Anda di halaman 1dari 12

R.

A Kartini

Raden Adjeng Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904) atau sebenarnya lebih tepat
disebut Raden Ayu Kartini. adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Pribumi-Nusantara.

Lahir: 21 April 1879; Jepara, Hindia Belanda (sekarang Indonesia)


Nama lain: Raden Ayu Kartini
Meninggal: 17 September 1904 (umur 25); Rembang, Hindia Belanda (sekarang Ind...
Suami/istri: K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat

Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan
putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi
bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan
istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat
dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik
kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi
bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi
penting di Pangreh Praja.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat
menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A.
Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai
salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak
Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12
tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena
sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat
kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa
Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial
yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft.
Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan).
Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga
ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali
mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak
Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan.
Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial
umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca
Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Selain itu, Kartini
juga membaca De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus dan karya Van Eeden
yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya
Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von
Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orang tuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12
November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan
didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September
1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini
dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian
di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut
adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang
tokoh Politik Etis.
Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan
ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah.

Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang
Belanda di luar negeri, seperti Tuan EC Abendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK
Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain. Surat-surat Kartini diterbitkan di
negeri Belanda pada 1911 oleh Mr JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht.
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru Armjn Pane pada 1922 dengan
judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Masa Kecil (1879 – 1892)


Meskipun menjunjung tinggi adat konservatif bangsawan Jawa, ayah
Kartini bisa dibilang berpemikiran sangat progresif pada zaman itu. Kartini
dan saudara-saudarinya adalah generasi permulaan dari pribumi yang
menerima pendidikan Barat dan menguasai Bahasa Belanda dengan
sempurna. Oleh karena itu, Kartini waktu kecil disekolahkan di Europeesche
Lageree School atau Sekolah tingkat SD di Jepara yang kebanyakan berisi
anak-anak pejabat Hindia-Belanda.

Dalam lingkungan sekolah, lagi-lagi Kartini melihat diskriminasi. Setiap pagi


sebelum mulai pelajaran, anak-anak dibariskan kemudian dipanggil
berdasarkan warna kulitnya dan kedudukan orang tuanya dalam susunan
kepagawaian serta susunan status sosial Hindia Belanda. Di satu sisi,
Kartini pandai bergaul dengan teman-teman sebayanya yang kebanyakan
noni-noni Belanda. Ia juga sangat senang belajar dan dikenal sebagai murid
yang aktif serta pandai. Namun, Kartini kecil juga merasakan diskriminasi,
bukan dari teman-temannya, melainkan justru dari para guru-guru yang
memperlakukan keturunan Belanda lebih istimewa daripada anak
keturunan pribumi.

Sejak kecil Kartini hidup dalam dunia yang “aneh”, keturunan terhormat tapi
hidupnya terdiskriminasi oleh adat keluarga, lingkungan sosial maupun
guru di sekolah. Namun demikian, dalam lingkungan pergaulan anak-anak
yang polos, mungkin untuk pertama kalinya Kartini merasakan asas
kesetaraan dan hubungan emosional yang dekat dengan bermain-main
bersama anak-anak keturunan Belanda. Sampai pada suatu hari, dia
mendapatkan sebuah pengalaman tak terlupakan dari sebuah pertanyaan
simpel teman sebayanya bernama Letsy Detmar.

Diceritakan pada salah satu suratnya (Agustus tahun 1900 kepada Ny.
Abendanon), bahwa pada suatu hari ketika masih bersekolah dia lagi
nongkrong dengan salah satu temannya di bawah pohon. Kira-kira begini
ilustrasi obrolan mereka (aslinya mereka ngomong pake Bahasa Belanda):

 Kartini : “Hei Letsy, kamu lagi baca buku apaan tuh? Ceritain
dong tentang bukunya!”
 Letsy : “Ini loh, gue lagi baca buku Perancis. Gue kan nanti mau
masuk Sekolah Keguruan di Belanda.”

 Kartini : “Ooh begitu toh…”

 Letsy : “Kalo kamu Ni, kamu mau jadi apa kelak?”

Mendengar pertanyaan itu, Kartini cuma bisa bengong. Selama ini,


pertanyaan semacam itu enggak pernah muncul di benaknya. Sebelumnya,
Kartini hanya bocah pada umumnya yang senang bermain dan belajar di
sekolah tanpa terlalu memikirkan masa depan. Pertanyaan Letsy itu terus
menghantui Kartini sepanjang hari, sampai akhirnya dia lari pulang ke
rumah dan bertanya pada ayahnya, akan menjadi seperti apa dirinya kelak.

Waktu ditanya, jawaban ayah Kartini singkat saja “Ya tentu, menjadi Raden
Ayu”. Awalnya Kartini senang-seneng aja bahwa dirinya kelak menjadi
seorang Raden Ayu (namanya juga masih bocah). Tapi apakah ‘”Raden
Ayu” itu? Pertanyaan itu terjawab ketika dia lulus dari sekolah rendah
(tingkat SD) waktu umur 12 tahun, umur di mana seorang gadis bangsawan
Jawa harus dipersiapkan untuk menikah (dipingit) dan tidak boleh
bepergian ke manapun selain di rumah untuk belajar memasak, membatik,
dan pekerjaan rumah tangga agar kelak menjadi istri yang baik dan
penurut.

Diceritakan dalam suratnya pada Nn. Estelle Zeehandelaar, bahwa sejak


saat itu dunianya seolah runtuh dan seolah hidup dalam penjara. Kendati
Kartini berlutut dan memohon pada ayahnya untuk melanjutkan sekolah
ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang, ayah Kartini yang terkenal
progresif itupun melarang Kartini untuk “mengacaukan” tatanan
istiadat bangsawan Jawa dan harus mematuhi tuntutan adat untuk dipingit
dan harus bersedia menerima lamaran lelaki tanpa memiliki hak untuk
bertanya, apalagi menolak.

Itulah gambaran singkat masa kecil Kartini yang tragis. Seorang gadis


turunan bangsawan yang memiliki keinginan belajar yang besar, tapi tidak
memiliki kebebasan. Dunia masa kecilnya dipenuhi oleh diskriminasi dan
ketidakadilan. Di saat Letsy, dan sahabat-sahabatnya melanjutkan sekolah
di Belanda atau Batavia, ia harus dipersiapkan untuk menjadi calon istri pria
manapun yang melamar, dan hidup sebagai seorang istri dan ibu yang
patuh bagi keluarga. Inilah potret kehidupan perempuan Nusantara
(terutama di Jawa) pada awal abad 20.

Masa Remaja dalam Pingitan (1892-1898)


Sejak umur 12 tahun (1892) Kartini masuk ke dalam “kotak” dan harus
melewati setiap tahap upacara adat keluarga bangsawan Jawa.
Sebagaimana kaum bangsawan Jawa pada masa itu, Kartini melewati
upacara cukur rambut, turun bumi, dll. Bagi orang Jawa, upacara-upacara
sangat penting untuk menentukan babak kehidupan, baik kelahiran,
kedewasaan, perkawinan, maupun kematian.

Hari-hari awal dipingit, Kartini masih galau, bosan, jenuh, dan sedikit sirik
dengan teman-teman maupun saudara-saudarinya yang bersekolah. Adik-
adik Kartini yang lebih muda (Roekmini dan Kardinah), masih bersekolah di
sekolah rendah dan menanti giliran dipingit. Sementara kakak laki-
lakinya, RM Sosrokartono bernasib lebih beruntung sebagai laki-laki karena
bisa melanjutkan sekolah di HBS Semarang dan ke Universitas Leiden,
Belanda. Hari-hari awal Kartini hanya dihiasi dengan kegiatan belajar
memasak, membatik, dan menulis surat.

Beruntungnya, Kartini memiliki 2 orang yang sangat peduli dengan


kegelisahan dan juga semangat belajar dalam dirinya. Orang pertama
adalah sang kakak, Sosrokartono, yang sering mengirimkan buku-buku
berkualitas pada Kartini. Kedua adalah Nyonya Marie Ovink-Soer, seorang
istri asisten residen Jepara yang tidak memiliki anak. Karena hubungan
politik antar keluarga ini, Nyonya Ovink-Soer sering bertamu ke keluarga
Sosroningrat. Hubungan emosional antar Kartini dan Nyonya Ovink-Soer
menjadi sangat dekat hingga Kartini menyebutnya dengan
sebutan Moedertje yang artinya Ibu tersayang.

Keluarga Ovink-Soer merupakan keluarga bangsawan Belanda yang


pertama kali dikenal Kartini. Lewat Nyonya Ovink-Soer, Kartini belajar
budaya Belanda dan nilai-nilai modernitas Barat. Interaksi dan diskusi
Kartini dengan keluarga Ovink-Soer membuat Kartini merasakan bahwa
dirinya setara dengan perempuan Belanda–suatu perasaan yang sangat
sulit ia dapatkan dalam lingkungan feodalisme keluarga Jawa. Selain
memperkenalkan Kartini dengan bacaan progresif Belanda, keluarga Ovink-
Soer ini juga memberi perspektif baru dalam pola hubungan keluarga antar
lelaki dan perempuan. Kartini sangat heran sekaligus tertarik dengan pola
hubungan pasangan Ovink-Soer yang menjunjung tinggi asas kesetaraan,
kebebasan berpendapat, sikap saling menghargai, di mana keduanya
sama-sama memiliki hak suara dalam keputusan keluarga. Suatu bentuk
hubungan yang sangat bertolak belakang dengan adat masyarakat Jawa
pada saat itu.

Sejak dipingit dan tidak boleh bersekolah maupun tidak boleh keluar rumah,
semangat belajar Kartini hanya tersalurkan pada bacaan buku-buku
Belanda yang dikirim oleh sang kakak dan sang moedertje.  Bacaan Kartini
tergolong dari karya sastra feminis dan anti perang, seperti Goekoop de-
Jong Van Beek, Berta Von Suttner, Van Eeden, hingga Max Havelaar karya
Multatuli yang menceritakan ketidakadilan dari cultuurstelsel/tanam paksa
kopi. Semua buku berbahasa Belanda ini memperkaya perspektif Kartini
yang diam-diam mulai ingin memperjuangkan nasib kaum perempuan
pribumi untuk mendapatkan hak yang setara dengan lelaki, baik dalam
pendidikan, berpendapat, hingga pengambilan keputusan.

Gebrakan awal yang dilakukan Kartini dimulai dari lingkungan keluarga


terdekatnya sendiri, yaitu adik-adiknya (Roekmini dan Kardinah) yang
terpaut hanya 1-2 tahun dan kebagian nasib yang sama (dipingit) segera
setelah mereka lulus sekolah rendah (SD). Kepada adik-adiknya, Kartini
mempraktekan nilai-nilai kesetaraan dalam persaudaraan. Kartini tidak
ingin adik-adiknya berjalan jongkok di depannya, menyembah, berbahasa
kromo inggil, dan etiket feodal Jawa lainnya. Kartini bahkan mengizinkan
adik-adiknya untuk bertatap muka langsung ketika berbicara dan
memanggil satu sama lain dengan sebutan “kamu” yang berarti tergolong
bahasa Jawa ngoko. Bagi kita yang sekarang hidup di zaman Indonesia
modern, memanggil orang lain dengan sebutan “kamu” adalah hal yang
wajar, bahkan tergolong sopan dalam lingkungan pergaulan sebaya.
Namun bagi zaman awal abad 20, itu adalah suatu gebrakan yang sangat
serius dan mencengangkan. Kartini adalah orang pertama yang berani
mendobrak tatanan adat masyarakat Jawa yang dia anggap merendahkan
orang lain.

Kenekatan Kartini dengan prinsip egaliternya (kesetaraan), menjadikan


dirinya dijuluki kuda kore atau kuda liar oleh lingkungannya. Enam tahun
dalam pingitan, Kartini adalah gadis pertama yang tercatat dalam sejarah
peradaban Jawa yang memberontak pada tatanan adat istiadat yang kaku
dan tidak mempedulikan tekanan sosial di sekitarnya. Jadi sekarang kalo lo
memandang potret Kartini yang kalem dengan mengenakan kebaya, jangan
dibayangkan dia adalah putri bangsawan yang kalem, anggun, sopan,
dengan tata krama yang halus. Sosok Kartini yang gua baca dalam surat-
surat aslinya adalah sosok yang pecicilan, pemberontak, tidak patuh,
lincah, berpandangan luas, pandai, suka bercanda dan kalau tertawa
terbahak-bahak. Hal yang sangat sulit diterima oleh lingkungan adat Jawa
pada masa itu.

Semangat Kartini untuk mendobrak tatanan adat yang membuat wanita


tidak bebas memperoleh pendidikan tinggi, kawin paksa, poligami,
perceraian sepihak, dsb–juga diikuti oleh Roekmini dan Kardinah.
Semangat mereka bertiga semakin menyala ketika 2 Mei 1898 sang ayah
memutuskan membebaskan mereka dari pingitan. Keputusan Sosroningrat
ini tidak lepas atas bujukan dari Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-
Soer agar memperbolehkan Kartini dan adik-adiknya untuk menghadiri
perayaan hari penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang. Kegembiraan
Kartini ia tuliskan dalam suratnya tak terbendung. Ini adalah hari paling
membahagiakan bagi dirinya, hari pertama pembebasan itupun
dirayakan dengan pengalaman pertama Kartini keluar Jepara dan melihat
“dunia baru” di Semarang.

Terlepas dari Pingitan (1898-1903)


Setelah lepas dari pingitan, Kartini mendirikan sekolah pertama untuk
perempuan pribumi di tanah Hindia Belanda. Awalnya, sekolah itu berisi
hanya satu orang murid. Ide “menyekolahkan anak perempuan” itu adalah
hal yang asing, aneh, dan radikal. Tidak menyerah, Kartini terus menyurati
orangtua yang memiliki anak perempuan di seluruh Jepara untuk menjadi
murid sekolah yang didirikannya. Lambat laun, murid-murid Kartini pun
bertambah.

Kiprah Kartini yang mungkin bagi kita terkesan sederhana, tapi rupanya
menjadi tonggak awal dan pendobrak pertama yang menguraikan
ketidakadilan posisi wanita di Nusantara. Sebagai pelopor gagasan-
gagasan yang radikal, ia secara tegas mengkritik adat istiadat yang tidak
menjunjung tinggi kesetaraan. Bagi Kartini, kemajuan rakyat di Jawa
(khususnya di Jepara) justru dihalang-halangi oleh kaum aristokratnya
sendiri, yang menganggap dirinya paling mulia dalam masyarakat.
Bukan saja tercatat sebagai pendiri sekolah wanita pertama, Didi
Kwartanada (sejarawan Yayasan Nabil) berpendapat bahwa Kartini juga
bisa disebut sebagai jurnalis pertama sekaligus antropolog pertama
Indonesia. Pada suatu kesempatan, Kartini menulis catatan dokumentasi
perkawinan di tanah Koja dengan sangat detil. Sebelum Kartini, tidak ada
tokoh nasional yang sampai melakukan observasi langsung dan
mendokumentasikan tata cara perkawinan adat Jawa secara tertulis.
Tanpa tulisan-tulisan Kartini, mungkin Bangsa Indonesia tidak pernah
memiliki catatan sejarah tertulis yang jelas tentang kondisi masyarakat,
budaya, dan adat istiadat Jawa di masa lampau.

Selain mengajar, Kartini juga aktif berkorespondensi (surat-menyurat)


dengan banyak sahabat pena di Belanda. Kebiasaan itu dimulai dari saran
sang Moedertje untuk meminta Johanna van Woude (redaksi majalah de
hollandsche lelie) untuk menerbitkan iklan yang isinya permintaan Kartini
untuk mendapatkan sahabat pena dan bertukar pikiran seputar budaya.
Iklan 15 Maret 1899 itu disambut oleh seorang aktivis feminis Belanda
yang 5 tahun lebih tua dari Kartini bernama Estelle Zeehandelaar (Stella).
Maka sejak saat itu, dimulailah korespondensi antara 2 wanita berpikiran
maju dari 2 dunia berbeda yang belum pernah bertemu. Dari
rantai korespondensi ini pula, Kartini mengenal berbagai tokoh feminis
Eropa seperti Abendanon, Rosa Manuela, Hendrik de Booy, Hilda Gerarda,
Henri Hubert van Kol, dll… yang selalu membakar semangat Kartini untuk
membuat perubahan di tanah Jawa.

Sampai pada suatu ketika, Kartini memiliki impian untuk kembali


bersekolah dan melihat dunia. Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi,
terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa
sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini
tersebut. Namun nasib berkata lain, impiannya bersekolah di Eropa pupus
kendati telah mengantongi beasiswa setelah permintaannya ditolak pada
24 Januari 1903 oleh J.H. Abendanon, seorang direktur departemen
(setingkat menteri) pendidikan, agama, dan industri Hindia Belanda yang
sudah dianggap ayah angkat oleh Kartini.

Alasan penolakan ini menuai perdebatan beberapa versi di kalangan


sejarawan. Namun secara garis besar, Abendanon menyatakan
kekhawatirannya jika Kartini disekolahkan oleh Belanda, akan menuai
persepsi negatif oleh masyarakat lokal. Sementara itu, sekolah yang
didirikan Kartini sedang berkembang dan cukup mendapat simpatik dari
masyarakat. Di sisi lain, kondisi kesehatan ayah Kartini kian memburuk dan
semakin memberatkan niat keberangkatannya. Kegagalannya untuk dapat
melanjutkan sekolah ke Eropa cukup membuat Kartini terpukul dan kecewa
hingga beberapa minggu.

Nasib kurang beruntung Kartini ternyata belum berakhir pula. Pada


pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatnya untuk
melanjutkan studi menjadi guru di Batavia juga terhalang oleh kedatangan
sepucuk surat lamaran, dari Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Djojo
Adhiningrat (selanjutnya disebut Djojoadhiningrat).

Polemik Pernikahan (1903-1904)


Kartini sangat kaget karena mendapat lamaran dari seorang Bupati
Rembang yang telah memiliki 3 garwo ampil atau selir dengan 7 anak.
Keheranan Kartini tidak hanya karena dilamar oleh pria yang sudah beristri,
tetapi juga karena image  seorang Kartini yang pada zaman itu dinilai sudah
tidak “layak” dijadikan istri. Selain sudah berumur 24 tahun (waktu itu umur
segitu dianggap perawan tua), Kartini juga dinilai sebagai kuda kore yang
tidak mau diatur. Jelas bukan citra “istri yang ideal” pada zaman adat
feodalisme masih sangat kental dalam masyarakat Jawa.

Di sisi lain, ayah Kartini yang awalnya keras memaksa Kartini untuk
menempuh adat pingitan , sedikit banyak merasa bersalah. Oleh karenanya,
Sosroningrat membebaskan puterinya membaca dan agak segan meminta
puterinya lekas menikah dalam pingitan. Namun dalam tatanan
masyarakat masa itu, tetap saja cibiran mengalir deras pada keluarga.
Gagal mengawinkan anak gadisnya hingga menjadi perawan tua adalah
sebuah “kegagalan” norma dalam tatanan adat Jawa. Akibatnya,
Sosroningrat jatuh sakit dan mengalami gejala psikosomatis. Kartini yang
sangat menyayangi ayahnya dan tidak ingin membuat ayahnya “menderita”
lebih jauh, akhirnya mengalah dan mempertimbangkan lamaran
Djojoadhiningrat.

Dalam proses penerimaan lamaran ini, Kartini melakukan banyak hal yang
sangat tidak lazim bagi perempuan pada masa itu. Hal pertama adalah,
Kartini menyelidiki latar belakang calon suaminya. Bagi tatanan
masyarakat Jawa pada masa saat itu, seharusnya pihak wanita pasrah-
pasrah saja menerima lamaran, tanpa ada hak untuk tahu, bertanya,
apalagi mempertimbangkan. Hal berikutnya adalah, Kartini mengajukan
syarat pernikahan kepada calon suaminya. Lagi-lagi ini adalah
langkah yang sangat radikal dalam sejarah pernikahan bangsawan Jawa.

Syarat dari Kartini antara lain: Kartini ingin diberi kebebasan


untuk membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri pejabat Rembang,
seperti yang telah dia lakukan di Jepara. Dalam prosesi pernikahan, Kartini
tidak mau ada proses jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki pria, dan
gestur-gestur lain yang melambangkan ketidaksetaraan antar hubungan
laki-laki dan perempuan. Syarat terakhir, Kartini minta untuk diperbolehkan
berbicara dengan suaminya dengan bahasa Jawa ngoko, bukan kromo
inggil.

Entah bagaimana kagetnya Djojoadiningrat sewaktu mendengar syarat-


syarat sinting itu. Namun demikian, Djojoadhiningrat telah menerima
wasiat salah seorang mendiang istrinya yang sangat mengagumi Kartini
dan berpesan agar dirinya menikahi Kartini demi anak-anak mereka.
Singkatnya, Djojoadhiningrat menerima lamaran Kartini dan mereka
menikah pada tanggal 12 November 1903.

Meninggal dan Warisannya (1904-Sekarang)


Sepuluh bulan setelah pernikahannya, Kartini melahirkan anak semata
wayang RM Soesalit Djojoadhiningrat. Kelak, putra tunggalnya itu menjadi
seorang pejuang Indonesia melawan penjajahan Belanda dan Jepang.
Empat hari setelah proses melahirkan, kondisi tubuh Kartini drop secara
mendadak dan meninggal dunia pada 17 september 1904. Kematian Kartini
sangat mendadak dan mengagetkan banyak pihak, bahkan ada desas-
desus Kartini meninggal karena diracun atau korban malpraktik dari dokter
yang tidak cakap. Namun hingga kini, tidak ada bukti kuat yang bisa
mengarahkan dugaan kita pada kemungkinan tersebut, selain dari kondisi
fisik yang sangat rentan pasca-melahirkan.

Setelah Kartini wafat, J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan


surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di
Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya
“Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini bikin
geger Amsterdam ketika diterbitkan pertama kali tahun 1911. Sejak saat
itu, suara Kartini terdengar jauh hingga ke seluruh Eropa dan Hindia,
sebagai sosok perempuan pertama yang memecah keheningan dan
menjadi suara inspirasi sekaligus pelopor dari revolusi budaya di tanah
Nusantara, menuju kesetaraan hak antar lelaki dan perempuan. Dari
kesempatan yang sama untuk menimba ilmu, persamaan hak untuk
mendapatkan kesempatan berkembang, hingga kebebasan berpendapat
dan mengambil keputusan.

Hingga pada akhirnya, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan


Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang
menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus
menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Terinspirasi oleh semangat Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita


oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian
di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini“. Yayasan Kartini ini
didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Penutup
Belakangan ini, ada sebagian kalangan (termasuk sejarawan) yang
memperdebatkan gelar Pahlawan Nasional Kartini. Ada banyak alasan
yang menjadi dasar kritik pemberian gelar pahlawan Kartini, salah satunya
karena Kartini dalam hidupnya tidak pernah mengenal istilah negara
Indonesia. Di sisi lain, ada sebagian kalangan intelektual juga menyebut
Kartini “dibesarkan penjajah” dan tidak konsisten pada prinsipnya dan
memutuskan menikah dengan pria yang sudah beristri. Terlebih lagi, Kartini
juga tidak secara aktif mengangkat senjata melawan penjajah dan hanya
bergelut dengan ide dan pemikiran abstrak saja.

Dalam perspektif tersebut, sebetulnya gua juga setuju bahwa


gelar kepahlawanan Kartini layak dipertanyakan. Namun di sisi lain, gua
pribadi berpendapat bahwa memang bukan di situ cara memandang karya
hidup Kartini. Kartini bisa jadi bukan pahlawan (yang bahkan sangat
mungkin dia sendiri tidak suka diberi gelar itu). Tapi terlepas dari ada atau
tidaknya gelar kepahlawanan, Kartini adalah sosok yang menjadi tonggak
pertama dari sebuah perjuangan sekaligus pendobrak awal dari sistem
yang menjerat peran wanita di Nusantara selama entah ratusan atau
bahkan ribuan tahun.

Dengan hidupnya yang singkat, skala pencapaian Kartini memang relatif


tidak besar. Bisa jadi, ada banyak sosok perempuan lain yang lebih layak
dijadikan simbol perempuan nasional Indonesia. Tapi yang menjadikannya
istimewa, karena Kartini adalah pemikir modern pertama di tanah
Nusantara yang menuliskan pemikirannya secara runut dan detail. Tanpa
tulisan-tulisan dan surat asli dari Kartini, penyusunan sejarah modern
Indonesia akan sangat sulit dilakukan. Tidak bisa dipungkiri pula, Kartini
adalah penggerak gigi roda pertama yang mendobrak kemakluman atas
represi gender. Dialah inspirasi pertama dari perjuangan rakyat (terutama
wanita) untuk memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan atas
status sosial dan hukum.

112 tahun berlalu setelah kepergian Kartini, saat ini bukan hanya tidak ada
lagi seorang istri yang mlaku ndodok ngesot di depan suami dan anak
sendiri. Tapi kini bangsa kita sudah dalam sebuah masa, di mana
perempuan sama-sama memiliki hak yang setara di hadapan hukum,
sama-sama memiliki kesempatan belajar setinggi-tingginya, dan bisa
memberikan hak suara politik dalam sistem demokrasi. Sebuah kondisi
yang mungkin sangat sulit dibayangkan oleh masyarakat di
Nusantara yang hidup 112 tahun yang lalu.

Anda mungkin juga menyukai