin
Mas’ûd ats-Tsaqafi. Standar mereka adalah kekayaan dan ketokohan mereka,
padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tokoh terbaik.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa orang-orang
kufar menjadikan keunggulan mereka dalam hal dunia dan ketokohan sebagai
bukti bagusnya kondisi mereka. Sebaliknya, mereka mencela kaum Muslimin
dan menganggap kekurangan kaum Muslimin dalam dua hal di atas sebagai
bukti rusaknya agama kaum Muslimin.

Oleh karena itu, seyogyanya seorang Muslim menjadikan kwalitas


keistiqamahan seseorang dalam menjalankan agama sebagai standar baik atau
buruknya seseorang, bukan harta melimpah serta bukan pula jabatan yang
berhasil diraih.

Ciri Orang Yang Beriman

Menyandang gelar orang beriman adalah predikat yang mulia. Firman Allah
mensifati sifat orang-orang yang beriman sekaligus dalam 2 ayat, Yang
berbunyi :
⧫ ❑⬧☺ ☺
◼◆  ⧫➔ ⬧
◆➔ ⬧◆ ❑➔➔
 ⧫◆ ◼⧫
◼◆ ◼⧫◆ ☺
  ⧫❑➔◆❑⧫⧫
☺◆ ◼❑◼ ❑☺
 ⧫❑→ ◆◆
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang
bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal.( Q.S. Al-Anfal ayat 2-3)

100
. Allah menyebut ada 5 sifat di dalam ayat tersebut. Berikut adalah sifat-
sifatnya.

Memiliki Rasa Takut di Dalam Hatinya


Allah Ta’ala berfirman
‫ت قُلُوبُ ُه ْم‬ َّ ‫ِإنَّ َما ْٱل ُمؤْ ِمنُونَ ٱلَّذِينَ ِإذَا ذُ ِك َر‬
ْ َ‫ٱّللُ َو ِجل‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka” (QS. Al-Anfal: 2)
Hanya orang yang beriman jika disebutkan nama Allah, muncul rasa takut
dalam hatinya. Rasa takutnya sebagai bentuk mengagungkan Allah. Sebagai
contoh, jika ada seseorang yang berkeinginan melakukan maksiat, kemudian
ia teringat Allah atau ada yang mengingatkannya dengan mengatakan,
“bertakwalah anda kepada Allah”, maka dia adalah seorang yang mukmin.
Rasa takut tersebut adalah ciri-ciri orang yang beriman.

Adanya Tambahan Iman ketika Ayat Quran Dibacakan


Allah Ta’ala berfirman
‫علَيْ ِه ْم َءا َٰيَت ُ ۥه ُ زَ ادَتْ ُه ْم إِي َٰ َمنًا‬ ْ َ‫َوإِذَا ت ُ ِلي‬
َ ‫ت‬
Artinya “dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya)” (QS. Al-Anfal: 2)
Hal ini menjadi bukti keimanan seseorang ketika Al Qur’an dibaca baik oleh
dirinya ataupun orang lain, ia dapat mengambil manfaat dengan bertambahnya
rasa iman. Sebagaimana RasulullahShallallahu ‘alaihi Wasallam pernah
memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk membacakan Al Qur’an, lantas Ibnu
Mas’ud bertanya, “Bagaimana aku membacakan Al Qur’an sedang Al Qur’an
diturunkan untukmu?”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pun menjawab, “Sungguh aku
senang mendengar bacaan Al Qur’an dari orang lain.” Ibnu Mas’ud pun
membaca surah An-Nisa, tatkala sampai pada ayat 41,

َ ‫علَ َٰى َٰ ََٰٓهؤ َُْل ِء‬


‫ش ِهيدًا‬ َ ‫ْف ِإذَا ِجئْنَا ِمن كُ ِل أ ُ َّم ٍۭ ٍّة ِب‬
َ َ‫ش ِهي ٍّد َو ِجئْنَا ِبك‬ َ ‫فَ َكي‬
Artinya “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu)” (QS. An-Nisa: 41).

Maka Nabi mengatakan, “Cukup” Aku pun memandangi Nabi dan melihat
mata beliau berlinangan air mata. (HR. Al-Bukhari)

Potongan ayat ke-2 surah Al-Anfal di atas menjadi dalil bahwa rasa iman bisa
bertambah dan bisa berkurang. Karena akidah ahlusunnah adalah iman itu
101
bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan melakukan
maksiat. Dicontohkan dalam ayat di atas adalah melakukan ketaatan dengan
mendengarkan bacaan al quran. Adapun kelompok murji’ah yang memiliki
penyimpangan dalam akidah ini, mengatakan bahwa rasa iman tidak dapat
bertambah maupun berkurang, dan ini adalah akidah yang keliru.
Kisah Ibnu Mas’ud di atas juga menunjukkan betapa lembutnya hati Nabi,
tatkala beliau dibacakan Al Qur’an, hati beliau terenyuh sehingga berlinanglah
air mata beliau.

Tawakkal Hanya kepada Allah


Allah Ta’ala berfirman
َ‫علَ َٰى َربِ ِه ْم يَت َ َو َّكلُون‬
َ ‫َو‬
Artinya : “dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfal:
2).
Orang yang beriman akan menyandarkan segala urusannya hanya kepada
Allah, bukan kepada yang lain. Akan tetapi mereka juga melakukan sebab
agar terwujudnya suatu hal, di samping tetap bertawakkal kepada Allah.
Karena mereka yakin bahwa tidak akan terwujud suatu hal kecuali atas
kehendak Allah.
Mendirikan Shalat
Allah Ta’ala berfirman
َّ ‫ٱلَّذِينَ يُ ِقي ُمونَ ٱل‬
َ ‫صلَ َٰوة‬
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat” (QS. Al-Anfal: 3).
Banyak ayat yang menunjukkan shalat adalah bukti keimanan seseorang, salah
satu dalam ayat ini. Orang yang beriman akan mendirikan shalat secara
sempurna, baik shalat yang hukumnya wajib maupun yang dianjurkan.

Senang Berinfak
Allah Ta’ala berfirman
َ‫َو ِم َّما َرزَ ْق َٰنَ ُه ْم يُن ِفقُون‬
Artinya : “dan yang menginfakkan rizki yang Kami berikan kepada mereka”
(QS. Al-Anfal: 3).
Seorang dikatakan beriman ketika ia menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau
menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah. Namun ada catatan penting,
ketika ada yang memiliki kebutuhan mendesak, baik dari keluarga maupun
orang lain, maka tidak sepatutnya menginfakkan seluruh hartanya.
Demikianlah 5 sifat orang beriman yang Allah sebut dalam surah Al-Anfal
ayat ke-2 dan ke-3. Kemudian di awal ayat ke 4 Allah sebut mereka itulah
orang yang memiliki iman dengan sebenar benar iman. Allah mengatakan:

102
َٰٓ
‫أُُ ۟و َٰلَئِكَ هُ ُم ْٱل ُمؤْ ِمنُونَ َحقًّا‬
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya” (QS. Al-Anfal:
4).
Islam Mencakup 3 Tingkatan
Agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau
menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang
haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau
dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh
jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu
Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah
bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun. Jadi Islam yang dimaksud disini adalah
amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah
engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang
baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup
perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan:

Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara
islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-
sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan
sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila
sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah
mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala
⬧ →◆◆
 ◼
Artinya : “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah :
3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman…

Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau
beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu
tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia
menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan,
seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-
Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak
103
bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat
kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa
takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda,
“Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”
artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-
Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Jadi tingkatan ihsan ini mencakup
perkara lahir maupun batin.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila
dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau
dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang
sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila
ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari
orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah
terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan
itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang
yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang
lain.

Muslim, Mu’min dan Muhsin


Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap
mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga
iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal
islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena
bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya
dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan
anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong
mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah
berfirman,
 ⬧⬧ 
 ➔  ⧫◆
⬧◆ ❑⬧➔
☺◼ ❑❑➔
Artinya : “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’.
Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan:
‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah
bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu
tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam,
kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang
lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan.

Kesimpulan
104
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya
pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat
tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun
tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah
sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan
penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita
alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana
mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah
yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ?
Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan
suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.”
(HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun
harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang
membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at.

PERTEMUAN KE VII
ARTI IMAN KEPADA ALLAH SERTA KONSEKWENSINYA

1). Iman kepada Allah


Iman Kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang
disifati dengansifat-sifat keagungan dan kesempurnaan. Dia Maha Esa,Maha
benar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara
dengan Dia),Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang
dikehendaki-Nya.
Beriman kepada Allah juga bisa diartikan,berikrar dengan macam-macam
tauhid yang tiga serta beri‟tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu
tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma‟ wa ash-shifaat.
Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi
seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya,
sebagaimana firman Allah yang artinya:
⧫ ⧫
❑◆ ❑⧫◆
❑◆◆ 
⧫⧫  ⧫◆
❑◆ ◼⧫
⧫⧫ ⧫◆✓
→⧫ ⧫◆  ⬧ 
⬧◼⧫◆ 
◆ ◆
 ❑◆◆

105
➔⧫ ◼ ⬧⬧

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian,
Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Q.S. An Nisa :
136).
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepada Allah,
maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan
merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah
sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:

Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan
dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan tanpa
harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan
berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi
Shallahu‟alaihi wa sallam bersabda:”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam
keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikan mereka Yahudi,
Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori).Setiap makhluk yang ada tidak
muncul begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti
ada yang mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam.
Allah berfirman,”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu-pun atau kah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35).

  ❑→ 


➔  
 ❑→
Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)?

Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan
tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka
pasti ada yang menciptakan,yaitu Allah yang maha suci.Lebih jelasnya kita
ambil contoh, seandainya ada orang yang memberitahu anda ada sebuah istana
yang sangat megah yang dikelilingi taman, terdapat sungai yang mengalir
disekitarnya, di dalamnya penuh permadani, perhiasan dan ornamen-ornamen
indah. Lalu orang tersebut berkata kepada anda, istana yang lengkap beserta
isinya itu ada dengan sendirinya atau muncul begitu saja tanpa ada yang
membangunnya. Maka anda pasti segera mengingkari dan tidak mempercayai
cerita tersebut dan anda menganggap ucapannya itu sebagai suatu kebodohan.
106
Bukti lain adanya kekuasaan Allah adalah

Apa mungkin alam semesta yang begitu luas yang dilengkapi dengan bumi,
langit,bintang, dan planet yang tertata rapi, muncul dengan sendirinya atau
muncul dengan tiba-tiba tanpa ada yang menciptakan.

(b). Adannya kitab-kitab samawi Yang membicarakan tentang adanya


Allah.
Demikian pula hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur
kehidupan demi kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab
tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.

(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do‟anya.Ditolongnya orang-orang


yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti kekuasaan Allah.
Allah berfirman:”Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan
kami memperkenankan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya
dari bencana yang besar.” (QS. Al-Anbiya’: 76)
 ⧫  ◼❑◆
◆⧫⬧ ⬧
◆◆⬧ ⬧
 ⬧◆
→➔ 

Artinya : Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika Dia berdoa, dan Kami
memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan Dia beserta keluarganya dari
bencana yang besar.

(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat


adalah suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain
Dia adalah Allah Azza wa Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa
‟Alahissalam. Tatkala belau diperintah memukulkan tongkatnya ke laut
sehngga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan
air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah,”Lalu kami
wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar”
(QS. Asy-Syu’ara’: 63)
 ⧫ ⬧  
➔⬧ ⧫ ⧫◆
 ⧫✓⬧

107
Artinya : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu
tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak
beriman.

Contoh lain adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi Isa ‟Alaihissalam
berupa :
1. Membuat burung dari tanah,
2. Menyembuhkan orang buta sejak lahirnya
3. Menyembuhkan penyakit sopak (sejeni spenyakit kulit),
4. Menghidupkan orang mati
5. dan mengeluarkan orang mati dari kuburannya atas izin Allah.
Allah berfirman:“Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan
membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, dan Aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. ”
(QS. Ali Imran: 49).2.
◆❑➔  ⧫⬧  
 ❑⬧ 
Artinya : Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya, Maksudnya:
Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya.

Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah). Untuk mengimani


sepenuhnya bahwa Allah-lah memberi rizki, menolong,
menghidupkan,mematikan dan bahwasanya Dia itu adalah pencipta alam
semesta, Raja dan Penguasa segala sesuatu.

Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah)Yaitu mengimani hanya


Dia lah sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, mengesakan Allah
melalui segala ibadah yang memang disyariatkan dan diperintahkan-Nya
dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang
malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa dikatakan
beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada zaman Rasulullah
Shallahu‟alaihi wa sallam juga mengimani tauhid rububiyah saja tanpa
mengimani tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa Allah yang memberi
rizki dan mengatur segala urusan tetapi mereka juga menyembah sesembahan
selain Allah.
Allah berfirman,

 ➔⧫ ⧫ ➔


◆ ☺
☺ →☺⧫ 
108
⧫◆ ⧫◆
 ⚫
⚫◆ ☺
 ☺
◼ ⧫◆ 
⧫❑❑→◆⬧  
⧫❑→⬧ ⬧ →⬧  
 ⬧ 
 ⧫ ◆
⬧ ➔⧫ ⬧☺⬧
⬧  ◼ 
 ❑➔◆➔
Artiya : Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan,
dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur
segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"

[689] Sebagian mufassirin memberi misal untuk ayat ini dengan mengeluarkan anak ayam dari
telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara
bangsa-bangsa dan timbul tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah.

32. Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya;
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? Katakanlah: „Siapakah
yang member rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup
dan siapakahyang mengatur segala urusan.‟ Maka, mereka men-jawab:
„Allah.‟ Maka, katakanlah:„Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?‟
(QS. Yusuf: 31-32).

☺ ➔☺ ⬧⬧


⬧ ◼
⬧ ⚫ ⧫◆
◼◆  ⬧◆◆
⬧⬧◆ 
⬧⬧  ◼⧫ ⚫
109
⧫ ◆◆
◆ ➔⬧◆
 ⧫  ➔◆
◼⧫   
⬧⬧  
 ⬧
⬧⬧◆  ☺
 ◆◆⧫
 ➔⧫⬧⬧◆
◼◆ ⧫ ➔⧫
 ❑◆⬧◆ ◆⬧
 ⧫
Artinya : Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka,
diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat
duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk
memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai
(jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia."
Wanita itu berkata: "Itulah Dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik)
kepadanya, dan Sesungguhnya aku telah menggoda Dia untuk menundukkan
dirinya (kepadaku) akan tetapi Dia menolak. dan Sesungguhnya jika Dia tidak
mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya Dia akan
dipenjarakan dan Dia akan Termasuk golongan orang-orang yang hina."

Sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain ).” (QS.
Yusuf : 106),
➔⬧ ⬧ ⧫◆
⧫❑ ➔◆  

Artinya : Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah,
melainkan dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-
sembahan lain).

Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat) Yaitu menetapkan
apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya baik itu
berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah, tanpa tahrif dan
ta‟thil serta tanpa takyif dan tamtsil. Dua Prinsip dalam meyakini sifat Allah
Subhanahu wa ta’ala, · Allah Subhanahu wa ta‟ala wajib disucikan dari semua
110
sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati,
dan lainnya. ·

Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan
sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-
Sifat Allah.Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Allah juga memiliki
tangan, wajah dan diriseperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur‟an.
Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan dan diri
menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka
bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya
kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat
Allah.

sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan


Mu‟tazilah. Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya,
dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu
memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah berfirman,”Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syuura’: 11).

⧫❑→⧫   ⧫❑⧫ ⧫❑⬧



Artinya : (yaitu) kaum Fir'aun. mengapa mereka tidak bertakwa?"

Buah beriman kepada Allah Beriman kepada Allah secara benar sebagaimana
digambarkan akan membuahkan beberapa hasil yang sangat agung bagi orang-
orang beriman, diantaranya:
1. Merealisasikan pengesaan kepada Allah sehingga tidak menggantungkan
harapan kepada selain Allah, tidak takut, dan tidak menyembah kepada selain-
Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya
sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-
Nya Yang Agung.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang
diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

WUJUD ALLAH SWT BESERTA SIFAT-SIFATNYA

1.1. MENGIMANI WUJUD dan KEESAAN ALLAH SWT


A. WUJUD ALLAH Wujud(ada)-nya Allah SWT adalah segala sesuatu yang
kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan
mendarah daging maka kebenaran itu tidak perlu lagi pembuktian.
DALIL FITRAH DALIL AKAL DALIL NAQLI

111
1.Dalil Fithrah Allah SWT menciptakan manusia dengan fithrah bertuhan,atau
dengan kata lain setiap anak manusia dilahirkan sebagai seorang muslim
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah,maka bapak-ibu nyalah ( yang
berperan) mengubah anak itu menjadi seorang Yahudi,atau Nasrani,atau
Majusi…’’(HR.Bukhari). kesimpulan: bahwa secara esensi tidak ada seorang
manusia yang tak bertuhan,yang ada hanyalah mereka mempertuhankan
sesuatu yang bukan tuhan yang sebenarnya ( Allah SWT).

2.Dalil Akal Dengan menggunakan akal pikiran untuk merenungkan dirinya


sendiri,alam semesta dan lain-lainnya seorang manusia bisa membuktikan
adanya Tuhan (Allah SWT). Untuk membuktikan adanya Tuhan (Allah SWT)
lewat merenungkan alam semesta , termasuk diri manusia itu sendiri , dapat
dipakai beberapa “qanun’’(teori hukum) antara lain:
a) Qanun al-‘illah illah artinya sebab.Segala sesuatu ada sebabnya.Setiap ada
perubahan tentu ada yang menjadi sebab terjadinya perubahan
b) Qanun al-wujub Wujub artinya wajib.Wujud segala sesuatu tidak bisa
terlepas dari salah satu kemungkinan:wajib,mustahil,atau mungkin
c) Qanun al-Huduts Huduts artinya baru. Alam semesta seluruhnya adalah
sesuatu yang hadits (baru,ada awalnya), bukan sesuatu yang qadim (tidak
berawal).
d) Qanun an-Nizham Nizham artinya aturan,teratur.Seluruh alam semesta
seperti bulan,matahari dan planet planet beroperasi secara teratur.

3. Dalil Naqli Sekalipun secara fithrah manusia bisa mengakui adanya Tuhan
, dan dengan akal pikiran bisa membuktikannya,namun manusia tetap
memrlukan dalil naqli (Alquran dan Sunnah) untuk membimbing manusia
mengenal Tuhan yang sebenarnya dengan segala asma dan sifat-Nya

4. Hal pokok dalam pasal wujud Allah SWT,diantaranya:


a) Allah SWT adalah Al-awwal artinya tidak ada permulaan bagi wujud-
Nya.Dia juga Al-Akhir artinya tidak ada akhir dari wujud-Nya.
◆  ◆❑➔
 ⧫◆ →◆
⧫   ◆❑➔◆

Artinya : Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang
Bathin[1452]; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Al-Hadid : 3)

[1452] Yang dimaksud dengan: yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada,
yang akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, yang Zhahir ialah, yang nyata
adanya karena banyak bukti- buktinya dan yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan
hikmat zat-Nya oleh akal.

112
b) Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya
◆❑☺ ⬧
 ⬧ ➔  ◆
◆ ◆ →
 ◆ ➔
▪⬧   ⧫◆⧫
◆❑➔◆   ☺
 ⧫ ☺
Artinya : “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari
jenis kamu sendiri pasangan- pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan
itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat.”(As- Syura:11)
c) Allah SWT Maha Esa
  ◆❑➔ ➔

Artinya : “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.”(Al-Ikhlas:1)

d) Allah SWT mempunyai al-Asma’was Shiffat (Nama-nama dan sifat-sifat)


yang disebutkan-Nya untuk diri-Nya di dalam Alquran serta semua nama dan
sifat yang dituturkan untuk-Nya oleh Rasullah SAW dalam sunnahnya.

5. Dalil Sejarah Adalah dalil-dalil kekuasaan dan keagungan Allah yang


diambil dari peristiwa-peristiwa yang telah berlaku di atas muka bumi.

6. Dalil Al Hissyi (Dalil Indrawi) Bukti indera tentang wujud Allah dapat
dibagi menjadi dua:
a). Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang
berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang
mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah.
b). Tanda-tanda para Nabi yang disebut mu’jizat, yang dapat disaksikan atau
didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang keberadaan Yang
Mengutus para Nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar
kemampuan manusia.

7. Tauhidullah Swt Esensi iman kepada Allah SWT adalah tauhid yaitu
mengesekan-Nya, baik dalam zat, asma’ was-shifaat, maupun af’al
(perbuatan)-Nya. Tauhid dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:

1. Tauhid Rububiyah (mengmani Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb)


Secara etimologis kata “Rabb” sebenarnya mempunyai banyak arti, antara lain
menumbuhkan, mengembangkan, mendidik, memelihara, memperbaiki,
113
menanggung, mengumpulkan, mempersiapkan, memimpin, menyelesaikan
suatu perkara, memiliki dan lain-lain. Tetapi dari semua arti diatas, yang perlu
kita pahami secara mendasar dan disimpulkan sebagai pencipta, member
rezeki, memelihara, mengelola dan memiliki.

2. Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik)


Kata Malik yang berarti raja dan Malik yang berarti memiliki, berakar dari
akar kata yang sama yaitu ma-la-ka. Kedua nya memang memiliki relevansi
makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakikatnya adalah raja dari sesuatu
yang dimilikinya itu. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah SWT sebagai
Rabb pemilik alam semesta, (Al-‘alamin) adalah raja dari alam semesta
tersebut, Dia bisa bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap
alam semesta tersebut. Dalam hal ini Allah SWT adalah malik (raja) dan alam
semesta adalah mamluk (hamba).
⬧   ◼➔⬧ ⬧
◆❑☺ →
 →⬧ ⧫◆  ◆
◆ ◆   
 ⧫
Artinya : “Tiadakah Kamu Mengetahui Bahwa Kerajaan Langit Dan Bumi
Adalah Kepunyaan Allah? Dan Tiada Bagimu Selain Allah Seorang
Pelindung Maupun Seorang Penolong.” (QS.Al-Baqarah 2:107) Kita banyak
menemukan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT adalah
Pemilik dan Raja langit dan bumi, diantara nyaadalah:
Bila kita mengimani bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Raja yang
menguasai alam semesta bumi langit dan seluruh isinya maka kita minimal
harus mengakui bahwa Allah SWT adalah Pemimpin (Wali), penguasa yang
menentukan (Hakim), dan yang menjadi tujuan(Ghayah). Al-Qur’an
menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman:
 ◆ 
  ❑⧫◆
❑ ◼ ☺➔→
 ◆ 
❑ ➔⧫◆
❑  ⧫❑
 ☺➔→ ◼
⬧ ⬧
 ➔  
 →
Artinya : “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang
yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka
114
daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS.Al-Baqarah 2:257)
kriteria Ulil Amri yang umat islam diperintahkan oleh Allah SWT untuk
loyal kepada mereka:
1. Kriteria ini adalah mendirikan sholat (ibadah vertical langsung kepada
Allah SWT),
2. menunaikan zakat (ibadah yang hasilnya bisa langsung dirasakan oleh
masyarakat secara horizontal)
3. pemimpin itu harus tunduk kapada Allah SWT dalam seluruh aspek
kehidupannya (ra- ki’un).
3. Tauhid Ilahiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah) Kata
Ilah berakar dari kata a-la-ha (alif-lam-ha) yang mempunyai arti antara lain
tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah (‘abada). Semua kata-kata ini
relevan dengan sifat-sifat kekhususan. Zat Allah SWT seperti dinyatakan olhe
Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an:

Artinya : “orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram


dengan mengingat Allah.

MENATAP WAJAH ALLAH


Salah satu ideologi dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang
tercantum dalam kitab-kitab aqidah para ulama salaf, adalah kewajiban
mengimani bahwa kaum mu’minin akan melihat wajah Allah Ta’ala yang
maha mulia di akhirat nanti, sebagai balasan keimanan dan keyakinan mereka
yang benar kepada Allah Ta’ala sewaktu di dunia.

Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlus sunnah wal jama’ah di zamannya,
menegaskan ideologi Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau,
“(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban)
mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah AllahTa’ala yang
maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih”.

Imam Ismail bin Yahya al-Muzani berkata, “Penghuni surga pada hari kiamat
akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak
merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah
mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata mereka dengan
karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal
abadi…”

Demikian pula Imam Abu Ja’far ath-Thahawi menegaskan prinsip yang


agung ini dengan lebih terperinci dalam ucapannya, “Memandang wajah
Allah Ta’ala bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani),

115
(dengan pandangan) yang tanpa meliputi (secara keseluruhan) dan tanpa
(menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya),
sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an

◆ ⧫❑⧫ ◼❑


◆ ◼ 
:  ⧫⧫
Artinya : “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23).

Penafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang Allah Ta’ala ketahui dan
kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua
hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan
masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau inginkan. Kita tidak
boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan arti
yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka
dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang)
dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam
hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para
ulama Ahlus sunnah)”.

Dasar Penetapan Ideologi Ini


1- Firman Allah Ta’ala,
ِ ‫ ِإلَى َر ِب َها ن‬،ٌ‫َاض َرة‬
}ٌ‫َاظ َرة‬ ِ ‫{و ُجوهٌ يَ ْو َمئِ ٍّذ ن‬
ُ
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah).
Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS al-Qiyaamah:22-23)

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan
melihat wajah Allah Ta’ala dengan mata mereka di akhirat nanti, karena
dalam ayat ini Allah Ta’ala menggandengakan kata “melihat” dengan kata
depan “ilaa” yang ini berarti bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-
wajah mereka, artinya mereka melihat wajah Allah Ta’ala dengan indera
penglihatan mereka.

Bahkan firman Allah Ta’ala ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka


yang indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan,
menjadi semakin indah dengan mereka melihat wajah Allah Ta’ala. Dan
waktu mereka melihat wajah Allah Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan
surga yang mereka tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi
dan petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pecan.

116
2- Firman Allah Ta’ala,
❑ ⧫ 
⧫
◆  ⧫◆
❑ ⧫
  ◆ ⧫⬧
⧫ ⬧
 ➔  
 ⧫→
Artinya : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik
(surga) dan tambahannya[686]. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam
dan tidak (pula) kehinaan[687]. mereka Itulah penghuni syurga, mereka
kekal di dalamnya. (QS Yunus:26).

[686] Yang dimaksud dengan tambahannya ialah kenikmatan melihat Allah.


[687] Maksudnya: muka mereka berseri-seri dan tidak ada sedikitpun tanda kesusahan.

Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu
kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Ta’ala.
Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin
Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala Berfirman: “Apakah
kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari
kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah
memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami
ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada
waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha
Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan)
yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas.

Bahkan dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala adalah
kenikmatan yang paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan-
kenikmatan di surga lainnya. Imam Ibnu Katsir berkata, ”(Kenikmatan) yang
paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah
memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang
paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para
penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan
(semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan
rahmat Allah”.
117
Lebih lanjut imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau “Ighaatsatul
lahafaan”, menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat
wajah Allah Ta’ala) adalah balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada orang
yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan
kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu
dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan
berzikir kepada-Nya. Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh do’a
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,

[As-aluka ladzdzatan nazhor ila wajhik, wasy-syauqo ilaa liqo’ik] “Aku


meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di
akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-
Mu (sewaktu di dunia)…”
3- Firman Allah Ta’ala,
}ٌ‫{لَ ُه ْم َما يَشَا ُءونَ ِفي َها َولَدَ ْينَا َم ِزيد‬
“Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan
pada sisi Kami (ada) tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala)” (QS
Qaaf:35).
4- Firman Allah Ta’ala,
} َ‫{ َكَل ِإنَّ ُه ْم َع ْن َر ِب ِه ْم يَ ْو َم ِئ ٍّذ لَ َم ْح ُجوبُون‬
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari
kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka” (QS al-
Muthaffifin:15).

Imam asy-Syafi’i ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Ketika Allah
menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada
mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan
melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka)” .

5- Demikian pula dalil-dalil dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam yang menetapkan masalah ini sangat banyak bahkan mencapai
derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak bisa
ditolak).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman
akan melihat (wajah) Allah Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam
hadits-hadits yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai
derajat) mutawatir, menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk
ditolak dan diingkari”.

Di antara hadits-hadits tersebut adalah dua hadits yang sudah kami sebutkan
di atas. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin
Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
118
sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
(AllahTa’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat bulan
purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam waktu
melihat-Nya…”

Kerancuan dan Jawabannya

Demikian jelas dan gamblangnya keyakinan dan prinsip dasar Ahlus Sunnah
wal Jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa kelompok sesat yang
pemahamannya menyimpang dari jalan yang benar, seperti Jahmiyah dan
Mu’tazilah, mereka mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-
syubhat (kerancuan) yang mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
kemudian mereka selewengkan artinya sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Akan tetapi, kalau kita renungkan dengan seksama, kita akan dapati bahwa
semua dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mereka gunakan untuk membela kebatilan dan
kesesatan mereka, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah
kebatilan mereka dan bukan untuk mendukungnya.

Di antara sybhat-syubhat mereka tersebut adalah:

1- Mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala,


❑ ◆ ☺⬧◆
☺◆ ◆⬧☺
 ◆ ⧫⬧ ◆
⬧ ⧫⬧  ⬧ →
→ ⬧◆ ⧫⬧
⬧ ⧫ ◼
⧫❑⬧ ⧫⧫ ▪⬧⧫
 ☺◼⬧  ⧫⬧
⬧➔ ⧫ ◆
 ➔ ❑ ▪◆ 
⧫⬧ ⬧⬧ ☺◼⬧
⬧ →➔ ⬧
 ⧫◆
 ⧫✓⬧☺
Artinya : Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada
waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)
kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu
119
sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku".
tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa
sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS al-A’raaf:143).

565] Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran
dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah
cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk,
hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran
manusia.

Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah menolak permintaan nabi
Musa ‘alaihis salam untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan”
yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan bahwa
Allah Ta’ala tidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya.

Jawaban atas syubhat ini:


Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah
pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan
para ulama ahli bahasa arab.

Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam
syairnya:Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti
penafian selama-lamanya Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat
selainnya.

Maka makna yang benar dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala menolak
permintaan nabi Musa ‘alaihis salam tersebut sewaktu di dunia, karena
memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di
akhirat nanti maka Allah Ta’ala akan memudahkan hal itu bagi orang-orang
yang beriman. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, tidak ada seorangpun
di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Ta’ala sampai dia mati
(di akhirat nanti).
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu: Apakah engkau telah melihat Rabb-mu
(Allah Ta’ala)? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Dia
terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya?.
Oleh karena itulah, Ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Barangsiapa yang menyangka bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allah Ta’ala) maka sungguh dia telah
melakukan kedustaan yang besar atas (nama) Allah” .

120
Permintaan nabi Musa ‘alaihis salam dalam ayat ini untuk melihat
Allah Ta’ala justru menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mungkin untuk dilihat,
karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan shaleh seperti nabi
Musa ‘alaihis salam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui
batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala. Karena
permintaan sesuatu yang mustahil dan melampaui batas, apalagi dalam hal
yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala hanyalah dilakukan oleh orang
yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya, dan nabi Musa ‘alaihis
salam terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau adalah
termasuk nabi Allah Ta’ala yang mulia dan hamba-Nya yang paling
mengenal-Nya.

Maka jelaslah bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya
jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan
mendukungnya.
2- Mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala,
ُ ‫يف ْال َخ ِب‬
}‫ير‬ ُ ‫ار َوه َُو اللَّ ِط‬
َ ‫ص‬َ ‫ار َوه َُو يُد ِْركُ األ ْب‬
ُ ‫ص‬َ ‫{َل تُد ِْر ُكهُ األ ْب‬
“Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui” (QS al-An’aam:103).

Jawaban atas syubhat ini:

– Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini: “Dia tidak
dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di
akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya.

– Dalam ayat ini Allah Ta’ala hanya menafikan al-idraak yang berarti al-
ihaathah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak
sama dengan meliputi, bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari
tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan?

– al-Idraak (meliputi/melihat secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari


pada ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-Idraak menunjukkan
adanya ar-ru’yah (melihat Allah Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih
khusus menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih umum.
Sekali lagi ini membuktikan bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini,
pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka
dan bukan mendukungnya.

Penutup

121
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip
dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung, melihat wajah Allah Ta’ala.
Dengan memahami dan mengimani masalah ini dengan benar, maka peluang
kita untuk mendapatkan anugrah dan kenikmatan tersebut akan semakin
besar, dengan rahmat dan karunia-Nya.

Adapun orang-orang yang tidak memahaminya dengan benar, apalagi


mengingkarinya, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari
mendapatkan kemuliaan dan anugrah tersebut, minimal akan berkurang
kesempurnaannya,
na’uudzu billahi min dzaalik.
Dalam hal ini salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang
mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia tidak akan
mendapatkan kemuliaan tersebut”
Akhirnya kami berdoa kepada Allah Ta’ala dengan doa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas:
Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di
akhirat nanti)
dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu
di dunia)

PERTEMUAN KE VIII U A S

PERTEMAN KE IX
HAKEKAT IMAN KEPADA MALAIKAT DAN KONSEKWENSINYA

Malaikat adalah Ciptaan Allah Yang suci tercipta Dari Nur Atau
Cahaya. Jumlah mereka lebih banyak dari dari pada Manusia. Meskipun
seluruh manusia dibangkitkan dari jaman Adam hingga Keakhir jaman Nanti
Niscaya Jumlah Mereka tetap lebih banyak. Didalam Riwayat dikatakan
bahwa Ketika Rasul Menaiki langit disetiap tingkatnya, maka Rasul Melihat
Ribuan Malaikat berdiri dalam keadaan Sholat. Dan setiap tingkat ada yang
ruku’ saja, ada yang I’tidal dan ada yang sujud. Sehingga dari itu rasul
mengumpulkan cara sholat.
disetiap diri manusia terdapat 2 malaikat, dan setiap hari senin kamis maka
para malaikat akan berganti dan melaporkan catatan amalan manusia disaat
itu.
Nama-nama 10 Malaikat yang wajib diketahui. Jika kamu belum
mengetahuinya maka berikut 10 Nama Malaikat Yang wajib untuk diketahui :

Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rosul..
Malaikat Mikail bertugas membagikan rezki kepada seluruh mahluk hidup..
Malaikat Izrail bertugas mencabut nyawa seluruh mahluk hidup
122
Malaikat Israfil bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat nanti..
Malaikat Munkar bertugas menanyai dan menghukum orang yang sudah
meninggal di alam barzah
Malaikat Nakir bertugas menanyai dan menghukum orang yang sudah
meninggal di alam barzah
Malaikat Rakib bertugas untuk mencatat amal perbuatan baik Manusia
Malaikat Atid bertugas mencatat amal perbuatan buruk manusia
Malaikat Malik, malaikat ini bertugas menjaga pintu neraka
Malaikat Ridwan bertugas menjaga pintu syurga

Selain malaikat yang di riwayatkan di atas, inilah Malaikat mungkin kamu


belum Mengetahui nama dan tugasnya :
Malaikat Zabaniah, 19 malaikat penyiksa dalam neraka yang sangat bengis
dan kasar.
Malaikat Hamalat Al’ Arsy, 4 malaikat pembawa Arsy Allah SWT saat ini
dan pada hari kiamat akan ditambah jumlahnya menjadi 8.
Malaikat Harut Dan Marut, kedua malaikat yang dijadikan manusia dan
diuji oleh Allah SWT.
Malaikat Dar’dail, yang bertugas mencari manusia yang berdoa, bertaubat
dan lainnya pada bulan ramadhan.
Malaikat Kiraman Katibin, yang bertugas sebagai pencatat yang mulia
kepada jin dan manusia.
Malaikat Mu’aqqibat, yang bertugas memelihara manusia dari kematian
sampai waktu yang telah ditetapkan yang datang silih berganti.
Malaikat Arham, yang bertugas untuk menetapkan rezeki, ajal,
keberuntungan dan lainnya pada 4 bulan kehamilan.
Malaikat Jundallah, yang bertugas sebagai malaikat perang yang membantu
nabi dalam peperangan.

Malaikat Ad-Dam’u, malaikat yang selalu menangis jika melihat kesalahan


manusia.
Malaikat An-Nuqmah, malaikat yang selalu berurusan dengan unsur api dan
duduk di singgasana berupa nyala api. Dia memiliki wajah kuning tembaga.
Malaikat Ahlul Adli, malaikat yang memiliki ukuran besar melebihi ukuran
bumi beserta isinya dan dia memiliki 70 ribu kepala.
Malaikat Berbadan Api Dan Salju, malaikat yang memiliki ukuran besar
dengan tubuh setengah api dan setengah salju serta dikelilingi oleh pasukan
malaikat yang tidak pernah berhenti berdzikir.
Malaikat Pengurus Hujan, yang bertugas mengurus hujan menurut
kehendak allah.swt.
Malaikat Penjaga Matahari, 9 malaikat yang bertugas menghujani matahari
dengan salju.

123
Malaikat Rahmat, yang bertugas sebagai penyebar keberkahan, rahmat,
permohonan ampun dan pembawa roh orang-orang saleh, ia datang bersama
malaikat maut dan malaikat azab.
Malaikat Azab, yang bertugas sebagai pembawa roh orang-orang kafir,
zalim, munafik. Ia datang bersama malaikat rahmat dan malaikat maut.
Malaikat Pembeda Haq Dan Bathil, yang bertugas membedakan antara
tindakan yang benar dan salah kepada manusia.
Malaikat Penentram Hati, yang bertugas meneguhkan pendirian seorang
mukmin.
Malaikat Penjaga 7 Pintu Langit, yang bertugas menjaga 7 pintu langit.
Mereka diciptakan oleh ALLAH SWT sebelum langit dan bumi ada.
Malaikat Pemberi Salam Ahli Surga, yang bertugas sebagai pemberi salam
kepada ahli-ahli surga.

Malaikat Pemohon Ampun Untuk Orang Beriman, para malaikat yang


berada disekeliling Arsy yang memohonkan ampunan bagi kaum yang
beriman.
Malaikat Pemohon Ampun Bagi Manusia Dibumi, para malaikat yang
bertasbih memuji Allah SWT dan memohonkan ampun bagi manusia-
manusia dibumi.
Malaikat Pendamping Malaikat Maut, malaikat ini berjumlah 70.000,
mereka datang mendampingi dan ikut mendoakan apabila malaikat maut
hendak mencabut nyawa orang-orang mukmin..
Sebenarnya masih banyak Malaikat yang memiliki tugas-tugas diberikan
Allah SWT. Namun Sesungguhnya Hanya Allah Sendirilah Yang tau tentang
keberadaan mereka. Dan tugas apa yang diemban mereka. Meraka Hanya
Bertasbih dan berzikir dan menunaikan segala tugas yang diberikan.
Dari Allahlah Segala Kebenaran Dan segala Kesalahan Dari Penulis. Semoga
Tidak Menjadi Pertanggung jawaban di Yaumil Akhir Kelak jika ada
kesalahan yang termuat dalam penulisan ini.
Salah satu makhluk Allah swt. yang diciptakan di alam ini adalah malaikat.
Dia bersifat gaib bagi manusia, karena tidak dapat dilihat ataupun disentuh
dengan panca indra manusia.
◆➔ ◆ ☺⬧◆
⬧◆  ◆ ❑
 ⧫⬧◆ ⬧ 
⧫ ❑⧫
Artinya : Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada
Luth, Dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan
mereka, dan Dia berkata: "Ini adalah hari yang Amat sulit[729]." (Q.S. Hud
: 11)
[729] Nabi Luth a.s. merasa susah akan kedatangan utusan-utuaan Allah itu karena mereka
berupa pemuda yang rupawan sedangkan kaum Luth Amat menyukai pemuda-pemuda yang

124
rupawan untuk melakukan homo sexual. dan Dia merasa tidak sanggup melindungi mereka
bilamana ada gangguan dari kaumnya.

Sebagai muslim kita diwajibkan beriman kepada malaikat. Iman kepada


malaikat tersebut termasuk rukun iman yang kedua. Apa yang dimaksud iman
kepada malaikat? Iman kepada malaikat berarti meyakini dan membenarkan
dengan sepenuh hati bahwa Allah telah menciptakan malaikat yang diutus
untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dari Allah.
Dasar yang menjelaskan adanya makhluk malaikat tercantum dalam ayat
berikut ini yang artinya:
◆❑☺ ⬧  ☺⧫
 ◆
  ⬧◼☺
⬧
 ⧫◆ ◼➔◆ 
 ⧫ ⧫ ⬧  ⧫
  ◼⧫  
 ⬧
Artinya : Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan
Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)
yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.
Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Fatir: 1)
Hal tersebut juga dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim tentang iman dan
rukunnya. Dari Abdullah bin Umar, ketika diminta untuk menjelaskan iman,
Rasulullah bersabda,
“iman itu engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-
kitabNya, Rasul-rasulNya dan hari akhir serta beriman kepada ketentuan
(takdir) yang baik maupun yang buruk.”
Dalam hadits tersebut, percaya kepada malaikat merupakan unsur kedua
keimanan dalam Islam. Percaya kepada malaikat sangatlah penting karena
akan dapat memurnikan dan membebaskan konsep tauhid dari bayangan
syirik.
Dari ayat dan hadits di atas dapat diketahui bahwa beriman kepada malaikat
merupakan perintah Allah dan menjadi salah satu syarat keimanan seseorang.
Kita beriman kepada malaikat karena Al Qur’an dan Nabi
memerintahkannya, sebagaimana kita beriman kepada Allah dan Nabi-Nya.

⧫ ⧫
❑◆ ❑⧫◆
❑◆◆ 
⧫⧫  ⧫◆
❑◆ ◼⧫
✓ ⧫◆
125
→⧫ ⧫◆  ⬧  ⧫⧫
⬧◼⧫◆ 
◆ ◆
⬧⬧  ❑◆◆
 ➔⧫ ◼ 
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya
serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya (Q.S.
An.Nisa : 136)
[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan,
dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
[295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan
bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
Al. Mudasir : 31
⧫ ◆➔ ⧫◆
 ⬧◼⧫  
 ⬧ ◆➔ ⧫◆
 ⧫ ◆
⧫ ⧫◆
⧫ ❑➔
⧫ ⧫◆
◆  ◆ ❑⧫◆
❑➔ ⧫ ⬧⧫
 ⧫❑⬧☺◆ ⧫
 ⧫ ⧫❑→◆◆
 ❑➔➔
⬧⧫ ⧫⬧◆
 ⬧⧫   ◆
⧫   
⧫ ◆◆ ⧫
◼➔⧫ ⧫◆  ⧫
 ◆❑➔  ◼◆ ❑
⧫   ⧫◆
 ⧫
Artinya : Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari
Malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan
untuk Jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi
Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya
dan supaya orang-orang yang diberi Al kitab dan orng-orang mukmin itu

126
tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit
dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah
dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah
membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan tidak ada yang mengetahui tentara
Tuhanmu melainkan Dia sendiri. dan Saqar itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi manusia.( Q.S. Al. Mudasir : 31)
[1527] Yang dimaksud dengan tidak meninggalkan dan tidak membiarkan ialah apa yang
dilemparkan ke dalam neraka itu diazabnya sampai binasa kemudian dikembalikannya
sebagai semula untuk diazab kembali
 ⧫ ⧫ ⧫
◆ ◼⧫◆
⬧ ⬧◆ ◆
⬧ ⧫ 

Artinya : Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya,
rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh
orang-orang kafir.

PERTEMUAN KE X
IMAN KEPADA KITAB ALLAH DAN HIKMAHNYA

Pengertian iman menurut bahasa adalah percaya dan membenarkan.Iman


menurut istilah adalah kepercayaan yang diyakini kebenarannya dalam
hati,diucapkan dengan lisan,dan diamalkan dengan perbuatan.
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT. Adalah mengakui, mempercayai dan
meyakini bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab kepada para nabi dan
Rasul-Nya yang berisi ajaran Allah SWT. Untuk di sampaikan kepada
umatnya masing-masing. Mengimani kitab Allah SWT, wajib hukumnya.
Mengingkari salah satu kitab Allah SWT sama saja mengingkari seluruh
kitab-kitab Allah SWT dan mengingkari para Rasul-Nya, malaikat dan
mengingkari Allah SWT sendiri.
Iman kepada kitab-kitab Allah termasuk dalam rukun iman yang ke
tiga.Dengan demikian orang yang tidak mengimani kitab-kitab Allah tidak
dapat dikatakan sebagai orang yang beriman, bahkan bisa dikatakan murtad.
Firman Allah swt :
◼◆   ⧫
  ➔⧫⬧
⧫⧫◆ ⧫◆ ◆
➔⧫
⬧ ⧫
☺  ⧫✓⧫ ⬧◆

127
⧫◆   ❑→◼⧫
⧫   ◼⧫
⧫ ➔⧫  ◼❑➔
→⧫ ◆
 ⬧  ⧫ ☺⧫
☺ ❑⧫◆ 
  ❑→◼⧫
◆   ⬧
◆ ◼ ⧫ ⧫ ⧫
 ⧫
Artinya : Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),
Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih
tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(QS. Al-Baqarah : 213)
Ayat di atas mengandung penjelasan sebagai berikut :
1. Allah telah benar-benar menurunkan kitab-kitab kepada para nabi.
2. Dengan kitab-kitab itu Allah memberi kabar gembira dan peringatan
3. Tujuan diturunkannya kitab-kitab agar menjadi petunjuk dan pedoman
hidup.
A. Macam-macam Kitab Allah
Menurut bahasa, kata kitab memiliki dua pengertian, pertama berarti perintah.
Kedua berarti tulisan di atas kertas. Yang dimaksud kitab Allah adalah wahyu
yang diturunkan kepada para nabi dan rasul berisi pedoman hidup bagi
umatnya dan telah dibukukan. Dalam sejarah penulisan dari teks Qur'an,
shuhuf terdiri dari beberapa lembaran yang pada akhirnya Qur'an
dikumpulkan pada masa Abu Bakar. Dalam shuhuf tersebut susunan tiap ayat
di dalam surah telah tepat, tetapi lembaran-lembaran yang ada belumlah
tersusun dengan rapi, tidak dibundel menjadi satu isi.
Kalimat mushaf pada saat ini memiliki arti lembaran-lembaran yang
dikumpulkan di dalam Qur'an yang telah dikoleksikan pada masa Utsman bin
Affan. Pada saat itu, tiap ayat di dalam surah telah disusun dengan rapi. Saat
ini umat Islam juga menyebut setiap duplikat Qur'an, yang mana memiliki
keteraturan tiap ayat dan surah disebut mushaf.
Shuhuf
Shuhuf yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada para rasul, tetapi tidak
wajib disampaikan atau diajarkan kepada manusia. Beberapa nabi yang
dikatakan memiliki shuhuf adalah:
• Adam - 10 shuhuf

128
• Syits - 60 shuhuf, (pendapat lain mengatakan 50 shuhuf)
• Khanukh - 30 shuhuf
• Ibrahim - 30 shuhuf (10 shuhuf)
• Musa - 10 shuhuf
Untuk shuhuf Ibrahim dan Musa tercantum di dalam firman Tuhan, surah Al-
A'laa dan An-Najm, yang berbunyi;
⧫⬧ ⧫ ◼ ⬧

Artinya : "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri
(dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-
benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan
Musa." — Al-A’la 87:14

 ☺ ⧫ ⬧ 


 ❑ ⬧
 ⧫◆
 ◆
Artinya : "Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam
lembaran-lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji?" — An-Najm 53:36-37
Mushaf
Beberapa shuhuf yang telah dicatat dari firman Allah kemudian dijadikan
satu yang memiliki nama bermacam-macam, yang telah diberikan kepada
para rasul-Nya. Di antaranya adalah:
Taurat (Torah)
Taurat adalah tulisan berbahasa Ibrani, berisikan syariat (hukum) dan
kepercayaan yang benar dan diturunkan melalui Musa, pada kira-kira abad
12 sebelum masehi. Isi pokok Taurat adalah 10 firman Allah bagi bangsa
Israel. Selain itu, Taurat berisikan tentang sejarah nabi-nabi terdahulu hingga
Musa dan kumpulan hukum.
⧫ ◼⧫ ⧫⧫
 ⬧
⧫ ⧫✓⧫ ☺
⬧◆❑ ⧫⧫◆
◆

129
Artinya : "Allah telah menurunkan kitab kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang terdahulu dari padanya, lagi menurunkan Taurat
dan Injil." — Ali 'Imran 3:3
Zabur (Mazmur)
Zabur berisi mazmur (nyanyian pujian bagi Allah) yang dibawakan melalui
Daud yang berbahasa Qibti, pada kira-kira abad ke-10 sebelum masehi.
Kitab ini tidak mengandung syariat, karena Daud diperintahkan untuk
meneruskan syariat yang telah dibawa oleh Musa.
 ⬧◆◆ 
 ❑
Artinya : "...dan kami telah memberi kitab zabur kepada Nabi Dawud." —
 An-Nisa' 4:163
Injil
Injil pertama kali ditulis menggunakan bahasa Suryani melalui murid-murid
Isa untuk bangsa Israel sebagai penggenap ajaran Musa. Injil diturunkan pada
permulaan abad pertama masehi. Kata Injil sendiri berasal dari bahasa
Yunani yaitu euangelion yang berarti "kabar gembira". Injil-injil tidak
mempunyai pembahasan sistematis mengenai satu tema atau tema-tema
tertentu, meskipun di dalamnya banyak membahas hal kerajaan Surga. Injil
yang ada saat ini mengandung firman Allah dan riwayat Isa, yang semuanya
ditulis oleh generasi setelah Isa.

◆ ◼⧫ ◆⬧◆


⧫⧫  ➔
⧫✓⧫ ☺ 
 ◆❑  ⧫
 ⬧◆◆
❑◆ ➔ 
⧫✓⧫ ☺ ◆
◆❑  ⧫
⬧→❑⧫◆ ➔◆
 ⧫✓☺
Artinya : "...dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan
'Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat,
dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada)
petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang
sebelumnya, yaitu Kitab Taurat, dan menjadi petunjuk serta pengajaran
untuk orang-orang yang bertakwa." — Al-Ma'idah 5:46

Al-Qur`an
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu
kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut
130
syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di
dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk
ketaqwaan manusia.
✓ ⧫⧫◆ 
◆→  ⧫
⧫◆  ➔
 
⬧→◆
Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). …— Al-Baqarah 2:185
Tampilan Al-Qur`an dianggap unik, karena berupa prosa berirama, puisi epik,
dan simfoni dalam keterpaduan teks yang indah. Isi Al-Qur`an juga dianggap
unik, berupa paduan filsafat semesta, catatan sejarah, peringatan-peringatan
dan hiburan, dasar-dasar hukum, serta doa-doa.
Bagi umat Islam, tidak disyariatkan untuk mempelajari isi Taurat, Zabur, dan
Injil yang ada saat ini, karena menurut ajaran Islam, dianggap telah
mengandung berbagai tafsiran yang tidak benar[4] dan karena isi kesemua
kitab yang masih diperlukan, telah dimasukkan ke dalam kitab Al-Qur`an.
Namun tidak diperlukan juga upaya untuk menyerang atau menyalah-
nyalahkan isi Taurat, Zabur, atau Injil, karena terdapat ayat-ayat Allah di
dalamnya.

Penjelasan di dalam al-Qur`an


Dalam firman Allah ayat Al Imraan 3 ayat 4:
 ➔ ⬧ 
  ⧫⬧→ ⧫⧫◆
 ⧫
⬧  ⧫⧫
◆   ⧫
 ⬧ ➔ ⧫
Artinya : Sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia
menurunkan Al Furqaan[182]. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah
Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan (siksa). —  Al-'Imran 3:4
[182] Al Furqaan ialah kitab yang membedakan antara yang benar dan yang salah.
Kemudian An Nissa 4 ayat 136 dan 163 :
⧫ ⧫
❑◆ ❑⧫◆
❑◆◆ 
⧫⧫  ⧫◆
131
❑◆ ◼⧫
✓ ⧫◆
→⧫ ⧫◆  ⬧  ⧫⧫
⬧◼⧫◆ 
◆ ◆
⬧⬧  ❑◆◆
➔⧫ ◼ 
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." — An-Nisa' 4:136)
⬧ ◆  
❑ ◼ ◆ ☺
 ◼➔⧫  ◆
◼ ◆◆
➔☺◆ ⧫
❑→➔⧫◆ ⧫⬧◆
❑◆ ◆ ⧫◆
 ◆◼◆ ⧫◆ ▪❑◆
❑  ⬧◆◆


Artinya : "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu


sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim,
Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan
Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud." — An-Nisa' 4:163
Semua kitab turun pada bulan Ramadan
Menurut sumber berdasarkan hadits shahih dari Imam Ahmad, kesemua
kitab-kitab suci tersebut turun pada bulan Ramadan, shuhuf Ibrahim turun
pada awal malam pertama bulan Ramadan, Taurat turun pada hari
keenam bulan Ramadan dan Injil pada hari ketiga belas dari Ramadan.
Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadan berdasarkan pada salah satu
surah di dalam Al-Qur'an yang berbunyi:
⧫ ✓ ⧫⧫◆ 
➔ ◆→ 
 ⧫◆ 
 ⬧→◆ 
Artinya : "Bulan Ramadan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an, sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan atas petunjuk itu, serta pemisah
antara haq dan batil." — Al-Baqarah 2:185

132
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah menyanjung bulan Ramadan diatas
bulan-bulan yang lain, yaitu dengan memilihnya sebagai bulan dimana
kesemua kitab-kitab suci diturunkan di dalamnya.
Janji Allah terhadap orang beriman
Menurut keyakinan ajaran Islam, Allah akan melimpahkan rahmat-Nya dari
langit dengan menurunkan hujan dan menimbulkan rahmat-Nya dari bumi
dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang buahnya melimpah ruah,
kepada orang yang jujur, lurus dan tidak menyimpang dari kebenaran.
Sebagai contoh dalam ayat:
❑⬧  ❑⬧◆
⧫◆ ◆ ⬧◆❑
▪  ⬧ ⧫
⧫ ◆ ❑⬧  ❑➔
   
 ◆  ⧫
⧫❑➔☺➔⧫ ⧫ ◆
Artinya : Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum)
Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari
Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari
bawah kaki mereka[428]. diantara mereka ada golongan yang
pertengahan[429]. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka. — Al-Ma'idah 2:66
[428] Maksudnya: Allah akan melimpahkan rahmat-Nya dari langit dengan
menurunkan hujan dan menimbulkan rahmat-Nya dari bumi dengan
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang buahnya melimpah ruah.
[429] Maksudnya: orang yang Berlaku jujur dan Lurus dan tidak
menyimpang dari kebenaran.
Hubungan Al-Qur'an dengan kitab terdahulu
Semua muslim meyakini bahwa adanya wahyu progresif, bahwa wahyu
Tuhan berkembang dengan seiring berjalannya waktu dan perbedaan
kelompok dari masyarakat. Didalam Al-Qur'an membenarkan tentang adanya
larangan bekerja di hari Sabbath dalam Taurat, tetapi Al-Qur'an
membolehkan bekerja dan mengesampingkan hal tersebut.
Pada awal tahun kenabian Muhammad, sebuah wahyu diberitakan
kepadanya:
⬧ ⧫ ⧫ ➔
❑☺➔   ◼⧫
⧫◆ ◆ ⬧◆❑
  ◼▪  ⬧ ⧫
Artinya : "Katakanlah: Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama
sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-
Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu... — Al-Ma'idah 5:68

133
Kalimat ini diyakini oleh pemeluk agama Islam bahwa konversi agama lama
menjadi agama Islam akan dimulai dengan segala ketulusan hati mengikuti
firman dari kita-kitab suci sebelum A- Qur'an.
1. Al Furqaan ialah kitab-kitab terdahulu yang membedakan antara yang
benar dan yang salah.
2. Rasulullah bersabda, ”Shuhuf Ibrahim turun pada awal malam pertama
bulan Ramadan, dan Taurat turun pada hari keenam bulan Ramadan dan Injil
pada hari ketiga belas dari Ramadan.” (Hadits riwayat Imam Ahmad).

1. Fungsi Iman Kepada Kitab-Kitab Allah Swt.

Fungsi iman kepada Kitab-kitab Allah Swt adalah sebagai petunjuk hidup.
Manusia hidup di dunia memerlukan petunjuk agar hidupnya terarah.
Petunjuk yang diperlukan harus mempunyai kualitas yang tinggi melebihi
petunjuk yang dapat membimbing manusia kearah tujuan hidup hanyalah
kitab suci yang telah diwahyukan Allah Swt kepada para rasul-Nya.
Di dalam Surat Az-Zirat ayat 56 ditegaskan bahwa jin dan manusia
diciptakan oleh Allah Swt tidak lain hanyalah agar menghambakan diri
kepada-Nya.
▪◆  →◼ ⧫◆
➔◆ 
Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
Sementara itu, di dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 dinyatakan oleh Allah Swt
bahwa manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di dunia dalam rangka
menghambakan diri kepada-Nya.
Kehidupan manusia di bumi tidak lepas dari permasalahan yang sulit
dipecahkan. Permasalahan hidup kian bertambah banyak sehingga manusia
sering lupa dari tugas hidupnya sebagai hamba Allah Swt. Yang harus selalu
menghambakan diri kepada-Nya.
2. Perilaku orang yang beriman kepada Kitab-kitab Allah Swt.
Perilaku orang yang beriman kepada kitab-kitab Allah Swt adalah sebagai
berikut
1. Memiliki rasa hormat dan menghargai kitab suci sebagai kitab yang
memiliki kedudukan di atas segala kitab yang lain.
2. Berusaha menjaga kesucian kitab suci dan membelanya apabila ada pihak
lain yang meremehkannya.
3. Mau mempelajari dengan sungguh-sungguh petunjuk yang ada di dalam,
baik dengan membaca sendiri maupun menhadiri majlis taklim.
4. Berusaha untuk mengamalkan petunjuk-petunjuknya sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki

134
5. Berusaha untuk menyebarluaskan petunjuk-petunjuknya kepada orang
lain, baik di lingkungan keluarga sendirimaupun masyarakat
6. Berusaha untuk memperbaiki bacaannya dengan mempelajari ilmu tajwid.
7. Tunduk kepada hukum yang ada di dalam kitab suci dalam
menyelesaikan suatu permasalahan.
B. Cara beriman kepada Kitab-Kitab Allah
Beriman kepada kitab-kitab Allah ada dua cara, yaitu :
1. Beriman kepada kitab-kitab sebelum Al-Qur’an
2. Meyakini bahwa kitab-kitab itu benar-benar wahyu Allah, bukan
karangan para rasul
3. Meyakini kebenaran isinya
4. Beriman kepada Al-Qur’an
5. Meyakini bahwa Al-Qur’an itu benar-benar wahyu Allah bukan karangan
Nabi Muhammad Saw
6. Meyakini bahwa isi Al-Qur’an dijamin kebenarannya, tanpa ada keraguan
sedikitpun
7. Mempelajari, memahami, dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an
8. Mengamalkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan cara beriman kepada kitab-kitab Allah selain Al-Qur’an dan


kepada Al-Qur’an sendiri disebabkan :
1. Masa berlakunya kitab-kitab sebelum Al-Qur’an sudah selesai
2. Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an terlalu terbatas pada satu umat saja
3. Kandungan pokok dari kitab-kitab sebelum Al-Quran telah termuat dalam
Al-Qur’an

PERTEMUAN KE XI
KONSEP IMAN KEPADA NABI DAN RASUL-RASUL ALLAH SERTA
HIKMAHNYA

Iman kepada rasul berarti meyakini bahwa rasul itu benar benar utusan Allah
SWT yang di tugaskan untuk membimbing umatnya ke jalan yang benar agar
selamat di dunia dan akhirat.
Definisi Nabi dan Rasul

Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba. Dinamakan Nabi karena
mereka adalah orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah
orang yang diberitahu beritanya (lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara
bahasa berasal dari kata irsal yang bermakna membimbing atau memberi
arahan. Definisi secara syar’i yang masyhur, nabi adalah orang yang
mendapatkan wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan
sedangkan Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dalam syari’at dan
diperintahkan untuk menyampaikannnya.
135
Sebagian ulama menyatakan bahwa definisi ini memiliki kelemahan, karena
tidaklah wahyu disampaikan Allah ke bumi kecuali untuk disampaikan, dan
jika Nabi tidak menyampaikan maka termasuk menyembunyikan wahyu
Allah. Kelemahan lain dari definisi ini ditunjukkan dalam hadits dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ditampakkan kepadaku umat-umat, aku
melihat seorang nabi dengan sekelompok orang banyak, dan nabi bersama
satu dua orang dan nabi tidak bersama seorang pun.” (HR. Bukhori dan
Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi juga menyampaikan wahyu kepada


umatnya. Ulama lain menyatakan bahwa ketika Nabi tidak diperintahkan
untuk menyampaikan wahyu bukan berarti Nabi tidak boleh menyampaikan
wahyu. Wallahu’alam.
. Firman Allah SWT
 ⧫◆
 ⧫✓☺
⧫◆
☺⬧  ◆
⬧ ◼◆ ⧫◆
◆ ◼⧫ ❑
 ⧫❑⧫⧫⬧ ➔
Artinya : Dan tidaklah Kami mengutus Para Rasul itu melainkan untuk
memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang
beriman dan Mengadakan perbaikan[474], Maka tak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. . QS. Al An’am 6 : 48)
[474] Mengadakan perbaikan berarti melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk
menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

Rasul dalam ajaran Islam


Rasul (bahasa Arab: ‫ رسول‬Rasūl; Plural ‫ رسل‬Rusul) adalah seseorang yang
mendapat wahyu dari Allah dengan suatu syari'at dan ia diperintahkan untuk
menyampaikannya dan mengamalkannya. Setiap rasul pasti seorang nabi,
namun tidak setiap nabi itu seorang rasul, dengan demikian, jumlah nabi jauh
lebih banyak dibanding jumlah rasul.
Menurut syariat Islam jumlah rasul ada 312,[1] sesuai dengan hadits yang
telah disebutkan oleh Muhammad, yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi.
Menurut Al-Qur'an Allah telah mengirimkan banyak nabi kepada umat
manusia. Seorang rasul memiliki tingkatan lebih tinggi karena menjadi
pimpinan ummat, sementara nabi tidak harus menjadi pimpinan. Di antara
136
rasul yang memiliki julukanUlul Azmi adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan
Muhammad.[2] Mereka dikatakan memiliki tingkatan tertinggi di kalangan
rasul. Rasul yang terbanyak diutus oleh Allah adalah kepada Bani Israel,
berawal dari Musa, berakhir pada Isa, dan di antara keduanya terdapat seribu
nabi.
Rasul dalam al-Qur'an dan hadits
Dari Al-Quran dan hadits disebutkan beberapa nama nabi sekaligus rasul,
di antaranya yaitu:
• Syits diutus untuk memimpin anak cucu Adam dan bani Qabil.[3]
• Idris diutus untuk bani Qabil[4] di Babul, Iraq dan Memphis dan bani
Syits di Abu Qubays hingga Mesir.
• Nuh diutus untuk bani Rasib di wilayah Selatan Iraq.
• Hud diutus untuk ʿĀd yang tinggal di Al-Ahqaf, Yaman.
• Shaleh diutus untuk kaum Tsamūd di Semenanjung Arab.
• Ibrahim diutus untuk bangsa Kaldeā di Kaldaniyyun Ur, Iraq.
• Luth diutus untuk negeri Sadūm dan Amūrah di Syam, Palestina.
• Isma'il diutus untuk untuk penduduk Al-Amaliq, bani Jurhum dan
qabilah Yaman, Mekkah.
• Ishaq diutus untuk Kanʻān di wilayah Al-Khalil, Palestina.
• Yaqub diutus untuk Kanʻān di Syam.
• Yusuf diutus untuk Hyksos dan Kanʻān di Mesir.
• Ayyub diutus untuk bani Israel dan bangsa Amoria (Aramin) di Horan,
Syria.
• Syu'aib diutus untuk kaum Rass, negeri Madyan dan Aykah.
• Musa dan Harun diutus untuk bangsa Mesir Kuno dan Bani Israel di
Mesir.
• Zulkifli diutus untuk bangsa Amoria di Damaskus.
• Yunus diutus untuk bangsa Assyria di Ninawa, Iraq.
• Ilyas diutus untuk Funisia dan bani Israel, di Ba'labak Syam.
• Ilyasa diutus untuk bani Israel dan kaum Amoria di Panyas, Syam.
• Daud diutus untuk bani Israel di Palestina.
• Sulaiman diutus untuk bani Israel di Palestina.
• Zakaria diutus untuk bani Israil di Palestina.
• Yahya diutus untuk bani Israil di Palestina.
• Isa diutus untuk bani Israil di Palestina.

137
• Muhammad seorang nabi dan rasul terakhir yang diutus di Jazirah
Arab untuk seluruh umat manusia dan jin.[5][6]
Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang siapa nabi sekaligus rasul
pertama kali diutus kepada suatu kaum. Sebagian berargumen dengan dalil
Al-Qur'an dan hadits bahwa nabi sekaligus rasul pertama adalah
Nuh, sedangkan pendapat lain mengatakan nabi dan rasul pertama adalah
Syits.
Adam yang diutus sebelumnya hanyalah bertaraf sebagai nabi, dan tidak
memiliki kewajiban untuk menyebarkan risalah yang mereka yakini.
Sedangkan Khaḍr adalah seorang nabi yang dianggap misterius, tidak
diketahui lebih lanjut untuk kaum apa dia diutus.
Perbedaan nabi dan rasul
Berikut ini adalah perbedaan nabi dan rasul:
• Jenjang kerasulan lebih tinggi daripada jenjang kenabian.
• Rasul diutus kepada kaum yang kafir, sedangkan nabi diutus kepada kaum
yang telah beriman.
• Syari’at para rasul berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau dengan
kata lain bahwa para rasul diutus dengan membawa syari’at baru.
• Nabi yang pertama adalah Adam dan rasul pertama adalah Nuh.
• Seluruh rasul yang diutus, Allah selamatkan dari percobaan pembunuhan
yang dilancarkan oleh kaumnya. Adapun nabi, ada di antara mereka yang
berhasil dibunuh oleh kaumnya.
Kriteria nabi dan rasul
Dikatakan bahwa nabi dan rasul memiliki beberapa kriteria yang harus
dipenuhi, di antaranya adalah:
• Dipilih dan diangkat oleh Allah.
• Mendapat mandat (wahyu) dari Allah.
• Bersifat cerdas.
• Dari umat bani Adam (manusia).
• Nabi dan rasul adalah seorang pria. dalam Al-Qur'an ,Surat Al- Anbiya : 7
◼⬧ ◆ ⧫◆ •
 ⬧ ❑  
  ❑➔⧫⬧
 ❑☺◼➔⬧   

138
Artinya : Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad),
melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui.
Sifat Sifat Rasul.
Seluruh rasul mempunyai sifat yang sangat terpuji dan terhindar dari sifat-sifat
tercela.
Sifat wajib ada 4 antara lain :
1. Sidiq : berkata benar
2. Amanah : dapat dipercaya
3. Tabligh : menyampaikan
4. Fathonah : cerdik,pandai
Sedang sifat mustahil bagi rasul yaitu :
1. Kizib : berkata bohong
2. Khianah : tidak dapat dipercaya
3. Kitman : menyembunyikan
4. Baladah : bodoh

C. Dalil –dalil Tentang Iman kepada Rasul Allah SWT


1. Allah mengutus rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan
 
 ⧫
  ◆  ⧫◆
⧫   
Artinya : Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa
kebenaran[1255] sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya
seorang pemberi peringatan. ”(Fathir : 24)
[1255] Yang dimaksud dengan kebenaran di sini ialah agama tauhid dan
hukum-hukumnya.
2. Allah mengutus rasul sebagai suri tauladan
 ⬧ ⧫ ⬧
◆❑  ❑◆
⧫ ☺ ◆
 ❑⧫
⧫ ⧫❑◆◆
  ⧫⬧◆
Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.. (Al-Ahzab: 21 )
139
d) Allah mengutus seorang rasul kepada setiap umat
    ◆ 
⧫ 
Artinya : “Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang
pemberi peringatan.” (Fathir : 24 )

D. Rasul Ulul Azmi


Rasul ulul azmi adalah utusan Allah yang memiliki kesabaran dan ketabahan
yang luar biasa dalam menyampaikan risalah kepada umatnya.
Diantaran 25 nabi dan rasul, ada rasul yang di beri gelar ulul azmi, yaitu :
1. Nabi Nuh As, mujizat buat perahu
2. Nabi Ibrahim As, tahan api, OLEH NABRUD
3. Nabi Musa As, tongkat MEMBELAH LAUT, firaun
4. Nabi Isa As, menyembuhkan penyakitmembangkitkan yang mati
5. Nabi Muhammad SAW,qur’an dan membelah bulan,keluar air jari2
E. Fungsi Iman Kepada Rasul Allah SWT
1. Bertambah iman kepada Allah SWT dengan mengetahui bahwa rasul
benar-benar manusia pilihan Allah
2. Mau mengamalkan apa yang disampaikan para rasul
3. Mempercayai tugas-tugas yang dibawanya untuk disampaikan kepada
umatnya
4. Lebih mencintai dan menghormati rasul atas perjuangannya
5. Memperoleh teladan yang baik untuk menjalani hidup
. Kalau kita sudah mengklaim bahwa kita seorang yang beriman kepada rasul,
maka perkataan dan perbuatan kita pun juga harus mencerminkan keimanan
kepada Rasul Allah swt. Salah satu bukti bahwa kita beriman kepada rasul
adalah dengan:

1. Bertakwa dan bertauhid kepada Allah, dengan keimanan yang kokoh


Kalau seseorang beriman kepada Rasul, maka ia pasti dia seorang yang
beriman dengan keimanan yang kokoh. Karena setiap rasul mengajarkan
ketauhidan, menyembah hanya kepada Allah dengan ketakwaan yang tinggi.

 ❑◆  ◆⬧


 ⬧ ⧫   
⧫❑→⬧ ⬧  ◼ ⬧

Artinya : Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka
sendiri (yang berkata): Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak
ada Ilah selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-
Nya)? (Al Quran Surat Al Mukminun: 32)
140
2. Taat beribadah kepada Allah swt.
Orang yang beriman kepada Rasul Allah semestinya ia adalah seorang ahli
ibadah. Karena memang manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah
swt. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Adz Zariat: 56.
 →◼ ⧫◆
 ▪◆
 ➔◆
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah pada-Ku.

e) Meneladani dalam kehidupan sehari-hari.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang mulia pilihan Allah yang memiliki
akhlak yang agung. Akhlak yang agung itu patut kita teladani dalam
kehidupan kita sehari-hari. Contohnya kegigihan Nabi Nuh, keberanian Nabi
Ibrahim, kesabaran Nabi Ayub, ketundukan Nabi Ismail, keuletan,
kepahlawanan, kesabaran Nabi Muhammad saw, dan sebagainya harus kita
teladani dalam kehidupan kita sehari-hari.

4. Mengikuti dan mematuhi serta melaksanakan perintahnya dan


meninggalkan larangannya
Sangat tidak patut bagi seorang yang mengaku beriman kepada rasul tapi
perbuatannya bertentangan dengan yang diajarkan oleh rasul. Sebagaimana
firman Allah:
⬧◆ ⧫◆
◼⬧ ❑▪
⧫ ⧫ ⧫◆
❑⧫⬧
Artinya:: Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa
yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. (Al Quran Surat Al Hasyr: 7).

5. Menghindarkan diri dari ajaran atau paham sesat terkait nabi dan rasul
Sejak wafatnya Rasulullah telah muncul paham dan aliran sesat mengenai
nabi dan rasul. Terhadap ajaran dan paham yang menyimpang seperti ini kita
harus menghindarinya. Kepercayaan kita akan adanya nabi atau rasul baru
141
setelah wafatnya Rasululllah Muhammad saw penutup para nabi dan rasul,
itu akan membawa pada kekafiran.
Contoh paham atau aliran sesat berkaitan dengan nabi dan rasul adalah:

1. Lia Eden di Banten, yang mengaku titisan jibril.


2. Ahmad Musadeq di Bogor yang mengaku mendapat wahyu di Gunung
Salak.
3. Isa Bugis yang membawa syariat baru di Sulawesi
4. Ahmadiyah, yang meyakini Nabi Ahmad Ghulam Mirza sebagai nabi baru
dengan kitab Tadzkirah

F. Hikmah Beriman kepada Rasul Allah

Beriman kepada rasul Allah mempunyai fungsi yang sangat penting bagi
kehidupan kita. Beberapa fungsi beriman kepada rasul Allah, antara lain:
1. Mendapat rahmat Allah
2. Sebagai perantara mengenal Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.
3. Mengajarkan kepada manusia agar dalam hidup dapat selamat dan
sejahtera baik di dunia maupun di akhirat
4. Memberikan petunjuk dan suri teladan sehingga akan mudah diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
5. Memberi bimbingan kepada manusia agar menjadi manusia yang bertakwa
kepada Allah swt.
6. Kita dapat membedakan antara yang benar dan yang salah (buruk).
7. Sebagai prioritas untuk mencapai kebenaran yang hakiki karena mendapat
petunjuk dari Allah dan menjadi tahu tentang hakikat dirinya sendiri.
Sehingga akan bertambah iman kepada Allah dan juga kepada Rasul Allah.
8. Kita mengetahui adanya kehidupan sesudah mati

Bagaimana Beriman Kepada Nabi dan Rasul ?

Syaikh Muhammad ibn Sholeh Al Utsaimin menyampaikan dalam kitabnya


Syarh Tsalatsatul Ushul, keimanan pada Rasul terkandung empat unsur di
dalamnya [Perlu diperhatikan bahwa penyebutan empat di sini bukan berarti
pembatasan bahwa hanya ada empat unsur dalam keimanan kepada nabi dan
rosul-Nya].
2. Mengimani bahwa Allah benar-benar mengutus para Nabi dan Rasul.
Orang yang mengingkari – walaupun satu Rasul – sama saja mengingkari
seluruh Rasul. Allah ta’ala berfirman :

142
❑ ❑⬧ ⧫
⧫✓☺
Artinya, “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’araa
26:105).
Walaupun kaum Nuh hanya mendustakan nabi Nuh, akan tetapi Allah
menjadikan mereka kaum yang mendustai seluruh Rasul.
3. Mengimani nama-nama Nabi dan Rasul yang kita ketahui dan mengimani
secara global nama-nama Nabi dan Rasul yang tidak ketahui. – akan datang
penjelasannya –
4. Membenarkan berita-berita yang shahih dari para Nabi dan Rasul.
5. Mengamalkan syari’at Nabi dimana Nabi diutus kepada kita. Dan penutup
para nabi adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau
diutus untuk seluruh umat manusia. Sehingga ketika telah datang Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajib bagi ahlu kitab tunduk
dan berserah diri pada Islam Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya,
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(QS. An-Nisa’ [4] :
65)
6. Tugas Para Rasul ‘alaihissalam
Allah mengutus pada setiap umat seorang Rasul. Walaupun penerapan
syari’at dari tiap Rasul berbeda-beda, namun Allah mengutus para Rasul
dengan tugas yang sama. Beberapa diantara tugas tersebut adalah:

2. Menyampaikan risalah Allah ta’ala dan wahyu-Nya.( Q.S.Al-Maidah : 67 )


❑▪ ⧫ 
⬧ ⧫ ⧫ ⧫
 
Artinya: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu..
3. Dakwah kepada manusia untuk mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala
(Q.S.Al-Ikhlas : 1)
   ◆❑➔ ➔
Artinya : Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
4. Memberikan kabar gembira dan memperingatkan manusia dari segala
kejelekan.( Q.S.An-Nisa : 165)
⧫◆ ⧫⧫ 
 ◼⧫  ⧫❑⧫ 
⧫◆   ➔⧫ 
☺ ⧫ 
Artinya : (mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
143
membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
5. Memperbaiki jiwa dan mensucikannya.
6. Meluruskan pemikiran dan aqidah yang menyimpang.
7. Menegakkan hujjah atas manusia.
8. Mengatur umat manusia untuk berkumpul dalam satu aqidah.

Kekhususan Bagi Nabi


• Mendapatkan wahyu.
• Ma’shum (terbebas dari kesalahan).
• Ada pilihan ketika akan meninggal.
• Nabi dikubur ditempat mereka meninggal.
• Jasadnya tidak dimakan bumi.
Kebutuhan manusia pada para Nabi dan Rasul-Nya adalah sangat primer.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan, “Risalah kenabian adalah hal
yang pasti dibutuhkan oleh hamba. Dan hajatnya mereka pada risalah ini di
atas hajat mereka atas segala sesuatu. Risalah adalah ruhnya alam dunia ini,
cahaya dan kehidupan. Lalu bagaimana mau baik alam semesta ini jika tidak
ada ruhnya, tidak ada kehidupannya dan tidak ada cahayanya.”

Tabel perbedaan Nabi dan Rasul

NO ANABI RASUL
1 Tidak diperintahkan kepada Diperintahkan oleh Allah
siapapun untuk menyampaikan untuk menyampaikan
risalah dari Allah risalah
2 Menguatkan / melanjutkan syariat Diutus dengan membawa
dari Rasul sebelumnya syariat baru
3 Diutus kepada kaum yang sudah Diutus kepada kaum yang
tunduk dengan syariat dari rasul menentang
sebelumnya
4 Setiap nabi belum tentu ia seorang Setiap Rasul adalah Nabi
rasul
5 Nabi pertama adalah Adam Rasul pertama adalah Nuh
‘alaihissalam ‘alaihissalam
6 Jumlah Nabi adalah 124 ribu orang Jumlah Rasul adalah 315
orang
7 Nabi itu jauh lebih banyak Rasul jauh lebih sedikit
ketimbang nabi
8 dapun nabi, ada di antara mereka Seluruh rasul yang diutus,
yang berhasil dibunuh oleh Allah selamatkan dari
kaumnya percobaan pembunuhan
yang dilancarkan oleh

144
kaumnya

Dalil Tentang berapa banyak nabi dan rasul


Hadits tentang jumlah Rasul tersebut adalah:
‫ و كانت‬، ‫ كان بينه و بين نوح عشرة قرون‬، ‫كان آدم نبيا مكلما‬
‫الرسل ثالثمائة و خمسة عشر‬
Adam adalah Nabi yang diajak bicara. Antara ia dengan Nuh terdapat 10
abad. Jumlah Rasul adalah 315 orang (H.R Abu Ja’far ar-Rozzaaz dan
selainnya, dishahihkan Syaikh al-Albany dalam Silsilah al-Ahaadiits as-
Shohiihah

Dalam riwayat Abu Umamah, bahwa Abu Dzar bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berapa jumlah persis para nabi.” Beliau
menjawab:
َ‫سة‬ ْ ‫ِمائ َةُ أَلْفٍ َوأَرْ بَعَةٌ َو ِع‬
ُ ُّ‫ش ُرونَ أ َ ْلفًا الر‬
ُ ‫س ُل ِم ْن ذَ ِلكَ ث َ َال‬
َ ‫ث ِمائ َ ٍة َو َخ ْم‬
‫يرا‬
ً ‫غ ِف‬َ ‫عش ََر َجمًّا‬ َ
“Jumlah para nabi 124.000 orang, 315 diantara mereka adalah rasul.
Banyak sekali.” (HR. Ahmad no. 22288 dan sanadnya dinilai shahih oleh al-
Albani dalam al-Misykah).

Dalil Tentang siapa nabi dan rasul pertama

Allah ’Azza wa Jalla menyatakan:

ٍ ُ‫إِنَّا أَوْ َح ْينَا إِلَيْكَ َك َما أَوْ َحيْنَا إِلَى ن‬


‫وح َوالنَّبِيِينَ ِم ْن بَ ْع ِد ِه‬
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang setelahnya”.
(QS. An-Nisa` : 163)

Rasul pertama adalah Nuh ‘alaihissalam, sesuai dengan hadits tentang


syafaat pada hari kiamat, setelah mendatangi Adam, orang-orang mendatangi
Nuh untuk meminta syafaat dengan mengatakan:

ِ ْ‫س ِل إِلَى أ َ ْه ِل ْاْلَر‬


‫ض‬ ُ ُّ‫ح أ َ ْنتَ أَوَّ ُل الر‬
ُ ‫يَا نُو‬
145
Wahai Nuh, engkau adalah Rasul pertama (yang diutus) untuk penduduk
bumi (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Dalam lafadz lain, disebutkan bahwa Nabi Adam sendiri yang menyatakan
bahwa Nuh adalah Rasul pertama:

َ‫س َجد‬ ْ َ ‫اَّللُ ِبيَ ِد ِه َوأ‬


َّ َ‫اس َخلَقَك‬ َ َّ‫فَيَأْتُونَ آدَ َم فَيَقُولُونَ يَا آدَ ُم أ َ َما ت َ َرى الن‬
‫شفَ ْع لَنَا إِلَى َربِنَا َحتَّى ي ُِري َحنَا‬ ْ َ ‫لَكَ َم َالئِ َكتَهُ َوعَلَّ َمكَ أ‬
ْ ‫س َما َء ُك ِل ش َْيءٍ ا‬
‫صابَ َها‬َ َ ‫ْت ُهنَاكَ َويَ ْذ ُك ُر لَ ُه ْم َخ ِطيئَتَهُ الَّتِي أ‬ُ ‫ِم ْن َمكَانِنَا َهذَا فَيَقُو ُل لَس‬
‫ض فَيَأْتُو َن‬ ِ ْ‫اَّللُ إِلَى أ َ ْه ِل ْاْلَر‬
َّ ُ‫َولَ ِك ْن ائْتُوا نُوحًا فَ ِإنَّهُ أَوَّ ُل َرسُو ٍل بَعَثَه‬
‫نُوحًا‬
Maka orang-orang mendatangi Adam dan berkata: Wahai Adam, tidakkah
engkau tahu (bagaimana keadaan manusia). Allah telah menciptakanmu
dengan TanganNya, dan Allah (memerintahkan) Malaikat bersujud
kepadamu dan Allah mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu.
Berilah syafaat kami kepada Rabb kami sehingga kami bisa mendapatkan
keleluasaan dari tempat kami ini. Adam berkata: aku tidak berhak demikian,
kemudian Adam menceritakan kesalahan yang menimpanya. (Adam berkata):
akan tetapi datanglah kepada Nuh, karena ia adalah Rasul pertama yang
Allah utus kepada penduduk bumi. Maka orang-orang kemudian mendatangi
Nuh….(H.R alBukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).
Ini adalah riwayat yang shohih, karena disebutkan dalam Shahih al-Bukhari
dan Muslim.
Sedangkan riwayat Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa Adam adalah Rasul
pertama adalah riwayat yang lemah, karena di dalamnya terdapat perawi yang
bernama: Ibrahim bin Hisyam bin Yahya al-Ghossany yang dinyatakan oleh
Abu Zur’ah sebagai pendusta, Abu Hatim tidak menganggapnya tsiqoh,
sedangkan at-Thobarony menyatakan tsiqoh.

,
PERTEMUAN KE XII
KONSEP BERIMAN KEPADA HARI AKHIR DAN HIKMAHNYA

Pengertian Iman Kepada Hari Akhir


Secara umum iman kepada hari ahir adalah mempercayai dan menyakini
bahwa suatu saat nanti seluruh alam semesta ini akan kehancuran dan
Pengertian menurut bahasa (etimologi) adalah percaya akan datangnya hari
146
akhir/kiamat. Sedangkan menurut istilah (terminologi) adalah mempercayai
dan menyakini akan adanya kehihupan yang kekal dan abadi setelah
kehidupan ini.

Gambaran hari kiamat menurut Al-Qur’an

1.Datangnya hari kiamat ditandai dengan tiupan sang sakala. ( Q.S.An-


Naml : 87 )
  ⧫❑⧫◆
 ⧫ ⧫⬧ ❑
 ⧫◆ ◆❑☺
◆ ⧫  
◼❑⬧ ◆  
⧫
Artinya : Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, Maka terkejutlah
segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang
dikehendaki Allah. dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan
merendahkan diri.

2.Bumi digoncangkan sekuat kuatnya hingga mengeluarkan yang


dikandungnya (QS. Al-Zalzalah:1-6)
 ⬧ ⬧
 ⚫⧫
 ⧫◆
⧫⬧◆  ⬧⬧
 ⚫ ⧫ 
⧫ ⧫❑⧫
  ◆⧫
 ⬧  ◆
 ⧫ ⧫❑⧫
◆ ⧫
 ◼☺
Artinya : 1. Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat),
2. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya,
3. Dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?",
4. Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
5. Karena Sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian
itu) kepadanya.
6. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-
macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan
mereka[1596],

147
[1596] Maksudnya ada di antara mereka yang putih mukanya dan ada pula yang hitam
dan sebagainya.
3.Gunung-gunung berterbangan menjadi pasir (QS. Al- Haqqah : 14)
 ◼❑◆
⧫⬧ ⧫◆
 ◼◆ 
Artinya : Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan
keduanya sekali bentur.
4. Matahari di gulung, bintang-bintang berjatuhan dan laut meluap. (QS.
Al- Infithor : 1 - 3)
☺ ⬧
⬧◆  ⧫⬧
 ◆⬧⧫ ◆❑⬧
⧫➔ ⬧ ⬧◆
1. Apabila langit terbelah,
2. Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,
3. Dan apabila lautan menjadikan meluap,
5.Manusia tidak dapat menolong manusia lainnya, bahkan seorang ayah
terhadap anaknya sendiri. (QS. Lukman : 33)
6. Hari akhir disebut juga hari Pembalasan (Qs.Al-Fatihah : 4)
  ❑⧫ ⧫
Artinya :Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula
dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima
pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga
yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.

9. Hari akhir disebut juga hari penghabisan (QS.Al-baqoroh : 177)

 ▪ ▪ 


⧫ ❑ ❑◆❑➔
☺◆ ☺
⧫◆ ⧫ ▪ ⬧◆
❑◆◆ 
◼☺◆ 
⧫◆
⧫◆◆ ◆
⬧  ◼⧫ ⧫☺
☺⧫◆◆ ◼→
⧫◆ ⧫✓☺◆
148

◆ ⧫◆
◆⬧◆ ⬧
⧫◆◆ ◼❑◼
❑➔❑☺◆ ◼❑
⧫ ⬧ ➔
 ⧫◆ 
⧫
⧫✓◼◆ ▪➢◆
⬧  ⧫
 ❑➔ ⧫
➔ ⬧◆
 ⧫❑→☺
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

9. Hari akhir disebut penegakan hukum Allah yang seadil-adilnya (QS.Al-


Mumtahanah : 60). dijelaskan dalam Q.surat Al-Lukman : 33 yang berbunyi
:
 ⧫
◆ ❑→
⬧  ❑⧫ ❑⧫◆
◆ ◼⬧◆ ⧫ ◆
⧫  ◆❑➔ ❑❑⧫
   ◼◆
⬧    ◆
❑◆⬧ →▪⬧
→▪⧫ ◆ ◆
 ⧫ 
Artinya : . Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu
hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan
149
seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.
Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali
kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan)
memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.
Hadits tentang hari akhir yang diriwatkan oleh Abu Hurairah Allah tabaraka
Wa ta’ala menggenggam bumi pada hari kiamat dan Allah melipat langit
dengan tangan kanan-Nya. kemudian Allah berkata, Aku lah Sang raja,
manakah para raja yang dahulu berkuasa di bumi (H4. Bukhari dan Muslim)
Kemuadian Kiamat tidak ada orang yang tau kapan datangnya (Q.S. Al-
Araf : 187)
⧫ ⧫ ⧫❑➔⧫
➔   ⧫
◼◆   ☺
☺◆❑   
 ◼→  ◆❑➔ 
  ◆ ◆❑☺
 ⧫⧫  ⬧
 ⧫❑➔⧫
☺ ➔  ⧫ 
⬧◆   ☺
  ◆⬧
 ⧫❑☺◼➔⧫
Artinya : .Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah
terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu
adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu
melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu
benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan
tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak
Mengetahui".
10. Kiamat pasti terjadi firman Allah : (Q.S.Adz-Dzariyyat : 5-6) berbunyi :
⬧ ⧫⧫❑➔ 
⧫ ◆ 
 ◆❑⬧
Artinya : 5. Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar.
6. Dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.

11. Kiamat seluruh alam dihancurkan (Q.S. Al-Qariah : 1 – 5)

150
⧫  ➔⧫⬧
⧫◆  ➔⧫⬧
➔⧫⬧ ⧫ ◆
 ❑⧫ ⧫❑⧫ 
❑➔☺ ⧫
⧫ ❑⬧◆ 
❑→☺ ➔

Artinya :
1. Hari kiamat,
2. Apakah hari kiamat itu?
3. Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
5. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
garis besarnya, mulai dari adanya siksa dan nikmat kubur, hari kebangkitan,
berkumpul dipadang mahsyar, penghitungan semua amal, pembalasan,
pembagian kitab, timbangan, telaga, melewati shirat, surga dan neraka.

D.Peristiwa yang berhubungan dengan Hari Akhir


1.Yaumul Barzah (Alam Kubur), Masa atau waktu antara sesudah
meninggal nya seseorang sampai menunggu datangnya hari kiamat. (Q.S.Al
Khafi ayat 99 )
➔⧫ ◆⧫⬧◆ 
 ➔⧫  ⚫❑☺⧫ ⧫❑⧫
❑  ◆
➔⬧ ◆➔☺
Artinya :. Kami biarkan mereka di hari itu[893] bercampur aduk antara
satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi[894] sangkakala, lalu Kami
kumpulkan mereka itu semuanya,
[893] Maksudnya: di hari kehancuran dunia yang dijanjikan oleh Allah.[894] Maksudnya:
tiupan yang kedua Yaitu tiupan sebagai tanda kebangkitan dari kubur dan pengumpulan ke
padang Mahsyar, sedang tiupan yang pertama ialah tiupan kehancuran alam ini
.
2.Yaumul Baats, Masa dibangkitkannya manusia dari alam kubur mulai
dari manusia pertama sampai manusia terakhir ( Q.S. Al Zalazalah ayat 6 )
 ⧫ ⧫❑⧫
◆ ⧫
 ◼☺
Artinya : Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan
bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan)
pekerjaan mereka[1596],
[1596] Maksudnya ada di antara mereka yang putih mukanya dan ada pula yang hitam dan
sebagainya.
151
3.Yaumul Mahsyar : Masa dikumpulkannya manusia dipadang mahsyar
untuk dihisab / diperhitungkan amal kebaikan dan keburukanya. (Q.S.
Ibrahim : 48)
◆  ⧫➔ ⧫❑⧫
 ◆❑☺◆ 
◼◆❑  ⧫⧫◆
 ⬧
Artinya : (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain
dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar)
berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.

4.Yaumul Hisab/ Mizan : Masa diperhitungkan / ditimbang amal kebaikan


dan keburukan manusia“ ( Q.S. Yasin : 65)
◼⧫  ⧫❑◆
◆☺⬧➔◆ ◆❑
⬧◆ 
❑ ☺ ➔
 ⧫❑⧫
Artinya : Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada
Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa
yang dahulu mereka usahakan.

5.Syirot : Jembatan / jalan yang menghubungkan / mengantarkan manusia


kesurga atau neraka.

6.Surga : Tempat balasan bagi orang yang beriman kepada Allah


SWT..(Q.S. Al Hajj : 23 )
   
❑➔☺⧫◆ ❑⧫◆
  ⬧
 ⧫ 
  ❑⧫
⬧  ◆
⧫◆  ⬧⬧◆
 
Artinya : Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai. di surga itu mereka diberi perhiasan dengan
gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.
7.Neraka : Tempat balasan bagi orang yang ingkar kepada Allah SWT.“
(Q.S.Az Zumar : 32 )
152
◼⧫  ☺ ◼ ☺⬧
 ◆ 
 ▪⬧  ◼◆ 
❑⧫ 
 ⧫⬧
Artinya : Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-
buat Dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang
kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi
orang-orang yang kafir?

Hikmah adanya hari akhir yang bisa kita dapat. Seperti :


1. Meningkatkan Iman dan Taqwa
Kita ingat akan hari akhir, pasti dating, tapi entah kapan datangnya. Dengan
kepercayaan ini dapat membuat seseorang hidupnya lebih teratur dan
berusaha menjauhi dosa. (Q.S.Al-Mu’min : 59)
 ◆ ⬧⧫ 
◆⬧ ⬧◆  ◆
 ❑⬧  
Artinya : Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan
tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.
2. Menjauhi Pola Hidup Orang Kafir
Allah SWT memperingatkan kita untuk tidak mengikuti gaya hidup orang
kafir seperti mabuk-mabukan, maksiat dan sebagainya. Mereka tidak berfikir
bagaimana jadinya mereka akan disiksa saat di akhirat kelak
3. Mendorong Manusia untuk Semangat
Di akhirat kelak, kita akan membawa amal baik maupun buruk kita. Dengan
beriman kepada hari akhir kita akan mendapat hikmah dan bersemangat
mengerjakan amal baik sebanyak-banyaknya
4. Berkeinginan Berjihad di Jalan Allah dengan Jiwa dan Harta
Kematian itu pasti, dengan beriman kepada hari akhir mendorong manusia
untuk berjihad atau contoh kecilnya kita sebagai pelajar belajar dengan keras
walau harta kita banyak yang sudah keluar
5. Memperjelas Tujuan Hidup
"Kita hidup untuk apa sih?" Kalimat seperti itu pasti pernah terfikirkan,
semua hal yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Hidup itu cuman sekali, kita harus berusaha dengan baik untuk apa yang kita
perjuangkan namun dalam jalan Allah yang benar
6. Sabar Saat Ditimpa Musibah
Saat kita sudah beriman kepada hari akhir, ia akan berusaha untuk tetap sabar
dan percaya bahwa Allah akan membantunya
Dan gambaran globalnya dari itu semua, yaitu:
1. Kewajiban muslim, menyakini, bahwa didalam kubur itu ada
nikmat dan siksa bagi penghuninya.
153
Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits, yang
diriwayatkan dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan: "Bahwa
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Sesungguhnya kubur itu tak ubahnya, bagaikan taman dari taman-taman
surga atau lubang dari lubang-lubang neraka".
Adapun hadits diatas, walaupun di katakan lemah oleh para Ulama, akan
tetapi maknanya shahih, hal itu sebagaimana yang telah di tunjukan oleh al-
Qur'an serta hadits shahih lainnya dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Dan cukup satu saja sebagai bukti akan keabsahan pernyataan diatas, yaitu
firman Allah Ta'ala:
⧫ ⧫  ⬧◆❑⬧
⧫ ⬧⧫◼◆  ⧫
➔ ❑ ⧫❑⧫
❑→⧫➔  
 ⧫◆  ◼⧫
➔⧫ ❑→⬧ ⧫❑⧫◆
❑⧫ ⧫◆ ❑➔
 ➔ 
Artinya : Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan
Fir'aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang Amat buruk. Kepada
mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya
kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya
ke dalam azab yang sangat keras". (QS Al-Mu’min: 45-46).
2. Nabi Saw. sebagai teladan kita, berlindung kepada Allah dari adzab
kubur.
Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa
pernah pada suatu hari ada seorang wanita Yahudi berkunjung kerumahnya,
kemudian disela-sela pembicaraanya, wanita tersebut menyebut masalah
adzab kubur. Maka Aisyah mengatakan padanya semoga Allah
melindungimu dari adzab kubur, adzab kubur itu ada'.
Artinya : Aisyah mengatakan: "Tidak pernah saya melihat Rasulallah
Shalallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan sebuah sholat melainkan pasti
meminta perlindungan kepada Allah dari adzab kubur".
Seperti yang ditegaskan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh
umatnya agar mereka berlindung dari adzab kubur.
3. Adanya orang yang mendapat adzab kubur.
Dalam sebuah hadits yang shahih dari Rasulallah, mengabarkan kepada
kita beberapa orang yang akan mendapat adzab kubur, diantaranya;
Haditsnya Abu Ayub Radhiyallahu 'anhu. Diriwayatkan darinya, di mana
beliau menceritakan:
Artinya: "Pada suatu hari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar
tatkala matahari hampir tenggelam, lalu beliau mendengar ada suara, maka

154
beliau bersabda: '(Itu adalah suaranya) orang Yahudi yang sedang diadzab
di dalam kuburnya".
Dalam hadits yang lain, dijelaskan dari sahabat Abdullah bin Abbas
radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan; 'Bahwasannya Nabi Shalallahu 'alaihi
wa sallam pernah melewati dua kuburan yang penghuninya sedang diadzab,
maka beliau bersabda:
"Seunggguhnya kedua penghuni kubur ini sedang diadzab, tidaklah mereka
diadzab dalam permasalahan yang besar. Adapun yang pertama, dia diadzab
karena dirinya tidak menutup aurat ketika sedang kencing. Sedangkan yang
satunya lagi, maka dia diadzab karena senang mengadu domba". Kemudian
beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah, lalu membelah menjadi
dua, dan meletakkan diatas tiap kubur tadi. Maka para Sahabat merasa
heran dengan tindakan Rasulallah, sehingga mereka bertanya: "Ya
Rasulallah, kenapa engkau lakukan ini? Semoga Allah meringankan
adzabnya selagi pelepah kurma ini belum kering, jawab beliau Shalallahu
'alaihi wa sallam".
Itu beberapa bukti adanya siksa kubur bagi penghuninya. Sedangkan
diantara nikmat kubur yang akan diperoleh adalah, seperti yang telah datang
penjelasannya dalam haditsnya Abu Darda radhiyallahu 'anhu. Yang isinya
menyatakan bahwa tidak ada seorang manusiapun, tanpa terkecuali, baik laki
maupun perempuan, ketika mereka meninggal dunia, kemudian dikubur
melainkan ruhnya akan langsung dikembalikan kedalam jasadnya, begitu
selesai acara pemakaman.
Lalu datanglah dua orang malaikat, yang kemudian keduanya
mendudukannya dan menanyakan padanya empat pertanyaan:
Pertanyaan pertama : Siapa Rabbmu?.
Kedua : Apa agamamu?.
Ketiga : Siapa Nabimu?
Keempat : Dari mana kamu memperoleh jawaban pertanyaan-pertanyaan
diatas.
Jika seandainya dia mampu menjawab keempat pertanyaan tersebut,
maka Allah Ta'ala dengan cepat segera memberitahu tentang keberhasilan
dalam ujian yang baru saja dikerjakannya. Setelah itu, Allah Ta'ala menyuruh
para malaikat agar memberikan padanya enam hadiah sekaligus, sedang dia
masih berada di dalam kuburnya. Enam hadiah tersebut yaitu:
Pertama : Kasur dari surga.
Kedua : Pakaian dari surga.
Ketiga : Dibukakan baginya pintu menuju surga, sehingga bau surga
datang mengalir semerbak kedalam kuburnya, lalu di perlihatkan padanya
keindahan surga dan para penduduknya serta segala macam isi yang ada di
dalamnya.
Keempat : Berita gembira, kalau dirinya telah mengantongi tiket masuk
surga serta termasuk sebagai calon tetap penghuni surga sedangkan ia masih
di dalam kuburnya.
155
Kelima : Diluaskan kuburnya sejauh mata memandang.
Keenam : Kuburnya diterangi dengan cahaya yang terang benderang.
Untuk lebih jelaskan simaklah hadits berikut ini. Dari Baraa' bin Azib
radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shalallahu 'alaih wa sallam pernah
menyebutkan seorang hamba yang beriman apabila telah dipendam didalam
kuburnya, beliau menceritakan:
Artinya : "Maka ruh orang tersebut dikembalikan kedalam jasadnya, lalu
datanglah dua malaikat, kemudian keduanya mendudukannya, dan bertanya:
Siapa Rabbmu? Ia menjawab; 'Rabbku adalah Allah'. Keduanya bertanya
lagi; 'Apa agamamu? Agamaku Islam, jawabnya. Siapa orang ini yang telah
diutus ditengah-tengah kalian? Dia adalah Rasulallah. Apa dasarmu? Saya
membaca di al-Qur'an maka saya beriman dengannya dan membenarkannya.
Setelah selesai, dan dia mampu menjawab semua pertanyaan tadi, maka
terdengar suara dari langit, Sesungguhnya benar apa yang dikatakan oleh
hambaKu, berilah ia kasur dari surga, pakaikan padanya pakaian dari
surga, lalu bukakan baginya pintu menuju surga.
Kemudian datanglah bau surga serta keindahannya, dan diluaskan kuburnya
sejauh mata memandang. Lalu datanglah seorang laki-laki yang bagus
rupanya, berpakaian indah dan berbau wangi dan mengatakan padanya;
'Kabar gembira dengan segala yang menyenangkanmu, inilah hari yang
telah dijanjikan padamu. Ia bertanya pada orang tersebut; 'Siapa kamu,
duhai orang yang wajahnya membawa kebaikan?. Saya adalah amal
sholehmu, jawabnya. Lantas ia berdo'a; 'Ya Allah, segera tegakkan hari
kiamat sampai kiranya saya bisa kembali pada keluarga dan hartaku".
Sedangkan adanya adzab kubur, maka hal ini telah dijelaskan dalam
haditsnya Abu Darda radhiyallahu 'anhu, dikatakan bahwasannya tidaklah
seorangpun baik kafir maupun munafik, laki maupun perempuan yang
meninggal dunia, kemudian di pendam didalam kuburnya melainkan pasti
akan dikembalikan ruh kedalam tubuhnya, langsung setelah selesai acara
pemakamannya.
Lalu datanglah di dalam kuburnya dua malaikat, lantas keduanya
mendudukannya dan bertanya sama seperti pertanyaan-pertanyaan diatas.
Namun apabila dirinya tidak mampu menjawab dari pertanyaan tersebut,
maka Allah Ta'ala segera memberitahu tentang kegagalannya, dan
memerintahkan agar ia diberi empat hal. Tahukah kalian apa empat hal
tersebut? yaitu:
Pertama : Pakaian dari neraka.
Kedua : Dibukakan pintu dari kuburnya menuju neraka, sehingga panas
dan hawa neraka masuk ke dalam kuburnya.
Ketiga : Dipersempit kuburnya, sampai-sampai meremuk seluruh tulang-
belualngnya.
Keempat : Kabar buruk sedangkan ia didalam kuburnya, baginya setempel
calon penduduk neraka.

156
Hal itu sebagaimana yang tercantum di dalam haditsnya Baraa' bin
Azib radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan: "Bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi
wa sallam pernah bersabda tentang orang kafir apabila telah dipendam dalam
kuburnya. Beliau bersabda:
"Lalu setelah itu, ruhnya di kembalikan kedalam tubuhnya. Datanglah dua
malaikat, lantas mendudukkannya, dan bertanya: "Siapa Rabbmu? Dia
menjawab: "Hah..hah saya tidak tahu". Keduanya bertanya lagi: "Apa
agamamu? Dia masih menjawa: " Hah..hah saya tidak tahu". Siapa laki-laki
ini yang telah diutus diantara kalian? Hah..hah saya tidak tahu, jawabnya.
Maka terdengar suara dari langit, sungguh dusta apa yang ia ucapkan,
berilah dia kasur dari neraka, bukakan untuknya pintu neraka. Lalu
merembaslah hawa, bau dan panasnya neraka kedalam kuburnya. Kuburnya
menjadi sempit sehingga tulang belulangnya menjadi remuk. Dalam keadaan
seperti itu, datanglah seorang laki-laki yang berwajah buruk, pakaiannya
jelek, dan baunya busuk, sembari mengatakan: 'Kabar untukmu yang telah
berbuat buruk, inilah hari yang dulu pernah dijanjikan padamu". Siapa
kamu, wajahmu mendatangkan keburukan? Tanyanya. Sayalah amalan
burukmu, jawab orang tersebut. Maka iapun berdo'a: 'Ya Allah,
tangguhkanlah kiamat itu".
Saudaraku semoga Allah merahmati kalian. Manusia didalam
kegelapan kubur berada diantara dua hal, mendapat nikmat atau adzab. Hal
itu sampai tegak hari kiamat kelak, dan apabila kiamat telah datang maka
Allah Ta'ala mengembalikan ruh mereka kedalam tubuhnya ketika berada
didunia, setelah itu Allah lalu menghidupkan mereka. Sebagaimana yang
tersirat dalam firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
◆❑➔   ⬧
⧫ ◆ ⧫
◼⧫ ◆ ⧫❑◆
⬧  
Artinya : Yang demikian itu, karena Sesungguhnya Allah, Dialah yang haq
dan Sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maksudnya: Allah-lah
Tuhan yang sebenarnya, yang wajib disembah, yang berkuasa dan
sebagainya. (QS al-Hajj: 6).
Dalam hadits disebutkan, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu,
beliau berkata: "Saya pernah mendengar Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
Artinya : "Kemudian Allah menurunkan hujan seperti gerimis atau deras
maka hujan tersebut menumbuhkan jasad manusia".
Inilah beberapa fase perjalanan seorang manusia setelah kematiannya
lalu dikubur hingga ia dibangkitkan dan dikumpulkan oleh Allah Ta'ala
sehingga ia mengetahui, apakah sebagai penghuni surga atau neraka:

157
Apabila Allah telah menghendaki agar manusia hidup kembali, maka
Dia menyuruh bumi menghimpun mereka agar keluar dari dalam
kuburnya.
Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Nya:
 ⧫◆  ◆
☺ ⧫❑→⬧
 ◼ ◆
⧫ ⬧ ▪➔
  ◆❑
⧫❑  ⬧

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi
dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil
dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
Dalam ayat yang lain Allah Azza wa jalla berfirman:
◆ ⧫❑⧫ ☺⧫◆
⬧ ⬧  ☺
⧫❑➔☺ ⧫❑⧫ 
 ⬧ ⬧⬧
⚫➔ ❑⧫ ⬧
❖ ⧫  
◆⬧◆ →☺◆
 ☺
 ⧫◼ ⧫❑⧫
⬧  ◆ ⧫
  ◆◼⧫ 
Artiya; 41. Dan dengarkanlah (seruan) pada hari penyeru (malaikat) menyeru
dari tempat yang dekat.
42. (yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya
Itulah hari ke luar (dari kubur).43. Sesungguhnya Kami menghidupkan dan
mematikan dan hanya kepada Kami-lah tempat kembali (semua makhluk).44.
(yaitu) pada hari bumi terbelah-belah Menampakkan mereka (lalu mereka ke
luar) dengan cepat. yang demikian itu adalah pengumpulan yang mudah bagi
kami.
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah orang pertama yang
bangkit dari kuburnya.
Seperti tercantum dalam hadits shahih, yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan: "Rasulallahu Shalallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda:

158
"Aku adalah penghulu anak cucu Adam, Pada hari kiamat kelak. Aku adalah
orang pertama yang dibangkitkan dari dalam kubur, dan orang pertama
yang meminta syafa'at dan diizinkan memberi syafa'at".
pabila manusia telah bangkit dari dalam kuburnya, maka tiap orang
berdiri disisi kuburnya menunggu perintah selanjutnya untuk
berkumpul di Mahsyar.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firmannya Allah Azza wa jalla:
⧫➔⬧ ❑  ◆
 ⧫◆ ◆❑☺  ⧫
  ◆ ⧫  
⧫   ▪➔
⧫→⧫ ◆ ➔ ⬧⬧

Artinya : Dan ditiuplah sangkakala, Maka matilah siapa yang di langit dan
di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. kemudian ditiup sangkakala
itu sekali lagi Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-
masing). (QS az-Zumar: 68).
Dalam hadits, hal senada juga telah dijelaskan, hal itu sebagaimana
yang dikatakan ole Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu: "Saya pernah
mendengar Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kemudian sangkakala ditiup, maka tidak ada seorangpun yang
mendengarnya melainkan pasti semuanya mati. Setelah itu Allah
menurunkan hujan gerimis atau deras yang menumbuhkan jasad mereka.
Lalu sangkakala ditiup sekali lagi, maka mereka berdiri menunggu (perintah
selanjutnya). Kemudian terdengar suara yang menyeru; 'Wahai manusia
kemarilah kepada Rabb kalian'. Lalu mereka berhenti menunggu,
sesungguhnya mereka semua akan ditanya (tentang amalannya)".
Bila semua orang telah bangkit dari kuburnya, Allah Ta'ala kemudian
menyuruh menggiring dan mengumpulkan mereka disatu tempat, guna
mempertanggang jawabkan amalannya masing-masing tatkala didunia, dan
menerima balasan atas amalannya tersebut, jika baik maka ia memetik yang
baik, dan bila amalannya jelek maka dia juga akan mengunduh hasilnya. Hal
itu, sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan dalam ayatnya:
◆❑➔ ◆ ◆
  ➔→⧫⬧
 ⧫ 
Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang akan menghimpunkan
mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.
(QS al-Hijr: 25).
Dalam ayat yang lain, Allah Ta'ala berfirman:
 ⧫◼ ⧫❑⧫
⬧  ◆ ⧫
159
 ◆◼⧫ 

Artinya: (yaitu) pada hari bumi terbelah-belah Menampakkan mereka (lalu
mereka ke luar) dengan cepat. yang demikian itu adalah pengumpulan yang
mudah bagi kami. (QS Qaaf: 44).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Abu
Hurairah radhiyallah 'anhu, beliau berkata: "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda:
Artinya : "Kelak pada hari kiamat Allah akan mengumpukan seluruh
makhluk, dari generasi pertama sampai yang paling akhir disatu tempat.
Lalu mereka dipanggil, yang memalingkan seluruh pandangan kearahnya.
Kemudian matahari didekatkan pada mereka, sehingga manusia pada saat
itu dalam kesulitan dan kepayahan yang tidak sanggup lagi mereka rasakan".
➔⬧⬧ ▪⧫ 
☺◆  ❑
⧫❑⧫ →◆❑ ❑◆❑➔
 ☺⬧  ☺◆
◆  ⧫
⧫◆  ⬧ ⬧⬧ ⬧
◆ ❑◆
  ⧫⧫ 
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya
Artinya : 185
pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah
beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.

Tanda- tanda hari akhir


Tanda-tanda hari kiamat diterangkan oleh Rasulullah saw dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syibah, Muslim dan Turmudzi. Tanda-tanda
hari kiamat adalah sebagai berikut : 1
1. Tanda-tanda kiamat kecil, antara lain :
a. Hamba sahaya perempuan melahirkan Tuannya
b. Ilmu agama dianggap tidak penting
c. Perzinaan, Minuman keras, Fitnah, Pembuhan meraja rela dimana mana.
d. Jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 50:1
e. Banyak terjadi gempa bumi / Musibah / Bencana Alam
f. Lahirnya Dajjal (tukang dusta) yang mengaku dirinya utusan Allah swt

2. Tanda-tanda kiamat besar , anatara lain :


a. Matahari terbit dari barat
b. Munculnya binatang ajaib yang dapat berbicara
160
c. Rusaknya Ka’bah dengan sendirinya d.Seluruh manusia menjadi kafir
dan lenyapnya Al- Qur’an
e. Berkuasanya Bangsa Ya’juj dan Ma’juj di muka bumi.

PERTEMUAN KE XIII.
KONSEP BERIMAN KEPADA QADA DAN QADAR
Pengertian dan Dalil Qada dan Qadar
Qada' (Bahasa Arab: َ َ‫ق‬,/
‫ضاء‬ qaḍāʾ, : kehendak (Allah)) dan Qadar
(Bahasa Arab: ‫قدر‬, / qadr, : keputusan; takdir) ialah takdir ketuhanan dalam
Islam Percaya kepada qada dan qadar adalah Rukun Iman keenam. yaitu
mempercayai bahawa segala sesuatu yang berlaku adalah ketentuan
Allah semata-mata.
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat
umum dan global, sedangkan qadar adalah bagian-bagian / perincian-
perincian dari ketentuan tersebut" Percakapan biasa "kita hanya
merancang Tuhan yang tentukan". Namun yakini baik dan buruk
dating dari Allah
Iman kepada qada dan qadar termasuk rukun Iman yang ke- enam dan harus
diyakini kebenarannya oleh setiap muslimin dan muslimat. Iman kepada qada
dan qadar dalam kehidupan sehari-hari lebih popular dengan sebutan takdir.
Iman kepada Qada dan Qadar artinya percaya dan yakin bahwasahnya Allah
SWT memiliki kehendak, keputusan dan ketetapan atas semuanya
makhlukNya termasuk segala sesuatu meliputi semua kejadian yang menimpa
seluruh makhluk hidup, termasuk manusia dan benda-benda yang ada di alam
semesta. Firman Allah Q.S. Al-Furqan : 2 yang brbunyi :
→ ⬧ 
◆ ◆❑☺
⬧◆ ⬧◆ ⧫ ⬧◆
   ⧫
→ ⧫◼◆ ☺
⬧ ◼◆⬧⬧ 

Artinya : Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak
mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-
ukurannya dengan serapi-rapinya[1053].

[1053] Maksudnya: segala sesuatu yang dijadikan Tuhan diberi-Nya perlengkapan-


perlengkapan dan persiapan-persiapan, sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya
masing-masing dalam hidup.

161
Kejadian itu bisa berupa hidup atau mati, baik atau buruk, kemunculan atau
kemusnahan. Sedangkan menurut bahasa pengertian qada dan qadar adalah
sebagai berikut :
Dalil Qada dan Qada
1. Arti Qada
⬧ ◆⬧ ◆

Artinya : Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi
petunjuk,
a. Qada berarti hukum atau keputusan ( Q.S. Surat An- Nisa’ ayat 65 )
❑⬧  ◼◆◆ ⬧
☺ ❑☺⬧ 
 ▪➔ ⧫ ⧫
→  ⬧
⬧ ☺ ⧫
☺◼ ❑☺◆

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.

b. Qada berarti mewujudkan atau menjadikan ( Q.S.Surat Fussilat ayat 12 )


◆❑☺  ⬧⬧
 ◆ ✓⧫❑⧫ 
 ⧫ ☺ 
◆☺ ◆
☺ ◆
⬧ ⬧  →◆
➔ ➔

Artinya : Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang
dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi
Maha mengetahui.

c. Qada berarti kehendak ( Q.S. Surat Ali Imron ayat 47 )


 ❑⧫  ◆ ⬧⬧
☺⧫ ⬧◆ ⬧◆
162
  ⧫⬧  
⬧  ⧫ ⧫ ➔⧫
☺⬧  ⬧
❑◆⬧  ⬧ ❑→⧫
Artinya : Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai
anak, Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah
berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu,
Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.

d. Qada berarti perintah ( Q.S. Surat Al- Isra’ ayat 23


 ◆ ⬧◆ 
◼  ➔⬧
⧫◆❑◆
⧫➔⧫   
◆ 
☺➔  ☺➔⧫◼
◆  ☺⚫ →⬧ ⬧
☺ ➔◆ ☺➔⬧
 ☺ ❑⬧
Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia[850].

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Arti Qadar
a. Qadar berarti mengatur sesuatu menurut batas-batasnya ( Q.S. Surat
Fussilat ayat 10 )
 ◆◆  ➔◆
 ⧫⧫◆ ❑⬧
⬧◆❑  ◆⬧◆
 ➔⧫ 
⧫ ◆❑

Artinya Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-
163
makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.

b. Qadar berarti ukuran ( Q.S. Surat Ar- Ra’du ayat 17 )


☺  ⧫⧫
⧫ ⬧⬧ ⧫
⬧
Artinya : Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah
air di lembah-lembah menurut ukurannya,…
c. Qadar berarti kekuasaan atau kemampuan ( Q.S. Surat Al- Baqarah ayat
236 )
⬧  ◼⧫ ◆ 
➔❑☺⬧ ⬧ ⧫ ◆
 ⬧ ⬧ ❑→⬧ 
❑ ◼⧫ ➔❑➔◼⧫◆
☺ ◼⧫◆ ◼⬧
☺ ☺➔⧫⧫ ◼⬧
 ⧫✓⬧ ◼⧫  
Artinya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu
mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
d. Qadar berarti ketentuan atau kepastian ( Q.S. Al- Mursalat ayat 23 )
➔⬧ ⧫⬧⬧
 ⧫⬧
Artinya : Lalu Kami tentukan (bentuknya), Maka Kami-lah Sebaik-baik yang
menentukan.

e. Qadar berarti perwujudan kehendak Allah swt terhadap semua makhluk-


Nya dalam bentuk-bentuk batasan tertentu ( Q.S. Al- Qomar ayat 49 )
  
⬧ ◼

Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
Dengan kata lain Qada dan Qadar, adalah sama-sama merupakan ketetapan,
keputusan, kehendak Allah SWT atas seluruh Makhluk-Nya. Sebagaian
pendapat mengatakan Qada adalah ketetapan Allah SWT yang akan terjadi .

164
Sedangkan Qadar, ketetapan Allah SWT yang telah terjadi atas makhluk-
Nya.
B. Ciri-ciri orang yang beriman kepada qada dan qadar
Seorang muslim yang percaya akan adanya ketentuan Allah swt
pastinya memiliki tingkat ketaatan yang tinggi. Karena ketentuan Allah swt
menyangkut hidup di dunia dan di akherat. Adapun ciri-ciri orang yang
beriman kepada qada dan qadarnya Allah swt adalah :
1. Mentaati perintah Allah swt dan menjauhi serta meninggalkan segala
larangan Allah swt
2. Berusaha dan bekerja secara maksimal
3. Tawakkal kepada Allah swt secara menyeluruh dan berdoa
4. Mengisi kehidupan di dunia dengan hal-hal positif untuk mencapai
kebahagiaan hidup di akherat
5. memperhatikan dan merenungkan kekuasaan dan kebesaran Allah swt
6. bersabar dalam menghadapi cobaan
C. Hubungan Qada dan Qadar
Qada dan qadar merupakan satu kesatuan. Qada merupakan ketentuan,
kehendak dan kemauan Allah swt. Sedangkan Qadar merupakan perwujudan
dari kehendak Allah swt. Qada bersifat qodim (lebih dahulu ada), sedangkan
qadar bersifat hudus (baru). Seorang ahli bahasa Al- Qur’an, Imam Ar- Raqib
mengatakan bahwa Allah swt menakdirkan segala sesuatu dengan dua macam
cara yaitu : memberikan qudrah atau kekuatan dan membuat ukuran serta
cara-cara tertentu. Qada dan qadar biasa dikenal dengan sebutan taqdir Allah
swt.

D. Jenis -jenis takdir


1. Taqdir muallaq yaitu qada dan qadarnya Allah yang masih digantungkan
pada usaha atau ikhtiar manusia. Suatu contoh seseorang ingin kaya, pintar,
sehat dan lain lain ini harus melalui proses usaha untuk mencapai tujuan
tersebut. Sesuatu yang tidak mungkin semuanya itu diperoleh tanpa adanya
ikhtiar. Sebagaimana firman Allah swt berikut :
⧫   ▪ ◆
◆➔ ◆  ⧫
 ⧫ ⧫❑
Artinya : 39. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya,40. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan
diperlihat (kepadanya). (QS. An- Najm : 53/39-40)
‫ا َِّن هللاَ ًلَيـُغَيِ ُِّر َما بِقَ ْو ٍم َحتَّى يُغَيِ ُِّر ْوا َما بِأَنـْفُ ِس ِه ْم‬
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu
bangsa sehingga bangsa itu mau mengubah keadaan (nasib) yang ada pada
mereka sendiri”. (QS. Ar- Ra’du : 13/11)

165
2. Taqdir mubrom yaitu qada dan qadarnya Allah swt yang sudah tidak dapat
diubah lagi oleh manusia, walau ada ikhtiar dan tawakkal. Sebagaimana
firman Allah swt berikut :
َ َ‫َو ِل ُك ِِّل ا ُ َّم ٍة ا َ َجل فَ ِاذَا َجا َءا َ َجلـ ُ ُه ْم ًلَ يَ ْست َأ ْ ِخ ُر ْون‬
َ‫سا َعةا َوًلَ يَ ْست َ ْق ِد ُم ْون‬
Artinya : “Dan tiap-tiap umat memiliki. Maka apabila telah datang waktunya
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat
pula memajukannya”. (QS. Surat Al- A’raf : 7/34)
Semua yang kamu lakukan selanjutnya harus dipasrahkan kepada Allah swt,
karena Allah swt adalah zat yang mengatur dan menentukan segala
sesuatunya. Sebagaimana firman Allah swt berikut :
⧫  ◆ ⧫⬧
 ➔ ❑➔⬧⬧
❑➔ ☺◼⧫
⬧⬧ ⧫ ◼⧫
⬧ ◼❑☺
 ◼⧫◆  ⧫❑
  ❑➔◆❑⧫⬧
 ⧫✓⬧
Artinya : Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka
dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya
niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (QS. Al- Maidah :
5/23)
E. Fungsi Iman Kepada Qada dan Qadar
2. Mendekatkan diri kepada Allah SWT ( Q.S. Al Hadid ayat 22 )
 ⧫   ⧫
→  ◆ 
 ⬧  ⧫  
⬧   ◆
  ◼⧫
Artinya : Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah..
2. Mendidik manusia untuk senantiasa berusaha / ikhtiar ( Q.S. Ar Ra’du
ayat 11 )
 ⧫➔ ⬧
◆ ⧫ ✓⧫
 ⧫❑→⧫⬧ 
     
166
 ❑⬧ ⧫ ⧫
⧫ ⧫
⬧◆  →
❑ ❑⬧  ◆
⬧ ⧫◆  ⬧ ⧫⧫ ⬧
 ◆   
Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri.
dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak
ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran
dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki
dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-
sebab kemunduran mereka.
⧫   ▪ ◆
◆➔ ◆  ⧫
▪➔  ⧫ ⧫❑
◆⧫ ⧫
◼ ◆  ◼
 ⧫☺☺ ◼◆
Artinya :
39. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya,
40. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
41. Kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling
sempurna,
42. Dan bahwasanya kepada Tuhamulah kesudahan (segala sesuatu),

3. Mendidik manusia untuk senantiasa sabar dan tawakal ( Q.S. Ali


Imran ayat 159 )
  ☺◆ ☺⬧
 ❑⬧◆  ⬧ 
⬧  →⬧
 ❑  ❑
⧫ ⬧
⚫ ⧫◆
   ➔◆
◼⧫ ◆❑⧫⬧ ⧫ ⬧⬧
167
⧫    
 ⧫◆❑⧫☺
Artinya : 159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
4. Mendidik manusia untuk tidak besikap sombong /takabur ( Q.S.
Lukman ayat 18 )
 ⬧ ➔➔ ◆
⧫⧫   ☺⬧ ◆
 ⧫    
❑⬧ ⧫➔
Artinya : 8. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.
2. Mendidik manusia untuk Semangat Ihtiar ( Q.S.An-Najam 39-40)
⧫   ▪ ◆
◆➔ ◆  ⧫
 ⧫ ⧫❑
Artinya : 39. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya,
40. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
F. Contoh perilaku qada dan qadar
1.Seorang murid yang cerdas. hasil ulangannya ia mendapatkan nilai yang
memuaskan.
2.Zahid adalah siswa yang tekunan ia mampu mampu menjadi yang
terbaik.
3.Zidane menderita sakit keras, akhirnya ia meninggal dunia.
Tambahan
Dalam kehdupan kita mendengar istilah Sunnatullah. berarti ketentuan-
ketentuan atau hukum Allah swt yang berlaku atas segenap alam dan berjalan
secara tetap dan teratur.
Contohnya adalah api yang sifatnya panas dan membakar, air yang sifatnya
membasahi dan mencari tempat yang rendah. Sifat seperti itu tetap
dimanapun dan kapanpun. Sunnatullah terdiri dari dua macam yaitu :
1. Sunnatullah Qouliyah (‫ )قَوْ ِليَة‬adalah Sunnatullah yang berupa wahyu
tertulis yaitu Al- Qur’an
168
2. Sunnatullah Kauniyah (‫)كَوْ نِيَة‬adalah Sunnatullah yang tidak tertulis dan
berupa kejadian atau fenomena alam. Contoh api itu panas dan membakar,
matahari terbit dari timur dan terbenam di sebelah barat dan pergantian siang
dan malam. Wallahua’lam

PERTEMUAN KE XIV.
HAL – HAL YANG MERUKSAK TAUHID/ PENOMENA SIRIK DI
MASYARAKAT

Benar bahwa ummat Islam menghadapi masalah-masalah yang multi


kompleks, mulai dari masalah politik, ekonomi, pemerintahan, bahkan
sampai pada penindasan kaum muslimin pada sebagian negeri Islam oleh
orang-orang kafir. Akan tetapi kalau kita mau memahami agama yang mulia
ini berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, maka tahulah
kita bahwa problematika ummat yang sesungguhnya jauh lebih besar dari itu
semua adalah permasalahan aqidah tauhid.

Hal ini karena tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus
ditunaikan, melebihi hak-haknya makhluq. Sungguh ironi ketika kita
berteriak-teriak membela hak-hak makhluq yang terampas, pada saat yang
sama kita mendiamkan kesyirikan di depan mata kita.

Demikian pula, jika aqidah tauhid ini tercemari dengan kotoran-kotoran


syirik dan noda-noda kekufuran maka bahaya yang mengancam ummat
Islam, bahkan seluruh ummat manusia, tidak saja di dunia ini tetapi sampai di
akhirat kelak, yaitu kekal dalam neraka. Bahkan syirik adalah sebab utama
seluruh masalah ummat manusia di dunia dan akhirat.

Ada 6 macam perkara yang dapat merusak / membatalkan iman seseorang,


yaitu :
1. Syirik
Makna Syirik
Alloh memberitakan bahwa tujuan penciptaan kita tidak lain adalah untuk
beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman Allah,yang berbunyi :
 →◼ ⧫◆
➔◆  ▪◆

Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56).
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik
berupa perkataan atau perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Ibadah disini
meliputi do’a, sholat, nadzar, kurban, rasa takut, istighatsah (minta
169
pertolongan) dan sebagainya. Ibadah ini harus ditujukan hanya kepada Allah
tidak kepada selain-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang berbunyi :
◆ ➔⧫ 
 ✓➔⧫◼
Artinya : Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan[7]. (Al Fatihah: 5)
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh
perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan
bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk
dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Barangsiapa yang menujukan salah satu ibadah tersebut kepada selain Alloh
maka inilah kesyirikan dan pelakunya disebut musyrik. Misalnya seorang
berdo’a kepada orang yang sudah mati, berkurban (menyembelih hewan)
untuk jin, takut memakai baju berwarna hijau tatkala pergi ke pantai selatan
dengan keyakinan ia pasti akan ditelan ombak akibat kemarahan Nyi Roro
Kidul dan sebagainya. Ini semua termasuk kesyirikan dan ia telah menjadikan
orang yang sudah mati dan jin itu sebagai sekutu bagi Alloh subhanahu wa
ta’ala.

PEMBAGIAN SYIRIK
Syirik diagi menjadi dua, yaitu syirik besar (akbar) dan syirik kecil (asgar).
Syirik besar adalah seorang yang mengadakan tandingan bagi Allah Ta’ala
dalam perkara rububiyah, uluhiyah dan asma’ was shifat.
Pendapat Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah
berkata, “Syirik besar adalah seorang yang mengadakan tandingan bagi
Allah, sehingga ia berdoa kepada tandingan tersebut sebagaimana ia berdoa
kepada Allah, atau ia takut, harap dan cinta kepadanya sebagaimana cintanya
kepada Allah, atau ia mempersembahkan kepadanya satu bentuk ibadah.”
Adapun syirik kecil adalah semua perkara haram yang bisa menjadi sarana
(wasilah) atau pengantar (dzari’ah) kepada syirik besar dan terdapat dalil
penamaan syirik terhadapnya.

Pendapat Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan, “Syirik


kecil adalah semua bentuk perkataan maupun perbuatan yang bisa
mengantarkan kepada syirik besar, seperti ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
mengagungkan makhluq yang tidak sampai beribadah kepadanya, bersumpah
dengan nama selain Allah, riya’ yang ringan dan yang semisalnya.”

PERBEDAAN SYIRIK BESAR DAN KECIL

170
1. : Syirik besar menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam dan
diberlakukan padanya hukum-hukum kepada orang yang murtad dari Islam.
Sedangkan syirik kecil tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam dan
tidak diberlakukan padanya hukum-hukum kepada orang yang murtad dari
Islam.

2. : Pelaku syirik besar tidak akan mendapat ampunan Allah jika ia mati
sebelum bertaubat. Adapun pelaku syirik kecil terdapat perbedaan pendapat
para Ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama, pelaku syirik kecil di bawah kehendak Allah Ta’ala


apakah diampuni atau tidak, berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala yang
berbunyi :
 ⧫   
⧫ ⧫◆  ◆
 ⧫ ☺ ⬧ ⧫
⬧⬧   ⧫◆
☺→⧫ ☺ ◆⧫

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar.(An-Nisa’: 48,)
Pendapat kedua, pelaku syirik kecil tidak diampuni, berdasarkan dalil yang
sama. Sebab ayat tersebut berlaku umum, mencakup syirik besar dan syirik
kecil

3.: Syirik besar menghapus semua amalan pelakunya, sebagaimana firman


Allah Ta’ala yang berbunyi :
◆  ➔ ⬧
 ⧫ ⧫ 
❑⬧◆  ◼⧫
⧫ ⬧⬧ ❑◆
⧫❑➔☺➔⧫ ❑ 
Artinya : Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang
telah mereka kerjakan.(Al-An’am: 88)

Juga firman Allah Ta’ala yang berbunyi :


⬧  ⬧⬧◆
⬧  ⧫ ◼◆
171
⬧⧫⬧◆⬧ ◆ ⬧
 ⧫❑⧫⬧◆ ➔◆
⬧
Artinya : Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-
nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan
hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang
merugi.(Az-Zumar:65)

Sedangkan syirik kecil hanya menghapus amalan yang menyertainya, seperti


jika seseorang berbuat riya’ dalam ibadahnya maka terhapuslah amalannya
tersebut namun tanpa menghapus amalannya yang telah ia kerjakan dengan
ikhlas.
4: Syirik besar menyebabkan pelakunya kekal di neraka, sebagaimana firman
AllahTa’ala:

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka


pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah:
72)
Sedangkan syirik kecil tidak sampai mengekalkan pelakunya di neraka
.Peringatan: Penyebutan syirik kecil bukanlah berarti bahwa dosanya kecil,
bahkan syirik kecil adalah dosa terbesar setelah syirik besar. Hanya saja
dikategorikan kecil apabila dibandingkan dengan syririk besar. Sama halnya
penyebutan dosa kecil bukanlah berarti bahwa dosa tersebut boleh
diremehkan, tetapi maksudnya kecil jika dibandingkan dengan dosa besar
.Sehingga Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menjauhi semua bentuk syirik (besar maupun kecil) maka terhapuslah dosa-
dosa besarnya, karena dosa-dosa besar itu jika dibandingkan dengan syirik
sama dengan perbandingan antara dosa kecil dan dosa besar. Jadi, jika dosa-
dosa kecil bisa terhapus dengan menjauhi dosa-dosa besar maka dosa-dosa
besar pun bisa terhapus dengan menjauhi kesyirikan.”

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah juga berkata dalam mengomentari


permasalahan bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala, “Dan sungguh
telah salah orang yang mengatakan bahwa hukum bersumpah dengan selain
nama Allah Ta’ala hanya makruh, padahal pemilik syari’at
mengkategorikannya sebagai perbuatan syirik (kecil), sedang tingkatannya
lebih besar dari dosa besar.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Di
dalamnya terdapat dalil atas perkataan sahabat, bahwa syirik kecil lebih besar
dosanya dibanding al-kabaair (dosa-dosa besar).”

BAHAYA SYIRIK

172
1 : dikatagorikan dosa dan kezhaliman terbesar. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
☺ ⧫⬧ ◆
→➔⧫ ◆❑➔◆ 
  ➔  ⧫
→⬧  
→⧫
Artinya : “Dan ingatlah ketika Luqman berkata pada anaknya saat ia
memberi pelajaran padanya, “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan
Allah, sesungguhnya menyekutukan-Nya adalah kezhaliman yang besar”.
(Luqman: 13)

Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan:


Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Dosa apakah
yang paling besar?” Beliau menjawab: “Engkau menjadikan sekutu bagi
Allah, padahal Dia yang menciptakanmu”.”
Rasulullah shallallahhu’alaihi wa sallam juga mengingatkan para sahabat
akan bahaya syirik ini dalam sabdanya:

“Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa yang paling besar?”, kami
(sahabat) mengatakan: “Tentu wahai Rasulullah”, lalu beliau mengatakan:
“(Dosa yang paling besar) adalah menyekutukan Allah dan (selanjutnya)
durhaka pada kedua orang tu.”
2 : Terhapusnya amalan Allah Ta’ala berfirman:
◆  ➔ ⬧
 ⧫ ⧫ 
❑⬧◆  ◼⧫
⧫ ⬧⬧ ❑◆
⧫❑➔☺➔⧫ ❑ 
Artinya : Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang
telah mereka kerjakan. (Al-An’am: 88)
Juga firman Allah Ta’ala:
⬧  ⬧⬧◆
⬧  ⧫ ◼◆
⬧⧫⬧◆⬧ ◆ ⬧
 ⧫❑⧫⬧◆ ➔◆
⬧
Artinya : Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-
nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan

173
hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang
merugi.(Az-Zumar: 65)
3 : Dosa yang tidak terampuni Sebagaimana firman-Nya:
 ⧫   
⧫ ⧫◆  ◆
 ⧫ ☺ ⬧ ⧫
⬧⬧   ⧫◆
☺→⧫ ☺ ◆⧫
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa’: 48, 116)
4 : Kekal di neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 ⧫ ⬧⬧
◆❑➔   ❑⬧
 ⧫⧫  ☺
⧫⧫ ☺ ⧫⬧◆
  ◆
⧫   →◆◆ ◼◆
⧫▪ ⬧⬧  
⬧ ◼⧫ 
⧫◆   ◆⧫◆
  ✓☺→

Artinya : Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", Padahal Al masih
(sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya
ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun.(Al-Maidah: 72)
5 : Orang-orang musyrik adalah makhluq yang paling hina. Firman Allah:
  ⧫ 
⧫ 
⧫  ⧫✓☺◆
  ⧫ 
 ➔ ⬧
 
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-
orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.(Al-Bayyinah: 6)
174
Juga firman Allah Ta’ala:
 ⧫ 
❑➔☺ ➔◆⬧
  ❑➔➔⧫ 
 ➔  ➔
  ➔ ⧫
Artinya : Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). (Al-
Furqon: 44)
6 : Syirik adalah sebab kebinasaan/musibah yang besar. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
⬧ ❑⬧◆
 ⬧◆ ❑▪
⧫   ⬧
◆❑☺ ⬧ 
⧫⬧◆  ⧫⧫⧫
⧫ ◆ 
❑⧫   
⬧◆ ◆❑▪
Artinya : 88. Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak".
89. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat
mungkar,
90. Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan
gunung-gunung runtuh,
91. Karena mereka menda'wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai
anak.(Maryam: 88-91)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan:


“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”, Beliau ditanya, “Wahai
Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau
menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba’, lari
dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mu’minah padahal dia
tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)”. (HR. Al-Bukhari, no. 2615 dan
Muslim, no. 272)
Ketujuh: Seorang musyrik diharamkan menikahi seorang muslim. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
❑⬧⬧ ◆
 ☺
⬧ ⧫◆  ⬧
175
❑⬧◆   
❑⬧➔ ◆  ⧫
 ⧫✓☺
➔⬧◆  ❑⬧
   ⬧
 ⧫ ❑⬧◆
◼ ⧫❑⧫ ⬧
❑⧫ ◆  
 ◼
⧫☺◆
✓⧫◆  
 ⧫◆
 ⧫⧫⧫ ➔⬧
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqoroh: 221)

8. : Tidak boleh mendoakan orang yang mati dalam keadaan musyrik


meskipun keluarga terdekat, seperti paman Rasulullah Abu Thalib Allah
Ta’ala berfirman:
⧫◼ ◼⧫ ➔ ◆
◆ ⧫  
 ◼⬧ ◼⧫ →⬧
  
❑➔⧫◆ ❑◆◆
❑→⬧ ➔◆
Artinya : “Danjanganlah kamu sekali kali menshalatkan (jenazah) seorang
yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoaka ) di
kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At Taubah: 84)
Juga firman Allah Ta’ala:

  ⧫


 ❑⧫◆ ◆
⧫✓☺ ⧫
176
 ❑ ❑⬧◆
⧫ ➔⧫  ◼➔
 ⚫ ✓⧫⬧
 ⬧ ⬧
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang beriman
memintakan ampun kepada Allah bagi orang orang musyrik, walaupun
mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang
orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim.” (At-Taubah: 113)
9 : Hilangnya hak mewarisi harta kerabatnya yang muslim Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh seorang muslim mewarisi
orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” ( HR. Al-
Bukhari, no. 1511 dan Muslim, no. 4225)
10 : Sembelihan seorang musyrik haram dimakan
⬧ ☺ ❑➔→⬧ ◆
◼⧫   
◆  ⬧ ◆
⧫❑❑⬧ ✓◆
◆ ◼
◆  ❑
 ➔❑☺➔⬧
 ⧫❑
Artinya : Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya[501]. Sesungguhnya perbuatan
yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu
membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan
jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-
orang yang musyrik. (Al-An’am: 121)
[501] Yaitu dengan menyebut nama selain Allah.
Sebelas : Menolak Kebenaran Firman Allah Q.S.Albaqarah : 7 yang
berbunyi :

2. Kufur

Orangnya disebut kafir, yaitu orang yang sudah mau beriman tetapi kemudian
kafir, yakni murtad dan bertambah kufurnya. Orang yang seperti ini taubatnya
tidak akan diterima. Sebagai contoh, orang islam yang karena pekerjaannya
kemudian masuk nasrani, maka ia termasuk murtad dan
kafir. Perhatikan ayat berikut :
 ⧫ 
➔ ☺ ➔⧫
 
177
⧫❑⬧ ⧫➔ 
➔ ⬧◆
 ⧫❑
Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman kemudian
bertambah kufur, sekali- kali tidak akan diterima taubatnya dan mereka itulah
orang-orang yang sesat. (QS : Ali-Imron : 90)

3. Nifaq

Orangnya disebut munafiq, yakni orang yang lisannya mengaku beriman


kepada Alloh tetapi hatinya tidak. Al-Qur'an dengan tegas menyebutkan
bahwa orang-orang munafiq akan ditempatkan di dasar neraka.

❑→⧫ ⧫  ◆


 ⧫◆
 ❑◆◆
 ⧫✓⬧☺ ➔ ⧫◆
Artinya : Di antara .manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada
Allah dan hari kemudian[22]," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman(QS : Al-Baqoroh : 8)
[22] Hari kemudian Ialah: mulai dari waktu mahluk dikumpulkan di padang mahsyar sampai
waktu yang tak ada batasnya.

4.Bid’ah

Yaitu mengada-ada. Sebenarnya Alloh telah memberikan syariat Islam


dengan sempurna sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur'an surat Al-
Maidah ayat 6. Untuk itu mengapa kadang kita mengada-ada dengan
menambah amaliyah yang justru hanya berdasarkan pen- dapat seseorang.
Padahal Alloh telah berfirman yang artinya :

⬧ ☺ ❑❑→⬧ ◆


⬧ →
◆ ◼ 
◼⧫ ⧫⧫ ⧫
  ⬧ 
◼⧫ ⧫⧫⧫ ⧫
⧫❑⬧  ⬧ 

Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
178
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-
adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.(QS : An-Nahl : 116)
Oleh karena itu Alloh SWT telah memberikan garis tegas :

⬧◆ ⧫◆ …
⧫◆ ◼⬧ ❑▪
⧫ ⧫
 ❑⧫⬧
   ❑→◆
⬧➔  
Artinya : Apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Alloh.
Sesungguhnya Alloh sangat keras hukumannya. (QS : Al-Hasyr : 7)
Namun demikian jika kita mengadakan suatu tradisi yang tidak bertentangan
dengan ajaran Alloh dan Rosul-Nya, contohnya : berpuasa di hari kelahiran
dirinya, maka itu adalah tradisi yang baik

3. Sihir.

Ini merupakan ilmu hitam yang bisa merusak iman dan pada saat sekarang
ini ilmu sihir masih merebak dimana-mana, melalui dukun, orang pintar dll.
sehingga banyak orang-orang yang tertipu gara-gara ilmu ini. Untuk itu demi
keutuhan iman kita, maka jauhi ilmu ini, sebab jika iman kita rusak, maka
ancamannya adalah neraka. Untuk itu kita berlindung kepada Alloh dari
kejahatan tukang-tukang sihir.
⬧  ◆
 ⬧➔ 
Artinya : Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus
pada buhul-buhul[1609], .(QS : Al-Falaq : 4)
[1609] Biasanya tukang-tukang sihir dalam melakukan sihirnya membikin buhul-buhul dari
tali lalu membacakan jampi-jampi dengan menghembus-hembuskan nafasnya ke buhul
tersebut.

4. Meramal Nasib Seseorang

Menebak-nebak nasib seseorang dapat merusak iman, karena pada


hakikatnya, segalanya hanya Alloh lah yang menentukan nasib seseorang.
Sayangnya ramal-meramal masih sangat merebak, terutama mereka-mereka
yang senang berspekulasi. Ada yang menggunakan isti- lah astrologi, guratan
tangan, thiyaroh (menerbangkan burung), fenomena alam, termasuk mereka

179
yang menganggap kemalangannya akibat dari kedatangan seseorang. Seperti
dalam kisah Nabi Sholeh AS berikut :
⧫ ❑⬧
 ⧫➔ ☺◆ 
 ⬧ ⧫⬧
❑⬧  ⧫  
 ⧫❑⧫➔
Artinya : mereka menjawab : "Kami mendapat nasib yang malang,
disebabkan kamu dan orang-orang yang berseteru", Sholeh berkata
:"Nasibmu ada pada sisi Alloh, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi
kamu kaum yang diuji. (QS An-Naml : 47)
Itulah, 6 hal yang dapat merusak iman. Untuk itu kita harus waspada dalam
meniti kehidupan ditengah masyarakat yang beraneka ragam paham dan
keyakinannya.

NIFAQ DAN JENIS-JENISNYA


Depinisi Nifaq
Nifaq secara bahasa berasal dari kata naafaqa – yunaafiqu – nifaaqan wa
munaafaqan yang diambil dari kata an-naafiqaa’, yaitu salah satu lubang
tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangannya, dimana jika
ia dicari dari lubang yang satu, makaia akan keluar dari lubang yang lain.
Dikatakan pula, ia berasal dari kata an-nafaqa (nafaq) yaitu lubang tempat
bersembunyi.
Nifaq menurut syara’ yaitu menampakkan Islam dan kebaikan tetapi
menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia
masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Karena itu
Allah memperingatkan dengan firman-Nya:
⧫✓☺ 
❑→ ➔

Artinya : Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang
yang fasiq.” (QS. At-Taubah: 67).Yaitu mereka adalah orang-orang yang
keluar dari syari’at.Allah menjadikan orang-orang munafiq lebih jelak dari
orang-orang kafir. Allah berfirman:
 ⧫✓ 
 

180
 ⬧◆  
 ⧫ ⬧
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada
tngkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:
⧫✓◆☺ 
◆❑➔◆  ⧫❑⬧
 
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang Munafiq itu menipu Allah dan Allah
akan membalah tipuan mereka…” (QS. An-Nisaa’: 142)
[Lihat juga al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 9-10]
⧫◆  ❑⬧
❑⬧ ⧫◆ ❑⧫◆
⧫◆ → 
❑➔➔   ⧫➔
⧫⧫  ➔⧫⬧ 
 ⧫ ⬧◆ 
⧫❑⧫ ❑ ☺

Artinya : Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman,
Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.10.
Dalam hati mereka ada penyakit[23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan
bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
[23] Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. lemah.
Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap Nabi
s.a.w., agama dan orang-orang Islam.

JENIS-JENIS NIFAQ

Nifaq ada dua jenis: Nifaq I’tiqadi dan Nifaq ‘Amali.

1. Nifaq I’tiqadi (Keyakinan)


Yaitu nifaq besar, dimana pelakunya menampakkan kislaman, tetapi
menyembunyikan kekufuran. Jinis nifaq ini menjadikan keluar dari agama
dan pelakunya berada di dalam kerak Neraka. Allah menyifati para pelaku
nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman,
mengolok-olok agama dan pemeluknya serta kecenderungan kepada musuh-
musuh untuk bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam. Orang-orang
munaifq jenisini senantiasa ada pada setiap zaman. Lebih-lebih ketika tampak
kekuatan Islam dan mereka tidak mampu membendungnya secara lahiriyah.
Dalam keadaan seperti itu, merekamasuk ke dalam agama Islam untuk
181
melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara sembunyi-
sembunyi, juga agar mereka bisa hidup bersama umat Islam dan merasa
tenang dalam hal jiwa dan harta benda mereka. Karena itu, seorang munafiq
menampakkan keimanannya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-
Kitab-Nya, dan Hari Akhir, tetapi dalam batinnya mereka berlepas diri dari
semua itu dan mendustakannya. Nifaq jenis ini ada empat macam.
1. Mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau mendustakan
sebagian dari apa yang beliau bawa.
2. Membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau membenci
sebagian apa yang beliau bawa.
3. Merasa gembira dengan kemunduran agama Islam.
4. Tidak senang dengan kemenangan Islam.

2. Nifaq ‘Amali
Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq,
tetapi masih tetap ada iman di dalam hatinya. Nifaq jenis ini tidak
mengeluarkan dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada yang
demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq. Lalu, jika perbuatan
nifaqnya banyak, maka akan bisa menjadi sebab terjerumusnya dia kedalam
nifaq sesungguhnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Ada empat hal yang jika berada pada diri seseorang, maka ia menjadi
seorang munafiq sesungguhnya, dan jika seseorang memiliki kebiasaan salah
satu daripadanya, maka berarti ia memliki satu kebiasaan (ciri) nifaq sampai
ia meninggalkannya, bila dipercaya ia berkhianat, bila berbicara ia berdosa,
bila berjanji ia memungkiri dan bila bertengkar ia melewati batas.”
(Muttafaqun ‘alaih.)

Terkadang pada diri seorang hamba berkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan


kebiasaan-kebiasaan buruk, kebiasaan-kebiasaan iman dan kebiasaan-
kebiasaan kufur dan nifaq. Karena itu, ia mendapatkan pahala dan siksa
sesuai konsekuensi dari apa yang mereka lakukan, seperti malas dalam
melakukan shalat berjama’ah di masjid. Ini adalah di antara sifat orang-orang
munafiq. Sifat nifaq adalah sesuatu yang buruk dan sangat berbahaya, karena
itulah sehingga para Shahabat begitu sangat takutnya kalau-kalau dirinya
terjerumus ke dalam nifaq. Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Aku bertemu dengan
30 Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka semua takut
kalau-kalau ada nifaq dalam dirinya.”

PERBEDAAN ANTARA NIFAQ BESAR DAN NIFAQ KECIL


• Nifaq besar mengeluarkan pelakunya dari agama, sedangkan nifaq kecil
tidak mengeluarkan dari agama.

182
• Nifaq besar adalah berbedanya yang lahir dengan yang batin dalam hal
keyakinan, sedangkan nifaq kecil adalah berbedanya yang lahir dengan
yang batin dalam hal perbuatan bukan dalam hal keyakinan.
• Nifaq besar tidak terjadi dari seorang mukmin, sedanghkan nifaq kecil
bisa terjadi dari seorang mukmin.
• Pada galibnya, pelaku nifaq besar tidak bertaubat, seandainya pun
bertaubat, maka ada perbedaan pendapat tentang diterimanya taubatnya di
hadapan hakim. Lain halnya dengan pelakunya terkadang bertaubat
kepada Allah, sehngga Allah menerima taubatnya. [‘Aqidah at-Tauhid
(hal. 85-88) oleh Dr. Shalih bin Abdullah al-Fauzan]
RIDDAH (KESESATAN KELUAR DARI ISLAM),MACAM DAN
HUKUMNYA

A . Jahiliyah
Jahiliyah adalah keadaan yang ada pada bangsa Arab sebelum Islam, yakni
kebodohan tentang Allah, para RasulNya dan syariat agama. Ia berasal dari
kata al- jahl (kebodohan) yaitu ketiadaan ilmu. Jahiliyah terbagi menjadi dua
macam:
Pertama, Jahiliyah 'Ammah (Jahiliyah Umum).
Yaitu yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam dan ia telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam .
Kedua, Jahiliyah Khashshah (Jahiliyah Khusus).
Yakni yang terjadi pada sebagian negara, sebagian daerah dan sebagian
orang. Jahiliyah jenis ini masih ada hingga sekarang. Karena itu Rasulullah
shallallaahu alaihi wasallam bersabda,
.‫أ َ ْربَ ٌع فِ ْي أ ُ َّمتِ ْي ِم ْن أ َ ْم ِر ْال َجا ِه ِليَّ ِة‬
"Ada empat (perkara) dalam umatku yang termasuk perkara jahiliyah." (HR
.Muslim).
Dan beliau shallallaahu alaihi wasallam bersabda kepada Abu Dzar
radiyallaahu 'anhu.
.ٌ‫ِإنَّكَ ْام ُر ٌء ِفيْكَ َجا ِه ِليَّة‬
"Sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih memiliki (sifat) jahiliyah"
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, nyatalah kesalahan orang yang mengenelarisir jahiliyah pada
zaman sekarang hingga mengatakan, jahiliyah pada abad ini atau yang
semisalnya. Yang benar adalah hendaknya dikatakan, jahiliyah sebagian
orang yang hidup di abad ini, atau mayoritas yang hidup di abad ini. Adapun
183
mengeneralisir jahiliyah, maka hal itu tidak benar dan tidak diperbolehkan,
sebab dengan diutusnya Nabi shallallaahu alaihi wasallam berarti jahiliyah
secara umum itu telah hilang.
B . Kefasikan
Secara bahasa kefasikan ‫ْق‬ ُ ‫( اْل ِفس‬al-fisq) adalah al-khuruj (keluar).
Sedangkan yang dimaksud kefasikan menurut syara' adalah keluar dari
ketaatan kepada Allah Subhanahu waTa’ala.

Kefasikan ada dua macam :


Pertama, Kefasikan yang membuatnya keluar dari agama, yakni kufur.
Karena itu orang kafir juga disebut orang fasik, maka ketika menyebut Iblis,
Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
 ⧫ ⧫⬧
◼◆
Artinya:"Maka ia berbuat fasik (mendurhakai) perintah Rabbnya." (Al-
Kahfi: 50).
Kefasikan Iblis di atas adalah kekufurannya, Allah Subhanahu waTa’ala
berfirman,
⧫ ◆
◆☺⬧ ❑→⬧
  
Artinya:"Dan adapun orang-orang fasik maka tempat mereka adalah
neraka." (As-Sajdah: 20).
Yang dimaksud orang-orang fasik di atas adalah orang-orang kafir, hal itu
sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu waTa’ala
sesudahnya:
 ◆ ☺ 
 ❑⬧
◆  
⧫ ❑➔➔ ⬧
  
 ❑⬧➔ 
Artinya:"Setiap kali mereka hendak keluar dari padanya, mereka
dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, 'Rasakanlah
siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya'." (As-Sajdah: 20).
Kedua, kefasikan yang tidak membuat seseorang keluar dari agama,
sehingga orang-orang fasik dari kaum muslimin disebut al-'ashi (pelaku
maksiat), dan kefasikan itu tidak mengeluarkannya dari Islam. Allah
Subhanahu waTa’ala berfirman,
⧫❑⧫ ⧫◆
⬧ ▪➔ ⬧☺
184
➔⧫ ❑➔⧫
➔⬧ ◆→
◆ ⧫ ⧫✓◆
 ⚫ ❑➔⧫⬧
➔ ⬧◆  ⧫
 ⧫❑→
Artinya:"Dan orang- orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-
orang yang fasik." (An-Nur: 4).
⬧◆ ⬧ ⧫  ◆⧫⬧ ☺⬧
 ⧫ ◆ ❑➔ ◆
 ⬧
.Artinya:"Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh mengucapkan ucapan-ucapan kotor,
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji."
(Al-Baqarah : 197).
Dalam menafsirkan kata-kata fasik dalam ayat di atas, para ulama
mengatakan, ia adalah perbuatan maksiat.(1)
C. Kesesatan
Kesesatan (‫ضالَ ُل‬
َّ ‫ )ال‬adalah berpaling dari jalan yang lurus. Ia adalah lawan
dari petunjuk (ُ‫)ال ِهدَا َية‬,
ْ Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
☺⬧ ⧫ 
⧫◆  ◆ ⧫◆
⧫ ☺⬧ 
 ◼⧫
Artinya:"Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka
sesungguhnya ia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan
barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri." (Al-Isra': 15).
Kesesatan dinisbatkan kepada beberapa makna:

ْ , firman Allah Subhanahu waTa’ala,


2.Terkadang diartikan kekufuran (‫)ال ُك ْف ُر‬

 →⧫ ⧫◆ 


⬧◼⧫◆
◆ ◆
 ❑◆◆

185
◼  ⬧⬧
➔⧫
Artinya:"Barangsiapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-
kitabNya, rasul-rasulNya dan Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu
telah sesat sejauh-jauhnya." (An-Nisa': 136).
2.Terkadang diartikan kemusyrikan ( ُ‫ش ِْرك‬ ِّ ‫)ال‬, firman Allah Subhanahu
waTa’ala,
  ⧫◆ 
➔⧫ ◼  ⬧⬧

Artinya"Barangsiapa menyekutukan (sesuatu) dengan Allah maka
sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisa': 116
3. Terkadang diartikan menyalahi (kebenaran), tetapi di bawah kekufuran,
sebagaimana dikatakan, ُ‫ق الضَّالَّة‬
ُ ‫( ْال ِف َر‬kelompok-kelompok yang sesat),
artinya yang menyalahi (kebenaran).
4. Terkadang diartikan kesalahan (‫طأ‬ ْ
َ ‫)ال َخ‬, sebagaimana ucapan Musa
alaihissalam,
 ➔⬧ ⧫
 ⧫◆
 ⧫
Artinya:"Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-
orang yang khilaf (salah)." (As-Syu'ara: 20).
5. ُ َ‫ )ال ِنِّ ْسي‬, Allah Subhanahu
Terkadang diartikan lupa(‫ان‬
waTa’alaberfirman,
⬧    
⧫⬧ ☺◼
Artinya :"Supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya"
(Al- Baqarah : 282).
6. Terkadang diartikan hilang dan tidak ada (ُ‫ع َو ْالغَ ْيبَة‬
ُ ‫ضيَا‬
َّ ‫)ال‬, seperti
ِ ‫اْ ِإل ِب‬
dikatakan,‫ل‬ ُ‫ضالَّة‬
َ (unta yang hilang).
D. Riddah, Macam- macam dan Hukumnya
Secara bahasa riddah (‫)الردَّة‬
ِّ ِ artinya kembali (‫ع‬ ُ ‫)الر ُج ْو‬.
ُّ Dan menurut
istilah syara, riddah berarti kufur setelah Islam, Allah Subhanahu waTa’ala
berfirman,
⧫  ⬧⧫ ⧫◆ 
 ◆❑➔◆ ☺◆⬧ 
⬧ ⬧⬧
186
◆  ➔☺
⬧◆  ⧫◆
➔   ⬧
 → 
Artinya:"Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" (Al-
Baqarah: 217)

Riddah ada empat macam:


1. Riddah dengan ucapan. Seperti mencaci Allah Subhanahu waTa’ala atau
RasulNya shallallaahu alaihi wasallam atau malaikat-malaikatNya atau salah
seorang dari rasulNya. Atau mengaku mengetahui ilmu ghaib atau
membenarkan orang yang mengaku nabi. Atau berdoa kepada selain Allah
Subhanahu waTa’ala atau memohon pertolongan kepadanya, sesuatu yang
tidak kuasa dilakukan kecuali oleh Allah Subhanahu waTa’ala atau
berlindung kepadanya dalam hal yang juga tidak kuasa dilakukan kecuali
oleh Allah Subhanahu waTa’ala.

2. Riddah dengan perbuatan. Seperti sujud kepada patung, pohon, batu,


kuburan, dan memberikan sembelihan untuknya. Termasuk juga membuang
mushaf al-Qur'an di tempat-tempat yang kotor, melakukan sihir, mempelajari
dan mengajarkannya serta memutuskan hukum dengan selain apa yang
diturunkan Allah Subhanahu waTa’ala dan meyakini kebolehannya.

3. Riddah dengan kepercayaan (i'tiqad). Seperti kepercayaan adanya sekutu


bagi Allah Subhanahu waTa’ala atau kepercayaan bahwa zina, khamar dan
riba adalah halal. Atau percaya bahwa roti adalah haram, shalat adalah tidak
wajib atau hal semisalnya yang telah disepakati kehalalan, keharaman atau
kewajibannya secara ijma' (konsensus) yang pasti, yang tak seorang pun tidak
mengetahuinya.

4. Riddah dengan keraguan tentang sesuatu sebagaimana yang disebutkan di


atas. Seperti ragu tentang diharamkannya syirik atau diharamkannya zina atau
khamr. Atau ragu tentang halalnya roti atau ragu terhadap risalah Nabi
Muhammad shallallaahu alaihi wasallam atau risalah nabi-nabi selainnya,
atau ragu tentang kebenarannya, ragu tentang agama Islam atau ragu tentang
kesesuaian dengan zaman sekarang.

Konsekuensi Hukum Setelah Terjadinya Riddah


1. Yang bersangkutan diminta untuk bertaubat. Jika bertaubat dan kembali
kepada Islam dalam masa tiga hari, maka taubatnya diterima kemudian ia
dibiarkan (tidak dibunuh).
187
2. Jika ia tidak mau bertaubat, maka ia wajib dibunuh, berdasarkan sabda
Nabi shallallaahu alaihi wasallam ,
ُ‫ َم ْن بَدَّ َل ِد ْينَهُ فَا ْقتُلُ ْوه‬.
"Barangsiapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia." (HR. al-
Bukhari dan Abu Daud).
3. Dilarang membelanjakan hartanya di saat ia dalam masa diminta untuk
bertaubat, jika ia masuk Islam kembali, maka harta itu miliknya, jika tidak
maka harta itu menjadi rampasan (fai') Baitul Mal sejak ia dibunuh atau mati
karena riddah. Pendapat lain mengatakan, begitu ia jelas-jelas murtad, maka
hartanya dibelanjakan untuk kemaslahatan umat Islam.
4. Terputusnya hak waris mewarisi antara dirinya dengan keluarga dekatnya,
ia tidak mewarisi harta mereka dan mereka tidak mewarisi hartanya.
5. Jika ia mati atau dibunuh dalam keadaan Riddah, maka ia tidak
dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di kuburan umat Islam.
Sebaiknya ia dikubur dikuburan orang-orang kafir atau dipendam dalam
tanah, di mana saja, selain di kuburan umat Islam.

PENGERTIAN, MACAM-MACAM DAN HUKUM BID’AH

Pengertian Bid’ah

Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa
ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
◆❑☺ ⧫
◆
Artinya : Allah Pencipta langit dan bumi,( Al-Baqarah : 117]
Ayat diatas adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah
.
  → ⧫ ➔
⧫  ⧫◆ 
   ◆  ➔
◼ ❑ ⧫  
⧫  ⧫ ⧫◆
 ✓
Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-
rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan
tidak (pula) terhadapmu. aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi
peringatan yang menjelaskan".[Al-Ahqaf : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan
188
risalah ini dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak
sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai
satu cara yang belum ada sebelumnya
Dan perbuatan bid'ah itu ada dua bagian :

1. Perbuatan bid'ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya


penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya
penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini
adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat
(kebiasaan) adalah mubah..
2. Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang
ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Barangsiapa yang
mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini
yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak
diterima)". Dan di dalam riwayat lain disebutkan : "Artinya : Barangsiapa
yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka
perbuatannya di tolak".

MACAM-MACAMBID'AH.

Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

1 Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan,


seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-
keyakinan mereka.

2 Bid'ah filiyah ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada


Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam
ibadah ini ada beberapa bagian yaitu. :

a. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan


suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti
mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan,
atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang
tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

189
b. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang
disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat
Ashar.

c. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan


ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang
disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti
membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-
batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

d. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi


tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan
malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan
qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di
syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu
memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID'AH DALAM AD-DIEN.

Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang


baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan
setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ;
hadits hasan shahih] .

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam.

"Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami
maka perbuatannya tertolak " Dan dalam riwayat lain disebutkan

"Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan
kami maka amalannya tertolak" .

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam


Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.

Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ahnya, ada


diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi
kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan
sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada
190
ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga
bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui
batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang
merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas
kubur, shalat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan fasiq secara
aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam
perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan
ada juga bid'ah yang merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang yang
beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong
tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima' (bersetubuh).

Catatan:
Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah
syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam : "Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid'ah adalah sesat"

Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua


bentuk bid'ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah)
mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah yang baik.
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat",
merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun
yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-
Dien, yang senada dengan sabdanya : "Artinya : Barangsiapa mengadakan hal
baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap
orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-
Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka
orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah
aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin
.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa
bid'ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu
pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata :
"Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak diingkari
oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga
Penulisan hadits dan penyusunannya "
.
Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-
masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan. Dan
191
ucapan Umar Radhiyallahu 'anhu : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini",
maksudnya adalah bid'ah menurut bahasa dan bukan bid'ah menurut syariat.
Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan
"itu bid'ah" maksudnya adalah bid'ah menurut arti bahasa bukan menurut
syari'at, karena bid'ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat
sebagai rujukannya.

Dan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat
karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-
Qur'an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para
sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk
menjagakeutuhannya
.Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat
secara berjama'ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya
tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu
kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-
kelompok di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup juga
setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan
mereka satu jama'ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di
belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid'ah dalam Ad-
Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis
sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan
kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur
dengan penulisan Al-Qur'an. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur'an sudah
sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak
hilang ; semoga Allah Ta'ala memberi balasan yang baik kepada mereka
semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi
mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu
akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.

192
PERTEMUAN KE XV TAUHID, MANAJEMEN dan ETIKA
BERGAUL

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar,
tertib dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak
boleh dilakukan secara asal-asalan. Hal ini merupakan prinsip utama dalam
ajaran Islam. Rasulullah. Bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
Imam Thabrani, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika
melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat waktu, terarah,
jelas dan tuntas). Arah pekerjaan yang jelas, landasan yang mantap, dan cara
mendapatkannya yang transparan merupakan amal perbuatan yang dicintai
oleh Allah. Sebenarnya, manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar
dilakukan dengan baik, cepat, dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan
dalam ajaran Islam. Tauhid memiliki beberapa tingkat dan derajat, dan
muwahid sejati adalah orang yang telah berhasil melalui tingkat tauhid.
Tingkatan tauhid ini merupakan bagian dari tauhid teoritis, juga tauhid
praktis.
A. Tauhid Teoritis
Tauhid teoritis adalah tentang pengetahuan dan pengertian tentang
kesempurnaan dalam memahami keesaan Allah. Yang termasuk tauhid
teoritis adalah:
1. Tauhid Zati, adalah mengetahui Zat Allah dalam keesaan dan
ketunggalan-Nya. Setiap muwahhid mengetahui bahwa Dia itu Mahakaya,
yakni segala sesuatu membutuhkan Dia dan menerima pertolongan-Nya,
sedangkan Dia tidak membutuhkan segala sesuatupun. Firman Allah :
 ⧫ 
◼ ⧫⬧→ 
◆❑➔ ◆  
 ☺⬧ ⧫
Artinya : “wahai manusia, kalianlah yang membutuhkan Allah, dan Allah,
Dialah yang Mahakaya lagi Maha Terpuji (Q.S.Fathir {35} : 15).
Dalam bahasa filosof, Dia adalah wujud yang mesti ada. Para ahli tauhid
memandang bahwa Allah adalah yang awal, yang menunjuk peranan-Nya

193
sebagai Prinsip, Sumber dan Pencipta.Dia adalah Prinsip, Pencipta maujud-
maujud lain, yang semuanya dari-Nya, dan Dia bukan dari apapun.Dengan
bahasa filosof, Dia adalah Sebab Petama.Inilah tingkat pertama mengenal
Allah dan konsepsi awal muwahhid tentang Allah. Yakni, siapapun yang
berpikir tentang Allah, baik mengukuhkan ataupun menolak, percaya atau
tidak, tentu bertanya kepada diri sendiri,. Firman Allah yang berbunyi :
◆❑☺ ⬧
 ⬧ ➔  ◆
◆ ◆ →
 ◆ ➔
▪⬧   ⧫◆⧫
◆❑➔◆   ☺
 ⧫ ☺
Artinya : (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari
jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang
Maha mendengar dan melihat. (Q.S.Asy-Syuura {42} : 11). Tidak ada suatu
wujud pun yang berada pada tingkat keberadaan-Nya, firman Allah :
❑→→  ⧫ ⬧◆
 
Artinya : “ Dan tidak ada satupun yang sebanding dengan-Nya (QS 112:4).
Salah Ciri makhluk aksidental adalah pluralitas, yang keberadaannya
bergantung maujud yang lain. Muhammad, misalnya, termasuk anggota
spesies manusia. Maka dengan demikian kita berasumsi bahwa ada angota-
anggota lain dalam spesies ini. Adapun Zat yang Mesti Ada (Allah)
tersucikan dari implikasi semacam itu, sehingga bebas darinya. Karena Zat
Yang Mesti Ada itu Tunggal, maka prinsip dan sumber serta titik kembali
dan akhir alampun niscaya tuggal. Alam tidak timbul dari berbagai prinsip,
dan juga tidak kembali ke berbagai prinsip, tapi dari dan ke satu Prinsip: “
Katakanlah, Allah itu Pencipta segala sesuatu” (QS 13:16). Firman Allah
yang berbunyi :

194
⧫ ⬧   ◆
 ⧫◆ ◆❑☺ 
 ◼   
❑ ⬧
Artinya : (yaitu) jalan Allah yang Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali
semua urusan. (Q.S.Asy-Suura { 42} : 53)

2. Tauhid Sifati
Tauhid Sifati adalah memahami bahwa Zat-Nya adalah sifat-sifat-Nya itu
sendiri, bahwa sifat-sifat-Nya satu sama lain sama. Tauhid zati berarti
menegaskan (menafikan) keberadaan sekutu dan penyerupa, sedangkan
tauhid sifati berarti menafikan keberadaan segala bentuk pluralitas dan
kemajemukan pada Zat itu sendiri. Meski Zat Allah dilukiskan dengan sifat-
sifat sempurna, yaitu indah dan agung, namun ia tidak memiliki berbagai
aspek obyektif. membedakan Zat dengan sifat atau sesama sifat, berarti
membatasi wujud. Bagi wujud tak terbatas, yang tidak bisa dibayangkan
adanya wujud lain dari wujud itu, tak bisa pula dibayangkan adanya
pluralitas, kemajemukan, atau perbedaan antara zat dan sifat.
Tauhid sifati, seperti tauhid Zati, temasuk prinsip pengetahuan Islam, dan
termasuk pemikiran manusia tertinggi, yang telah terkristalkan, khususnya
dalam madrasah ahl al-Bit Rasulullah s.a.w. jadi tauhid Zati adalah
memahami ketunggalan Zat dan sifat-sifat-Nya.

