Anda di halaman 1dari 8

Brigjen (Anumerta) Katamso Darmokusumo adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang

terbunuh dalam peristiwa G.30S/PKI, namun ia tidak mengalaminya bersama para jenderal
lainnya di Jakarta, melainkan di Yogyakarta, sekalipun dalam hari dan peristiwa yang sama.
Selama masa mudanya, beliau menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan tentara Peta di Bogor.
Pasca proklamasi kemerdekaan, beliau mengikuti TKR yang perlahan-lahan berubah menjadi TNI.
Selama masa agresi militer Belanda, pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk
mengusir Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan kedaulatan, beliau diserahi tugas untuk
menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.
Pada tahun 1958, terjadilah peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta waktu itu beliau menjabat
sebagai Komandan Batalyon A Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel
Ahmad Yani.
Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang
berkedudukan di Yogkakarta. Untuk menghadapi kegiatan PKI di daerah Solo, beliau aktif
membina mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa itu diberi pelatihan militer.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, disaat terjadi upaya kudeta oleh Partai Komunis
Indonesia dengan penculikan para jenderal di Jakarta, G.30 S/PKI pun berhasil menguasai RRI
Yogyakarta, Markas Korem 072, dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.
Ketika itu, Katamso menjabat sebagai Komandan Korem (Danrem) 072/Pamungkas dengan
pangkat Kolonel Infanteri. Sementara, Letnan Kolonel R. Sugiyono Mangunwiyoto menjabat
Kepala Staf Korem 072. Pada sore hari, terjadi penculikan Komandan Korem 072 dan Kepala Staf
Korem, dan membawanya ke daerah Kentungan.

Menurut pemandu monument, Malis, bercerita awal mula kejadian Kolonel Katamso diculik oleh
anggota Batalyon 403, yang dulu bernama Batalyon L, dari kediamannya. Katamso dibawa ke
Markas Komando Batalyon L, yang terletak di belakang Monumen Pancasila.

"Dulu di sini (monumen) hutan dan rawa. Penculik sudah membuat lubang. Brigjen Katamso
dibawa pakai mobil Gas yang berbentuk seperti jip. Saat diturunkan di sini, ia lalu dipukul kunci
mortir 8 dari belakang dan langsung jatuh tersungkur. Tubuhnya kemudian dimasukkan ke
lubang," ujar Malis.

Namun, ternyata dia masih hidup. Pelaku yang diduga anggota PKI lalu melempari batu besar ke
tubuh yang tergolek lemas di dalam lubang hingga nyawa Katamso terlepas dari raga.

"Setelah itu gantian Pak Kolonel Giyono dimasukkan ke sini setelah sebelumnya disiksa. Satu
lubang terisi dua orang dengan posisi kaki keduanya hampir bertemu," jelas pria yang sudah
bertugas menjaga Monumen Pahlawan Pancasila sejak tahun 2009 ini.

Untuk menghilangkan jejak, pelaku menutup lubang dengan tanaman ubi. Jasad keduanya baru
ditemukan 20 hari kemudian dalam keadaan rusak, setelah dilakukan pencarian secara besar-
besaran, yakni tanggal 21 Oktober 1965. Pada tanggal 22 Oktober 1965 beliau dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta.

---------------------------------------------------------

Katamso Dharmokusumo dilahirkan tanggal 5 Februari 1923 di Sragen, Surakarta Jawa Tengah.
Ayahhya bernama Ki Sasrosudarmo, yang mempunyai latar belakang sosial sebagai golongan
menengah.

Pendidikan umum tertinggi ditempuh Katamso pada Mulo (Meer liigebreid Lager Onderwijs,
Sekolah Menengah Pertama sekarang). la tidak sempat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi,
sebab setelah selesai dari MULO, Jepang sudah menduduki Indonesia.

Pada zaman Jepang, Katamso mengikuti pendidikan tentara Peta Pembela Tanah Air. Selesai
pendidikan ini Ia diangkat menjadi Budanco (komandan regu) pada Dai II Daidan (Batalyon 2) di
Solo. Setahun kemudian, pangkat dinaikkan menjadi Syodanco (komandan peleton). Ia tetap
berkedudukan di Solo.
Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berakhirlah
kekuasaan Jepang di Indonesia. Pemerintah RI membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Sejak
tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat). BKR yang
sudah berdiri sebelumnya ditransformasikan ke dalam TKR. Sebagai seorang pemuda yang sudah
mendapat pendidikan militer dan sudah berdinas dalam kesatuan tentara PETA, Katamso pun
memasuki BKR dan kemudian TKR. Ia diangkat menjadi Komandan Kompi di Klaten. Jabatan
sebagai Komandan Kompi tetap dipangkunya ketika bulan Oktober 1946 pangkatnya dinaikkan
menjadi Kapten.

Namanya semakin dikenal oleh masyarakat sekitar Klaten, karena sewaktu pasukannya sering
melancarkan serangan gerilya mengganggu kedudukan Belanda di dalam kota. Pada waktu itu,
kompinya dimasukkan ke dalam Batalyon 351 Brigade V. Sesudah pengakuan kedaulatan, Kompi
Katamso dimasukkan ke dalam Batalyon 417 Brigade V Resimen Infanteri 15.

Tahun-tahun pertama sesudah Pengakuan Kedaulatan, keamanan negara sering diganggu oleh
golongan pemberontak. Daerah Jawa Tengah dikacau oleh gerombolan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) yang merupakan bagian dari DI/TII Jawa Barat di bawah pimpinan
Kartosuwiryo di Jawa Tengah, khususnya di daerah Tegal dan Brebes. Gerakan DI dipimpin oleh
Amir Fatah, sedangkan di daerah Kebumen dipimpin oleh Mohamad Machfud Rahman. Selain
gangguan keamanan yang berasal dari DI/TII ini. Jawa Tengah diganggu pula oleh
pemberontakan Batalyon 423 dan Batalyon 426 yang kemudian bergabung dengan DI/TII.
Sebagai pasukan yang berdomisili di daerah Jawa Tengah, maka Kompi Katamso pun terlibat
dalam usaha penumpasan pemberontakan ini.

Setelah Katamso memperoleh kenaikkan pangkat menjadi Mayor pada tahun 1955, beliau
diserahi jabatan sebagai Wakil Komandan Batalyon 441 Resimen Infanteri 13. Dari Batalyon 441
Ia kemudian dipindahkan ke Batalyon 439 dan Batalyon 436. Jabatan lain yang pernah
dipangkunya ialah sebagai perwira staf pada Staf Tentorium IV. Pada tahun 1957, Katamso
memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Seskoad (Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat) Angkatan ke-6 di Bandung.

Pada tahun itu negara kembali dirongrong oleh bahaya perpecahan. Di Sumatera dan Sulawesi
muncul dewan-dewan daerah yang pada mulanya berjuang untuk pembangunan daerah masing-
masing. Tetapi, dewan-dewan daerah ini cepat pula dipengaruhi oleh tokoh politik yang tidak
puas terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat. Dengan memperalat dewan-dewan daerah yang
umumnya dipimpin oleh anggota Angkatan Darat, golongan politisi mendirikan pemerintah
tandingan. Pada Februari 1958 di Padang, Sumatra Barat, diproklamasikan pembentukan PRRI
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Langkah Padang ini segera diikuti oleh Sulawesi
Utara dengan memproklamasikan berdirinya Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta).
PRRI/Permesta tidak mengakui pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.

Gerakan yang muncul di Sumatra dan Sulawesi Utara itu mengancam kesatuan negara. Karena
itulah akhirnya setelah jalan musyawarah gagal pemerintah memutuskan untuk menjalankan
operasi militer. Untuk daerah Sumatera dilancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi 17
Agustus dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Mayor Katamso yang baru saja menyelesaikan
pendidikan Seskoad dipercaya untuk memimpin Batalyon A Operasi 17 Agustus. Dalam waktu
singkat pusat-pusat PRRI berhasil di kuasai namun di sana-sini sisa pasukan PRRI masih
mengadakan gangguan keamanan.

Setelah selesai operasi utama, Angkatan Perang melancarkan operasi pembersihan, sementara
itu Mayor Katamso, sejak Februari 1959, diangkat sebagai Asisten Operasi Resimen Team
Pertempuran (RTP) II Diponegoro. Berkedudukan di Bukittinggi. Pada awal tahun 1959 itu Ia
memperoleh kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.

Daerah Sumatra Tengah yang semula merupakan Resimen 4 Tentara dan Tentorium (TT) 1,
sesudah pemberontakan PRRI dijadikan Komando Daerah Militer (Kodam) 111/17 Agustus.
Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatra Barat dan Riau. Pada bulan Agustus 1959 Letnan
Kolonel Katamso diangkat sebagai Kepala Staf Resimen Riau) Daratan Kodam HI/17 Agustus.
Jabatan ini tidak lama dipegangnya, sebab dua bulan kemudian Ia diangkat sebagai Pejabat
Kepala Staf Resimen Team Pertempuran 1/Tegas RTP Tegas bertugas memulihkan keamanan di
daerah Riau.

Setelah keamanan di Sumatra pulih, Katamso ditarik ke Jakarta. Ia diserahi jabatan sebagai
perwira diperbantukan pada Asisten III kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Selain itu, Ia juga
diperbantukan sebagai guru pada berbagai pendidikan Angkatan Darat. Kemudian Ia diserahi
tugas sebagai Komandan heat Pendidikan dan Infanteri (Pusdikif) Angkatan Darat di Bandung.
Dari Pusdiki Bandung Ia ditarik kembali ke Jawa Tengah setelah sekian lamanya daerah ini
ditinggalkannya. Sejak 1 Agustus 1963 Katamso diangkat sebagai perwira diperbantukan pada
Kodam VII/Diponegoro. Empat bulan kemudian Ia dilantik sebagai Komandan Resort Militer
(Korem) 072 / Pamungkas Kodam VII / Diponegoro. Dalam jabatan yang baru itu ia berkedudukan
di Yogyakarta, sedangkan daerah kekuasaannya meliputi Yogyakarta dan Kedu. Bagi Katamso,
daerah ini bukan merupakan daerah yang asing.

Sebagai komandan teritorial, Katamso berusaha mendekatkan diri dengan rakyat, la sering
muncul dalam pertemuan-pertemuan umum. Karena itu namanya semakin dikenal oleh
masyarakat, tetapi juga oleh lawannya, yakni orang-orang PKI yang menilai bahwa Katamso
merupakan tokoh yang dapat menghalangi rencana PKI, apalagi jabatan yang dipegang Katamso
sangat menentukan, yakni bidang tentorial.

Katamso yang juga menyadari adanya ancaman PKI, berusaha membina masyarakat sebaik-
baiknya, ia melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang dalam
keadaan sangat parah akibat tekanan ekonomi. Pada waktu memegang jabatan Ketua POMG
(Persatuan Orangtua Murid dan Guru) SMA Negeri I (Teladan) Yogyakarta, Katamso berusaha
membantu kehidupan para guru. Orang tua murid dianjurkannya memberikan sumbangan untuk
kepentingan guru-guru, agar mereka dapat memberikan pelajaran sebagaimana mestinya.
Berkat adanya saling pengertian yang baik antara Katamso dan para orang tua murid, berhasil
diadakan perbaikan bangunan sekolah, bahkan ada pula gedung baru yang dibangun.

Keterbukaan Katamso dengan masyarakat menyebabkan Ia disenangi, tetapi PKI mulai


mengawasi gerak-geriknya. Katamso pun menyadari bahwa bahaya PKI semakin mengancam
daerah kekuasaannya. Ia tahu bahwa apabila PKI berhasil merebut kekuasaan, maka Pancasila
sebagai ideologi negara akan mereka ganti dengan ideologi komunis. Karena itulah Katamso
mengadakan berbagai persiapan untuk menghadapi PKI dan berusaha menghalang-halangi
kemajuan. Usaha yang dilakukan antara lain ialah memperkuat Resimen Mahasiswa yang masih
bersih dari pengaruh PKI. Tindakan yang diambil Katamso mendapat dukungan dari Panglima
Daerah Militer (Pangdam) Vll/ Diponegoro. Katamso merencanakan dari Resimen Mahasiswa
akan dihasilkan perwira-perwira cadangan. Untuk keperluan itu anggota-anggota Resimen
Mahasiswa akan diberi latihan khusus. Sesuai dengan rencananya, maka Katamso secara aktif
melakukan penggemblengan.

Latihan militer yang diberikan kepada anggota Resimen Mahasiswa ialah latihan setingkat Kompi.
Dengan demikian Katamso mengharapkan sewaktu-waktu diperlukan para mahasiswa ini sudah
akan mampu memimpin sebuah kompi. Latihan pertama dilakukan terhadap mahasiswa
Yogyakarta, bila ini berhasil latihan yang sama akan dilakukan pula terhadap mahasiswa
mahasiswa lain.

Namun rencananya terhalang oleh pemberontakan PKI Tanggal 1 Oktober 1965. Radio Republik
Indonesia (RRI) Jakarta yang sudah di kuasai oleh PKI mengumumkan terbentuknya Dewan
Revolusi. Di malam menjelang pemberontakan, PKI sudah memulai gerakannya dan dini hari
tanggal 1 Oktober mereka menculik serta membunuh beberapa orang pejabat teras Angkatan
Darat sebagai langkah pertama untuk merebut kekuasaan negara.

Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 suasana Yogyakarta kelihatan biasa saja, walaupun sudah ada
beberapa pengumuman dari RRI Jakarta. Tetapi, semakin siang suasana semakin tak menentu. Di
beberapa tempat bermunculan pelakat-pelakat dan selebaran gelap yang bernada menyokong
gerakan yang dilancarkan PKI di Jakarta. Masyarakat masih bertanya-tanya apa sesungguhnya
yang terjadi, mengapa RRl Jakarta mengumumkan adanya Dewan Revolusi.

Pada saat masyarakat kecuali orang-orang PKI masih diliputi keraguan, maka PKI telah
menyiapkan rencana untuk merebut kekuasaan di Yogyakarta. Untuk memudahkan perebutan
kekuasaan itu, sasaran pertama mereka ialah membunuh Kolonel Katamso.

Sore hari tanggal 1 Oktober 1965 Kolonel Katamso baru saja kembali dari Magelang Ia sudah
mendengar berita tentang Dewan Revolusi. Setibanya di Yogya kepadanya disodorkan sebuah
peryataan yang harus ditandatanganinya yang isinya mendukung Dewan Revolusi. Dengan tegas
pernyataan itu ditolaknya. Sesudah itu Ia memanggil perwira stafnya untuk mengadakan rapat di
rumahnya guna membahas perkembangan situasi. Ia sangat terkejut ketika mengetahui bahwa
sebagian anggota stafnya sudah dipengaruhi oleh PKI. Mereka datang ke rumah Katamso bukan
untuk membahas situasi, melainkan membawa senjata untuk menangkap Katamso. Di bawah
ancaman senjata, Ia tidak dapat berbuat apa-apa, Ia dibawa ke kompleks Batalyon L di desa
Kentungan, kurang-lebih enam kilometer di sebelah utara Yogyakarta.

Pembunuhan atas diri Kolonel Katamso dilakukan malam hari tanggal 2 Oktober 1965. Ia dibawa
dengan mobil dari tempat tahanannya ke suatu tempat di desa Kentungan itu juga baru saja
melangkah beberapa meter setelah turun dari kendaraan ia diserang dari belakang. Ia dipukul
dengan kunci mortir 8. Katamso jatuh tersungkur, sesudah itu menyusul keberapa pukulan lagi.
Katamso tewas pada saat itu juga. Mayatnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang sudah
disiapkan. Ke dalam lubang itu pula mereka memasukkan korban lainnya yakni Letnan Kolonel
Sugiyono.

Peristiwa yang terjadi di Korem 072/ dilaporkan kepada Pangdam VII/ Diponegoro, Brigjen
Suryosumpeno. la menunjuk Kolonel Widodo sebagai caretaker Komandan Resimen 072 sebab
nasib Kolonel Katamso belum di ketahui Kolonel Widodo memerintahkan supaya Kolonel
Katamso dicari. Walaupun sudah dicari selama beberapa hari, namun tidak berhasil. Barulah
pada tanggal 21 Oktober 1965 team pencari yang sedang meneliti di daerah sekitar kompleks
asrama di Kentungan, tertarik melihat sekelompok tanaman yang tampaknya masih baru, sedang
tanaman di sekelilingnya semuanya sudah tua. Kecurigaan mulai timbul Anggota pencari
menusukkan tongkatnya ke dalam tanah yang masih lunak. Ujung tongkat beradu dengan sebuah
benda. Tempat yang dicurigai itu langsung digali, dan bau busuk menyengat hidung. Di tempat
itulah ditemukan jenazah Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono. Keesokan harinya
jenazah kedua orang perwira itu di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara di
Yogyakarta.

Pemerintah menghargai jasa-jasa dari pengabdian Kolonel Katamso terhadap bangsa dan negara,
khususnya perjuangannya mempertahankan Pancasila. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
No. 118/Koti/Tahun 1965 tanggal 19 Oktober 1965, Kolonel Katamso ditetapkan sebagai
Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal. Katamso
yang meninggalkan seorang isteri dan tujuh orang anak ini, memiliki pula 10 tanda kehormatan
sebagai penghargaan terhadap tugas yang dijalankannya. Istrinya bernama RR. Sriwulan Murni.
Dari ketujuh anak itu dua di antaranya wanita, yaitu Endang Murtaningsih dan Murni Ediyanti,
lima orang laki-laki adalah Putut Kusdarmanto, Teguh Murtamso, Heru Sutoko, Ery Murwanto,
dan Tamso Muryanto.

Anda mungkin juga menyukai