Anda di halaman 1dari 17

1. A. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR DALAM HUKUM ISLAM: SYARIAH, FIQH, TASYRI DAN IJTIHAD. 1. 1.

Syariah Artinya : Sumber air yang dituju untuk minum b. Menurut terminologi adalah: Artinya : Kumpulan perintah dan hukum-hukum itiqadiyah dan amaliyah yang diwajibkan oleh islam untuk diterapkan guna merealisasikan tujuannya yakni kebaikan dalam masyarakat. Jadi, pembahasan syariah meliputi segala hukum, baik yang berhubunga n dengan aqidah, akhlak, dan yang berhubungan dengan perilaku manusia yang berupa perkataan, perbuatan, dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak termasuk dalam masalah aqidah dan akhlaq. 1. 2. Fiqh 1. Secara Etimologi berakar pada kata adalah yang berarti pemahaman. 2. Menurut terminologi adalah: Artinya : Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang amali (praktis) yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang tafshil. 1. 3. Tasyri

a. Syariah menurut etimologi berakar pada kata adalah:

Kata Tasyri diambil dari kata syariah. Tasyri berarti: menetapkan hukum. Sinonim dari tasyri adalahTaqnin yang berarti menetapkan peraturan atau mengadakan undang-undang. Dalam penetapan syariah, yang menetapkannya adalah Allah swt semata. Sebab di dalam tasyri terdapat hal-hal yang bersangkut paut dengan masalah-masalah gaib yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. 1. 4. Ijtihad Artinya : Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu 1. Secara terminologi adalah: Artinya : Pengerahan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali hukum syara. Ijtihad dalam arti luas meliputi: 1) Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara yang dikehendaki oleh nash yang zhanni dilalahnya. perbuatan.

1. Menurut etimologi adalah:

2) 3)

Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara, yang amali dengan Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara yang amali tentang

menetapkan Qaidah Syariah Kulliyah. masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh suatu nash dengan menggunakan sarana-sarana yang direstui oleh syara untuk digunakan mengenai masalah tersebut untuk ditetapkan hukumnya.

1. B. 1. 1.

SUMBER-SUMBER HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN Qiyas Artinya : Mengukur sesuatu dengan yang lain agar diketahui perbedaan antara keduanya.

1. Qiyas secara Etimologi adalah:

1. b.

Secara Terminologi adalah: Menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash mengenai hukumnya, dengan

suatu peristiwa yang telah ada nash hukumnya, karena adanya persamaan illah. 1. 2. Istihsan Artinya : Menganggap Sesuatu itu baik. 1. Secara Terminologi: Artinya : Beralih dari satu hukum mengenai satu maalah yang ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain (dalam masalah itu), karena adanya dalil syara yang menghendaki demikian. 1. 3. Ishtislah 1. Secara Etimologi: Mencari Kemashlahatan 1. Secara Terminologi: Artinya : Istislah adalah kemashlahatan yang tidak disyariatkan oleh syari dalam wujud hukum, di dalam rangka menciptakan kemashlahatan di samping tidak ada dalil yang membenarkan dan yang menyalahkan. Karenanya,

1. Secara Etimologi adalah:

istislah (maslahah mursalah ) itu disebut mutlaq lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah. 1. 4. Istishab Artinya : Pengakuan terhadap hubungan pernikahan. 1. Secara Terminologi: Artinya : Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali 1. 5. Urf Artinya : Sesuatu yang diketahui. 1. Secara Terminologi: Artinya : Sesuatu yang telah saling dikenal ileh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun 1. 6. Syarun Man Qoblana Artinya : Hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi orang-orang sebelum kita 1. Secara Teminologi: syariat yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus nabi Muhammad S.A.W. yang menjadi petunjuk bagi kaum mereka , seperti syariat nabi Ibrahim, syariat nabi Musa, syariat nabi Daud. 1. C. 1. 1. METODE ISTINBATH HUKUM IMAM YANG EMPAT Imam Abu Hanifah (Numan Bin Tsabit) 1. Secara Etimologis sikap meninggalkan sesuatu Urf disebut juga adat kebiasaan. 1. Secara Etimologi: jika ada dalil yang merubahnya. 1. Secara Etimologi:

Dalam melaksanakan istinbath hukum beliau mendasarkan pada: 1. Al-Quran 2. Hadits Nabi yang shahih saja Hadits yang dipakai untuk dijadikan dasar hukum haruslah hadits yang stasusnya shahih saja, bahkan yang lebih baik hadits yang mutawatir. Jika masalah itu tidak terdapat dalam hadits yang shahih, maka pindah kepada rayu (Qiyas), karena mengambil dasar hukum dengan pendapat qiyas lebih terjamin kebenarannya daripada hadits-hadits yang stastusnya diragukan. Hal ini sangat beralasan, mengingat posisi historitas Kufah sangat jauh dari makkah ataupun madinah, disamping itu, di daerah Kufah tidak begitu banyak pemangku hadits. 1. Ijma Sahabat Nabi

2. Qiyas 3. Istihsan (kebaikan umum) 1. 2. Imam Maliki (Malik Bin Anas)

Dasar-dasar istinbath beliau adalah: 1. Al-Quran 2. Hadits Rasul yang Shahih 3. Ijma Amalan Ahli Madinah Metode ini sangat penting dalam istinbath hukum dalam madzhab maliki, bahkan apabila terjadi kontradiksi antara hadits dengan amalan ahli madinah, beliau mendahulukan amalan ahli madinah, dengan alasan amalan orang madinah sama juga dengan hadits, dan bahkan lebih tinggi derajatnya dari hadits. Karena hadits-hadits diriwayatkan dengan perkataan. Tetapi amalan orang madinah diriwayatkan dengan perbuatan, dengan artian perbuatan nabi dilihat oleh sahabat lantas diikuti dan dikerjakan. kemudian diajarkan lagi oleh sahabat kepada muridmuridnya dan begitulah seterusnya. Beliau juga mengatakan: manakah lebih kuat perkataan dan perbuatan? Tentu saja perbuatan. 1. Qiyas 2. Maslahah Mursalah/Istislah (Kepentingan Umum). 1. 3. Imam Syafii (Muhammad Bin Idris)

Dasar-dasar Istinbath hukum beliau adalah: 1. Al-Quran 2. Hadits Shahih Beliau berpendapat bahwa hadits lebih diutamakan daripada Rayu maupun amalan orang madinah. Namun dengan catatan haditsnya berstatus shahih, sedangkan hadits yang dhoif hanya digunakan untuk Fadhailul Amal saja. 1. Ijma Para Mujtahid 2. Qiyas

1. 4.

Imam Hambali (Ahmad Bin Hambal)

1. Al-Quran 2. Hadits Nabi Beliau berpendapat, bahwa apabila tidak terdapat hukum dalam al-Quran maka carilah dalam hadits nabi, sekali lagi hadits nabi, sekalipun hadits itu statusnya dhaif. Beliau berpendapat hadits, sekalipun dalam keadaan dhaif adalah hadits juga, hanya pemangkunya yang diragukan. 1. Ijma sahabat nabi 2. Qiyas Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa: 1. Ke-empat madzhab memakai al-Quran menjadi dalil utama.

2. Imam Hanafi lebih mendahulukan pemakaian qiyas daripada hadits-hadits yang statusnya diragukan. 3. Hadits lebih diutamakan dari qiyas dalam madzhab Maliki, Syafii dan Hambali. 4. Imam Ahmad memakai hadits dhaif dalam penetapan hukumnya. 5. Istihsan hanya dipakai dala madzhab Hanafi, sedangkan maslahah mursalah hanya ada dalam madhzhab Maliki. 6. Tentang ijma berbeda-beda pendapatnya. 1. Imam Hanafi memakai ijma sahabat-sahabat nabi. 2. Imam Maliki memakai Ijma orang Madinah 3. Imam Syafii memakai ijma imam-imam mujtahid yang ahli. 4. Imam Hambali memakai ijma sahabat nabi.

Makalah Hubungan Syariat Islam dengan Fiqih

A. Pengertian Syariat Islam dan Hubungannya dengan Fiqh Hakikat Islam yang disampaikan Muhammad saw tidak berubah, yaitu menyerah diri kepada Allah Taala. Untuk menyelami aplikasinya secara luas dan mendalam dapat dicapai dengan mempelajari syariat yang diberikan Allah Taala kepada Muhammad saw. Wujud syariat ini terungkap dalam firman Allah Taala : Kemudian Kami jadikan kamu (hai Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[1] Syariat tersebut mengikuti pribadi Muhammad saw lebih dahulu sebelum umatnya. Karena Allah Taala memerintahkan kepadanya agar mengikutinya dan sebaliknya melarangnya mengikuti pandangan dan sikap manusia yang tidak tahu Allah Taala sehingga tidak mengetahui kebenaran.

B. Pengertian Syariat Meskipun tafsir kata syariat dalam ayat di atas berbeda-beda, namun mempunyai persamaan dari segi maksudnya. Ibnu Abbas r.a. menafsirkannya dengan petunjuk yang jelas. Qatadah menafsirkannya dengan ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah dan larangan. Ibnu Zaid menafsirkannya dengan din (agama).[2] Fakhrurrozi menafsirkannya dalam bentuk definisi yaitu :

Apa-apa yang ditetapkan Allah Swt atas para mukallaf (orang yang wajib melaksanakan hukum Allah Taala) supaya mereka ikuti.[3] Keterangan-keterangan tersebut di atas tidak bertentangan, tetapi pengertian syariat yang dikemukakan Fakhrurrazi lebih jelas dan telah dirumuskan dalam bentuk definisi. At Thahanawi juga mengemukakan definisi yang sama, yaitu : Syariat ialah hukum-hukum yang disyariatkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu alaihim dan sallallahu ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan maupun mengenai akidah.[4] Pengertian atau definisi syariah di atas adalah umum. Ia bukan saja pengertian syariat yang diberikan Allah Taala kepada Rasul-Nya Muhammad saw., tetapi bahkan pengertian semua syariat yang diberikan Allah Taala kepada para rasul sebelum Muhammad saw.

C. Syariat-Syariat Yang Berbeda-beda Sebagaimana kita ketahui Al Quran menginformasikan bahwa Allah Taala memberikan pula syariat kepada rasul-rasul sebelum Muhammad saw, seperti kepada Musa a.s. dan Isa a.s. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.[5] Ini menunjukkan bahwa masing-masing Rasul diberi syariat. Dengan demikian kata syariat merupakan istilah umum, tidak terbatas pada syariat yang ditetapkan Allah Swt buat Rasul-Nya Muhammad saw saja. Informsi lain yang dipahami dari ayat di atas ialah bahwa syariat yang diberikan Allah kepada Rasulrasul-Nya dan umat-umat mereka dapat berbeda. Bagi Taurat ada syariat, bagi Injil ada syariat dan bagi Al Quran ada pula syariat.[6] Oleh karena terdapat perbedaan-perbedaan, maka mayoritas ahli hukum Islam memandang informasi ayat ini mengandung isyarat dari Allah Taala bahwa masing-masing syariat berdiri sendiri, sehingga syariat yang diberikan Allah Taala kepada rasul-Nya sebelumnya tidak mengikat rasul yang datang kemudian.[7]

D. Kerangka Umum Syariat Bagi Muhammad saw Syariat Islam yang ditetapkan Allah Swt bagi Rasul -Nya Muhammad saw mencakup tiga bidang hukum yang sangat luas, yaitu (1) hukum-hukum mengenai akidah (kepercayaan), (2) hukumhukum mengenai amal perbuatan, dan (3) hukum-hukum mengenai akhlak (moral). Ada yang mempersempitnya menjadi dua bidang hukum saja, dengan menggabungkan bagian kedua dan ketiga menjadi satu, mengingat akhlak (moral) termasuk amal perbuatan. Allah Taala memberlakukan hukum-hukum tersebut pada manusia untuk mewujudkan perbaikanperbaikan dalam masyarakat manusia sendiri dan demi kepentingan masyarakat manusia pula. Dr. Musthafa Ahmad Az Zarqa membagi perbaikan-perbaikan tersebut kepada tiga bagian pokok, yaitu : 1. Membebaskan akal manusia dari belenggu taklid (mengikuti begitu saja tanpa memahami dasarnya) dan khurafat. Caranya ialah menanamkan akidah dan iman kepada Allah YME serta membimbing akal manusia agar selalu mengacu kepada dalil (dasar) dan berpikir berdasarkan ilmu pengetahuan yang luas dan terbuka. 2. Memperbaiki jiwa maupun akhlak individu, membimbingnya ke arah kebaikan, mendorongnya melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan atas dirinya dan tidak tenggelam dalam syahwat dan ambisinya, dan mengendalikan akal pikirannya sehingga tidak menajdi penghambat pelaksanaan tugas kewajiban yang dipikulnya. Caranya ialah setiap individu didorong agar mengamalkan dan menunaikan ibadat-ibadat yang sah. Ibadat-ibadat tersebut senantiasa mengingatkannya akan Penciptanya. Begitu juga setiap individu diberi informasi tentang akan adanya pahala dan sanksi di akhirat. Sehingga setiap individu yang beriman senantiasa mengontrol amal perbuatannya agar tidak melalaikan kewajiban-kewajibannya. 3. Memperbaiki kehidupan masyarakat. Caranya ialah menjelmakan keamanan dan keadilan serta perlindungan atas kemerdekaan masyarakat dalam batas-batas yang wajar, begitu juga melindungi kehormatan (harga diri) manusia melalui suatu sistem hukum menyangkut kepentingan individu maupun masyarakat, politik maupun pemerintahan yang mencakup semua asas hukum yang diperlukan untuk :

Menegakkan kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Mengatur hubungan-hubungan antara sesama anggota masyarakat dan hubungan antara anggota masyarakat dengan pihak penguasa. Serta melindungi hak-hak khusus bagi individu dan hak-hak umum bagi masyarakat.

Dari tiga tujuan Syariat Islam tersebut di atas menjadi jelaslah makna syariat dan menjadi jelas pula tiga unsur yang menjadi asas bagi syariay Islam yaitu akidah, ibadat dan hukum dan pengadilan. Sehingga menjadi jelas kebenaran kesimpulan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan negara.[8] Bidang akidah dibahas dalam ilmu tersendiri yaitu ilmu kalam (ilmu tauhid). Bidang ibadat dan hukum dan pengadilan dibahas dalam yang tersendiri pula yaitu ilmu fiqh.

D. Hubungan Syariat dan Fiqh Penerapan syariat Islam dalam masyarakat melahirkan fiqh. Antara fiqh dan syariat mempunyai hubungan yang sangat erat, karena sesungguhnya fiqh tetap berpijak pada syariat. Fiqh merupakan tuntutan yang harus timbul dan sukar dielakkan dalam pelaksanaan syariat. Hubungan antara fiqh dan syariat tersebut diungkapkan para faqih dalam pengertian (definisi) fiqh, sebagaimana akan diuraikan. Karena itu menguasai pengertian (definisi) fiqh akan mempermudah upaya memahami beberapa hal, di antaranya : - Hakikat fiqh - Ruang lingkup pembahasan fiqh - Posisi fiqh secara tepat dan lebih mendalam - Cara lahirnya fiqh

REFERENSI [1] QS.Al Jaatsiyah ayat 18 [2] Ath Thabari, Jami Al Bayan, (Kairo : Dar Al Maarif, 1954), cet. ke II, XXII hal. 146-147 [3] Fakhrurrazi, At Tafsir Al Kabir, (Teheran : Dar Al Kutub Al Ilmiyah), cet. ke II, hal. 12 [4] Dr. Muh. Yusuf Musa, Al Fiqh Al Islami, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah, 1954), hal 8 [5] QS. Al Maaidah ayat 48 [6] Fakhrurrazi, loc.cit.

[7] ibid [8] Lih. Dr. Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al Madkhal Al Fiqhi Al Am, (Damaskus : Al Adib, 1967 1968), I, hal. 30

Pengertian, Persamaan dan Perbedaan Syari'ah dan Fiqih


Pengertian Syari'ah Kata syarah itu asalnya dari kata kerja syaraa. kata ini menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtr-us Shihah,bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al maslik(menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syaraa lahum yasyrau syaran artinya adalahsanna (menetapkan). Sedang menurut Al-Jurjani, syarah bisa juga artnya mazhab dan tharqah mustaqmah /jalan yang lurus.Jadi arti kata syarah secara bahasa banyak artinya. Ungkapan syariah Islamiyyah yang kita bicarakan maksudnya bukanlah semua arti secara bahasa itu. Kata syarah juga seperti itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syarah dengan arti selain arti bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syarah, langsung dipahami dengan artinya secara tradisi itu. Imam al-Qurthubi menyebut bahwa syarah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan.Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul Manzhur syariat itu artinya sama dengan agama. Pengertian Fiqih

Fiqih menurut bahasa berarti paham, dan Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti: Pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syariat agama), yang diambil dari dalildalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Quran dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma dan ijtihad. Hukum-hukum syariat itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syariat itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukunrukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya). Persamaan Syari'ah dan Fiqih Syariah dan Fiqih , adalah dua hal yang mengarahkan kita ke jalan yang benar . Dimana , Syariah bersumber dari Allah SWT, Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW, dan Hadist. Sedangkan Fiqh bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh , tetapi tetap merujuk pada Al-Qur'an dan Hadist . Perbedaan Syari'ah dan Fiqih Perbedaan yang perlu diketahui yaitu : Perbedaan dalam Objek : Syariah Objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan tetapi juga lahiriah manusia dengan Tuhannya (ibadah) Fiqih Objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia, manusia

dengan makhluk lain. Perbedaan dalam Sumber Pokok Syariah Sumber Pokoknya ialah berasal dari wahyu ilahi dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu. Fiqih Berasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan atau UU Perbedaan dalam Sanksi Syariah Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Yaumul Mahsyar, tapi kadang-kadang tidak terasa oleh manusia di dunia ada hukuman yang tidak langsung Fiqih Semua norma sanksi bersifat sekunder, dengan Menunjuk sebagai Pelaksana alat pelaksana Negara sebagai pelaksana sanksinya. PERBEDAAN POKOK Syariah

Berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah Bersifat fundamental Hukumnta bersifat Qath'i (tidak berubah) Hukum Syariatnya hanya Satu (Universal) Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an

Fiqih

Karya Manusia yang bisa Berubah Bersifat Fundamental Hukumnya dapat berubah Banyak berbagai ragam Bersal dari Ijtihad para ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang dirumuskan oleh Mujtahid

1. A. Filsafat hukum Islam Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam, ia merupakan filsafat khusus dan obyeknnya tertentu, yaitu hukum Islam, maka, filsafat hukumIslam adalah filsafat yang meng analisis hukumIslam secara metodis dan sistematis sehinnga mendapat keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya Menurut Azhar baasyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tentang hukum Islam, filsafat hukum Islam merupakan anak sulung dari filsafat Islam