3. Tauhid Amali (Tindakan)


Tauhid amali adalah memahami bahwa alam, dengan seluruh norma, dan
sebab-akibatnya merupakan perbuatan dan karya-Nya, serta timbul dari
kehendak-Nya, karena maujud-maujud di alam ini pada hakikatnya tidak
mandiri semuanya bergantung pada-Nya, maka maujud-maujud ini tidak
mandiri baik dalam akibat maupun sebab. Dengan demikian Allah tidak
bersekutu dalam zat, maka dia juga tidak bersekutu dalam perantaraan
(agensi).Setiap agen dan sebab mendapatkan realitas, kemaujudan, pengaruh

195
dan agensinya dari-Nya.Setiap agen diwujudkan oleh Allah SWT.“Allah-lah
yang berkehendak, tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah”.

Manmusia sebagai makhluk Allah, berperan sebagai penyebab dalam


mempengaruhi tindakan-tindakannya. Manusia lebih berpengaruh dalam
menentukan nasibnya sendiri dibandingkan dengan makhluk lainnya, tetapi
iasama sekali bukanlah maujud yang diberi kuasa penuh, dibiarkan bebas
berbuat sekehendaknya. “Dengan daya upaya Allah-lah aku berdiri dan
duduk”. Maka jika kita meyakini bahwa maujud (manusia) ini atau yang
lainnya, diberi kuasa penuh, berarti meyakini bahwa maujud itu sekutu Allah
dalam kemandirian agensi yang selanjutnya independen dalam zat, dan hal ini
bertentangan dengan tauhid zati maupun tauhid amali.Firman Allah :
  ☺⧫ ➔◆
⬧◆ ⬧◆ ⧫ ⬧
   ⧫
 ⧫ ⬧◆ ☺
   ◆
⬧ ◼◆
Artinya : Dan Katakanlah: "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai
anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula
hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan
yang sebesar-besarnya. (QS Al-Israa {17} : 111).

Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc. dan Hendri Tanjung, S.Si., MM, dalam
bukunya berjudul "Manajemen Syariah dalam Praktik",mengatakan bahwa
manajemen syariah adalah perilaku yang terkait dengan nilai-nilai keimanan
dan ketauhidan, setiap perilaku orang yang terlibat dalam sebuah kegiatan
dilandasi dengan nilai tauhid, maka diharapkan perilakunya akan terkendali
dan tidak terjadi perilaku KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) karena
menyadari adanya pengawasan dari yang Maha Tinggi, yaitu Allah yang akan
mencatat setiap amal perbuatan yang baik maupun yang buruk. Hal ini
berbeda dengan perilaku dalam manajemen konvensional yang sama sekali
tidak terkait bahkan terlepas dari nilai-nilai tauhid. Orang-orang yang
menerapkan manajemen konvensional tidak merasa adanya pengawasan yang
melekat, kecuali semata-mata pengawasan dari pemimpin atau atasan. Setiap
196
kegiatan dalam manajemen syariah, diupayakan menjadi amal saleh yang
bernilai abadi.

Lebih dalam bukunya Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung mengelobarasi


beberapa contoh manajemen yang dicontohkan oleh para Nabi. Nabi Adam
misalnya, dengan persitiwa perselisihan yang terjadi pada putra-putranya
sampai pada pembunuhan antara Habil dan Qabil karena ada pihak yang
melanggar peraturan dalam memilih pasangan. Ini bentuk manajemen dimana
diterapkan sebuah aturan-aturan, jika dilanggar maka akan menyebabkan
sesuatu yang fatal.

Nabi Yusuf juga mencotohkan bagaimana ia seorang yang memiliki sifat


hafidz dan alim. Dimana ia merupakan pemimpin yang berorientasi pada
kepentingan masyarakat, dan bukan semata-mata pada kekuasaan.
Nabi Nuh yang melakukan dakwah dengan manajemen yang baik dimana ia
lakukan dengan cara halus, hikmah, jelas, dan argumentatif.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail juga mencotohkan proses manajemen dimana
perintah-perintah dari Allah yang sifatnya mutlak ia lakukan dengan proses-
proses dialogis kepada pengikutnya supaya dijalankan dengan kesadaran.
Dan terakhir manajemen yang dicontohkan Rasulullah dengan menempatkan
orang pada posisi yang tepat (right man on the right place). Inilah beberapa
contoh manajemen syariah yang dicontohkan para Nabi.

Manajemen dalam organisasi bisnis (perusahaan) merupakan suatu proses


aktivitas penentuan dan pencapaian tujuan bisnis melalui pelaksanaan empat
fungsi dasar, yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling dalam
penggunaan sumber daya organisasi. Oleh karena itu, aplikasi manajemen
organisasi perusahaan hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM
organisasi. Oleh karena itu, aplikasi manajemen organisasi perusahaan
hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi perusahaan yang
bersangkutan.

Dalam konteks di atas, Islam menggariskan hakikat amal perbuatan manusia


harus berorientasi pada pencapaian ridha Allah. Hal ini seperti dinyatakan
oleh Imam Fudhail bin Iyadh, dalam menafsirkan surat Al-Muluk ayat 2 :
“Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu siapa
yang paling baik amalnya. Dialah Maha Perkasa dan Maha Pengampun."
Ayat ini mensyaratkan dipenuhinya dua syarat sekaligus, yaitu niat yang
197
ikhlas dan cara yang harus sesuai dengan syariat Islam. Bila perbuatan
manusia memenuhi dua syarat itu sekaligus, maka amal itu tergolong baik
(ahsanul amal), yaitu amal terbaik di sisi Allah. Dengan demikian,
keberadaan manajemen organisasi harus dipandang pula sebagai suatu sarana
untuk memudahkan implementasi Islam dalam kegiatan organisasi tersebut.
Implementasi nilai-nilai Islam berwujud pada difungsikannya Islam sebagai
kaidah berfikir dan kaidah amal (tolak ukur perbuatan) dalam seluruh
kegiatan organisasi. Nilai-nilai Islam inilah sesungguhnya yang menjadi
nilai-nilai utama organisasi. Dalam implementasi selanjutnya, nilai-nilai
Islam ini akan menjadi payung strategis hingga taktis seluruh aktivitas
organisasi sebagai kaidah berfikir, aqidah, dan syariah difungsikan sebagai
asas atau landasan pola pikikr dan beraktivitas, sedangkan kaidah amal,
syariah difungsikan sebagai tolak ukur kegiatan organisasi.

Tolak ukur syariah digunakan untuk membedakan aktivitas yang halal dan
haram. Hanya kegiatan yang halal saja yang dilakukan oleh seorang Muslim.
Sementara yang haram akan ditinggalkan semata-mata untuk menggapai
keridhaan Allah. Atas dasar nilai-nilai utama itu pula tolak ukur strategis bagi
aktivitas perusahaan adalah syariah Islam itu sendiri. Aktivitas perusahaan
apa pun bentuknya, pada hakikatnya adalah aktivitas manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya yang akan selalu terikat dengan syariah. Oleh
karena itu, syariah adalah aturan yang diturunkan Allah untuk manusia
melalui lisan para Rasul-Nya. syariah tersebut harus menjadi pedoman dalam
setiap aktivitas manusia, termasuk dalam aktivitas bisnis. Banyak sekali ayat
Al Quran yang menegaskan hal tersebut.Firman Allah :
◼⧫ ➔ ➔
  ➔
⬧ ◆ ➔⬧
 ⧫ ◆◆❑
⧫❑☺◼➔⧫
Artinya : “Kemudian kami jadikan bagi kamu syariah, maka ikutilah syariah
itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (QS. al-
Jatsiyah : 18).
❑⬧  ◼◆◆ ⬧
☺ ❑☺⬧ 
 ▪➔ ⧫ ⧫
→  ⬧
198
⬧ ☺ ⧫
☺◼ ❑☺◆

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.. (QS. an-Nisa’ : 65)
❑▪ ⬧◆ ⧫◆ 
⧫ ⧫ ⧫◆ ◼⬧
❑→◆  ❑⧫⬧
    
 ⬧➔
Artinya : … apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. al-Hasyar : 7)

ETIKA BERGAUL DAN BERPAKAIAN


Rambu-rambu Islam tentang pergaulan
Peraturan Pemerintah nomor : 60 tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan
Tinggi, dan itu semua diwujudkan dengan diberlakukannya tata tertib
kehidupan kampus, tata tertib ujian, ketentuan-ketentuan pemilihan lembaga
kemahaiswaan yang prinsipnya mengatur tentang perilaku mahasiswa guna
menunjang tercapainya tujuan pendidikan tinggi seperti yang diisyaratkan di
dalam PP 60 tahun 1999 tersebut.
Kemuadian Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil
(sempurna). Agama mulia ini diturunkan dari Allah Sang Maha Pencipta,
Yang Maha Mengetahui tentang seluk beluk ciptaan-Nya. Dia turunkan
ketetapan syariat agar manusia hidup tenteram dan teratur.
Diantara aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia adalah aturan
mengenai tata cara pergaulan antara pria dan wanita. Berikut rambu-rambu
yang harus diperhatikan oleh setiap muslim agar mereka terhindar dari
perbuatan zina yang tercela:

Pertama, hendaknya setiap muslim menjaga pandangan matanya dari


melihat lawan jenis secara berlebihan. Dengan kata lain hendaknya
dihindarkan berpandangan mata secara bebas. Perhatikanlah firman Allah
berikut ini :
❑⧫ ✓⬧☺ ➔
 
199
 ➔ ❑→⧫⬧◆
  ⚫ ⬧ ⬧
☺  
➔◆  ⧫❑➔⧫
→⧫ ◆⬧☺
 
◆ ➔ →⧫⬧◆
⧫  ⧫⧫ 
⧫➢◆◆   ⧫⬧
❑ ◼⧫ ☺➔
 ⧫⧫  ◆ 
 ⬧❑➔
⧫◆  ⧫◆
 ⬧❑➔
 
 ⬧❑➔ 
⧫  ◆❑
⧫  ◆❑
 ◆❑
⬧◼⧫ ⧫  
 ☺
  ✓➔
  ⧫
  
◼⧫ →⧫ ⬧
◆   ◆❑⧫
 ⧫➢
 ⧫✓ ⧫ ◼➔
❑❑➔◆  ⧫
⧫ ➔⬧  ◼
➔⬧ ❑⬧☺
 ❑⬧➔
Artinya : 30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat".
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
200
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung. (QS. 24: 30-31).

Awal dorongan syahwat adalah dengan melihat. Maka jagalah kedua biji
mata ini agar terhindar dari tipu daya syaithan. Tentang hal ini Rasulullah
bersabda, “Wahai Ali, janganlah engkau iringkan satu pandangan (kepada
wanita yang bukan mahram) dengan pandangan lain, karena pandangan
yang pertama itu (halal) bagimu, tetapi tidak yang kedua!” (HR. Abu Daud).

Kedua, hendaknya setiap muslim menjaga auratnya masing-masing dengan


cara berbusana islami agar terhindar dari fitnah. Secara khusus bagi wanita
Allah SWT berfirman,
◆⬧☺ ➔◆
  →⧫
◆ ➔ →⧫⬧◆
⧫  ⧫⧫ 
⧫➢◆◆   ⧫⬧
◼⧫ ☺➔
 ◆  ❑
 ⧫⧫
 ⬧❑➔
⧫◆  ⧫◆
 ⬧❑➔
 
 ⬧❑➔ 
⧫  ◆❑
⧫  ◆❑
 ◆❑
⬧◼⧫ ⧫  
 ☺
  ✓➔
  ⧫
  
201
◼⧫ →⧫ ⬧
◆   ◆❑⧫
 ⧫➢
 ⧫✓ ⧫ ◼➔
❑❑➔◆  ⧫
⧫ ➔⬧  ◼
➔⬧ ❑⬧☺
❑⬧➔
Artinya : 31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. 24: 31).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman,
➔  ⧫
◆⧫◆ ◆
⧫✓⬧☺ ◆
 ◼⧫ ✓
⬧  ◼
⬧ ⧫➔  
 ◆  ⧫⬧⬧
☺▪ ❑→
Artinya : 59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di
ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:
59)
[1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan
dada.
Dalam hal menjaga aurat, Nabi pun menegaskan sebuah tata krama yang
harus diperhatikan, beliau bersabda: “Tidak dibolehkan laki-laki melihat
aurat (kemaluan) laki-laki lain, begitu juga perempuan tidak boleh melihat
202
kemaluan perempuan lain. Dan tidak boleh laki-laki berkumul dengan laki-
laki lain dalam satu kain, begitu juga seorang perempuan tidak boleh
berkemul dengan sesama perempuan dalam satu kain.” (HR. Muslim)

Ketiga, tidak berbuat sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada perbuatan
zina ,firman Allah yang berbunyi :
  ❑⧫⬧ ◆
⧫⬧⬧ ⧫ 
 ◆◆
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.(QS. 17: 32) misalnya
berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis yang bukan mahram. Nabi
bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
janganlah berkhalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahramnya)
karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaithan (HR. Ahmad).

Keempat, menjauhi pembicaraan atau cara berbicara yang bisa


‘membangkitkan selera’. Arahan mengenai hal ini kita temukan dalam firman
Allah,
  ⧫ ⧫◆ 
☺➔⬧◆ ❑◆◆
⧫ ⬧ ⬧
⚫ ⧫⧫◆ ✓⬧▪⧫
☺ 
Artinya : . Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap
taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata
Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan
baginya rezki yang mulia. (QS. 33: 31)
Berkaitan dengan suara perempuan Ibnu Katsir menyatakan, “Perempuan
dilarang berbicara dengan laki-laki asing (non mahram) dengan ucapan
lunak sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
jilid 3)

Kelima, hindarilah bersentuhan kulit dengan lawan jenis, termasuk


berjabatan tangan sebagaimana dicontohkan Nabi saw, “Sesungguhnya aku
tidak berjabatan tangan dengan wanita.” (HR. Malik, Tirmizi dan Nasa’i).
Dalam keterangan lain disebutkan, “Tak pernah tangan Rasulullah
menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini dilakukan Nabi tentu saja untuk memberikan teladan kepada umatnya
agar melakukan tindakan preventif sebagai upaya penjagaan hati dari bisikan
syaithan. Wallahu a’lam.
Selain dua hadits di atas ada pernyataan Nabi yang demikian tegas dalam hal
ini, bekiau bersabda: “Seseorang dari kamu lebih baik ditikam kepalanya
203
dengan jarum dari besi daripada menyentuh seorang wanita yang tidak halal
baginya.” (HR. Thabrani).

Keenam, hendaknya tidak melakukan ikhtilat, yakni berbaur antara pria


dengan wanita dalam satu tempat. Hal ini diungkapkan Abu Asied,
“Rasulullah saw pernah keluar dari masjid dan pada saat itu bercampur
baur laki-laki dan wanita di jalan, maka beliau berkata: “Mundurlah kalian
(kaum wanita), bukan untuk kalian bagian tengah jalan; bagian kalian
adalah pinggir jalan (HR. Abu Dawud).
Selain itu Ibnu Umar berkata, “Rasulullah melarang laki-laki berjalan
diantara dua wanita.” (HR. Abu Daud).
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa pria dan wanita memang harus
menjaga batasan dalam pergaulan. Dengan begitu akan terhindarlah hal-hal
yang tidak diharapkan.
Tapi nampaknya rambu-rambu pergaulan ini belum sepenuhnya difahami
oleh sebagian orang. Karena itu menjadi tanggung jawab kita menasehati
mereka dengan baik. Tentu saja ini harus kita awali dari diri kita masing-
masing.
Kunci Keberhasilan Mahasiswa dalam Belajar
Perlu diingat bahwa tugas mahasiswa adalah belajar. Untuk mencapai
keberhasilan, maka perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi kunci yakni :

1). Atribut Individu / mahasiswa adalah karekteristik yang dimiliki oleh


setiap mahasiswa yang menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan
mahasiswa dalam belajar. Ada tiga karakteristik yang melekat dalam setiap
mahasiswa dengan proporsi yang berbeda-beda yakni :
a. Karakteristik Demografi seperti umur dan jenis kelamin;
b. Karakteristik Kompetensi seperti kecerdasan dan kemampuan;
c. Karakteristik Psikologi seperti nilai, perilaku dan kepribadian.

2). Keinginan Kerja Keinginan kerja ini artinya keinginan untuk belajar,
karena tugas mahasiswa adalah belajar. Selain itu juga harus ada motivasi,
baik dari dalam maupun dari luar. Motivasi dari dalam berasal dari diri
sendiri untuk berhasil dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih
baik. Motivasi dari luar berasal dari luar diri sendiri baik berasal dari orang
tua atau dari pihak lain.

3). Dukungan Organisasi Dukungan organisasi adalah segala sesuatu yang


mendukung kepada mahasiswa untuk memaksimalkan hasil dari belajar.
Untuk mencapai hasil yang optimal, maka ketiga faktor tersebut harus
dimaksimalkan. Kehilangan salah satu faktor saja, maka hasilnya tidak dapat
optimal. Berdasarkan pengamatan terhadap para alumni yang sukses meniti
karier di tempatnya bekerja, maka berikut ini saran-saran yang perlu
dikemukakan agar saudara juga dapat meraih kesuksesan di masa depan :
204
a. Perbanyak Menggunakan Komputer Komputer adalah benda mati yang
diciptakan oleh daya nalar (logika) manusia, karenanya, prinsip kerja
komputer sama dengan cara kerja nalar manusia..Komputer tak ubahnya
sebagai "pembantu" kerja yang dapat diperintah dengan perintah yang sesuai
dengan logika atau nalar. Karenanya, diharapkan mahasiswa untuk sering
menggunakan komputer agar lebih mengenal "sifat" komputer. Semakin
sering menggunakannya, maka kesalahan-kesalahan perintah yang mungkin
terjadi akan semakin berkurang atau sama sekali tidak akan ada kesalahan.
Untuk sering menggunakannya, maka alangkah baiknya jika setiap
mahasiswa memiliki komputer pribadi.

b. Memilih Teman Penyesalan biasanya datang terlambat. Ini banyak dialami


mahasiswa yang merasa "tertipu" oleh dirinya sendiri karena salah memilih
teman bergaul. Kesenangan sesaat justru menjerumuskan mereka ke
kepedihan yang berkepanjangan. Jangan sampai saudara mengalami hal ini.
Pilihlah teman, dan bentuklah kelompok-kelompok belajar yang memiliki
jiwa inovatif. Artinya, tidak hanya mengulang pelajaran yang sudah diberikan
oleh dosen, melainkan mencari referensi lain yang mendukung pelajaran
tersebut, dan kuasai materi berikutnya yang akan diajarkan dosen di kelas.
Ingat, masa depan saudara tergantung saudara sendiri, dan mulailah dengan
bekerja keras dalam belajar sejak dini untuk meraih masa depan.

c. Jangan Mudah Mengeluh Orang yang sering berkeluh-kesah menandakan


kurang memiliki kemampuan. Dalam ilmu psikologi, ada satu alat ukur
kemampuan seorang manusia yang disebut dengan adversity quotient (AQ),
yaitu daya ketahanmalangan seseorang, yang nilainya di atas IQ (kecerdasan
otak) dan EQ (kecerdasan emosi). Orang yang memiliki nilai AQ tinggi,
maka ia tidak mudah mengeluh dan tidak mudah berputus asa walau pada
kondisi seburuk apapun. Justru sebaliknya, dengan segala keterbatasan yang
dimilikinya, ia mampu berpikir dan bertindak mensiasati diri untuk dapat
terus maju. Hal ini terjadi atau dapat dilihat para pengusaha ekonomi lemah
yang tetap survive dan maju meskipun krisis ekonomi melanda negara kita.

d. Kembangkan Gairah Membaca dan Menulis Gunakan waktu-waktu


senggang untuk membaca dan menulis yang berkaitan dengan tugas belajar.
Keengganan membeli buku dan membaca buku yang berkaitan dengan materi
pelajaran yang sedang dijalaninya akan menghambat proses belajar.
Mahasiswa pada umumnya sangat gemar meng-copy transparansi dosen,
padahal, transparansi itu adalah sarana untuk mengajar, bukan sarana untuk
belajar. Pada semester 6, setiap mahasiswa diwajibkan untuk menulis sebuah
penulisan ilmiah, yang setiap kata, setiap kalimat, dan setiap alineanya
diperiksa oleh dosen pembimbing dan dosen penguji. Kesalahan dalam
memilih kata, mengungkapkan ide dalam kalimat, dan ketidakkesinambungan
205
antara satu kalimat dengan kalimat lain di dalam sebuah alinea, merupakan
kesalahan yang cukup fatal.

e. Jauhkan Sifat Sombong Tidak ada satupun manusia yang segala


kemampuannya melebihi orang lain. Kesombongan hanya akan menjauhkan
diri kita pada kesempatan baik yang semestinya dapat kita raih. Bisa saja,
karena sifat sombong kita, teman kita yang tadinya mau mengajak bekerja di
perusahaan besar menjadi enggan, teman-teman yang tadinya simpati karena
kepintaran kita, menjadi antipati. Seorang professor, yang sangat ahli dan
sangat menguasai bidangnya, ia tetap tidak bisa sombong, karena, ilmu terus
berkembang, dan suatu saat apa yang telah dikuasainya ternyata belum apa-
apa, karenanya ia harus terus belajar. Konsep belajar adalah long-life
education (belajar seumur hidup), tidak ada hentinya.

f. Miliki Target - target Pribadi Biasakan memiliki target-target pribadi,


misalkan, di semester depan IPK saya harus naik, di tahun kelima saya harus
bisa membuka usaha di bidang informatika, dan sebagainya. Untuk mencapai
target-target tersebut, maka kita harus memiliki strategi atau siasat-siasat
yang mungkin dapat kita kerjakan. Kita harus dapat menilai tentang
kemampuan diri kita (apa yang kita miliki, apa kelebihan kita, apa
kekurangan kita), selanjutnya kita harus dapat memandang masa depan (apa
peluang yang bisa kita raih, apa tantangan yang bakal kita hadapi), dan dari
sana kita dapat melakukan manajemen diri (mengatur waktu, mengatasi
kekurangan, memilih teman, dan sebagainya). Dengan memiliki target-target
pribadi, maka, jalan hidup kita menjadi lebih terarah, dan kita tahu prioritas
apa yang harus dikerjakan terlebih dulu. Bila target itu tidak terpenuhi, maka
susun target baru sambil mengintrospeksi diri, mengapa target tersebut tidak
tercapai, dan benahi.

2. Etika dalam Berperilaku Mahasiswa


Dalam rangka menciptakan kehidupan ilmiah yang kondusif di dalam dan di
luar lingkungan kampus, maka perlu diketahui etika perilaku sebagai
mahasiswa adalah sebagai berikut :

1). Etika Pergaulan di Lingkungan Kampus


a. Berpakaian dan bersepatu rapi di lingkungan kampus;
b. Menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah;
c. Mengetahui, memahami dan melaksanakan peraturan-peraturan yang
berlaku di lingkungan kampus dan berusaha tidak melanggar;
d. Memberi contoh yang baik dalam berperilaku kepada adik tingkat, teman
setingkat dan kakak tingkat;
e. Saling menghormati dan menghargai terhadap sesama mahasiswa;

206
f. Berperilaku dan bertutur kata yang sopan, baik di dalam kelas dan di luar
kelas yang mencerminkan perilaku sebagai mahasiswa dan dijiwai oleh nilai-
nilai agama / kepercayaan yang dianut;
g. Tidak berperilaku asusila atau tidak bermoral;
h. Bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Gunadarma
atas pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku sebagai bagian dari
pendidikan disiplin.

2). Etika Pergaulan di Luar Kampus


a. Menjadi contoh yang baik di lingkungan dimana mahasiswa tersebut
berada;
b. Berperilaku dan bertutur kata yang baik yang mencerminkan sebagai
mahasiswa;
c. Berupaya mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
dipelajarinya di masyarakat sebagai wujud pengabdian;
d. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar kampus.

PERTEMUAN KE XVI

207
PENGERTIAN AKHLAK,ETIKA DAN MORAL
A. Pengertian Akhlak
Dari segi bahasa Akhlaq berasal daripada kata ‘khulq’ yang
bererti perilaku, perangai atau tabiat. Hal ini terkandung dalam
perkataan Sayyidah Aisyah berkaitan dengan akhlak Rasulullah
saw yaitu : “Akhlaknya (Rasulullah) adalah al-Quran.” Akhlak
208
Rasulullah yang dimaksudkan di dalam kata-kata di atas ialah
kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap dan tingkah laku
Rasulullah saw yang semuanya merupakan pelaksanaan dari
ajaran al-Quran.
Secara terminologis, menurut Imam Ghazali akhlak adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan dan pemikiran. Contohnya, ketika menerima
tamu bila seseorang membeda-bedakan tamu yang satu dengan
yang lain atau kadang kala ramah kadang kala tidak, maka
orang tersebut belum bisa dikatakan memiliki sifat memuliakan
tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan
tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya.
Menurut Ibnu Maskawih, “Akhlak ialah keadaan jiwa
seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-
perbuatan tanpa pertimbangan akal fikiran terlebih dahulu.”
Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, “Akhlak ialah kehendak yang
dibiasakan dan ia akan menjadi kebiasaan yang mudah
dilakukan.”
Menurut Iman Al Ghazali, akhlak merupakan gambaran tentang
keadaan dalam diri manusia dan dari gambaran tersebut
menumbuhkan tingkah laku secara mudah dan senang tanpa
memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Akhlak sangat
penting dan pengaruhnya sangat besar dalam membentuk
tingkah laku manusia. Apa saja yang lahir dari manusia atau
segala tindak-tanduk manusia adalah sesuai dengan pembawaan
dan sifat yang ada dalam jiwanya.
Tepatlah apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali dalam bukunya
Ihya’ Ulumuddin, “Sesungguhnya semua sifat yang ada dalam
hati akan lahir pengaruhnya (tandanya) pada anggota
manusia, sehingga tidak ada suatu
perbuatan pun melainkan semuanya mengikut apa yang ada
dalam hati manusia”.
209
Tingkah laku atau perbuatan manusia mempunyai hubungan
yang erat dengan sifat dan pembawaan dalam hatinya. Umpama
pokok dengan akarnya. Bermakna, tingkah laku atau perbuatan
seseorang akan baik apabila baik akhlaknya, sebagaimana
pokok, apabila baik akarnya maka baiklah pokoknya. Apabila
rusak akarnya maka akan rusaklah pokok dan cabangnya. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
→⬧⧫◆
⚫⬧ 
 ➔⧫⧫
◆  ◼◆
 ⚫⬧  
  ⧫
⧫ 
⧫ ❑⬧

Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh
subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur,
tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah
kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-
orang yang bersyukur.” (QS. Al- A’raf: 58)
Akhlak yang mulia adalah matlamat utama bagi ajaran Islam.
Ini telah dinyatakan oleh Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam
dalam hadisnya (yang bermaksud, antara lain: “Sesungguhnya
aku diutuskan hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia”.
Hal ini ditegaskan lagi oleh ayat al-Qur’an dalam firman Allah:
)4( ‫يم‬ ٍ ُ‫َوإِنَّكَ لَعَلَى ُخل‬
ٍ ‫ق ع َِظ‬
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam: 4)
Pengertian etika, dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa
Yunani, Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam
kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak.
210
Adapun etika secara istilah telah dikemukakan oleh para ahli
salah satunya yaitu Ki Hajar Dewantara menurutnya etika
adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan
di dalam hidup manusia semuanya, terutama yang mengenai
gerak gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan
perasaan sampai mengenai tujuannya yang merupakan
perbuatan.
Adapun moral secara etimologi berasal dari bahasa
latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat
kebiasaan. Didalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan
bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan
dan kelakuan. Selanjutnya moral secara terminologi adalah
suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari
sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The
Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. Dalam buku
ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut:
1. Prinsip-parinsip yang berkenaan dengan benar dan salah,
baik dan buruk.
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar
dan salah.
3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Ciri-ciri Akhlak Islam
1. Islam menyeru agar manusia menghiasi jiwa dengan akhlak
yang baik dan menjauhkan diri dari akhlak yang buruk.
Yang menjadi ukuran baik dan buruknya adalah syarak, iaitu
apa yang diperintahkan oleh syarak, itulah yang baik dan apa
yang dilarang oleh syarak itulah yang buruk.
2. Lingkungan skop akhlak Islam adalah luas meliputi segala
perbuatan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia
dan manusia dengan makhluk selain manusia.
3. Islam menghubungkan akhlak dengan keimanan. Orang
yang paling sempurna keimanannya ialah orang yang paling
baik akhlaknya.

211
4. Adanya konsep balasan dan ganjaran pahala atau syurga
oleh Allah dan sebaliknya orang yang berakhlak buruk akan
mendapat dosa atau disiksa dalam neraka.
Persamaan dan Perbedaan Antara Etika,Moral dan Akhlak
Persamaan
Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, dan moral yang
dapat dipaparkan sebagai berikut:
Pertama, akhlak, etika, dan moral mengacu kepada ajaran atau
gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangai
yang baik.
Kedua, akhlak, etika, moral merupakan prinsip atau aturan
hidup manusia untuk menakar martabat dan harakat
kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas akhlak,
etika, moral seseorang atau sekelompok orang, maka semakin
rendah pula kualitas kemanusiaannya.
Ketiga, akhlak, etika, moral seseorang atau sekelompok orang
tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat
tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif
yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan
aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan,
pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan,
mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara
tersu menerus, berkesinambangan, dengan tingkat keajegan dan
konsistensi yang tinggi.
Perbedaan
Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila
sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula beberapa segi
perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari keempat
istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi
perbedaan yang dimaksud:
Akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan
al-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak
atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai
dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran
Allah.
Etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai,
dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika bersumber
dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang
pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika
besifat temporer, sangat tergantung kepada aliran filosofis yang
menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.
212
Kriteria Ukuran Baik Dan Buruk Akhlak Dalam Islam
1. Menepati syariat islam.
2. Mendapat keredhaan Allah s.w.t.
3. Balasan syurga dan neraka.
4. Keserasian antara zahir dan batin
Sumber dari Akhlak, Etika dan Moral.
Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi
ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sumber akhlak
adalah Al-Quran dan sunah, bukan akal pikiran atau
pandangan masyarakat sebagaimana konsep etika dan
moral. Dan bukan karena baik dan buruk dengan sendirinya
sebagaimana pandangan muktazilah.
Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Quran memang dapat
menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh
Allah swt memiliki fitrah bertauhid, mengakui keesaan-Nya
(QS. Arrum: 30).
◆ ⬧
  
  ⧫
◼⧫  ⧫⬧⬧
 ⬧  
 ⬧  
⬧◆ ⬧
  ◆⬧
 ⧫❑☺◼➔⧫
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui[1168],
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid
itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu
cenderung kepada kebenaran. Namun fitrah manusia tidak
selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh
dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan linngkungan. Oleh
sebab itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan
sepenuhnya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata.
Fitrah hanyalah potensi dasar yang perlu dipelihara dan
dikembangkan.
213
Semua keputusan syara’ tidak akan bertentangan dengan hati
nurani manusia, karena kedua-duanya berasal dari sumber yang
sama yaitu Allah swt. Demikian juga dengan akal pikiran, Ia
hanyalah salah satu kekuatan yang dimilki manusia untuk
mencari kebaikan atau keburukan. Pandangan masyarakat juga
bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk. Masyarakat
yang hati nuraninya sudah tertututp dan akal pikiran mereka
sudah dikotori oleh perilaku tercela tidak bisa dijadikan ukuran.
Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang dapat dijadikan
ukuran.
Macam-macam Etika
Dalam membahas etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang
tanggapan kesusilaan atau etis itu sama halnya dengan
berbicara tentang moral. Manusia disebut etis karena manusia
secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya
dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi
dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya,
dan antara sebagai makhluk dengan penciptanya. Termasuk di
dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang
dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika yaitu sebagai
berikut:
1.Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap
dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang
dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni
mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang
terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat
disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai
atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan
kondisi tertentu yang memungkinkan manusia dapat bertindak
secara etis.
2.Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal
dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya
dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam
hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-norma yang
dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan
menghindarkan hal-hal yang buruk sesuai dengan kaidah atau
norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
3.Etika metaetika
Merupakan sebuah cabang dari etika yang membahas dan
menyelidiki serta menetapkan arti dan makna istilah-istilah
normatif yang diungkapkan lewat pertanyaan-pertanyaan etis
214
yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilsh-
istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus, antara
lain keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, tercela,
yang adil, yang semestinya.
KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM
Akhlak mendapat kedudukan yang tinggi dalam Islam, ini dapat
dilihat dari beberapa sebab:
1. Islam telah menjadikan akhlak sebagai illat (alasan) kenapa
agama Islam diturunkan. Hal ini jelas dalam sabda
Rasulullah: Maksudnya: Aku diutus hanyalah semata-mata
untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.
2. Islam menganggap orang yang paling tinggi darjat keimanan
ialah mereka yang paling mulia akhlaknya. Dalam hadis
telah dinyatakan: Maksudnya: Telah dikatakan Ya
Rasulullah, mukmin yang manakah paling afdhal imannya,
Rasulullah s.a.w. bersabda orang yang paling baik
akhlaknya antara mereka.
3. Islam telah mentakrifkan “Addin” dengan akhlak yang baik.
Dalam hadis telah dinyatakan bahawa telah bertanya
kepada Rasulullah s.a.w. Maksudnya: Apakah Addin itu?
Sabda Rasulullah, akhlak yang baik Ini bererti bahawa
akhlak itu dianggap sebagai rukun Islam.
4. Islam menganggap bahawa akhlak yang baik adalah
merupakan amalan yang utama dapat memberatkan neraca
amal baik di akhirat kelak. Hal ini
telah dinyatakan dengan jelasnya dalam hadis Rasulullah:
“Perkara yang lebih berat diletakkan dalam neraca hari
akhirat ialah takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”.
5. Dalam ajaran Islam dinyatakan bahawa mereka yang berjaya
memenangi kasih sayang Rasulullah dan mendapat sesuatu
kedudukan yang hampir dengan Rasulullah pada hari
215
akhirat ialah orang yang lebih baik akhlaknya. Dalam hadis
Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Maksudnya: Yang paling
aku kasihi di antara kamu dan yang paling dekat
kedudukannya padaku di hari akhirat orang yang paling
baik akhlaknya di antara kamu”.
HUBUNGAN AKHLAK DENGAN IMAN DAN
IHSAN
Pengertian Akhlak secara etimologis berarti
perangai,adat,tabiat,watak atau sistem perilaku yang dibuat ð̀ĩ
mana proses terjadinya melalui seperangkat pengertian tentang
apa & bagaimana sebaiknya Akhlak itu disusun oleh manusia
dalam sistem idenya.Sistem ide ini hasil penjabaran dari norma
(baik yang bersifat deskritif maupun normatif) berupa ketentuan
yang timbul dari suatu pandangan sistem nilai & & dalam Islam
sistem itu bersumber Alquran & sunnah.
Pengertian Ihsan.

Nabi muhammad Saw. Menjalaskan tentang agama dalam satu


kalimat ang sangat singkat, yakni ad-dien al-muamalah agama
adalah interaksi. Interaksi yang dimaksud di sini adalah
hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhannya. Islam
datang membawa ajaran yang mengarahkan manusia
memperbaiki hubungan antara semua pihak. Ihsan berarti baik
atau berbuat baik. Menurut istilah Ihsan adlah keadaan
seseorang dalam beribadat kepada Allah SWT. Seakan-akan dia
melihat Allah dengan mata hatinya. Jika tidak melihat-Nya,
maka dia yakin bahwa sesunguhnya Allah SWT. Senantiasa
melihatnya. Dengan kata lain, Ihsan berarti suasana hati dan
perilaku

seseorang untuk senantiasa merasa dekat dengan Allah,


sehingga tindakannya, perilakunya, sesuai dengan aturan dan
urgen Allah SWT.

Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia


sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari beberapa
hadis terkenal seperti “Sesungguhnya aku diutus hanyalah
untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi.” jika kita
renungkan lebih jauh, sesungguhnya makna diatas itu tidak
berbeda jauh dari yang secara umum dipahami oleh orang-
orang muslim, yaitu bahwa dimensi vertikal pandangan hidup
216
kita “iman dan taqwa habl mi al-Lah, dilambangkan oleh tabir
pertama atau takbirat al-ihram dalam shalat” selalu, dan
seharusnya, melahirkan dimensi horisontal pandangan hidup
kita (amal saleh, akhlak mulia, habl min al-nas, dilambangkan
olen ucapan salam atau taslim pada akhir shalat). Jadi makna-
makna tersebut sangat sejalan dengan pengertian umum tentang
keagamaan.

Ihsan secara lahiriah melaksanakan amal kebaikan.


Ihsan dalam bentuk lahiriah ini, jika dilandasi dan dijiwai
dalam bentuk rohaniah batin akan menumbuhkan keikhlasan.
Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan takwa yang
merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadat kita. Ihsan
dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan
mauamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam
akhlak nya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang
menjadi harapan Rasullah dalam salah satu hadisnya. Pada
akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku,
sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dan ibadahnya
akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.

Landasan Syar’i Ihsan

Pertama, Al-Qur`anul Karim


Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara
tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat
menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan
sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam
Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan
akan hal ini

217
 ❑◆ 
⧫  
⧫✓⬧☺

Artinya :…“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-
Baqarah: 195)
⧫  
➔
◆
Artinya : “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk
berbuat adil dan kebaikan….”(QSAn-Nahl:90)
Kedua,As-Sunnah
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap
masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan
perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist
mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan
utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw.
menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan
Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut
dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan
apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya


Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka
jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu
menyembelih, sembelihlah dengan baik.”(HR.Muslim)

Akhlak Sebagai Manifestasi Iman

Iman dari segi bahasa biasa diartikan dengan


pembenaran. Sebagian pakar mengartikannya sebagai
pembenaran hati terhadap apa yang didengar oleh telinga.
Pembenaran akal saja tidak cukup, tetapi yang terpenting adalah
pembeneran dengan hati. Didalam islam tidak semua
pembenaran dinamakan iman. Iman adalah membenarkan
menyangkut apa yang disampai oleh Nabi Muhammad Saw.

218
Sebagai mana yang tergambar dalam pokok-pokok dalam
arkanul iman.

Iman menjadi dasar untuk berperilaku bagi setiap insan


yang mengaku dirinya muslim. Karena dengan iman seseorang
akan merasakan adanya dzat yang Maha Halus dan Maha
Mengetahui, yang tidak hanya menghindarkan orang dari
bebuat jahat tapi juga memotifasi untuk berbuat baik. Derajat
iman seseorang itu adlah tingkatan iman yang menunjukkan
kebaikan perilaku seseorang yang dapat dilihat pada indikator-
indikator yaitu: kecintaan terhadap perbuatan baik dan tidak
senang dengan untuk berbuat buruk
.
C. Keterkaitan antara aqidah dengan ahlak

` Aqidah atau keyakinan, dinamakan juga ilmu aqa,id


(ikatan yang kokoh). Keyakinan kepada Allah SWT., harus
merupakan ikatan yang kokoh yang tidak boleh lepas atau
dibuka begitu saja, karena akan berbahaya bagi umat manusia.
Orang yang tidak memiliki ikatan yang kokoh dengan Tuhan,
menyebabkan ia dengan mudah tergoda dengan ikatan-ikatan
lainnya yang membahayakan.
Keterkaitan aqidah dengan akhlak dapat dilihat melalui
beberapa pandangan sebagai berikut

1. Dilihat dari segi objek bahasanya,aqidah membahas masalah


Tuhan,baik dari sagi Zat,sifat dan perbuatannya.kepercayaan
yang mantap kapada Tuhan menjadi landasan untuk
mengarahkan amal perbuatan manusia sehingga perbuatan
manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini merupakan bentuk
akhlak yang mulia.

Allah SWT berfirman:


 ⧫◆
➔◆ 
⬧ ⧫✓➔ 
⧫
◆◆
❑☺◆
◼❑◼
❑➔⬧◆
219
 ◼❑
 ⬧◆
 ☺⬧
Artinya:
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah
dengan memurnikan kataatan kapada-Nya dalam
(menjalankan)agama yang lurus,dan supaya mereka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus.” (Q.S Al-Bayyinah:5)

2. Dilihat dari fungsinya aqidah menghendaki agar seseorang


tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman dan dalil-
dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang bertauhid
itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam
rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-
sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia bertauhid meniru
sifat-sifat itu. Allah SWT bersifat ar-rahman dan ar-rahim,
maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan
mengembangkan sifat kasih sayang di muka bumi. Demikian
juga jika Allah bersifat dengan asma’ul husnah yang jumlahnya
99, maka asma’ul husnah tersebut harus dipraktekkan dalam
kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan
memberpengeruh terhadap pembentukan akhlak.

Beriman kepada malaikat dimaksudkan agar manusia


mencontoh sifat-sifat yang terdapat pada malaikat seperti sifat
jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan
segala yang diperintahkan Tuhan. Percaya kepada malaikat
dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi
oleh para malaikat, sehingga tidak berani melanggar larangan
Allah. Dengan percaya kepada malaikat membawa kepada
perbaikan akhlak yang mulia.

Allah berfirman :
⧫ ⧫
❑➔ ❑⧫◆
→
⧫ ◆
 ❑➔◆
◆⧫◆
⬧◼⧫ ◼⧫
220
⧫❑➔⧫   
➔⧫⧫ ⧫ 
⧫ ⧫❑➔➔⧫◆
 ⧫⬧⬧
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan. (QS.at-tahrim:6 )

Beriman kepada kitab khusus Al-qur’an, maka secara


akhlaki harus diikuti denganupaya menjadikan Al-qur’an
sebagai wasit, hakim serta imam dalam kehidupan. Dengan cara
demikian iman kepada kitab erat kaitannya dengan pembinaan
akhlak yang mulia. Demikian juga beriman kepada para rasul
khususnya nabi Muhammad Saw, harus disertai dengan
mencontoh

akhlak rasulullah dan mencintainya. Mengikuti dan mencintai


rasulullah dinilai sama dengan mencintai dan menaatinya.
Dengan cara demikian beriman kepada rasul akan menimbulkan
akhlak yang mulia, hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara
meniru sifat-sifat yang wajib para rasul yaitu sifat shidiq (jujur),
amanah (terpercaya), tablig (menyampaikan ajaran sesuai
perintah Allah), dan fathonah (cerdas). Jika semua itu dicontoh
oleh manusia yang mengimaninya maka akan dapat
menimbulkan akhlak yang mulia, disinilah letaknya hubungan
antara akhlak dengan aqidah.

Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi


akhlak harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala
amal perbuatan yang dilakukan selama didunia ini akan
dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti.
Dalam kaitan ini,dapat dikatakan bahwa yang disebut nilai
adalah keyakinan,sentimen yang bersifat umum atau
strategis,sedangkan penjabarannya dalam bentuk
formula,peraturan atau operasionalisasinya disebut norma.
Derajat Aklak & tanda-tanda keimanan serta keihsanan
1. Istiqamah(konsekuen dalam pendirian tetapi bijaksana)
2. Senang berbuat baik
3. Memenuhi amanat & bersikap adil
221
4. Peduli dengan penderitaan Ŏ®ªƞg lain
e. Kreatif & tawakkal
f. Kompetitif (etos kerja)
g. Estetika (cinta keindahan)
h. Sikap sederhana
I. Disiplin,Produktif & Konsisten

Sistem perilaku diatas akan melahirkan pola perilaku (tingkah


laku) & sikap yang baik (Akhlakul Karimah).Pola perilaku &
sikap ini didasarkan pada nilai-nilai Iman,Islam,& Ihsan.Ihsan
berarti baik,yang dalam Alquran,antara lain mencakup
perbuatan sâbar,jihad,taqwa.Sedangkan tingkat keimanan yang
tinggi dalam Alquran,memenuhi amanat,adil,kreatif,&
tawakal.& Ŏ®ªƞg yang ihsan disebut muhsin.
KARAKTERISTIK AKHLAK ISLAMI
Misi utama Rasulullah di muka bumi adalah untuk
menyempurnakan akhlak, tepat sekali jawaban Aisyah r.a. atas
pertanyaan mengenai akhlak Rasulullah, yaitu: “Akhlak Nabi
Muhammad saw. adalah Alquran”. Jawaban yang ringkas dan
sarat makna ini menunjukkan Alquran telah menyatu dalam diri
Nabi dan menjadi paradigma dalam totalitas perilaku
kesehariannya, sehingga Allah memposisikan Nabi tidak hanya
sebagai pembawa risalah langit, tetapi sekaligus sebagai
“uswatun hasanah”

Substansi misi suci Nabi terkait erat dengan semangat


“rabbaniyah dan insaniyah” yaitu pola hubungan antara dimensi
vertikal (hablum min Allah) dan dimensi horizontal (hablum
min An-Naas). Jika pola hubungan ini cukup kuat dan sejati,
maka akan memancar pelbagai bentuk relasi pergaulan manusia
yang berbudi luhur. Dari semangat rabbaniyyah dan insaniyyah
ini. Nabi membangun masyarakat madani yang bercirikan kuat
dan berorientasi kepada nilai-nilai luhur (akhlaq al-karimah).
Oleh karena itu, suatu tatanan masyarakat yang sehat dan
berkualitas akan terwujud bila akhlak menjadi
mainstream dan terefleksikan dalam perilaku keseharian.

Karakteristik Akhlak

222
Kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh Alquran dan
Sunnah, mengandung muatan universalistik dan partikularistik.
Muatan universalistik merupakan “common platform”(titik
persamaan) nilai-nilai moral lain yang ada di dunia, sedangkan
muatan partikularistik menunjukkan cirri khas dan karakteristik
akhlak Islam yang berbeda dengan yang lainnya.
Ciri khas dan karakteristik akhlak Islam itu meliputi:

1) Akhlak Rabbaniyah

Akhlak rabbaniyah memiliki pengertian bahwasanya wahyu


Ilahi merupakan “reference source” (sumber rujukan) ajaran
akhlak. Hal ini tidak berarti mengandung kontradiksi dengan
pendapat akal sehat, karena kebaikan yang diajarkan oleh
wahyu adalah kebaikan menurut akal dan yang diajarkan
sebagai keburukan menurut wahyu adalah keburukan menurut
akal.

2) Akhlak Insaniyah

Akhlak insaniyah mengandung pengertian bahwa tuntutan


fitrah dan eksistensi manusia sebagai makhluk yang
bermartabat, sesuai dan ditetapkan oleh ajaran akhlak.
Kecenderungan manusia kepada hal-hal yang positif dan
ketetapan akal tentang kebaikan, secara langsung akan
terpenuhi dan bertemu dengan kebaikan ajaran akhlak.
Orientasi akhlak insaniyah ini, tidak terbatas pada
perikemanusiaan yang menghargai nlai-nilai kemanusiaan
secara umum, tetapi juga mencakup kepada perikemakhlukan,
dalam pengertian menanamkan rasa cinta terhadap semua
makhluk Allah.

3) Akhlak Jami’iyah

Akhlak jami’iyah mempunyai arti bahwa kebaikan yang


terkandung di dalamnya sesuai dengan kemanusiaan yang
universal, kebaikannya untuk seluruh umat manusia di segala
zaman dan di semua tempat, mencakup semua aspek kehidupan
baik yang berdimensi vertikal maupun yang berdimensi
horisontal.

4) Akhlak Wasithiyah

223
Akhlak wasithiyah berarti bahwasanya ajaran akhlak itu
menitikberatkan keseimbangan (tawassuth) antara dua sisi yang
berlawanan, seperti keseimbangan antara rohani dan jasmani,
keseimbangan antara dunia dan akhirat, dan seterusnya.

Allah swt. dalam firman-Nya mengilustrasikan tentang dua


kelompok manusia yang memiliki sifat saling berlawanan.
Kelompok pertama hanya memprioritaskan kehidupan
dunianya, dengan sekuat tenaga berusaha memenuhi tuntutan-
tuntutan hedonistiknya dan membunuh kesadarannya akan
kehidupan akhirat. Sedangkan kelompok yang kedua berusaha
menyeimbangkan kepentingan hidupnya di dunia dan di akhirat
serta merasa takut akan siksa neraka. Kelompok pertama akan
mendapatkan keinginan-keinginan duniawinya, namun di
akhirat tidak mendapatkan apa-apa, sedangkan kelompok yang
kedua benar-benar akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.

5) Akhlak Waqi’iyah

Akhlak waqi’iyah mengandung pengertian bahwasanya ajaran


akhlak memperhatikan kenyataan (realitas) hidup manusia
didasari oleh suatu kenyataan, bahwasanya manusia itu di
samping memiliki kualitas-kualitas unggul, juga memiliki
sejumlah kelemahan. Firman Allah berikut memperjelas kondisi
objektif manusia paling mendasar: “Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. (Q.S.Asy Syams [91] :7-8) yang berbunyi :

 ▪❑ ⧫◆ ▪⧫◆


☺⚫⬧
◆❑➔
 ◆❑⬧◆
Artinya : Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).8.
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya.

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwasanya manusia


memiliki dua potensi yang berhadapan secara diametral. Satu
potensi menunjukkan kualitas insaniyah dan yang satunya lagi
manunjukkan kelemahan.
224
Dalam ayat lain terdapat sebuah ilustrasi, bahwasanya kondisi
realitas menjustifikasi untuk melakukan sesuatu yang tadinya
terlarang. “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah[2] :173)
yang berbunyi :

→◼⧫ ⧫▪ ☺


⧫◆ ⬧⧫☺
 ⬧⬧◆
  ⧫◆
☺⬧   ⧫
⧫ ◆ ▪
 ⬧ ⧫ ◆
   ◼⧫
 ▪ ❑→
Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang
Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

[108] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan
yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.

Dengan memahami karakteristik akhlak Islam ini, mudah-


mudah kita terpacu untuk mewujudkan akhlak Islam di pentas
kehidupan sehingga harmoni tercipta di muka bumi.

Ruang Lingkup Akhlak

Dalam pembinaan akhlak mulia merupakan ajaran dasar dalam


Islam dan pernah diamalkan seseorang, nilai-nilai yang harus
dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.

Ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan


akhlak. Ibadah dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan taqwa, dan
taqwa berarti pelaksanaan perintah Tuhan dan menjauhi
larangannya. Larangan Tuhan berhubungan perbuatan tidak

225
baik, orang bertaqwa adalah orang yang menggunakan akalnya
dan pembinaan akhlak adalah ajaran paling dasar dalam Islam.

Dalam persepktif pendidikan Islam, pendidikan akhlak al-


karimah adalah faktor penting dalam pembinaan umat manusia,
oleh karena itu, pembentukan akhlak al-karimah dijadikan
sebagai bagian dari tujuan pendidikan Islam. Pendapat Atiyah
al-Abrasyi, bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari
pendidikan Islam, dan mencapai kesempurnaan akhlak
merupakan tujuan pendidikan Islam.

Firman Allah swt. dalam QS. (29): 45


◼❑◼ ◆
◼❑◼  
⧫ ⬧⬧
⧫⬧
 ⬧☺◆

Artinya :“… dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu


mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar…”.
Firman Allah swt. dalam QS. [3]: 159

 ☺◆ ☺⬧


 ⬧  
→⬧  ❑⬧◆
⬧ 
 ❑
 ❑
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu.

Dari dua ayat di atas sangat jelas menekankan kita untuk


menjadikan akhlak sebagai landasan segala tingkah laku yang
berasal dari Al-Qur’an.

226
Secara garis besar, mata pengajaran aqidah akhlak berisi materi
pokok sebagai berikut:

1. Hubungan manusia dengan akhlalik

Hubungan vertikal antara manusia dengan khaliqnya mencakup


dari segi aqidah yang meliputi, iman kepada Allah, iman
kepada malaikat-malaikatnya, iman kepada kitab-kitabnya,
iman kepada rasul-rasulnya, dan kepada qada’ dan qadarnya.

2. Hubungan manusia dengan hamba

Materi yang dipelajari meliputi akhlak dalam pergaulan hidup


sesama manusia, kewajiban membiasakan diri sendiri dan orang
lain, serta menjauhi akhlak yang buruk.

3. Hubungan manusia dengan lingkungannya

Materi yang dipelajari meliputi akhlak menusia terhadap


lingkungannya, baik lingkungan dalam arti yang luas, maupun
akhlak hidup selain manusia, yaitu binatang dan tumbuh-
tumbuhan.

Yunahar Ilyas membagi pembahasan akhlak dengan enam


bagian, yaitu:
1. Akhlak terhadap Allah swt.
2. Akhlak terhadap Rasulullah saw.
3. Akhlak pribadi
4. Akhlak dalam keluarga
5. Akhlak bermasyarakat
6. Akhlak bernegara.

1. Akhlak Kepada Allah


Kita sebagai umat islam memang selayaknya harus berakhlak
baik kepada Allah karena Allah lah yang telah
menyempurnakan kita sebagai manusia yang sempurna. Untuk
itu akhlak kepada Allah itu harus yang baik-baik jangan akhlak
yang buruk. Seperti kalau kita sedang diberi nikmat, kita harus
bersyukur kepada Allah.
Menurut pendapat Quraish Shihab bahwa titik tolak akhlak
kepada Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji;

227
demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun
tidak akan mampu menjangkaunya.
Seorang yang berakhlak luhur adalah seorang yang mampu
berakhlak baik terhadap Allah ta’ala dan sesamanya. Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
Keluhuran akhlak itu terbagi dua.
Pertama, akhlak yang baik kepada Allah, yaitu meyakini
bahwa segala amalan yang anda kerjakan mesti (mengandung
kekurangan/ketidaksempurnaan) sehingga membutuhkan udzur
(dari-Nya) dan segala sesuatu yang berasal dari-Nya harus
disyukuri. Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur
kepada-Nya dan meminta maaf kepada-Nya serta berjalan
kepada-Nya sembari memperhatikan dan mengakui kekurangan
diri dan amalan anda.
Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama. kuncinya terdapat
dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu
sesama dalam bentuk perkataan dan perbuatan.

Adapun contoh Akhlak kepada Allah itu antara lain:


a.Taqwa kepada Allah SWT.
Definisi taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah
dengan mengikuti segala Perintahnya dan menjauhi segala
larangannya.
b.Cinta kepada Allah SWT.
Definisi cinta yaitu kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan
hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa
yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih
sayang.3
c.Ikhlas
Definisinya yaitu semata-mata mengharap ridlo Allah. Jadi
segala apa yang kita lakukan itu semata-mata hanya mengharap
ridho Allah SWT.
d.Khauf dan raja’
Khauf yaitu kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak
disukaiyang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya
sesuatu yang disukainya.4
Raja’ yaitu memautkan hati pada sesuatu yang disukai.
e.Bersyukrur terhadap nikmat yang diberikan Allah
Syukur yaitu memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang
telah dilakukannya. Syukurny seorang h amba berkisar atas tiga
hal, yang jika ketigany tidak berkumpul maka tidaklah
dinamakann syukur. Tiga hal itu yaitu mengakui nikmat dalam
batin, membicaraknnya secara lahir, dan menjadikannya
sebagai sarana taat kepada Allah.
228
f.Muraqobah
Dalam hal ini, Muraqabah diartikan bahwa kita itu selalu
berada dalam pengawasan Allah SWT.5
g.Taubat
Taubat berarti kembali, yaitu kembali dari sesuatu yang buruk
ke sesuatu yang baik.
h.Berbaik sangka kepada Allah SWT.
Maksudnya kita sebagai umat yang diciptakan oleh Allah,
hendaknya khusnudzon, jangan suudzon, karena apa yangakan
diberikan oleh Allah itu pasti bak bagi kita.
i.Bertawakal kepada Allah SWT.
Bertawakal yaitu kita berserah diri kepada Allah. Setelah kita
memohon kepada Allah hendaknya kita berrusaha, bukan hanya
diam diri untuk memenuhi do’a kita. Itu yang dimaksud dengan
tawakal.
j.Senantiasa mengingat Allah SWT.
Salah satu akhlak yang baik kepada Allah yaitu kita selalu
mengingat Allah dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan
susah maupun senang.
k.Memikirkan keindahan ciptaan Allah SWT.
Yaitu kita dianjurkan untuk melakukan Tadzabur Alam,
memikirkan tentang bagaimana kita diciptakan, dan lain-lain
yang berkaitan dengan ciptaan Allah yang lain, supaya kita
dapat merasakan keagungan Allah SWT. Sehingga kita dapat
berakhlak yang baik kepada Allah.
2. Akhlak kepada sesama manusia
Dalam persoalan akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak
berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta
menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak mearupakan
dimensi nilai dari syariat Islam. Kualitas keberagaman justru
ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat
rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas
dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, sholat
dilihat dari kekhusuannya, berjuang dilihat dari kesabarannya, Haji
dilihat dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan
perbuatan, harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa,
jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang
diterima. Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi
nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai Agama yang bias dilihat
dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai
aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud
untuk mengatur tata kehidupan manusa. Sebagai aturan, Agama
berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangan
keras (haram), ada juga perintah anjuran (sunnah) dan larangan
anjuran (makruh).

229
Apalagi pada zaman sekarang ini, banyak diantara kita kurang
memperhatikan masalah akhlak. Disatu sisi, kita mengutamakan
tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini,
berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam
masalah akhlak kurang diperhatikan, sehingga tidak dapat disalahkan
bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awam, seperti
ungkapan, “wah udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua”,
atau ucapan: “dia sih agamanya bagus, tapi sama tetangga tidak
pedulian”, dan lain-lain.
Seharusnya, ucapan-ucapan seperti ini atau pun semisal dengan ini
menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi
akhlak Islam, bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan
Islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat, bahwa tauhid
sebagai sisi pokok/inti, Islam yang memang seharusnya kita
utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara
penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat,
Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap ALLAH,
dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang
bertauhid dan baik akhlaknya, berarti ia adalah sebaik-baik manusia.
Semakin sempurna tauhid seseorang, maka semakin baik akhlaknya,
dan sebaliknya bila seseorang wahhid memiliki akhlak yang buruk
berarti lemah tauhidnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
pembahasan akan dititikberatkan pada “Akhlak Kepada Sesama
Manusia”.
3. akhlak kepada keluarga
Akhlak kepadakeluarga dapat dikelompokan menjadi:
A. Akhlak terhadap Orang tua

1. Peranan orang tua dalam kehidupan seorang anak


Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia lahir ke dunia ini adalah
melalui ibu-bapak.Susah dan payah dialami oleh ibu dan bapak untuk
memelihara anaknya, baik ketika masih dalam kandungan, maupun
setelah lahir ke dunia.Pertama-tama ibu harus mengandung kita
selama kurang lebih 9 bulan.Selama dalam kandungan, ibu
menanggung kepayahan, keletikan dan kesakitan.
Sementara agar beban yang ditanggung oleh ibu-bapak jangan terlalu
berat, maka tiap sebulan sekali atau setengah bulan sekali diperiksa
ke dokter.Hal ini dilakukan demi keselamatan bayi yang ada dalam
kandungan.Demikian pula ketika hendak melahirkan, perasaan
gelisah, takut, sakit menjadi satu, dan nyawa ibulah sebagai
taruhannya.Bersamaan itu pula bapak berdoa agar istrinya
melahirkan dengan selamat, dan anak yang lahir ke dunia juga dalam
keadaan selamat dan sehat.
Setelah bayi lahir ke dunia, lalu dipelihara dan dijaganya dengan
penuh perhatian, disusui, disuapi makanan, dimandikan, diayun dan
dibuai ketika menangis, agar cepat diam dan tidur.Kalau bayi sakit,
ibu dan bapak gelisah pula, mereka mencarikan obat agar cepat pulih
kembali kesehatannya.
230
Selanjutnya, ibu dan bapak mengajarkan kita duduk, berdiri, berjalan,
bercakap-cakap, bermain-main dan menjaga agar kesehatan kita tetap
baik dan pertumbuhan fisik dan rohaninya tetap normal.
Ibu-bapak kita benar-benar berjasa, dan jasanya tidak bias dibeli
sama sekali dan tak dapat diukur oleh apapun juga. Merekalah yang
mengusahakan agar kita dapat makan dan membelikan pakaian untuk
kita. Selanjutnya kita dimasukkan ke lembaga pendidikan, mulai dari
sekolah pendidikan dasar sampai menengah dan mungkin sampai ke
perguruan tinggi, agar kita berakhlak baik, teguh mengamalkan
ajaran-ajaran agama dan mempunyai masa depan yang gemilang.

2. Cara berbuat baik kepada orang tua


Cara berbuata baik kepada ibu-bapak diantaranya:
a. Mendengarkan nasihat-nasihatnya dengan penuh perhatian,
mengikuti anjurannya dan tidak melanggar larangannya;
b. Tidak boleh membentak ibu-bapak, menyakiti hatinya, apalagi
memukul. Ibu dan bapak harus diurus atau dirawat dengan baik;
c. Bersikap merendahkan diri dan mendoakan agar mereka selalu
dalam ampunan dan kasih sayang Allah S.W.T.;
d. Sebelum berangkat dan pulang sekolah hendaklah membantu
orang tua;
e. Menjaga nama baik kedua orang tua di masyarakat;
f. Memberi nafkah, pakaian, dan membayarkan hutangnya kalau
mereka tidak mampu atau sudah tua;
g. Menanamkan hubungan kasih sayang terhadap orang yang telah
ada hubungan kasih sayang oleh ibu-bapaknya;
3. Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua
Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua adalah
perbuatan yang amat mulia.Bahkan dianjurkan setiap setelah shalat
mendoakan kedua orang tua. Apabila kedua orang tua itu telah
meninggal misalanya, maka kita sebagai anaknya berkewajiban
berbakti kepada mereka seperti:
a. Menyembahyangkan jenazahnya;
b. Memintakan ampunan kepada Allah;
c. Menyempurnakan janjinya;
d. Memuliakan sahabatnya;
e. Menghubungi anak keluarganya yang bertalian dengan keduanya.

B. Akhlak terhadap Saudara


1. Peranan Saudara dalam kehidupan sehari-hari
Peranan saudara dalam kehidupan kita sangatlah penting, karena
pada dasarnya kita adalah makhluk sosial yang senantiasa saling
bantu-membantu dalam menempuh kehidupannya, terutama
saudaranya yang terdekat.
Oleh karena itu, saudara masih ada hubungan darah dengan kita,
maka merekalah yang paling pertama kita minta bantuannya.Lebih-
lebih bila kita sedang mendapat musibah atau bencana lainnya,
misalnya sakit, kecurian dan sebagainya. Karena itu, hubungan antara
231
saudara dengan saudara haruslah dipelihara dengan sebaik-baiknya,
jangan sampai retak, jangan sampai timbul hal-hal yang
menyebabkan tali silaturahmi terputus, apalagi kalau sampai timbul
perpecahan atau permusuhan dan percekcokan satu sama lain.
2. Cara berbuat baik kepada saudara
Cara berbuat baik kepada saudara diantaranya:
a. Menghormati dan mencintai mereka. Karena kita dengan saudara
asal-mulanya dari ayah dan ibu. Mencintai mereka sama dengan kita
mencintai diri sendiri;
b. Menghormati saudara yang lebih tua sebagaimana menghormati
orang tua, mengindahkan nasihat-nasihatnya dan tidak menentang
perintahnya;
c. Mencintai dan menyayangi yang lebih kecil dengan penuh kasih
sayang sebagaimana orang tua menyayangi mereka;
d. Saling bantu-membantu sekuat tenaga, sabar terhadap mereka. Jika
bersalah, berilah peringatan secara halus dan ramah-tamah.

C. Akhlak terhadap Tetangga


1. Peranan Tetangga dalam kehidupan seseorang
Kita hidup ditengah-tengah masyarakat, laksana ikan dengan
air.Harus saling menghidupi dan menjernihkan. Tidak boleh
sombong kepada orang lain, terutama dengan kerabat dan tetangga.
Mereka ini adalah saudara kita yang paling dekat dan cepat menolong
dikala kita mendapat musibah atau malapetaka.Meskipun mempunyai
family sekian banyak dan terkemuka, tetapi tak mustahil tempat
tinggalnya berjauhan.
Oleh karena itu, dikala kita mendapat musibah seperti sakit,
meninggal dunia, atau kesusahan-kesusahan lainnya, maka yang
paling duluan tampil datang adalah tetangga kita.Karena itu
berlakulah kepadanya secara baik menurut tuntunan agama.

2. Cara berbuat baik kepada tetangga


Cara berbuat baik kepda tetangga diantaranya:
a. Menolong dan membantunya bila membutuhkan pertolongan,
walaupun mereka tidak mau membantu kita;
b. Member hutang bila meminta bantuan hutang kepada kita;
c. Ikut meringankan beban dan kesengsaraan bila tetangga itu miskin
dan sengsara, sekiranya kita mempunyai kelebihan;
d. Menjenguknya bila sakit atau membantunya dengan obat;
e. Bila tetangga ada yang meninggal dunia, hendaknya ikut
belasungkawa, dan mengantarkan jenazahnya ke kuburnya;
f. Bila tetangga mendapat kesenangan atau nasib baik dan
menggembirakan, sebaiknya menyampaikan ucapan selamat
kepadanya;
g. Ikut meringankan beban musibah tetangga yang meninggal;
h. Bila ingin membuat rumah bertingkat, sebaiknya minta izin atau
sepengetahuan tetangganya, disamping minta izin kepada
pemerintah;
232
i. Menghindari perkataan atau tindakan yang menyakitkan tetangga.
Bila berkata atau bertindak salah, sebaiknya segera minta maaf;
j. Jika boleh memamerkan sesuatu yang dibeli atau yang dimiliki
kepada tetangga, baik berupa makanan ataupun yang lainnya, bila
kita tidak ingin memberinya;
k. Jangan menyalakan atau membunyikan radio tape recorder atau
TV terlalu keras, yang dapat membisingkan tentangga.
3. Membiasakan diri berbuat baik terhadap tetangga
a. Supaya senantiasa berbuat baik terhadap tetangga dalam segala
situasi, dalam kehidupan sehari-harinya hingga meninggalnya
tetangga itu;
b. Setiap orang muslim wajib memuliakan tetangganya, karena
memuliakan tetangga merupakan salah satu akhlak mulia, yang harus
dimiliki setiap muslim;
c. Kita diperintahkan agar suka member makanan kepada tetangga,
terutama tetangga yang terdekat.

D. Akhlak terhadap masyarakat/sesame Muslim


1. Peranan Persaudaraan dalam masyarakat/Sesama Muslim
Diantara sesama muslim yang lain adalah bersaudara. Oleh sebab itu,
kita harus bersikap baik terhadap sesama muslim. Mereka itu
bagaikan satu anggota badan, bilamana yang satu sakit atau ditimpa
musibah, maka yang lain ikut merasakannya. Misalnya, kalau gigi
seorang sakit, maka anggota badan yang lainnya ikut pula
merasakannya. Demikian pula umat Islam, kalau ada salah seorang
dari umat Islam ditimpa malapetaka, maka yang lain harus ikut
merasakannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara bergotong
royong dalam meringankan bebannya.

2. Cara berbuat baik terhadap anggota masyarakat/Sesama Muslim


Cara berbuat baik terhadap sesama muslim diantaranya:
a. Memberi salam;
b. Memenuhi undangannya, terutama hari pertama dalam walimatul
uruz;
c. Saling member nasihat;
d. Menjenguk ketika sakit, sambil mendoakan;
e. Mengantarkan jenazah orang islam;
f. Tidak bermusuhan selama 3 hari;
g. Tidak boleh bersikap sombong;
h. Tidak melahirkan kegembiraan disaat orang Islam yang lain
ditimpa kesusahan;
i. Mau membela sesama muslim;
j. Menjunjung tinggi kehormatan, harta dan jiwa;
k. Mau mengusahakan perdamaian kalau terjadi perselisihan diantara
sesama muslim;
l. Menutupi rahasianya;
m. Memberi bantuan disaat membutuhkan;

233
n. Menyantuni orang-orang miskin dan lemah di kalangan umat
Islam;
o. Ikut membahagiakan sesama muslim.

3. Membiasakan diri untuk berbuat baik terhadap masyarakat/ sesama


Muslim
a. Harus saling memaafkan;
b. Harus saling menyelamatkan;
c. Jangan suka memfitnah;
d. Jangan berbuat dzalim;
e. Jangan berburuk sangka;
f. Jangan merusak
E. Akhlak terhadap Kaum Lemah
1. Pengertian dan cara berbuat baik kepada kaum lemah
Kaum lemah adalah orang-orang yang belum memiliki kemampuan
dalam segala hal atau bidang tertentu.Tidak memiliki kemampuan ini
biasanya menjadi penghambat untuk mencapai keinginannya (cita-
citanya).Sebagai contoh yang termasuk orang-orang lemah misalnya,
orang bodoh (tak berilmu pengetahuan), orang miskin (tak berharta),
dan sebagainya.
Ajaran Islam telah menegaskan, bahwa siapa yang menolong orang
lemah, niscaya Allah akan memberikan pertolongan. Sebaliknya
mereka yang tidak mau menolong kaum lemah, niscaya Allah tidak
menyukainya.
Pertolongan itu tidaklah hanya dilakukan terhadap sesama pemeluk
agama Islam belaka, tetapi setiap pemeluk agama Islam harus pula
melakukan pertolongan kepada sesama umat manusia, sekali pun lain
agama.Bukankah agama Islam memerintahkan agar kita tetap
berbakti kepada orang tua, sekali pun kedua-duanya berlainan agama
dengan kita, juga memerintahkan kepada kita agar tetap berbuat baik
kepada tetangga, sekali pun mereka itu orang-orang yang
musyrik.Demikian pula terhadap seluruh umat manusia, baik Islam
maupun bukan, kita harus selalu berakhlak baik kepada mereka,
harus berkata dengan perkataan yang bagus dan harus
memperlakukan mereka dengan layak.

Pada hakikatnya menolong manusia berarti juga menolong diri


sendiri. Misalnya kita menjadi orang kaya yang sibuk dengan
pekerjaannya, kemudian kita menolong beberapa orang yang
menganggur dengan memberikan pekerjaan kepada mereka dalam
satu perseroan terbatas yang kita pimpin. Tentu saja kerja mereka
memberikan keuntungan kepada kita.Disinilah letak rahasinya, kita
memperoleh rahmat Allah baik langsung maupun tidak, di dunia dan
kelak di akhirat.
Sewajarnyalah bagi setiap pemuda dan pemudi yang masih berusia
muda belia, segar bugar, sehat jasmani dan rohaninya mempunyai
rasa kasih sayang kepada orang-orang lemah. Misalnya kepada orang
cacat fisiknya atau mentalnya, orang yang lanjut usia, dan orang yang
234
ditimpa kemiskinan. Generasi tua telah memberikan tauladan yang
baik yang patut ditiru oleh generasi yang lahir pada periode
berikutnya.

2. Membiasakan diri berbuat baik kepada kaum lemah


a. Menunjukkan kepada orang lain yang tersesat, dan menuntut orang
buta di jalan yang ramai;
b. Memberikan tempat duduk kepada orang yang telah tua, orang
buta, anak-anak dan wanita waktu berdesak-desakan kendaraan
dalam bis, kereta api, dan sebagainya;
c. Memberi sedekah kepada peminta-minta dengan sikap yang baik;
d. Memberikan bantuan kepada panti asuhan yatim piatu dan rumah
miskin;
e. Memberikan bantuan kepada korban bencana alam, berupa uang,
pakaian, dan obat-obatan;
f. Menganggap pembantu rumah tangga sebagai anggota keluarga
sendiri;
g. Suka menolong orang lain yang sangat memerlukan bantuan,
diantaranya membantu orang miskin, orang cacat mental, orang cacat
jasmani, dan lain-lain.

c. Akhlak Kepada Alam Semesta


Manusia ialah makhluk Allah yang paling sempurna ciptaannya
berbanding makhluk lain. Berlainan dengan malaikat yang hanya
mempunyai unsur akal atau haiwan yang hanya mempunyai unsur
nafsu, manusia dikurniakan Allah kedua-dua unsur itu. Dengan akal
fikiran, manusia membuat pertimbangan sebelum melakukan sesuatu
tindakan. Selepas pertimbangan dibuat, barulah unsur nafsu
digerakkan ke arah mencapai keinginan itu. Namun, ada kalanya
wujud ketidakharmonian antara unsur akal dan nafsu dalam jiwa
manusia. Akibatnya, tindak-tanduk itu memberi kesan positif kepada
kesejahteraan manusia sejagat. Maka, timbul krisis seperti masalah
alam sekitar.
Islam menuntut keseimbangan dalam setiap daya usaha manusia.
Pada masa sama, ia menuntut agar kegiatan manusia tidak memberi
kesan negatif kepada kualiti kehidupan dan masyarakat. Firman
Allah tentang perkara ini :
“Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah
kepadamu akan pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah
engkau melupakan bahagianmu (keperluan dan bekalanmu) dari
dunia; dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba Allah)
sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu (dengan pemberian
nikmatNya yang melimpah-limpah); dan janganlah engkau

235
melakukan kerosakan di muka bumi; sesungguhnya Allah tidak suka
kepada orang-orang yang berbuat kerosakan “. ( Al-Qasas : 77 )
Tidak salah untuk melaksanakan pembangunan. Bagaimanapun, ia
perlu dilakukan dalam bentuk terkawal. Hal ini agar agenda
pembangunan yang dijalankan lebih banyak memberi manfaat
bukannya keburukan kepada manusia dan alam sekitarnya.
Etika berkaitan penjagaan alam sekitar ada digariskan dalam Islam.
Contohnya ketika peperangan, Nabi Muhammad SAW melarang
umatnya memotong pokok atau membakar tanaman kecuali keadaan
benar-benar memaksa supaya berbuat demikian. Malangnya,
kemusnahan alam sekitar di beberapa kawasan di Malaysia, adalah
akibat kerakusan nafsu manusia. Islam memandang jauh kehadapan
dalam isu ini. Jika merosakkan alam sekitar, tentu sistem ekologi
juga akan terjejas. Ia bukan sahaja akan menyebabkan kehilangan
spesies alam dan flora yang amat berharga, malah haiwan liar serta
unggas turut diancam kepupusan.
Di samping memberi kesan ke atas ekologi, pembangunan yang tidak
terkawal boleh memberi kesan terhadap topografi sesuatu tempat.
Ramai antara kita tidak sedar kegiatan pembersihan hutan dan
meratakan bukit, mengancam aliran sungai dan jalan raya, malah
struktur bangunan di sesebuah kawasan. Bukit-bukau yang menjadi
pasak kepada bumi seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam surah
An-Naba’, ayat 7 tidak lagi berperanan untuk menstabilkan
persekitaran akibat proses meratakan kawasan.
Jadi apa yang perlu dilakukan sekarang agar perkara yang berlaku
pada taman pertanian ini tidak berulang pada masa hadapan? Bagi
menyelesaikan masalah ini, kita perlu mengkaji puncanya. Punca
utama masalah ini adalah sifat kerakusan menusia yang
mementingkan wang ringgit. Mereka mengambil kesempatan atas
platform yang didakwa sebagai pembangunan. Hal ini seperti firman
Allah :
” Telah timbul berbagai kerosakan dan bala bencana di darat dan di
laut dengan sebab apa yang telah dilakukan oleh tangan manusia;
(timbulnya yang demikian) kerana Allah hendak merasakan mereka
sebahagian dari balasan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka
telah lakukan, supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat).” ( Ar-
Rum : 41 )
Dengan perkataan lain, masalah ini berlaku akibat tiada nilai murni
dalam jiwa mereka yang terbabit dalam proses pembangunan. Jadi,
akar umbi masalah terbit daripada manusia sendiri. Ia juga berkait
rapat dengan sikap kita yang jarang mengaitkan aspek pembangunan
dengan unsur akhlak atau moral Islam. Dalam Islam, aspek akhlak
236
meliputi semua perkara. Kita bukan sahaja disuruh berakhlak kepada
Allah atau manusia, malah menjaga akhlak kepada haiwan, alam
sekitar dan sebagainya. Contohnya, setiap haiwan itu ada hak yang
perlu kita tunaikan, lebih-lebih lagi haiwan peliharaan. Begitu juga
dengan alam sekitar. Kita tidak boleh rakus dalam usaha
pembanguna, yang akhirnya bukan saja memusnahkan ekologi yang
menjadi habitat kepada makhluk lain, malah memudaratkan manusia.
Oleh itu, isu pengukuhan akhlak perlu dititikberatkan dalam aspek
pendidikan. Pendidikan tidak seharusnya terhad kepada pendidikan
oleh ibu bapa atau guru, malah membabitkan masyarakat, pembuat
dasar, sektor swasta dan badan bukan kerajaan.
Pada masa yang sama perlu ada aspek penguatkuasaan yang adil,telus
dan tegas. Ia penting untuk memastikan nilai ini dapat bercambah
dengan subur tanpa anasir yang boleh mengganggu gugat keutuhan
institusi nilai atau akhlak ini. Contohilah Rasulullah SAW. Baginda
tidak berkrompomi dengan kehendak Allah, malah bertindak tegas
selaras dengan akhlak yang dituntut oleh Al-Quran. Ketegasan
baginda dapat kita perhatikan melalui sabdanya :
“…Demi Allah sekiranya Fatimah binti Muhammad didapati
mencuri, nescaya aku akan memotong tangannya.” ( Riwayat
Bukhari )
Jelasnya hukum dalam Al-Quran dan Sunnah bukan bermaksud
untuk menghukum semata-mata, malh mendidik manusia supaya
sentiasa patuh pada garis panduan Islam. Sejak berabad lalu, manusia
dan alam bagaikan berlumba, siapa lebih cepat ber tindak. Namun,
kekalahan sering perpihak pada manusia walaupun sistem amaran
direka semakin maju dan dihubungkan satelit. Apabila belakunya
bencana alam, ketamadunan manusia masih gagal menyelamatkan
kita, apa lagi mengelak setiap kali mengesan kedatangan sesuatu
bencana alam. Lantaran kegagalan itu, manusia sering kecundang
dengan angka kemusnahan yangmencapai ratusan ribu nyawa yang
terkorban.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Aqidah
Akhlak

Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan


Aqidah Akhlak antara lain adalah:

1. Insting (Naluri)
Aneka corak refleksi sikap, tindakan dan perbuatan manusia
dimotivasi oleh kehendak yang dimotori oleh Insting seseorang
237
( dalam bahasa Arab gharizah). Insting merupakan tabiat yang
dibawa manusia sejak lahir. Para Psikolog menjelaskan bahwa
insting berfungsi sebagai motivator penggerak yang mendorong
lahirnya tingkah laku antara lain adalah:
a) Naluri Makan (nutrive instinct). Manusia lahir telah
membawa suatu hasrat makan tanpa didorang oleh orang lain.
b) Naluri Berjodoh (seksul instinct). Dalam alquran
diterangkan, yang artinya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak”.
c) Naluri Keibuan (peternal instinct) tabiat kecintaan orang tua
kepada anaknya dan sebaliknya kecintaan anak kepada orang
tuanya.
d) Naluri Berjuang (combative instinct). Tabiat manusia untuk
mempertahnkan diri dari gangguan dan tantangan.
e) Naluri Bertuhan. Tabiat manusia mencari dan merindukan
penciptanya.
Naluri manusia itu merupakan paket yang secara fitrah sudah
ada dan tanpa perlu dipelajrari terlebih dahulu.

2. Adat atau kebiasaan


Adat atau Kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan
seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk
yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Abu Bakar Zikir
berpendapat: perbutan manusia, apabila dikerjakan secara
berulang-ulang sehingga mudah melakukannya, itu dinamakan
adat kebiasaan.

3. Wirotsah (keturunan) adapun warisan adalah:


Berpindahnya sifat-sifat tertentu dari pokok (orang tua)
kepada cabang (anak keturunan). Sifat-sifat asasi anak
merupakan pantulan sifat-sifat asasi orang tuanya. Kadang-
kadang anak itu mewarisi sebagian besar dari salah satu
sifat orang tuanya.

4.Milieu
Artinya suatu yang melingkupi tubuh yang hidup meliputi tanah
dan udara sedangkan lingkungan manusia, ialah apa yang
mengelilinginya, seperti negeri, lautan, udara, dan masyarakat.
milieu ada 2 macam:

a) Lingkungan Alam
Alam yang melingkupi manusia merupakan faktor yang
238
mempengaruhi dan menentukan tingkah laku seseorang.
Lingkungan alam mematahkan atau mematangkan pertumbuhn
bakat yang dibawa oleh seseorang. Pada zaman Nabi
Muhammad pernah terjadi seorang badui yang kencing di
serambi masjid, seorang sahabat membentaknya tapi nabi
melarangnya. Kejadian diatas dapat menjadi contoh bahwa
badui yang menempati lingkungan yang jauh dari masyarakat
luas tidak akan tau norma-norma yang berlaku.

b) Lingkungan pergaulan
Manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya.
Itulah sebabnya manusia harus bergaul. Oleh karena itu, dalam
pergaulan akan saling mempengaruhi dalam fikiran, sifat, dan
tingkah laku. Contohnya Akhlak orang tua dirumah dapat pula
mempengaruhi akhlak anaknya, begitu juga akhlak anak
sekolah dapat terbina dan terbentuk menurut pendidikan yang
diberikan oleh guru-guru disekolah.

HAKEKAT AKHLAK MAHMUDAH DAN MACAM-


MACAMNYA
1. Akhlak Mahmudah (Terpuji)
Ajaran islam adalah ajaran yang bersumber pada wahyu Allah,
Al-Qur’an dalam penjabarannya terdapat pada hadis Nabi
Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam Islam mendapat
perhatian yang sangat besar. Mwnurut bahasa, akhlak berarti
sifat atau tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak berarti
kumpulan sifat yg dimiliki oleh seseorang yang melahirkan
perbuatan baik dan buruk.
Konsep Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sifat yg tertanam
dalam jiwa seseorang, darinya lahir perbuatan yang mudah
tanpa pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Akhlak meliputi
jangkauan yang sangat luas dalam segala aspek kehidupan.
Akhlak meliputi hubungan hamba dengan Tuhannya (vertikal)
dalam bentuk ritual keagamaan dan berbentuk pergaulan
sesama manusia (horizontal) dan juga sifat serta sikap yang
terpantul terhadap semua makhluk (alam semesta).
Bagi seorang muslim, akhlak yang terbaik ialah seperti yang
terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW karena sifat-sifat dan
perangai yang terdapat pada dirinya adalah sifat-sifat yang

239
terpuji dan merupakan uswatun hasanah (contoh teladan)
terbaik bagi seluruh kaum Muslimin.
Akhlak itu terbagi dua yaitu Akhlak yang Mulia atau Akhlak
yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah) dan Akhlak yang
Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul Mazmumah).
Akhlak yang mulia, menurut Imam Ghazali ada 4 perkara; yaitu
:
a. Bijaksana,
b. Memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik,
c. Keberanian (menundukkan kekuatan hawa nafsu) dan
d. Bersifat adil. Jelasnya, ia merangkumi sifat-sifat seperti
berbakti pada keluarga dan negara, hidup bermasyarakat
dan bersilaturahim, berani mempertahankan agama,
senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan rida
dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
Masyarakat dan bangsa yang memiliki akhlak mulia adalah
penggerak ke arah pembinaan tamadun dan kejayaan yang
diridai oleh Allah Subhanahu Wataala. Seperti kata pepatah
seorang penyair Mesir, Syauqi Bei: "Hanya saja bangsa itu
kekal selama berakhlak. Bila akhlaknya telah lenyap, maka
lenyap pulalah bangsa itu".
Akhlak yang mulia yaitu akhlak yang diridai oleh Allah SWT,
akhlak yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan
diri kita kepada Allah yaitu dengan mematuhi segala
perintahnya dan meninggalkan semua larangannya, mengikuti
ajaran-ajaran dari sunnah Rasulullah, mencegah diri kita untuk
mendekati yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, seperti
firman Allah dalam surat Al-Imran 110 yang berbunyi :

 ◆ 


 
⧫⬧
➔☺
⧫ ❑⬧◆
☺
  ⧫❑⬧➔◆
 ⧫◆ ❑⬧◆
240
⧫⬧⬧ ⧫
   
❑⬧☺
➔⬧◆
 ⧫❑→
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.
Jadi akhlak Al-mahmudah disebut juga dengan akhlakul
karimah, akhlakul karimah berasal dari Bahasa Arab yang
berarti akhlak yang mulia. Akhlakul karimah biasanya
disamakan dengan perbuatan atau nilai-nilai luhur tersebut
memiliki sifat terpuji (mahmudah) (Sudarsono, 1994 : 209).
Akhlakul karimah memiliki dimensi penting di dalam
pertanggungjawaban, yaitu : secara vertikal dan horizontal.
Nilai-nilai luhur yang bersifat terpuji tadi ialah (Munir,
Sudarsono, 1994 : 391).
1. Berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul waalidaini)
2. Berlaku benar, atau (Ash-shidqu)
3. Perasaan malu (Al-haya)
4. Memelihara kesucian diri (Al-iffah)
5. Berlaku kasih sayang (Al-Rahman dan Al-barr)
6. Berhemat (Al-Iqlishad)
7. Berlaku sederhana (Qana’ah dan zuhud)
8. Berlaku jujur (Al-Amanah)
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya
“menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah
digariskan dalam agama islam serta menjauhkan diri dari
perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat
kebiasaan yang baik, melakukan dan mencintainya (Asmaran,
1992 : 204).
Menurut Hamka, ada beberapa hal yang mendorong se seorang
untuk berbuat baik, diantaranya (Asmaran, 1992 : 148)
241
1. Karena bujukan atau ancaman dari manusia lain
2. Mengharap pujian, atau karena takut mendapat cela
3. Karena kebaikan dirinya (dorongan hati nurani)
4. Mengharapkan pahala dan surga
5. Mengharap pujian dan takut azab Tuhan
6. Mengharap kerihaan Allah semata
Akhlak mahmudah (terpuji) adalah perbuatan yang dibenarkan
oleh agama (Allah dan RasulNya). Contohnya : disiplin, hidup
bersih, ramah, sopan-santun, syukur nikmat, hidup sederhana,
rendah hati, jujur, rajin, percaya diri, kasih sayang, taat,
rukun, tolong-menolong, hormat dan patuh, sidik, amanah,
tablig, fathanah, tanggung jawab, adil, bijaksana, teguh
pendirian, dermawan, optimis, qana’ah, dan tawakal, ber-
tauhiid, ikhlaas, khauf, taubat, ikhtiyaar, shabar, syukur,
tawaadu', husnuzh-zhan, tasaamuh dan ta’aawun, berilmu,
kreatif, produktif, akhlak dalam berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu, adil, rida, amal salih, persatuan
dan kerukunan, akhlak terpuji dalam pergaulan remaja, serta
pengenalan tentang tasawuf.
1. Contoh-Contoh Akhlak Mahmudah
Dalam pembahasan ini kami akan menjabarkan akhlak
mahmudah yang meliputi ikhlas, sabar, syukur, jujur, adil dan
amanah.
a. Ikhlas
Kata ikhlas mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-
Qurtubi, ikhlas pada dasarnya berarti memurnikan perbuatan
dari pengaruh-pengaruh makhluk. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi
mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat
dari Nabi Saw, “Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang
ikhlas. Lalu Jibril berkata, “Aku telah menanyakan hal itu
kepada Allah,” lalu Allah berfirman, “(Ikhlas) adalah salah satu
dari rahasiaku yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang
yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku.”
Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan
kejayaan. Anggota masyarakat yang mengamalkan sifat ikhlas,
akan mencapai kebaikan lahir-bathin dan dunia-akhirat, bersih
dari sifat kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan,
perdamaian serta kesejahteraan.
242
b. Amanah
Secara bahasa amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan
wadi’ah (titipan) sedangkan secara definisi amanah berarti
memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah
memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan-titipan
kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara
manusia agar menghukumi dengan adil…” (Q.S An-Nisa
[4]:58).

⧫   


⬧➔ 
◼ ◆⧫
⬧◆ 
⧫✓⧫ ☺⬧
 
❑☺⧫
  ➔
→➔⧫ ➔ 
⧫    
 ⧫ ☺➔
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Dalam ayat lainnya, Allah juga berfirman: “Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya
karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka
dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan bodoh…” (QS. 33:72).

243
⧫⧫ 
◼⧫ ⬧⧫⧫
◆❑◆
◆
✓⧫⬧ ⧫◆
⬧☺⧫⬧ 
 ◆
 ◼◆❑◆
❑➔⬧ ⧫  
 ❑
Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat
bodoh,
[1233] Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.
c. Adil
Adil berarti menempatkan/meletakan sesuatu pada tempatnya.
Adil juga tidak lain ialah berupa perbuatan yang tidak berat
sebelah. Para Ulama menempatkan adil kepada beberapa
peringkat, yaitu adil terhadap diri sendiri, bawahan, atasan/
pimpinan dan sesama saudara. Nabi Saw bersabda, “Tiga
perkara yang menyelamatkan yaitu takut kepada Allah ketika
bersendiriaan dan di khalayak ramai, berlaku adil pada ketika
suka dan marah, dan berjimat cermat ketika susah dan senang;
dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikuti hawa
nafsu, terlampau bakhil, dan kagum seseorang dengan dirinya
sendiri.” (HR. AbuSyeikh).
d. Bersyukur
Syukur menurut kamus “Al-mu’jamu al-wasith” adalah
mengakui adanya kenikmatan dan menampakkannya serta
memuji (atas) pemberian nikmat tersebut.Sedangkan makna
syukur secara syar’i adalah : Menggunakan nikmat AllahSWT
244
dalam (ruang lingkup) hal-hal yang dicintainya. Lawannya
syukur adalah kufur.Yaitu dengan cara tidak memanfaatkan
nikmat tersebut, atau menggunakannya pada hal-hal yang
dibenci oleh Allah SWT.
Sifat Mahmudah atau juga dikenali dengan akhlak terpuji ialah
sifat yang lahir didalam diri seseorang yang menjalani
pembersihan jiwa dari sifat-sifat yang keji dan hina (sifat
mazmumah). Sifat Mazmumah boleh dianggap sebagai virus
yang bisa membunuh manusia secara tidak disadari dan sifat ini
berlawanan dengan sifat mahmudah yang sentiasa mengajak
dan menyuruh manusia melakukan kebaikan. Oleh itu, dalam
Islam, yang menjadi pengukur bagi menyatakan sifat seseorang
itu sama ada baik atau buruk adalah berdasarkan kepada akhlak
dan perilaku yang dimilik oleh seseorang.
2. Akhlak Madzmumah (Tidak Terpuji)
Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji
seperti iri hati, ujub, dengki, sombong, nifaq (munafik), hasud,
suudzaan (berprasangka buruk), dan penyakit-penyakit hati
yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan berbagai
macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di
sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya sebagai
contohnya yakni kegagalan dalam membentuk masyarakat yang
berakhlak mulia samalah seperti mengakibatkan kehancuran
pada bumi ini, sebagai mana firman Allah Subhanahu Wataala
dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi:
  ⧫⬧
⬧⧫◆ 
 ⧫ ☺

⬧◆➔⧫
❑➔ 
⧫❑➔⧫ ➔⬧

Artinya“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-
Ruum: 41).
245
Akhlak Mazmumah (tercela) adalah perbuatan yang tidak
dibenarkan oleh agama (Allah dan RasulNya).
Contoh Sifat Mazmumah (Tercela) yaitu:
1. Penyakit hati antara lain disebabkan karena ada perasaan
iri:
Iri adalah sikap kurang senang melihat orang lain mendapat
kebaikan atau keberuntungan. Sikap ini kemudian
menimbulkan prilaku yang tidak baik terhadap orang lain,
misalnya sikap tidak senang, sikap tidak ramah terhadap orang
yang kepadanya kita iri atau menyebarkan isu-isu yang tidak
baik. Jika perasaan ini dibiarkan tumbuh didalam hati, maka
akan muncul perselisihan, permusuhan, pertengkaran, bahkan
sampai pembunuhan, seperti yang terjadi pada kisah Qabil dan
Habil.
2. Penyakit hati disebabkan karena perasaan dengki.
Dengki artinya merasa tidak senang jika orang lain
mendapatkan kenikmatan dan berusaha agar kenikmatan
tersebut cepat berakhir dan berpindah kepada dirinya, serta
merasa senang kalau orang lain mendapat musibah. Sifat dengki
ini berkaitan dengan sifat iri. Hanya saja sifat dengki sudah
dalam bentuk perbuatan yang berupa kemarahan, permusuhan,
menjelek-jelekkan, menjatuhkan nama baik orang lain.
3. Hasud
Hasud adalah sikap suka menghasud dan mengadu domba
terhadap sesama. Menghasud adalah tindakan yang jahat dan
menyesatkan, karena mencemarkan nama baik dan
merendahkan derajat seseorang dan juga karena
mempublikasikan hal-hal jelek yang sebenarnya harus ditutupi.
Saudaraku (sidang pembaca) tahukah antum, bahwa iri, dengki
dan hasud itu adalah suatu penyakit. Pada mulanya iri yaitu
perasaan tidak suka terhadap kenikmatan yang dimiliki orang
lain. Kemudian, jika dibiarkan tumbuh, iri hati akan berubah
menjadi kedengkian. Penyakit kedengkian jika dibiarkan terus
akan berubah menjadi penyakit yang lebih buruk lagi, yaitu
hasud.
AQIDAH
Akidah Etimologi (Bahasa Arab: ُ ‫ ;ا َ ْلعَ ِق ْيدَة‬transliterasi: al-
'Aqiydah) dalam istilah Islam yang berarti iman. Semua sistem
246
kepercayaan atau keyakinan bisa dianggap sebagai salah satu
akidah. Pondasi akidah Islam didasarkan pada hadits Jibril,
yang memuat definisi Islam, rukun Islam, rukun Iman, ihsan
dan peristiwa hari akhir
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (ُ‫ع ْقد‬ ْ
َ ‫)ال‬
yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (‫)الت َّ ْوثِي ُْق‬ yang berarti
kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (‫كا ُم‬ َ ْ‫)اْ ِإلح‬
yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu
ُ ‫)الر ْب‬
biquw-wah (ٍ‫ط ِبقُ َّوة‬ َّ yang berarti mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), akidah adalah iman
yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi
orang yang meyakininya.
Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan
bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan
kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepadaNya, beriman kepada
para malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari Akhir,
takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang
telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin),
perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi
ijma' (konsensus) dari salafush shalih, serta seluruh berita-berita
qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang
telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih
serta ijma' salaf as-shalih.
Pembagian akidah tauhid
Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan
di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati
para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang
mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam
pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha' dan qadar
adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka
masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam
tauhid menurut pembagian ulama:
• Tauhid Al-Uluhiyyah,
 ❑⧫ ⧫ •

Artinya : Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia
berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan
memendekkan mim), artinya: Raja.[5] Yaumiddin (hari
Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia
menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang

247
buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah,
yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
  ⬧ •
Artinya : Sembahan manusia.

• (al-Fatihah ayat 4 dan an-Nas ayat 3)


mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya
kepada Allah dan karenaNya semata.
◆  T ☺⬧ •
auhid Ar-  ✓☺◼➔
Rububiyyah,
Artinya : . Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
• [2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena
perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan
kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-
Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan
syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang
terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan
segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala
kebaikan yang patut dipuji.
• [3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki,
mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai
selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti
rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua
yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan
macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-
tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta
semua alam-alam itu.
⧫ ➔❑ ➔ •
 
Artinya : Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang
memelihara dan menguasai) manusia.
(al-Fatihah ayat 2, dan an-Nas ayat 1)
mengesakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani
dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai
dan mengatur alam semesta ini.
• Tauhid Al-Asma' was-Sifat,
mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya, artinya
mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan
Allah, dalam dzat, asma maupun sifat.
Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh
karena itu Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah kekuasaan
Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat
248
dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar
adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun
yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh
dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu
takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun
untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan
nash yang benar.
Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan
tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah
karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang
dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah, maka
hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah.
Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan
hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke
dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah dan
tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah
semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40
 ⧫➔⬧ ⧫
 
☺
 ❑☺☺
 →⧫⧫◆◆
   ⧫⧫
  ⬧
⧫⧫    
 ➔⬧ 
⬧  ◼
⬧ 
◆⬧ ⬧◆
❑☺◼➔⧫  

Artinya : Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali
hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu
keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Realisasi Syahadat dalam Rukun Iman
1. Interpretasi Syahadat Tauhid dalam peribadatan kepada
Allah
249
Interpretasi dari Syahadat tauhid adalah keimanan dan
ketauhidan, sehingga interpretasi dari Syahadat Tauhid adalah
berupa perbuatan hati yaitu dapat di implementasikan dengan
berdzikir sebagai penguat iman.
Syekh Imam Suhaemi menjelaskan bahwa kalimat thayyibah
mengandung 12 macam kewajiban, hal ini didasarkan pada
jumlah huruf dari kalimat tersebut yang terdiri dari 12 huruf.
Kewajiban tersebut dibagi kedalam dua bagian, yaitu pekerjaan
dzahir dan pekerjaan bathin. Pekerjaan dzahir tersebut terdiri
dari: thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad, sedangkan
pekerjaan bathin tersebut terdiri dari: tawakkal, tafwidh, sabar,
ridha, zuhud, dan taubat.
Syahadat tauhid merupakan suatu ikrar kesetiaan seorang
hamba kepada tuhannya yaitu Allah, sehingga dengan
persaksian tersebut mengandung beberapa makna yang harus di
implementasikan dalam peribadatan kepada Allah, diantaranya
yaitu:
a. Tidak berlindung kepada selain Allah, karena perlindungan
itu hanya milik Allah. Seperti yang dipaparkan dalam Al-quran
surah An-Nas.

⧫ ➔❑ ➔


 
Artinya : "Katakanlah (Muhammad): Aku berlindung kepada
tuhannya manusia" (Qs. Al-Nas/114:1).
b. Mencintai Allah melebihi daripada yang lain.
⧫◆ 
  ❑⧫◆
 

250
Artinya : …"Adapun orang-orang yang beriman sangat besar
cintanya kepada Allah" …(Qs. Al-Baqarah/2:165).
c. Mengabdi dan memohon pertolongan hanya kepada Allah.
➔⧫ 
✓➔⧫◼ ◆

Artinya : "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan" (Qs. Al-
Fatihah/1:5)
2. Interpretasi Syahadat rasul dalam peribadatan kepada Allah
Seperti yang dipaparkan diatas bahwa syahadat tauhid
mengandung konsep tauhid/aqidah atau ketuhanan Allah swt.,
sedangkan syahadat rasul mengandung konsep syari'at yaitu
bentuk pelaksanaan daripada peribadatan kepada Allah dengan
beberapa aturan syara', sehingga interpretasi dari syahadat rasul
adalah pelaksanaan syari'at menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Syahadat rasul merupakan suatu ikrar kesetiaan hamba kepada
utusan Allah yaitu Muhammad saw. untuk tetap setia beribadah
kepada Allah, sehingga dengan ikrar tersebut mengandung
beberapa makna yang harus di implementasikan dalam
peribadatan kepada Allah, diantaranya yaitu:
a. Membenarkan setiap yang dikhabarkan Rasul semata-mata
hanya berdasarkan firman dari Allah swt..
⬧⬧ ⧫❑▪  
  ⧫⬧
Artinya : "Barangsiapa mentaati Rasul (Muhammad), maka
sesungguhnya dia telah mentaati Allah" …(Qs. Al-Nisa/4:80).
251
b. Taat pada apa yang diperintahkan, yaitu menjalankan
perintah wajib dan sunnah Rasul.

⧫ ⧫
❑⧫◆
 ❑➔
❑➔◆
⧫❑▪
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
taatilah Rasul …(Muhammad)" (Qs. Al-Nisa/4:59).
c. Menjadikan Rasul sebagai teladan. Keteladanan Rasul
tersebut meliputi tiga pelajaran utama, yaitu ketekunannya
dalam beribadah, kepeduliannya terhadap permasalahan sosial,
dan kehidupannya yang tidak diperbudak oleh hawa nafsu.
 ⬧ ⧫ ⬧
◆❑  ❑◆
◆
Artinya : "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu"… (Qs. Al-Ahzab/33:21).
2. Realisasi syahadat dalam peribadatan

Ibadah merupakan hakekat manusia diciptakan, sehingga tidak


bisa terlepas dari semua aturan yang disampaikan oleh Allah
melalui Rasul-Nya. Ibadah merupakan perbuatan tunduk
kepada Allah dan Rasul-Nya, yang berlawanan dengan hawa
nafsunya. Aktualisasi syahadat dalam peribadatan ini meliputi
dua kategori yaitu;
a. Shalat

252
Pelaksanaan shalat dalam Al-quran disebutkan dengan Al-
Iqamah, artinya melaksanakan shalat itu harus dengan
sempurna dalam syarat, rukun, dan sunnahnya.
Shalat merupakan amal ibadah yang paling utama dari semua
bentuk peribadatan karena dengan shalat dapat membimbing
manusia pada keshalihan individu dan juga sosial. Hal ini
didasarkan pada ayat Al-quran surat Al-Ankabut ayat 45 yang
memaparkan bahwa dengan shalat dapat mencegah manusia
dari perbuatan hina dan kemungkaran, dengan kondisi manusia
dan masyarakatnya yang demikian maka akan terjalin dan
tercipta sebuah masyarakat yang shaleh dan tentram.
Keberhasilan dari shalat tersebut tergantung pada
kesempurnaannya dalam melaksanakan syarat, rukun, dan
sunnahnya. Karena shalat mengandung makna tersendiri dari
bentuk pelaksanaannya yaitu:
1. Terdapat nilai kedisiplinan, hal ini dapat kita lihat dari
penetapan shalat yang telah jelas ditentukan waktunya sehingga
dengan kelima waktu shalat tersebut manusia dibimbing untuk
selalu ingat waktu.
2. Terdapat nilai dzikir, karena pada prinsipnya shalat
merupakan waktu untuk menghadap dan mengingat Allah
seperti yang dipaparkan dalam surat Thaha ayat 14.
⧫⬧   ⧫ 
⬧ ⧫ 
◼❑◼ ◆
 ✓
Artinya : Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah
shalat untuk mengingat aku.
253
3. Terdapat nilai kesopanan dan adab, hal ini didasarkan pada
peraturan shalat yang menerapkan tentang keharusan menutup
aurat, menutup aurat dizaman sekarang ini merupakan suatu hal
yang tabu bahkan menjadi tontonan yang aneh. Disamping nilai
kesopanan tersebut terdapat nilai adab terhadap sang pencipta,
karena shalat merupakan suatu praktek menghadapnya hamba
kepada sang raja yaitu Allah, sehingga untuk menghadap raja
haruslah menghias diri. penghiasan diri tersebut dimulai dari
menutup urat, dan penutup aurat tersebut pun harus
diperhatikan dengan pakaian yang pantas dan yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah saw. seperti dengan memakai
Imamah (sorban).
b. Puasa
Puasa merupakan praktek dari penguasaan seorang hamba
terhadap hawa nafsunya, sehingga ia akan selamat baik didunia
maupun diakheratnya, karena pada dasarnya kecelakaan
manusia itu diawali oleh kepatuhannya pada hawa nafsunya
sehingga mampu meninggalkan semua bentuk peribadatan
kepada Allah. Dengan demikian uzlah yang merupakan praktek
ibadah para sufi pun termasuk dari konsep puasa.
4. Realisasi syahadat dalam hubungan sosial
Syahadat mengandung makna ketauhidan/ibadah dan juga
makna syariat/sosial. Sehingga disamping diaktualisasikan
dalam peribadatan, syahadatpun diaktualisasikan dalam
hubungan sosial. Fungsi syahadat dalam hubungan sosial
tersebut dapat diaktualisasikan kedalam dua kriteria berikut;
a. Zakat
Zakat merupakan sebuah contoh aktualisasi dalam hubungan
sosial, karena implementasi dari zakat adalah kepedulian
254
terhadap oranglain. Dengan demikian pelaksanaan zakat
merupakan salah satu yang diwajibkan oleh Allah kepada
mukallaf yang telah bersyahadat (bersaksi atas ketuhanan Allah
dan kerasulan Muhammad).
b. Haji
Pelaksanaan haji mengandung intisari dari makna keikhlasan
dan zuhud, karena pada dasarnya setiap manusia masih
terbebani oleh ketamakannya terhadap kenikmatan dunia
kecuali orang-orang yang zuhud. Dengan ibadah haji ini dapat
diambil suatu pelajaran yang besar bahwa harta yang kita miliki
hanyalah milik Allah semata dan akan kembali kepada-Nya.
PENGERTIAN TAUHID
Tauhid bersal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhida yang
artinya “esa/tunggal”. Ini merujuk pada sifat Allah yang tunggal.
Mengapa merujuk pada keesaan Allah? Karena inti utama dari
ajaran ini adalah mengesakan Allah, makanya orang sering
menyebut disiplin ajaran ini dengan ilmu tauhid.
Penggunaan Istilah lain :
Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut
tauhid ini, yaitu:
1. Akidah
Akidah berasal dari bahasa Arab aqidah yang artinya
janji/perjanjian atau ikatan/mengikat. Akidah adalah ajaran
Islam yang berkaitan dengan keyakinan, karenanya dalam
penggunaannya, akidah sering disebut dengan
keimanan/keyakinan. Mengapa keyakinan? banyak berkaitan
dengan sesuatu yang ghaib yang lebih membutuhkan keyakinan
ketimbang penalaran logis. Lantas apa alasan menerimanya jika
tak bisa dinalar secara logis? Alasannya adalah sumber
informasinya. Nabi Muhammad SAW dan al-Quran adalah
sumber informasi yang akurat. Kenabian Muhammad dan
kemukjizatan al-Quran bisa diuji bahkan secara ilmiah bahwa
semuanya berasal dari Tuhan. Al-Quran adalah satu-satunya
kitab suci yang sampai sekarang masih terjaga kemurniannya.

Anda pasti pernah pergi ke dokter kan? Anda didiagnosa, dan


Anda diberi resep yang bahkan Anda tak bisa membaca resep
itu. Tapi Anda tetap percaya. Mengapa bisa demikian? Karena
255
Anda tahu sang dokter adalah dokter resmi, dokter yang punya
izin praktik. Seorang dokter yang sungguh-sungguh dokter. Nah,
demikian juga dengan Nabi Muhammad SAW. Kenabian
Muhammad sudah terbukti secara meyakinkan bahwa ia benar-
benar Nabi. Dengan demikian, apa yang ia beritakan, apa ia
informasikan kita percaya. Bahkan meskipun tidak rasional.

2. Ushuluddin
Ushuluddin merupakan bahasa Arab yang artinya pokok-pokok
agama. Ajaran ini merupakan ajaran pokok agama. Orang yang
akan memeluk Islam pertama-tama harus memahami tentang
ajaran ini. Jadi ini adalah ilmu dasar yang harus dipahami oleh
setiap orang yang memeluk Islam. Tanpa memahami dan
meyakini ajaran ini, kebersilaman kita tak ada gunanya.

3. Fikih Akbar
Fiqh akbar artinya pemahaman terbesar, atau pemahaman yang
paling penting. Ajaran ini adalah ajaran yang harus mendapat
prioritas, pemahaman yang sangat penting sehingga disebut fiqh
akbar. Namun istilah ini sekarang jarang digunakan.
RUANG LINGKUP AKIDAH
Ulama telah membagi ruang lingkup pembahasan akidah ke
dalam 4 (empat) pembahasan, yaitu:
1. Ilahiyat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan
masalah ketuhanan utamanya pembahasan tentang Allah.
2. Nubuwwat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan
utusan-utusan Allah, yaitu para nabi dan para rasul Allah.
3. Ruhaniyat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan
makhluk gaib, seperti Jin, Malaikat, dan Iblis.
4. Sam’iyyat, yaitu pembahasan yang bekenaan dengan alam
ghaib, seperti alam kubur, akhirat, surge, neraka, dan lain-
lain.
SUMBER AQIDAH ISLAM

Jika kita menelaah tulisan para ulama dalam


menjelaskan akidah, maka akan didapati 2 sumber
pengambilan dalil penting. Dua sumber tersebut
meliputi :
1. Dalil asas dan inti yang mencakup Al Qur’an, As
Sunnah dan Ijma’ para ulama.

256
2. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat
manusia dan fitrah kehidupan yang telah diberikan
oleh Allah azza wa jalla.

1. Al-Qur’an

Al Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan


kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam melalui
perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya
sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat..
Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita
harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari kepastian.
Kemudian membacanya termasuk ibadah,
disampaikan kepada kita dengan jalan mutawaatir dan
terjaga dari penyimpangan, perubahan, penambahan
dan pengurangan. Dalam hal ini Allah Iberfirman:

‫ِإ‬
ُ ِ‫َحْن ن ََّز ْلنَا ال ِذِّ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحاف‬
َ‫ظون‬ ُ ‫نَّا ن‬

Artinya : "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan


Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya". (Q.S. Al-Hijr: 9)
Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang
diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang
beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka.
Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui
kekurangan dan celaan di dalam Al Qur’an,
sebagaimana dalam firman-Nya

→☺ ☺⬧◆
 ◼◆
⧫⧫   ⧫◆
 ☺⬧

257
☺ ◆❑➔◆
 ➔
Artinya : “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al
Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak
ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(Q.S. Al An’am:115)
Al Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa
sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini
kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat
penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan
manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang
dipikulkan di atas pundaknya, termasuk di dalamnya
perkara akidah. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai
sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan
manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk
beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan
ditemui banyak ayat dalam Al Qur’an yang
menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat
maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal
yang wajib jika kita mengetahui dan memahami
akidah yang bersumber dari Al Qur’an karena kitab
mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb
manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan
masa.

2. As-Sunnah

As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari


Allah subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan
dari Allah tetapi maknanya datang dari Allah. Hal ini
dapat diketahui dari firman Allah
⧫ ⧫ ⧫◆
 ◆❑⚫
 ◆❑➔ 

258
❑ ◆

Artinya : “Dan dia (Muhammad) tidak berkata
berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu
yang diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:
“Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-
Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil
menunjuk ke lidahnya”. (Riwayat Abu Dawud)
Kemudian bias dikatakan bahwa As-Sunnah yaitu semua yang
bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau
persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi:

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya


adalah kekufuran.”

Contoh perbuatan:

‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah


di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu
keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar
untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan:

Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat


subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua
rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum
shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan
sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka
diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat
Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang
belum menunaikannya.

As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang


bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka
bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena
itu Nabi bersabda:

259
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(Bukhari no. 595)

Yang menjadi persoalan kemudian adalah


kebingungan yang terjadi di tengah umat karena begitu
banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan
sebaliknya, hadits yang shohih terkadang diabaikan,
bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang
bukan berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak
lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh
musuh-musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan
yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah
menjaga kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman
melalui para ulama ahli ilmu. Allah menjaga
kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama yang
gigih dalam menjaga dan membela sunnah-sunnah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dari usaha-
usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama
generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang
menjaga sunnah dengan menghafalnya dan
mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam
meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut
sebagai para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu
kiranya jika kita menuntut dan belajar ilmu dari
mereka agar tidak terseret dalam jurang
penyimpangan.
Selain melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah
menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam
agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan
syariat-termasuk perkara akidah-ditegaskan dalam
banyak ayat Al Qur’an, diantaranya firman Allah :

⬧◆ ⧫◆ 
◼⬧ ❑▪
⧫ ⧫ ⧫◆
❑⧫⬧
260
Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian
maka terimalah dan apa yang ia larang maka
tinggalkanlah” (Q.S Al Hasyr:7)
Dan firman-Nya
⧫ ⧫
❑⧫◆
 ❑➔
❑➔◆
◆ ⧫❑▪
  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (Q.S An
Nisaa:59)
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada
pilihan lain bagi seorang muslim untuk juga
mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As
Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnul Qoyyim juga
pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-
Nya dan mentaati Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi
wassalam dengan mengulangi kata kerja (taatilah)
yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara
independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu
dengan Al Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu.
Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada
pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.

3. Ijma’

Ijma’ adalah sumber akidah yang berasal dari


kesepakatan para mujtahid umat Muhammad
sholallahu ‘alaihi wassalam setelah beliau wafat,
tentang urusan pada suatu masa.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan
semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu
masa setelah wafat Rosul saw, atas hukum syara.
Berkaitan dengan Ijma’, Allah subhanahu wata’ala
berfirman
261
⧫ ⧫◆
 ⧫❑▪
⬧ ⧫✓⧫⬧ ⧫ ➔⧫

◆ ⧫◆

⧫✓⬧☺
⧫ ◆❑
◆ ◆❑⬧
◆◆  
 ⧫

Artinya : ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul


setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan
jalannya orang-orang yang beriman, maka Kami akan
biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S An
Nisaa:115)

Contoh Ijma :
- Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul
hilal.
- Nenek mendapat harta 1/6 dari cucunya.
- Hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal
dengan meninggalkan anak & ayah yang masih hidup.

Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan


dalil pembolehan disyariatkannya ijma’, yaitu diambil
dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman”
yang berarti ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa
dalil ini adalah dalil syar’i yang wajib untuk diikuti
karena Allah menyebutkannya secara bersamaan
dengan larangan menyelisihi Rasul. Di dalam
pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-
kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’
262
dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil
dari Al Qur’an dan Sunnah yang shahih karena
perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak
diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan
fungsi ijma’ adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah
serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam dalil yang dzani sehingga menjadi qatha’i.

Unsur-unsur Ijma'
1. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat
Islam (ulama).
2. Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara
jelas.
3. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
4. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah.
5. Yang disepakati itu adalah hukum syara' mengenai suatu
masalah/peristiwa hukum tertentu.
Macam-macam Ijma'
Ijma' umat terbagi menjadi dua:
1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama'
mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang
menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di
masanya.
2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam,
tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut
adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma'
yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya.
Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang
lain, yaitu:
1. Ijma' sahabat
2. Ijma' Khalifah yang empat
3. Ijma' Abu Bakar dan Umar
4. Ijma' ulama Madinah
5. Ijma' ulama Kufah dan Basrah
6. ijma' itrah (golongan Syiah)
4. Qiyas

263
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya
hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang
sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan
antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita
tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu
permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Qiyas menurut ulama ushul adalah menyamakan sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Contoh
- Setiap minuman & makanan yang memabukan disamakan
dengan khamar, ilatnya sama-sama memabukan.
- Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta
dewasa. Menurut syafei karena sama-sama dapat tumbuh
berkembang & dapat menolong fakir miskin.

5. Akal Sehat Manusia

Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi


sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan
bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta
memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya.
Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam
memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar
tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang
tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang
memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu
atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan
terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan
terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa
dilakukan oleh beberapa golongan (firqah) yang
menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk
memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal,
dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna.
Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam
jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama
seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika
mendapatkan cahaya iman dan Al Qur’an ia seperti
264
mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi,
jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat
(hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia
akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang
bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang
memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya.
Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat
tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi
akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang
abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui
oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk
wahyu baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang
shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan kepada
akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan
masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal
mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena
tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi
melalui penjelasan yang berasal dari Al Qur’an dan As
Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap
manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat
dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang
menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang
bertentangan dengan akal sehat adalah batil,
sedangkan tidak ada kebatilan dalam Qur’an, Sunnah
dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang
mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau
mereka memahaminya dengan makna yang batil.

6. Fitrah Kehidupan

Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi


wassalam bersabda
“Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka
kedua orang tuanyalah yang membuat ia menjadi
Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Muslim).

265
Dari hadits ini dapat diketahui bahwa sebenarnya
manusia memiliki kecenderungan untuk menghamba
kepada Alloh. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap
bayi yang lahir telah mengetahui rincian agama Islam.
Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa, tetapi
setiap manusia memiliki fitrah untuk sejalan dengan
Islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-
penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah
manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua
pencipta alam yang memiliki sifat dan kemampuan
yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun
banyak manusia yang menyeru kepada Alloh seperti
dijelaskan dalam firman-Nya.
⧫ ⬧◆
 ➢
⧫  ⬧⧫
 ◼  ⧫❑⬧
◼  ⬧⬧

⧫◆  
❑→ 

Artinya : “Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan
niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia.
Maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan,
kalian berpaling, dan manusia adalah sangat kufur”
(Q.S Al Israa’:67)
Semoga Alloh memahamkan kita terhadap ilmu yang
bermanfaat, mengokohkan keimanan dengan
pemahaman yang benar, memuliakan kita dengan
amalan-amalan yang bermakna. Wallahu’alam.
Akidah atau iman yang dimiliki oleh seseorang tidak
selalu sama bobot dan tingkatannya dengan iman yang
dimiliki oleh otrang lain. Akidah memiliki tingkatan-
tingkatan tertentu tergantung kepada upaya orang itu
sebab iman pada dasarnya berkembang. Iman bisa
266
tumbuh subur atau sebaliknya. Alau tidak dipelhara,
iman akan berkurang, mengecil atau hilang sama
sekali.

TINGKATAN AQIDAH

Tingkatan akidah ada empat macam sebagai berikut.


1. Tingkat taklid
Tingkat akidah yang sumber keyakinannya didasarkan
atas pendapat orang yang diikutinya tanpa dipikirkan
lagi.

2, Tingkat ilmul yakin


Tingkat keyakinan yang didasarkan atas bukti dan
dalil yang jelas, tetapi belum sampai menemukan
hubungan yang kuat antara objek keyakinan dan dalil
yang diperolehnya sehingga memungkinkan orang
terkecoh oleh sanggahan-sanggahan atau dalil-dalil
lain yang lebih rasional dan lebih mendalam.

3. Tingkat ‘ainul yakin


Tingkat keyakinan yang didasarkan atas dalil-dalil
rasional, ilmiah, dan mendalam sehingga mampu
membuktikan hubungan antara objek keyakinan dan
dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi yang
rasional terhadap sanggahan-sanggahan yang datang
sehingga tidak mungkin terkecoh oleh argumentasi
lain yang dihadapkan kepadanya.

4. Tingkat haqqul yakin


Tingkat keyakinan yang disamping didasarkan pada
dalil-dalil rasional, ilmiah dan mendalam, dan mampu
membuktikan hubungan antara objek keyakinan dan
dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi
yang rasional dan selanjutnya dapat menemukan dan

267
merasakan keyakinan tersebut melalui pengalaman
agamanya

FUNGSI TAUHID

Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling


sentral dan paling esensial. Secara
etimologis, tauhid berarti mengesakan, yaitu
mengesakan Allah.
Formulasi paling pendek dari tauhid itu ialah
kalimat thayyibah : la ilaha illa Allah, yang
artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Dengan
mengatakan “tidak ada Tuhan selain Allah”, seorang
manusia-tauhid memutlakkan Allah Yang Maha Esa
sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dan menisbikan
selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Karena
itu, hubungan manusia dengan Allah tak setara
dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk.
Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah
sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur,
dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang
dikehendaki oleh Allah akan menjadi nilai (value) bagi
manusia-tauhid, dan ia tidak akan mau menerima
otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk
Allah. Komitmennya kepada Tuhan adalah utuh, total,
positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian,
268
ketaatan dan kepasrahan (kepada Tuhan), serta
kemauan keras untuk menjalankan kehendak-
kehendak-Nya.
Pembebasan Manusia
La ilaha illa Allah meniadakan otoritas dan petunjuk
yang datang bukan dari Tuhan. Jadi, sesungguhnya
kalimat thayyibah merupakan kalimat pembebasan
bagi manusia. Seorang manusia-tauhid mengemban
tugas untuk melaksanakan tahrirun nas min ‘ibadatil
‘ibad ila ‘ibadatillah (membebaskan manusia dari
penyembah sesama manusia kepada menyembah Allah
semata). Dengan tauhid, manusia tidak saja akan bebas
dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa
kedudukannya sama dengan manusia lain mana pun.
Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior
terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah
hamba Allah yang berstatus sama. Jika tidak ada
manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada
manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak
ada kolektifitas manusia, baik sebagai suatu suku
bangsa atau pun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau
lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa
lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan
Allah. Yang membedakan satu dengan lainnya
hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT yang
berbunyi :
⧫
 
 ◼
⬧◆ ⬧
➔◆
❑➔
⧫⬧◆
 ❑➔◆➔⧫
⧫⧫ 
⬧  
269
⧫   
 
Artinya :Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Al-Hujurat : 13).
Sekali seorang manusia atau suatu bangsa merasa
dirinya lebih inferior dibandingkan manusia atau
bangsa lainnya, maka ia akan kehilangan kebebasan
dan jatuh ke dalam perbudakan mental. Seseorang
yang mengakui superioritas sekelompok manusia
tertentu – entah berdasarkan kekuasaan, warna kulit,
atau pun atas dasar apa saja – berarti dengan
sendirinya ia akan kehilangan kebebasan dan sekaligus
meremehkan makna tauhid. Demikian juga dalam
masalah-masalah keagamaan. Islam tidak mengakui
setiap lembaga yang menyerupai lembaga kependetaan
(pristhood, rabbihood), karena Tuhan tidak pernah
mempercayakan suatu perwalian untuk mewakili-Nya
di muka bumi ini. “La rahbaniyyata fil Islam” (Tidak
ada sistem kependetaan dalam Islam), demikian Nabi
Muhammad s.a.w berkata. Dengan perkataan lain,
sekali seorang manusia merasa lebih rendah atau lebih
tinggi dari pada manusia lainnya, ia telah jatuh ke
dalam syirik – lawan tauhid.
Al-Quran mendorong manusia untuk selalu mencari
kebenaran, dan menganjurkan manusia agar senantiasa
menanyakan kebenaran yang sudah diterima dari
nenek-moyangnya Firman Allah yang berbyni :
⬧  ⬧◆
⧫ ❑➔
❑⬧  ⧫⧫
⧫ ⧫ ⧫
◼⧫ ◆
 ⧫◆⧫◆
270
 ❑⬧◆
 ➔⧫⧫◆
 ❑➔➔⧫
 ⧫⧫⧫ ◆
Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa
yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak),
tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Al-
Baqarah: 170); selalu terbuka terhadap koreksi atau
keyakinan yang keliru.firman Allah yang berbunyi :
 ❑⬧ ⧫
⧫◆
◼⧫ ⧫◆⧫◆
◼⧫ ◆ 
◆
 ⧫⧫
⧫ ◆
 ◆
⧫⬧  ⬧
⧫⬧   
 ❑➔◆
⧫◆
◼⧫ ⧫◆⧫◆
◼⧫ ◆ 
◆
  ⧫
 ❑⬧◆ ⬧
☺ 
◼⧫ ◆
 ◆⧫◆
 ❑⬧
 ☺

271
⧫ 

Artinya : Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya Kami
mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama, dan
Sesungguhnya Kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka".
23. Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
"Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut
suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-
jejak mereka".
24. (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya
juga) Sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati
bapak-bapakmu menganutnya?" mereka menjawab:
"Sesungguhnya Kami mengingkari agama yang kamu diutus
untuk menyampaikannya." (Az-Zukhruf: 22-24); dan
senantiasa menguji apa yang sudah dianggap sebagai
suatu kebenaran,firman Allah yang berbunyi :
❑➔➔⬧ ⬧◆
❑⬧ ⧫⬧⬧
◼⧫ ⧫◆
⧫◆⧫◆
⧫⬧ ◆
  ➔  
⧫ 
 ⧫⬧
◼⧫ ⧫❑❑→⬧
❑☺◼➔⬧  ⧫ 
⬧ ➔ 
 ◼◆
❑☺◆ 
 ❑
⧫ →
◼❑◆
⬧ ✓➔
☺  ⧫
272
⧫❑➔⬧ ⧫

Artinya : Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji[532],
mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang Kami
mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh Kami
mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak
menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." mengapa kamu
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
29. Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan".
dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap
sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan
kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali
kepadaNya)". (Al-A’raf: 28-29).
[532] Seperti: syirik, thawaf telanjang di sekeliling ka'bah dan sebagainya.
[533] Maksudnya: tumpahkanlah perhatianmu kepada sembahyang itu dan
pusatkanlah perhatianmu semata-mata kepada Allah.
Banyak manusia yang cenderung mengikuti tradisi
dan keyakinan nenek-moyangnya. Selain itu, mereka
juga cenderung untuk mengikuti langkah para
pemimpin tanpa menggunakan akal-sehat mereka.
Tidak mengherankan kalau para penguasa atau para
pemimpin sering memiliki otoritas yang tidak bisa
ditantang (unchallanged authority), oleh karena
banyak manusia yang begitu saja menyerah dan
tunduk kepada mereka, tanpa daya-pikir kritis serta
keberanian untuk mengritik. Padahal, para penguasa
atau para pemimpin umumnya mempunyai
kepentingan tertentu (vested interest) untuk
membela status quo, dan mengelabui para
pengikutnya. Al-Quran mengingatkan bahwa orang-
orang yang tidak bersikap kritis terhadap para
pemimpin mereka, akan kecewa di Hari Akhir dan
mengeluh
 ◆ 
◆➔⬧
◆⬧
⧫◆◆◆
273
⧫❑⬧
 
Artinya : “… Ya, Tuhan kami! Kami telah taat kepada
para pemimpin dan orang-orang besar kami, lalu
mereka sesatkan kami dari jalan-Mu yang lurus” (Al-
Ahzab: 67)
Di samping membebaskan manusia dari perbudakan
mental dan penyembahan kepada sesama makhluk,
kalimat thayyibah juga mengajarkan emansipasi
manusia dari nilai-nilai palsu yang bersumber pada
hawa-nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan-
kesenangan sensual belaka. Sesuatu kehidupan yang
didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan dan
penumpukan kekayaan, pasti akan mengeruhkan akal -
sehat dan mendistorsi pikiran jernih. Dengan tajam Al-
Quran menyindir orang-orang semacam ini: yang
berbunyi :
⧫ ◆◆
⬧ ⬧
⬧ ◆❑
◼⧫ ❑⬧
  ◆
 ⧫
➔◆⬧
 ❑➔☺
  ❑➔➔⧫
 ➔
⧫  ➔
  ➔

Artinya : Terangkanlah kepadaku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah
kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,
44. Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(dari binatang ternak itu). (Al-Furqan: 43-44)
274
KONSEKWENSI SYAHADAT
Ketahuilah, jika seseorang telah bersaksi dengan dua kalimat
syahadat, ada hak dan kewajiban yang harus ia lakukan.
Diantara hak yang didapatkannya adalah haramnya darah dan
hartanya. Maksudnya, seseorang yang telah bersaksi dengan
dua kalimat syahadat tidak boleh untuk diperangi, ditumpahkan
darahnya, dan dirampas hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi
manusia, sampai mereka mau bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, dan mendirikan
sholat, serta menunaikan zakat. Apabila mereka telah
melakukan hal tersebut, mereka telah menjaga darah dan harta
mereka dariku, kecuali dengan hak islam. Adapun hisab mereka
adalah urusan Allah Ta’ala” (HR. Bukhori dan Muslim)
Adapun kewajiban yang harus dilakukan adalah :
1. Kewajiban setelah bersaksi Asyahadu alla ilaaha illallah
Konsekuensi syahadat la ilaha illallah juga meninggalkan
segala bentuk peribadahan dan ketergantungan hati kepada
selain Allah. Selain itu ia juga melahirkan sikap mencintai
orang yang bertauhid dan membenci orang yang berbuat syirik.
Sedangkan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah
adalah menaati Nabi, membenarkan sabdanya, meninggalkan
larangannya, beramal dengan sunnahnya dan meninggalkan
bid’ah, serta mendahulukan ucapannya di atas ucapan siapapun.
Selain itu, ia juga melahirkan sikap mencintai orang-orang
yang taat dan setia dengan sunnahnya dan membenci orang-
orang yang durhaka dan menciptakan perkara-perkara baru
dalam urusan agama yang tidak ada tuntunannya.
2. Kewajiban setelah bersaksi Asyahadu anna Muhammadar
Rasulullah
Orang yang telah bersaksi Asyahadu anna Muhammadar
Rasulullah maka konsekuensinya ia wajib membenarkan segala
yang dikabarkan oleh Rasulullah tanpa meragukannya,
melakukan apa yang Beliau perintahkan, menjauhi apa yang
beliau larang, mendahulukan dan menghormati sabda beliau di
atas perkataan selainnya, beribadah kepada Allah sesuai
tuntunannya, tidak menambah-nambah ajarannya, serta
melahirkan sikap cinta terhadap orang yang taat dengan sunnah
beliau dan benci terhadap orang yang mengingkari sunnah
beliau. Dan termasuk pula meyakini beliau sebagai penutup
para Nabi dan Rasul, tidak ada lagi nabi setelah beliau.
Wallahua’lam.
RUKUN IMAN
275
Pengertian Iman
Pengertian iman (bahasa Arab) artinya percaya. Sedangkan
pengertian iman menurut istilah adalah membenarkan dengan
hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan
(perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah
adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar
ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya,
kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta
dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Rasulullah Shallahu‟alaihi wa sallam bersabda,”Iman
lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling
utamanya perkataan ‫ هلل‬dan yang paling rendahnya
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan
cabang dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud:
4676, Tirmidzi: 2614). Secara pokok iman memiliki enam
rukun sesuai dengan yang disebutkan dalam hadist Jibril
(Hadist no. 2 pada hadist arba‟in an-Nawawi) tatkala Sahabat
bertanya kepada Nabi Shallahu‟alaihiwa sallam tentang iman,
lalu beliau menjawab,”Iman adalah engkau percaya kepada
Allah, para malaikatNya, kitab-kitab-Nya, pararasul-Nya, hari
akhir, dan percaya kepada taqdir-Nya, yang baik dan yang
buruk.”(Mutafaqqun ‘alaihi).
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang
yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur
keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya
tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan
dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab,
ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh
bentuk amal kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga
cabang. Karena itu Allah menggolongkan dan menyebut ibadah
shalat dengan sebutan iman dalam firmanNya,”Dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu” (QS. Al-Baqarah:143).

◆
 ➔
❑❑→⧫ ◆
◼⧫ ◆→
⧫❑⧫◆ 
❑▪
⧫◆  ◼⧫
276
⬧⬧ ➔
 
◼➔◆  ◼⧫
⧫❑▪ ⧫ ⧫
◼⧫ ☺⬧⧫
◆  ⧫⧫
 ◆⬧⬧ ⧫
 ⧫ ◼⧫
 ⧫ ⧫◆ 
 ☺ 
  
 ▪ ⧫⬧
Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami
tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-
orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ‟imanmu‟ adalah
shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis,
karena sebelum turun perintah shalat menghadap ke Baitullah
(Ka‟bah) para sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis.
1). Iman kepada Allah
Iman Kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud
(ada) yang disifati dengansifat-sifat keagungan dan
kesempurnaan. Dia Maha Esa,Maha benar, Tempat bergantung
para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan
Dia),Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang
dikehendaki-Nya.
Beriman kepada Allah juga bisa diartikan,berikrar dengan
macam-macam tauhid yang tiga serta beri‟tiqad (berkeyakinan)
dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid
uluhiyyah dan tauhid al-asma‟ wa ash-shifaat.
Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar
bagi seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia
beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya:

277
⧫ ⧫
❑◆ ❑⧫◆
❑◆◆ 
 ⧫◆
❑◆ ◼⧫ ⧫⧫
⧫◆✓
⧫◆  ⬧  ⧫⧫
 →⧫
⬧◼⧫◆
◆
◆
 ❑◆◆
◼ ⬧⬧
 ➔⧫
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya. (Q.S. An Nisa : 136).
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar
kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata.
Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam
hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya
adalah untuk kebaikan manusia.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa
dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya
Tuhan tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya.
Fitrah ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu pengaruh
lain yang mengubah hatinya. Nabi Shallahu‟alaihi wa sallam
bersabda:”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan
fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikan mereka
Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori).Setiap
makhluk yang ada tidak muncul begitu saja secara kebetulan,
karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang mewujudkan
yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah
berfirman,”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu-pun atau
kah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS.
Ath-Thur: 35).
278
  ❑→ 
➔  
 ❑→
Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?

Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada


yang menciptakan dan tidak mungkin mereka mampu
menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti ada yang
menciptakan,yaitu Allah yang maha suci.Lebih jelasnya kita
ambil contoh, seandainya ada orang yang memberitahu anda
ada sebuah istana yang sangat megah yang dikelilingi taman,
terdapat sungai yang mengalir disekitarnya, di dalamnya penuh
permadani, perhiasan dan ornamen-ornamen indah. Lalu orang
tersebut berkata kepada anda, istana yang lengkap beserta
isinya itu ada dengan sendirinya atau muncul begitu saja tanpa
ada yang membangunnya. Maka anda pasti segera mengingkari
dan tidak mempercayai cerita tersebut dan anda menganggap
ucapannya itu sebagai suatu kebodohan.

Bukti lain adanya kekuasaan Allah adalah

Apa mungkin alam semesta yang begitu luas yang dilengkapi


dengan bumi, langit,bintang, dan planet yang tertata rapi,
muncul dengan sendirinya atau muncul dengan tiba-tiba tanpa
ada yang menciptakan.

(b). Adannya kitab-kitab samawi Yang membicarakan tentang


adanya Allah.
Demikian pula hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut
yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia
menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa.

(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan


do‟anya.Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami
kesulitan, ini menjadi bukti-bukti kekuasaan Allah. Allah
berfirman:”Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia
berdoa, dan kami memperkenankan doanya, lalu kami
selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.”
(QS. Al-Anbiya’: 76)
279
⧫  ◼❑◆
⬧ 
⬧ ◆⧫⬧
◆◆⬧
 ⬧◆

 →➔
Artinya : Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika Dia
berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami
selamatkan Dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.

(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut


mukjizat adalah suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus
mereka yang tidak lain Dia adalah Allah Azza wa Jalla.
Misalnya: Mukjizat nabi Musa ‟Alahissalam. Tatkala belau
diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah
lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan air di
antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah,”Lalu
kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan
adalah seperti gunung yang besar” (QS. Asy-Syu’ara’: 63)

 ⧫ ⬧  


➔⬧ ⧫ ⧫◆
 ⧫✓⬧
Artinya : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi adalah
kebanyakan mereka tidak beriman.

Contoh lain adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi Isa


‟Alaihissalam berupa :
6. Membuat burung dari tanah,
7. Menyembuhkan orang buta sejak lahirnya
8. Menyembuhkan penyakit sopak (sejeni spenyakit kulit),
9. Menghidupkan orang mati
10. dan mengeluarkan orang mati dari kuburannya atas izin
Allah.

280
Allah berfirman:“Sesungguhnya Aku Telah datang
kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari
Tuhanmu, dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu
makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. ” (QS. Ali
Imran: 49).2.
◆❑➔  ⧫⬧  
 ❑⬧ 
Artinya : Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
makhluk-Nya, Maksudnya: Allah mengatur langit dan bumi
serta seisinya.

Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah). Untuk


mengimani sepenuhnya bahwa Allah-lah memberi rizki,
menolong, menghidupkan,mematikan dan bahwasanya Dia itu
adalah pencipta alam semesta, Raja dan Penguasa segala
sesuatu.
Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah)Yaitu
mengimani hanya Dia lah sesembahan yang tidak ada sekutu
bagi-Nya, mengesakan Allah melalui segala ibadah yang
memang disyariatkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang
malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa
dikatakan beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada
zaman Rasulullah Shallahu‟alaihi wa sallam juga mengimani
tauhid rububiyah saja tanpa mengimani tauhid uluhiyah,
mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan
mengatur segala urusan tetapi mereka juga menyembah
sesembahan selain Allah.
Allah berfirman,

 ➔⧫ ⧫ ➔


☺
 ◆
☺ →☺⧫
⧫◆ ⧫◆
 ⚫
⚫◆ ☺
 ☺
281
⧫◆ 
  ◼
  ⧫❑❑→◆⬧
 ⧫❑→⬧ ⬧ →⬧
 ⬧
 ⧫ ◆
➔⧫ ⬧☺⬧
◼  ⬧
❑➔◆➔ ⬧ 

Artiya : Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu
dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?"
Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"

[689] Sebagian mufassirin memberi misal untuk ayat ini dengan


mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga
diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul
tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah.

32. Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang
sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan
kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari
kebenaran)? Katakanlah: „Siapakah yang member rizki
kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakahyang
mengatur segala urusan.‟ Maka, mereka men-jawab: „Allah.‟
Maka, katakanlah:„Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-
Nya)?‟ (QS. Yusuf: 31-32).

➔☺ ⬧⬧
◼ ☺
⧫◆ ⬧
⬧◆◆ ⬧ ⚫
 ◼◆ 
⬧⬧◆
282
 ◼⧫ ⚫
◆◆ ⬧⬧
➔⬧◆ ⧫
◆
⧫  ➔◆
 
◼⧫  
⬧⬧  
 ⬧
  ☺

◆◆⧫ ⬧⬧◆ 

 ➔⧫⬧⬧◆
◼◆ ⧫ ➔⧫
❑◆⬧◆ ◆⬧
 ⧫ 
Artinya : Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar
cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan
disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya
kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong
jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-
wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)
nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha
sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak
lain hanyalah Malaikat yang mulia."
Wanita itu berkata: "Itulah Dia orang yang kamu cela aku
karena (tertarik) kepadanya, dan Sesungguhnya aku telah
menggoda Dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan
tetapi Dia menolak. dan Sesungguhnya jika Dia tidak mentaati
apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya Dia akan
dipenjarakan dan Dia akan Termasuk golongan orang-orang
yang hina."

Sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah,


melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain ).” (QS. Yusuf : 106),

283
➔⬧ ⬧ ⧫◆
⧫❑ ➔◆  

Artinya : Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman
kepada Allah, melainkan dalam Keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain).

Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat)


Yaitu menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah
tetapkan atas diriNya baik itu berkenaan dengan nama-nama
maupun sifat-sifat Allah, tanpa tahrif dan ta‟thil serta tanpa
takyif dan tamtsil. Dua Prinsip dalam meyakini sifat Allah
Subhanahu wa ta’ala, · Allah Subhanahu wa ta‟ala wajib
disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti
ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya. ·

Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak


ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari
makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.Imam Abu Hanifah
rahimahullah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan
diriseperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur‟an.
Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan
dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak
boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan
bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-
Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah.

sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan


golongan Mu‟tazilah. Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa
dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa
dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama
dan sifat-sifat-Nya. Allah berfirman,”Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syuura’: 11).

⧫❑→⧫   ⧫❑⧫ ⧫❑⬧



Artinya : (yaitu) kaum Fir'aun. mengapa mereka tidak
bertakwa?"

Buah beriman kepada Allah Beriman kepada Allah secara benar


sebagaimana digambarkan akan membuahkan beberapa hasil
yang sangat agung bagi orang-orang beriman, diantaranya:

284
1. Merealisasikan pengesaan kepada Allah sehingga tidak
menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut, dan
tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta
mengagungkan-Nya sesuai dengan kandungan makna nama-
nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya Yang Agung.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan
apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Surah Al-Baqarah (bahasa Arab: ‫ البقرة‬, al-Baqarah, bahasa


Indonesia: "Sapi Betina") adalah surah ke-2 dalam Al-Qur'an.
Surah ini terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf dan
tergolong surah Madaniyah. Surah ini merupakan surah dengan
jumlah ayat terbanyak dalam Al-Qur'an. Surah ini dinamai al-
Baqarah yang artinya Sapi Betina sebab di dalam surah ini
terdapat kisah penyembelihan sapi betina yang
diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67-74). Surah
ini juga dinamai Fustatul Qur'an (Puncak Al-Qur'an)
karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan
dalam surah yang lain. Dinamai juga surah Alif Lam Mim
karena ayat pertama di surah berisi tiga huruf arab yakni Alif,
Lam, dan Mim.

Hikmah Iman Kepada Hari Akhir


285
Pengertian Iman Kepada Hari Akhir
Pengertian iman kepada hari akhir atau kiamat secara bahasa (etimologi) ialah
percaya akan adanya hari akhir. Sedangkan secara istilah pengertian iman
kepada hari akhir ialah percaya dan meyakini akan adanya kehidupan yang
kekal (akhirat) dan abadi setelah kehidupan di dunia
Selengkapnya di : Pengertian Iman Kepada Hari Akhir

Nah, setelah kalian paham mengenai arti iman kepada hari akhir. Selanjutnya
admin akan memberi contoh tentang Iman Kepada Hari Akhir.
B. Hikmah Beriman Kepada Hari Akhir
Kalian kan sudah tahu pengertian tentang iman kepada hari akhir dan contoh
perilaku yang mencerminkan iman kepada hari akhir, dibalik semua itu ada
hikmah yang bisa kita dapat. Seperti :

1. Meningkatkan Iman dan Taqwa


Kita ingat akan hari akhir, entah kapan datangnya. Dengan kepercayaan ini
dapat membuat seseorang hidupnya lebih teratur dan berusaha menjauhi dosa.

2. Menjauhi Pola Hidup Orang Kafir


Allah SWT memperingatkan kita untuk tidak mengikuti gaya hidup orang
kafir seperti mabuk-mabukan, maksiat dan sebagainya. Mereka tidak berfikir
bagaimana jadinya mereka akan disiksa saat di akhirat kelak

3. Mendorong Manusia untuk Semangat


Di akhirat kelak, kita akan membawa amal baik maupun buruk kita. Dengan
beriman kepada hari akhir kita akan mendapat hikmah dan bersemangat
mengerjakan amal baik sebanyak-banyaknya

4. Berkeinginan Berjihad di Jalan Allah dengan Jiwa dan Harta


Kematian itu pasti, dengan beriman kepada hari akhir mendorong manusia
untuk berjihad atau contoh kecilnya kita sebagai pelajar belajar dengan keras
walau harta kita banyak yang sudah keluar

5. Memperjelas Tujuan Hidup


"Kita hidup untuk apa sih?" Kalimat seperti itu pasti pernah terfikirkan, semua
hal yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Hidup itu
cuman sekali, kita harus berusaha dengan baik untuk apa yang kita
perjuangkan namun dalam jalan Allah yang benar

6. Sabar Saat Ditimpa Musibah

286
Saat kita sudah beriman kepada hari akhir, ia akan berusaha untuk tetap sabar
dan percaya bahwa Allah akan membantunya

Sebenarnya masih ada banyak contoh perilaku dan hikmah beriman kepada
hari akhir. Jika temen-temen ada referensi lebih, silahkan cantumkan di kolom
komentar Eduspensa.com

Ibnu Katsir berkata bahwa, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan sebuah hadits dari
sahabat Abu Ubaidah, ia mengatakan bahwa umat Yahudi pernah membunuh
43 nabi .
.
Nabi dan rasul adalah laki-laki dalam Al-Qur'an
,Surat Al- Anbiya : 7
◼⬧ ◆ ⧫◆
❑  
❑➔⧫⬧  ⬧
  
 ❑☺◼➔⬧  
7. Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang
Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu
kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada
mengetahui.

Rasul dalam ajaran Islam


Rasul (bahasa Arab: ‫ رسول‬Rasūl; Plural ‫ رسل‬Rusul) adalah seseorang yang
mendapat wahyu dari Allah dengan suatu syari'at dan ia diperintahkan untuk
menyampaikannya dan mengamalkannya. Setiap rasul pasti seorang nabi,
namun tidak setiap nabi itu seorang rasul, dengan demikian, jumlah nabi jauh
lebih banyak dibanding jumlah rasul.
Menurut syariat Islam jumlah rasul ada 312,[1] sesuai dengan hadits yang telah
disebutkan oleh Muhammad, yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi.
Menurut Al-Qur'an Allah telah mengirimkan banyak nabi kepada umat
manusia. Seorang rasul memiliki tingkatan lebih tinggi karena menjadi
pimpinan ummat, sementara nabi tidak harus menjadi pimpinan. Di antara
287
rasul yang memiliki julukanUlul Azmi adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan
Muhammad.[2] Mereka dikatakan memiliki tingkatan tertinggi di kalangan
rasul. Rasul yang terbanyak diutus oleh Allah adalah kepada Bani Israel,
berawal dari Musa, berakhir pada Isa, dan di antara keduanya terdapat seribu
nabi.
Rasul dalam al-Qur'an dan hadits
Dari Al-Quran dan hadits disebutkan beberapa nama nabi sekaligus rasul, di
antaranya yaitu:
• Syits diutus untuk memimpin anak cucu Adam dan bani Qabil.[3]
• Idris diutus untuk bani Qabil[4] di Babul, Iraq dan Memphis dan bani
Syits di Abu Qubays hingga Mesir.
• Nuh diutus untuk bani Rasib di wilayah Selatan Iraq.
• Hud diutus untuk ʿĀd yang tinggal di Al-Ahqaf, Yaman.
• Shaleh diutus untuk kaum Tsamūd di Semenanjung Arab.
• Ibrahim diutus untuk bangsa Kaldeā di Kaldaniyyun Ur, Iraq.
• Luth diutus untuk negeri Sadūm dan Amūrah di Syam, Palestina.
• Isma'il diutus untuk untuk penduduk Al-Amaliq, bani Jurhum dan qabilah
Yaman, Mekkah.
• Ishaq diutus untuk Kanʻān di wilayah Al-Khalil, Palestina.
• Yaqub diutus untuk Kanʻān di Syam.
• Yusuf diutus untuk Hyksos dan Kanʻān di Mesir.
• Ayyub diutus untuk bani Israel dan bangsa Amoria (Aramin) di Horan,
Syria.
• Syu'aib diutus untuk kaum Rass, negeri Madyan dan Aykah.
• Musa dan Harun diutus untuk bangsa Mesir Kuno dan Bani Israel di
Mesir.
• Zulkifli diutus untuk bangsa Amoria di Damaskus.
• Yunus diutus untuk bangsa Assyria di Ninawa, Iraq.
• Ilyas diutus untuk Funisia dan bani Israel, di Ba'labak Syam.
• Ilyasa diutus untuk bani Israel dan kaum Amoria di Panyas, Syam.
• Daud diutus untuk bani Israel di Palestina.
• Sulaiman diutus untuk bani Israel di Palestina.
• Zakaria diutus untuk bani Israil di Palestina.
• Yahya diutus untuk bani Israil di Palestina.
• Isa diutus untuk bani Israil di Palestina.

288
• Muhammad seorang nabi dan rasul terakhir yang diutus di Jazirah
Arab untuk seluruh umat manusia dan jin.[5][6]
Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang siapa nabi sekaligus rasul
pertama kali diutus kepada suatu kaum. Sebagian berargumen dengan dalil Al-
Qur'an dan hadits bahwa nabi sekaligus rasul pertama adalah Nuh, sedangkan
pendapat lain mengatakan nabi dan rasul pertama adalah Syits.
Adam yang diutus sebelumnya hanyalah bertaraf sebagai nabi, dan tidak
memiliki kewajiban untuk menyebarkan risalah yang mereka yakini.
Sedangkan Khaḍr adalah seorang nabi yang dianggap misterius, tidak
diketahui lebih lanjut untuk kaum apa dia diutus.
Perbedaan nabi dan rasul
Berikut ini adalah perbedaan nabi dan rasul:
• Jenjang kerasulan lebih tinggi daripada jenjang kenabian.
• Rasul diutus kepada kaum yang kafir, sedangkan nabi diutus kepada kaum
yang telah beriman.
• Syari’at para rasul berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau dengan
kata lain bahwa para rasul diutus dengan membawa syari’at baru.
• Nabi yang pertama adalah Adam dan rasul pertama adalah Nuh.
• Seluruh rasul yang diutus, Allah selamatkan dari percobaan pembunuhan
yang dilancarkan oleh kaumnya. Adapun nabi, ada di antara mereka yang
berhasil dibunuh oleh kaumnya.
Kriteria nabi dan rasul
Dikatakan bahwa nabi dan rasul memiliki beberapa kriteria yang harus
dipenuhi, di antaranya adalah:
• Dipilih dan diangkat oleh Allah.
• Mendapat mandat (wahyu) dari Allah.
• Bersifat cerdas.
• Dari umat bani Adam (manusia).
• Nabi dan rasul adalah seorang pria.
Referensi
1. ^ Dari Abi Zar bahwa rasulullah bersabda ketika ditanya tentang
jumlah para nabi, "(Jumlah para nabi itu) adalah seratus dua puluh
empat ribu (124.000) nabi." "Lalu berapa jumlah rasul di antara
mereka?" Dia menjawab, "Tiga ratus dua belas (312)" (Hadits riwayat
At-Turmuzy).
2. ^ "University of Southern California: Compendium of Muslim Texts".
Diakses tanggal 2007-01-03.

289
3. ^ a b Sheath AS [Creation Of Adultery & Music] di Youtube.com
4. ^ Daftar nabi dalam agama Islam disitus InfoMasjidKita.com
5. ^ “Aku diutus kepada seluruh makhluk.” Ibnu Abdil Barr berkata:
Mereka tdk berbeda pendapat bahwa Muhammad diutus kepada
jin dan manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. (Hadits riwayat Muslim). Ini termasuk keistimewaan dia
dibandingkan para nabi yakni dgn diutus dia kepada seluruh jin dan
manusia.
6. ^ Abu Hurairah berkata bahwa, rasulullah bersabda: “Aku diutus
kepada yg merah dan yg hitam.” (Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim). Mujahid bin Jabr menafsirkan hadits ini dgn makna jin dan
manusia.
7. ^ “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-
nabi yang setelahnya”. (An-Nisa` 4:163)
8. ^ a b "Maka orang-orang mendatangi Adam dan berkata: Wahai Adam,
tidakkah engkau tahu (bagaimana keadaan manusia). Allah telah
menciptakanmu dengan TanganNya, dan Allah (memerintahkan)
Malaikat bersujud kepadamu dan Allah mengajarkan kepadamu nama-
nama segala sesuatu. Berilah syafaat kami kepada Rabb kami sehingga
kami bisa mendapatkan keleluasaan dari tempat kami ini. Adam
berkata: aku tidak berhak demikian, kemudian Adam menceritakan
kesalahan yang menimpanya. (Adam berkata): akan tetapi datanglah
kepada Nuh, karena ia adalah rasul pertama yang Allah utus kepada
penduduk bumi. Maka orang-orang kemudian mendatangi
Nuh…."(Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).
9. ^ Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal, 196-197.
10. ^ 5 Perbedaan Antara Nabi dan Rasul, 16 November 2009. Diakses
pada 9 Januari 2012
11. ^ Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan dalam Tafsirnya (3/47), “Tidak
ada perbedaan (di kalangan ulama) bahwasanya para rasul lebih utama
daripada seluruh nabi dan bahwa ulul ‘azmi merupakan yang paling
utama di antara mereka (para rasul)”.
12. ^ “Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami
berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat
itu mendustakannya”. (Al-Mu`minun 23:44)
13. ^ “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang”. (Al-Ma`idah 5:48)
14. ^ Allah berfirman: “Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi
Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman?”. (Al-Baqarah
2:91)
15. ^ "Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad),
melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
290
mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui." (Al anbiyya’ 21:7)
16. ^ "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka..." (An Nisaa' 4:34)

CABANG IMAN

IMAN memiliki cabang yang sangat banyak, hal ini


menunjukkan bahwa kata-kata IMAN jika disebutkan secara
mutlak -tanpa dikaitkan dengan kata Islam- mencakup agama
secara keseluruhan. Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam telah
menjelaskan cabang-cabang IMAN tersebut baik secara global
ataupun secara rinci.
Berkaitan dengan penjelasan Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam
tentang IMAN secara global, hal ini terdapat dalam hadits Abu
Hurairah Radhiallohu 'Anhu, beliau berkata; Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :

))‫ واحلياء شعبة من اإلميان‬،‫((اإلميان بضع وسبعون شعبة‬


IMAN itu ada lebih dari tujuh puluh cabang, dan MALU
merupakan salah satu cabang dari IMAN

dalam riwayat yang lain :

‫ فأفضلها‬،‫ أو بضع وستّون شعبة‬،‫((اإلميان بضع وسبعون‬


‫ واحلياء‬،‫ وأدانها إماطة األذى عن الطريق‬،‫قول ال إله إال هللا‬
))‫شعبة من اإلميان‬
IMAN itu ada lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang,
tingkatan cabang terafdhol -tertinggi- adalah ucapan LA
ILAHA ILLALLOH, tingkatan cabang yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan di jalan, dan MALU
merupakan salah satu cabang dari IMAN [Muttafaqun 'alaih]

Al Imam Abu Bakar Al Baihaqy Rahimahullah telah

291
menyebutkan tujuh puluh tujuh (77) cabang IMAN, secara
ringkas cabang-cabang IMAN tersebut adalah sebagai berikut :
2. Iman kepada Allah Azza wajalla
3. Iman kepada para Rasul Alaihissholatu wassalam
4. Iman kepada kepada para Malaikat
5. Iman kepada Al Qur'an Al Karim dan seluruh kitab yang
diturunkan
6. Iman kepada taqdir, apakah itu baik atau buruk berasal dari
Allah Azza wajalla
7. Iman kepada hari akhir
8. Iman kepada kebangkitan setelah kematian
9. Iman kepada pengumpulan seluruh manusia di padang
mah-syar setelah dibangkitkan dari kuburannya
10. Iman bahwasanya tempat orang-orang beriman adalah
surga dan tempat orang-orang kafir adalah neraka
11. Iman kepada wajibnya mencintai Allah Azza wajalla
12. Iman terhadap wajibnya takut kepada Allah Azza wajalla
13. Iman terhadap wajibnya penuh harap kepada Allah Azza
wajalla
14. Iman terhadap wajibnya tawakkal kepada Allah Azza
wajalla
15. Iman kepada wajibnya mencintai Nabi Shollallahu 'alaihi
wasallam
16. Iman kepada wajibnya mengangungkan, memuliakan dan
menghormati Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam dengan
tidak melampaui batas
17. Kecintaan seseorang terhadap agamanya sehingga dia lebih
mencintai dilemparkan ke dalam api dari pada kufur
18. Menuntut ilmu, yaitu mengenal Allah Subhanahu wata'ala,
mengenal agama-Nya dan mengenal Nabi-Nya Shollallahu
'alaihi wasallam, dengan berdasarkan dalil
19. Menyebarkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain
20. Mengangungkan Al Qur'an Al Karim; dengan
mempelajarinya, mengajarkannya, menjaga batasan-
batasannya, hukum-hukumnya, ilmu halal dan haramnya,
serta memuliakan ahlinya dan dengan menghafalnya.
21. Bersuci dan menjaga serta memperhatikan wudhu
22. Menjaga dan memperhatikan sholat lima waktu
23. Menunaikan zakat
24. Puasa; wajib dan sunnah
25. I'tikaf -berdiam di masjid-
26. Haji
27. Jihad di jalan Allah Azza wajalla

292
28. Ribath -menjaga wilayah perbatasan- di jalan Allah Azza
wajalla
29. Bertahan menghadapi musuh dan tidak lari meninggalkan
medan perang
30. Membayar seperlima dari ghanimah -rampasan perang-
kepada imam, atau penggantinya bagi yang memperoleh
ghanimah
31. Memerdekakan budak dengan bentuk mendekatkan diri
kepada Allah Azza wajalla
32. Membayar kaffarah -tebusan- yang wajib karena kejahatan
-pidana-; Kaffarah dalam Al Qur'an dan Assunnah ada
empat :
1. Kaffarah pembunuhan
2. Kaffarah dzhi-har
3. Kaffarah sumpah
4. Kaffarah berhubungan suami istri pada saat puasa
ramadhan
33. Menunaikan, memenuhi seluruh akad [perjanjian yaitu apa
saja yang Allah halalkan, haramkan, dan wajibkan serta
seluruh batasan-batasan di dalam Al Qur'an]
34. Menyebut-nyebut dengan pujian akan ni'mat Allah Azza
wajalla, dan apa saja yang wajib disyukuri
35. Menjaga lisan dari perkataan yang tidak dibutuhkan
36. Menjaga amanah, dan wajib menunaikannya kepada yang
berhak -pemiliknya-
37. Haramnya membunuh jiwa dan berlaku hukum tindak
pidana kejahatan atasnya
38. Haramnya kemaluan -zina- dan wajibnya menjaga
kehormatan
39. Mengepalkan tangan -tidak menyentuh- harta haram;
termasuk didalamnya : haramnya mencuri, merampok,
memakan suap -sogok-, dan memakan apa saja yang secara
syar'i bukan haknya.
40. Wajibnya wara' -menahan diri- dalam hal makanan dan
minuman, serta menjauhi apa saja yang tidak halal dari
makanan dan minuman tersebut
41. Meninggalkan pakaian dan mode serta perabot yang
diharamkan dan makruh
42. Haramnya permainan-permainan dan hiburan-hiburan yang
bertentangan dengan syariat
43. Sederhana -hemat- dalam nafkah -belanja- dan haramnya
memakan harta dengan cara yang batil
44. Meninggalkan dendam dan dengki serta iri dan hasad

293
45. Haramnya -menjatuhkan- kehormatan orang lain, dan
wajibnya meninggalkan apa saja yang menjatuhkan
kehormatan orang lain
46. Beramal Ikhlas hanya karena Allah Azza wajalla, dan
meninggalkan riya'
47. Senang dengan kebaikan dan sedih dengan keburukan
48. Mengobati setiap dosa dengan taubat nashu-hah
49. Menyembelih Qurban, dan intinya adalah : Al Hadyu, Al
Udhiyah dan Aqiqah
50. Taat kepada Ulil Amri
51. Berpegang teguh dengan Al Jama'ah
52. Menetapkan keputusan hukum diantara manusia dengan
adil
53. Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar
54. Saling tolong menolong diatas kebaikan dan taqwa
55. Malu
56. Berbakti kepada kedua orang tua
57. Silaturahmi
58. Akhlaq yang baik
59. Berbuat baik kepada budak
60. Hak Tuan yang wajib ditunaikan oleh budaknya
61. Menegakkan hak-hak anak dan keluarga lainnya
62. Dekat kepada ahli agama, mencintai mereka, menebarkan
salam dan berjabat tangan dengannya
63. Menjawab salam
64. Menjenguk orang sakit
65. Menyolati jenazah ahlul qiblat -kaum muslimin-
66. Mendoakan orang yang bersin -jika mengucapkan
"Alhamdulillah"-
67. Menjauhi orang-orang kafir dan pembuat kerusakan serta
tegas terhadap mereka
68. Memuliakan tetangga
69. Memuliakan tamu
70. Menutupi -aib- para pelaku dosa
71. Sabar terhadap musibah serta dari segala sesuatu yang
dicabut dari jiwa berupa kelezatan dan kesenangan
72. Zuhud dan pendek angan-angan -dalam masalah dunia-
73. Cemburu dan tidak membiarkan anak atau istrinya
bercampur baur dengan lelaki lain
74. Berpaling dari sikap ektrem -melampaui batas-
75. Dermawan dan murah hati
76. Menyayangi yang muda dan menghormati yang tua
77. Mendamaikan antara dua orang yang bertikai

294
78. Seseorang mencintai bagi saudaranya yang muslim apa
yang dia cintai bagi dirinya, dan tidak senang ada pada
saudaranya sesuatu yang dia tidak senangi bagi dirinya,
termasuk dalam hal ini adalah : menyingkirkan gangguan
di jalanan, sebagaimana yang di-isyaratkan dalam hadits
sebelumnya.
MAMFAAT DAN HIKMAH IMAN DALAM
KEHIDUPAN
Fungsi iman dalam kehidupan manusia adalah sebagai
pegangan hidup. Orang yang beriman tidak mudah putus asa
dan ia akan memiliki akhlak yang mulia karena berpegang
kepada petunjuk Allah SWT yang selalu menyuruh berbuat
baik.
Fungsi iman kepada Allah SWT akan melahirkan sikap dan
kepribadian seperti berikut ini.
1. Menyadari kelemahan dirinya dihadapan Allah Yang Maha
Besar sehingga ia tidak mau bersikap dan berlaku sombong atau
takabur serta menghina orang lain
2. Menyadari bahwa segala yang dinimatinya berasal dari
Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sikap
menyebabkan ia akan menjadi orang yang senantiasa bersyukur
kepada Allah SWT. Ia memanfaatkan segala nikmat Allah SWT
sesuai dengan petunjuk dan kehendak Nya
3. Menyadari bahwa dirinya pasti akan mati dan dimintai
pertanggungjawaban tentang segala amal perbuatan yang
dilakukan. Hal ini menyebabkan ia senantiasa berhati-hati
dalam menempuh liku-liku kehidupan di dunia yang fana ini.
4. Merasa bahwa segala tindakannya selalu dilihat oleh Allah
yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Ia akan berusaha
meninggalkan perbuatan yang buruk karena dalam dirinya
sudah tertanam rasa malu berbuat salah. Ia menyadari bahwa
sekalipun tidak ada orang yang melihatnya namun Allah Maha
Melihat. Dalam salah satu riwayat pernah dikisahkan, pada
suatu hari Khalifah Umar bin Khattab menjumpai seorang anak
pengembala kambing. Lalu Khalifah meminta kepada gembala
itu agar mau menjual seekor kambing kepadanya, berapa saja
harganya. Namun anak itu berkata: “Kambing ini bukan
milikku melainkan milik majikanku”. Lalu Khalifah Umar
berkata lagi: “Bukankah majikanmu tidak ada disini?” Jawab
295
anak gemabala tersebut,” Memang benar majikanku tidak disini
dan ia tidak mengetahuinya, tetapi Allah Maha Mengetahui”
mendengar jawaban anak itu, Umar tertegun karena merasa
kagum atas kualitas keimanan anak itu, yakni Allah SWT Maha
Melihat dan selalu memperhatikan dirinya, sehingga ia tidak
berani berbuat keburukan, walaupun tidak ada orang lain yang
melihatnya.
Sadar dan segera bertaubat apabila pada suatu ketika karena
kekhilafan ia berbuat dosa. Ia akan segera memohon ampun dan
bertaubat kepada Allah SWT dan berjanji tidak akan
mengulangi perbuatan jahat yang dilakukannya, sebagai mana
diterangkan dalam Al Qur’an:
⧫ ⧫ 
❑❑ ❑⧫◆
 ⧫✓▪❑⬧
❑⬧◆  ◆→
 → ◼⧫
◆❑
  ⧫✓⧫◆
  ⧫
◼ ⬧ ⬧
❑➔⬧ ⬧  ☺
 ◆❑⚫
◆  ❑➔⬧
 ❑⬧
 ⬧ ❑→➔➔
⧫❑➔☺➔⬧ ☺ ⧫
 
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. jika ia[361] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka

296
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan. (QS An Nisa :135)
[361] Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa.
Fungsi iman kepada Allah SWT akan menumbuhkan sikap
akhlak mulia pada diri seseorang. Ia akan selalu berkata benar,
jujur, tidak sombong dan merasa dirinya lemah dihadapan Allah
SWT serta tidak berani melanggar larangannya karena ia
mempunyai iman yang kokoh. Oleh karena itu, iman
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, yakni
sebagai alat yang paling ampuh untuk membentengi diri dari
segala pengaruh dan bujukan yang menyesatkan. Iman juga
sebagai pendorong seseorang untuk melakukan segala amal
shaleh.

297

Anda mungkin juga menyukai