Abstrak
Pengantar
Sosok Gus Dur memang tidak pernah bisa dilepaskan dari keterkaitannya
dengan persoalan HAM. Gus Dur adalah seorang pembela HAM sejati dan selalu
konsisten membela kelompok minoritas dan tertindas jauh sebelum persoalan
HAM marak dibicarakan di era reformasi ini. Pembelaannya terhadap para etnis
minoritas cina yang tersisih di masa orde baru, wartawan yang tidak mempunyai
kebebasan pers, orang-orang yang diambil tanahnya secara sepihak oleh negara,
dan lain sebagainya, merupakan contoh-contoh kasus dimana Gus Dur selalu
pasang badan dan menjadi orang yang terdepan dalam membela tanpa
mempertimbangkan keselamatan pribadi dan nama baiknya sendiri.
Apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur dalam rangka pembelaannya kepada
kaum lemah, tertindas dan minoritas tentu saja tidak datang begitu saja, tetapi juga
didasarkan pada pandangan-pandangannya terkait dengan HAM dalam perspektif
al-Qur’an/ Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya. Dalam refleksi
teologisnya, bagi Gus Dur tendensi agama seharusnya lebih menekankan pada
1
orthopraksis ketimbang orthodoksi, sehingga perlu adanya kajian yang
memungkinkan perkembangan dan kreativitas yang penting bagi perkembangan
masyarakat dalam dunia modern.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menuliskan bagaimanan Gus Dur
melihat persoalan HAM dalam perspektif al-Qur’an, dimana bagi Gus Dur
perjuangan menegakkan HAM seharusnya menjadi agenda utama agama. Karena
pada dasarnya Islam lahir dalam rangka membentuk masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera dan sudah seharusnya Islam menjadi sarana
kemasyarakatan, yang lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum
miskin dan menderita.
Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir
di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama
dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas
Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri
Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri,
adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri
pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Sang ayah KH Wahid Hasyim adalah seorang berwawasan luas yang pernah
menjabat sebagai menteri agama yang sangat dicintai oleh masyarakat secara luas.
Meski ayah Gus Dur meninggal di usia muda (38 tahun) dan pada saat itu Gus
Dur masih berusia 12 tahun, tetapi waktu yang singkat bersama sang ayah telah
membukakan pandangannya dan menggugah hatinya untuk selalu membuka
cakrawala berpikir yang luas. Di rumahnya terdapat perpustakaan pribadi yang
luas, terdapat buku-buku, majalah dan surat kabar yang juga diterbitkan oleh
2
orang katolik dan orang-orang muslim lainnya1. Budaya membaca sudah
ditradisikan di rumahnya dari semenjak Gus Dur kecil, sehingga Gus Durpun
menjadi seorang pecandu bacaan. Ia selalu pergi keluar dengan membawa buku,
bila ada sesuatu yag tak dapat ditemukannya di perpustakaan rumahnya, ia akan
mencarinya di toko-toko buku bekas di Jakarta.
Pendidikan
Setelah tamat dari SMEP barulah Gus Dur mendalami pendidikan agamanya
secara penuh di pesantren Tegalrejo selama dua tahun dan diteruskan di pesantren
Tambakberas Jombang. Disini kemudian Gus Dur tertarik dengan sufisme dan
mistik dari kebudayaan Islam tradisional. Diusianya yang ke 22 Gus Dur
melaksanakan ibadah haji dan kemudian melanjutkan studi di Universitas Al
Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di
Universitas Baghdad-Irak. Di luar kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-
makam para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri jamaah
tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, pendiri
aliran tasawuf yang diikuti jemaah NU. Gus Dur juga menjadi pelajar keliling di
1
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta: LkiS, 2008), cet-VII, hlm 42
2
Ibid., 51-52
3
eropa dari satu universitas ke universitas lain dan pernah menetap di Belanda
selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan
Malaysia yang tinggal di Eropa.
Perjalanan Karier
Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung
dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum
‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa
sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan
pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk
digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya
4
muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden ke-4 RI3.
Selain itu dalam catatan kariernya Gus Dur juga pernah menjadi ketua
Forum Demokrasi (1991-1999), dengan sejumlah anggota terdiri berbagai
kalangan, khususnya nasionalis dan non muslim. Dari perjalanannya tersebut
memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur,
bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi,
budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda.
Disamping berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga
merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan
maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga
3
http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=892&sid=735255e9179b4378c757ed4301a663
5b
4
Gus Dur mencabut inpres no 6/2000 tanggal 17 Januari 2000 dan inpres no 14/tahun 1967
tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Atas jasanya ini pada tanggal 10 Maret 2004
Gus Dur diberi gelar “bapak Tionghoa Indonesia”. Lihat Asvi Warman Adam, Membongkar
Manipulasi Sejarah: Kontroversi pelaku dan peristiwa, (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2009),
hlm 82
5
800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru5.
Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia
menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku,
agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus
dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Selain etnis cina dan keluarga PKI, Gus Dur juga mempunyai perhatian pada
nasib para buruh migran. Pada saat ia menjabat menjadi presiden, ada banyak TKI
yang menghadapi hukuman di negara asing diselamatkannya lewat
kemampuannya bernegosiasi, bahkan setelah menjadi presidenpun perhatian Gus
Dur terhadap para buruh migran tidak pernah lepas, rumahnya menjadi tempat
penampungan para TKI yang dideportasi6.
Kepada para penganut syi’ah di Indonesia, Gus Dur juga bersimpati bahkan
dia mengizinkan kaum syi’ah untuk menggunakan “masjidnya” di Ciganjur.
Karena bagi Gus Dur kaum syi’ah tidak hanya menjadi kelompok minoritas di
Indonesia yang harus dilindungi hak-haknya dalam melakukan ibadah tetapi juga
mempunyai kedekatan dengan NU dalam aspek ritual (ibadah) dan pendekatan
mistis (tasawuf) yang berasal dari Islam syi’ah Persia7.
5
Dalam hal ini Gus Durmengawalinya dengan mencabut TAP MPRS no XXV?tahun 1965
tentang pembubaran artai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme,
komunisme dan leninisme. Sebuah langkah kontroversi dan berani yang mendapat kecaman dari
banyak pihak, bahkan Gus Dur juga dianggap sebagai salah satu dari antek komunis. Ibid., hlm 83
6
Majalah Dunia Tenaga Kerja Indonesia, Edisi 17, tahun III, Maret 2010, hlm 10
7
Karenanya menurut Gus Dur, sarjana-sarjana NU harus memahami Islam syi’ah jika
hendak memahami tradisionalisme Islam Sunni Indonesia. Greg Barton, Biografi Gus Dur....hlm
210
88
Ibid., hlm 234
6
sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang
perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan
kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk
Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih
simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian
Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan,
Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di
pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda
Kemanusiaan. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999
dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden
Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia
mendorong penggunaan nama Papua9.
Sebagai pejuang HAM, Gus Dur juga dikenal sebagai seorang menjunjung
kebebasan berfikir dan sangat menghargai perbedaan. Gus Dur melakukan
pembelaan mulai dari Ulil Abshar Abdallh, aktivis Islam Liberal yang divonis
mati oleh para ulama terkemuka hingga fatwa di Iran terhadap Salman Rusdi
dengan ayat-ayat setannya. Gus dur tidak sungkan-sungkan membela Inul
daratista yang dikecam oleh seniman lain atas dasar agama, dia juga menolak
penutupan pesantren Ngruki Solo oleh polisi meskipun dia banyak mengkritik
pandangan Abu Bakar Ba’asyir dan pengikutnya. Dari bisa dilihat bagaimana
sosok Gus Dur menjadi sosok yang lengkap dan unik, dia tidak hanya dikenal
sebagai seorang agamawan, tetapi juga sosok negarawan sejati, seorang
intelektual yang progresif dan liberal, serta dikenal sebagai pejuang HAM dan anti
kekerasan.
