Anda di halaman 1dari 4

1.

Tauhid Rububiyah

Yaitu mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya, seperti mencipta, menguasai, memberikan rizki,
mengurusi makhluk, dll yang semuanya hanya Allah semata yang mampu. Dan semua orang meyakini
adanya Rabb yang menciptakan, menguasai, dll. Kecuali orang atheis yang berkeyakinan tidak adanya
Rabb.

Kaum musyrikin Quraisy juga mengakui Tauhid Rububiyyah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla
(artinya):

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi
dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah
mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” [Al-’Ankabut: 61]

Dari ayat diatas bisa disimpulkan bahwa kaum musyrikin mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya
Yang Maha Menciptakan, Maha Mengatur, dan Maha Memberi Rizki. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 6/294)

Penyimpangan Dalam Tauhid Rububiyyah

Penyimpangan dalam tauhid rububiyyah yaitu dengan meyakini adanya yang menciptakan, menguasai,
dan mengatur alam semesta ini selain Allah Azza wa Jalla dalam hal yang hanya dimampui oleh Allah
Azza wa Jalla.

Seperti keyakinan bahwa penguasa dan pengatur Laut Selatan adalah Nyi Roro Kidul. Ini suatu keyakinan
yang bathil. Barangsiapa meyakini bahwa penguasa dan pengatur laut selatan adalah Nyi Roro Kidul
maka dia telah berbuat syirik (menyekutukan Allah Azza wa Jalla) dalam Rububiyyah-Nya. Karena hanya
Allah-lah Yang Menguasai dan Mengatur alam semesta ini.

Begitu juga barangsiapa meyakini bahwa yang mengatur padi-padian adalah Dewi Sri, berarti ia telah
syirik dalam hal Rububiyyah-Nya, karena hanya Allah-lah Yang Maha Menciptakan dan Mengatur alam
semesta ini.

Meyakini bahwa benda tertentu bisa memberi perlindungan dan pertolongan terhadap dirinya seperti
jimat, keris, cincin, batu, pohon, dan lain-lain.

Serta keyakinan bahwa sebagian para wali bisa memberi rizki, dan bisa pula memberi barokah, juga
termasuk kesyirikan dalam Rububiyyah-Nya.

Diantara penyimpangan yang lain yaitu kaum Zoroaster yang meyakini adanya Pencipta Kebaikan dan
Pencipta Kejelekan, hal ini juga bertentangan dengan aqidah yang lurus.

2. Tauhid Uluhiyah

Mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan hamba. Yaitu mengikhlaskan ibadah
kepada Allah, yang mencakup berbagai macam ibadah seperti : tawakal, nadzar, takut, khosyah,
pengharapan, dll. Tauhid inilah yang membedakan umat Islam dengan kaum musyrikin. Jadi seseorang
belum cukup untuk mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya (Tauhid Rububiyah) tanpa menyertainya
dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya (Tauhid Uluhiyah). Karena orang musyrikin dulu
juga meyakini bahwa Allah yang mencipta dan mengatur, tetapi hal tersebut belum cukup memasukkan
mereka ke dalam Islam.

Penyimpangan-penyimpangan dalam tauhid uluhiyyah.

Penyimpangan dalam tauhid jenis ini yaitu dengan memalingkan ibadah kepada selain Allah Azza wa
Jalla seperti berdoa kepada kuburan atau ahli kubur, meminta pertolongan kepada jin, meminta barokah
kepada orang tertentu, menyandarkan nasibnya (bertawakkal) kepada benda tertentu, seperti batu,
jimat, cincin, keris, dan semacamnya. Karena do’a dan tawakkal termasuk ibadah, maka harus ditujukan
hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata.

3. Tauhid Asma Wa Sifat

Mengimani dan menetapkan apa yang sudah ditetapkan Allah di dalam Al Quran dan oleh Nabi-Nya di
dalam hadits mengenai nama dan sifat Allah tanpa merubah makna, mengingkari, mendeskripsikan
bentuk/cara, dan memisalkan. Untuk pembahasan yang lebih lengkap bisa merujuk ke beberapa kitab
diantaranya Aqidah Washithiyah, Qowaidul Mutsla, dll.

Penyimpangan dalam tauhid Al-Asma’ wa Ash Shifat

Penyimpangan tauhid asma wa sifat ada 4

1. Tahrif yaitu mengubah atau mengganti makna ang ada pada sifat dan namaAllah tanpa dalil.

2.Ta’thil yaitu menolak penetapaan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil

3.Takyif yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah.

4.Tamtsil/tasybih yakni menyamakan Allah dengan makhluknya

–Tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla mempunyai sifat-sifat yang sempurna tersebut. Padahal telah
disebutkan dalam Al-Qur’an atau dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahih.

–Menyerupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Padahal Allah Azza wa
Jalla telah berfiman (artinya):

”Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy
Syura: 11].

–Menyelewengkan atau menta’wil makna Al-Asma’ul Husna, yang berujung pada peniadaan sifat-sifat
Allah Azza wa Jalla.

–Menentukan cara dari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, yang bermuara pada penyerupaan dengan
makhluk-Nya.

Apabila ketiga tauhid di atas ada yang tidak lengkap, maka seorang hamba bisa berkurang imannya atau
bahkan telah keluar dari Islam.

Tokoh penyimpangan tauhid dan ajrannya


Ada dua kelompok yang paling terkenal penyimpangannya di bidang Tauhid Rububiyah: 1- Para ahli
filsafat dan ahli kalam. 2- Orang-orang sufi.

Masing-masing dari kedua aliran ini berpijak kepada metode-metode yang berbeda-beda, aliran
pertama berpijak kepada qiyas-qiyas logis, namun sayangnya kebanyakan dari mereka tidak
menyelaraskannya dengan cahaya risalah, justru sebagian dari mereka malah memayungi qiyasnya
dengan sesuatu yang menentang cahaya risalah, salah satunya adalah penetapan mereka terhadap
rububiyah dengan dalil jauhar (sesuatu yang mengambil ruang dalam wujud) dan ‘aradh (hal-hal
insidentil).

Mereka membangun dasar agama mereka di atas jism dan ‘aradh di mana yang pertama menurut
mereka adalah pemilik sifat dan yang kedua adalah sifat, dan mereka berdalil kepada sifat-sifat yang
merupakan ‘aradh untuk menetapkan bahwa jism sebagai pemilik sifat adalah hadits (sesuatu yang
baru).

Menurut mereka tidak mungkin mengetahui pencipta kecuali dengan menetapkan bahwa alam adalah
hadits, padahal perkaranya tidak demikian, sebaliknya dalil-dalil penetapan rububiyah Allah telah diukur,
tidak bergantung kepada apa yang disebutkan di atas.

Para ahli yang mumpuni di bidang ilmu kalam tidak mengakui pendapat di atas, mereka melihatnya batil,
dan di antara mereka, seperti al-Asy’ari, memandangnya diharamkan dalam syariat karena ia
memerlukan banyak mukadimah di samping kesamarannya.

Adapun orang-orang sufi maka mereka berpijak dalam menetapkan rububiyah kepada metode ibadah
yang menyampaikan kepada ilmu melalui latihan-latihan dan kebersihan jiwa, dengannya terkadang hati
mendapatkan ilmu yang mendasar, hanya saja orang-orang sufi tidak berpijak dalam metode ibadah
mereka kepada cahaya risalah, justru mereka menambahkan kepada metode ibadah tersebut sesuatu
yang bukan merupakan warisan kenabian, akibatnya mereka pun terjatuh ke dalam kekeliruan-
kekeliruan di bidang Tauhid Rububiyah, bisa jadi yang paling menonjol adalah fana’ dalam rububiyah, ia
adalah jalan yang berbahaya yang membawa kepada wihdatul wujud.

Bila kamu mengetahui bahwa Tauhid Ilahiyah adalah tauhid yang dengannya para Rasul diutus dan
dengannya kitab-kitab diturunkan, maka jangan menoleh kepada pendapat yang membagi tauhid
menjadi tiga bagian, lalu dia menjadikan bagian ini sebagai tauhid awam (umum), sedangkan bagian
yang kedua adalah tauhid khas (khusus), yaitu yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat, sementara
bagian ketiga adalah tauhid khashatul khashah, yaitu tauhid yang berdiri pada yang qadim.