Dengan rumusan lain Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, meguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam Apabila kita mengikuti pendapat al-Jurjawi bahwa yang dihasilkan oleh ahli pikir adalah filsafat dan yang dihasilkan orang yang mendapat kasyf dari Allah SWT sehingga menemukan kebenaran adalah hikmah. Istilah filsafat (philosophy = Bahasa Inggris) atau falsafat, berasal dari kata Arab yaitu falsafah yang diturunkan dari kata Yunani yaitu: Philein yang berarti mencintai, atau Philiayang berarti cinta, atau Philos yang berarti kekasih, dan Sophia atau Sophos yang berarti kebijaksanaan, kearifan, pengetahuan. Jadi secara harfiah filsafat atau falsafat mempunyai arti cinta / mencintai kebijaksanaan (hubbul hikmah) atau sahabat pengetahuan. Dalam penggunaannya, ketiga kata ini (filsafat, falsafat, falsafat) bisa digunakan, karena dalam Kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta digunakan semuanya. Adapun pengertian filsafat dari segi terminologis, sebagaimana diungkapkan oleh D.C. Mulder, adalah cara berfikir secara ilmiah. Sedangkan cara berfikir ilmiah mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 1. Menentukan sasaran pemikiran (Gegenstand) tertentu. 2. Bertanya terus sampai batas terakhir sedalam-dalamnya (radikal). 3. Selalu mempertanggung jawabkan dengan bukti-bukti. 4. Harus sistematik. 1. B. Obyek kajian dan kajian Filsafat Hukum Islam Hukum Islam Mengacu pada pandangan hukum yang berifat teleologis. Artinya hukum Islam itu diciptakan karena iia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di akhirat. Jadi hukum Islam Bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak.

Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang menghendaki kedamaian di dunnia saja. Dengan tegak dan berhasilnya Filsafat hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum Islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam. Para ahli ushul fiqih, sebagaimana ahli filsafat hukum Islam, membagi filsafat hukum Islam kepada dua rumusan, yaitu falsafat tasyridan falsafah syariah. 1. Falsafat tasyri: filsafat yang memancarkan hukumIslam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukumIslam. Filsafat tasyri terbagi kepada: A. Daaim al-hakim (dasar-dasar hukum Islam) B. Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum Islam) C. Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum Islam) atau mashadir al-ahkam (sumbersumber hukumIslam) D. Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum Islam) E. Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah Hukum Islam) F. Falsafat syariah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum islam seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah, dan sebagainyafilsafat ini membicarakan hakikat dan rahasia hukum islam. Termasuk kedalam pembagianfalsafat syariah adalah: i. Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam) ii. Khasa is al-ahkam (cirri-ciri khas hukum islam) iii. Mahasin al-ahkam atau mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum islam) iv. Thawabi al-ahkam (karateristik hukum islam) 2. C. Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam 3. 1. Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala masalah yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum mmuslimin diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan ketentuan hukum. Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum islam, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah SAW, bahkan Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu sangat perlu memaham dalam berbagai persoalan.

Izin Rasulullah kepada Muadz untuk berijtihad merupakan awal dari lahirnya filsafat hukum Islam pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu, pemikiran falsafi yang salah di benarkan oleh wahyu, ketika Rasulullah telah wafat dan wahyupun telah usai maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan baik dalam perkara yang ada Nashnya maupun yang tidak ada. Pemikiran falsafi terhadap hukum islam yang ada nashnya bermula pada masa khulafaurasyidin terutama umar bin khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dll. Yang dilakukan oleh umar bedasarkan kesesuaian zaman untukk menjamin menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum islam, merupakan conto penerapan hukum berdasarkan hukum manusia. Jadi penerapan hukum harus dapat meneggakkan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum islam 1. 2. Perkembangan Filsafat Hukum Islam Kegiatan penelitian terhadap tujuan hukum (Maqasid Al-Syariah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu, Al-Juwaini dapat diakatakan sebagai ahli Ushul fiqih pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqashid Syariah dalam penetapan Hukum ia menyatakan bahwa seseoarang tidak dikatakan mampu menetapakan hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah Menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya Al-juawaini mengelaborasi lebih lanjut Maqashid Al-Syariah dalam kaitannya dalam pembahasan illat pada masalah Qiyas. menurut Pendapatnya, dalam kaitannya denganIllat, ashl dapat dijadikan 5 kelompok, yaitu kelompok darruriyat, al-hajjiyyat al-ammat, makramat, sesuatu yang tidak termasuk kelompok Darruiyat dan Hajjiyat dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya Al-Juwaini mengelompok ashl atau tujuan hukum menjadi 3 kelompok yaitu Darruriyat, Hajjiyat, Makramat yang terakhir dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat. Pemikiran Al-juwaini dikembangkan oleh muridnya yaitu alGhazali, beliau menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dalam pembahasan alMnasabat al-maslahiyyat dalam Qiyas. Sementara dalam kitab yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Ia menrincikan maslahat itu menjadi lima, memlihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ahli ushul fiqih yang membahas secara khusus aspek utama Maqashid alsyariahadalah Izz al-Din Ibn Abdal-Salam dari kalangan mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang dijawantahkan dalam bentuk Daru al-mafasid wa Jalbu almanafi (menghindari mafsadat dan menarik manfaat). Lebih lanjut ia menyatakan

