Anda di halaman 1dari 63

Kartini

pahlawan nasional Indonesia

Raden Adjeng Kartini (21 April 1879 – 17


September 1904) atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini[a] adalah
seorang tokoh Jawa dan Pahlawan
Nasional Indonesia.[1] Kartini adalah
seorang pejuang kemerdekaan dan
kedudukan kaumnya, pada saat itu
terutama wanita Jawa.[2]Ia mempunyai
tanggal lahir yang sama seperti dr.
Radjiman Wedyodiningrat, yakni sama-
sama lahir pada 21 April 1879.
Raden Adjeng

Kartini

Repro negatif potret Raden Ajeng Kartini


(foto 1890-an)

Lahir 21 April 1879


Jepara, Hindia
Belanda

Meninggal 17 September 1904


(umur 25)
Rembang, Hindia
Belanda

Nama lain Raden Ayu Kartini


Dikenal atas Emansipasi wanita

Suami/istri K.R.M. Adipati Ario


Singgih
Djojoadhiningrat

Anak Soesalit
Djojoadhiningrat

Tanda tangan

Ia dilahirkan dalam keluarga bangsawan


Jawa di Hindia Belanda (sekarang
Indonesia). Setelah bersekolah di
sekolah dasar berbahasa Belanda, ia
ingin melanjutkan pendidikan lebih lanjut,
tetapi perempuan Jawa saat itu dilarang
mengenyam pendidikan tinggi. Ia
bertemu dengan berbagai pejabat dan
orang berpengaruh, termasuk J.H.
Abendanon, yang bertugas
melaksanakan Kebijakan Etis Belanda.

Setelah kematiannya, saudara


perempuannya melanjutkan
pembelaannya untuk mendidik anak
perempuan dan perempuan.[3] Surat-
surat Kartini diterbitkan di sebuah
majalah Belanda dan akhirnya, pada
tahun 1911, menjadi karya: Habis Gelap
Terbitlah Terang, Kehidupan Perempuan di
Desa, dan Surat-Surat Putri Jawa. Ulang
tahunnya sekarang dirayakan di
Indonesia sebagai Hari Kartini untuk
menghormatinya, serta beberapa
sekolah dinamai menurut namanya dan
sebuah yayasan didirikan atas namanya
untuk membiayai pendidikan anak
perempuan Indonesia.

Biografi

Ayah Kartini, R.M.A.A. Sosroningrat.

Raden Adjeng Kartini berasal dari


kalangan priayi atau kelas bangsawan
Jawa. Ia merupakan putri dari Raden
Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang
patih yang diangkat menjadi bupati
Jepara segera setelah Kartini lahir.
Kartini adalah putri dari istri pertama,
tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama
M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti
Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang
guru agama di Telukawur, Jepara. Dari
sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak
hingga Hamengkubuwana VI. Garis
keturunan Bupati Sosroningrat bahkan
dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan
Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin
menjadi bupati Surabaya pada abad ke-
18, nenek moyang Sosroningrat mengisi
banyak posisi penting di Pangreh Praja.[4]
Ayah Kartini pada mulanya adalah
seorang wedana di Mayong. Peraturan
kolonial waktu itu mengharuskan
seorang bupati beristerikan seorang
bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi,[5] maka
ayahnya menikah lagi dengan Raden
Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan
langsung Raja Madura.[4] Setelah
perkawinan itu, ayah Kartini diangkat
menjadi bupati di Jepara menggantikan
kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11


bersaudara kandung dan tiri. Dari semua
saudara sekandung, Kartini adalah anak
perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran
Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati
dalam usia 25 tahun dan dikenal pada
pertengahan abad ke-19 sebagai salah
satu bupati pertama yang memberi
pendidikan Barat kepada anak-
anaknya.[4] Kakak Kartini, Sosrokartono,
adalah seorang yang pintar dalam bidang
bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di
Europeesche Lagere School (ELS). Di sini
Kartini belajar bahasa Belanda. Namun,
setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di
rumah karena harus dipingit.
Surat Kartini - Rosa Abendanon (fragmen)

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda,


di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman
korespondensi yang berasal dari
Belanda. Salah satunya adalah Rosa
Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan
berpikir perempuan Eropa. Timbul
keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi karena ia melihat
bahwa perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar


Semarang De Locomotief yang diasuh
Pieter Brooshooft. Ia juga menerima
leestrommel (paket majalah yang
diedarkan toko buku kepada langganan).
Di antaranya terdapat majalah
kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang
cukup berat, juga ada majalah wanita
Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun
kemudian beberapa kali mengirimkan
tulisannya dan dimuat di De Hollandsche
Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini
membaca apa saja dengan penuh
perhatian sambil membuat catatan-
catatan. Kadang-kadang Kartini
menyebut salah satu karangan atau
mengutip beberapa kalimat.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata
soal emansipasi wanita, tetapi juga
masalah sosial umum. Kartini melihat
perjuangan wanita agar memperoleh
kebebasan, otonomi dan persamaan
hukum sebagai bagian dari gerakan yang
lebih luas. Di antara buku yang dibaca
Kartini sebelum berumur 20, terdapat
judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta
karya Multatuli, yang pada November
1901 sudah dibacanya dua kali. Selain
itu, Kartini juga membaca De Stille
Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis
Coperus dan karya Van Eeden yang
bermutu tinggi, karya Augusta de Witt
yang sedang-sedang saja, roman-feminis
karya Nyonya Goekoop de-Jong Van
Beek dan sebuah roman anti-perang
karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya
berbahasa Belanda.

Oleh orang tuanya, Kartini dijodohkan


dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat,[6] yang
sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini
menikah pada tanggal 12 November
1903. Suaminya mengerti keinginan
Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan
didukung mendirikan sekolah wanita di
sebelah timur pintu gerbang kompleks
kantor kabupaten Rembang atau di
sebuah bangunan yang kini digunakan
sebagai Gedung Pramuka.

Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.

Anak satu-satunya, Soesalit


Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari
kemudian, 17 September 1904, Kartini
meninggal pada usia 25 tahun. Kartini
dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan
Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan Kartini, belakangan
didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang pada 1912, dan
kemudian di Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah
lainnya. Nama sekolah tersebut adalah
"Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini
didirikan oleh keluarga Van Deventer,
seorang tokoh Politik Etis.

Meski tidak sempat berbuat banyak


untuk kemajuan bangsa dan tanah air,
Kartini mengemukakan ide-ide
pembaruan masyarakat yang melampaui
zamannya melalui surat-suratnya yang
bersejarah.
Cita-citanya yang tinggi dituangkan
dalam surat-suratnya kepada kenalan
dan sahabatnya orang Belanda di luar
negeri, seperti Tuan EC Abendanon, Ny
MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr
GK Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan
Ny HG de Booij-Boissevain. Surat-surat
Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada
1911 oleh Mr JH Abendanon dengan
judul Door Duisternis tot Licht.
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh
sastrawan pujangga baru Armijn Pane
pada 1922 dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang.[7]
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Jacques
Abendanon mengumpulkan dan
membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan R.A Kartini pada teman-
temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Buku itu diberi judul Door Duisternis tot
Licht yang arti harfiahnya "Dari
Kegelapan Menuju Cahaya". Buku
kumpulan surat Kartini ini diterbitkan
pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak
lima kali dan pada cetakan terakhir
terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka
menerbitkannya dalam bahasa Melayu
dengan judul yang diterjemahkan
menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang:
Boeah Pikiran, yang merupakan
terjemahan oleh Empat Saudara.
Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis
Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane
seorang sastrawan Pujangga Baru.
Armijn membagi buku menjadi lima bab
pembahasan untuk menunjukkan
perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya.
Versi ini sempat dicetak sebanyak
sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam
bahasa Inggris juga pernah
diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang


perempuan pribumi, sangat menarik
perhatian masyarakat Belanda, dan
pemikiran-pemikiran Kartini mulai
mengubah pandangan masyarakat
Belanda terhadap perempuan pribumi di
Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang
tertuang dalam surat-suratnya juga
menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh
kebangkitan nasional Indonesia, antara
lain W.R. Soepratman yang menciptakan
lagu berjudul "Ibu Kita Kartini". Lagu
tersebut menggambarkan inti perjuangan
wanita untuk merdeka.

Pemikiran

Uang kertas pecahan IDR 5 cetakan tahun 1952 dengan gambar Kartini.

Pada surat-surat Kartini tertulis


pemikiran-pemikirannya tentang kondisi
sosial saat itu, terutama tentang kondisi
perempuan pribumi. Sebagian besar
surat-suratnya berisi keluhan dan
gugatan khususnya menyangkut budaya
di Jawa yang dipandang sebagai
penghambat kemajuan perempuan. Dia
ingin wanita memiliki kebebasan
menuntut ilmu dan belajar. Kartini
menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-
onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-
werkzaamheid dan juga Solidariteit.
Semua itu atas dasar Religieusiteit,
Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan,
Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri
kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta
tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya


untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Pada perkenalan dengan Estelle "Stella"
Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum
muda Eropa. Ia menggambarkan
penderitaan perempuan Jawa akibat
kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas
duduk di bangku sekolah, harus dipingit,
dinikahkan dengan laki-laki yang tak
dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap


tentang kendala-kendala yang harus
dihadapi ketika bercita-cita menjadi
perempuan Jawa yang lebih maju. Meski
memiliki seorang ayah yang tergolong
maju karena telah menyekolahkan anak-
anak perempuannya meski hanya sampai
umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke
sana tertutup. Kartini sangat mencintai
sang ayah, namun ternyata cinta kasih
terhadap sang ayah tersebut juga pada
akhirnya menjadi kendala besar dalam
mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam
surat juga diungkapkan begitu mengasihi
Kartini. Ia disebutkan akhirnya
mengizinkan Kartini untuk belajar
menjadi guru di Betawi, meski
sebelumnya tak mengizinkan Kartini
untuk melanjutkan studi ke Belanda
ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan


studi, terutama ke Eropa, memang
terungkap dalam surat-suratnya.
Beberapa sahabat penanya mendukung
dan berupaya mewujudkan keinginan
Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini
membatalkan keinginan yang hampir
terwujud tersebut, terungkap adanya
kekecewaan dari sahabat-sahabat
penanya. Niat dan rencana untuk belajar
ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke
Betawi saja setelah dinasihati oleh
Nyonya Abendanon bahwa itulah yang
terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat


berusia sekitar 24 tahun, niat untuk
melanjutkan studi menjadi guru di Betawi
pun pupus. Dalam sebuah surat kepada
Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap
tidak berniat lagi karena ia sudah akan
menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak
mempergunakan kesempatan itu lagi,
karena saya sudah akan kawin..." Padahal
saat itu pihak departemen pengajaran
Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini
untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat


perubahan penilaian Kartini soal adat
Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia
menganggap pernikahan akan membawa
keuntungan tersendiri dalam
mewujudkan keinginan mendirikan
sekolah bagi para perempuan bumiputra
kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini
menyebutkan bahwa sang suami tidak
hanya mendukung keinginannya untuk
mengembangkan ukiran Jepara dan
sekolah bagi perempuan bumiputra saja,
tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat
menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini


menyiratkan bahwa dia sudah lebih
menanggalkan egonya dan menjadi
manusia yang mengutamakan
transendensi, bahwa ketika Kartini
hampir mendapatkan impiannya untuk
bersekolah di Betawi, dia lebih memilih
berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya,
yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Buku
Habis Gelap Terbitlah Terang

Sampul buku versi Armijn Pane.

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door


Duisternis Tot Licht disajikan dalam
bahasa Melayu dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran.
Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Armijn Pane, salah seorang sastrawan
pelopor Pujangga Baru, tercatat
sebagai salah seorang penerjemah
surat-surat Kartini ke dalam Habis
Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga
disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah
Terang diterbitkan kembali dalam
format yang berbeda dengan buku-
buku terjemahan dari Door Duisternis
Tot Licht. Buku terjemahan Armijn
Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali.
Selain itu, surat-surat Kartini juga
pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Armijn Pane menyajikan surat-surat
Kartini dalam format berbeda dengan
buku-buku sebelumnya. Ia membagi
kumpulan surat-surat tersebut ke
dalam lima bab pembahasan.
Pembagian tersebut ia lakukan untuk
menunjukkan adanya tahapan atau
perubahan sikap dan pemikiran Kartini
selama berkorespondensi. Pada buku
versi baru tersebut, Armijn Pane juga
menciutkan jumlah surat Kartini.
Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam
"Habis Gelap Terbitlah Terang".
Penyebab tidak dimuatnya
keseluruhan surat yang ada dalam
buku acuan Door Duisternis Tot Licht,
adalah terdapat kemiripan pada
beberapa surat. Alasan lain adalah
untuk menjaga jalan cerita agar
menjadi seperti roman. Menurut
Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat
dibaca sebagai sebuah roman
kehidupan perempuan. Ini pula yang
menjadi salah satu penjelasan
mengapa surat-surat tersebut ia bagi
ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang
dan Untuk Bangsanya
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan
oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya
Sulastin menerjemahkan Door
Duisternis Tot Licht di Universitas
Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan
studi di bidang sastra tahun 1972.
Salah seorang dosen pembimbing di
Leiden meminta Sulastin untuk
menerjemahkan buku kumpulan surat
Kartini tersebut. Tujuan sang dosen
adalah agar Sulastin bisa menguasai
bahasa Belanda dengan cukup
sempurna. Kemudian, pada 1979,
sebuah buku berisi terjemahan
Sulastin Sutrisno versi lengkap Door
Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin
Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsanya. Menurut Sulastin, judul
terjemahan seharusnya menurut
bahasa Belanda adalah: "Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski
tertulis Jawa, yang didamba
sesungguhnya oleh Kartini adalah
kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin
menyajikan lengkap surat-surat Kartini
yang ada pada Door Duisternis Tot
Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-
surat Kartini, Renungan Tentang dan
Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin
Sutrisno juga dipakai dalam buku
Kartini, Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Letters from Kartini, An Indonesian
Feminist 1900–1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-
surat Kartini adalah Letters from
Kartini, An Indonesian Feminist 1900-
1904. Penerjemahnya adalah Joost
Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan
surat-surat yang ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon.
Joost Coté juga menerjemahkan
seluruh surat asli Kartini pada Nyonya
Abendanon-Mandri hasil temuan
terakhir. Pada buku terjemahan Joost
Coté, bisa ditemukan surat-surat yang
tergolong sensitif dan tidak ada dalam
Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Menurut Joost Coté,
seluruh pergulatan Kartini dan
penghalangan pada dirinya sudah
saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904
memuat 108 surat-surat Kartini kepada
Nyonya Rosa Manuela Abendanon-
Mandri dan suaminya JH Abendanon.
Termasuk di dalamnya: 46 surat yang
dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan
Soematrie.
Panggil Aku Kartini Saja

Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.

Selain berupa kumpulan surat, bacaan


yang lebih memusatkan pada
pemikiran Kartini juga diterbitkan.
Salah satunya adalah Panggil Aku
Kartini Saja karya Pramoedya Ananta
Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja
terlihat merupakan hasil dari
pengumpulan data dari berbagai
sumber oleh Pramoedya.
Kartini Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno
memberi gambaran baru tentang
Kartini lewat buku Kartini Surat-surat
kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan
suaminya. Gambaran sebelumnya lebih
banyak dibentuk dari kumpulan surat
yang ditulis untuk Abendanon,
diterbitkan dalam Door Duisternis Tot
Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang
emansipasi yang sangat maju dalam
cara berpikir dibanding perempuan-
perempuan Jawa pada masanya.
Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902,
dikutip bahwa Kartini menulis pada
Nyonya Abendanon bahwa dia telah
memulai pantangan makan daging,
bahkan sejak beberapa tahun sebelum
surat tersebut, yang menunjukkan
bahwa Kartini adalah seorang
vegetarian.[8] Dalam kumpulan itu,
surat-surat Kartini selalu dipotong
bagian awal dan akhir. Padahal, bagian
itu menunjukkan kemesraan Kartini
kepada Abendanon. Banyak hal lain
yang dimunculkan kembali oleh
Sulastin Sutrisno.
Aku Mau ... Feminisme dan
Nasionalisme. Surat-surat Kartini
kepada Stella Zeehandelaar 1899-
1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada
Stella Zeehandelaar periode 1899-
1903 diterbitkan untuk memperingati
100 tahun wafatnya. Isinya
memperlihatkan wajah lain Kartini.
Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan
Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan
judul Aku Mau ... Feminisme dan
Nasionalisme. Surat-surat Kartini
kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini.
Sepenggal ungkapan itu mewakili
sosok yang selama ini tak pernah
dilihat dan dijadikan bahan
perbincangan. Kartini berbicara
tentang banyak hal: sosial, budaya,
agama, bahkan korupsi.

Kontroversi

Peringatan Hari Kartini pada tahun 1953.

Ada kalangan yang meragukan


kebenaran surat-surat Kartini. Ada
dugaan J.H. Abendanon, Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat
itu, merekayasa surat-surat Kartini.
Kecurigaan ini timbul karena memang
buku Kartini terbit saat pemerintahan
kolonial Belanda menjalankan politik etis
di Hindia Belanda, dan Abendanon
termasuk yang berkepentingan dan
mendukung politik etis. Hingga saat ini
pun sebagian besar naskah asli surat tak
diketahui keberadaannya. Menurut
almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak
keturunan J.H. Abendanon pun sukar
untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini


sebagai hari besar juga agak
diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu
menyetujui, mengusulkan agar tidak
hanya merayakan Hari Kartini saja,
namun merayakannya sekaligus dengan
Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih
kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita
Indonesia lainnya, karena masih ada
pahlawan wanita lain yang tidak kalah
hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak
Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi
Sartika, dan lain-lain. Menurut mereka,
wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah
di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga
tidak pernah memanggul senjata
melawan penjajah. Sikapnya yang pro
terhadap poligami juga bertentangan
dengan pandangan kaum feminis
tentang arti emansipasi wanita. Dan
berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro
mengatakan bahwa Kartini tidak hanya
seorang tokoh emansipasi wanita yang
mengangkat derajat kaum wanita
Indonesia saja, melainkan adalah tokoh
nasional; artinya, dengan ide dan
gagasan pembaruannya tersebut dia
telah berjuang untuk kepentingan
bangsanya. Cara pikirnya sudah
melingkupi perjuangan nasional.

Kematian Kartini yang mendadak juga


menimbulkan spekulasi negatif bagi
sebagian kalangan. Seperti diketahui
dalam sejarah, Kartini meninggal
pascamelahirkan, tepatnya empat hari
setelah melahirkan. Ketika Kartini,
mengandung bahkan sampai melahirkan,
dia tampak sehat walafiat. Hal inilah
yang mengandung kecurigaan. Efatino
Febriana, dalam bukunya Kartini Mati
Dibunuh, mencoba menggali fakta-fakta
yang ada sekitar kematian Kartini.
Bahkan, dalam akhir bukunya, Efatino
Febriana berkesimpulan, kalau kartini
mamang mati karena sudah
direncanakan. Demikian pula
Sitisoemandari dalam buku Kartini,
Sebuah Biografi, menduga bahwa Kartini
meninggal akibat permainan jahat dari
Belanda. Permainan jahat dari Belanda
ingin agar Kartini bungkam dari
pemikiran-pemikiran majunya yang
ternyata berwawasan kebangsaan.
Ketika Kartini melahirkan, dokter yang
menolongnya adalah Dr van Ravesten,
dan berhasil dengan selamat. Selama 4
hari pascamelahirkan, kesehatan Kartini
baik-baik saja. Empat hari kemudian, dr
van Ravesten menengok keadaan Kartini,
dan ia tidak khawatir akan kesehatan
Kartini. Ketika Ravesten akan pulang,
Kartini dan Ravesten menyempatkan
minum anggur sebagai tanda
perpisahan. Setelah minum anggur
itulah, Kartini langsung sakit dan hilang
kesadaran, hingga akhirnya meninggal
dunia. Sayangnya, pada saat itu tak ada
autopsi. Meski demikian, pihak keluarga
tidak mempedulikan desas-desus yang
muncul terkait kematian Kartini,
melainkan menerima peristiwa itu
sebagai takdir Yang Mahakuasa.
Sementara pendapat yang berbeda yang
dinyatakan oleh para dokter modern
pada era sekarang. Para dokter
berpendapat Kartini meninggal karena
mengalami preeklampsia atau tekanan
darah tinggi pada ibu hamil. Namun, hal
ini juga tidak bisa dibuktikan karena
dokumen dan catatan tentang kematian
Kartini tidak ditemukan.[9][10]
Peringatan

Hari Kartini

Makam R.A. Kartini di Bulu, Rembang.

Presiden Soekarno mengeluarkan


Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei
1964, yang menetapkan Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian
dikenal sebagai Hari Kartini.

Pemerintahan Orde Lama Soekarno


mendeklarasikan 21 April sebagai Hari
Kartini untuk mengingatkan perempuan
bahwa mereka harus berpartisipasi
dalam "wacana negara hegemonik
pembangunan".[11] Namun, setelah tahun
1965, pemerintahan Orde Baru Soeharto
mengubah citra Kartini dari emansipator
wanita radikal menjadi citra yang
menggambarkannya sebagai istri yang
patuh dan putri yang patuh, "sebagai
hanya seorang wanita berpakaian kebaya
yang bisa memasak."[12] Pada
kesempatan itu, yang dikenal sebagai
Hari Ibu Kartini, "gadis-gadis muda harus
mengenakan jaket ketat yang pas,
kemeja batik, gaya rambut yang rumit,
dan perhiasan berornamen ke sekolah,
yang seharusnya meniru pakaian Kartini
tetapi dalam kenyataannya, mengenakan
pakaian ciptaan, dan ansambel yang
lebih ketat daripada yang pernah dia
lakukan."[13]

Melodi "Ibu Kita Kartini" oleh W. R.


Supratman:
Perangko

Peringatan 100 tahun Kartini pada tahun


1979 diabadikan melalui seri perangko
Republik Indonesia
Bagian pertama, portret Kartini dengan
latar belakang dua orang siswi yang
bermain angklung (di sekolah)

Gabungan antara bagian pertama dan


bagian kedua
Bagian kedua, kondisi wanita Indonesia
modern yang mengenyam pendidikan dan
dapat memiliki berbagai profesi, seperti
polisi. Portret Kartini di latar belakang.

Kartini pada perangko seri Pahlawan


Indonesia tahun 1961
Nama jalan di Belanda

Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini


atau Kartinistraat merupakan salah
satu jalan utama, berbentuk 'U' yang
ukurannya lebih besar dibanding jalan-
jalan yang menggunakan nama tokoh
perjuangan lainnya seperti Augusto
Sandino, Steve Biko, Che Guevara,
Agostinho Neto.
Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A.
Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan
Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-
nama jalan tokoh wanita Anne Frank
dan Mathilde Wibaut.
Amsterdam: Di wilayah Amsterdam
Zuidoost atau yang lebih dikenal
dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng
Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya
adalah nama-nama wanita dari seluruh
dunia yang punya kontribusi dalam
sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto,
Isabella Richaards.
Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini
berdekatan dengan jalan Mohammed
Hatta, Sutan Sjahrir dan langsung
tembus ke jalan Chris Soumokil
presiden kedua Republik Maluku
Selatan.

Dalam budaya populer


Film R.A. Kartini (1982)
Film Surat Cinta untuk Kartini (2016) —
film fiksi berlatar sejarah. Kartini
diperankan oleh Rania Putri Sari.
Film Kartini (2017) — Kartini
diperankan oleh Dian Sastrowardoyo.

Galeri foto
Wikimedia Commons memiliki media
mengenai Kartini.
Wikiquote memiliki koleksi kutipan
yang berkaitan dengan: Kartini.
Potret R.A. Kartini yang bertandatangan.

Potret studio R.A. Kartini kecil dengan


orang tua dan saudara-saudaranya. (foto
1890-an).
Foto kabinet bertandatangan Kartini dan
saudarinya. Kiri-kanan: Kartini, Kardinah,
Roekmini.

Catatan
a. Raden Ayu adalah gelar untuk wanita
bangsawan yang menikah dengan pria
bangsawan dari keturunan generasi
kedua hingga ke delapan dari seorang
raja Jawa yang pernah memerintah,
sedang penggunaan gelar R.A. (Raden
Ajeng) hanya berlaku ketika belum
menikah.

Referensi
1. Latifah, Lanny (2021-04-20). Widyastuti,
Pravitri Retno, ed. "Diperingati Setiap 21
April, Ini Biografi Singkat RA Kartini dan
Sejarah Ditetapkannya Hari Kartini" (http
s://www.tribunnews.com/nasional/2021/
04/20/diperingati-setiap-21-april-ini-biogr
afi-singkat-ra-kartini-dan-sejarah-ditetapka
nnya-hari-kartini) . Tribunnews.com.
Diakses tanggal 2021-05-26.
2. poerbakawatja, Soegarda (1976).
Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung
Agung. hlm. 140–141.
3. Indonesia 1800–1950 (http://www.san.be
ck.org/20-11-Indonesia1800-1950.html)
Beck
4. On feminism and nationalism: Kartini's
letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903.
Monash University Press. 2005. hlm. 2.
ISBN 1876924357.
5. Interview with Kathryn Robinson:
Secularization of Family Law in Indonesia
(http://www.asiaquarterly.com/content/vi
ew/170/43/) , Harvard Asia Quarterly,
diakses 21 April 2010
6. Safwan, Mardanas (2001). R.A. Kartini:
riwayat hidup dan perjuangannya (https://
books.google.com/books?id=ewtxAAAA
MAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&d
q=%22Kartini%22&q=%22Kartini%22&hl=i
d) . Mutiara Sumber Widya. ISBN 978-
979-9331-17-5.
7. Adam, Mohammad (2015-04-21). Adam,
Mohammad, ed. "Arti Kartini di Masa Kini"
(https://www.medcom.id/pilar/kolom/zN
PMQPVb-arti-kartini-di-masa-kini#) .
Medcom.id. Diakses tanggal 2020-05-10.
8. Prasetya, L.A. "Siapa Menyangka R.A.
Kartini Vegetarian" (http://nasional.kompa
s.com/read/2010/04/21/08471776/Siap
a.Menyangka.RA.Kartini.Vegetarian) -
Kompas Daring Rabu, 21 April 2010]
9. TribunNews: Misteri Kematian Kartini,
Benarkah Dia Dibunuh? (http://www.tribun
news.com/nasional/2016/04/21/misteri-
kematian-kartini-benarkan-dia-dibunuh)
10. "Tabloid Posmo: Misteri Kematian Kartini,
Benarkah Dia Dibunuh?" (https://web.arch
ive.org/web/20160602122739/http://ww
w.tabloidposmo.co.id/?p=896) .
Diarsipkan dari versi asli (http://www.tabl
oidposmo.co.id/?p=896) tanggal 2016-
06-02. Diakses tanggal 2016-05-02.
11. Bulbeck, Chilla (2009). Sex, love and
feminism in the Asia Pacific: a cross-
cultural study of young people's attitudes.
ASAA women in Asia. London New York:
Routledge. ISBN 9780415470063.
Preview. (https://books.google.com/book
s?id=chqofjVED54C&pg=PA94)
12. Yulianto, Vissia Ita (21 April 2010). "Is
celebrating Kartini's Day still relevant
today?" (https://web.archive.org/web/201
30807162432/http://www.thejakartapost.
com/news/2010/04/21/is-celebrating-kar
tini%E2%80%99s-day-still-relevant-today.h
tml) . The Jakarta Post. Diarsipkan dari
versi asli (http://www.thejakartapost.co
m/news/2010/04/21/is-celebrating-kartin
i%E2%80%99s-day-still-relevant-today.htm
l) tanggal 7 August 2013. Diakses
tanggal 15 March 2013.
13. Ramusack, Barbara N. (2005). "Women
and Gender in South and Southeast Asia"
(https://books.google.com/books?id=cQz
2o883S38C&pg=PA129) . Dalam Bonnie
G. Smith. Women's History in Global
Perspective. University of Illinois Press.
hlm. 101–138 [129]. ISBN 978-0-252-
02997-4. Diakses tanggal 15 March 2013.

Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media
mengenai Kartini.
Wikiquote memiliki koleksi kutipan
yang berkaitan dengan: Kartini.
Buku-Buku yang Dibaca Kartini, Dari
Karya Multatuli Hingga Perempuan dan
Sosialisme (https://regional.kompas.c
om/read/2021/04/21/151500878/buk
u-buku-yang-dibaca-kartini-dari-karya-
multatuli-hingga-perempuan-dan?page
=all)
Kartini, Pejuang Kemajuan Wanita (http
s://tokoh.id/tokoh/pahlawan/kartini/)
Letters of a Javanese Princess
Stichting Kartini (https://www.kartini.in
fo/)

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kartini&oldid=22921592"

Halaman ini terakhir diubah pada 11 Februari


2023, pukul 08.51. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai