17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir
yang unik yaitu seorang putri remaja yang langsung terjun dalam medan
cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang
Pulau Saparua yang tampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh
pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati
digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu
Pada waktu itu, sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih
pihak.
telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw
yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para opsir Belanda menyadari
Martha Christina dan sang ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya
tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para
Tiahahu dari hukuman, tetapi sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap
ampun bagi sang ayah yang sudah tua, tetapi semua itu sia-sia.
terganggu.
Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha
perkebunan kopi.
Referensi
Pranala luar
J B Soedarmanta
o Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia,
Grasindo, 2007, ISBN 979-759-716-4 ISBN 978-979-759-716-0
Biografi
Cut Nyak Dhien
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia
dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan
ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah
pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur
bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal
ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti
berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang
Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda
Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang
dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta
hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian
diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan
sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Kehidupan Awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum
Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari
Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Datuk Makhudum Sati mungkin datang
ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan
pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik
oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada
tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka
memiliki satu anak laki-laki.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada
tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe
Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi
nama Cut Gambang.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat,
senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad
van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal
yang bertugas. Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat
sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini,
pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit
"De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih
tetap ada pada penduduk Aceh.
“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai
rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le
Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut
Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang
ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum
tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian
bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli
dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh
di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari
pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap
bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani
oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien
dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam
terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nisan yang dikatakan
sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.
Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-
Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Daftar pustaka
September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk
Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia
Belanda hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga
Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi
Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh
Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan
bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang
bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka,
perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu
itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki
Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia,
Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil
hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah.
Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya
wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan
pelajaran agama.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah
tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu,
mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi
berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah
satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama
yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah
berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama
menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika
seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang
Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika
bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu
yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan
Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya
melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan
Dewi Sartika dibesarkan oleh seorang priyayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu
Nyi Raden Ayu Rajapermas. Kedua orangtua Dewi Sartika juga merupakan
ke Ternate dan terpisah dari Dewi Sartika. Setelah kedua orang tua Dewi Sartika
meninggal, dia diasuh oleh pamannya yang merupakan kakak kandung dari
juga mengajarkan Dewi Sartika tentang budaya dan adat bangsa Barat. Kedua
sedari kecil, meskipun hal tersebut bertentangan bagi seorang perempuan. Dewi
Minat Dewi Sartika terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak masih anak-
anak. Dia seringkali bermain guru-guruan dengan anak seusianya. Karena mahir
membaca dan menulis, Dewi Sartika sering berperan sebagai guru. Dia
mengajarkan baca dan tulis kepada warga sekitar. Hal inilah yang menjadi cikal
sama.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah. Hal ini juga
Isteri. Ketika pertama kali dibuka, Sekolah Isteri hanya memiliki 20 murid wanita.
Di sekolah itu, para wanita tidak hanya sekadar belajar membaca, menulis dan
berhitung. Mereka turut belajar menjahit, merenda dan belajar agama. Dua
tahun setelah mendirikan Sekolah Isteri, tepatnya pada 1906, Dewi Sartika
menambah semangat Dewi Sartika. Sekolah Isteri hanya memiliki dua ruang
kelas. Jumlah wanita yang ingin bersekolah terus meningkat. Alhasil, ruang
kepatihan Bandung yang telah dipinjam sudah tidak cukup lagi, sekolah
dipindahkan.
Sekolah keutamaan Isteri yang telah dibuka memiliki beberapa perbedaan dari
saja. Namun, dididik untuk menjadi istri. Gadis-gadis yang nantinya akan
menjadi istri mendapat pelajaran bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang
baik, mandiri dan terampil. Dua tahun setelah perpindahan Sekolah Keutamaan
Dewi Sartika.
besar dari sebelumnya. Dewi Sartika juga ikut banting tulang, untuk membayar
pengeluaran operasional sekolah. Dia tak pernah mengeluh dan merasa terobati
Dewi Sartika hidup bersama warga dan pejuang di Sunda saat memasuki usia
senja. Pada 1947, Belanda kembali melakukan serangan agresi militer. Dewi
Sartika bersama seluruh rakyat pribumi dan pejuang lainnya ikut melawan untuk
Karena masih dalam situasi perang, pemakaman dan upacara dilakukan secara
Cineam adalah makam dari Dewi Sartika. Usai perang agresi militer, sekitar
tepatnya pada tanggal 1 Desember 1966. Saat itu juga, Sekolah Keutamaan