Anda di halaman 1dari 20

Pandangan Gus Dur tentang Al-Qur’an dan Penegakan HAM

Oleh : Zunly Nadia/SQH B

Abstrak

Tidak bisa dipungkiri bahwa Gus Dur adalah sosok intelektual


dan pejuang HAM sejati. Dia selalu berada dibelakang orang-
orang yang tertindas. Keberpihakan Gus Dur terhadap orang-
orang yang tertindas ini ternyata terisnpirasi oleh pemahamannya
terhadap ajaran-ajaran agama. Berangkat dari universalisme Islam
yang meliputi lima prinsip-prinip umum pengaturan hidup (al-
Kulliyat khamsah) dan sudah dikenal dalam literatur-literatur
klasik yang dipakai NU, universalisme Islam ini menekankan
pada ajaran humanitarianisme yang memberikan jaminan dasar
bagi umat manusia berupa keselamatan fisik, keyakinan, keluarga
dan keturunan, harta benda dan profesi. Unsur-unsur utama yang
ditekankan dalam universalisme Islam harus diimbangi dengan
kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam.

Kata kunci: Gus Dur, HAM dan Islam

Pengantar

Sosok Gus Dur memang tidak pernah bisa dilepaskan dari keterkaitannya
dengan persoalan HAM. Gus Dur adalah seorang pembela HAM sejati dan selalu
konsisten membela kelompok minoritas dan tertindas jauh sebelum persoalan
HAM marak dibicarakan di era reformasi ini. Pembelaannya terhadap para etnis
minoritas cina yang tersisih di masa orde baru, wartawan yang tidak mempunyai
kebebasan pers, orang-orang yang diambil tanahnya secara sepihak oleh negara,
dan lain sebagainya, merupakan contoh-contoh kasus dimana Gus Dur selalu
pasang badan dan menjadi orang yang terdepan dalam membela tanpa
mempertimbangkan keselamatan pribadi dan nama baiknya sendiri.
Apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur dalam rangka pembelaannya kepada
kaum lemah, tertindas dan minoritas tentu saja tidak datang begitu saja, tetapi juga
didasarkan pada pandangan-pandangannya terkait dengan HAM dalam perspektif
al-Qur’an/ Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya. Dalam refleksi
teologisnya, bagi Gus Dur tendensi agama seharusnya lebih menekankan pada

1
orthopraksis ketimbang orthodoksi, sehingga perlu adanya kajian yang
memungkinkan perkembangan dan kreativitas yang penting bagi perkembangan
masyarakat dalam dunia modern.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menuliskan bagaimanan Gus Dur
melihat persoalan HAM dalam perspektif al-Qur’an, dimana bagi Gus Dur
perjuangan menegakkan HAM seharusnya menjadi agenda utama agama. Karena
pada dasarnya Islam lahir dalam rangka membentuk masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera dan sudah seharusnya Islam menjadi sarana
kemasyarakatan, yang lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum
miskin dan menderita.

Gus Dur : Sang Agamawan, Intelektual liberal dan Pejuang Ham

Latar belakang keluarga

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir
di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama
dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas
Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri
Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri,
adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri
pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Sang ayah KH Wahid Hasyim adalah seorang berwawasan luas yang pernah
menjabat sebagai menteri agama yang sangat dicintai oleh masyarakat secara luas.
Meski ayah Gus Dur meninggal di usia muda (38 tahun) dan pada saat itu Gus
Dur masih berusia 12 tahun, tetapi waktu yang singkat bersama sang ayah telah
membukakan pandangannya dan menggugah hatinya untuk selalu membuka
cakrawala berpikir yang luas. Di rumahnya terdapat perpustakaan pribadi yang
luas, terdapat buku-buku, majalah dan surat kabar yang juga diterbitkan oleh

2
orang katolik dan orang-orang muslim lainnya1. Budaya membaca sudah
ditradisikan di rumahnya dari semenjak Gus Dur kecil, sehingga Gus Durpun
menjadi seorang pecandu bacaan. Ia selalu pergi keluar dengan membawa buku,
bila ada sesuatu yag tak dapat ditemukannya di perpustakaan rumahnya, ia akan
mencarinya di toko-toko buku bekas di Jakarta.
Pendidikan

Masa kecilnya dilalui dengan kenakalan-kenakalan khas anak-anak, dia


bersekolah di sekolah dasar biasa di dekat rumahnya meski ayahnya adalah
seorang pejabat. Karena biasanya anak-anak pejabat pemerintahan bersekolah di
sekolah-sekolah elit. Setelah tamat dari sekolah dasar, dia dikirim ke Yogyakarta
untuk meneruskan sekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama)
Gowongan, sambil mondok di Pesantren Krapyak. Sekolah ini meski dikelola
Gereja Katolik Roma, tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di
sekolah ini pula pertama Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Di Yogyakarta Gus Dur
tinggal di rumah H Junaidi, pimpinan lokal Muhammadiyah. Kegiatan rutinnya,
setelah salat subuh, mengaji pada KH Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di
SMEP, dan malamnya ikut berdiskusi bersama H Junaidi dan anggota
Muhammadiyah lainnya2.

Setelah tamat dari SMEP barulah Gus Dur mendalami pendidikan agamanya
secara penuh di pesantren Tegalrejo selama dua tahun dan diteruskan di pesantren
Tambakberas Jombang. Disini kemudian Gus Dur tertarik dengan sufisme dan
mistik dari kebudayaan Islam tradisional. Diusianya yang ke 22 Gus Dur
melaksanakan ibadah haji dan kemudian melanjutkan studi di Universitas Al
Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di
Universitas Baghdad-Irak. Di luar kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-
makam para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri jamaah
tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, pendiri
aliran tasawuf yang diikuti jemaah NU. Gus Dur juga menjadi pelajar keliling di
1
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta: LkiS, 2008), cet-VII, hlm 42
2
Ibid., 51-52

3
eropa dari satu universitas ke universitas lain dan pernah menetap di Belanda
selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan
Malaysia yang tinggal di Eropa.
Perjalanan Karier

Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung
dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum
‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis


nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan
ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas
itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar,
membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid
tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa
sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan
pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk
digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya

Pada 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren


Ciganjur. Pada awal 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU.
Selain dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus
PBNU, Gus Dur juga diangkat menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
pada 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1986,
1987. Suatu hal yang dianggap “tidak wajar dan aneh” bagi sosok agamawan yang
berpengaruh. Pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-
’aqdi yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua
umum PBNU pada muktamar ke-27 NU di Situbondo. Jabatan itu kembali
dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Jogjakarta (1989), dan

4
muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden ke-4 RI3.

Selain itu dalam catatan kariernya Gus Dur juga pernah menjadi ketua
Forum Demokrasi (1991-1999), dengan sejumlah anggota terdiri berbagai
kalangan, khususnya nasionalis dan non muslim. Dari perjalanannya tersebut
memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur,
bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi,
budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda.

Pejuang HAM dan anti kekerasan

Sepanjang perjalanan hidupnya, Gus Dur memang dikenal sebagai seorang


pejuang HAM, dia selalu menjadi pembela bagi kelompok minoritas yang
tertindas. Banyak yang dilakukan Gus Dur dalam rangka membela kaum
minoritas. Sejak masa orde baru Gus Dur sangat konsisten dalam membela WNI
keturunan Cina dan orang kristen Indonesia baik Protestan maupun Katolik,
puncaknya ketika Gus Dur diangkat menjadi presiden dia memberikan kebebasan
bagi keturunan cina untuk merayakan hari raya imlek, bahkan Tahun Baru Cina
(Imlek) menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan
larangan penggunaan huruf Tionghoa4. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya
pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.

Disamping berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga
merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan
maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga

3
http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=892&sid=735255e9179b4378c757ed4301a663
5b
4
Gus Dur mencabut inpres no 6/2000 tanggal 17 Januari 2000 dan inpres no 14/tahun 1967
tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Atas jasanya ini pada tanggal 10 Maret 2004
Gus Dur diberi gelar “bapak Tionghoa Indonesia”. Lihat Asvi Warman Adam, Membongkar
Manipulasi Sejarah: Kontroversi pelaku dan peristiwa, (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2009),
hlm 82

5
800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru5.
Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia
menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku,
agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus
dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Selain etnis cina dan keluarga PKI, Gus Dur juga mempunyai perhatian pada
nasib para buruh migran. Pada saat ia menjabat menjadi presiden, ada banyak TKI
yang menghadapi hukuman di negara asing diselamatkannya lewat
kemampuannya bernegosiasi, bahkan setelah menjadi presidenpun perhatian Gus
Dur terhadap para buruh migran tidak pernah lepas, rumahnya menjadi tempat
penampungan para TKI yang dideportasi6.

Kepada para penganut syi’ah di Indonesia, Gus Dur juga bersimpati bahkan
dia mengizinkan kaum syi’ah untuk menggunakan “masjidnya” di Ciganjur.
Karena bagi Gus Dur kaum syi’ah tidak hanya menjadi kelompok minoritas di
Indonesia yang harus dilindungi hak-haknya dalam melakukan ibadah tetapi juga
mempunyai kedekatan dengan NU dalam aspek ritual (ibadah) dan pendekatan
mistis (tasawuf) yang berasal dari Islam syi’ah Persia7.

Sebagai pejuang HAM, Gus Dur selalu mengedepankan upaya perdamaian


dan menolak segala tindakan kekerasan. Sejak masa orde baru dia seringkali
diminta untuk menjadi mediator antara kelompok-kelompok yang ada di daerah-
daerah konflik8. Gus Dur juga menjadi pemimpin yang meletak fondasi
perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal,

5
Dalam hal ini Gus Durmengawalinya dengan mencabut TAP MPRS no XXV?tahun 1965
tentang pembubaran artai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme,
komunisme dan leninisme. Sebuah langkah kontroversi dan berani yang mendapat kecaman dari
banyak pihak, bahkan Gus Dur juga dianggap sebagai salah satu dari antek komunis. Ibid., hlm 83
6
Majalah Dunia Tenaga Kerja Indonesia, Edisi 17, tahun III, Maret 2010, hlm 10

7
Karenanya menurut Gus Dur, sarjana-sarjana NU harus memahami Islam syi’ah jika
hendak memahami tradisionalisme Islam Sunni Indonesia. Greg Barton, Biografi Gus Dur....hlm
210
88
Ibid., hlm 234

6
sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang
perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan
kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk
Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih
simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian
Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan,
Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di
pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda
Kemanusiaan. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999
dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden
Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia
mendorong penggunaan nama Papua9.

Sebagai pejuang HAM, Gus Dur juga dikenal sebagai seorang menjunjung
kebebasan berfikir dan sangat menghargai perbedaan. Gus Dur melakukan
pembelaan mulai dari Ulil Abshar Abdallh, aktivis Islam Liberal yang divonis
mati oleh para ulama terkemuka hingga fatwa di Iran terhadap Salman Rusdi
dengan ayat-ayat setannya. Gus dur tidak sungkan-sungkan membela Inul
daratista yang dikecam oleh seniman lain atas dasar agama, dia juga menolak
penutupan pesantren Ngruki Solo oleh polisi meskipun dia banyak mengkritik
pandangan Abu Bakar Ba’asyir dan pengikutnya. Dari bisa dilihat bagaimana
sosok Gus Dur menjadi sosok yang lengkap dan unik, dia tidak hanya dikenal
sebagai seorang agamawan, tetapi juga sosok negarawan sejati, seorang
intelektual yang progresif dan liberal, serta dikenal sebagai pejuang HAM dan anti
kekerasan.

9
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/30/gus-dur-selamat-jalan-pahlawan-
demokrasi-dan-pluralisme/

7
Sekilas tentang HAM

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia
itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan
kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat
hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia
manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak
asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain,
atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan10.

Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia,
ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi
terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak
Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai
hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.

Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri , harkat dan martabat
kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan
oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat
berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak
asasi manusia. Bermula dengan lahirnya magna charta (1215) yang membatasi
kekuasaan absolute pada penguasa atau raja-raja di Inggris. Yang kemudian
pemikiran itu diadopsi oleh Thomas Jefferson yang tertuang hal-hal dasarnya
dalam The American Declaration Of Independence (1776), menurutnya semua

10
Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia, dalam
Http://Emperordeva.Wordpress.Com/About/Sejarah-Hak-Asasi-Manusia/

8
manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia di anugerahkan beberapa hak
yang tidak terpisah-pisah diantaranya hak kebebasan dan tuntunan kesenangan
setelah itu disusul dengan adanya The French Declaration (Perancis:89) 4 dari
hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal HAM
(DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB dalam (ODHR) pada tahun 1948.

Dalam deklarasi universal hak asasi manusia antara lain mencantumkan,


Bahwa setiap orang mempunyai Hak :

- Hidup
- Kemerdekaan dan keamanan badan
- Diakui kepribadiannya
- Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk
mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum,
dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
- Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
- Mendapatkan asylum
- Mendapatkan suatu kebangsaan
- Mendapatkan hak milik atas benda
- Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
- Bebas memeluk agama
- Mengeluarkan pendapat
- Berapat dan berkumpul
- Mendapat jaminan sosial
- Mendapatkan pekerjaan
- Berdagang
- Mendapatkan pendidikan
- Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
- Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan

Proklamasi Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu dijadikan


sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa agar menyerukan

9
semua anggota dan semua bangsa untuk memajukan dan menjamin pengakuan
dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam
pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua
anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.

Di negara Indonesia, secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia
dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan
Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 yang
secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan
menjadi sebagai berikut :

- Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
- Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki
sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
- Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik.
- Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan ( rights of legal equality).
- Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak
untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
- Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
(procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan,
penggeledahan, dan peradilan.

Selain tertera dalam piagam HAM, di era reformasi ini Indonesia juga
mendirikan institusi KOMNAS HAM sebagai salah satu upaya dalam penegakan
HAM meski saat ini masih banyak kasus yang belum tertangani dengan baik, dan
masih banyak terjadi persoalan dalam penegakannya, tetapi setidaknya hal ini
telah memberika secercah harapan bagi masa dpan keberagamaan dan penegakan
HAM di Indonesia.

10
Pandangan Gus Dur tentang al-Qur’an dan penegakan HAM

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam biografi diatas, Gus Dur adalah
pejuang HAM yang terdepan. Banyak yang telah dia lakukan dan apa yang
diperjuangkannya merupakan implementasi dari keyakinan dan pemahamannya
terhadap agama. Dalam pandangan Gus Dur persoalan HAM dalam Islam ini
menjadi persoalan yang seharusnya mendapatkan perhatian besar. Berangkat dari
universalisme Islam yang meliputi lima prinsip-prinip umum pengaturan hidup
(al-Kulliyat khamsah) dan sudah dikenal dalam literatur-literatur klasik yang
dipakai NU, universalisme Islam ini menekankan pada ajaran humanitarianisme
yang memberikan jaminan dasar bagi umat manusia berupa keselamatan fisik,
keyakinan, keluarga dan keturunan, harta benda dan profesi. Unsur-unsur
utama yang ditekankan dalam universalisme Islam harus diimbangi dengan
kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam. Sehingga bagi Gus Dur
universalisme Islam ini akan pasif dan stagnan jika tidak diterjemahkan dalam
sikap hidup keagamaan yang kosmopolit.11

Salah satu perhatian dari islam kosmopolit adalah humanitarianisme. Istilah


humanitarianisme ini digunakan oleh Gus Dur untuk mengungkapkan suatu sikap
dalam melihat kebaikan dalam perspektif kemanusiaan yang dipadukan dengan
perhatian terhadap kesejahteraan individu. Humanitarianisme ini merupakan
pemikiran fundamental Gus Dur yang memberikan apresiasi yang luas terhadap
segala hal yang baik dalam kehidupan manusia yang dikemukakan tanpa

11
Islam kosmopolitan yang dimaksud oleh Gus Dur adalah sikap hidup yang harus dimiliki
oleh umat Islam sebagai cara untuk menampilkan universalisme Islam. Pandangan Islam
kosmopolitan adalah pandangan yang mengakui perlunya reformulasi substansial dari peradaban
yang ada, kerangka institusional, moral, spiritual, etika sosial guna merespon hak-hak dasar
universal, menghormati agama, ideologi dan kultur lain, serta menyerap sisi-sisi positif yang
ditawarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian maka Islam kosmopolitan berupaya
mengambil hikmah darimanapun dan siap berdialog dengan seluruh tradisi dan budaya guna
menampilkan Islam di zaman modern yang menyerap secara konstruktif dan positif tradisi
pemikiran dan budaya yang berkembang. Lihat Syamsul Bakri dan mudhofir, Jombang Kairo
Jombang Chicago: Sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di
Indonesia ,(Solo : Tiga Serangkai, 2004), hlm 45-47

11
memandang latarbelakang kultur, agama dan etnis12. Sehingga pandangan
humanitarianisme ini menitikberatkan pada kebebasan individu untuk menyatakan
pendapat, keyakinan, keimanan dan kemerdekaan untuk berserikat, dimana hal ini
bertolak dari universalitas Islam (baca : ide dasar Islam) yang memberikan
jaminan kepada umat manusia. Bagi Gus Dur jaminan dasar ini merupakan dasar-
dasar umum kehidupan masyarakat yang harus diwujudkan dalam kehidupan
nyata.13

Dari pandangan humanitarianisme ini kemudian persoalan HAM menjadi


perhatian utama Gus Dur. Karena baginya nilai universalitas Islam ini sangat
menjunjung tinggi hak asasi manusia dimana semangat agama ini harus diambil
tanpa harus menampakkan simbolisme agama. Sehingga dari sini Gus Dur
berusaha untuk menonjolkan fungsi Islam yang rahmatan lil Alamin tanpa harus
memandang latar belakang agama suku dan ideologi.14

Lebih lanjut dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia,
Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat
menghargai hak asasi manusia. Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari
klaim mereka. Di negara-negara muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia justru banyak terjadi. Jadi klaim tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
dan dengan demikian klaim Islam sebagai pelindung HAM hanya akan terasa
kosong dan tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan15. Sebagai
contoh adalah soal kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak asasi
12
Dari pandangan humanitarianisme inilah berbagai gagasan Gus Dur banyak tertuang
terutama seputar wacana kebangsaan, pemikiran Islam, persoalan relasi sosial kemanusiaan yang
lintas batas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Beberapa diantaranya telah dibukukan,
lihat Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak perlu dibela, (Yogyakarta: LkiS, 2000), Abdurrahman
Wahid, Prima Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta : LkiS, 2000), Abdurrahman Wahid, Membangun
Demokrasi (Bandung : Rosda, 2000).
13
Ibid., hlm 50
14
Ibid., 52
15
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat negara
demokrasi, (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), hlm 121

12
manusia yang tercantum dalam deklarasi universal hak asasi manusia. Hal ini
tidak sesuai dengan pandangan fiqh yang masih dianut oleh sebagian besar
masyarakat muslim saat ini yang memberikan hukuman keras bahkan dengan
hukuman mati bagi mereka yang berpindah agama atau murtad. Jika ketentuan ini
diberlakukan, maka menurut Gus Dur akan ada lebih dari 20 juta jiwa di negeri ini
yang harus dihukum mati karena berpindah agama dari agama Islam ke Kristen
sejak tahun 196516. Dengan demikian maka hanya ada dua kemungkinan: menolak
deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam atau merubah
ketentuan fiqh yang selama berabad-abad diikuti.

Contoh lain adalah soal perbudakan yang banyak tertera dalam al-Qur’an
dan hadis dan saat ini sudah tidak diakui oleh bangsa muslim manapun bahkan
lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Oleh karena itu menurut
Gus Dur, umat Islam mau tidak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah
ketentuan fiqh yang sudah berabad-abad diikuti, sesuai dengan firman Allah
dalam al-Qur’an “Kullu man ‘alayha fa nin. Wa yabqa wajhu rabbika” (Semuanya
akan binasa dalam kehidupan kecuali wajah Allah). Gus Dur juga merujuk pada
ketentuan ushul fiqh yang berbunyi “al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa
‘adaman” (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik
ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri). Disini Gus Dur berusaha untuk
memberikan substansiasi bagi fiqh itu sendiri dan merujuk pada fundamen yang
telah digariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at (aqasid al-
syari’ah)17.

Apresiasi Gus Dur terhadap persoalan HAM tidak hanya dalam tataran
konsep, tetapi juga diaplikasikan dalam kehidupan. Hal inilah yang menjadikan
Gus Dur menjadi pembela sejumlah kasus-kasus yang terkait dengan HAM mulai
dari hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non muslim, hingga kasus-
kasus yang dipandang sebagai ketidakadilan sejumlah kelompok muslim terhadap
saudaranya sesama muslim. Dia membela Ulil Absar Abdalla disaat sebagian

16
Ibid., hlm 121
17
Ibid.,,

13
besar ulama menilai pemikirannya sesat, membela ahmadiyah, membela aswendo,
dan lain sebagainya.

Dari pandangan-pandangannya terkait dengan persoalan HAM ini, maka ada


beberapa hal yang menjadi prinsip hidup Gus Dur, diantaranya adalah:

1. Selalu berpihak kepada yang lemah


2. Anti diskriminasi dalam bentuk apapuns
3. Anti kekerasan dan selalu berupaya membangun perdamaian

Ketiga prinsip ini secara konsisten dipakai sebagai acuan dalam segala
tindakan-tindakannya. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah dibuktikan dengan
berbagai aksinya dalam menyelesaikan persoalan HAM dan upaya Gus Dur dalam
membangun rekonsiliasi bagi terwujudnya Indonesia yang damai. Karena bagi
Gus Dur rekonsiliasi nasional bisa dilakukan dengan cara menegakkan keadilan
bagi semua pihak, baik kepada mantan PKI, DI/TII, teroris, konglomerat hitam,
menghilangkan rasa curiga yang selama ini berkembang akibat dari konflik-
konflik yang terjadi pada masa lalu, bersikap sabar dalam menyelesaikan konflik
dengan menghindarkan cara-cara kekerasan serta menganggap selesai konflik
bersenjata dimasa lalu apapun alasannya dengan saling memaafkan.

Dari Humanitarianisme menuju Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Sebagaimana yang dijelaskan diatas, pandangan humanitarianisme


merupakan inti dari pemikiran Gus Dur yang memberikan apresiasi yang luas
terhadap segala hal yang baik dalam kehidupan manusia yang dikemukakan tanpa
memandang latarbelakang kultur, agama dan etnis. Dari pandangan ini kemudian
Gus Dur berupaya membangun Islam substantif yang jauh dari persoalan
formalisasi, beberapa pemikiran Gus Dur yang diantaranya adalah:

14
1. Pribumisasi Islam dan bukan Arabisasi

Menurut Gus Dur, istilah pribumisasi Islam merupakan rekonsiliasi Islam


dengan budaya-budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak hilang. Disini
pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari
polarisasi antara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi Islam bukanlah
upaya untuk mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, juga bukan
jawanisasi atau sinkretisme Islam. Tetapi pribumisasi Islam disini adalah
mempertimbangkan kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum
agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Dalam hal ini bukannya meninggalkan
norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-
kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh
variasi pemahaman nash (pemahaman terhadap nash yang dikaitkan dengan
masalah-masalah di negeri kita), dengan tetap memberikan peranan kepada ushul
fiqh dan qaidah fiqh18.

Proses pribumisasi ini, menurut Abdurrahman sebagaimana yang dikutip


oleh Nur Ikhwan, haruslah pada kerangka weltanschauung Islam, yakni keadilan,
persamaan dan demokrasi19.

2. NKRI dan bukan negara Islam

Secara tegas dan explisit Gus Dur menyatakan bahwa dia menolak ’ide
pembentukan sebuah negara agama’. Menurut Gus Dur, dalam pandangan Islam
tidak diwajibkan adanya suatu sistem Islam. Hal itu berarti tidak ada keharusan
untuk mendirikan sebuah negara Islam, baik karena tidak adanya pengaturan yang
jelas dalam Quran tentang sistem Islam itu. Terkait dengan adagium yang

18
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im
Soleh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta : P3M, 1989), hlm 81-92

19
Lihat, Moch. Nur Ichwan, Pergumulan Kitab Suci Dalam Konteks Lokal Indonesia:
Menuju Hermeneutika Al-Qur’an Pribumi, Makalah dalam diskusi Kritik Tafsir Pribumi: Analisa
Corak dan Metodologi Tafsir al-Qur’an Indonesia, diselenggarakan oleh BEMJ Tafsir Hadis
fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 25 Mei 2000

15
terkenal dalam Islam La Islama Illa bi Jama’ah wala jama’ah Illa bi Imarah wala
Iramata Illa bi Tha’ah, menurut Gus Dur tidak ada sesutu dalam ungkapan
tersebut yang menunjukkan sebuah sistem Islami. Dengan demikian semua sistem
diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut asal memperjuangkan berlakunya
ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa dan negara20. Karenanya ketika NU
mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak disebutkan
bahwa partai itu adalah Partai Islam, karena NU sejak semula telah menerima
kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah
bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah atau
politisasi terhadap teks keagamaan21.

Sebagaimana yang ditulis oleh Syafi’i Anwar dalam pengantar bukunya


“Islamku Islam Anda Islam kita” sikap Gus Dur yang tegas menolak gagasan
negara Islam didasari oleh pandangannya bahwa Islam tidak mempunyai konsep
yang jelas tentang negara. Gus Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah
mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara Islam. Dasar yang dipakai
oleh Gus Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang
jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan22. Kedua, besarnya negara yang
diidealisasikan oleh Islam juga tidak jelas ukurannya. Nabi Muhammad Saw
meninggalkan Madinah tanpa kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum
muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat
mendunia dalam konteks negara-bangsa (nation state), ataukan hanya negara-kota
(city-state).

20
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda Islam kita....hlm 99 dan 6-7

21
Ibid., hlm 5-7; 84; 100-102; 106 – 110; 307-308). 26
22
Dalam sejarah pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Saw, ketika Nabi Saw
wafat dan digantikan oleh Abu Bakar, pemilihan Abu Bakar dilakukan melaui bai’at oleh para
kepala suku dan wakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Setelah Abu Bakar wafat,
pergantian posisi peimpin oleh Umar bin Khattab dilakukan dengan penunjukan sebelum Abu
Bakar wafat. Dari Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan dilakukan dengan penunjukan oleh para
dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Kemudian dari Ustman bin Affan digantikan oleh Ali bin
Abi Thalib, dimana pada saat itu Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk
menggantikan Ali. Kemudian sistem ini menjadi acuan sistem kerajaan yang menurunkan calon-
calon raja dalam sejarah Islam. Ibid., hlm xvi-xvii

16
Oleh karena itu, dengan paradigma Islam substantifnya, Gus Dur secara
tegas dan jelas menolak terhadap formalisasi, ideologisasi dan syariatisasi Islam.
Bagi Gus Dur, formalisasi atau mewujudkan sistem Islam bukanlah syarat untuk
menjadikan seseorang sebagai muslim yang baik23. Sedangkan ideologisasi
Islam menurut Gus Dur tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia
yang moderat. Ideologisasi Islam juga akan mendorong umat Islam mudah
mlakukan upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan
radikal terhadap teks-teks keagamaan.

Dari sini kemudian Gus Dur menyatakan bahwa NKRI merupakan “harga
mati” bagi masyarakat Indonesia, karena di dalam NKRI dan pancasila sebagai
dasar negara menampung semua aspirasi rakyat Indonesia yang pluralistik secara
agama, suku, etnis.

3. Pluralisme

Pandangan humanitarianisme ini juga mengantarkan Gus Dur kepada


pandangan tentang pluralisme24. Dia tidak hanya mengakui eksistensi pluralitas
(co-existence), tetapi juga mendukung eksistensi pluralitas (pro-existence).
Perhatiannya terhadap pluralisme membuat Gus Dur mempunyai sikap
keagamaan yang inklusif, dimana dia tidak hanya memperjuangkan kepentingan
umat Islam saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas yang heterogen.
Pandangan inilah yang menyebabkan Gus Dur berseberangan tokoh-tokoh Islam
yang lain dan dikenal sebagai tokoh Islam yang liberal dan progresif.

Gus Dur menyadari bahwa Islam sebagai agama Wahyu itu dihayati dalam
konteks pribadi, baik religius maupun sosial dan budaya yang unik. Gus Dur
sangat menghargai penghayatan Islam sesamanya yang lain, yang berbeda dari

23
Karena dalam pandangan Gus Dur untuk menjadi muslim yang baik seseorang perlu
menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan rukun Islam, menolong mereka yang
membutuhkan pertolongan, menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar menghadapi cobaan
dan ujian. Ibid
24
Pluralisme adalah gagasan atau pandangan yang mengakui adanya hal-hal yang sifatnya
banyak dan berbeda-beda (heterogen) dalam suatu masyarakat.

17
penghayatan Islam pribadinya. Sikap inilah yang bakal menjadi buaian bagi
toleransi dan pengakuan akan pluralitas Islam itu sendiri dan pluralitas agama
serta kepercayaan lainnya didalam masyarakat dunia dewasa ini.

Selain berapresiasi terhadap pluralitas pemahaman dan penghayatan Islam


yang lain, Gus Dur juga mengapresiasi pluralitas agama-agama di dunia dengan
respeknya terhadap kebebasan beragama, sebagaimana diamanatkan dalam
beberapa ayat Quran: Lakum dinukum wa liya dini // bagimu agamamu, bagiku
agamaku (bdk. Q.2, 256; 8, 29; 14, 4; 28,56). Karena menurut Gus Dur toleransi
dan respek terhadap kebebasan beragama itu merupakan salah satu amanat dasar
dalam Quran, sebagaimana ditegaskan pula dalam Q.21, 107: ”Tiadalah Ku-utus
engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat
manusia // wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li al-’aalamiin”.25

Penutup

Dari apa yang telah dijelaskan diatas, maka Gus Dur tidak hanya menjadi
tokoh HAM yang sangat berpengaruh baik dari sisi pemikiran maupun tindakan-
tindakannya yang selalu berpihak pada kaum lemah dan marjinal. Gus Dur juga
telah menginspirasi adanya pergeseran teologi dari teologi langit ke teologi praktis
dengan implementasi dari membela Tuhan menjadi membela manusia, dari
mengabdi kepada kekuasaan menjadi membela yang lemah dan tertindas, dari
tunggal ke plural, dari teologi eksklusif menuju teologi inklusif. Dengan demikian
maka upaya penegakan HAM, demokratisasi, keadilan, toleransi dan solidaritas
kemanusiaan, sebenarnya telah ada dalam prinsip-prinsip dasar Islam yang sudah
seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan umatnya. Sehingga Islam tidak lagi
menjadi agama dengan mental sebagaimana disebut oleh Gus Dur sebagai “mental
banteng” yang harus dipagari dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan
merusak kemurniannya. Mental seperti ini justru merupakan pengakuan
terselubung akan kelemahan Islam. Karenanya menurut Gus Dur sudah
seharusnya Islam menjadi agama yang terbuka dan dinamis sesuai dengan

25
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita....hlm 78

18
perkembangan zamannya. Dengan sikap beragama yang inklusif dan terbukalah
Islam akan menjadi agama yang rahmatan lil Alamin.

Daftar Bacaan

Adam, Asvi Warman, Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi pelaku dan


peristiwa, Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2009.

Bakri, Syamsul dan mudhofir, Jombang Kairo Jombang Chicago: Sintesis


pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia,
Solo : Tiga Serangkai, 2004

Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman


Wahid, Yogyakarta: LkiS, 2008.

Nur Ichwan, Moch, Pergumulan Kitab Suci Dalam Konteks Lokal Indonesia:
Menuju Hermeneutika Al-Qur’an Pribumi, Makalah dalam diskusi Kritik
Tafsir Pribumi: Analisa Corak dan Metodologi Tafsir al-Qur’an Indonesia,
diselenggarakan oleh BEMJ Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, tanggal 25 Mei 2000

Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat


negara demokrasi, Jakarta: the Wahid Institute, 2006

-----------------------------, Tuhan Tidak Perlu dibela, Yogyakarta : LkiS, 2000

-----------------------------, Prima Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta : LkiS, 2000

------------------------------, Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari dan Abdul


Mun’im Soleh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta : P3M, 1989

-----------------------------, Membangun Demokrasi, Bandung : Rosda, 2000

http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=892&sid=735255e9179b4378c757ed4
301a6635b

http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/30/gus-dur-selamat-jalan-pahlawan-
demokrasi-dan-pluralisme/

Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia, dalam


Http://Emperordeva.Wordpress.Com/About/Sejarah-Hak-Asasi-Manusia/

Majalah Dunia Tenaga Kerja Indonesia, Edisi 17, tahun III, Maret 2010

19
20

Anda mungkin juga menyukai