9
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/30/gus-dur-selamat-jalan-pahlawan-
demokrasi-dan-pluralisme/
7
Sekilas tentang HAM
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia
itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan
kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat
hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia
manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak
asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain,
atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan10.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia,
ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi
terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak
Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai
hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri , harkat dan martabat
kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan
oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat
berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak
asasi manusia. Bermula dengan lahirnya magna charta (1215) yang membatasi
kekuasaan absolute pada penguasa atau raja-raja di Inggris. Yang kemudian
pemikiran itu diadopsi oleh Thomas Jefferson yang tertuang hal-hal dasarnya
dalam The American Declaration Of Independence (1776), menurutnya semua
10
Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia, dalam
Http://Emperordeva.Wordpress.Com/About/Sejarah-Hak-Asasi-Manusia/
8
manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia di anugerahkan beberapa hak
yang tidak terpisah-pisah diantaranya hak kebebasan dan tuntunan kesenangan
setelah itu disusul dengan adanya The French Declaration (Perancis:89) 4 dari
hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal HAM
(DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB dalam (ODHR) pada tahun 1948.
- Hidup
- Kemerdekaan dan keamanan badan
- Diakui kepribadiannya
- Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk
mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum,
dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
- Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
- Mendapatkan asylum
- Mendapatkan suatu kebangsaan
- Mendapatkan hak milik atas benda
- Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
- Bebas memeluk agama
- Mengeluarkan pendapat
- Berapat dan berkumpul
- Mendapat jaminan sosial
- Mendapatkan pekerjaan
- Berdagang
- Mendapatkan pendidikan
- Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
- Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan
9
semua anggota dan semua bangsa untuk memajukan dan menjamin pengakuan
dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam
pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua
anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.
Di negara Indonesia, secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia
dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan
Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 yang
secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan
menjadi sebagai berikut :
- Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
- Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki
sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
- Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik.
- Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan ( rights of legal equality).
- Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak
untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
- Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
(procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan,
penggeledahan, dan peradilan.
Selain tertera dalam piagam HAM, di era reformasi ini Indonesia juga
mendirikan institusi KOMNAS HAM sebagai salah satu upaya dalam penegakan
HAM meski saat ini masih banyak kasus yang belum tertangani dengan baik, dan
masih banyak terjadi persoalan dalam penegakannya, tetapi setidaknya hal ini
telah memberika secercah harapan bagi masa dpan keberagamaan dan penegakan
HAM di Indonesia.
10
Pandangan Gus Dur tentang al-Qur’an dan penegakan HAM
Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam biografi diatas, Gus Dur adalah
pejuang HAM yang terdepan. Banyak yang telah dia lakukan dan apa yang
diperjuangkannya merupakan implementasi dari keyakinan dan pemahamannya
terhadap agama. Dalam pandangan Gus Dur persoalan HAM dalam Islam ini
menjadi persoalan yang seharusnya mendapatkan perhatian besar. Berangkat dari
universalisme Islam yang meliputi lima prinsip-prinip umum pengaturan hidup
(al-Kulliyat khamsah) dan sudah dikenal dalam literatur-literatur klasik yang
dipakai NU, universalisme Islam ini menekankan pada ajaran humanitarianisme
yang memberikan jaminan dasar bagi umat manusia berupa keselamatan fisik,
keyakinan, keluarga dan keturunan, harta benda dan profesi. Unsur-unsur
utama yang ditekankan dalam universalisme Islam harus diimbangi dengan
kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam. Sehingga bagi Gus Dur
universalisme Islam ini akan pasif dan stagnan jika tidak diterjemahkan dalam
sikap hidup keagamaan yang kosmopolit.11
11
Islam kosmopolitan yang dimaksud oleh Gus Dur adalah sikap hidup yang harus dimiliki
oleh umat Islam sebagai cara untuk menampilkan universalisme Islam. Pandangan Islam
kosmopolitan adalah pandangan yang mengakui perlunya reformulasi substansial dari peradaban
yang ada, kerangka institusional, moral, spiritual, etika sosial guna merespon hak-hak dasar
universal, menghormati agama, ideologi dan kultur lain, serta menyerap sisi-sisi positif yang
ditawarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian maka Islam kosmopolitan berupaya
mengambil hikmah darimanapun dan siap berdialog dengan seluruh tradisi dan budaya guna
menampilkan Islam di zaman modern yang menyerap secara konstruktif dan positif tradisi
pemikiran dan budaya yang berkembang. Lihat Syamsul Bakri dan mudhofir, Jombang Kairo
Jombang Chicago: Sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di
Indonesia ,(Solo : Tiga Serangkai, 2004), hlm 45-47
11
memandang latarbelakang kultur, agama dan etnis12. Sehingga pandangan
humanitarianisme ini menitikberatkan pada kebebasan individu untuk menyatakan
pendapat, keyakinan, keimanan dan kemerdekaan untuk berserikat, dimana hal ini
bertolak dari universalitas Islam (baca : ide dasar Islam) yang memberikan
jaminan kepada umat manusia. Bagi Gus Dur jaminan dasar ini merupakan dasar-
dasar umum kehidupan masyarakat yang harus diwujudkan dalam kehidupan
nyata.13
Lebih lanjut dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia,
Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat
menghargai hak asasi manusia. Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari
klaim mereka. Di negara-negara muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia justru banyak terjadi. Jadi klaim tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
dan dengan demikian klaim Islam sebagai pelindung HAM hanya akan terasa
kosong dan tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan15. Sebagai
contoh adalah soal kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak asasi
12
Dari pandangan humanitarianisme inilah berbagai gagasan Gus Dur banyak tertuang
terutama seputar wacana kebangsaan, pemikiran Islam, persoalan relasi sosial kemanusiaan yang
lintas batas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Beberapa diantaranya telah dibukukan,
lihat Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak perlu dibela, (Yogyakarta: LkiS, 2000), Abdurrahman
Wahid, Prima Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta : LkiS, 2000), Abdurrahman Wahid, Membangun
Demokrasi (Bandung : Rosda, 2000).
13
Ibid., hlm 50
14
Ibid., 52
15
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat negara
demokrasi, (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), hlm 121
12
manusia yang tercantum dalam deklarasi universal hak asasi manusia. Hal ini
tidak sesuai dengan pandangan fiqh yang masih dianut oleh sebagian besar
masyarakat muslim saat ini yang memberikan hukuman keras bahkan dengan
hukuman mati bagi mereka yang berpindah agama atau murtad. Jika ketentuan ini
diberlakukan, maka menurut Gus Dur akan ada lebih dari 20 juta jiwa di negeri ini
yang harus dihukum mati karena berpindah agama dari agama Islam ke Kristen
sejak tahun 196516. Dengan demikian maka hanya ada dua kemungkinan: menolak
deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam atau merubah
ketentuan fiqh yang selama berabad-abad diikuti.
Contoh lain adalah soal perbudakan yang banyak tertera dalam al-Qur’an
dan hadis dan saat ini sudah tidak diakui oleh bangsa muslim manapun bahkan
lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Oleh karena itu menurut
Gus Dur, umat Islam mau tidak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah
ketentuan fiqh yang sudah berabad-abad diikuti, sesuai dengan firman Allah
dalam al-Qur’an “Kullu man ‘alayha fa nin. Wa yabqa wajhu rabbika” (Semuanya
akan binasa dalam kehidupan kecuali wajah Allah). Gus Dur juga merujuk pada
ketentuan ushul fiqh yang berbunyi “al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa
‘adaman” (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik
ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri). Disini Gus Dur berusaha untuk
memberikan substansiasi bagi fiqh itu sendiri dan merujuk pada fundamen yang
telah digariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at (aqasid al-
syari’ah)17.
Apresiasi Gus Dur terhadap persoalan HAM tidak hanya dalam tataran
konsep, tetapi juga diaplikasikan dalam kehidupan. Hal inilah yang menjadikan
Gus Dur menjadi pembela sejumlah kasus-kasus yang terkait dengan HAM mulai
dari hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non muslim, hingga kasus-
kasus yang dipandang sebagai ketidakadilan sejumlah kelompok muslim terhadap
saudaranya sesama muslim. Dia membela Ulil Absar Abdalla disaat sebagian
16
Ibid., hlm 121
17
Ibid.,,
13
besar ulama menilai pemikirannya sesat, membela ahmadiyah, membela aswendo,
dan lain sebagainya.
Ketiga prinsip ini secara konsisten dipakai sebagai acuan dalam segala
tindakan-tindakannya. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah dibuktikan dengan
berbagai aksinya dalam menyelesaikan persoalan HAM dan upaya Gus Dur dalam
membangun rekonsiliasi bagi terwujudnya Indonesia yang damai. Karena bagi
Gus Dur rekonsiliasi nasional bisa dilakukan dengan cara menegakkan keadilan
bagi semua pihak, baik kepada mantan PKI, DI/TII, teroris, konglomerat hitam,
menghilangkan rasa curiga yang selama ini berkembang akibat dari konflik-
konflik yang terjadi pada masa lalu, bersikap sabar dalam menyelesaikan konflik
dengan menghindarkan cara-cara kekerasan serta menganggap selesai konflik
bersenjata dimasa lalu apapun alasannya dengan saling memaafkan.
14
1. Pribumisasi Islam dan bukan Arabisasi
Secara tegas dan explisit Gus Dur menyatakan bahwa dia menolak ’ide
pembentukan sebuah negara agama’. Menurut Gus Dur, dalam pandangan Islam
tidak diwajibkan adanya suatu sistem Islam. Hal itu berarti tidak ada keharusan
untuk mendirikan sebuah negara Islam, baik karena tidak adanya pengaturan yang
jelas dalam Quran tentang sistem Islam itu. Terkait dengan adagium yang
18
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im
Soleh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta : P3M, 1989), hlm 81-92
19
Lihat, Moch. Nur Ichwan, Pergumulan Kitab Suci Dalam Konteks Lokal Indonesia:
Menuju Hermeneutika Al-Qur’an Pribumi, Makalah dalam diskusi Kritik Tafsir Pribumi: Analisa
Corak dan Metodologi Tafsir al-Qur’an Indonesia, diselenggarakan oleh BEMJ Tafsir Hadis
fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 25 Mei 2000
15
terkenal dalam Islam La Islama Illa bi Jama’ah wala jama’ah Illa bi Imarah wala
Iramata Illa bi Tha’ah, menurut Gus Dur tidak ada sesutu dalam ungkapan
tersebut yang menunjukkan sebuah sistem Islami. Dengan demikian semua sistem
diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut asal memperjuangkan berlakunya
ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa dan negara20. Karenanya ketika NU
mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak disebutkan
bahwa partai itu adalah Partai Islam, karena NU sejak semula telah menerima
kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah
bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah atau
politisasi terhadap teks keagamaan21.
20
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda Islam kita....hlm 99 dan 6-7
21
Ibid., hlm 5-7; 84; 100-102; 106 – 110; 307-308). 26
22
Dalam sejarah pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Saw, ketika Nabi Saw
wafat dan digantikan oleh Abu Bakar, pemilihan Abu Bakar dilakukan melaui bai’at oleh para
kepala suku dan wakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Setelah Abu Bakar wafat,
pergantian posisi peimpin oleh Umar bin Khattab dilakukan dengan penunjukan sebelum Abu
Bakar wafat. Dari Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan dilakukan dengan penunjukan oleh para
dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Kemudian dari Ustman bin Affan digantikan oleh Ali bin
Abi Thalib, dimana pada saat itu Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk
menggantikan Ali. Kemudian sistem ini menjadi acuan sistem kerajaan yang menurunkan calon-
calon raja dalam sejarah Islam. Ibid., hlm xvi-xvii
16
Oleh karena itu, dengan paradigma Islam substantifnya, Gus Dur secara
tegas dan jelas menolak terhadap formalisasi, ideologisasi dan syariatisasi Islam.
Bagi Gus Dur, formalisasi atau mewujudkan sistem Islam bukanlah syarat untuk
menjadikan seseorang sebagai muslim yang baik23. Sedangkan ideologisasi
Islam menurut Gus Dur tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia
yang moderat. Ideologisasi Islam juga akan mendorong umat Islam mudah
mlakukan upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan
radikal terhadap teks-teks keagamaan.
Dari sini kemudian Gus Dur menyatakan bahwa NKRI merupakan “harga
mati” bagi masyarakat Indonesia, karena di dalam NKRI dan pancasila sebagai
dasar negara menampung semua aspirasi rakyat Indonesia yang pluralistik secara
agama, suku, etnis.
3. Pluralisme
Gus Dur menyadari bahwa Islam sebagai agama Wahyu itu dihayati dalam
konteks pribadi, baik religius maupun sosial dan budaya yang unik. Gus Dur
sangat menghargai penghayatan Islam sesamanya yang lain, yang berbeda dari
23
Karena dalam pandangan Gus Dur untuk menjadi muslim yang baik seseorang perlu
menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan rukun Islam, menolong mereka yang
membutuhkan pertolongan, menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar menghadapi cobaan
dan ujian. Ibid
24
Pluralisme adalah gagasan atau pandangan yang mengakui adanya hal-hal yang sifatnya
banyak dan berbeda-beda (heterogen) dalam suatu masyarakat.
17
penghayatan Islam pribadinya. Sikap inilah yang bakal menjadi buaian bagi
toleransi dan pengakuan akan pluralitas Islam itu sendiri dan pluralitas agama
serta kepercayaan lainnya didalam masyarakat dunia dewasa ini.
Penutup
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, maka Gus Dur tidak hanya menjadi
tokoh HAM yang sangat berpengaruh baik dari sisi pemikiran maupun tindakan-
tindakannya yang selalu berpihak pada kaum lemah dan marjinal. Gus Dur juga
telah menginspirasi adanya pergeseran teologi dari teologi langit ke teologi praktis
dengan implementasi dari membela Tuhan menjadi membela manusia, dari
mengabdi kepada kekuasaan menjadi membela yang lemah dan tertindas, dari
tunggal ke plural, dari teologi eksklusif menuju teologi inklusif. Dengan demikian
maka upaya penegakan HAM, demokratisasi, keadilan, toleransi dan solidaritas
kemanusiaan, sebenarnya telah ada dalam prinsip-prinsip dasar Islam yang sudah
seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan umatnya. Sehingga Islam tidak lagi
menjadi agama dengan mental sebagaimana disebut oleh Gus Dur sebagai “mental
banteng” yang harus dipagari dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan
merusak kemurniannya. Mental seperti ini justru merupakan pengakuan
terselubung akan kelemahan Islam. Karenanya menurut Gus Dur sudah
seharusnya Islam menjadi agama yang terbuka dan dinamis sesuai dengan
25
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita....hlm 78
18
perkembangan zamannya. Dengan sikap beragama yang inklusif dan terbukalah
Islam akan menjadi agama yang rahmatan lil Alamin.
Daftar Bacaan
Nur Ichwan, Moch, Pergumulan Kitab Suci Dalam Konteks Lokal Indonesia:
Menuju Hermeneutika Al-Qur’an Pribumi, Makalah dalam diskusi Kritik
Tafsir Pribumi: Analisa Corak dan Metodologi Tafsir al-Qur’an Indonesia,
diselenggarakan oleh BEMJ Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, tanggal 25 Mei 2000
http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=892&sid=735255e9179b4378c757ed4
301a6635b
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/30/gus-dur-selamat-jalan-pahlawan-
demokrasi-dan-pluralisme/
Majalah Dunia Tenaga Kerja Indonesia, Edisi 17, tahun III, Maret 2010
19
20