Anda di halaman 1dari 17

Perang melawan Hegemoni dan keserakahan

Kongsi dagang
“PERLAWANAN ACEH VS PORTUGIS DAN VOC”

O
L
E
H

Nama : Putri nurhaliza adam


Kelas : 2 Mipa 1
Nis : 420301
Mapel : sejarah

SMAN 4 BANTAENG
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan


manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca. Terima kasih.
DAFTAR ISI
Kata pengantar...........................................................................
Daftar isi......................................................................................
Bab I : Pendahuluan.....................................................................
1.1 latar belakang................................................................
1.2 rumusan masalah..........................................................
Bab II : Pembahasan....................................................................
2.1 latar belakang terjadinya perlawanan...........................
2.2 tokoh-tokoh perlawanan..............................................
2.3 proses perlawanan........................................................
2.4 akhir perlawanan..........................................................
Bab III : Penutup.........................................................................
Kesimpulan.........................................................................
Bab I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Berdasarkan posisi geografisnya Aceh berada di pintu gerbang
masuk wilayah Indonesia bagian barat. Karena letaknya berada pada
pantai selat Malaka, maka daerah ini penting pula dilihat sebagai jalur
perdagangan Internasional, Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang
serta hasil hutan. oleh karena itu, banyak bangsa asing berambisi untuk
menduduki daerah ini, dan membawa dampak Aceh banyak didatangi oleh
berbagai bangsa Asing dengan bermacam motif dan kepentingan baik
politis, maupun ekonomis. Bangsa Asing yang menduduki Aceh pada
tahun 1511 adalah Portugis, sehingga kedudukan Aceh terancam, dan
Portugis mendapat perlawanan dari Rakyat Aceh dan berusaha mengusir
Portugis dari Malaka.
Bangsa lain yang bermaksud menancapkan kekuasaanya di Aceh
adalah Belanda (VOC), rintisan pemakluman perang aceh oleh belanda
diumumkan oleh komisaris pemerintah yang merangkap wakil presiden
Dewan Hindia belanda F.N. Nieuwenhuizen, diawali dengan
penandatanganan Traktat Sumatera antara Belanda dan Inggris dalam
tahun 1871, yang antara lain “memberi kebebasan kepada Belanda untuk
memperluas kekuasaannya di pulau Sumatera” sehingga tidak ada
kewajiban lagi bagi belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh
yan sebelumnya telah diakui, baik oleh Belanda maupun Inggris seperti
yang tercantum di dalam Traktat London yang ditandatangani pada tahun
1824.
Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan
menghadapi serangan Belanda. Sepanjang pantai Aceh Besar di bangun
benteng-benteng untuk memperkuat wilayah. Demikian juga untuk
tempat-tempat yang penting seperti istana raja, Masjid Raya Baiturrahman,
dan gunongan juga diperkuat. Terdapat 3 sekitar 3000 laskar pejuang Aceh
yang bersiaga disepanjang pantai dan 4000 pasukan lain yang menjaga
istana Sultan. Masyarakat Aceh mengobarkan semangat juang untuk
mempertahankan negerinya dari serangan Belanda. Peran Ulama dan
Uleebang dalam perang Aceh juga sangat besar. Karna masyarakat Aceh
sebagian besar adalah pemeluk agama Islam yang kuat sehingga begitu
ulama menyerukan kepada umat untuk perang fisabilillah maka rakyat
Aceh dengan serentak akan menyerahkan jiwa dan raganya untuk berjuang
dijalan Tuhan dan demi mempertahankan negerinya dari serangan
Belanda.

1.2 rumusan masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Apakah latar belakang perlawanan Aceh dalam menentang
Bangsa Portugis dan VOC?
2. Siapa sajakah tokoh yang melakukan perlawanan Aceh?
3.Bagaimana strategi rakyat Aceh dalam melakukan perlawanan?
Bab II
Pembahasan
2.1 latar belakang terjadinya perlawanan
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru
membawa hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang
menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Dengan demikian  perdagangan
di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang
menjadi  bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu
pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman, oleh karena itu,
Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523
Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues,
dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa
serangan Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara
untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal
Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada.
Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut
Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal kapal Portugis untuk
ditangkap. Sudah barang tentu tindakan Portugis telah merampas
kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa
saja, mengadakan hubungan dengan bangsa manapun atas dasar
persamaan. Oleh karena itu, tindakan kapal-kapal Potugis telah mendorong
munculnya perlawanan rakyat Aceh.
Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:
1.  Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan,
meriam dan prajurit
2. Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan
beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567.
3. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan
Jepara.
Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka.
Portugis harus  bertahan mati-matian di Formosa/ Benteng. Portugis harus
mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat
digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik
menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat
digagalkan oleh  pasukan Aceh.
Sementara itu, Portugis mempunyai rencana terhadap Aceh sebagai
berikut :
1. Menghancurkan Aceh dengan jalan mengepungnya selama 3
tahun.
2. Setiap kapal yang berlayar di selat Malaka akan disergap dan
dihancurkan.
Rakyat Aceh dan para pemimpinnya selalu ingin memerangi

kekuatan dan dominasi asing, oleh karena itu, jiwa dan semangat juang

untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa

pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang

mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin

meningkat. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-cita

untuk mengenyahkan penjajahan asing, 11 Pasukan kavaleri dilengkapi

dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga menyiapkan  pasukan


gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan wilayahnya

yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat,

ditempatkan para pengawas di jalur- jalur perdagangan.Para pengawas itu

ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para

pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang. Setelah

mempersiapkan  pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda

melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis

sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara

dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun,

serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.

Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-

bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis

tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil

mengusir Portugis dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari

Malaka adalah VOC pada tahun 1641.

2.2 tokoh-tokoh perlawanan


1. Sultan Iskandar Muda
Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam atau Sultan
Iskandar Muda lahir tahun 1583 di Bandar Aceh Darussalam. Semasa ia
menjadi sultan, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak
kejayaannya. Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh
wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan
Aceh Darussalam.
Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu (1606-
1636 M) dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas
puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan
Islam terbesar di dunia.
Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan makamnya
terletak dalam komplek Kandang Mas di Banda Aceh yang telah pernah
dihancurkan Belanda. Yang ada sekarang ini merupakan duplikatnya hasil
petunjuk Pocut Meurah isteri Sultan Mahmudsyah.
Pemerintah Republik Indonesia mengangkat Sultan Iskandar Muda
sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No.
077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993.

2. Teungku Chik di Tiro

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman lahir di Tiro, Pidie, pada 1


Januari 1836. Ia merupakan seorang ulama Aceh yang berjuang melawan
penjajah Belanda. Ia adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang
Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap
Belanda.
Teungku Chik di Tiro membangkitkan semangat perlawanan rakyat
Aceh dengan berjihad dalam Prang Sabi. Ia gugur pada Januari 1891 di
Aneuk Galong, Aceh Besar. Makamnya terletak di Manggra, Indrapuri,
Aceh Besar. Teungku Chik di Tiro diangkat sebagai Pahlawan Nasional
dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 087/TK/Tahun 1973 tertanggal 6
November 1973.

3. Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Aceh Besar, pada 1848. Ia


adalah istri dari Teuku Umar, yang juga Pahlawan Nasional asal Aceh.
Mereka dikenal sebagai suami istri yang tangguh melawan penjajah
Belanda, terlibat banyak perang.
Setelah Teuku Umar meninggal pada 11 Februari 1899 di Meulaboh, Aceh
Barat, Cut Nyak Dhien terus memimpin pasukan Aceh bergerilya dari
hutan ke hutan.
Setelah bertahun-tahun memimpin perang, kesehatannya menurun
dan penglihatannya mulai kabur. Salah seorang panglimanya, Pang Laot
Ali merasa iba dengan kondisinya, lalu membuat perjanjian dengan
Belanda. Syaratnya, Belanda harus merawat Cut Nyak Dhien.
Dhien dan dibawa ke Banda Aceh. Dalam pengawasan Belanda, Cut Nyak
Dhien masih berkomunikasi dengan para pejuang. Hal ini diketahui
penjajah, lalu mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat pada 1906. Cut
Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908 di pengasingan dalam usia
60 tahun, makamnya terawat baik di Sumedang hingga kini. Sebagai
penghargaan terhadap perjuangan Cut Nyak Dhien, pemerintah
mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 tanggal 2 Mei
1964.
4. Teuku Umar

Teuku Umar lahir di Meulaboh, tahun 1854. Ia merupakan suami


dari Cut Nyak Dhien. Ia punya strategi perang gerilya yang sangat ditakuti
musuh. Teuku Umar pernah berpura-pura bekerjasama dengan Belanda,
lalu melawannya ketika telah mengumpulkan senjata dan uang.
Teuku Umar gugur dalam perlawanan dengan pasukan Belanda,
yang dipimpin Van Heutsz di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, pada 11
Februari 1899. Ia dimakamkan di Desa Mugo Rayuek, Kecamatan Panton
Reu, Kabupaten Aceh Barat.
Teuku Umar diangkat Pahlawan Nasional pada tahun 1955 dengan
Surat Keputusan Presiden Nomor 217/1955.

2.3 proses perlawanan


Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-
persiapan. Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan
sekitar 4.000 oran pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5
april 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R
Kohler melakukan penyerangan terhadap Baiturrahman Aceh. Pada
tanggal 14 april 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak
Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor
Jenderal Kohler. Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak
Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan
istana Sultan Mahmud Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh
pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk
bergabung melawan Belanda.
Tampilan tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng
Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku umar dan isterinya Cut
Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana
kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan
kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu
bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya
lagi secara besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van
Swieten dengan kekuatan 8.000 orang tentara. Pertempuran terus berkobar
lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki
istana kesultanan. Sultan berserta para tokoh pejuang yang lain
meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada
tanggal 28 januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian
digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah.
Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu
Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan
penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Abdurrachman
bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik
penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos belanda.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak
Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang
menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah
Belanda mengirim Dr. Snouckk Hurgnyone (seorang ahli tentang islam)
untuk meneliti soal sosial-budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar
sebagai ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.
Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers
(orang Aceh). Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa
sultan tidak mempunyai kekutaan tanpa persetujuan para kepala di
bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh sangat besar di
kalangan rakyat.
Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh belanda ialah
melakukan politik “de vide et impera” (memecah belah dan
menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan harus
dihadapi dengan kekerasan senjata ; kaum bangsawan dan
keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja
di lingkungan pemerintahan kolonial.
Belanda mulai memikat hati para bangsawan aceh untuk memihak
kepada Belanda. Pada bulan agustus 1983, Teuku umar
menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan kemudian
diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku umar m em i m pi n
250 ora ng pa suka n de nga n pe rse nja ta a n lengkap, namun
kemudian bersekutu dengan panglima polim menghantam Belanda.
Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B Van heutz berhasil memukul
perlawanan Teuku umar dan panglima polim. Teuku umar menyingkir ke aceh
Barat dan panglima polim menyingkir ke aceh timur. Dalam pertempuran di
Meulaboh pada tanggal11 februari 1899 Teuku umar gugur.
Se m e nt a ra it u, pa ngl i ma pol i m da n Sul t a n Muha mm a d
da ud Sya h, m a si h m el a kuka n pe rla wa na n di ac eh Ti m ur.
Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6
september 1903 panglima polim beserta 150 orang parjuritnya
menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap
keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap
SultanMuhammad daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan aceh dipaksa
unt uk m e na nda ta nga ni pla kat pe nde k ya ng i si nya
se ba ga i berikut.
a. aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
b.a c e h t ida k di pe rbol e hka n berhubunga n de nga n
ba ngsa lain selain dengan belanda.
c. aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 aceh telah berada di bawah kekuasaan
pemerintah Belanda.

2.4 akhir perlawanan


Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899,
Belanda mengirim Jenderal Van Heutsz untuk mengadakan serangan
umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga. Serangan umum di Aceh
itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marchausse
(arsose) dengan anggota pasukannya erdiri dari orang-orang Indonesia
yang sudah dilatih oleh Belanda. Pasukan inilah yang benar-benar
telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam
serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi
perlawanan yang sengit, rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Untuk
menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman, Belanda
mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen.
Rakyat Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga
laskar menjadi kocar-kacir dan terpaksa lari mengundurkan diri dari
Medan pertempuran Gerilya.
Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh.
Kemudian Belanda membuat Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-
kerajaan kecil terikat oleh perjanjian ini. Kerajaan-kerajaan kecil itu
tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik diatur oleh
Belanda, sehingga masing-masing kerajan daharuskan untuk:
a. Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
b. Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan
asing
c. Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh
pemerintah Belanda
Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil
atau mengikat kepala-kepala daerah. Pemerintahan Belanda juga
mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya Deli
Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu
perjanjian.
Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan
putra-putra tanah Aceh seperti Teungku Umar, Panglima Polim,
eungki Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku Muhammad
Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh
perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek
[korte verklaring, Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus
ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap &
menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan,
Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia
Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan
kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-
perintah yg ditetapkan Belanda.
Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian
terdahulu yg rumit & panjang dengan para pemimpin setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai Belanda
seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan
terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang
[masyarakat]. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara
& diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].
Bab III
Penutup
Kesimpulan :
1. Perlawanan yang terjadi pada abad ke-16 di berbagai daerah  ditujukan
kepada Portugis, Spanyol dan Belanda. Kemudian perawanan rakyat pada
abad ke 17 dan 18 umumnya ditujukan kepada dominasi kongsi dagang
VOC (Belanda).

2. Perlawanan rakyat  Indonesia dilatarbelakangi karena tidakan


monopoli, keserkahan dan intervensi politik dengan devide et impera dari
pemerintahan kongsi dagang itu.

 3. Perlawanan rakyat Indonesia itu umumnya memang dapat dipatahkan


oleh kekuatan musuh yang sering berlaku licik dan memiliki persenjataan
yang lebih lengkap.

 4. Akibat dominasi pemerintahan kongsi dagang dan kekalahan


perlawanan rakyat  berdampak sebagian besar Kepulauan Indonesia
dikuasai kekuasaan asing terutama VOC.

 5. Perilaku penjajahan itu tidak sesuai dengan fitrah dan hak asasi
manusia maka harus dilawan

Anda mungkin juga menyukai