Pembagian seperti ini adalah batil, karena orang-orang yang paling sempurna tauhidnya adalah para
nabi, dan para rasul di bidang ini lebih sempurna, lalu rasul-rasul Ulil Azmi lebih sempurna lagi dan
mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.

Dari kelimanya, yang paling sempurna tauhidnya adalah sepasang Khalil, Muhammad dan Ibrahim;
keduanya menegakkan tauhid dalam bentuk yang tidak ditegakkan oleh selain mereka, dari sisi ilmu,
pengetahuan, keadaan, dakwah kepada manusia dan jihad, maka tidak ada tauhid yang lebih sempurna
daripada tauhid yang ditegakkan oleh para rasul, didakwahkan oleh mereka dan mereka pun berjihad
melawan umat-umat atasnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan NabiNya agar meneladani mereka
padanya, sebagaimana Allah berfirman setelah menyebutkan dialog Ibrahim dengan kaumnya
menjelaskan kebatilan syirik dan kebenaran tauhid serta menyebutkan nabi-nabi dari anak cucunya,
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (Al-
An’am: 90). Tidak ada tauhid yang lebih sempurna daripada tauhid di mana Allah memerintahkan
Rasulullah saw agar meneladani mereka.

Ajaran Ibrahim adalah tauhid, sedangkan agama Muhammad adalah apa yang beliau bawa dari sisi Allah,
mencakup perkataan, perbuatan dan keyakinan, sedangkan kalimat ikhlas adalah syahadat la ilaha
illallah. Fitrah Islam adalah fitrah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba untuk menyintaiNya,
beribadah hanya kepadaNya semata tidak ada sekutu bagiNya, berserah diri kepadanya dengan penuh
penghambaan, kerendahan, ketaatan dan kepasrahan.

Inilah tauhid khashatul khashah, siapa yang membencinya maka dia termasuk orang-orang paling
bodoh, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang
memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di
akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk
patuhlah.’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah: 130-131).

Siapa yang memiliki indera yang sehat dan akal yang lurus maka dia dalam menetapkan dalil tidak
memerlukan ahli kalam dan perdebatan, metode dan terminologi mereka sedikit pun, bahkan karenanya
dia bisa terjerumus ke dalam keragu-raguan dan syubhat-syubhat, akibat dia terjerat dalam
kebingungan, kesesatan dan kebimbangan, karena tauhid hanya akan bermanfaat bila hati pemiliknya
selamat dari semua itu. Inilah hati yang selamat di mana tidak seorang pun beruntung kecuali bila dia
membawanya menghadap kepada Allah

.Bentuk tauhid kedua dan ketiga yang mereka akui sebagai tauhid khashah dan khashatul khashah
berujung kepada fana’ yang menjadi titik sasaran orang-orang sufi. Ini adalah jalan yang berbahaya yang
membawa kepada akidah ittihad. Seandainya memang ini yang harus dipahami tentunya peletak syariat
sudah menjelaskannya kepada kita, menyerukannya kepada manusia dan menerangkannya, bukankah
tugas Rasulullah saw adalah menyampaikan secara nyata?

Sejak kapan Rasulullah saw bersabda, ini adalah tauhid umum, ini adalah tauhid khusus dan ini adalah
tauhid khashatul khashah? Atau kata-kata yang mendekati makna tersebut? Atau dalil-dalil naqli
mengisyaratkan kepadanya, padahal akal kita selalu terjaga.

Ini adalah kalam Allah yang turun kepada RasulNya, ini adalah sunnah Rasulullah saw, ini adalah
perkataan generasi terbaik setelah Rasulullah saw, para tokoh yang mumpuni dari kalangan para imam,
adakah kata fana’ terlintas di sana? Apakah pembagian di atas hadir dari salah seorang dari mereka?
Semua itu terjadi akibat sikap ghuluw dalam agama yang tidak berbeda dengan ghuluw Khawarij,
bahkan ghuluw orang-orang Nasrani dalam agama mereka. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai