Anda di halaman 1dari 16

Respon Bangsa Indonesia Terhadap

Kolonialisme dan Imperialisme

Pahamifren, pernah nggak kamu membayangkan situasi kolonialisme dan imperialisme di


Indonesia saat masa penjajahan dahulu? Nggak bisa dipungkiri, jika masa itu sangat
menyusahkan dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Lalu, bagaimana respon para petinggi
bangsa kita di masa penjajahan itu? Apakah dampaknya masih dirasakan sampai sekarang?

Nah, pada Materi Sejarah Peminatan Kelas 11 kali ini, Mipi mau mengajak kamu untuk
membahas tentang Respon Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, termasuk
penjelasan lengkap dan dampaknya pada negeri kita, simak artikel ini sampai selesai ya.
Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia

Sebelum lebih jauh, ada baiknya jika kamu memahami dulu, apa sih yang dimaksud dengan
kolonialisme dan imperialisme? Hal apa saja yang melatari ke duanya terjadi di Indonesia?
Simak penjelasan berikut:

Kolonialisme berasal dari kata “colonus” yang memiliki arti menguasai. Kolonialisme memiliki
arti upaya sebuah negara untuk mengembangkan kekuasaannya di luar wilayah kekuasaan negara
tersebut. Kolonialisme memiliki tujuan mencapai dominasi kekuatan dalam bidang ekonomi,
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan politik.

Wilayah koloni biasanya merupakan wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan bahan mentah
yang dibutuhkan oleh negara yang melakukan kolonialisme. Dalam kolonialisme, ada
kepercayaan bahwa bangsa yang melakukan kolonialisasi jauh lebih superior dari bangsa yang
dikoloni.
Sementara imperialisme berasal dari kata “imperium” dalam bahasa Latin, yang berarti
kekuasaan tertinggi, kedaulatan, atau sekadar kekuasaan. Imperialisme merupakan kebijakan
atau ideologi untuk memperluas kekuasaan atas negara lain dan penduduk asli negara tersebut,
dengan tujuan memperluas akses politik dan ekonomi, kekuasaan dan kontrol, dan seringkali
dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.

Perbedaan kolonialisme dan imperialisme terletak pada tujuannya. Kolonialisme berfokus pada
penguasaan suatu wilayah dengan sumber daya alam tertentu untuk dibawa ke negeri asal
penjajah. Sementara imperialisme berfokus dalam penguasaan politik dan pemerintahan negara
yang lain untuk memiliki pengaruh terhadap negara tersebut.

Latar Belakang Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia

Kolonialisme dan imperialisme sudah dilakukan oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15 di seluruh
dunia, sampai akhirnya masuk ke nusantara (Indonesia). Pada saat itu, latar belakang bangsa
Eropa masuk ke wilayah nusantara disebabkan oleh beberapa hal, seperti jatuhnya
Konstantinopel di kawasan Laut Tengah ke kekuasaan Turki Usmani pada tahun 1453,
merosotnya ekonomi dan perdagangan bangsa Eropa, serta terjadinya revolusi industri.

Perlu diketahui, kolonialisme dan imperialisme modern muncul setelah terjadinya revolusi
industri karena bertujuan untuk mengembangkan perekonomian bangsa Eropa. Revolusi industri,
membuat bangsa Eropa menciptakan kapal laut yang digunakan untuk menjelajah samudra demi
mencari sumber daya di belahan dunia lain. Disamping itu, misi ini juga dilakukan untuk
melanjutkan semangat Perang Salib.

Dalam upaya tersebut, bangsa Eropa mulai menyebar ke seluruh dunia, sampai akhirnya
kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pun terjadi. Di sisi lain, kejatuhan Konstantinopel ke
tangan Turki Usmani pada tahun 1453, menyebabkan akses bangsa Eropa dalam mendapatkan
rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup dan membuat harga
rempah-rempah di Eropa meningkat tajam. Bangsa Eropa kemudian terdorong untuk mencari
dan menemukan wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah ke dunia baru yang ada di timur
Eropa.
Lama-kelamaan, mereka semakin berambisi menguasai berbagai negara untuk keuntungan
ekonomi dan kejayaan politik mereka, terutama pada wilayah-wilayah seperti Indonesia yang
merupakan penghasil rempah-rempah, seperti lada, cengkih, pala, dan lain-lain. Rempah-rempah
yang dihasilkan di Indonesia mendorong mereka untuk melakukan kolonialisme dan
imperialisme karena rempah-rempah pada masa itu menjadi komoditas yang sangat laris di
Eropa. Bangsa Eropa kemudian menyebut nusantara sebagai Hindia.
Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem kolonialisme dan
imperialisme, antara lain ekonomi dan politik, sosial dan budaya, seni dan sastra, serta
pendidikan. Berikut penjelasannya:
Aspek Ekonomi dan Politik

Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang ekonomi
dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap Portugis, VOC,
dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan berupa perang akibat ekonomi dan
politik in, di antaranya:
Perlawanan Terhadap Portugis

Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan penjajahan
bangsa Portugis, antara lain:

 Perlawanan Kesultanan Ternate

Kebijakan monopoli perdagangan bangsa Portugis membuat Sultan Hairun memimpin


perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka. Sayangnya, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan
dihukum mati oleh bangsa Portugis pada tahun 1570. Meski demikian, perlawanan Kesultanan
Ternate tidak berhenti di situ. Perjuangan Sultan Hairun kemudian dilanjutkan oleh Sultan
Baabulah. 

Di bawah kepemimpinan Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate berhasil mengusir bangsa
Portugis dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis yang terusir dari Maluku ini kemudian
menyingkir ke Pulai Timor dan berkuasa di Timor Timur hingga menjelang akhir abad ke-20. 

 Perlawanan Kesultanan Demak

Selain di Ternate, bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli perdagangan mereka di
Malaka. Praktik monopoli tersebut membuat para saudagar Muslim di Malaka merasa terganggu.
Kesultanan Demak yang khawatir bangsa Portugis juga akan mengekspansi pulau Jawa dan
merasa perlu menunjukkan solidaritas mereka terhadap Kesultanan Malaka dan para saudagar
Muslim yang ada di Malaka, akhirnya memutuskan untuk menyerang bangsa Portugis.

Di bawah pimpinan Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa pada tahun
1526 dan berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun kemudian, pada tahun 1527, bangsa
Portugis yang saat itu tidak menyadari kalau Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh Kesultanan
Demak, datang untuk membangun benteng di sana.

Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan
Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti
kemenangan yang gemilang.

 Perlawanan Kesultanan Aceh

Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun 1514–1540 di bawah
kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu Kesultanan Aceh berhasil mengusir
bangsa Portugis dari wilayah Aceh. Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis
kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahar pada tahun 1538–1571 dengan
bantuan Turki.

Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang bangsa Portugis di
Malaka pada tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah menyerang bangsa
Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.

Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari Malaka,
perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun 1641.
Perlawanan Terhadap VOC

Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia melawan
penjajahan VOC, antara lain:

 Perlawanan Kesultanan Mataram

Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik, sampai-sampai
Kesultanan Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng sebagai kantor perwakilan dagang
di wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan Sultan Agung menyadari kalau keberadaan VOC
membahayakan pemerintahannya.

Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan pertama ini gagal dan
mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur. Serangan kedua yang dilakukan pada
bulan Agustus–Oktober 1629 pun mengalami kegagalan karena Kesultanan Mataram kalah
persenjataan, kekurangan persediaan makanan (karena lumbung-lumbung persediaan makanan
yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu jauh, dan
wabah penyakit yang menyerang pasukan Mataram. 

 Perlawanan Kesultanan Gowa

Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di
Maluku, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun pecah karena
pelucutan dan perampasan armada tersebut. Perang Makassar berlangsung selama tiga tahun,
dari tahun 1666–1669. Dalam Perang Makassar, VOC bersekutu dengan Arung Palaka, Raja
Bone, yang saat itu berseteru dengan Kerajaan Gowa.

 Perlawanan Kesultanan Banten

Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena persaingan dagang dengan VOC dan gangguan
VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pada akhirnya melawan VOC
dengan bekerja sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya, seperti pedagang Inggris.

Sultan Ageng kemudian menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan Banten serta wilayah-
wilayah yang berbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di daerah Angke dan Tangerang
pada tahun 1658–1659.
Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda

Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik kolonialisme ala
VOC, namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan kerja rodi berakhir. Saat Belanda
kembali berkuasa, penindasan pun terjadi lagi di Indonesia, berikut penjelasannya:

 Perlawanan Rakyat Maluku

Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena mereka tidak mau orang Belanda kembali ke
wilayah mereka. Saat Thomas Stamford Raffles berkuasa di Hindia Belanda, beberapa aturan
VOC seperti praktik monopoli dagang dan kerja rodi tidak diterapkan.

Namun, saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, aturan-aturan yang menindas seperti
praktik monopoli perdagangan cengkih dan kerja rodi kembali diterapkan. J.R van den Berg,
Residen Saparua yang baru pada saat itu, juga dianggap tidak peka pada keluhan rakyat. Belanda
juga memaksa para pemuda Maluku untuk menjadi tentara yang ditugaskan ke Jawa.

 Perlawanan Rakyat Palembang


Perlawanan rakyat Palembang yang dipimpin oleh Sultan Baharuddin terjadi karena Belanda
berusaha menguasai Palembang yang memiliki letak strategis dan kaya akan barang (Kepulauan
Bangka Belitung).

Sultan Baharuddin kemudian memimpin penyerangan ke benteng-benteng pertahanan Belanda.


Saat pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris terjadi pada tahun 1811 karena Perjanjian
Tuntang, Inggris memusatkan sebagian besar perhatiannya ke pulau Jawa.

Sultan Baharuddin pun memanfaatkan kondisi ini dengan menyerang garnisun Belanda di
Palembang. Sultan Baharuddin juga menentang keberadaan Inggris di wilayah kekuasaannya.
Inggris yang tidak menyukai perlawanan dari Sultan Baharuddin pun menyerang Palembang
pada tahun 1812. Mereka menjarah isi istana dan melantik Ahmad Najamuddin, adik Sultan
Baharuddin, menjadi Sultan.

 Perlawanan Rakyat Sumatera Utara

Perlawanan rakyat Tapanuli di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII terjadi karena
Belanda ingin menjajah Tapanuli dengan membentuk Pax Neerlandica (ambisi Belanda
menguasai seluruh Nusantara). Keinginan Belanda inilah yang menyebabkan terjadinya Perang
Tapanuli pada tahun 1870–1907.

Aspek Sosial dan Budaya

Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga dilakukan dalam
bentuk gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut adalah sebagai berikut: 
Gerakan Sosial di atas Tanah Partikelir

Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan Belanda yang tidak adil,
serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi yang kurang memberikan tempat bagi
kehidupan para pelaku dan pendukung gerakan sosial ini. Gerakan sosial ini muncul di kalangan
petani yang merasakan ketidakadilan karena praktik penjualan atau pemberian hadiah tanah oleh
Pemerintah Belanda kepada perseorangan atau swasta, yang kemudian menjadi tuan tanah.

Tanah inilah yang kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan tanah tersebut merasa
memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di tanah partikelir mereka. Penduduk di tanah
tersebut diharuskan menyerahkan hasil garapan mereka dan memeras tenaga mereka selayaknya
budak. 
Gerakan Mesianisme

Gerakan mesianisme merupakan gerakan yang berasal dari harapan akan datangnya ratu adil atau
imam mahdi sebagai juru selamat rakyat. Dalam gerakan ini biasanya terdapat seorang pimpinan
yang dianggap sebagai juru selamat, pimpinan agama, atau bahkan nabi. Gerakan ini bersandar
pada dasar-dasar kekuatan gaib sang pemimpin dan menghadapkan munculnya era baru dan
datangnya zaman keemasan yang meniadakan penderitaan rakyat dan hilangnya konflik serta
ketidakadilan.

Beberapa contoh dari gerakan mesianisme adalah Kasan Mukmin (1903), Gerakan Darmojo
(1907), dan dukun yang mengaku keturunan Sultan Hamengku Buwono V dan akan bertindak
sebagai ratu adil dan calon sultan Yogyakarta (1918).

Aspek Seni dan Sastra

Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga memiliki
peranan yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa itu menyuarakan
ketidakadilan yang dialami oleh para pribumi karena kolonialisme dan imperialisme yang
dilakukan oleh bangsa Belanda ke luar Hindia Belanda, termasuk ke negara Belanda sendiri.
Karya-karya sastra pada masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan bagi para
pembacanya. Beberapa sastrawan pada masa itu dan karya sastra mereka adalah sebagai berikut:

Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar

Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda yang peduli pada
nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa Latin yang berarti “banyak
yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker ini kemudian dituangkan dalam novelnya
yang berjudul Max Havelaar (1860). Novel inilah yang kemudian menjadi inspirasi pergerakan
nasional Indonesia serta mendorong sastrawan-sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran
mereka mengenai penjajahan Belanda, khususnya angkatan Pujangga Baru (1933–1942).
Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo dan Rasa Merdeka

Mas Marco merupakan keturunan priyayi rendahan di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Mas Marco
bergabung dengan Medan Prijaji yang menjadi surat kabar yang menyuarakan pemikiran pribumi
terpelajar.
Medan Prijaji ini dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat bekerja di Medan Prijaji, Mas Marco
bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, yang kemudian menjadi bagian dari
Indische Partij.

Lewat tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak kaum terdidik Indonesia pada masa itu untuk
membangun kesadaran politik masyarakat pribumi. Kesadaran politik ini dianggap penting untuk
menggerakkan masyarakat pribumi untuk bergerak melawan pemerintahan kolonial dalam
kesetaraan dan solidaritas.

Tulisan-tulisannya inilah yang kemudian membuat Mas Marco ditangkap dan dibuang oleh
pemerintah kolonial ke Boven-Digoel, Papua, pada tahun 1926. Mas Marco kemudian meninggal
di sana pada tahun 1932 karena malaria.
Soewarsih Djojopoespito: Manusia Bebas

Soewarsih merupakan pengarang perempuan yang menulis novel “Manusia Bebas” pada tahun
1940. Novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul “Buiten het Gareel” yang
berarti “Di Luar Kekang”.

Novel ini berkisah mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah putus asa
walau hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut sekalipun diawasi dan diancam
ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah liar pada masa penjajahan Belanda
adalah sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh para tokoh pendidikan Indonesia untuk
memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi.

Aspek Pendidikan

Perjuangan para pahlawan Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan salah satu perjuangan
paling penting dalam melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Para tokoh pendidikan di
masa penjajahan Belanda membangun sekolah-sekolah swasta untuk memajukan pola pikir dan
menumbuhkan semangat nasionalisme masyarakat pribumi.

Sekolah-sekolah swasta ini kemudian dianggap sebagai “sekolah liar” oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda karena dianggap mengancam kedaulatan dan kekuasaan mereka di Indonesia.
Dua di antara sekolah swasta yang dibangun pada masa itu adalah sebagai berikut: 

Indisch Nederlandse School Kayu Tanam

Indisch Nederlandse School Kayu Tanam didirikan di Kayu Tanam, Padang, pada tanggal 31
Oktober 1926 oleh Mohammad Syafei, tokoh pendidikan nasional yang pernah menjabat sebagai
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ketiga dalam Kabinet Sjahrir II. Sekolah ini
kemudian melahirkan beberapa nama besar dalam sejarah politik dan seni nasional, seperti Ali
Akbar Navis, Mochtar Lubis, dan Tarmizi Taher.
Mohammad Syafei sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia karena
melalui pendidikan, bangsa Indonesia dapat mengembangkan rasa nasionalisme. Visi pendidikan
Mohammad Syafei adalah head, heart, dan hand.  

Head berarti sekolah memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional, heart berarti
sekolah memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan karakter yang mulia, dan hand
berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat memiliki keterampilan yang nyata sesuai
dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan kepada masing-masing orang.

Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Taman
Siswa menjadi salah satu organisasi pergerakan yang bergerak di bidang pendidikan pada masa
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ki Hajar Dewantara menerapkan tiga konsep pengajaran di
Taman Siswa, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Ing ngarso sung tulodo memiliki arti bahwa para guru memiliki tanggung jawab dalam
memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap dan perilaku yang baik, agar
dapat menjadi teladan bagi para siswanya.
Ing madya mangun karsa memiliki arti bahwa guru harus mampu memberikan motivasi yang
baik pada para siswanya dan memberikan bimbingan yang terus-menerus supaya para siswanya
mampu berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Sementara Tut wuri handayani memiliki arti bahwa guru wajib membimbing para siswanya agar
dapat menggali sendiri pengetahuannya dan menemukan makna dari pengetahuan yang mereka
peroleh, agar pengetahuan mereka dapat berguna bagi kehidupan mereka.
Respon Bangsa Indonesia Terhadap
Kolonialisme dan Imperialisme
Dampak dari imperialisme dan kolonialisme juga memicu rasa nasionalis dan cinta tanah air
rakyat Indonesia, sehingga bersatu untuk melawan penjajah akibat adanya penindasan.
Imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa terhadap Indonesia ini berdampak pada seluruh
aspek baik aspek politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Berikut penjelasan lebih lanjut dari
dampak perkembangan imperialisme dan kolonialisme di Indonesia!
Bidang Politik
Disadari atau tidak, dengan datangnya pemerintahan kolonialisme ke Nusantara sangat
mempengaruhi bentuk pemerintahan Indonesia. Sebelumnya sistem pemerintahan di Indonesia
merupakan sistem kerajaan atau turun temurun tetapi dengan kedatangan Belanda yaitu Jenderal
Daendels membawa perubahan administrasi dan politik di Indonesia dengan lebih modern.

Perubahan yang sistem politik dan pemerintahan yang signifikan ini menyebabkan hilangnya
kekuasaan politik dari para penguasa Indonesia ke tangan Belanda. Adapun beberapa dampak
imperialisme dan kolonialisme di Indonesia dari sisi politik antara lain:
 Penerapan sistem indirect rule atau sistem pemerintahan tidak langsung dengan
menjadikan para bupati sebagai penguasa VOC.
 Munculnya berbagai perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah Hindia Belanda.
 Kebijakan Belanda yang sangat mempengaruhi kehidupan kerajaan-kerajaan di
Indonesia.
 Belanda menjadikan Bupati daerah sebagai alat kekuasaan pemerintahan mereka.
 Kekuasaan kerajaan bergantung pada kekuasaan kolonial Belanda.
Bidang Ekonomi
Dampak imperialisme dan kolonialisme Belanda juga berdampak pada bidang ekonomi. Dimana,
salah satu tujuan mereka menguasai Indonesia untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
dengan mencari uang dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan beberapa faktor yaitu :
 Adanya sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Belanda terhadap masyarakat
Indonesia.
 Diberlakukannya sistem sewa tanah karenanya terjadilah perubahan dari sistem ekonomi
barang ke sistem ekonomi uang.
 Belanda membangun fasilitas umum dengan memperkerjakan masyarakat Indonesia pada
kerja rodi.
Bidang Sosial Budaya
Dalam sisi perkembangan sosial budaya, kebudayaan masyarakat Indonesia terhadap masa
imperialisme dan kolonialisme juga mengalami perubahan. Dampak yang dirasakan salah
satunya adalah dengan berubahnya pola hidup masyarakat Indonesia akibat pengaruh bangsa
eropa. Hal tersebut disebabkan dengan adanya beberapa faktor antara lain :
 Berpindahnya fokus masyarakat pada bidang sosial budaya akibat hilangnya perann
politik dari para penguasa.
 Ikatan tradisi melemah akibat beberapa upacara adat yang disederhanakan.
 Hilangnya kekuasaan tradisional akibat dihilangnya status raja oleh Belanda dan
digantikan sebagai pegawai pemerintahannya.
Bidang Pendidikan
Belanda memajukan perkembangan pendidikan bagi rakyat Indonesia dengan tujuan untuk
menghasilkan pegawai administrasi yang berpendidikan dan bisa dibayar dengan upah minimal.
Dengan begitu, maka Belanda akan banyak mendapatkan keuntungan dipihaknya. Dampak
imperialisme dan kolonialisme dalam bidang pendidikan antara lain:
 Munculnya golongan-golongan terpelajar di Indonesia.
 Bangsa Indonesia bisa membaca dan menulis sehingga dapat menjadi tenaga-tenaga kerja
di perusahaan Belanda.
 Bangsa Indonesia menjadi tahu perkembangan yang terjadi di dunia luar.

Anda mungkin juga menyukai