Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

RIAU MENYERANG PORTUGIS

Nama kelompok :
Tia ayu wulandari
Lola fitaloka
Aldy syahputra
Erwin

SMA 2 RAMBAH HILIR


TP.2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena


hanya dengan rahmat-Nyalah saya akhirnya bisa menyelesaikan tugas kelompok
yang berjudul “Riau Menyerang Protugis” ini dengan baik tepat pada waktunya.

Tidak lupa saya menyampaikan rasa terima kasih kepada guru yang telah
memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam proses
penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak kami ucapkan kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa selesai pada waktu
yang telah ditentukan.

Meskipun saya sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang


penyusunan makalah ini, namun saya menyadari bahwa di dalam tugas individu
yang telah tersusun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan.
Sehingga saya mengharapkan masukan, kritikan serta saran dari semua pihak
agar makalah ini bisa menjadi lebih sempurna dan bermanfaat bagi kita semua,
terima kasih.

Pasir Pengaraian, 04 Oktober 2021

Penulis

i
2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Riau Menyerang Portugis ...............................................................
B. Menyerang Belanda, Inggris, dan Jepang ......................................
C. Mengusir Inggris dan Jepang .........................................................
D. Masyarakat Adat Melawan Penjajah ..............................................

ii
3
BAB I

PENDAHULUAN

Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai


daerah di Nusantara terus dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai Malaka,
VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah
VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau. Kerajaan - kerajaan kecil
seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh pemaksaan
monopoli dan tindakan sewenang-wenang dari VOC. Oleh karena itu, beberapa
kerajaaan mulai melancarkan perlawanan

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riau Menyerang Portugis

Letak geografis dan kecakapan mengelola sumber daya alam dan manusia,
Malaka bangkit sebagai suatu negara kuat maupun makmur pada abad ke-15
setelah Sriwijaya dan Majapahit. Kekuasaan kerajaan yang kini masuk dalam
administratif pemerintahan Malaysia itu, juga meliputi apa yang disebut Provinsi
Riau sekarang, terutama kerajaan Inderagiri dan Gasib
Menurut DGE Hall (?:210), kebesaran Malaka tersebut merebak ke
berbagai penjuru dunia termasuk ke Eropa. Portugis di bawah perintah Alexander
VI cepat mengambil langkah menuju Malaka tanpa hambatan berarti karena
memang memiliki kekuatan laut besar saat itu, tahun 1509. Portugis pada
gilirannya menyerang Malaka 1511 bukan sebagai suatu kebetulan sebagai balas
dendam, tetapi memang sudah direncanakan sejak awal untuk menguasai kawasan
Asia Tenggara yang mereka kenal sebagai kawasan yang kaya dengan rempah-
rempah. Tak pelak lagi, Nusantara memasuki suatu babak lain yakni kolonialisasi
bangsa asing, sampai berabad-abad kemudian antara lain ditandai kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945.
Meskipun Malaka jatuh, Portugis tidak bisa lebih leluasa untuk
mengendali kawasan ini. Sebab, Malaka dan daerah-daerah kekuasaannya tidak
tinggal diam. Sultan Mahmud menyingkir ke Bintan dan Kampar, sambil terus
menggelorakan perjuangan mempertahankan bangsa. “Tetapi bahaya yang lebih
menekan lagi pada mulanya terletak pada masalah kenegaraan di Malaka sendiri.
Di sana Portugis dalam keadaan mempertahankan diri. Negeri tetangganya belum
tertundukkan, sultan-sultan Indonesia bersikap memusuhi, dan Sultan Mahmud
dari Malaka yang lolos ketika ibukotanya jatuh, menjadikan pulau Bintan di selat
Singapura sebagai markas besarnya dan menggunakan kekuatan angkatan lautnya
dalam usaha untuk memotong Malaka dari semua perdagangan dengan
nusantara." (ibid).
Boleh dikatakan, penduduk di kawasan yang dinamakan Riau sekarang ini
merupakan orang awal yang menyerang Portugis di Malaka. Sebagaimana
dikemukakan oleh Suwardi MS (1981/1982), Sultan Husen dari Kerajaan Gasib,
Siak, dan Nara Singa II dari Inderagiri, bergabung dengan kekuatan laskar Melayu
di bawah kendali Hang Nadim di Bintan. Sultan Mahmud mengirim Hang Nadim.
ke Gasib, Bukitbatu, dan Bengkalis, tahun 1512 atau setahun setelah kejatuhan

5
Malaka ke tangan Portugis, untuk mengatur serangan bersama-sama kepada
penjajah.

Hanya dalam hitungan bulan, bukan saja Gasib, Bukitbatu dan Senggoro
(Bengkalis) juga bergabung menjadi satu kekuatan. Dari pesisir Riau mereka
langsung menyerang Malaka, 1512, dengan titik temu di Muar, Johor. Tapi
serangan mereka dapat dipatahkan Portugis di bawah pimpinan Ferneo Peres de
Andrade. Malahan, bangsa asing itu meluru ke kawasan Riau yang dihadang
laskar Melayu dengan gagah berani. Hal ini membuat Portugis balik kanan,
meninggalkan kawasan Riau dengan tangan hampa. Sebaliknya, pasukan dari
berbagai tempat di Riau pesisir tersebut melanjutkan serangan pada tahun 1516
atau empat tahun setelah serangan pertama tadi yang juga berakhir dengan
kegagalan.

Cuma, sekitar empat tahun setelah serangan kedua itu, dari Riau muncul
lagi serangan terhadap Portugis di Malaka yakni tahun 1520. Tak tanggung-
tanggung, Nara Singa II yang menjadi pucuk pimpinan kerajaan itu, langsung
memimpin rakyatnya mengusir Portugis dari Malaka. Pusat kerajaan itu segera
dikepung, diringi dengan perang sosoh atau satu per satu antara laskar. Korban
berjatuhan di antara kedua belah pihak. Tapi Nara Singa Il terpaksa menarik
pasukannya ke Bintan, sebab pengepungan itu menyebabkan saudara-saudara
Melayu mereka di dalam kota kelaparan karena tidak bisa masuknya makanan dari
luar kota. la berancang-ancang akan kembali menyerang Malaka dari Bintan.

Meskipun tidak langsung, setelah pengepungan tersebut, Nara Singa Il


senantiasa mengirimkan pasukannya untuk memperkuat laskar Melayu di Bintan.
Malahan, pada tahun 1527, ia sendiri yang memimpin pasukan untuk mengulangi
penyerangan Portugis di Malaka. Tetapi di tengah jalan ia membatalkan tujuan
tersebut karena mendengar Bintan telah jatuh ke tangan Portugis. Sejalan dengan
itu, Sultan Mahmud, memindahkan pusat pemerintahan sekaligus perlawanannya
ke daerah yang kini bernama Kampar. Merasa di atas angin, Portugis ingin
"mengekalkan" dominasi mereka di Selat Malaka, sebagai selat yang
menghubungkan banyak kawasan strategis. Mereka membumihanguskan pusat-
pusat perlawanan yang terus membara seperti di Gasib, Bukitbatu, dan Bengkalis,
tahun 1537. Tampaknya, usaha jahat tersebut tidak berhasil sepenuhnya. Sebab
ketika Portugis menyerang Aceh tahun 1547, Siak, Bukitbatu, dan Bengkalis,
bangkit kembali dengan menggabungkan diri ke dalam pasukan Aceh untuk
mempertahankan hak sesama saudara mereka atas tanah marwah dan tumpah
darah.

6
B. Menyerang Belanda, Inggris, dan Jepang
Meskipun tak terusir dari kawasan Melayu, Portugis tidak bisa hidup
dengan duduk manis. Dominasi itu akhirnya berpindah tangan kepada Belanda,
juga ditandai dengan kekalahan Portugis di Malaka tahun 1641. Tercatat berbagai
serangan terhadap Belanda dilakukan selama tiga abad dari satu tempat ke tempat
lainnya. Daerah kini yang dinamakan Siak, Inderagiri Hilir, Inderagiri
Hulu,Rokan Hilir, Rokan Hilir, Kampar, Kuansing, Bengkalis, Meranti, Dumai,
Pelalawan, bahkan Pekanbaru, menoreh perlawanan demi perlawanan terhadap
penjajah dengan mengorbankan harta benda, juga darah maupun air mata.
Setidak-tidaknya, tiga kali Belanda dapat diusir dari bumi pertiwi, kemenangan
berada di tangan Riau walaupun kemudian kembali dirampas pihak asing.

Taufik Ikram Jamil, dkk. (2018:) menulis, pada tahun 1759, Raja Mahmud
di Siak yang didampingi panglimanya Said Umar,menyerang Guntung-di muara
Sungai Siak. Mereka berhasil
merampas benteng Belanda yang kemudian mengusir bangsa asing tersebut dari
situ. Tidak lama kemudian, penguasa Siak, Sultan Alamuddin Syah bersama
panglimanya, Muhammad Ali, mengusir Belanda sampai ke Malaka. Tetapi sejak
saat itu, Siak merasa harus memindahkan ibu kota kerajaan dari Mempura ke
Senapelan,karena terus saja dibayang-bayangi ketamakan Belanda. Kelak ibu kota
kerajaan yang baru ini berkembang dan kemudian dikenal dengan nama
Pekanbaru.

Pada waktu bersamaan, orang-orang Melayu Riau di kawasan Selat


Malaka, juga sibuk mengusir Belanda antara lain di bawah pimpinan Raja Haji.
Puncaknya terjadi tahun 1782, dengan mengumpulkan orang-orang di pesisir
timur Sumatra selain di Kepulauan Riau sendiri, meletuslah perang Riau. Wilayah
ini sempat bebas dari Belanda, kemudian Raja Haji mengejar penjajah itu ke
Malaka. Menurut sejarawan, kemenangan ini adalah kemenangan bangsa Asia
Tenggara terhadap satu dari empat bangsa di dunia yang waktu itu memiliki
armada laut terkuat yakni Belanda. Tapi akhirnya Raja Haji tewas dalam
pertempuran dengan Belanda di Malaka, 1784 (ibid).

Selama 19 tahun (1820-1839), Belanda harus pusing keliling menghadapi


serangan Tuanku Tambusai yang berperang tidak saja di Riau sekarang, tetapi
juga di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Keberanian Tuanku Tambusai yang
bernama asli Muhamad Saleh itu, menyebabkan ia dijuluki dengan sebutan
padriesche tijger van Rokan atau harimau padri dari Rokan. Berbagai cara licik
yang diperankan Belanda untuk menangkap Tuanku Tambusai,

7
misalnya dengan cara berunding dan kemudian menangkapnya, seperti dilakukan
terhadap sejumlah tokoh pejuang lain, tidak berhasil. Ia tak mau diajak berunding
karena tahu niat busuk
Belanda sesungguhnya. Tapi karena memikirkan akan banyak warga biasa
yang menjadi korban, Tuanku Tambusai meninggalkan Riau, menyeberangi Selat
Malaka, kemudian menetap dan sampai wafat di Negeri Sembilan, sekarang di
Malaysia (Mukhtar Lutfi, 1977: 305-309).

Tak sampai satu generasi kemudian, sekitar tahun 1850-an,pertempuran


melawan Belanda digelorakan dari Retih, Inderagiri. Hilir di bawah pimpinan
Panglima Besar Sulong. Hal ini bermula dari tindakan Belanda yang meminta
Panglima Besar Sulong tunduk pada kesultanan Riau-Lingga di bawah pimpinan
Sultan Sulaiman, sementara Panglima Besar Sulong tetap mengaku sultan
Mahmud Muzafar Syah yang dipecat Belanda dan menggantikannya dengan
Sulaiman. Oleh karena pembangkangan dianggap berbahaya bagi Belanda,
penjajah mengirimkan sekitar 300 orang pasukan, menggunakan satu kapal
(paling modern waktu itu), dua penjajab, dan 20-an perahu yang
dipersenjatai.Seluruh rakyat Retih seperti Kotabaru dan Kualapatahparang bersatu
melawan bangsa asing ini, sampai Panglima Besar Sulong sendiri tewas dalam
suatu pertempuran yang hingar-bingar (ibid).

Perlawanan yang mengerikan, diperlihatkan oleh Datuk Tabano dari


Bangkinang, Kampar, sebagai pemimpin perlawanan rakyat Limokoto. Meskipun
dibayang-bayangi kedatangan 1000 orang pasukan Belanda tahun 1898, Datuk
Tabano tidak mau menyerah. Musuh yang mau menangkapnya, ia persilakan
masuk ke dalam rumahnya dengan senjata terhunus. Tetapi sebelumnya, dengan
takzim, ia melantunkan azan, dengan kalimat terakhir "Lailahaillallah..."

Satu per satu pasukan Belanda menaiki rumahnya, beradu senjata dengan
Datuk Tabano. Tetapi satu per satu pula, pasukan Belanda itu tewas. Setelah 10
orang pasukan Belanda tewas, rumah Datuk Tabano telah digenangi darah. Tetapi
ia tidak mau menyerah, sehingga pasukan Belanda makin ganas, dan makin
banyak pula mereka tewas berlumuran darah di dalam rumah Datuk Tabano. Baru
pada orang ke-19, Datuk Tabano dapat dirubuhkan. Darahnya mencucur di atas
tikar rotan akibat tusukan boynet musuh. Tetapi sebelum menghembuskan napas
terakhir, ia masih sempat menyabetkan pedang kepada orang yang membunuhnya
sampai orang tersebut pun tewas (op.cit).

Sebelumnya, Belanda memang mengerahkan sekitar 1.000 pasukannya


menyerang Limokoto. Ini mereka lakukan untuk membalas kekalahan mereka atas

8
masyarakat Limokoto yang dipimpin Datuk Tabano dengan tiga datuk lainnya.
Pada waktu itu, hampir 250 orang pasukan Belanda ditewaskan Limokoto dalam
pertempuran yang diperlihatkan Limokota dengan
kepintaran mengejutkan. Bagaimana tidak. Untuk menyerang Limokoto, Belanda
yang datang dari Pangkalan (kini Sumatra Barat), harus melintasi Sungai Mahat
yang mengalir ke Pulau
Gadang. Masyarakat membangun benteng di sebuah bukit yang bernama
Batudinding, dekat Rantauberangin. Dari bukit inilah, Limokoto,
menggelindingkan kayu dalam jumlah besar ke arah sungai yang dilewati pasukan
Belanda.

Suwardi MS, dkk (1981/1982) menulis, setelah menguasai Limokoto, Belanda


menuju Telukkuantan, melewati Gunungsahilan, Lipatkain, dan Kuntu. Tetapi
dalam perjalanan ini, mereka mendapat perlawanan masyarakat setempat,
menewaskan ratusan pihak penjajah. Berikutnya, tercatat beberapa pertempuran di
Lubukambacang, Lubuktempurung, Lubukjambi, Padangbonai, dan Manggis.
Belanda dapat menguasai Kuantan tahun 1905. Di Rokan, Sultan Zainal Abidin
berperang melawan Belanda pada 1901-1904. Ia menolak bekerjasama dengan
Belanda. La mengirim utusan ke Ipoh (Malaysia) dan Turki meminta bantuan.
Sultan akhirnya ditangkap oleh Belanda di Pasirpengaraian, dibuang ke
Sukamiskin sebelum akhirnya dipenjara di Madiun. Ia meninggal di salah satu
wilayah penting di Jawa tersebut.

C. Mengusir Inggris dan Jepang

Perlawanan masyarakat Melayu Riau, juga amat kelihatan ketika Inggris


dan Jepang berada di kawasan ini. Tercatat pertempuran di Rokan, Bengkalis,
Bukitbatu, dan Siak. Sedangkan perlawanan terhadap Jepang, terutama terjadi di
Enok, Indragiri Hilir, dan Labuhantangga (Rokan Hilir). Di Enok, pertempuran
diawali dengan ketidakmauan masyarakat menyerahkan hasil tanaman mereka
kepada Jepang. Sementara di Labuhantangga, dipicu oleh larangan Jepang
terhadap pelaksanaan takbir dan sholat Idul Fitri tahun 1944. Perlawanan terhadap
Jepang dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan senjata. Di antara
cara itu adalah mogok kerja dan pemboikotan. Mogok kerja ini misalnya,
diperlihatkan buruh-buruh kerja paksa yang membuat jalan Pekanbaru -
Bangkinang. Peristiwa ini berakhir tragis ketika Jepang justru menyiksa buruh
yang ternyata menewaskan ribuan orang.

D. Masyarakat Adat Melawan Penjajah

9
Orang Laut sebagai kelompok yang pernah menjadi musuh Belanda di
laut. Permusuhan antara Belanda dengan Orang Laut terjadi karena penolakan
kerja sama yang direncanakan Belanda dengan Orang Laut. Akibat penolakan
tersebut, Belanda menciptakan isu tentang kejahatan yang dilakukan Orang Laut
terhadap lalu lintas laut. Belanda menuduh Orang Laut sebagai perompak yang
merampas barang-barang bawaan kapal ketika melintas di Selat Malaka.
Fitnah yang dibuat Belanda terhadap Orang Laut bertujuan agar kelompok
Melayu yang lain ikut memusuhi Orang Laut. Tidak hanya itu, bangsa lain yang
melakukan pelayaran di Selat Malaka
juga termakan isu yang dibuat oleh Belanda. Atas fitnah tersebut, kelompok
Orang Laut memerangi Belanda yang bermukim di Bengkalis. Perlawanan Orang
Laut membuat Belanda tidak dapat melakukan berbagai aktivitas ekonomi dan
pemerintahannya.

Selain Orang Laut, kelompok masyarakat Akit juga pernah berperang


melawan Belanda sekitar tahun 1930-1931. Pada masa itu, kerajaan Siak
diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin.
Peristiwa perperangan antara Akit dengan Belanda terjadi di Bengkalis. Tokoh
Koyan, berperan menjadi panglima perang dari kalangan Akit pada masa itu.
Kekuatan pasukan Akit cukup lengkap, yakni laut dan darat. Kemampuan
menguasai medan peperangan membuat Orang Akit mampu memukul mundur
pasukan Belanda.

10
11

Anda mungkin juga menyukai