Anda di halaman 1dari 5

Mengenal Tokoh Pluralisme

Pada hari Selasa, 9 februari 2010, rakyat Indonesia memperingati 40 hari meninggalnya 2 tokoh besar yang
mempunyai peranan penting bagi bangsa dan negara yaitu Gus Dur dan Frans Seda. Selain itu, 1 hari
berikutnya, tepatnya pada hari Rabu, 10 Februari 2010, kita  memperingati 11 tahun Romo Mangun. Ketiga
tokoh besar ini layak mendapat penghormatan karena jasa dan warisan perjungannya yang begitu berharga
bagi kita semua. Apalagi sangat istemewa, 2 tokoh yaitu Frans Seda dan Romo Mangun merupakan alumnus
dari Sekolah Muntilan dimana SMA PL Van Lith berada saat ini. Juga kita mesti ingat 1 tokoh lain yang
mempunyai peranan penting dalam perjuangan pluralisme dan pernah menjadi sahabat dekat Romo Mangun
dan Gus Dur yaitu Bu Gedong.

Untuk mengenal lebih dalam siapa mereka, berikut tulisan pendek yang bisa mengajak dan menghantar
rekan-rekan semua dalam menyelami dan menghayati perjuangan mereka. Untuk detail dan lengkapnya
informasi, rekan-rekan dapat membaca buku-buku atau mengakses di Mbah Google.

1. Gus Dur
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7
September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat
dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang
mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis
dan pernah menjadi Menteri Agama. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren
Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.

Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han
yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir
Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).

Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan
studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan
bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971.
Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa
sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di
seluruh Jawa. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis untuk majalah Tempo dan koran
Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat
dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu
sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS,
halaman 108).

Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai
akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan mantan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke,
diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang
erat diantara orangtuanya. Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri
untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember
2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa
adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya
hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional
yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal
dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang
badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu
mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.Setelah tidak lagi menjabat presiden,
Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai
deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti
sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah
organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang
yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya
sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran.  Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua
orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” -Gus Dur-

Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat
kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai
dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah
itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu
hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya
peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas
Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap
sebagai seorang wali. Beliau meninggal pada tanggal 30 Desember 2009.

2. Romo Mangunwijaya Pr
Romo Mangun lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 6 Mei 1929. Rm. Mangun  menamatkan Sekolah
Rakyat di HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan (1936-1943). Setelah itu, Mangun meneruskan ke Yogyakarta
dan  menamatkan SMP pada tahun 1947. Berpindah-pindah kota sepertinya sudah menjadi kebiasaan untuk
Mangun. Setelah menamatkan SMP,  Mangun pindah ke Malang dan menamatkan SMA di kota itu pada
tahun 1951. Setelah itu, Mangun kembali ke Yogyakarta dan menempuh  pendidikan di Sekolah Filsafat
Teologi Sandi Pauli pada tahun 1959.

Romo Mangun merupakan anak tertua dari mantan ketua DPRD Magelang  pada masa revolusi fisik.
Mungkin darah wakil rakyat dari ayahnya  inilah yang menyebabkan Romo Mangun mempunyai "hobby"
membela rakyat kecil.

Keberanian Mangun mulai terlihat ketika dia bergabung dengan Tentara Pelajar pada masa perang
kemerdekaan itu. Sebagai anak tertua dari 12 bersaudara, Mangun dituntut untuk memiliki rasa  tanggung
jawab yang besar.

Keberanian Romo Mangun membela rakyat kecil tampak menonjol ketika  memperjuangkan nasib rakyat
yang menjadi korban pembangunan waduk  Kedungombo. Walaupun beberapa pihak saat itu menuduh
Romo Mangun  memanfaatkan kasus Kedungombo untuk kepentingan penyebaran agama Katolik, namun
Romo Mangun tetap konsisten dengan perjuangannya. Warga Kedungombo yang mayoritas beragama Islam
dibelanya  mati-matian.

Romo Mangun memang dekat dengan semua golongan agama. Perbedaan  agama baginya bukan suatu
persoalan yang besar. "Bagi saya yang nomor satu bukan agama, melainkan iman dan takwa. Banyak orang
yang beragama tapi tidak beriman," ungkap Romo Mangun dalam berbagai kesempatan.
Kedekatannya dengan agama lain juga terlihat pada keikutsertaannya  sebagai wakil Indonesia pada Dewan
Agama sedunia. Romo Mangun duduk di dewan ini bersama dengan ketua PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid.
Romo Mangun secara pribadi juga dekat dengan Gus Dur. Keduanya
dianggap sebagai tokoh-tokoh agama yang tetap menonjolkan  nasionalisme.

Keputusan Romo Mangun untuk menjadi pastor didukung penuh oleh keluarganya. Kalau toh akhirnya Romo
Mangun mengenyam pendidikan  Arsitektur di Auchen, Jerman, hal itu semata karena tugas yang
diamanatkan oleh gereja. Mangun menyelesaikan studi di Jerman pada  tahun 1966. Namun Romo Mangun
tidak main-main di bidang tersebut. Aga Khan Award yang merupakan penghargaan tertinggi di bidang
Arsitektur diraihnya untuk konsep penataan lingkungan di Kali Code, Yogyakarta. Pendidikan di bidang
Humanistic Studies yang diselesaikan Mangun pada tahun 1978 di Colorado nampaknya makin membuat
Mangun menjadi seorang Humanis. Konsep penataan lingkungan ini merupakan proyek peremajaan
lingkungan kumuh yang sangat  manusiawi.

Romo Mangun tidak hanya membuat konsep tersebut. Rumah Mangun juga didirikan di lingkungan tersebut,
di samping kediaman para pemulung sampah, tukang becak, anak-anak penyemir sepatu dan 'wong cilik'
lainnya. Rumah panggung yang berdinding gedhek ini tidak pernah sepi dari pengunjung.

Romo Mangun merupakan penulis yang cukup produktif. Tak terhitung  jumlah tulisannya yang diterbitkan
oleh harian Kompas dan Indonesia  Raya. Burung-Burung Manyar dan Roro Mendut adalah dua dari
beberapa  novelnya yang menjadi best seller saat diterbitkan. Beliau meninggal pada tanggal 10 Februari
1999

3. Bu Gedong
Ibu Gedong dilahirkan tanggal 3 Oktober 1921 dengan nama Ni Wayan Gedong di Karangasem sebagai putri
pasangan I Komang Layang dan Ni Komang Pupuh, seorang anggota dewan pembina desa. Berbeda dengan
keadaan perempuan saat itu, Gedong kecil mendapatkan kebebasan dari orang tuanya untuk menjalankan
segala keinginannya. Hingga Gedong kecil melanjutkan sekolah dasar atau HIS pada tahun 1927 di
Klungkung.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke PMS di Batavia tahun 1938 dan AMS di Jogjakarta 1936. Saat
menempuh pendidikan di AMS itu, ia diberi kebebasan untuk menekuni agama lain, yaitu agama Kristen.
Pemahamannya tentang Kristen dan kelahirannya pada tradisi Hindu menyebabkannya sangat dekat dengan
Mahatma Gandhi. Bapak bangsa India tersebut lahir dari tradisi Hindu yang kental dan memahami Kristen
dengan baik. Pemahaman tentang dua agama besar tersebut membuatnya sebagai penganut spirit Hindu,
yaitu Ahimsa (anti kekerasan) dan satya (kebenaran).

Ia sosok yang lekat dengan disiplin spiritual. Sosok perempuan yang keras mendidik kedisiplinan. Terutama
kedisiplinan rohani tentang pembiasaan diri yang berhubungan dengan spiritual manusia. Setiap pagi,
sekitar pukul 04.30, ia pasti melakukan puja. Karena menurut keyakinannya dari puja atau doalah bisa
mengubah keadaan. Ia juga orang yang bersikap konsisten berpihak kepada orang-orang yang tertindas,
baik itu tertindas dari sisi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Seperti saat ia berpihak kepada Megawati
ketika tertindas oleh Orba yang berpuncak pada Tragedi 27 Juli.

Perjuangannya di bidang spiritual berlangsung sejak dini, hingga dirinya dipersunting oleh I Gusti Bagoes
Oka pada tahun 1943 yang kemudian menjadi tokoh pemerintahan di Bali. Latar belakang kehidupannya
yang begitu dekat dengan kehidupan yang pernah dialami Mahatma Gandi, memberikan inspirasi kepada
salah satu staf pengajar jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Udayana, untuk mendirikan
Ashram Gandi Canti Dasa, di Candidasa, Karangasem, di tahun 1976.

Ibu Gedong termasuk sedikit dari perempuan Bali yang terdidik. Inteligensi, karakter dan keteguhan watak
membawanya kepada pergaulan politik di tingkat nasional. Ia bersahabat dengan Bung Karno dan sering
berdebat tentang masalah kebudayaan, politik, dan emansipasi perempuan. Namun, kritik-kritiknya
terhadap Soekarno sangat tajam. Ia juga bersahabat dengan banyak tokoh. Antara lain dengan Romo
Mangun dab Gus Dur  yang telah diawali sejak lebih dari 20 tahun lalu.
Sejak awal ia mencurahkan tenaganya di bidang pendidikan. Ia sempat terjun di dunia politik dan menjadi
anggota DPR pada tahun 1967-1972. Setelah reformasi, ia kembali memasuki gelanggang politik, menjadi
wakil Utusan Golongan di MPR.

Namun, ia sebenarnya lebih dikenal sebagai pemimpin aliran nonkekerasan Gandhi di Indonesia. Ashram
Gandhi-nya dikenal secara internasional. Ia aktif dalam dialog antar-agama di berbagai tingkatan. Ia yang
melakukan reinterpretasi terhadap ajaran Hindu-khususnya yang menyangkut kesetaraan dan keadilan. Ia
juga dikenal sebagai pribadi yang kukuh, keras pada prinsip, disiplin, dan penuh welas asih.

Ibu Gedong adalah tokoh yang mampu menghormati dan menerima perbedaan dalam pandangan agama.
Pada saat melakukan doa malam bersama, ia membaca mantra, menyelipkan senandung nyanyian Kristen,
melagukan shalawat, dan mengucapkan berbagai kearifan hidup dari berbagai macam agama, Buddha,
Konghucu, dan lain-lain. Ia tetap seorang Hindu yang amat taat dan teguh.

Namun, perbedaan agama tidak pernah menjadi alasan untuk tidak menghargai dan menghormati integritas
kemanusiaan masing-masing. Ia memimpin upacara membakar dupa. Beberapa belas orang duduk
berkeliling mengikuti dengan khusyuk. Doa dipanjatkan menurut keyakinan masing-masing, semoga damai
datang ke bumi. Pada upacara keagamaan itu, seolah hendak disimpulkan oleh Ibu Gedong bahwa
keyakinan iman dan perbuatan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Beragama yang sebenarnya adalah
berbuat baik dengan sebenarnya. Dialog dan diapractice adalah satu. Berbicara dan berkomunikasi dan
bekerja sama untuk berbuat baik adalah satu. Dan, itu merupakan esensi agama yang sesungguhnya.
Beliau meninggal pada tanggal 14 November 2002

4. Frans Seda
Fransiskus Xaverius Seda lebih dikenal dengan sebutan Frans Seda. Ia lahir pada tanggal 4 Oktober 1926 di
Flores, NTT. Sesudah tamat SD di Flores (1940), Frans Seda merantau studi ke Muntilan, masuk kolese
Xaverius yang didirikan oleh Romo Van Lith. Sambil belajar, ia menjadi tukang rumput, pengaduk makanan
dan pemeras susu pada sebuah peternakan di lereng gunung Merapi. Setelah dari Muntilan, pendidikannya
dilanjutkan di Yogyakarta (1946) dan di Surabaya (1950), dan menyelesaikan doktornya di Katholieke
Economische Hogenschool Tilburg, Negeri Belanda (1956). 

