Anda di halaman 1dari 4

Kartini, sebuah realita kehidupan bagi kaum

perempuan dalam mendobrak tradisi.

Masa hidupnya begitu singkat, 25 tahun. Namun, meskipun singkat R.A. Kartini banyak

menulis. Ada ratusan surat yang telah ia tulis untuk sejumlah sahabatnya di Negeri Belanda.

Tema tulisannya pun beragam, mulai dari kondisi sosial masyarakat, kungkungan budaya yang

dialami perempuan Jawa, pandang tentang agama, serta yang lain.

Beberapa goresan pena Kartini pernah mewarnai majalah wanita Belanda, De Hollandsche

Lelie. Tapi, hingga ia wafat tak ada buku yang ia tulis. Padahal, sang suami terus mendukung

Kartini agar menuliskan pemikiran dalam buku.

Kisah Kartini (1879-1904) laksana tragedi. Dan kisah tragedi, orang bilang, bisa menjadi

abadi. Tetapi kisah Kartini bukanlah dongeng. Ia adalah perempuan dalam dunia nyata yang

coba “memberontak”. Tindakan tabu pada masa itu di dunianya. Terlebih lagi dirinya adalah

seorang ningrat, bentuk kasta yang dikenal ketat dalam menjaga nilai tradisi dan etika

konservatif.

Kartini misalnya, tak mau dimadu. Ironi, karena bapaknya justru melakukan itu. Dan

Kartini adalah putri hasil pemaduan yang terjadi karena tradisi. Padahal Kartini sangat mencintai

dan mengagumi R.M Adipati Ario Sosroningrat, bapaknya.

Kartini juga ingin belajar dan terus bersekolah. Dinastinya, memang dikenal di Jawa

sebagai keluarga berpikiran maju dan mau berpendidikan Barat. Dengan prototype semacam itu,
kakeknya yang Bupati Demak, bahkan sempat dicela kaum bangsawan lain, karena dianggap

melawan tradisi.

Namun tradisi tetaplah tradisi. Setelah bersekolah di sekolah Belanda, pada usia 12 tahun

Kartini dipingit. Melalui proses panjang dan berbelit, di usia 19 tahun Kartini akhirnya diberi

“keleluasaan” oleh keluarganya. Ia bahkan boleh keluar tempat tinggalnya. Dampak dari itu, ia

sempat dicela.

Tetapi Kartini seperti tak perduli. Dengan semangat belajarnya yang luar biasa dan

dengan pengetahuan yang ia pelajari, Kartini hanya melihat realitas bahwa di dunianya, kaum

perempuan tampak lebih rendah derajatnya dari kaum laki-laki. Ia memberontak atas nama

emansipasi.

Kartini banyak berteman dengan orang-orang Belanda dalam belajar. Surat menyurat

adalah medianya. Pada usia 20 tahun saja, ia sudah bersurat-suratan dengan beberapa orang di

Belanda. Lebih dari itu, Kartini bahkan menulis untuk majalah dan surat kabar.

Apa yang dilakukan Kartinipun menarik hati J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan,

Agama dan Kerajinan Belanda, yang pada tahun 1900 ditugaskan ke Hindia Belanda.

Abendonanlah yang bersama istrinya kelak, mengumpulkan surat-surat Kartini untuk dibukukan,

dengan judul “Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Di tahun 1900 itu, ia

bertemu dengan Kartini yang telah berusia 21 tahun dan belum menikah, hingga dilewati adik

perempuannya.

Tahun 1903, dalam tekanan tradisi, Kartini akhirnya menerima pinangan menikah.

Setahun kemudian, ia melahirkan seorang anak laki-laki. 4 hari setelah kelahiran itu, Kartini

meninggal dunia di usia 25 tahun.


Apa yang dicetuskan Kartini dalam surat-suratnya memang hanya berupa pikiran. Ia tidak

sempat berbuat untuk merealisasikan apa yang dicita-citakannya bagi kaum perempuan.

Lagipula, hidup di masa dan dunia tradisinya di tahun-tahun sebelum 1900 memang belum

memungkinkan untuk “memberontak” sejauh itu. Ketika akhirnya beberapa sekolah untuk kaum

perempuan berdiri pada tahun-tahun awal 1900-an, hal ini turut didorong karena pemberlakuan

Politik Etis (Balas Budi) Belanda. Dewi Sartika adalah diantara yang mendirikan itu.

Keistimewaan Kartini terletak pada pikirannya yang memang melampaui zaman. Ia

membentuk cita-cita dalam ide, yang hebatnya, hal itu ia lakukan dalam diri anak perempuan

belasan tahun di tengah tradisi yang menjadikannya terkekang.

Namun di sini bukan Kartini tak menghargai tradisi. “Janganlah kami dipaksa untuk

coba mengubah adat kebiasaan negeri kami,” tulisnya. “Karena bangsa kami tetap akan

mendapatkan apa yang diinginkannya, yang mengkilap bercemerlangan. Kemerdekaan

perempuan, tak boleh tak akan datang juga. Pasti akan tiba. Hanya saja, mungkin tiada dapat

dipercepat datangnya,” (Surat Kartini kepada Nyonya Van Kol, 1 Agustus 1903). “Tetapi akan

tetap datang kiranya kelak keadaan baru dalam dunia bumiputera. Kalau bukan oleh kami,

tentu oleh orang lain lagi” (Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 9 Januari 1901).

KIsah Kartini laksana tragedi, yang mewakili nasib kaum perempuan yang ingin maju,
namun justru dikucilkan. Nasib dari satu kaum yang luar biasa, yang jangan-jangan, hingga kini,
derajatnya masih tetap harus diperjuangkan.

Tujuh tahun setelah kematiannya pada 1904, buku pertama tentang Kartini terbit.
Menyusul buku-buku lain di masa-masa berikutnya. Bahkan sampai kini, sosok Kartini masih
menyimpan aneka inspirasi untuk ditulis. Sudah ratusan buku tentang Kartini diterbitkan.
Semoga kartini-kartini modern memperjuangkan haknya tanpa meninggalkan kodratnya.
( diambil dari berbagai sumber ).
Rusnain,M. Pd, Lahir 13 Juli 1975 di Palembang . Menempuh pendidikan SDN
No 124 Palembang tamat tahun 1987. Pendidikan MTSN 1 Palembang tamat tahun 1990.
Pendidikan SMAN 11 Palembang tamat tahun 1993. Kemudian melanjutkan S1 FKIP
Universitas Muhamadiyag Prof. Dr. Hamka tamat tahun 1999., kemudian melanjutkan
pendididkan Pascasarjana program studi Pendidikan IPS di Universitas Indraprasta PGRI selesai
tahun 2021. Mulai berkarir sampai sekarang mengajar di SMA Avicenna.

Anda mungkin juga menyukai