Anda di halaman 1dari 4

LEMBAR KERJA RESUME MODUL

A. Judul Modul : SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM


B. Kegiatan belajar : 3 – (IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM)
C. Butir Refleksi :
1. Pengetahuan awal yang saya miliki terkait dengan materi

Dalam Islam ada beberapa sumber hokum yang dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil selain
sumber pokok utama yaitu al-Quran dan hadis, yakni ijma’ para ulama. Ijma ulama menempati
urutan ketiga sebagai sumber hokum Islam. Karena hal ini disepakati oleh para ulama yang telah
memenuhi syarat-syarat sebagai ulama mujtahid. Sehingga kecil kemungkinan dalam
penetapan hukumnya melenceng jauh dari al-Quran dan hadis.
Dalam praktiknya ada beberapa macam ijma, hal itu tergantung kondisi dan situasinya. Hasil
ijma’ para ulama ini terbatas pada wilayah dan kelompok tertentu tidak bisa dilakukan untuk
seluruh dunia.

2. Resume materi (minimal 1000 kata)


CAPAIAN PEMBELAJARAN
Menganalisis Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam

- Menganalisis konsep Ijma’ sebagai sumber hukum


Islam.
- Menganalisis objek dan kedudukan ijma’ sebagai
Sub Capaian
sumber hukum Islam.
Pembelajaran
- Menganalisis ijtihad jama’i

A. Pengertian Ijma’
Kata ijma’ berasal dari kata ajma’a-yujmi’u-ijma’an yang berarti berarti tekad yang kuat. Para
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ secara istilah. Hal demikian karena
perbedaan kaidah dan syarat ijma’. Secara umum pengertian ijma’ adalah kesepakatan para
mujtahid setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pada masa tertentu atas suatu perkara
agama.

B. Dasar Hukum Ijma’


1. Dalil Al-Qur’an
a) QS. al-Nisa/4: 59.
b) QS. Ali Imran/3: 103.
c) QS. al-Nisa/4: 115.
2. Dalil Sunah
a) “Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan”. (HR. Tirmidzi).
b) Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jama’ah atau ingin memecah belah
umat Muhammad saw. sedangkan dalam perkara tersebut mereka sepakat, maka
bunuhlah ia siapapun gerangannya, karena sesungguhnya tangan Allah bersama
jama’ah. (HR. Ibnu Hibban)
3. Dalil Logika
Setiap ijma’ yang ditetapkan menjadi hukum syara, harus dilakukan dan disesuaikan
dengan asal-asas pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, setiap mujtahid dalam berijtihad
hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah
ditetapkan dalam berijtihad, serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad
menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang
mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya, jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan
satu nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad, ia tidak
boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam. Oleh karena itu, ia boleh
menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti kiyas, istihsan, dan sebagainya.
Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang
telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan hadis,
karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu.

C. Rukun Ijma’
1. Ada beberapa orang mujtahid;
2. Kesepakatan sesama para mujtahid atas suatu masalah dengan wilayah negeri, jenis,
dan kelompok mereka;
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas;
4. Tidak ada perbedaan antar para mujtahid.

D. Macam-macam Ijma’
Dari segi cara terjadinya:
1) Ijma’ Bayani
Disebut juga ijmak sarih, ijmak qauli atau ijmak hakiki. Yakni ijma’ yang dinyatakan
secara jelas dan tegas, baik berupa ucapan maupun tulisan.
2) Ijma’ Sukuti
Disebut juga ijmak i'tibari. Yakni para mujtahid tidak menyatakan pendapatnya dengan
jelas dan tegas, hanya diam saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu
ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain.
Dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’:
1) ljmak Qath'I;
2) ljmak Zanni
Selain itu adapula ijma’ yang dihubungkan dengan waktu, tempat terjadinya, dan orang yang
melaksanakannya.
a. Ijma’ Sahabat.
b. Ijma’ Khulafaur Rasyidin.
c. Ijma’ Shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
d. Ijma’ Ahli Madinah.
e. Ijma’ Ulama Kufah.
Ijma yang tidak terpenuhi rukun-rukunnya tetapi ada kesepakatan sebagian para mujtahid
dalam lingkung wilayah atau kelompok tertentu hal ini lebih tepat bila disebut sebagai ijtihad
jama’i (kolektif), seperti hasil ijtihad yang dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).

E. Kedudukan Ijma’ sebagai Sumber Hukum Islam


Menurut KH Sahal Mahfud ijma’ bisa dijadikan dalil untuk semua persoalan hukum syara’.
Hukum akal dibagi menjadi dua. Pertama, sesuatu yang wajib mendahulukan pekerjaan
daripada mengetahui sahnya secara syara’, seperti barunya alam, penetapan Zat Yang
Mencipta, penetapan sifat-sifat-Nya, penetapan kenabian, dan yang menyerupainya. Dalam
hal ini, ijma’ tidak menjadi hujah karena ijma’ adalah dalil syara’ yang ditetapkan dengan
jalan sam’u (mendengar wahyu).
Kedua, sesuatu yang tidak wajib mendahulukan pekerjaan di atas sam’u. Misalnya,
bolehnya melihat Allah, ampunan Allah kepada orang-orang yang berdosa, dan lainnya yang
bisa diketahui setelah mendengarkan wahyu. Ijma’ dalam hal ini menjadi hujah karena hal
itu boleh diketahui setelah adanya syara’ dan ijma’ termasuk dalil syara’, maka boleh
menetapkan hukum itu dengan ijma’.

F. Ijtihad Jama’i dan Perbedaannya dengan Ijma’


1. Pengertian Ijtihad Jama’i
Ijtihad secara bahasa adalah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan. Menurut
al Raghib al Ashfahani, ijtihad adalah memulai aktivitas diri dengan mengerahkan
segenap kemampuan serta sabar dalam menahan kesulitan. Menurut al Asnawi, ijtihad
secara bahasa diibaratkan sebagai pengerahan segenap tenaga untuk meraih sesuatu
dan tidak digunakan kecuali dalam permasalahan yang di dalamnya mengandung
beban dan kesulitan. Menurut Ibn al Hajib, ijtihad adalah pengerahan seorang ahli faqih
dengan segala kemampuannya dalam mencapai sesuatu yang zanni di dalam hukum
syari’at.
Jama’i secara bahasa adalah berasal dari kata jama’a, yaitu mengumpulkan sesuatu
yang terpisah dan menggabungkan sesuatu. Sedangkan jama’i secara istilah menurut
al Fayyumi yaitu sekumpulan manusia baik jumlahnya sedikit maupun banyak yang
terdapat kesepahaman di antara mereka. Oleh karena itu, ijtihad jama’i di Indonesia
dikenal dengan istilah ijtihad kolektif.
Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) menurut ulama kontemporer, yaitu:
Menurut Khalid Husein al Khalid, adalah usaha pengerahan ijtihad sekumpulan ulama
dalam musyawarah untuk menistinbathkan hukum syari’at di dalam permasalahan zanni
dengan menggunakan metode ilmu Usul Fikih.
Menurut Abdul Majid al Sausah al Syarafi, adalah sebuah upaya optimal dari mayoritas
ahli fikih untuk mencapai kesimpulan sementara terhadap hukum Islam tertentu melalui
proses istinbath secara mayoritas untuk menghasilkan kesepakatan hukum secara
bersama.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, adalah kesepakatan hukum para ulama atas suatu
permasalahan tertentu berdasarkan atas hasil putusan hukum ulama terdahulu dengan
cara mendistribusikan dalil-dalil yang dijadikan pijakan hukum oleh mereka dan memilih
dalil yang paling kuat dan memiliki relevansi kemaslahatan terkini dan nyata.
Menurut Yusuf al Qardhawi, ijtihad jama’i adalah tukar pendapat para ulama atas suatu
persoalan agama dan memiliki dampak kemaslahatan bagi halayak umat.
Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) berbeda dengan ijmak, karena ijmak mengharuskan
kesepakatan ulama secara bersama dan semasa, sedangkan ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif) tidak harus disepati secara masif, sehingga sebagian sudah memenuhi kategori
seperti Lembaga Lembaga Fatwa.
Kesimpulannya adalah ijmak menghendaki adanya ijtihad jama’i, tetapi tidak semua
ijtihad jama’i akhirnya dan menjadi ijmak, karena kesepakatan para ulama dalam
menentukan status suatu hukum tertentu bisa dikatakatan ijmak jika tidak ada
perbedaan pendapat.
Ijtihad jama’i adalah aktivitas ilmiah yang sistematis dan terarah yang dilakukan oleh
sekelompok mujtahid pada satu masa pada sebuah perkara yang memiliki karakteristik
umum yang berhubunngan dengan kehidupan penduduk sebuah negara, regional atau
umat.

2. Syarat-syarat Ijtihad Jama’i (Ijtihad Kolektif)


a) Syarat ijtihad kolektif seperti syarat dalam ijtihad fardi.
b) Hanya kesepakatan sejumlah ulama atau mayoritas saja.
c) Ada musyawarah sebelum mengambil sebuah keputusan hukum.
Ketiga syarat di atas hampir pasti juga dijumpai dalam pelaksanaan ijma’. Ijtihad jama’i
menjadi bagian yang tak terpisahkan atas terbentuknya ijma’, bahkan sebagian
kalangan ulama modern menyamakan antara ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dan ijma’.
Jika dilihat dari aspek bahasan, maka objek ijtihad jama’i sama seperti ijtihad fardi, yaitu
pada permasalahan yang bersifat zanni saja bukan qath’i. Objek ijtihad jama’i paling
tidak ada tiga, yaitu:
1) Permasalahan yang kontemporer.
2) Permasalahan umum yang di dalamnya terdapat berbagai macam pendapat ulama
mazhab.
3) Permasalahan yang di dalamnya terdapat hukum yang secara substansi dapat
berubah.

G. Obyek Ijma’
Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an
dan hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah pada
bidang muamalah, bidang kemasyarakatan, atau semua hal-hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi.

H. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Ijma’


Problem hukum berkembang begitu pesat setelah wafatnya Nabi saw.. Hukum tidak bisa
lepas dari dinamika kehidupan manusia. Oleh karena itu, hukum harus selalu mengikuti
irama perkembangan masyarakat. Namun demikian, harus diakui bahwa hukum adalah
benda mati tidak berwujud karena hukum bukan sumber hidup dan tidak pada posisi untuk
mengubah dirinya. Dalam ilmu Ushul Fiqih kita banyak diperkenalkan pada pembahasan
tentang berbagai macam dalil hukum atau ijma’ para ulama dalam mengambil istinba hukum.
Ijma’ yang diputuskan oleh para ulama tidaklah berarti bahwa kebebasan masyarakat
terabaikan atau terpinggirkan. Artinya hokum telah disepakati oleh ulama maka hukum itu
memiliki kekuatan hukum karena telah dianut oleh seluruh ulama dibandingkan dengan
keputusan hukum yang hanya disimpulkan oleh satu atau dua ulama. Berkaitan dengan itu
salah satu prinsip moderasi beragama yakni kesiapan dan ketaatan untuk tunduk kepada
apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama dalam masyarakat.

3. Konsep/teori/istilah pada modul yang memiliki perbedaan dengan pengetahuan awal Anda
(miskonsepsi)

- Ijma’ dan Ijtihad.

4. Konsep/teori/istilah pada modul yang masih sulit Anda pahami atau membutuhkan penjelasan
lebih lanjut (sebagai bahan diskusi)

Ijtihad Jama’i dan Ijma’.

5. Setelah membaca modul, apa yang Anda harapkan/yang akan Anda lakukan di/pada tempat
Anda bekerja saat ini?

Setelah saya membaca modul ini, dapat dipahami bahwa untuk menetapkan suatu hokum
tidaklah mudah, harus memenuhi persyaratan tertentu. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa
berijma’ karena ijma atau ijtihad adalah miliki bagi orang-orang yang telah memenuhi standar.
Pada dewasa ini sepertinya pintu ijtihad masih tertutup karena tidak ada keberanian dari para
mujtahid untuk bersepakat dalam suatu persoalan. Hal ini bisa jadi karena ada trend sudah
cukup dengan hokum yang ada saat ini dengan merujuk ulama-ulama klasik. Padahal dunia
selalu berubahan tentunya tatanan hukumnya pun berubah. Maka dari itu diperlukan ijtihad-
ijtihad baru untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Pandeglang, 20 Juni 2023


Mahasiswa

Ade Esa Nur Muhammad Iskandar

Anda mungkin juga menyukai