Anda di halaman 1dari 5

Biografi Singkat Gus Dur atau KH.

Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memiliki nama lengkap Abdurrahman
ad-Dakhil. Secara etimologi, ad-Dakhil berarti sang penakluk. Namun dikarenakan nama ad-
Dakhil tidak begitu dikenal, maka diganti dengan nama Abdurrahman Wahid. Sebutan Gus
Dur dikarenakan lahir di lingkungan pesantren. Gus Dur merupakan putra pertama dari enam
bersaudara. Ayahnya bernama KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari KH. Hasyim
Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia dan sekaligus pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Ibunya bernama Hj. Sholehah merupakan putri Kh. Bisri Syansuri pendiri Pesantren
Denanyar Jombang, Jawa Timur. Kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari sanad
ibunya merupakan Rais ‘Aam di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai
pengganti posisi KH. Wahab Chasbullah.Tahun 1949, ayah Gus Dur diangkat menjadi kepala
Menteri Agama pertama sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta untuk
memasuki suasana yang baru. Setelah kepindahannya di Jakarta, berbagai tamu dari berbagai
kalangan bertamu ke kediaman Wahid Hasyim. Hal itu menjadikan Gus Dur menambah
pengalaman untuk mengenal dunia politik.

Sejak kecil Gus Dur sudah terlihat memiliki kesadaran penuh untuk mengemban tanggung
jawab terhadap Nahdlatul Ulama (NU). Sekitar bulan April  tahun 1953, Gus Dur Bersama
ayahnya berangkat ke Sumedang, Jawa Barat untuk menghadiri pertemuan Nahdlatul Ulama
(NU) dengan mengendarai mobil, akan tetapi di tengah perjalanan mengalami kecelakaan
yang mengakibatkan ayahnya meninggal.

Riwayat Pendidikan Gus Dur – KH. Abdurrahman Wahid

Setelah lulus dari Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1953, Gus Dur dikirim oleh orang tuanya
untuk belajar di Yogyakarta. Untuk masuk ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP)
Gowongan, sekaligus menetap di Pesantren Krapyak. SMEP merupakan sekolah formal yang
dikelola oleh Gereja Katolik Roma. Sekolah tersebut banyak menggunakan kurikulum yang
sekuler, dan dari sekolah tersebut Gus Dur pertama kali belajar bahasa Inggris. Karena Gus
Dur merasa kurang leluasa aktivitasnya selama berada dalam dunia pesantren, akhirnya Gus
Dur meminta pindah ke kota dan menetap di Rumah H. Junaedi yang merupakan salah
seorang pimpinan lokal Muhammadiyah sekaligus orang yang sangat berpengaruh di SMEP.

Untuk meningkatkan belajar Bahasa Inggris, Gus Dur tidak hanya sebatas memahami buku-
buku
yang berbahasa Inggris. Akan tetapi berusaha menggali informasi dari berbagai mancanegara
dan aktif mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London.

Tamat dari sekolah tersebut Gus Dur melanjutkan Pendidikan ke pesantren Tegalrejo,
Magelang, Jawa Tengah pimpinan KH. Chaudhary. Gus Dur pun dikenal dengan ritual-ritual
sufi yang mistik dengan bimbingan kiainya. Dari situlah Gus dur sering melakukan ziarah ke
kuburan-kuburan para wali yang keramat di Pulau Jawa. Pada saat di pesantren, Gus Dur
tidak pernah lupa membawa koleksi-koleksi bukunya sehingga

Di Pesantren Tambak Beras, Gus Dur menjadi ustad sekaligus menjadi ketua keamanan di
Pesantren milik pamannya yaitu KH. Abdul Fatah. Saat usianya 22 tahun, Gus Dur berangkat
menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuju Mesir untuk melanjutkan
studi di Universitas al-Azhar.

Setibanya di Mesir, Gus Dur merasa kecewa karena tidak dapat langsung melanjutkan ke
kampus Al-Azhar karena harus masuk ke Madrasah Aliyah dahulu. Di luar kegiatan kampus,
Gus Dur antusias untuk mengunjungi makam keramat para wali seperti: Syeikh Abdul Qadir
Jaelani, pendiri Jamaah Tarekat Qadiriyah dan Gus Dur pun banyak mendalami ajaran Imam
Junaid Al-Baghdadi yang merupakan pendiri aliran tasawuf yang banyak diikuti oleh jamaah
NU.

Akhirnya Gus Dur menetap di Belanda selama 6 bulan, sekaligus mendirikan suatu
perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di daratan Eropa.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama di perantauan, dalam sebulan Gus Dur dua kali
pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai cleaning service kapal tanker dan Gus Dur pun
sempat pergi ke McGill University of Canada untuk memperdalam kajian keislaman.

Kemudian Gus Dur kembali ke Indonesia setelah terilhami sebuah berita tentang
perkembangan dunia pesantren dan perjalanan studinya berakhir pada 1971. Kemudian
kembali ke Jawa dan memulai kehidupan baru sekaligus menjadi perjalanan awal karirnya.

Semangat belajar Gus Dur tidak pernah surut. Tahun 1979, Gus Dur ditawari untuk
menempuh pendidikan di Australia untuk mendapatkan gelar doktor, namun hal tersebut
tidak bisa dipenuhi oleh Gus Dur. Gus Dur merupakan sosok yang gemar membaca dan
sangat aktif memanfaatkan perpustakaan milik ayahnya dan sering berkunjung ke
perpustakaan umum di Jakarta.

Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4

Setelah jatuhnya era Soeharto, banyak partai politik baru terbentuk. Pada Juni 1998, banyak
orang dari komunitas NU berharap pada Gus Dur untuk membentuk parti politik. Pada Juli
1998, Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena menyadari bahwa partai politik
merupakan satu-satunya cara untuk berjuang di dunia politik (pemerintahan). Gus Dur
akhirnya menyetujui pembentukan parpol yang kemudian diberi nama PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa). Beliau menjabat menjadi Ketua Dewan Penasihat.

Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandiat pemilihan
presiden. Kemudian pada Juni 1999 partai PKB beraliansi dengan PDIP dikarenakan tidak
memiliki kursi mayoritas penuh. Pada Juli, Amin Rais membentuk poros tengah yang berisi
partai-partai politik muslim. Poros tengah ini mencalonkan Gus Dur sebagai kandidat ketiga
pada pemilihan presiden. Hal ini tentu saja merubah komitmen terhadap PDI-P.

Pada 7 Oktober 1999, Gus Dur secara resmi dinyatakan sebagai calon presiden oleh Poros
Tengah.

Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur
dari pemilihan presiden.

Kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali
berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai
Presiden

Beberapa Gagasan dan Pemikiran Gus Dur

1. Buku Bunga Rampai Pesantren, Salah Satu Karya Gus Dur

Pada buku ini Gus Dur menunjukkan rasa optimisnya bahwa pesantren dengan ciri-ciri
dasarnya memiliki kemampuan yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat
terutama pada kaum tertindas dan termarjinalkan.

Bahkan dengan kemampuan fleksibelnya, pesantren dapat mengambil peran yang signifikan,
bukan saja dalam wacana keagamaan tetapi juga dalam setting sosial budaya bahkan politik
dan ideologi.

Peran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang demikian tersebut diakui oleh Martin Van
Bruinessen yang mengatakan bahwa kaum tradisionalis termasuk pesantren yang terdapat di
negara berkembang adalah kelompok yang resisten dan mengancam modernisasi.

Pernyataan Van yang demikian itu sudah tampak sejak Kemerdekaan Republik Indonesia
hingga sekarang. Dengan berbagai bentuk dan dinamikanya sendiri, di mana santri-santri
tradisional tampil di permukaan.

Peta perpolitikan pada tahun 2004, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, ditandai
dengan adanya peran yang dilakukan kelompok santri dengan tingkat yang sangat signifikan.

Seperti contoh tokoh berikut, Salahuddin Wahid sebagai wakil presiden mendampingi
Wiranto, dan Jusuf Kalla mendampingi Susilo Yudhoyono. Hal ini membuktikan peran
politik dan ideologi yang signifikan telah dimainkan kaum santri yang berbasis pada
Pendidikan pesantren.

Namun perlu diperhatikan bahwa pesantren zaman sekarang dilihat dari segi ruang
lingkungan program dna organisasi kelembagaan sudah tidak sama lagi sepenuhnya dengan
model pesantren klasik.

Melihat dinamika sistem pendidikan di pesantren, tidak heran jika alumni pesantren sudah
dapat melakukan berbagai peran yang demikian besar dalam konstelasi politik, ekonomi,
pendidikan, seni, keagamaan, dan bidang-bidang lainnya.
Lahirnya dinamika pesantren yang sedemikian rupa tersebut tidak lepas dari gagasan
modernisasi dan dinamisasi pesantren. Gus Dur menginginkan terjadinya proses penggalakan
kembali nilai-nilai positif yang telah ada dan melakukan pergantian nilai-nilai lama yang
tidak relevan lagi dengan nilai-nilai baru yang lebih relevan serta dianggap lebih baik untuk
menjaga eksistensi pesantren.

Gus Dur juga menyinggung mengenai terjadinya kekacauan dalam sistem pendidikan
pesantren. Menurut Gus Dur kekacauan ini disebabkan dua hal.

Pertama, sebagai refleksi dari kekacauan yang terjadi secara umum di masyarakat Indonesia,
sebagaimana masyarakat yang mengalami transisi.

Kedua, munculnya kesadaran bahwa kapasitas pesantren dalam menghadapi tantangan


modernitas hamper tidak memadai karena unsur strukturalnya mandek sehingga berakibat
tidak

Kedua hal tersebut menggambarkan ketidakberdayaan pesantren yang menunjukkan bahwa


pesantren tidak memiliki pimpinan yang efektif yang didukung oleh semua pihak.

Kurangnya tokoh yang dapat dijadikan panutan pada tingkat nasional, selain menyebabkan
terjadinya polarisasi sosial politik yang melanda umat Islam juga telah mempengaruhi watak
kepemimpinan pesantren yang selama ini ditopang oleh kekuatan moral.

Menurut hemat Gus Dur, hal ini pada gilirannya telah menyebabkan tidak munculnya
pemimpin yang efektif. Sebagai solusi, Gus Dur mengajukan gagasan tentang perlunya
membangun komitmen untuk mencari jalan tengah yaitu jalan yang mengimbangi tradisi
agama dan tuntutan praktis yang muncul sebagai akibat terjadinya modernisasi dan kemajuan
zaman.

Gus Dur menginginkan pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan agama,
melainkan juga lembaga yang mampu memberikan sumbangan yang berarti serta
membangun sistem nilai dan kerangka moral pada individu dan masyarakat.

Gus Dur sangat yakin bahwa pesantren mempunyai potensi yang kuat untuk mewujudkan
masyarakat madani. Temukan cerita lebih lengkapnya pada buku Gus Dur Kh Abdurrahman
Wahid: Biografi Singkat 1940 – 2020.

2. Tradisi keilmuan Pesantren Fiqih Sufistik

Tradisi keilmuan di pesantren yang bersifat fiqih sufistik menurut Gus Dur terbentuk dan
bersumber pada gelombang pertama pengetahuan Islam yang datang ke kawasan nusantara
pada masa abad ke 13 Masehi.

Disebut fiqih sufistik karena corak dan karakter Islam pertama kali masuk Indonesia lebih
menekankan konsep tauhid dan pengamalan-pengamalan ilmu syariah secara sufisme, hal ini
dikarenakan tidak bisa lepasnya pengaruh proses penyebaran Islam pada negara ini melalui
Persia dan anak benua India yang dalam beragama lebih menekankan pada orientasi tasawuf.

Selain itu, juga karena adanya kesamaaan antar pemikiran sufisme para penyebar Islam ke
Nusantara dengan watak mistik masyarakat Indonesia pra Islam (animisme-dinamisme).
Hal ini dapat ditemukan dari beberapa literatur pesantren seperti buku-buku tasawuf dengan
menggabungkan fikih dan amalan-amalan akhlak dijadikan bahan pelajaran utama seperti
kitab Hidayah al-Hidayah dari Imam al Ghazali yang merupakan karya fiqih sufistik paling
menonjol dalam berabad-abad hingga saat ini.

Selain itu, terdapat pula buku yang mementingkan pendalaman akhlak dalam bentuk
pengamalan secara tuntas dan pendalaman secara sufistik kepada ranah kehidupan (Syarh al
Hikam karya Ibnu Atha’illah al-Iskandary).

3. Akar tradisi keilmuan di pesantren bersumber pada pengiriman anak-anak muda


dari Kawasan Nusantara untuk belajar di Timur Tengah

Akar tradisi keilmuan di pesantren yang bersumber pada pengiriman anak-anak muda dari
daerah Indonesia untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya mereka menghasilkan korp
ulama yang tangguh dan mendalami ilmu agama di semenanjung Arab, terutama Makah.

Dari sinilah lahir ulama-ulama besar seperti Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, Kiai Kholil
Bangkalan, Kiai Nawawi Banten, dan masih banyak ulama lagi yang kemudian mendirikan
pesantren di Indonesia.

Dalam hal ini Gus Dur ingin membuka fakta yang hari ini terjadi serius dalam dunia
keilmuan pesantren, yaitu sebuah akar tradisi keilmuan yang mencoba mengaktualisasikan
Al-Qur’an dan hadits dengan perangkat pemahaman yang serba memiliki konsep.

Sekaligus di sisi lain para ilmuwan tersebut masih berpegang teguh pada normativitas ritual
agama yang telah ada secara turun temurun. Inilah yang disebut Gus Dur sebagai ilmuwan
humanis yang sholeh.

Anda mungkin juga menyukai