Anda di halaman 1dari 19

Biografi

Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4

Januari 1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur

17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir

sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah

Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu,

seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas

Matulessy dalam Perang Pattimura  tahun  1817  melawan Belanda.

Martha Christina Tiahahu tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan

yang unik yaitu seorang putri remaja yang langsung terjun dalam medan

pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam Perang Pattimura

tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan

musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-

cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang

mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat

kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam

setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang

dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu

pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi

semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum

pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan

menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah tenggara

Pulau Saparua yang tampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh

bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang

dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh

pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati

digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu

divonis hukum mati tembak. Martha Christina Tiahahu berjuang untuk

melepaskan ayahnya dari hukuman mati, tetapi ia tidak berdaya dan

meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan

diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan

dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut

Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Untuk menghargai jasa dan


pengorbanannya, Martha Christina Tiahahu dikukuhkan sebagai Pahlawan

Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4

Januari 1800 merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan

masih berusia 17 tahun ketika mengikuti jejak ayahnya memimpin

perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura

sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua.

Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.

Pada waktu itu, sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih

bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan

Pattimura sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng

Beverwijk luput dari perhatian. Guru Soselissa yang memihak Belanda

melakukan kontak dengan musuh mengatas-namakan rakyat menyatakan

menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober 1817 Benteng Beverwijk

jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan. Sementara itu, di Saparua

pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin

berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke

pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan itu terdapat pula Martha

Christina Tiahahu beserta para raja dan patih dari Nusalaut.

Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda di bawah pimpinan Richemont

bergerak ke Ulath, tetapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat.

Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke


Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah

pihak.

Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya

bertahan di tanjakan negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat

mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele. Di tengah keganasan

pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang

peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu,

srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang

(kain merah) terikat di kepala.

Dengan mendampingi sang ayah dan memberikan kobaran semangat

kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, Marta Christina

telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw

untuk turut mendampingi kaum laki-laki di medan pertempuran. Baru di

medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut

bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan

rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando

setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.

Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan

umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan

yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para opsir Belanda menyadari

bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Vermeulen Kringer

memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan

serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan


di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua

yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya

tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para

tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan

tawanan lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman.

Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martha Christina

Tiahahu dari hukuman, tetapi sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap

dijatuhi hukuman mati. Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina

Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun

kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang ayah. Tiba-tiba

Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan

ampun bagi sang ayah yang sudah tua, tetapi semua itu sia-sia.

Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah

dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu

pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya. Martha Christina Tiahahu

mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian

Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan

tinggal bersama guru Soselissa.

Sepeninggal ayahnya, Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan

berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya

terganggu.
Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha

Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan

kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di

perkebunan kopi.

Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu

semakin memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada

tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu

menghembuskan napas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu

disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara

resmi diakui sebagai pahlawan nasional.

Referensi

1. ^ Said, Julinar; Wulandari, Triana (1995). Ensiklopedi Pahlawan Nasional.


Jakarta: Subdirektorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 7.

Pranala luar

 J B Soedarmanta
o Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia,
Grasindo, 2007, ISBN 979-759-716-4 ISBN 978-979-759-716-0
Biografi
Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan


Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan
Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi,
sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim
Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih
jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia
dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan
ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah
pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur
bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal
ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti
berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang
Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda
Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang
dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta
hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian
diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan
sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Kehidupan Awal

Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Aceh Besar

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum
Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari
Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Datuk Makhudum Sati mungkin datang
ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan
pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik
oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada
tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka
memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh


Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang
dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada
tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan
Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan
kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.

Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat


diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut
Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada
tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah
VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada
tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe
Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi
nama Cut Gambang.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875,


Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan
orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya
yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda
sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan
unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk
menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Cut Nyak Dien
berusaha menasihatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.
Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana
palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat,
senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad
van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan


operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun,
gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Johannes Ludovicius Jakobus
Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.
Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar
keberadaannya.

Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal
yang bertugas. Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat
sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini,
pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit
"De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih
tetap ada pada penduduk Aceh.

Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa


orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda
menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut
Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu
memeluknya dan berkata:

“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai
rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le
Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut
Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Masa Tua dan Kematian

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang
ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum
tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian
bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli
dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh
di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari
pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap
bulan November

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani
oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien
dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam
terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nisan yang dikatakan
sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.

Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-
Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh


Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu,
daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat. [9] Kini, makam ini mendapat biaya
perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan
dana.

Daftar pustaka

 Armand, Deddi. Cut Nyak Dien. Penerbit: Pustaka Ananda.


 Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbit: Grasindo.
 Muhazir. 1984 .Pahlawan Repulusi Aceh
Biografi
Dewi Sartika

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11

September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk

kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia

tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan.

Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia

Belanda hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga

priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara.

Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi

Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh

pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari

pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan

wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya

Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan

bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang

gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari


baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan

bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka,

sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan

demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang

guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang

sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak

perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu

itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka

digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa

Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di

waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki

kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan

menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung,

Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia,

dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat

Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil

mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut

hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah.

Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan

Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya

wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan

pelajaran agama.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah

tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu,

pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak

diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang

mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi

berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah

satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama

dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak

membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan

beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda

yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah

berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota

kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama

sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan

Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola

Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di

mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota

kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota

kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan

pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama

menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika

dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.


Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,

seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang

Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika

meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu

upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu

Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks

Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung. Terlepas dari

bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu

yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan

Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya

melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan

melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan,

khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering

dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun

masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum

wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.

Beberapa Fakta Tentang Dewi Sartika

1. Dilahirkan dari seorang priyayi Sunda

Dewi Sartika dibesarkan oleh seorang priyayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu

Raden Somanagara. Ibunya juga merupakan perempuan Sunda yang bernama

Nyi Raden Ayu Rajapermas. Kedua orangtua Dewi Sartika juga merupakan

pejuang Indonesia yang menentang pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya,

mereka mendapat hukuman keras dari pemerintah Hindia Belanda, diasingkan

ke Ternate dan terpisah dari Dewi Sartika. Setelah kedua orang tua Dewi Sartika

meninggal, dia diasuh oleh pamannya yang merupakan kakak kandung dari

Ibundanya, yang bernama Aria. Dia merupakan seorang patih di Cicalengka.


Dari sang Paman, Dewi Sartika mendapatkan ilmu pengetahuannya terkait adat

budaya sunda. Selain itu, seorang Asisten Residen berkebangsaan Belanda

juga mengajarkan Dewi Sartika tentang budaya dan adat bangsa Barat. Kedua

orang tua Dewi Sartika sebenarnya sudah mengenalkannya tentang pendidikan

sedari kecil, meskipun hal tersebut bertentangan bagi seorang perempuan. Dewi

Sartika juga mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka.

2. Memiliki minat terhadap dunia pendidikan sejak masih anak-anak

Minat Dewi Sartika terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak masih anak-

anak. Dia seringkali bermain guru-guruan dengan anak seusianya. Karena mahir

membaca dan menulis, Dewi Sartika sering berperan sebagai guru. Dia

mengaplikasikan kemampuannya dengan mengajarkan anak-anak di sekitarnya,

khususnya anak perempuan pribumi. Dewi Sartika juga memiliki kemampuan

berbahasa Bahasa Belanda. Menginjak usia remaja, Dewi Sartika mulai

mengajarkan baca dan tulis kepada warga sekitar. Hal inilah yang menjadi cikal

bakal Dewi Sartika agar anak-anak perempuan memperoleh pendidikan yang

sama.

3. Mendirikan Sekolah Isteri

Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah. Hal ini juga

mendapatkan dukungan dari Kakeknya, Raden Agung A Martanegara dan

seorang Inspektur Kantor Pengajaran, Den Hamer. Dewi Sartika berhasil

mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan yang bernama Sekolah

Isteri. Ketika pertama kali dibuka, Sekolah Isteri hanya memiliki 20 murid wanita.

Di sekolah itu, para wanita tidak hanya sekadar belajar membaca, menulis dan

berhitung. Mereka turut belajar menjahit, merenda dan belajar agama. Dua

tahun setelah mendirikan Sekolah Isteri, tepatnya pada 1906, Dewi Sartika

menikah dengan salah seorang guru di Sekolah Karang Pamulang, yang


menjadi Sekolah Latihan Guru. Kesamaan visi dan misi di antara mereka berdua

menambah semangat Dewi Sartika. Sekolah Isteri hanya memiliki dua ruang

kelas. Jumlah wanita yang ingin bersekolah terus meningkat. Alhasil, ruang

kelas ditambah dengan meminjam sebagian ruang kepatihan Bandung. Namun,

masyarakat yang mendaftar terus bertambah setiap harinya. Karena ruang

kepatihan Bandung yang telah dipinjam sudah tidak cukup lagi, sekolah

dipindahkan.

4. Banyak wanita-wanita Sunda yang mengikuti langkah Dewi

Sartika mendirikan sekolah

Sekolah keutamaan Isteri yang telah dibuka memiliki beberapa perbedaan dari

sebelumnya. Para wanita tidak hanya diajarkan keterampilan seperti menjahit

saja. Namun, dididik untuk menjadi istri. Gadis-gadis yang nantinya akan

menjadi istri mendapat pelajaran bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang

baik, mandiri dan terampil. Dua tahun setelah perpindahan Sekolah Keutamaan

Isteri, perempuan-perempuan di tanahSunda yang memiliki cita-cita yang sama

dengan Dewi Sartika mulai berani mendirikan sekolah-sekolah untuk

perempuan. Hingga tahun 1912, jumlah sekolah isteri mencapai sembilan

sekolah. Tidak hanya itu, banyaknya sekolah perempuan di Sunda

memunculkan kembali ide untuk mendirikan organisasi. Tahun 1913, berdiri

Organisasi Keutamaan Isteri yang bertujuan untuk menaungi sekolah-sekolah

yang telah didirikan di Tasikmalaya. Organisasi ini sengaja dibentuk, guna

menyatukan sistem pembelajaran dari sekolah-sekolah yang telah dibangun

Dewi Sartika.

5. Turut banting tulang membayar pengeluaran operasional sekolah

Sekolah Keutamaan Isteri kembali berubah nama menjadi Sekolah Keutamaan

Perempuan. Pada masa itu, seperempat wilayah Jawa Barat telah berdiri


Sekolah Keutamaan Perempuan. Seorang wanita bernama Encik Rama Saleh,

terinspirasi oleh Dewi Sartika. Dia juga mendirikan sekolah di wilayah

Bukittinggi. Tahun 1929, Sekolah Keutamaan Perempuan berubah nama

menjadi Sekolah Raden Dewi. Bahkan, Pemerintah Hindia Belanda memberikan

apresiasi dengan membangunkan sebuah gedung sekolah baru yang lebih

besar dari sebelumnya. Dewi Sartika juga ikut banting tulang, untuk membayar

pengeluaran operasional sekolah. Dia tak pernah mengeluh dan merasa terobati

saat melihat kaumnya bisa memperoleh pendidikan.

6. Mendapat gelar pahlawan setelah 19 tahun meninggal

Dewi Sartika hidup bersama warga dan pejuang di Sunda saat memasuki usia

senja. Pada 1947, Belanda kembali melakukan serangan agresi militer. Dewi

Sartika bersama seluruh rakyat pribumi dan pejuang lainnya ikut melawan untuk

membela tanah air. Seluruh penduduk kemudian mengungsi untuk

mempertahankan Indonesia. Saat berada di pengungsian, pada 11 September

tahun 1947, Dewi Sartika mengembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya.

Karena masih dalam situasi perang, pemakaman dan upacara dilakukan secara

sederhana. Pemakaman Cigagadon yang ada di Desa Rahayu, Kecamatan

Cineam adalah makam dari Dewi Sartika. Usai perang agresi militer, sekitar

tahun 1950, makam Dewi Sartika dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati

Bandung di Jl. Karang Anyar – Bandung. Sesuai SK Presiden RI Nomor 152

Tahun 1966, Dewi Sartika mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional,

tepatnya pada tanggal 1 Desember 1966. Saat itu juga, Sekolah Keutamaan

Isteri berusia 35 tahun dan mendapat gelar Orde van Oranje-Nassau.

Anda mungkin juga menyukai