Frans Seda merintis karier politiknya lewat Partai Katholik. Sepulang dari Belanda ia diminta untuk
mendampingi I.J. Kasimo sebagai wakil ketua partai itu. Lantas pada tahun 1961, ia menggantikan Kasimo
sebagai ketua umum. Dari sini karier politiknya terus meningkat. Dari tahun 1960 sampai tahun 1964 ia
menjadi anggota MPRS dan DPR-GR. Pada tahun 1963, Seda diminta Bung Karno untuk menjabat menteri
perdagangan. Tetapi Seda menolaknya karena ketua PK yang saat itu menjadi partai oposisi terhadap Bung
Karno, alasan lainnya karena ia menganggap usianya saat itu masih terlalu muda.

Tapi rupanya, pada tahun 1964 F. Seda tak bisa lagi menolak ketika dia diangkat menjadi Menteri
Perkebunan oleh Bung Karno. Lantas ia juga pernah menjabat sebagaiMenteri Pertanian (1966), lalu Menteri
Keuangan (1966-1968) dan Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Pensiun dari jabatan
menteri, Seda lantas dipercaya menjadi Dubes RI di Brussel, untuk Belgia dan Luksemburg (1968-1973),
juga merangkap Kepala Perwakilan RI untuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dari tahun 1973-1976.
Setelah kembali ke Indonesia, ia dipercaya untuk menjadi anggota DPA dari tahun 1976-1978.

Di bidang pendidikan, Frans Seda juga turut mendirikan Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia pernah menjabat
Ketua Umum Yayasan Atma Jaya (1961), sekaligus dekan Fakultas Ekonomi di sana (1961-1964). Namanya
sebagai usahawan juga cukup dikenal, antara lain karena dia pernah menjabat Presiden Komisaris PT Narisa
-- pabrik pakaian jadi -- juga anggota Komisaris PT Bayer Indonesia, dan anggota dewan komisaris di PT
Gramedia. Lantas pernah juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi
Perdagangan Tekstil Indonesia. Kegiatan sosialnya juga menonjol. Ia pernah menjadi anggota Komisi
Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Iustitia Et Pax) di Roma (1984-1989), serta anggota Dewan
Pertimbangan PMI Pusat (1986-sekarang)

Seperti orang Flores pada umumnya, Frans Seda dikenal terbuka dan suka humor. Ketika ditanya apa
resepnya tetap sehat dan bahagia di usia yang lebih dari 70 tahun, Frans Seda berkata ,"Hidup itu artinya
mengabdi pada Tuhan dan sesama." Dalam melakoni hidup yang sering tak terduga ini, menurutnya orang
perlu punya sikap nothing to lose.

"Cobalah berbuat baik saja, jangan terlalu takut memikirkan akibatnya," -Frans Seda"

Tokoh dari Timur ini dikenal sebagai tokoh yang memberi sumbangan besar pada perubahan politik dan
ekonomi negara Indonesia. Frans Seda merupakan sosok yang memberi sumbangan pemikiran politik
ekonomi dari suatu golongan minoritas agama. Sosok Frans Seda menjadi besar justru karena berada dalam
tantangan (challenge) dalam dirinya, dalam lingkungan sosial, dalam partai katolik, dalam pertentangan
kekuasanan dan secara khusus dalam pertarungan politik ekonomi bangsa. Sosok pribadi Frans Seda
sungguh mencerminkan Gereja yang memasyarakat di negara Indonesia.

Frans Seda seorang tokoh yang mencintai Gereja dan Negaranya. Secara khusus beliau memperjuangkan
kepentingan rakyat dalam bidang ekonomi dan politik. Beliau meninggal pada tanggal 31 Desember 2009,
sehari setelah Gus Dur meninggal.

Anda mungkin juga menyukai