Maret 1820. Ia lahir dari keluarga terpandang yang berpendidikan tinggi, ayahnya adalah seorang kapten kapal. Hal ini membuat Eduard yang memang pada dasarnya pintar memiliki akses pendidikan yang tinggi, atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita"), adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.
Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp Jodensavanne yang sempat
menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatikan bahkan saat ia berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan.
Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat
dari sana, kemudian ia masuk di HBS di Surabaya, namun tidak lama disana, orang tuanya lalu memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem III School. Setelah lulus, ia lalu diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur.
Banyaknya tuduhan tentang tulisan dan aktifitasnya dibidang jurnalistik
membuat Douwes Dekker meninggalkan dunia tersebut lalu aktif melakukan penulisan buku semi ilmiah. Dan atas masukan dari Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker kemudian terjun ke dunia pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung.