Anda di halaman 1dari 10

HADIS MAUDHU’ DAN ANALISISNYA

Guna memenuhi tugas mata kuliah : Studi Hadis

Dosen Pengampu : Misbakhul Khaer, Lc., MA.

Nama Kelompok :

1. Barit Fatkur Rosadi : 20194711258

2. M. Zainul Muttaqin : 20194711272

3. Qomarudin : 20194711263

PENGERTIAN HADIS MAUDHU’

Hadis maudhu’’ atau hadis palsu adalah penyandaran sesuatu kepada Rasulullah saw.,

padahal beliau sendiri tidak pernah mengucapkan, melakukan, atau menetapkannya. Pemalsuan

hadis muncul disebabkan karena: a) pertikaian politik; b) siasat musuh-musuh Islam; c)

primordialisme dan chauvinism; d) fanatisme mazhab dan kalam; e) kultus individu; f)

pembuatan cerita; g) pendekatan pada penguasa; dan h) keinginan berbuat baik tanpa dasar

pengetahuan agama. Adapun ciri hadis maudhu’’ antara lain ada qarinah yang menunjukkan

bahwa periwayat itu tidak ketemu dengan orang yang diakui sebagai guru, terdapat kerancuan

pada matn, maknanya tidak dapat diterima akal serta bertentangan dengan nash al-Qur’an.

Pembahasan tentang hadis maudhu’ sangat penting, oleh karena di samping kegiatan pemalsuan

hadis telah menjadi kenyataan dalam sejarah, juga terutama dalam rangka memelihara kemurnian

hadis Nabi serta menghindarkan umat Islam dari kekeliruan dan terperangkap dalam pengamalan

hadis maudhu’ tersebut.


CATATAN UNTUK KITAB IHYA’ ULUMIDDIN

Ihya’ Ulûmiddîn, sebuah nama kitab yang sangat tenar di tengah kaum Muslimin,

bukan hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Ditilik dari makna harfiyah Ihya’ Ulûmiddîn,

kita dapati sebuah makna yang sangat agung. Betapa tidak, Ihya’ Ulûmiddîn yang disematkan

oleh penyusun kitab ini sebagai judul karya tulisnya itu bermakna menghidupkan ilmu-ilmu

agama. Keagungan makna ini tidak diingkari oleh siapapun yang memiliki iman dalam hatinya.

Karena, dengan ilmu-ilmu agama yang diaplikasikan dalam kehidupan nyata, seseorang akan

bisa selamat dari siksa dan murka Allâh Azza wa Jalla serta bisa masuk ke surga-Nya yang

penuh kenikmatan abadi. Namun apakah semua kandungan kitab Ihya’ Ulumiddin itu benar ?

Dalam peribahasa kita, ada ungkapan “Tidak ada gading yang tak retak”. Para Ulama

juga telah menegaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menetapkan keselamatan dari segala

bentuk kesalahan kecuali untuk nabi-Nya dan tidak memberikan jaminan ‘bebas dari kesalahan’

untuk sebuah kitab kecuali untuk kitab-Nya, al-Qur’ân. Kita juga tidak lupa dengan perkataan

Imam Mâlik rahimahullah : “Semua perkataan orang bisa diterima atau ditolak kecuali perkataan

penghuni kuburan ini (sambil memberi isyarat ke arah makam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa

sallam ).”

Ini menuntut kita untuk memiliki sifat kritis dan lapang dada. Sifat kritis untuk

menyaring semua info yang masuk ke kita dan sifat lapang dada untuk menerima segala bentuk

kritikan ilmiah yang sampai ke kita.

Kitab yang sangat masyhur ini, ternyata tidak luput dari kesalahan, bahkan kesalahan

fatal, karena terdapat kesalahan dalam masalah aqidah. Mungkin ada pertanyaan, siapakah kalian

sehingga berani menyalahkan kitab tersohor ini beserta penulisnya yang sangat ternama itu ?
Tentu, jawaban kami, bukan kami yang menyalahkan. Namun para Ulama Islam yang telah

menjelaskan sisi-sisi kekeliruan dan kesalahannya, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân dan Sunnah

yang mereka kuasai. Itulah pesan yang ingin kami sampaikan agar umat mengetahui kesalahan-

kesalahan tersebut lalu meninggalkannya, bukan untuk merendahkan apalagi mencela

penulisnya. ‘Iyâdzan billâh.

Di antara kesalahan itu, ada yang berawal dari kesalahan dalil, karena ternyata yang

menjadi dalilnya adalah hadits maudhû’ (hadits palsu), seperti hadits :

َ ‫ت َك َما تَأْ ُك ُل ْالبَهَائِ ُم ْال َح ِشي‬


‫ْش‬ ِ ‫ْج ِد يَأْ ُك ُل ْال َح َسنَا‬
ِ ‫ْث فِي ْال َمس‬
ُ ‫ْال َح ِدي‬

Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak

yang memakan rumput. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/152, cet. Darul Ma’rifah, Beirut]

Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah dan al-

Albâni rahimahullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. [Lihat

Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60] Juga hadits :

‫ْق َخ ْي ٌر ِمنَ َكثِي ِْر ْال َع ْق ِل‬


ِ ‫قَلِ ْي ُل التَّوْ فِي‬

Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/31]

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu yang

tidak ada asalnya. [Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi

hlm. 46]

Ada sebagian orang mengatakan, “Meskipun maudhû’ (palsu) atau dhaîf, bukankah itu

tetap merupakan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Ucapan seperti ini
menunjukkan orang yang melontarkannya belum memahami ilmu mustholah hadits dan belum

menyadari bahaya dan ancaman besar akibat membuat atau ikut menyebarkan hadits palsu.

Selain itu, kalau para ulama ahli hadits sudah menghukumi sebuah hadits sebagai hadits yang

maudhû’ itu artinya berdasarkan penelitian mereka “hadits” itu bukan sabda Rasûlullâh

Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi

wa sallam , sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam beramal. Barangsiapa berani

menisbatkan hadits maudhû’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah

berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkena ancaman Rasûlullâh

Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jalan mewujudkan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla hendaknya dengan

mencukupkan diri dengan hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Itulah jalan terbaik, Sebagaimana perkataan Imam Nawawi rahimahullah dalam mukaddimah

Riyâdhus Shâlihîn. Setelah memaparkan tujuan penciptaan manusia, beliau rahimahullah

mengatakan :

َ ‫ التَّأ َ ُّدبُ ب َما‬، ‫ك‬


‫ص َّح ع َْن نَبِيِّنَا َسيِّ ِد‬ ِ ِ‫ َوأَر َش ُد َما يَ ْسلُ ُكهُ ِمنَ الم َسال‬، ‫ك‬ ٍ ‫وأَصْ َوبُ طري‬
َ ِ‫ق لهُ في َذل‬

ِ َّ‫ َوأَ ْك َر ِم ال َّسابقينَ وال‬، َ‫األَوَّلينَ واآلخرين‬


َ‫الحقين‬

“Jalan yang paling benar dan terbaik bagi seorang mukallaf dalam beribadah, suluk terbaik

yang dia lakukan yaitu beradab atau bertingkah laku dengan kandungan (riwayat-riwayat) yang

shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ),

sayyid orang terdahulu dan yang terakhir, manusia termulia pada zaman dahulu dan yang akan

datang”.
Akhirnya, kami berdoa, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita

untuk menempuh jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Aamiiin.

BEBERAPA CONTOH HADITS PALSU DAN LEMAH DALAM KITAB IHYA

ULUMIDDIN

1. Hadits :

َ ‫ت َك َما تَأْ ُك ُل ْالبَهَائِ ُم ْال َح ِشي‬


‫ْش‬ ِ ‫ْج ِد يَأْ ُك ُل ْال َح َسنَا‬
ِ ‫ْث فِي ْال َمس‬
ُ ‫ْال َح ِدي‬

Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti

binatang ternak yang memakan rumput [1].

Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah dan al-

Albâni rahimaullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits

[2].

2. Hadits :

‫ْق َخ ْي ٌر ِمنَ َكثِي ِْر ْال َع ْق ِل‬


ِ ‫قَلِ ْي ُل التَّوْ فِي‬

Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak [3].

ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu yang tidak ada

asalnya [4] .

3. Hadits :

‫بُنِ َى ْال ِّدي ُْن َعلَى النَّظَافَ ِة‬

Agama Islam dibangun di atas kebersihan [5].


Hadits ini adalah hadits yang palsu, karena pada sanadnya ada perawi yang bernama

‘Umar bin Shubh al-Khurâsâni. Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya[6] : “Dia

adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah), bahkan

(Imam Ishâq) bin Rahuyah mendustakannya”[7].

4. Hadits :

ِ َّ‫ْف بِ ِه أَ ْه ُل الن‬
‫ار‬ ُ ‫إِ َّن ْال َعالِ َم يُ َع َّذبُ َع َذابًا يَ ِطي‬

Sesungguhnya orang yang berilmu akan disiksa (dalam neraka) dengan siksaan yang

akan membuat sempit (susah) penduduk neraka [8].

Hadits ini dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada

asalnya [9].

5. Hadits :

‫ِش َرا ُر ْال ُعلَ َما ِء الَّ ِذ ْينَ يَأْتُوْ نَ اأْل ُ َم َرا َء َو ِخيَا ُر اأْل ُ َم َرا ِء الَّ ِذ ْينَ يَأْتُوْ نَ ْال ُعلَ َما َء‬

Seburuk-buruk ulama adalah yang selalu mendatangi para penguasa (pemerintah) dan

sebaik-sebaik penguasa adalah yang selalu mendatangi para ulama [10] .

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada

asalnya [11]. Baca Juga  Lihat Apa Yang Dia Katakan!

6. Hadits :

‫ال أَنَا عَالِ ٌم فَه َُو َجا ِه ٌل‬


َ َ‫ال أَنَا ُم ْؤ ِم ٌن فَه َُو َكافِ ٌر َو َم ْن ق‬
َ َ‫َم ْن ق‬
Barangsiapa berkata: ‘Aku adalah seorang mukmin’ maka dia kafir, dan barang siapa

berkata: ‘Aku adalah orang yang berilmu’ maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)”

[12] .

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullahsebagai hadits yang tidak ada

asalnya [13] dan dinyatakan lemah oleh Imam as-Sakhâwi rahimahullah [14].

7. Hadits :

َ ‫ْس لِ ْل َع ْب ِد ِم ْن‬
‫صالَتِ ِه إِالَّ َما َعقَ َل‬ َ ‫لَي‬

Seorang hamba tidak akan mendapatkan (keutamaan) dari shalatnya kecuali apa yang

dipahaminya dari shalatnya [15].

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada

asalnya [16].

8. Hadits :

‫ق هللاُ ْال َع ْق َل‬


َ َ‫أَ َّو ُل َما خَ ل‬

Sesuatu yang pertama kali Allâh Azza wa Jalla ciptakan adalah akal…[17] .

Hadits ini dihukumi oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dan Syaikh al-Albâni

rahimahullah sebagai hadits yang batil dan palsu[18].

9. Hadits :

‫َم ْن َع ِم َل بِ َما َعلِ َم َو َرثَهُ هللاُ ِع ْل َم َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬


Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allâh Azza wa

Jalla akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya [19].

Hadits ini dihukumi oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah sebagai hadits yang palsu [20] .

10. Hadits :

‫اصوْ ا بِ ْال َع ْق ِل‬


َ ‫يَاأَيُّهَا النَّاسُ ا ْعقُلُوْ ا ع َْن َربِّ ُك ْم َوت ََو‬

“Wahai manusia, pahamilah (dengan akal) dari Rabb-mu dan saling berwasiatlah

dengan akal” [21] .

Hadits ini adalah hadits palsu, diriwayatkan oleh Dâwûd bin al-Muhabbar dalam kitab

al-‘Aql yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan

riwayatnya karena sangat lemah) dan kitab al-‘Aql yang ditulisnya mayoritas berisi

hadits-hadits yang palsu” [22] .

[1]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/152, cet. Darul ma’rifah, Beirut).

[2]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60

[3]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/31).

[4]. Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi hlm. 46

[5]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/49).

[6]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 414

[7]. Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 3264

[8]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/60).


[9]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287

[10]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/68).

[11]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/288

[12]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/125).

[13]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289

[14]. Lihat al-Maqâshidul Hasanah hlm. 663

[15]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/159).

[16]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289

[17]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/83) dan (3/4).

[18]. Lihat Lisânul Mîzân 4/314 dan Takhrîju Ahâdîtsil Misykâh no. 5064

[19]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/71), (3/13) dan (3/23)

[20]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 422

[21]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/202)

[22]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 200

DAFTAR PUSTAKA

Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/152, cet. Darul ma’rifah, Beirut).

Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah


Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi

Anda mungkin juga menyukai