bahwa taklif bermuara pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan prinsip mashlahat yang merupakan inti pembahasan dalam Maqashid al-syariah. Ahli Ushul fiqih yang membahas teori Maqashid Al-Syariah secara khusus, sistematis dan jelas adalah, al-Syahtibi dari kalangan madzhab Maliki, dalam kitabnya Al-Muwafaqad ia menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini, ia secara tegas bahwa tujuan Allah SWT. Mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Karena itu taklik dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya para penulis Filsafat Hukum Islam mencoba menonjolkan istilah filsafat hukum Islam ketimbang menggunakan Istilah Hikmah atau tujuan disyariatkan hukum Islam. 1. D. Filsafat Hukum dan Aliran-aliran Filsafat Hukum Lainnya. Filsafat Hukum Adalah reflektif teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum. Ia ditujukan untuk merefleksikan hukum dalam keumumannya. Dua hal yang menjadi perhatian filsafat hukum yaitu : (1) Apa yang menjadi landasan kekuatan hukum yang mengikat. (2) Atas dasar apa hukum dapat dinilai keadilannya. BEBERAPA ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM A. Pendahuluan B. Aliran Hukum Alam C. Aliran Hukum Positif D. Aliran Utilitarianisme E. Mazhab Sejarah F. Aliran Sociological Jurispudence G. aliran Realisme Hukum

H. Aliran Hukum Islam Teori Ilmu Hukum Muncul karena terjadinya kelesuan diantara filsafat hukum yang dianggap terlalu abstrak dan spekulatif, sementara dogmatik hukum dipandang terlalu konkret terkait ruang dan waktu. Teori Ilmu Hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai bahan hukum yang tersaji dalam kegiatan yuridis di dalam kenyataan masyarakat. Objek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum, dan kritik ideologis terhadap hukum. ALIRAN ALIRAN (MAZHAB) DALAM FILSAFAT HUKUM 1. A. Mazhab Imperatif. (Positivisme) Hukum adalah perintah (command) dari penguasa atau kekuasaan yang berdaulat (souvereign). Hukum positif adalah peraturan untuk melakukan perbuatan yang berlaku umum, yang diberikan oleh golongan yang secara politis kedudukannya lebih tinggi (political superior) kepada golongan yang secara politis kedudukannya lebih rendah (political inferior). Tokoh : John Austin 1. B. Mazhab Sejarah Hukum itu ditentukan secara historis, berubah menurut waktu dan tempat. Mazhab sejarah menitik beratkan pada jiwa bangsa (volkgeist), sehingga hukum melalui proses yang perlahan-lahan sama halnya dengan bahasa. Sumber hukum adalah perasaan keadilan yang instingtif yang dimiliki setiap bangsa. Jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu menghasilkan hukum positif. Tokoh : Friedrich Carl von Savigny 1. C. Mazhab Sosiologis Hukum merupakan hasil pertentangan-pertentangan dan hasil perimbangan (balance) antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi sosial, perkembangan ekonomi, pertentangan dan perimbangan kepentingan-kepentingan golongan-golongan atau klas-klas dalam masyarakat. Hukum adalah suatu gejala masyarakat, bukan norma tetapi kebiasaan-kebiasaan manusia yang menjelma dalam perbuatan atau perilaku di dalam masyarakat. Mazhab sosiologis disebut mazhab

hukum bebas karena hakim bebas untuk menggali sumber-sumber hukum yang terdapat dalam masyarakat yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat. Berlakunya hukum tergantung pada penerimaan masyarakat dan tiap golongan menciptakan sendiri-sendiri bagi golongan itu masing-masing suatu hukum yang hidup (living law). Tokoh : Eugen Ehrlich 1. D. Mazhab Fungsional Hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau merupakan suatu tertib hukum saja tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling saling bertentangan dan juga merupakan alat untuk menjamin pemuasan-pemuasan kebutuhan-kebutuhan semaksimal mungkin, dengan menimbulkan pergeseran (friction) yang seminimal mungkin. Fungsi hukum adalah melakukan social engineering yaitu alat sosial dalam masyarakat. Di dalam melakukan social engineering, hukum harus dikembangkan terus menerus agar selalu sesuai/selaras dengan nilai-nilai sosial yang berubah-ubah. Tokoh : Roscoe Pound 1. E. Mazhab Hukum Alam

Sejarah hukum alam merupakan sejarah usaha umat manusia untuk menemukan keadilan yang mutlak beserta kegagalan-kegagalan dalam usaha tersebut. Sejak ribuan tahun lalu sampai sekarang ini ide tentang hukum alam selalu timbul sebagai suatu perwujudan dari usaha manusia untuk menemukan hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Pada suatu waktu tertentu ide tentang hukum alam timbul dengan kuat, pada saat yang lain ide ini diabaikan tetapi bagamanapun juga ide tentang hukum alam tidak pernah lenyap. Hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi. Thomas Aquinas berpendapat bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya, ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan itulah diperlukan iman. Ada dua pengetahuan : 1. pengetahuan alamiah berpangkal pada akal, 2. pengetahuan iman bersumber pada wahyu ilahi. 1. F. Realisme Aliran ini meninggalkan hukum yang abstrak kepada pekerjaan-pekerjaan yang praktis untuk menyelesaikan praktik-praktik dalam masyarakat. Hukum berubah-ubah dan diciptakan pengadilan, hukum sebagai sarana mencapai tujuan sosial.Aliran ini berpandangan bahwa masyarakat lebih cepat berubah daripada hukum

1. Asumsi-Asumsi Dasar Hukum Islam Dalam hal ini kami pemakalah mengambil sedikit kesimpulan beberapa hala yang menyangkut atas Sifat Dasar Hukum Islam yaitu. Membicarakan penjelasan-penjelasan tentang bagaimana ide hokum dipahami dalam pemikiran hokum Islam sebagaimana ia berkembang secara historis. Secara Umum, mereka yang mengambil secara pendekatan secara historis untuk memahami sifat dasar hukum Islam telah menyatakan hal-hal berikut sebagai cirri khas hokum Islam. 1. Sifat idealistiknya 2. Reiligius 3. Kekauan, dan 4. Sifat kausistik Keempat karakter diatas berkaitan satu dengan yang lainnya dan disajikan sebagai alas an-alasan untuk mendukung keabadian hokum. Argument-argumen tentang sifat dasar sebagaimana yang diungkapkan dalam sejarah hokum Islam menyangkut analisa terhadap beberapa bidang sebagai berikut 1. Asal Muasal Hukum Islam 2. Hukum Islam dan Legalisasi Negara 3. Peran Institusi KADI, dan 4. Pembentukan Madzhab-madzhab Hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai