Agama : Islam
Satuan : Infanteri
Pendidikan umum tertinggi ditempuh Katamso pada Mulo (Meer liigebreid Lager
Onderwijs, Sekolah Menengah Pertama sekarang). la tidak sempat melanjutkan ke tingkat yang
lebih tinggi, sebab setelah selesai dari MULO, Jepang sudah menduduki Indonesia.
Dalam Zaman Jepang Katamso mengikuti pendidikan tentara Peta Pembela Tanah Air)
Selesai pendidikan ini Ia diangkat menjadi Budanco (komandan regu) pada Dai II Daidan
(Batalyon 2) di Sala. setahun kemudian Desember 1994 pangkat dinaikkan menjadi syodanco
(komandan peleton). Ia tetap berkedudukan di Sala.
Setelah Katamso memperoleh kenaikkan pangkat menjadi mayor dalam tahun 1955,
beliau diserahi jabatan sebagai Wakil Komandan Batalyon 441 Resimen Infanteri 13. Dari
Batalyon 441 Ia kemudian dipindahkan ke Batalyon 439 dan Batalyon 436. Jabatan lain yang
pernah dipangkunya ialah sebagai perwira staf pada Staf Tentorium IV. Dalam tahun 1957
Katamso memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Seskoad (Sekolah Staf dan
Komando Angkatan Darat) Angkatan ke-6 di Bandung.
Pada tahun itu negara kembali dirongrong oleh bahaya perpecahan. Di Sumatera dan
Sulawesi muncul dewan-dewan daerah yang pada mulanya berjuang untuk pembangunan
daerah masing-masing. Tetapi dewan-dewan daerah ini cepat pula dipengaruhi oleh tokoh
politik yang tidak puas terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat. Dengan memperalat dewan-
dewan daerah yang umumnya dipimpin oleh anggota Angkatan Darat. Golongan politisi
mendirikan pemerintah tandingan. Dalam bulan Februari 1958 di Padang, Sumatra Barat
diproklamasikan pembentukan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Langkah
Padang ini segera diikuti oleh Sulawesi Utara dengan memproklamasikan berdirinya Permesta
(Perjuangan Rakyat Semesta). PRRI/Permesta tidak mengakui pemerintahan yang dipimpin
oleh Presiden Sukarno.
Gerakan yang muncul di Sumatra dan Sulawesi Utara itu mengancam kesatuan negara.
Karena itulah akhirnya setelah jalan musyawarah gagal pemerintah memutuskan untuk
menjalankan operasi militer. Untuk daerah Sumatera dilancarkan operasi gabungan yang
disebut Operasi 17 Agustus dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Mayor Katamso yang
baru saja menyelesaikan pendidikan Seskoad dipercaya untuk memimpin Batalyon A Operasi
17 Agustus. Dalam waktu singkat pusat-pusat PRRI berhasil di kuasai namun disana-sini sisa
pasukan PRRI masih mengadakan gangguan keamanan.
Dari Pusdiki Bandung Ia ditarik kembali ke Jawa Tengah setelah sekian lamanya daerah
ini ditinggalkannya. Sejak 1 Agustus 1963 Katamso diangkat sebagai perwira diperbantukan
pada Kodam VII/Diponegoro. Empat bulan kemudian Ia dilantik sebagai Komandan Resort
Militer (Korem) 072 / Pamungkas Kodam VII / Diponegoro. Dalam jabatan yang baru itu ia
berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan daerah kekuasaannya meliputi Yogyakarta dan Kedu.
Bagi Katamso, daerah ini bukan merupakan daerah yang asing.
Katamso yang juga menyadari adanya ancaman PKI, berusaha membina masyarakat
sebaik-baiknya, ia melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang
dalam keadaan sangat parah akibat tekanan ekonomi. Pada waktu memegang jabatan Ketua
POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru) SMA Negeri I (Teladan) Yogyakarta. Katamso
berusaha membantu kehidupan para guru. orangtua murid dianjurkannya memberikan
sumbangan untuk kepentingan guru-guru, agar mereka dapat memberikan pelajaran
sebagaimana mestinya. Berkat adanya saling pengertian yang baik antara Katamso dan para
orangtua murid, berhasil diadakan perbaikan bangunan sekolah, bahkan ada pula gedung baru
yang dibangun.
Latihan militer yang diberikan kepada anggota Resimen Mahasiswa ialah latihan
setingkat Kompi. Dengan demikian Katamso mengharapkan sewaktu-waktu diperlukan para
mahasiswa ini sudah akan mampu memimpin sebuah kompi. Latihan pertama dilakukan
terhadap mahasiswa Yogyakarta, bila ini berhasil latihan yang sama akan dilakukan pula
terhadap mahasiswa-mahasiswa lain.
Namun rencananya terhalang oleh pemberontakan PKI Tanggal 1 Oktober 1965. Radio
Republik Indonesia (RRI) Jakarta yang sudah di kuasai oleh PKI mengumumkan terbentuknya
Dewan Revolusi. Di malam menjelang pemberontakan, PKI sudah memulai gerakannya dan
dinihari tanggal 1 Oktober mereka menculik serta membunuh beberapa orang pejabat teras
Angkatan Darat sebagai langkah pertama untuk merebut kekuasaan negara.
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 suasana Yogyakarta kelihatan biasa saja, walaupun
sudah ada beberapa pengumuman dari RRI Jakarta. Tetapi semakin siang suasana semakin tak
menentu. Di beberapa tempat bermunculan pelakat-pelakat dan selebaran gelap yang bernada
menyokong gerakan yang dilancarkan PKI di Jakarta Masyarakat masih bertanya-tanya apa
sesungguhnya yang terjadi, mengapa RRl Jakarta mengumumkan adanya Dewan Revolusi.
Pada saat masyarakat kecuali orang-orang PKI masih diliputi keraguan, maka PKI telah
menyiapkan rencana untuk merebut kekuasaan di Yogyakarta. Untuk memudahkan perebutan
kekuasaan itu, sasaran pertama mereka ialah membunuh Kolonel Katamso.
Sore hari tanggal 1 Oktober 1965 Kolonel Katamso baru saja kembali dari Magelang Ia
sudah mendengar berita tentang Dewan Revolusi. Setibanya di Yogya kepadanya disodorkan
Pembunuhan atas diri Kolonel Katamso dilakukan malam hari tanggal 2 Oktober 1965.
Ia dibawa dengan mobil dari tempat tahanannya ke suatu tempat di desa Kentungan itu juga
baru saja melangkah beberapa meter setelah turun dari kendaraan ia diserang dari belakang. Ia
dipukul dengan kunci mortir 8 Katamso jatuh tersungkur, sesudah itu menyusul keberapa
pukulan lagi. Katamso tewas pada saat itu juga. Mayatnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang
yang sudah disiapkan. Ke dalam lubang itu pula mereka memasukkan korban lainnya yakni
Letnan Kolonel Sugiyono.
Peristiwa yang terjadi di Korem 072/ dilaporkan kepada Pangdam VII/ Diponegoro.
Brigjen Suryosumpeno. la menunjuk Kolonel Widodo sebagai caretaker Komandan Resimen
072 sebab nasib Kolonel Katamso belum di ketahui Kolonel Widodo memerintahkan supaya
Kolonel Katamso dicari. Walaupun sudah dicari selama beberapa hari, namun tidak berhasil.
Barulah pada tanggal 21 Oktober 1965 team pencari yang sedang meneliti didaerah sekitar
komplek asrama di Kentungan, tertarik melihat sekelompok tanaman yang tampaknya masih
baru, sedang tanaman di sekelilingnya semuanya sudah tua. Kecurigaan mulai timbul Anggota
pencari menusukkan tongkatnya ke dalam tanah yang masih lunak. Ujung tongkat beradu
dengan sebuah benda. Tempat yang dicurigai itu langsung digali, dan bau busuk menyengat
hidung. Di tempat itulah ditemukan jenazah Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono.
Keesokan harinya jenazah kedua orang perwira itu di makamkan di Taman Makam Pahlawan
Kusumanegara di Yogyakarta.